Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di Wilayah Pulau Batam (Studi : Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat)

(1)

HAK KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS

TANAH DI WILAYAH PULAU BATAM

(STUDI : DI PULAU SEKIKIR DAN PULAU BULAT)

TESIS

Oleh

JULIANI LIBERTINA NASUTION

087011144/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HAK KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS

TANAH DI WILAYAH PULAU BATAM

(STUDI : DI PULAU SEKIKIR DAN PULAU BULAT)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

JULIANI LIBERTINA NASUTION

087011144/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : HAK KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN

ATAS TANAH DI WILAYAH PULAU

BATAM (STUDI : DI PULAU SEKIKIR DAN PULAU BULAT)

Nama Mahasiswa : Juliani Libertina Nasution Nomor Pokok : 087011144

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Prof. Sanwani Nasution, SH) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 12 Agustus 2010 Tanggal Lulus : 22 Jannuari 2011


(4)

ABSTRAK

Pembukaan tanah di suatu tempat termasuk di suatu pulau merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi individu, yang menurut hukum adat harus dikuasai secara terus menerus. Penguasaan tanah merupakan unsur utama lahirnya hak atas tanah. Bukti pemilikan dan penguasaan atas tanah secara tertulis disebut sebagai alas hak. Sekalipun telah ada penguasaan fisik dan ada alas hak, namun pemilikan tanah yang berada pada suatu pulau tidak serta merta memberikan hak sepenuhnya kepada penghuni, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan pribadi penghuninya, tetapi ada aspek politik dan pertahanan keamanan. Untuk itu perlu diteliti aspek kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah tersebut di suatu pulau.

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian bersifat deskriptif kualitatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder.

Dari hasil temuan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pola kepemilikan dan penguasaan atas tanah di wilayah Pulau Batam khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat didasarkan pada penguasaan fisik oleh penduduk dan diakui oleh aparat pemerintah daerah yang didukung oleh alas hak yang diterbitkan oleh aparat kelurahan, Namun kepemilikan tanah oleh masyarakat belum dapat disertipikatkan karena terbentur dengan aturan pengelolaan Pulau Batam yang diberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam, juga belum adanya ketentuan khusus yang mengatur penetapan hak atas tanah yang berada di pulau-pulau kecil.

2. Pelaksanaan penggunaan tanah di wilayah Pulau Batam terdapat dualisme, yakni dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan dan juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam, pada kenyataannya penggunaan tanah tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan RTRW Kota Batam baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh warga masyarakat.

3. Perlindungan hukum terhadap kepemilikan rakyat atas tanah di Pulau Batam hanya secara minimal, yakni dengan cara menolak permohonan pendaftaran Hak Pengelolaan apabila masih ada penguasaan rakyat di atasnya. Seharusnya dilakukan secara maksimal dengan melakukan pendaftaran atas tanah milik rakyat.

Terhadap hal tersebut di atas, maka disarankan agar aspek pemilikan dan penguasaan tanah menjadi pertimbangan dalam pemberian hak atas tanah di Pulau Batam dan dapat disertipikatkan tanah milik rakyat tersebut atau diberikan hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan.

Kata Kunci : Pemilikan, penguasaan dan penggunaan, Pemberian perlindungan hukum, Hak atas tanah di suatu pulau


(5)

ABSTRACT

Land opening in one place including in one island is the beginning of the land ownership for someone, which based on customary law must be informed to customary people and must be given a special mark. Land ownership are the main elements of the birth of land rights. Written land ownership which explains legal relationship between the land and its owner called land title. Eventhough there are control over land and land title as ownership evidence, however land ownership in one island is not automatically given to people who live there, but there are other aspects, such as political aspect and security aspect. Therefore it is important to investigate ownership aspect, land control and land use in one island. Based on those things, it is needed to study about the implementation of land management, land ownership, land control and land use of one island.

Descriptive-Qualitative research is used to study this research, with normative law approaching method which based on regulations and analyzed based on fact on the field by taking secondary data sources.

Based on research, it is conklused that :

1. Land ownership and Land Control on islands located in Batam Island especially in Sekikir Island and Bulat Island based on physical control by people and admitted by the local government and supported by written ownership rights enacted by village apparatus (aparat kelurahan). However, land ownership of the people could not be certificated because it is collided by management regulation of Batam island stipulated by President, by the handover of Rights of Management to Batam Authority Government over Batam Island and surrounding areas.

2. There are dualism of the implementation over land use over islands in Batam area, done by Batam Authority based on Rights of Management to plan land use, and done by Batam Local Government. In fact, that land use has not been fully implemented on field based on regional spatial planning of Batam (Local Government Regulation No. 20 Year 2001 jo. No. 2 Year 2004) either by Local Government or by people. 3. Law protection of people’s land ownership in Batam Island is minimum, by refusing

application of rights of management registration if there is occupation by people. It should be done maximally by implementing land registration of people’s land, because by registrating people’s land, land registration to reach legal protection for land owner.

Based on those things abovementioned, it is suggested that ownership aspect and land control become consideration on land issues in Batam Island and people’s land could be certificated or could be given Rights of Management. Land use aspect should be implemented based on Regional Spatial Planning of Batam City and confirmed through decree and certificate.

Keywords : Ownership, Control and Use, Conferment of legal protection, Land rights of an island


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas petunjuk-Nya, Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa Tesis dalam menjalani proses perkuliahan pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU Medan. Tesis ini berjudul “Hak Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Wilayah Kepulauan Batam (Studi di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat) ditulis sebagai salah satu persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam rangka penulisan Tesis ini, banyak pihak telah memberikan bantuan, dorongan semangat dan masukan serta sumbang saran, sehingga Penulis dapat menyelesaikan dengan tuntas. Untuk itu pada tempatnya diucapkan terima kasih khususnya disampaikan kepada Bapak Dosen Pembimbing yakni Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Prof. Sanwani Nasution, SH, Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum yang telah bersedia memeriksa, menelaah, memberikan koreksi dan petunjuk serta saran untuk kesempurnaan Tesis ini.

Demikian juga diucapkan terima kasih kepada Bapak-Bapak Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, koreksi yang kontruktif dalam penyempurnaan Tesis ini sejak kolokium, seminar hasil hingga ujian meja hijau.

