Nilai Bushido dan Penyimpangannya dalam Dwilogi Novel Samurai Karya Takashi Matsuoka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

  Penelitian mengenai bushido dan penyimpangannya dalam karya sastra Jepang yang berjudul Samurai karya Takashi Matsuoka sepanjang yang diketahui belum ada. Namun penelitian mengenai bushido dalam karya sastra yang lain cukup sering ditemukan. Di antaranya adalah: 1.

  Skripsi dari Universitas Sumatera Utara yang berjudul Etika Bushido dalam Novel Shiosai karya Yukio Mishima yang diteliti oleh Anto Gultom. Skripsi ini memfokuskan pada etika bushido di dalam novel Shiosai yang menekankan pentingnya sebuah kesetiaan dalam menjalankan suatu tanggung jawab walaupun beban tugas yang diberikan cukup berat. Etika moral

  bushido ini adalah keberanian, kejujuran, kehormatan, kesopanan, kebajikan, kesetiaan, ketulusan dan keteguhan hati.

2. Skripsi dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 2010 yang berjudul

  Analisis Tujuh Prinsip Bushido dalam Novel Young Samurai the Way of the

  S word’ karya Chris Bradford oleh Wulandari Fikri. Penelitian ini

  menggunakan metode deskriptif.

  Novel Young Samurai ’the Way of the Sword’ merupakan sebuah novel yang menyajikan sisi kehidupan masyarakat

  Jepang pada abad ke-16. Dimana pada saat itu merupakan zaman yang penuh dengan sejarah kebangkitan feodal Jepang. Zaman tersebut merupakan zaman yang banyak melahirkan kekuatan-kekuatan militer Jepang, seperti dengan adanya kemunculan bushi atau yang dikenal dengan samurai pada saat sekarang. Dalam bushido terkandung beberapa prinsip dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup seorang samurai. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat bushido yang harus dimiliki seorang samurai menurut Bradford terdiri dari tujuh prinsip antara lain, gi (integritas), yu (keberanian),

  jin (welas asih atau kasih sayang), rei (hormat), makoto (kejujuran), meiyo

  (martabat), dan chungi (kesetiaan). Novel

  Young Samurai ’the Way of The Sword’, menceritakan kisah Jack seorang anak berusia dua belas tahun

  berkebangsaan Inggris yang telah belajar memahami banyak hal tentang pelajaran-pelajaran mengenai berbagai macam nilai-nilai bushido di sebuah sekolah yang bernama Niten Ichi Ryo setelah ia diangkat sebagai anak oleh seorang daimyo yang bernama Masamoto. Kisah ini terjadi pada zaman Edo, dimana pada zaman ini merupakan zaman yang memuat sejarah kebangkitan feodal Jepang, yang melahirkan sistem militer Jepang, seperti dengan terbentuknya bushi atau samurai.

3. Skripsi dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 2010 yang berjudul

  Analisis Nilai Kesetiaan Bushidou Dihubungkan dengan Karoushi karya Johan Kristian Napitupulu. Pada zaman feodal di Jepang bushido merupakan konsep pengabdian diri bushi. Di dalam ajaran bushido terdapat nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kesetiaan, kehormatan, kebajikan dan keteguhan hati. Pada awalnya konsep pengabdian diri bushi disebut dengan bushido yang ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, sehingga anak buah melakukan junshi yaitu bunuh diri mengikuti kematian tuannya. Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban samurai untuk mentaati nilai-nilai bushido. Perilaku junshi yang dilakukan bushi merupakan salah satu cerminan perilaku dari adanya budaya rasa malu di Jepang. Prinsip ketidakmampuan. membalaskan budi baik tuan membuat mereka melakukan pengabdian yang mutlak diluar dari pemikiran rasional. Rasa malu mengakibatkan pengabdian yang paling tinggi yang dilakukan para bushi terhadap tuannnya. Dalam hal ini rasa malu bagi bushi dapat diartikan dengan jalan kematian sehingga menjadi pedoman bagi setiap bushi. Seorang bushi membalaskan budi baik tuannya dengan cara mengabdi sampai mati untuk tuannya dengan melakukan junshi. Apabila seorang bushi tidak melakukan junshi setelah kematian tuannya maka masyarakat akan menilainya bushi pengecut sehingga ia akan merasa malu.