Tidak lupa diucapkan terima kasih khusus kepada keluarga Penulis, suami dan anak-anak tercinta, orang tua dan mertua tersayang, dan Saudara-Saudaraku yang terhormat yang telah sedia berkorban dan setia selalu mendampingi Penulis serta tidak lelah memberikan dorongan semangat, ikhlas berdoa dan merelakan waktu yang seharusnya dapat berkumpul dengan keluarga tetapi terpaksa tersita dengan kesibukan Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan Tesis ini.

Dalam penulisan Tesis ini, Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan untuk menghasilkan karya yang sempurna, untuk itu dengan kerendahan hati Penulis mengharapkan kritikan dan masukan yang positif demi kesempurnaan Tesis ini.


(7)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis menempuh pendidikan dan menyelesaikannya pada Program Studi Magister Kenotariatan.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang dengan tulus ikhlas dan tidak lelah memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis.

3. Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH, dan Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum sebagai Dosen pembimbing sekaligus penguji yang telah memberikan arahan dan koreksi demi penyempurnaan Tesis ini.

4. Para Bapak dan ibu Dosen di lingkungan Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada Panulis.

5. Pegawai dan Staf pada Fakultas Hukum terutama pada Program Magister Kenotariatan yang telah memberikan bantuan demi kelancaran semua proses administrasi dalam penyelesaian studi Penulis.

6. Rekan-rekan Mahasiswa pada Program Magister kenotariatan dan semua pihak yang turut membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang memberikan motivasi kepada Penulis.

Akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa Penulis memohon kiranya diberikan balasan yang berlipat ganda atas jasa-jasa Bapak Dosen Pembimbing, Dosen Penguji dan rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang turut membantu Penulis selama ini.

Medan, Januari 2011 Hormat Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Juliani Libertina Nasution Tempat/Tgl.Lahir : Gunung Sitoli, Nias/7 Juli 1958 Agama : Kristen

Status : Menikah

II. KELUARGA

Nama Ayah : Drs. J. Nasution (Alm.) Nama Ibu : Sonta Hutabarat

Nama Suami : Dr. Sori Tua Sarumpaet Nama Anak : - Irwanda S.

- Tresia S. - Angela S.

III. PENDIDIKAN

SD CHRISTUS RAJA JAYAPURA SMP NEGERI JAYA PURA SMA NEGERI JAYA PURA S1 UNIVERSITAS BATAM


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalahan ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori ... 19

G. Metode Penelitian ... 48

BAB II POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH KEPULAUAN BATAM ... 54

A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 54

B. Pengaturan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah ... 63

C. Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Pulau Bulat dan Pulau Sekikir ... 80

D. Aturan Pengelolaan Pulau Batam ... 85

BAB III PELAKSANAAN PENGGUNAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH KEPULAUAN BATAM ... 100

A. Pengaturan Tentang Penggunaan Tanah ... 100

B. Pelaksanaan Pengaturan Penggunaan Tanah... 110


(10)

DAN PENGUASAAN TANAH DI PULAU BATAM ... 122

A. Kepemilikan dan Penguasaan Tanah dan Hak Pengelolaan di Pulau Batam ... 122

B. Perlindungan Hukum atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Masyarakat ... 126

C. Perlindungan Hukum Secara Maksimal ... 134

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 140

A. Kesimpulan ... 140

B. Saran ... 142


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Daftar Surat Tanah Warga Pulau Sekikir... 86 Tabel 2 : Jumlah Sertipikat Hak Pengelolaan Berdasarkan

Tahun Terbit ... 91 Tabel 3 : Data Penggunaan Tanah pada Pulau Sekikir dan Pulau


(12)

Telah diuji pada

Tanggal : 22 Januari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Sanwani Nasution, SH

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum


(13)

ABSTRAK

Pembukaan tanah di suatu tempat termasuk di suatu pulau merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi individu, yang menurut hukum adat harus dikuasai secara terus menerus. Penguasaan tanah merupakan unsur utama lahirnya hak atas tanah. Bukti pemilikan dan penguasaan atas tanah secara tertulis disebut sebagai alas hak. Sekalipun telah ada penguasaan fisik dan ada alas hak, namun pemilikan tanah yang berada pada suatu pulau tidak serta merta memberikan hak sepenuhnya kepada penghuni, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan pribadi penghuninya, tetapi ada aspek politik dan pertahanan keamanan. Untuk itu perlu diteliti aspek kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah tersebut di suatu pulau.

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian bersifat deskriptif kualitatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder.

Dari hasil temuan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pola kepemilikan dan penguasaan atas tanah di wilayah Pulau Batam khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat didasarkan pada penguasaan fisik oleh penduduk dan diakui oleh aparat pemerintah daerah yang didukung oleh alas hak yang diterbitkan oleh aparat kelurahan, Namun kepemilikan tanah oleh masyarakat belum dapat disertipikatkan karena terbentur dengan aturan pengelolaan Pulau Batam yang diberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam, juga belum adanya ketentuan khusus yang mengatur penetapan hak atas tanah yang berada di pulau-pulau kecil.

2. Pelaksanaan penggunaan tanah di wilayah Pulau Batam terdapat dualisme, yakni dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan dan juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam, pada kenyataannya penggunaan tanah tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan RTRW Kota Batam baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh warga masyarakat.

3. Perlindungan hukum terhadap kepemilikan rakyat atas tanah di Pulau Batam hanya secara minimal, yakni dengan cara menolak permohonan pendaftaran Hak Pengelolaan apabila masih ada penguasaan rakyat di atasnya. Seharusnya dilakukan secara maksimal dengan melakukan pendaftaran atas tanah milik rakyat.

Terhadap hal tersebut di atas, maka disarankan agar aspek pemilikan dan penguasaan tanah menjadi pertimbangan dalam pemberian hak atas tanah di Pulau Batam dan dapat disertipikatkan tanah milik rakyat tersebut atau diberikan hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan.

Kata Kunci : Pemilikan, penguasaan dan penggunaan, Pemberian perlindungan hukum, Hak atas tanah di suatu pulau


(14)

ABSTRACT

Land opening in one place including in one island is the beginning of the land ownership for someone, which based on customary law must be informed to customary people and must be given a special mark. Land ownership are the main elements of the birth of land rights. Written land ownership which explains legal relationship between the land and its owner called land title. Eventhough there are control over land and land title as ownership evidence, however land ownership in one island is not automatically given to people who live there, but there are other aspects, such as political aspect and security aspect. Therefore it is important to investigate ownership aspect, land control and land use in one island. Based on those things, it is needed to study about the implementation of land management, land ownership, land control and land use of one island.

Descriptive-Qualitative research is used to study this research, with normative law approaching method which based on regulations and analyzed based on fact on the field by taking secondary data sources.

Based on research, it is conklused that :

1. Land ownership and Land Control on islands located in Batam Island especially in Sekikir Island and Bulat Island based on physical control by people and admitted by the local government and supported by written ownership rights enacted by village apparatus (aparat kelurahan). However, land ownership of the people could not be certificated because it is collided by management regulation of Batam island stipulated by President, by the handover of Rights of Management to Batam Authority Government over Batam Island and surrounding areas.

2. There are dualism of the implementation over land use over islands in Batam area, done by Batam Authority based on Rights of Management to plan land use, and done by Batam Local Government. In fact, that land use has not been fully implemented on field based on regional spatial planning of Batam (Local Government Regulation No. 20 Year 2001 jo. No. 2 Year 2004) either by Local Government or by people. 3. Law protection of people’s land ownership in Batam Island is minimum, by refusing

application of rights of management registration if there is occupation by people. It should be done maximally by implementing land registration of people’s land, because by registrating people’s land, land registration to reach legal protection for land owner.

Based on those things abovementioned, it is suggested that ownership aspect and land control become consideration on land issues in Batam Island and people’s land could be certificated or could be given Rights of Management. Land use aspect should be implemented based on Regional Spatial Planning of Batam City and confirmed through decree and certificate.

Keywords : Ownership, Control and Use, Conferment of legal protection, Land rights of an island


(15)

B A B I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Permasalahan

Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan, karena berdasarkan data yang ada, terdapat sekitar 17.508 (tujuh belas ribu lima ratus delapan) buah pulau besar dan kecil dengan pulau utama yaitu Pulau Kalimantan, Pulau Irian atau Papua, Pulau Sulawesi, Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.

Di samping itu, negara Indonesia wajar disebut negara kepulauan karena secara gramatikal, kata Indonesia berasal dari Bahasa Yunani, yakni ”Indos” yang berarti ”India” dan ”Nesos” yang berarti ”Pulau”. Berdasarkan asal kata tersebut, Indonesia bermakna Kepulauan India atau kepulauan yang berada di wilayah India. Selain dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang nomor dua setelah Kanada.1

Gugusan pulau-pulau yang ada di Indonesia ada yang ditempati dan ada yang tidak ditempati oleh manusia, bahkan masih banyak yang belum diberi nama. Pulau-pulau yang ditempati oleh manusia umumnya adalah Pulau-pulau-Pulau-pulau yang besar, sedangkan pulau-pulau yang tidak ditempati biasanya pulau-pulau kecil yang tidak tersedia sumber daya alam untuk mendukung kelangsungan kehidupan manusia di dalam pulau tersebut, seperti ketersediaan bahan kebutuhan pokok manusia.

1

Gamal Komandoko, Ensiklopedia Pelajar dan Umum, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2010), halaman 7


(16)

Apabila pulau-pulau tersebut dihuni oleh manusia, maka manusia membutuhkan bidang-bidang tanah yang merupakan bagian-bagian kecil dari pulau tersebut baik untuk membangun rumah tempat tinggalnya (perumahan) maupun untuk tempat berusaha mencari nafkah sehari-hari berupa lahan pertanian/perladangan (non-perumahan).

Manusia yang menghuni pulau-pulau tersebut semula melakukan pembukaan tanah baik sendiri maupun berkelompok, selanjutnya diusahai dengan bertani atau berladang.

Pembukaan tanah di suatu tempat tertentu termasuk di suatu pulau merupakan awal dari lahirnya kepemilikan tanah bagi individu atau kelompok, yang menurut hukum adat pembukaan tanah tersebut haruslah diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberi tanda tertentu.2

Selanjutnya tanah yang dibuka tersebut dijadikan sebagai tempat berusaha dan atau di atasnya dibangun tempat tinggal yang dikuasai oleh masing-masing orang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, selanjutnya penguasaan tanah tersebut berlangsung secara terus menerus dan bahkan turun temurun.

Penguasaan tanah yang dilakukan secara terus-menerus menimbulkan hubungan nyata manusia dengan tanah, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan

2

Mukhtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta : Republika, 2008), halaman 59


(17)

dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah unsur utama lahirnya hak atas tanah.3

Berdasarkan penguasaan dan tindakan pengolahan nyata atas tanah secara berkesinambungan tersebut, penghuni di pulau-pulau dimaksud mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang ditempati dan diusahakannya, kemudian hubungan hukum tersebut diakui oleh penguasa adat setempat atau pemerintah lokal/daerah yang bersangkutan yang ditandai dengan pengakuan secara tertulis maupun secara lisan.

Pengakuan secara tertulis dapat berbentuk surat pernyataan atau surat keterangan atau surat keputusan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa yang bersangkutan benar menguasai dan mengusahakan bidang tanah tertentu dan tidak ada pihak lain yang mempermasalahkannya.

Bukti penguasaan atas tanah secara tertulis yang menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah disebut sebagai alas hak.4

Apabila sudah ada alas hak, maka tanah yang dikuasai tersebut telah membenarkan kepunyaan dari yang menguasainya dan kata ”kepunyaan” secara keperdataan dapat juga dikatakan sebagai ”milik”.