  Pada masa modern ini corak pengabdian diri bushi terlihat pada fenomena karoshi. Karoshi dapat diartikan kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja. Fenomena karoshi yang terjadi pada pekerja di Jepang, memiliki kesamaan dengan perilaku junshi yang dilakukan oleh kaum bushi, yaitu sebagai bentuk pengabdian terhadap atasan.

4. Skripsi dari Unversitas Sumatera Utara pada tahun 2010 yang berjudul

  Analisis Kesetiaan pada Tokoh-Tokoh Samurai dalam Komik Shanaou Yoshitsune karya Sawada Hirofumi karya Marnita Widya U.N. Simbolon.

  Komik Shanaou Yoshitsune karya Sawada Hirofumi merupakan komik yang menceritakan tentang kesetiaan para samurai dalam memperjuangkan kehormatan klannya (keluarga), yang telah direbut oleh klan samurai lain. Di dalam cerita ini terdapat 3 jenis makna kesetiaan berdasarkan Bushido secara umum, yaitu kesetiaan berdasarkan ekonomi, kesetiaan berdasarkan moral dan kesetiaan berdasarkan keterpaksaan. Makna kesetiaan itu sendiri merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang samurai sehingga mereka rela mengorbankan nyawanya sendiri. Samurai merupakan kaum petarung yang mempunyai kemampuan dalam seni bela diri. Selain pedang, seorang samurai juga memiliki banyak kemampuan dan keahlian dalam menggunakan busur dan panah. Para samurai akan menjadi seorang ksatria semenjak ia mulai menjadikan dirinya seorang samurai sampai ia mati. Mereka tidak mempunyai rasa takut terhadap bahaya. Kumpulan samurai disebut dengan Bushi. Sedangkan Bushido merupakan prinsip hidup samurai dalam ajaran Shinto. Dalam ajaran Shinto, Bushido dibekali dengan ajaran kesetiaan dan patriotisme. Bagi seorang samurai, penghormatan adalah segalanya.

  Kehormatan terbesar adalah kemampuannya untuk melakukan Bushido, yang apabila dilihat dari kanjinya bermakna, “jalan hidup ksatria”. Ini merupakan kode etik dan jalan hidup bagi seorang samurai di Jepang. Bushido lebih ditekankan pada pelayanan diri sendiri, keadilan. Rasa malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah hati, kesederhanaan, semangat bertarung, kehormatan, kasih sayang, dan yang paling utama adalah kesetiaan.

5. Penelitian dari Universitas Airlangga pada tahun 2006 yang berjudul

  Representasi Nilai-Nilai Bushido dalam Film Produksi Hollywood: Studi Semiotik Tentang Representasi Nilai-Nilai Bushido dalam Film The Last Samurai karya Jatu Arrumurti Mursito. Film, sebagai suatu media penyampai pesan sekaligus sebagai sebuah produk budaya, film juga fak lepas dari kekuasaan yang dimiliki oleh pembuat film untuk memasukkan berbagai nilai maupun elemen yang mendasari hal yang tampak dalam film tersebut. Budaya Jepang, dalam konteks ini yaitu Bushido, sebagai pedoman moral yang menjadi tuntunan dalam menjalankan prinsip hidup seorang samurai yang ingin direpresentasikan melalui kacamata budaya barat, yaitu Hollywood. Bushido, sebagai sebuah elemen dari budaya Jepang tentunya dengan berbagai macam nilai di dalamnya dianggap sebagai suatu realitas kemudian diangkat menjadi sebuah representasi identitas kultural dalam film The Last Samurai. Dimana, dalam representasi tersebut sudah tentu termuati kandungan makna dari suatu budaya timur yang coba diangkat ke dalam sebuah media oleh budaya barat, dalam konteks ini adalah Hollywood. Fokus permasalahan dari penelitian ini, yaitu tentang bagaimana nilai-nilai Bushido direpresentasikan dalam film produksi Hollywood, yakni The Last Samurai. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu realitas ditampilkan kembali dalam sebuah film yakni The Last Samurai.

  Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menggali data yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan, yakni representasi dalam film produksi

  Hollywood dalam film The Last Samurai. Melalui pendekatan kualitatif dan menggunakan metode semiotik, maka informasi yang diperoleh akan diatur ke dalam pola-pola tertentu, yang kemudian diinterpretasi dan ditarik kesimpulan mengenai representasi Bushido dalam film produksi Hollywood, yakni The Last Samurai. Dari hasil analisis dan interpretasi peneliti melalui data yang diambil, serta mengacu pada beberapa literatur yang membahas mengenai sejarah budaya Jepang, peneliti menginterpretasi bahwa dalam film ini enam prinsip nilai yang terkandung dalam Bushido direpresentasikan melalui tiga level semiotik. Keenam nilai tersebut, yakni honour (kehormatan), loyality (kesetiaan), bravery (keberanian), discipline (kedisiplinan ), sincerity (kejujuran), serta politeness (kesopansantunan).Masing-masing dari keenam nilai tersebut terepresentasi pada tiga level dalam semiotik yang digunakan untuk menganalisis data, yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi.

  Oleh karena itu, penelitian terhadap nilai bushido dan penyimpangannya dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka ini perlu dilakukan, dengan harapan dapat menambah informasi mengenai nilai bushido dan penyimpangannya yang terdapat dalam karya sastra Jepang.

  Bushi adalah golongan militer yang dikenal juga sebagai ahli-ahli pedang

  Jepang atau disebut juga dengan samurai. Benedict (1982: 335) mengatakan samurai adalah prajurit feodal yang berpedang dua. Situmorang (1995: 11) menjelaskan bahwa bushi adalah kelompok petani yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya kizoku (keluarga bangsawan) dalam mempertahankan eksistensi shoen dan

  

dozoku tuannya yang mengakibatkan para bushi saling berperang. Setelah bushi

  berhasil menjalankan tugasnya, lama kelamaan mereka tidak tergantung lagi pada

  

kizoku melainkan kizoku akhirnya bergantung pada bushi. Sehingga kelompok bushi

ini menjadi kelompok yang disegani.

  Bushido atau jalan hidup bushi menurut Kawakami dalam Bellah (1985: 121)

  pada awalnya berkembang dari kebutuhan-kebutuhan praktis para prajurit, selanjutnya dipopulerkan oleh ide-ide moral Konfusius tidak hanya sebagai moralitas kelas prajurit tetapi juga sebagai landasan moral nasional. Kelas samurai secara sangat sadar dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas.

  Benedict (1982: 333) mengatakan bushido adalah tata cara samurai yang merupakan sebuah perilaku tradisional yang ideal. Inazo Nitobe (dalam Benedict, 1982: 333) mengatakan bushido adalah perpaduan antara kehormatan, kesopanan, kesetiaan dan pengendalian diri.

  Tsunetomo dalam Religi Tokugawa mengatakan 4 sumpah bushi sebagai berikut: 1. supaya bushi mampu mematuhi peraturan yang berlaku bagi bushi 2. supaya menjadi bushi yang berguna bagi tuan 3. supaya menjadi bushi yang mengabdi kepada orang tua 4. supaya menjadi bushi yang berhati jujur kepada sesama manusia.

  Kesetiaan ini diwujudkan dengan bunuh diri mengikuti kematian tuannya ataupun mewujudkan balas dendam tuannya. Bushido lama dapat ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya dan kemudian diikuti dengan pengabdian kepada orang tua (Situmorang, 1995: 21).

2.2 Konsep

2.2.1 Falsafah Samurai (Bushido)

  Sistem nilai budaya terdiri atas konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar masyarakat. Konsep-konsep tersebut berkenaan dengan hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat. Misalnya dalam masyarakat Jepang ada sistem nilai budaya filsafat samurai (bushido) yang bersumber dari ajaran Buddha aliran Zen, Shintoisme dan Konfusionis.

  Bushido terdiri dari kata bushi (ksatria atau prajurit) dan do (jalan). Bushido

  atau jalan ’ksatria’ merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (abad 12-19). Makna

  

bushido secara umum adalah sikap rela berkorban bagi pimpinan atau negara. Pada

  zaman feodal itu, pengelompokan dalam masyarakat amat ketat dijalankan, dimana

  

bushi atau samurai menempati posisi tertinggi. Mereka sangat disegani dan ditakuti

  oleh masyarakat, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku bentuk etika, diterapkan dengan ketat, dan diajarkan pada masyarakat.

  Kode bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hukum tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, serta mempersiapkan kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuannya. Mereka mengabdikan kesetiaan itu sebagai standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan.