3 Ibid

. halaman 613 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah,

(Bandung : Mandar Maju, 2008), halaman 234

4

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008), halaman 234


(18)

Masyarakat juga merumuskan milik sebagai suatu hak dan hak milik itu merupakan suatu klaim yang dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, oleh adat, kesepakatan dan hukum. Para ahli juga selalu menganggap milik sebagai suatu hak yang berarti klaim yang dapat dipaksakan, ancaman paksaan untuk menjamin suatu hak yang dipandang bersifat asasi, karena milik itu perlu merealisasikan alam fundamental manusia, oleh karena itu milik adalah sesuatu hak alamiah.5

Akan tetapi sekalipun telah ada alas hak atau penguasaan secara fisik dan pengolahan nyata atas tanah atau juga bahkan telah disebut sebagai kepunyaan atau kepemilikan atas tanah, maka pemilikan atau penguasaan atas tanah yang berada pada suatu pulau, tidak serta merta memberikan hak dan keleluasaan kepada penghuninya untuk menguasai sepenuhnya, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan pribadi penghuninya dan masyarakat setempat, tetapi ada aspek-aspek lain yang melingkupinya, seperti aspek politik dan pertahanan keamanan.

Oleh karena itu keberadaan suatu pulau mempunyai arti yang strategis, karena di atasnya ada kepentingan ekonomi orang-perorang dan masyarakat setempat dan juga ada kepentingan politik dan keamanan dari negara/pemerintah.

Adanya berbagai kepentingan yang diletakkan di atas suatu pulau tersebut, tentunya diperlukan pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap penguasaan dan penggunaan tanahnya sehingga kepentingan para pihak tersebut

5

Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Rakyat Indonesia, Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, (Bandung : Mandar Maju, 2006), halaman 27


(19)

tidak saling berbenturan dan saling meniadakan dan tujuan pemanfaatan pulau baik secara ekonomi, sosial maupun secara politik dapat tercapai.

Pengaturan terhadap penguasaan dan penggunaan tanah yang ada di pulau-pulau mengacu kepada pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah di atas permukaan bumi pada pada umumnya, yakni untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan rakyat.

Dalam hal ini kepentingan rakyat berkaitan dengan hak-hak yang dapat dikuasai dan dimiliki atau dapat diberikan oleh Negara kepada rakyatnya atas obyek tanah tertentu yang berada di atas suatu pulau.

Menyangkut hak-hak rakyat tersebut, konstitusi Negara menjamin adanya hak-hak dasar rakyat, tidak hanya terhadap hak-hak atas tanah tetapi juga terhadap hak-hak dasar lainnya yang memang diemban oleh rakyat dan wajib dilindungi oleh negara.

Hak-hak dasar merupakan kondisi dasar yang harus ada dan tersedia dalam kehidupan, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Hak-hak dasar yang lahir oleh karena proses kesejahteraan dan proses perjalanan bangsa selama ini yang mewujud dalam banyak hal, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rasa aman, rasa nyaman, kebebasan, keadilan dan dalam berbagai bentuk lainnya.

Hampir semua hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat langsung atau tidak langsung berkaitan dengan persoalan pertanahan. Hak-hak dasar rakyat yang mewujud dalam bentuk keadilan, misalnya seperti tidak berkaitan dengan pertanahan, tetapi karena tanah dan pertanahan merupakan sumber-sumber utama kemakmuran,


(20)

sumber utama ekonomi dan bahkan politik, maka pengaturan penataan, penguasaan dan pemilikannya menjadi indikator penting dari keadilan.6

Menyangkut masalah pertanahan yang disebut sebagai sumber-sumber utama kesejahteraan dan menjadi indikator penting dari keadilan dikonstatir dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang ditunjukkan dari kata "sebesar-besarnya", artinya hasil dari penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam tersebut bukan untuk perseorangan atau kelompok tertentu tetapi untuk rakyat banyak.

Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sumber daya agraria) diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut juga dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Kemudian aturan tersebut ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik, baik dalam bentuk

6

Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional, pengarahan pada pembukaan Simposium Nasional tentang Secondary Mortgage Facility (SMF) di Denpasar-Bali, Desember 2005 sebagaimana dimuat Majalah Renvoy, No. 32Th.III/Januari 2006, halaman 12


(21)

undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan lain-lain.

Pasal 2 UUPA mengatur bahwa “bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”. Pengertian bumi meliputi permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di atasnya, pengertian air adalah perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia, sedang pengertian ruang angkasa adalah ruang di atas bumi dan di atas perairan.7

Lingkup permukaan bumi tersebut meliputi tanah yang ada di seluruh Indonesia sesuai dengan konsep kesatuan seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, maksudnya tanah tidak semata-mata hak dari pemiliknya tetapi juga merupakan hak bersama rakyat Indonesia yang merupakan semacam hubungan hak ulayat Bangsa Indonesia.8

Kemudian Pasal 4 UUPA menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak).

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

7

Pasal 1 ayat (4), (5) dan (6) UUPA.

8

Lutfi I Nasution, Pembaruan Agraria Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Makalah disampaikan pada Seminar "Reformasi Kembar Hukum dan Ekonomi", dalam rangka Dies Natalis ke-52 USU, Medan, 14 Agustus 2004, halaman 9


(22)

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.9

Oleh karena itu secara konsepsional, seluruh permukaan bumi (tanah) yang ada di seluruh wilayah Indonesia, sejatinya dapat dimiliki dan diberikan hak-hak atas tanah kepada setiap warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk yang berada di kepulauan atau merupakan pulau atau juga pulau-pulau kecil yang ada di seantero nusantara.

Namun dalam tataran operasionalnya, hak-hak atas tanah tidak dapat diberikan untuk seluruh permukaan bumi di seluruh Indonesia, karena sejak tahun 1967 terjadi perceraian beberapa sektor dari yang semula diatur dalam UUPA, yakni ketika diterbitkan beberapa undang-undang yang bersifat sektoral.

Undang-undang sektoral tersebut seperti Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999), Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pertambangan (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi), Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (telah diubah dengan Undang Undang Nomor 7 tahun 2004), Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (telah diubah dengan


(23)

Undang Undang Nomor 26 tahun 2007) yang diharapkan sebagai suatu undang-undang yang akan disinkronkan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang udara.10

Saat ini telah diterbitkan pula Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, yang obyeknya juga tanah yang ada di pulau dan pesisir dan dalam pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa menyebut keterlibatan instansi Badan Pertanahan Nasional.

Dengan adanya undang-undang yang bersifat sektoral tersebut, maka kewenangan untuk memberikan hak-hak atas tanah dibatasi hanya sepanjang tidak mencakup lingkungan atau kawasan atau bidang-bidang tanah yang diatur oleh undang-undang dimaksud.

Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk : 1. keperluan negara;

2. keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya;

3. keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;

10

AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Penataan Ruang (Bandung : Mandar Maju, 1993), halaman. 2.


(24)

4. keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan

5. keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

Perencanaan yang bermaksud menyediakan tanah untuk berbagai keperluan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku diatur dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang dibuat secara hierarki mulai dari tingkat Nasional, Provinsi, sampai Kabupaten/Kota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Kemudian secara khusus yang mengenai bidang-bidang tanah telah ada pengaturan penataannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, yang juga ada menyinggung tentang pengaturan pulau-pulau kecil.

Pulau-pulau tersebut yang merupakan ruang daratan merupakan kawasan penting dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya karena selain dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan, perikanan/tambak, industri dan pertambangan, sumber energi, tempat penelitian dan percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan dan pekebun.

Sedang di sisi lain, kawasan pulau-pulau tersebut juga tidak tertutup kemungkinan ada yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau


(25)

hilang karena naiknya permukaan laut disebabkan pemanasan global atau karena gempa bumi (tsunami) atau sebaliknya dapat saja bertambah luas karena munculnya tanah timbul akibat gelombang laut. Selain itu, kawasan pulau-pulau tersebut juga dapat diperluas dengan cara ditimbun (reklamasi) untuk kepentingan tertentu.

Bahkan belakangan ini muncul kecenderungan "pengkaplingan" dan penjualan pulau-pulau oleh sekelompok orang, seperti kasus jual beli pulau Bidadari di Nusa Tenggara Timur yang dijual oleh Haji Yusuf, penduduk setempat kepada pihak warga negara asing (Ernest Lewandowski, Warga Negara Inggiris) pada tahun 2006 lalu. Penjualan pulau tersebut mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan, termasuk Menteri Dalam Negeri saat itu M. Ma’ruf yang menyatakan pembelian Pulau Bidadari oleh warga Inggiris tersebut menyalahi prosedur karena dilakukan di bawah tangan, padahal izin yang diberikan adalah untuk investasi.11

Terjadinya jual beli pulau Bidadari tersebut menimbulkan persoalan tersendiri, apalagi dijual kepada orang asing, sebab dapat berpotensi menimbulkan ancaman keamanan dalam konteks kenegaraan, juga jelas-jelas menyalahi aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUPA yang melarang orang asing mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah yang ada di Indonesia.

Mengingat urgennya fungsi dan manfaat pulau-pulau yang sebagian dapat dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem

11

Harian Republika, dengan judul Pulau Bidadari Dijual Di Bawah Tangan, terbitan tanggal 2 Maret 2006.


(26)

sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 ditentukan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, waduk dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Kemudian bagian dari pulau-pulau tersebut terdapat sempadan pantai, karena itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 ditentukan bahwa kawasan/ sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan perlindungan setempat.12

Semula oleh UUPA tidak ada diatur mengenai pulau-pulau dan sempadan pantai tersebut apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah, selanjutnya berdasarkan Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai13 atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan

12

Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung/kawasan perlindungan setempat.

13

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA), Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 UUPA), Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalm keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala


(27)

pulau atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni 1997, antara lain dinyatakan bahwa :

“Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.”

Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan bahwa :

“Permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan dengan pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan kepada Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.”

Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang mengatur bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada haknya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan.

sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini (Pasal 41 UUPA) (Moekijat, Kamus Agraria, (Bandung : Mandar Maju, 1996), halaman 38, 39 dan 41) .


(28)

Akan tetapi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.

Dalam hal ini pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting untuk dapat memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah tersebut.

AP Parlindungan menyatakan, “dikuasai” dan “dipergunakan” harus dibedakan, dalam arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan daripada dikuasai dan kedua kata tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat.14

Sekalipun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai, namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yang dianut oleh Pemerintah melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat, dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya.

Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah. Perselisihan

14


(29)

mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.15

Dalam kaitan ini, peraturan perundang-undangan memandang diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada suatu pulau termasuk pada kawasan pantainya dengan ketentuan penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sungguhpun pengaturan untuk pemberian hak atas tanah pada suatu pulau masih menunggu aturan pelaksanaannya. Sedang masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.

Kemudian perkembangan terakhir, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007.

Pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut terdapat ketentuan adanya perizinan dengan bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sementara dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dan juga di pulau-pulau kecil dapat juga diberikan hak atas tanah oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional.

15

BF. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2005), halaman 4


(30)

Sungguhpun menurut pendapat Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR-RI dinyatakan HP-3 hanya terbatas pada permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan dasar laut, HP-3 tidak menyangkut hak atas tanahnya.16

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pola pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah pada suatu pulau dan perlindungan hukum atas pemilikan tanahnya, dengan tetap mempedomani peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang terdapat di Kepulauan Batam dengan studi di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam.

Pemilihan lokasi penelitian di Kepulauan Batam dimaksud didasarkan pada pertimbangan bahwa Kepulauan Batam yang merupakan salah satu daerah yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau.

Provinsi Kepulauan Riau sendiri berdiri sejak tahun 2002 tercatat sebagai provinsi ke-33 di Indonesia dengan dasar pembentukannya Undang Undang Nomor 25 tahun 2002, yang terdiri dari 6 (enam) daerah otonom, yakni Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang.

Kota Batam terdiri dari beberapa pulau, di antaranya pulau yang relatif besar adalah Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang, sehingga tepat dikatakan dengan sebutan kepulauan Batam, luas wilayah Pulau Batam saja sekitar 415 (empat

16

Majalah Gatra, dengan judul laporan “Upaya Sinergi dengan Pemangku Kepentingan”, terbitan 22 Agustus 2007,


(31)

ratus lima belas) km2 namun apabila disebutkan Kepulauan Batam luasnya mencapai 715 (tujuh ratus lima belas) km2.17

Pemilihan lokasi penelitian tersebut juga dikaitkan dengan adanya pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah di pulau-pulau yang ada di kawasan tersebut yang pengaturannya dilaksanakan oleh satu badan khusus yang diberi nama Otorita Batam, di samping ada juga Pemerintahan otonom yaitu Pemerintah Kota Batam yang juga diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengaturan di bidang pertanahan.