  Bushido sudah terimplementasikan secara baik dan sudah menjadi sistem

  kepribadian bagi setiap masyarakat Jepang (Agustian, 2010: 40). Nilai-nilai tersebut yaitu:

  1. Gi ( 義 - integritas ) : mempertahankan etika dan menjaga kejujuran Seorang Samurai senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan kebenaran.

  Integritas merupakan nilai Bushido yang paling utama. Kata integritas mengandung arti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam falsafah bushido, dan merupakan dasar bagi insan manusia untuk lebih mengerti tentang moral dan etika.

  “Seorang ksatria harus paham betul tentang yang benar dan yang salah, dan berusaha keras melakukan yang benar dan menghindari yang salah. Dengan cara itulah bushido biasa hidup.” (Kode Etik Samurai)

  Integritas bisa diartikan kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, atau ketulusan. Semua arti kata itu tepat sekali mendukung pembentukan sosok pribadi manusia sesuai yang diharapkan yaitu manusia yang ”paripurna” atau secara sederhana ialah manusia yang penuh dengan ”kemuliaan”. Dalam kamus Oxford memiliki dua arti yang terkait dengan kepribadian seseorang: jujur dan utuh. Integritas berasal dari bahasa Latin ”integrate” yang artinya komplit. Kata lain dari komplit adalah tanpa cacat, sempurna, tanpa kedok. Maksudnya adalah apa yang ada di hati dan yang kita ucapkan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan adalah sama.

2. Yū (勇 – Keberanian) : berani dalam menghadapi kesulitan

  Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip keberanian yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan.

  Keberanian merupakan ciri para samurai, mereka siap dengan risiko apapun termasuk mempertahankan nyawa demi memperjuangkan keyakinan.

  Keberanian mereka tercermin dalam prinsipnya yang menganggap hidupnya tidak lebih berharga dari sebuah bulu. Namun demikian, keberanian samurai tidak membabibuta, melainkan dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin.

  Keberanian merupakan aset yang sangat berharga bagi siapapun yang hidup di dunia ini. Tanpa keberanian seseorang tidak akan menjadi siapa-siapa dan tidak akan meraih kesuksesan. Keberanian bisa menjadikan samurai yang dianggap mustahil menjadi kenyataan. Keberanian memungkinkan seseorang untuk keluar dari kesulitan dan bahkan berhasil meraih kesuksesan.

  Yang menarik dalam kode bushido dijelaskan bahwa sikap pemberani tidak saja terlihat dalam situasi perang, namun juga dalam keadaan damai. Keberanian bukanlah sesuatu yang hanya tampak pada saat seseorang mengenakan baju besi, mengangkat senjata, lalu bertempur dalam peperangan. Perbedaan antara sikap berani dan sikap pengecut itu sudah bisa tampak dalam kehidupan sehari-hari meski tanpa perang.

  3. Jin (仁

  • – Kemurahan hati) : mencintai sesama, kasih sayang dan simpati memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan (yang). Jin

  Bushido

  mewakili sifat feminin. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi berperang, para

  

samurai harus memiliki sifat pengasih dan peduli pada sesama manusia. Sikap ini

  harus tetap ditunjukkan baik di siang hari yang terang-benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.

  Kasih sayang dan kepedulian tidak hanya ditujukan pada atasan dan pimpinan namun pada kemanusiaan. Sikap ini harus tetap ditunjukan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.

4. Rei (礼 – Menghormati) : Hormat kepada orang lain.

  Ksatria tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang waktu. Sikap santun dan hormat tidak saja ditujukan pada pimpinan dan orang tua, namun kepada tamu atau siapa pun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan benda ataupun senjata. Hingga saat ini kesantunan para samurai masih terlihat pada cara orang Jepang merundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.

  ”Apakah kau sedang berjalan, berdiri diam, sedang duduk, atau sedang bersandar, di dalam perilaku dan sikapmu lah kau membawa diri dengan cara yang benar-benar mencerminkan prajurit sejati. (Kode Etik Samurai) 5. Makoto atau (信 – Shin) : Kejujuran dan tulus-ikhlas.

  Jujur dan tulus ikhlas merupakan kode etik samurai yang berarti berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang siapapun.

  6. Meiyo (名誉

  • – nama baik) : Menjaga kehormatan diri dan kemuliaan Bagi samurai cara menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode

  

bushido secara konsisten sepanjang waktu dan tidak menggunakan jalan pintas yang

  melanggar moralitas. Seorang samurai memiliki harga diri yang tinggi, yang mereka jaga dengan cara perilaku terhormat. Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menghindari perilaku yang tidak berguna. Malu adalah budaya leluhur dan turun-temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran.

  ”Jika kau di depan publik, meski tidak bertugas, kalau tidak boleh sembarangan bersantai. Lebih baik kau membaca, berlatih kaligrafi, mengkaji sejarah,

  7. Chūgo (忠義 – kesetiaan) : Kesetiaan kepada satu pimpinan dan guru Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas.

  Kesetiaan seorang ksatria tidak saja saat pimpinannya dalam keadaan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. Puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan.

  ”Seorang ksatria mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melakukan pelayanan tugas.” (Kode Etik Samurai)

8. Tei (悌) : Menghormati orang tua dan menghargai tradisi

  Samurai sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka harus memahami silsilah keluarga juga asal-usulnya. Mereka fokus melayani dan tidak memikirkan jiwa dan raganya pribadi.

  ”Tak peduli seberapa banyak kau menanamkan loyalitas dan kewajiban keluarga di dalam hati, tanpa prilaku baik untuk mengekspresikan rasa hormat dan peduli pada pimpinan dan orang tua, maka kau tak bisa dikatakan sudah menghargai cara hidup samurai.

  (Kode Samurai).” Dalam masyarakat Edo, bushi sering dikatakan sebagai pemelihara moralitas, karena pekerjaan bushi bukan mengolah, bukan berdagang dan bukan berperang. Di dalam masyarakat yang damai karena tidak ada perang maka bushi menjadi penganggur. Oleh karena itu dalam ajaran shido dikatakan bahwa bushi harus menyadari eksistensinya sebagai hati di dalam badan. Bushi adalah sebagai guru masyarakat.

2.2.2. Sejarah Samurai

  Asal muasal kaum samurai dimulai pada keluarga Yamato, yaitu klan terkuaat di Jepang hingga abad ketujuh Masehi. Istilah samurai, berasal dari kata kerja bahasa Jepang saburau yang berarti ‘melayani’. Pada awalnya istilah mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Yang dinamakan samurai hanya mereka yang lahir dari keluarga terhormat dan ditugaskan untuk menjaga anggota keluarga kekaisaran.

  Selanjutnya keluarga Yamato kesulitan mempertahankan kekuasaannya dan mulai mendelegasikannya pada mantan pesaing yang berfungsi sebagai gubernur.

  Ketika kekaisaran Yamato makin melemah, para gubernur lokal justru makin kuat. Beberapa gubernur mereka menguasai negara hingga tahun 1867. Seiring berjalannya waktu, semua naggota kelas penguasa, mulai dari shogun hingga ksatria yang paling rendah secara umum disebut sebagai samurai.

  Pada awal sejarah samurai, khususnya pada masa berlaku pertarungan satu lawan satu, pertarungan berdasarkan pada kemuliaan para prajuritnya. Para petarung saling menghargai satu sama lain. Mereka juga memiliki kehormatan diri yang sangat kuat, yang didasarkan pada ajaran etika prajurit.

  Beberapa peraturan berubah seiring berjalannya waktu dan dengan adanya perjanjian-perjanjian dengan prajurit asing. Salah satu dari perubahan tersebut terjadi pada abad ke-13, saat pasukan Mongolia menginvasi Jepang bagian Selatan. Perubahan ini terjadi karena jumlah pasukan Mongolia saat itu jauh mengungguli pasukan Jepang. Mereka juga memiliki senjata yang lebih canggih seperti meriam, panah beracun, dan pasukan pemanah yang mampu menembakkan panah bertubi-tubi dalam peperangan. Para prajurit Mongolia juga tidak menghargai etika keprajuritan seperti layaknya para samurai, maka sulit bagi para samurai untuk menerima cara bertarung yang demikian. Para samurai telah terbiasa mengenal secara personal musuh mereka, dan sekarang mereka harus melawan sebuah pasukan yang sama sekali asing. Etika yang dijunjung tinggi pada pertarungan-pertarungan sebelumnya pun tidak dapat diaplikasikan. Pengalaman melawan pasukan Mongolia mengajarkan para samurai bahwa tidak semua prajurit memiliki etika dalam bertarung.

  Pada tahun 1400, jumlah anggota kelompok samurai di Jepang mencapai angka 10 persen dari seluruh populasi masyarakat. Karena tidak ada masa peperangan, para samurai mulai merambah ke berbagai aspek budaya. Para samurai menggabungkan latihan keras dalam seni perang dengan studi ilmu klasik China seperti sastra, puisi, kaligrafi, seni lukis, dan seni keramik. Semakin tinggi derajat samurai termasuk shogun, maka semakin penting pula pelajaran tersebut baginya.

  Keadaan aman tanpa perang berlangsung hingga tahun 1467 sebelum akhirnya pemerintahan shogun melemah dan para daimyo mulai berusaha mengambil alih kekuasaan tertinggi dan era pedang dimulai lagi.

  Periode berikutnya dikenal dengan periode Sengoku –yang berarti periode perang- berlangsung selama 101 tahun. Pada masa itu serangkaian pertempuran dan peperangan hebat terjadi di kalangan daimyo untuk saling menguasai. Selama periode perang tersebut keahlian luar biasa dalam seni olah pedang serta senjata lain menjadi sebuah keharusan bagi para samurai. Setiap shogun dan daimyo di seluruh Jepang mebentuk dojo atau sekolah bela diri yang dipimpin oleh para master atau pendekar Jepang.

  Perang antar klan ini menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Tak terhitung banyaknya warisan seni dan budaya yang dihancurkan seperti kuil, bangunan kuno, perpustakaan yang hancur dan hilang lenyap.

  Masa beriktunya Jepang berhasil disatukan sehingga mencapai masa perdamaian oleh tiga shogun yaitu: Oda Nobunaga (1534-1582), Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), dan Tokugawa Ieyasu (1542-1616).

  Setelah satu abad lebih mengalami kekacauan, masa damai itu berdampak pada kemakmuran ekonomi dan perkembangan seni dan budaya yang terus meningkat. Arsitektur benteng menjadi marak, minat baru terhadap sastra dan puisi serta lukisan bermunculan. Upacara minum teh mencapai puncaknya sedangkan ilmu bela diri pun terus berkembang.

  Pada masa pemerintahan Tokugawa diberlakukan kebijakan pengasingan nasional. Semua orang Jepang dilarang meninggalkan negara secara permanen dan menolak semua orang asing mengunjungi Jepan. Jepang benar-benar terisolasi dari dunia internasional. Kebijakan ini menjadi faktor paling penting dan menyebabkan panjangnya masa pemerintahan Tokugawa hingga mencapai 250 tahun.

  Pada masa Tokugawa, samurai menduduki posisi sekaligus memiliki hak-hak istimewa. Bersama dengan keluarga mereka, samurai ini berjumlah sekitar 7-10% populasi nasional. Mereka diberi jaminan hak istimewa sosial yang lebih tinggi dan upah tetap yang turun-temurun berdasarkan undang-undang yang ditetapkan Hideyoshi dan dilanjutkan oleh Tokugawa.

  Meskipun mereka memiliki hak istimewa, namun sesungguhnya samurai pada masa ini adalah prajurit yang tidak menghadapi perang untuk dimenangkan. Oleh karena itu sebagian dari mereka mencari pekerjaan di bidang lain seperti pemerintahan atau mengajar. Pada masa ini, para samurai sangat besar kesadarannya sebagai sebuah kelas yang memiliki peran unik dan besar dalam sejarah Jepang. Mereka mengutamakan perbuatan dan tingkah laku leluhur mereka dan mencari kemuliaan pada perilaku samurai terdahulu. Di sinilah peran samurai dalam mebentuk karakter seluruh masyarakat Jepang dimulai, yaitu dengan memberikan contoh dan keteladanan kepada kasta yang lebih rendah.

  Samurai pada masa Tokugawa tersebut menggunakan waktu luang mereka untuk mendapat derajat pendidikan yang melebihi masa-masa sebelumnya. Selama periode ini, para samurai yang sudah mendalami berbgai disiplin ilmu lain di luar seni perang, secara kolektif mulai menuliskan ciri-ciri ideal seorang samurai yang dikenal dengan bushido atau jalan ksatria. Kode ini tidak bisa dijelaskan hanya dalam beberapa kata, namun intinya adalah keyakinan bahwa samurai harus memiliki kesetiaan mutlak pada tuan atau pemimpin mereka. Pada masa selanjutnya, samurai tidak perlu menguji ketaatan dan kesetiaan dengan kerasnya peperangan, namun mereka tetap mengabadikan kesetiaan itu sebagai standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan.

  Kode etik bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hukum tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, dan mempersiapkan kematian yang bisa terjadi sewaktu- waktu ketika melayani tuannya.

  Bushido kemudian menjadi sebuah hukum dan budaya yang membentuk

  karakter dan perilaku masyarakat Jepang secara umum, meliputi berbagai aspek kehidupan hingga mencapai tingkatan yang belum pernah diraih sebelumnya. Para pun mengajari kode etiknya kepada anak-anak Jepang selama masa sakoku

  samurai (isolasi) hingga mencapai 250 tahun.

  Merapatnya kapal-kapal hitam Amerika di perairan Jepang pada 1853 secara militer memaksa Tokugawa untuk membuka pintu gerbang Jepang dan mengakhiri masa ketertutupan (sakoku).

  Laksamana Perry yang memimpin angkatan laut Amerika kemudian mengajak berunding agar Jepang membuka diri kepada pihak asing. Diharapkan Shogun membolehkan kapal asing merapat di pelabuhan Jepang dan mengijinkan perdagangan. Saat itu Tokugawa tersadar tradisi yang kaku dan pemerintahan feodalistik tidak bisa mempersatukan dan membangun Jepang. Selanjutnya kekuasaan diserahkan kepada Kaisar Meiji, maka terjadilah modernisasi dan perubahan besar-besaran. Pada era inilah terjadinya penggabungan antara sains barat dan bushido dari timur.

  Sistem feodal kuno dan kelas samurai dihapuskan secara resmi. Meiji memerintahkan para samurai untuk menyarungkan semua katana dan menggantinya dengan undang-undang. Saat itu dua juta samurai dikembalikan ke masyarakat, mereka belajar bahkan pergi ke Amerika. Mereka juga menerjemahkan berbagai buku asing. Pedang diganti dengan pena, namun semangat bushido masih membara di hati para samurai.

  Perjalanan sejarah menyadarkan masyarakat Jepang untuk selalu mengingat tradisi dan asal-usul semangat mereka. Karena itu masyarakat Jepang menyadari bahwa dunia fisik dan dunia spiritual memiliki kedudukan yang sama-sama penting, dan upaya untuk memisahkan keduanya atau membiarkan keduanya dalam keadaan tidak seimbang akan menghasilkan suatu ketidakharmonisan yang berpotensi menimbulkan bencana dan kerusakan. Kebijaksanaan kuno yang dikenal dengan kode

  

bushido menyatu dalam semua aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.

  Dengan tetap memiliki semangat itu, mereka membangun Jepang dengan mempergunakan sains dan teknologi.

2.2.3 Novel

  Secara garis besar karya sastra dibagi atas tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. Salah satu bentuk karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat signifikan adalah prosa. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah karya sastra yang berbentuk prosa, khususnya novel.

  Menurut Laelasari dan Nurlaila (2006: 166), ”novel diartikan sebagai prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang- orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.”

  Konsep novel yang lain dikemukakan oleh Semi (1988: 32). Menurutnya novel dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra yang memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas. Panjang cerita novel tentunya berbeda dibandingkan dengan cerpen. Jika cerpen memusatkan perhatian pada perwatakan dan satu masalah, maka novel lebih luas dari itu. Kedudukan perwatakan dan jalan cerita yang ditampilkan pengarang berada dalam satu keseimbangan. Hampir senada dengan Semi, Nurgiantoro (1998: 11) mengatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih rinci, lebih detil, dan kompleks.

  Menurut Umar Kayam dalam Nasution (2000: 22), novel mempermasalahkan kehidupan sehari-hari. Karya sastra (termasuk novel) merupakan media untuk menyampaikan ide, gagasan, protes, persetujuan, dan sebagainya.

  Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam pula.

  Namun ukuran luas di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang perspektif, setting dan lain- lainnya hanya satu saja.

  Para pakar sastra lain, seperti Wellek dan Austin (1989: 281) mengatakan bahwa novel-novel modern melukiskan manusia lahir, tumbuh, dan mati. Tokoh- tokohnya mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping itu, siklus kemajuan sebuah keluarga diuraikan sejelas mungkin.

  Novel dapat dikatakan sebagai salah satu wujud kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Meskipun bersifat fiksi, namun sebuah novel yang baik tentu berisikan perenungan secara intens, penuh kesadaran, serta tanggungjawab pengarang mengenai hakikat kehidupan.