Sementara secara faktual penguasaan tanah di tempat tersebut dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat setempat dengan penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan seperti untuk pemukiman penduduk, pelabuhan dengan segala sarana dan prasarananya, usaha industri dengan infrastukturnya, usaha perikanan dan kelautan, usaha pariwisata dan usaha lain-lainnya, sehingga perlu diteliti lebih lanjut bagaimana pola pemilikan tanah dan penggunaan tanahnya serta perlindungan hukum atas pemilikan tanah di Pulau Batam, khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

17


(32)

1. Bagaimanakah pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam?

2. Bagaimanakah pelaksanaan penggunaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam ?

3. Apakah ada upaya perlindungan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah di pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam tersebut?.

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam

2. Untuk mengetahui pelaksanaan penggunaan tanah pada pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam

3. Untuk menelusuri perlindungan hukum terhadap pemilikan dan penguasaan tanah di pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam tersebut

D. Manfaat Penelitian

Di samping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat, yaitu :

1. Memberikan gambaran yang jelas tentang pemilikan dan penguasaan tanah pada suatu pulau di Kepulauan Batam

2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah


(33)

untuk mencari solusi yang dapat mewujudkan tujuan pemilikan, penguasaan dan penggunaana tanah pada suatu pulau sehingga bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pembangunan.

E. Keaslian Penelitian

Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sepanjang yang diketahui belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun orang lain yang membahas tentang Hak Kepemilikan dan Penguasaan Atas Tanah di Wilayah Kepulauan Batam. Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

Penelitian ini menyangkut kepemilikan atas tanah di Pulau di Wilayah kepulauan Batam pembahasannya lebih banyak kepada perilaku masyarakat dalam melakukan pemilikan dan penguasaan tanah dan adanya pengakuan dari Pemerintah termasuk dalam penataan penggunaannya serta melegalkan haknya, maka kerangka teori yang diambil tidak lebih dari ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan dalam bertindak bagi masyarakat dan pemerintah.

Akan tetapi dalam pengaturan sesuatu obyek dapat saja telah ada sistem hukum yang menatanya, namun situasi di lapangan terutama pada lapisan masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang dapat diprediksi dan tidak sistematis, masyarakat dengan keinginan dan kebutuhannya terus-menerus bergerak secara dinamis.


(34)

Hal demikian terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarik-menarik dan berbenturan di dalamnya dan menimbulkan ketidakteraturan, dengan kata lain hukum dan masyarakat bukan sebagai sesuatu yang sistematis, tetapi penuh dengan ketidakteraturan, inilah yang disebut dengan teori ketidakteraturan hukum (Theories of legal disorder) yang dikembangkan oleh Charles Sampford.18

Namun seharusnya peranan hukum dapat menjamin adanya suatu keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, karena keteraturan tersebut merupakan salah satu tujuan dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.19

Berdasarkan teori di atas yang dijadikan kerangka berpikir dalam penelitian ini guna melihat situasi hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah dalam hal ini antara hak kepemilikan atas pulau dikaitkan antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataan di lapangan, termasuk tujuan hukum dalam menciptakan keteraturan terutama dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun.

Kerangka teori itu sendiri menurut M. Solly Lubis disebut sebagai landasan teori yakni suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan,

18

HR. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), halaman 105-108

19

Mochtar Kusumaatmaja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung : Bina Cipta, 1986), halaman 3


(35)

pegangan teoritis, mungkin disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.20

Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan perundang-undangan mengenai obyek yang diteliti dan menggambarkan kenyataannya di lapangan, yang diuraikan dalam tiga variabel, yakni :

1. pemilikan tanah; 2. penggunaan tanah dan;

3. keberadaan kepulauan dengan segala lingkup aturan dan uraiannya.

Pertama, mengenai Kepemilikan Tanah, ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan:

”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai

20

M. Solly Lubis dalam Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004), halaman 36


(36)

organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat (2) diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.

Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.

Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.


(37)

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat peribadi.21

Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan antara negara dan tanah.22

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak).

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

21

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, (Yogyakarta : Citra Media, 2007), halaman 5

22

Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), halaman 60


(38)

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan.

Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.23

Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak), bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Akan tetapi Negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya, tetapi Negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi :

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanahnya;

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

23


(39)

Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun untuk pendaftaran yang berkelanjutan berupa pendaftaran peralihan haknya, baru dapat dilakukan apabila subyek hak dapat membuktikan adanya hubungan hubungan baik yang bersifat keperdataan (perorangan) maupun bersifat publik (tanah yang dikuasai oleh instansi Pemerintah atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat) antara subyek hak dengan tanahnya.24

Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah yang bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan tanahnya

Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian pemindahan/peralihan hak atau dapat juga melalui pembukaan tanah menurut sistem hukum adat.

Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hak, hal ini sejalan dengan pengertian perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2

24 Hak Ulayat

adalah hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Adat yang merupakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban (Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), halaman 170)


(40)

Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.

Namun perolehan hak atas tanah juga termasuk dalam hal perbuatan hukum orang untuk mendapatkan tanah dengan melakukan penguasaan tanah secara fisik berupa penggarapan atau pembukaan tanah.

Bahkan lahirnya pemilikan tanah bagi individu menurut sistem hukum adat umumnya diawali dengan pembukaan tanah yang diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu telah digarap.25

Dari pembukaan tanah tersebut apabila terus dikuasai dan diusahakan secara terus menerus dan mendapat persetujuan pemerintahan desa/persekutuan adat akan melahirkan hak wenang pilih lalu menjadi hak menarik hasil, selanjutnya jika dari upaya penguasaan dan pengusahaan tanah tersebut telah beberapa kali panen dan tetap mengolah tanahnya secara tidak terputus lalu diperolehnya hak milik atas tanah.26

25

Mukhtar Wahid, Op.cit, halaman 5925 Mukhtar Wahid, Op.cit, halaman 59

26

Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2006), halaman 78-79


(41)

Oleh karena itu penguasaan dan pengusahaan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas hukum di bidang pertanahan. Penguasaan tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.27

Hubungan hukum tersebut berupa hubungan nyata manusia dengan tanah, sebab tanpa hubungan nyata tersebut maka tidak akan lahir suatu hak apapun atas tanah.28 Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah dikuasai dan dimilikinya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti tertulis.

Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik.29 Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya, apabila telah ada alas hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu hak.

Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami dengan

27

Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, (Jakarta, 2002), halaman 18

28

Mukhtar Wahid, op.cit., halaman 61

29

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994), halaman 19


(42)

mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk tanah pertanian.

Penguasaan tanah dapat menjadi pertanda adanya pemilikan dan hal tersebut juga dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya, sungguhpun penguasaan tanah dapat saja dilakukan oleh orang yang tidak berhak atau hanya sebagai penyewa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut telah dikuasai secara fisik secara terus menerus selama 20 tahun dengan itikat baik, maka dapat dilegitimasi penetapan/pemberian haknya kepada yang bersangkutan dengan memberikan alat bukti tertulis.

Penguasaan tanah tersebut dapat dikatakan lengkap untuk disebut sebagai pemilikan tanah apabila didukung oleh bukti tertulis berupa surat-surat tanah yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

Jadi faktor penguasaan secara fisik tersebut masih harus diikuti dengan syarat-syarat tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai pemilikan atau permulaan adanya hak yakni dilakukan secara terus menerus, dengan jangka waktu tertentu dan dilakukan dengan itikat baik, sebaiknya dilengkapi dengan bukti tertulis, baru kemudian dapat diberikan tanda bukti penguasaannya.


(43)

Unsur jangka waktu tersebut ditentukan secara limitatif yakni minimal 20 (dua puluh) tahun, namun unsur itikat baik tidak ada dijelaskan pengertiannya. Hal itu dimengerti karena itikat baik itu sendiri tidak ada pengertian yang diterima secara universal, hanya saja pengertian itikat baik memiliki dua dimensi, pertama dimensi subyektif yang berarti mengarah kepada makna kejujuran, sedang dimensi kedua dimensi obyektif yang berarti kerasionalan dan kepatutan atau keadilan.30

Terhadap pemilikan dan penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti pemilikan atau penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang.

Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai

30

Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), halaman 347


(44)

status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut sudah berada dalam penguasannya atau telah menjadi miliknya.

Pemilikan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk menguasai fisik tanahnya, oleh karena pemilikan secara yuridis memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.

Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara, maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara (Pemerintah).

AP. Parlindungan menyatakan bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk


(45)

menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) juga karena ketentuan konversi hak atas tanah.

Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam Pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.

Alas hak itu sendiri adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain 31

Dinyatakan juga bahwa alas hak32 untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari hak-hak Barat,33 dengan catatan dilakukan penyesuaian dengan ketentuan

31

AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, (Bandung : Mandar Maju, 1993), halaman 69-70.

32

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 2008), halaman 237.

33

AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1993), halaman 3


(46)

yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.34

Sedang menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam system UUPA. 35

Konversi dibagi dalam tiga jenis, yaitu 1) konversi hak yang berasal dari tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2) konversi hak yang berasal dari tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan dan 3) konversi hak yang berasal dari tanah bekas swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk perumahan dan kebun besar.36

Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama) masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku pada masa itu.

34

Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria, Jilid-I (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2004), halaman 80.

35

AP. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung : Mandar Maju, 1993), halaman 94.

36

Emri, Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan, Tesis, (Medan, PPS USU, 2005), halaman 83.


(47)

Hak-hak adat maupun hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata, sungguhpun ada juga orang-orang Bumi Putera yang mempunyai hak atas tanah yang berstatus hak Barat selain golongan Eropa dan Timur Asing termasuk golongan China.

Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Geran lama, Geran Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan menirukan system pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di Pulau Jawa.37

Selain itu ditemukan juga alas hak atas tanah berupa surat-surat yang dibuat oleh para Notaris atau yang dibuat oleh Camat dengan berbagai ragam bentuk untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat.

Penerbitan bukti-bukti penguasaan tanah tersebut ada yang dibuat di atas tanah yang belum dikonversi maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan kemudian tanah dimaksud diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur

37


(48)

oleh Kepala-kepala Desa dan disahkan oleh para Camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.38

Khusus terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang telah dikuasai oleh seseorang, maka surat-surat tersebutlah yang dijadikan sebagai alas hak atau bukti perolehan atau pemilikan tanah yang diajdikan sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya.

Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah yang diketegorikan sebagai alas hak telah ditentukan secara limitatif dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni :

a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan bahwa hak eigendomnya dikonversi menjadi hak milik atau,

b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan,

38


(49)

c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;

d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959;

e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban mendaftarkan haknya, tetapi dipenuhi semua kewajiban yang ada

f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum PP ini;

g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahya belum dibukukan;

h. Akta Ikrar Wakaf /surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977; atau

i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan;

j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

k. Petuk Pajak Bumi / Landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961;

l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau


(50)

m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Surat-surat yang dikategorikan sebagai alas hak atau data yuridis atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak, pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah ada ganti rugi.

Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang bunyinya "sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus menguasai tanah yang dimohonkan yang dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 39

Selanjutnya Pasal 10 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) angka 2, Pasal 34 angka 2 dan Pasal 50 angka 2 Peraturan tersebut ditentukan bahwa data yuridis atau alas hak antara lain sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah atau tanah yang dibeli dari Pemerintah, Akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.

39

Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, (Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006), halaman 65.


(51)

Penguasaan tanah tersebut menurut pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh subyek hak, maka Pemerintah sebagai pemangku Hak Menguasai Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya memberikan hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan penerbitan keputusan pemberian haknya.

Sedangkan terhadap pemilikan atau penguasaan atas tanah yang ditandai dengan adanya hak-hak lama (berasal dari hak-hak Adat dan hak-hak Barat, dilakukan pengaturannya dengan menegaskan atau mengakui hak-hak lama (konversi).

Selanjutnya kepada penerima hak atau yang ditegaskan/diakui hak-hak lamanya diterbitkan produk hukum berupa sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum atas penguasaan/pemilikana tanahnya.

Kedua, mengenai Penggunaan Tanah, dalam hal ini perlu dibahas karena pemilikan tanah berkaitan erat dengan penggunaan tanah, sebab penggunaan tanah selain dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan jenis hak atas tanah yang akan diberikan juga mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena tanah dapat dimanfaatkan secara horizontal maupun


(1)

mengatur tentang penetapan hak atas tanah yang obyek tanahnya berada di pulau-pulau kecil .