2.3 Landasan Teori

  Sebuah karya sastra sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Pengarang menciptakan karyanya sebagai pengungkapan dari apa yang telah dilaksanakan, disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung.

  Seperti halnya ilmu-ilmu humaniora lainnya, sastra sebenarnya esensi dari kebudayaan. Penelitian suatu karya sastra memiliki manfaat agar manusia lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan bahkan ideologi yang diyakini pengarang. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka dalam sebuah penelitian karya sastra, peneliti memerlukan suatu teori yang menjadi suatu acuan dalam menganalisis karya sastra tersebut.

  Pada penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian ini merupakan kerangka dasar dalam penelitian. Teori yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori antropologi sastra. Antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu: antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide.

  Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai

  

animal rationale . Menurut Cassirer (1990: 65) sistem simbol mendahului sistem

  berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme.

  Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi, sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.

  Di pihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch (Ratna, 2004: 351), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu: a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, e) manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.

  Berdasarkan pada sebuah pengistilahan bahwa karya sastra itu adalah imajinasi. Tetapi perlu diketahui justru dalam daya imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-mainkan’. Selebihnya, disitulah letak fokus penelitian antropologi sastra.

  Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisiplin yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting, dan b) kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya, dan c) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos. Aspek yang kedua sering menimbulkan masalah dalam membedakan batas-batas penelitian di antara antropologi dan sastra.

  Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu sosial humaniora jelas mempermasalahkan manusia dalam masyarakat, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, sosiologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, antropologi sastra pada kebudayaan.

  Antropologi sastra memberikan perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat kuno, sedangkan sosiologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat modern, masyarakat kompleks.

  Antropologi sastra pada dasarnya sudah terkandung dalam penelitian- penelitian yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam kaitannya dengan mitos. Levi- Strauss juga memanfaatkan konsep oposisi biner, tabu, dan incest dalam rangka membangun teori mengenai kekeluargaan. Berbagai analisisnya terhadap antropologi yang didasarkan atas model linguistik jelas menandai hubungan yang tidak terpisahkan antara bahasa, sastra, dan budaya.

  Analisis pandangan dunia, khususnya menurut visi Goldmannian, misalnya, memerlukan pemahaman total terhadap ketiga disiplin tersebut. Pada gilirannya, disiplin sosiologi, psikologi, dan antropologi sastra dimungkinkan untuk mempermasalahkan objek yang sama, sebagai mulitidisiplin. Seperti disinggung di atas, karya sastra mempunyai kebebasan dalam memasukkan hampir keseluruhan aspek kebudayaan manusia. Sastrawan adalah kreator kata- kata, membangun dunia dalam kata. Sastrawan mampu membebaskan substansi kata-kata dan kalimat ke dalam citra (kata-kata dan kalimat) sehingga secara terus menerus tercipta dunia yang baru seolah-olah dilihat untuk pertama kali. Sastrawan memiliki kebebasan sesuai dengan hukum-hukum imajinatif fiksional.

  Sama seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, antropologi sastra pun berfungsi untuk memperkenalkan kekayaan khasanah kultural bangsa sehingga masing-masing kebudayaan menjadi milik bagi yang lain.

  Lahirnya studi multikultural, postrukturalisme pada umumnya mendorong intensitas studi interdisiplin. Aspek-aspek kebudayaan sama sekali tidak bisa dipahami terpisah dari gejala yang lain. Sastra adalah bagian integral kebudayaan, menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Antropologi sastra mempermasalahkan karya sastra dalam hubungannya dengan manusia sebagai penghasil kebudayaan. Manusia yang dimaksudkan adalah manusia di dalam karya, khususnya sebagai tokoh-tokoh. Dalam hubungan inilah karya sastra merupakan studi multikultural sebab melalui karya sastra dapat dipahami keberagaman manusia dengan kebudayaannya. Sama seperti sosiologi sastra, analisis yang berkaitan dengan antropologi sastra yang dimaksudkan adalah karya sastra itu sendiri, dengan memanfaatkan teori dan data antropologi. Pada saat mencipta, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai kualitas bentuk maupun isi, pengarang menampilkan unsur-unsur tertentu khazanah kultural yang dihayati, sebagai unsur-unsur ketaksadaran antropologis.