2. Pelaksanaan pengaturan penggunaan tanah di pulau-pulau yang berada di wilayah Pulau Batam terdapat dualisme, yakni dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan yang di dalam ketentuannya memberikan kewenangan untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya, dan juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam yang telah menerbitkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 20 tahun 2001 jo Nomor 2 tahun 2004, sunggupun pada kenyataannya, pengaturan penggunaan tanah tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan di lapangan sesuai dengan RTRW Kota Batam, baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh warga masyarakat.

3. Perlindungan hukum terhadap kepemilikan rakyat atas tanah di Pulau Batam yang dapat dilakukan oleh Pemerintah melalui instansi Badan Pertanahan Nasional hanya berupa perlindungan secara minimal, yakni dengan cara menolak permohonan pendaftaran Hak Pengelolaan apabila masih ada penguasaan rakyat di atasnya. Seharusnya perlindungan hukum dapat dilakukan secara maksimal dengan melakukan pendaftaran atas tanah milik rakyat, sebab dengan mendaftarkan tanah milik masyarakat berarti bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum atas kepemilikan tanah tersebut, sedang menciptakan kepastian hukum melalui pendaftaran tanah mempunyai sasaran untuk mencapai perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah.


(2)

B. Saran-Saran

1. Agar aspek pemilikan tanah menjadi pertimbangan penting dalam hal pemberian hak atas tanah di Pulau Batam terutama yang telah ada bukti penguasaan secara fisik dan didukung bukti tertulis dari aparat pemerintahan daerah dan pengakuan dari masyarakat setempat. Untuk penguatan hak-hak rakyat atas tanah agar dapat disertipikatkan tanah milik rakyat tersebut atau apabila tetap dimasukkan dalam areal Hak Pengelolaan, kepada masyarakat pemilik tanah dapat dipertimbangkan untuk diberikan hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan.

2. Agar aspek penggunaan atau pemanfaatan tanah pada pulau-pulau di Pulau Batam memperhatikan kelestarian lingkungan, perlu dilaksanakan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Batam oleh semua pihak baik pihak Otorita Batam mapun masyarakat pemilik tanah dan perlu penegasan dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaan atau dicantumkan dalam sertipikat bahwa pemegang Hak Pengelolaan dan hak-hak yang dibebaninya harus melaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut . .

3. Agar Pemerintah segera membuat aturan khusus yang secara tegas memperbolehkan pelayanan pendaftaran tanah di atas tanah milik masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil sebagai upaya perlindungan hukum bagi rakyat pemilik tanah sekaligus sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU :

Adiwarman, 2003, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan,

Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan.

Ali, Zainuddin, 2008, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional, 2002, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta.

Bakri, Muhammad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Citra Media, Yogyakarta

Chomzah, Ali Ahmad , 2004, Hukum Agraria, Jilid-I, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta

Dalimunthe, 2000, Chadidjah, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannnya, FH USU Press, Medan

Dijk, Van, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung

Dirman, 1958, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, JB. Volters, Jakarta

Emri, 2005, Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan, Tenis, PPS USU, Medan

Hadi, Sutrisno, 1989, Metodologi Reseacht, Andi Offset, Jogyakarta.

Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Penerbit Djambatan, Jakarta, edisi revisi, cetakan ke-9

Harsono, Boedi,1994, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Harahap, A.Bazar Dkk, 2005, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, Sandipeda, Jakarta

Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Rajawali Pers, Jakarta.

Hermit, Herman, 2008, Pembahasan Undang Undang Penataan Ruang (UU No. 26 tahun 2007), Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung.


(4)

Hutagalung, 2005, Arie S. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Perberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta

Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Komandoko, Gamal, 2010 Ensiklopedia Pelajar dan Umum, Pustaka Widyatama, Yogyakarta

Kusumaatmaja, Mochtar, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung

Lubis, Mhd, Yamin, dan Lubis Abd. Rahim. 2008, Hukum Pendaftaran Tanah,

Mandar Maju, Bandung

Mertokusumo Sudikmo, 1995, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , Liberty Yogyakarta,

MD Mahfud, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta

Moekijat, 1996, Kamus Agraria, Mandar Maju, Bandung

Muhammad, Busar, 1984, Asas-asar Hukum Adat (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta.

Nasution, Lutfi I, 2002, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju, Bandung

Noor, Aslan, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Rakyat Indonesia, Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju Bandung.

Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Development Progress of Batam Indonesia, Edisi Pertama 2010

Parlindungan, AP, 1993, Komentar Atas Undang Undang Penataan Ruang, Mandar Maju, Bandung.

---, 1993, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung

---, 2003, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Mandar Maju, Bandung. ---, 2003, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung

--- 1993, , Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung

Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta


(5)

Raharjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Salman, HR. Otje dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Rafika Aditama, Bandung. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, Methodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,

Ghalia Indonesia, Jakarta,

Sihombing, BF, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Jakarta

Sitorus, Oloan, dan HM Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta Suardi, 2005, Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta

Sunny, Ismail, 1979, Mekanisme Demokrasi Pancasila. Aksara Baru, Jakarta

Sumardjono, Maria SW, 2001, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta

---, 2008, Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit Arkola, Surabaya.

Thamzil, Muhammad, 2010, Pemberian Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daeran Industri Pulau Batam (OPDIB) dan Implementasinya kepada Pihak Pengembang (developer) di Kota Batam, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Batam.

Walijatun, DJoko, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006, hal.

Wahid Muchtar, 2008, Memaknai Kepastian Hukum hak Milik Atas Tanah,Penerbit Republika, Jakarta

Yamin, Muhammad, 2004, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria, Insist Press, KPA & Pustaka Pelajar, Yogyakarta

TERBITAN BERKALA


(6)

Harian Republika,terbitan tanggal 2 Maret 2006. Majalah Gatra, , terbitan 22 Agustus 2007, http://www.Batam.go.id

http://www.batam.go.id/home/sejarah_ob.php

Peraturan Perundangan

Undang Undang Dasar 1945 dan Perubahannya

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No. 24 tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang No. 26

tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah