Analisis Sosiologis Terhadap Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ Karya Takashi Matsuoka

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL SAMURAI ‘KASTEL AWAN BURUNG GEREJA’

KARYA TAKASHI MATSUOKA

TAKASHI MATSUOKA NO SAKUHIN NO “SAMURAI SUZUME NO KUMO NO SHOUSETSU” NI TAISHITE NO SHAKAI GAKU TEKI NA

BUNSEKI NI TSUITE SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH

MUSFAHAYATI AMALIA NIM: 060708043

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL SAMURAI ‘KASTEL AWAN BURUNG GEREJA’

KARYA TAKASHI MATSUOKA

TAKASHI MATSUOKA NO SAKUHIN NO “SAMURAI SUZUME NO KUMO NO SHOUSETSU” NI TAISHITE NO SHAKAI GAKU TEKI NA

BUNSEKI NI TSUITE SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panita Ujian fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH

MUSFAHAYATI AMALIA NIM: 060708043

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M. A

NIP : 19600827 1991 03 1 004 NIP : 19600019 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, karunia, kasih sayang dan ridho-Nya atas apa yang telah dan apa yang terjadi, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa pula shalawat beriring salam kepada Junjungan dan Panutan penulis nabi Besar Muhammad SAW, yang telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat manusia.

Penulisan skripsi yang berjudul “ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL SAMURAI ‘KASTEL AWAN BURUNG GEREJA’ KARYA TAKASHI MATSUOKA” ini diajukan untuk mmenuhi persyaratan dalam mencapai kesarjanaan di Fakultas Sastra Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi, M.A, selaku Dosen Pembimbing I, yang mana dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu,


(4)

pikiran, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini, dari awal hingga ujian skripsi ini selesai.

4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang mana dalam kesibukannya sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini, dari awal hingga ujian skripsi ini selesai.

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu membaca dan menguji skripsi ini. Tak lupa pula penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang, Pak Nandi, Pak Puji, Pak Amin, Pak Narita, Pak Erizal, Pak Ali, Bu Adriana, Bu Rospita, Bu Hani, Bu Rani, Bu Muhibah, Bu Murni dan Muto Sensei yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sebagai bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat meneyelesaikan perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat bagi banyak orang.

6. Seseorang yang selalu memberikan dukungan, telah membesarkan dan memperjuangkan pendidikan anak-anaknya sejak sekolah dasar hingga saat ini meskipun hanya seorang diri, mendoakan keberhasilan anak-anaknya dan mengaharapkan yang terbaik untuk anaknya, yaitu ibuku, Syir Aliyah, serta babah, Alm. Awaluddin Mustafa, buya, adikku satu-satunya Fatimah Zuhra, Muhammad Kamil yang selalu memberikan dukungan dan menjadi seseorang yang dapat kupercaya baik selama ini dan InsyaAllah hingga nantinya dan keluarga besar di Tanjung Pura maupun di Binjai khususnya kakakku Hj. Nurhidayati beserta keluarga yang telah menerimaku untuk tinggal bersama


(5)

dalam keluarganya selama kuliah. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka.

7. Untuk teman-temanku, Wulan, Ivana, Suci, Okky, Zulvi, Fadia, Farah, Nining, Tati, dan seluruh teman-teman angkatan 2006 Sastra Jepang S-1 yang namanya tak dapat disebutkan satu persatu. Senang bisa belajar bersama selama +

8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu hinnga selesainya skripsi ini. 4 tahun ini.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis kembalikan segala persoalan serta berserah diri dan selalu meminta petunjuk agar senantiasa dalam lindungan-Nya dan penulis menyadari bahwa tulisan ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangannya, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi dunia pendidikan dan bagi masyarakat luas pada umumnya khususnya mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, September 2010 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Perumusan Masalah ...5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...10

1.6 Metode Penelitian ...11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL DAN SOSIOLOGI SASTRA 2.1 Novel ...13

2.1.1 Definisi Novel ...13

2.1.2 Novel Sebagai Sebuah Karya Fiksi... ...14

2.1.3 Unsur-unsur Pembangun Novel ...16

2.1.4 Klasifikasi Novel ...20


(7)

2.2.1 Biografi Pengarang ...23

2.2.2 Setting Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ ...23 2.3 Sosiologi Sastra ...26

BAB III ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL SAMURAI ’KASTEL AWAN BURUNG GEREJA’

3.1 Sinopsis cerita ...32

3.2 Analisis Hubungan Interaksi Antar Tokoh Cerita Dalam

Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ ...33

3.2.1 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Daimyo ...33 3.2.2 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Rakyat ...38

3.2.2.1 Hubungan Interaksi antara Daimyo

dengan Samurai ...38 3.2.2.2 Hubungan Interaksi antara Daimyo

dengan Pedagang ...43 3.2.2.3 Hubungan Interaksi antara Daimyo

dengan Geisha ...45 3.2.2.4 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Petani ..50 3.2.2.5 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan


(8)

Golongan Eta ...52

3.3.3 Hubungan Interaksi antara Rakyat dengan Rakyat ...53 3.3.4 Analisis Dari Seluruh Hubungan Interaksi Antar Tokoh

Cerita Dalam Novel Samurai ’Kastel Awan Burung

Gereja’ ...54

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ...56 4.2 Saran ...57

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(9)

要旨

TAKASHI MATSUOKAの作品の侍すずめの雲の小説

に対しての社会学的な分析について

小説は面白くて、驚くを影響するための一つの文学作品性格として

である。一つの文学作品性格の小説はTAKASHI MATSUOKAの「侍すず めの雲」と言った題名をもつ小説であった。この小説は面白い文学作品で

あった。侍すずめの雲は最初にTAKASHI MATSUOKAの小説がインドネ シア語で書かれた。820枚で編成されていて、徳川時代頃 1861-

1867に物語のセッティングがあった。

この小説はげんじさんついての物語るであった。げんじさんはあか

おかの高貴なきんぐがおこみちのグループに入って、1600年にせきが

はらの戦争で敗北したグループであった。財力占うことができたので、こ

のグループがとても畏敬していた。げんじさんは将来を見ることができた

し、自分に死なれることができるようになった。げんじさんのおじさんは

しげるさんであった。しげるさんは一番強い侍であった。その侍、むさし

さんと同じであった。

しげるさんは日本重態は数千の人が見られて、電気のような体の蛇

が出たり、地方ぞいにを動いたりしたことであった。もちろん、事件は日

本の社会的なインテレケションに影響があった。インテレケションの関係


(10)

この小説で研究した問題は徳川時代の文学作品に対しての社会学的

な展望は日本で上流社会と上流社会のインテレケションは大名であった。

上流社会と下流社会「侍や、商人や、農民や、章句人や、芸者や、えたな

どであった」。下流社会と下流社会、つまり、国民であった。小説の建設

者の原料はインテリンシクとエクステリンシクであった。インテリンシク

は文学原料があった。つまり、テーマや、セッティングなどであった。一

方、エクステリンシクは伝統的や、革新や、政治や、生活環境や、宗教な

どであった。

「侍すずめの雲」小説の物語摘み取った物があったので、故人と故

人のインテレケションや、故人と社会のインテレケションや、社会と社会

のインテレケションも見られた。もちろん、インテレケションが違った。

つまり、積極的なインテレケションであった。例えば、礼節や、忠誠など

であった。一方、消極的なインテレケションもあった。例えば、競争や、

反抗などであった。

徳川の知識の一つは日本社会のとうぐんに別けた。上流社会と下流

社会のインテレケションや良かっ。管理があったので、インテレケション

の時多くの儀礼があった。一方、下流社会のインテレケションで、ゆっく

りで、気がよかった。下流社会といえば、上流社会とインテレケションを


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Mursal Esten, 1978:9). Menurut Roman Ingarden (Aminuddin, 1990: 112) beranggapan bahwa karya sastra merupakan wujud penggambaran gagasan punutur sastra.

Karya sastra adalah pekerjaan yang menghasilkan kesenian dan dapat menciptakan suatu keindahan, baik dengan bahasa lisan maupun tulisan, yang juga dapat menimbulkan rasa keharuan yang menyentuh perasaan kerohanian seseorang. Menurut Supardi (1979:1) bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya.

Karya sastra dapat dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Prosa kemudian terbagi lagi ke dalam jenis novel, cerita pendek dan roman. Menurut Nurgiyantoro dalam Friska Sihite (2008:3) novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya


(12)

tentu saja bersifat imajinatif. Sedangkan menurut Jacob Sumardjo dalam Friska Sihite (2008:3) novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, novel juga mengandung unsur pemikat dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Novel merupakan salah satu karya sastra yang dapat dijadikan suatu media untuk mengabadikan sesuatu yang menarik atau luar biasa atau untuk merekam zaman dan juga digunakan untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat itu.

Salah satu hasil karya sastra yang berupa novel adalah novel yang berjudul Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ yang ditulis oleh Takashi Matsuoka. Novel berjudul Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ merupakan salah satu karya sastra yang menarik, kental akan sejarah dan kehidupan masyarakat di zamannya, dapat merekam zaman dengan menggambarkan situasi yang terjadi saat itu. Dengan membaca dan menganalisis novel ini maka dapat memahami Jepang dan masyarakatnya.

Novel yang berjudul Samurai “Kastel Awan Burung Gereja” ini tediri dari 820 halaman dalam bahasa Indonesia. Novel ini merupakan novel pertama yang ditulis oleh Takashi Matsuoka. Takashi Matsuoka besar di Hawai. Sejak kecil Takashi sudah bercita-cita menjadi seorang penulis, mengikuti jejak sang ayah, reporter surat kabar di Hawai. Takashi sempat bekerja di kuil Buddha Zen yang melatarbelakangi ia fasih menggambarkan kehidupan spiritual di kuil Zen dalam bukunya. Novel pertamanya ini Samurai “Kastel awan Burung Gereja” (qanita, 2005) banyak mendapat pujian.

Novel ini berlatar belakang waktu Keshogunan Tokugawa berada pada akhir hayatnya, yaitu sekitar tahun 1861-1867. Berkisah mengenai Genji, seorang


(13)

bangsawan Agung Akaoka yang termasuk klan Okomuchi, klan yang kalah dalam pertempuran Sekigahara pada tahun 1600. Walaupun klannya termasuk klan yang kecil dan tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menyerang keshogunan Tokugawa, tetapi reputasi mengenai kemampuan meramal dari tiap generasi pimpinan klan ini membuat klan ini disegani.

Genji mampu melihat masa depan, dan mengetahui kematiannya. Kutukan ini pula yang membuat dia tidak takut bertempur karena ia tahu persis bagaimana dia akan mati. Paman Genji, Shigeru, seorang samurai terkuat yang setara dengan Musashi kala itu, mengalami begitu banyak penglihatan ke masa depan. Shigeru bisa melihat kondisi Jepang yang menurut pemahamannya dipenuhi oleh ribuan manusia yang berkumpul seperti semut serta munculnya ular-ular bertubuh listrik yang bergerak di sepanjang wilayah Jepang. Kondisi yang ia gambarkan dalam penglihatannya persis seperti keadaan Jepang modern di masa sekarang.

Novel ini sangat menarik, penuh intrik dan kejutan karena memiliki alur cerita yang melampaui masa lalu dan masa depan yang menciptakan seni tersendiri. Terdiri dari berbagai sudut pandang karakter, membuat pembaca memahami pemikiran karakternya dari sudut pandang mereka. Takashi Matsuoka membawa pembaca kembali ke era keshogunan Tokugawa tahun 1862 dimana tradisi samurai hendak dihapuskan dan diganti dengan senjata modern dan segala atribut barat serta permulaan masuknya misionaris ke wilayah Jepang yang kala itu dianggap sebagai bangsa bar-bar. Selama pemerintahan dipegang oleh keshogunan Tokugawa yang paling menonjol dalam politiknya adalah feodalisme yang membagi masyarakat dalam empat kelas, yaitu sistem Shinokosho dan politik sakkoku (politik isolasi).


(14)

Menurut Genji bangsanya tidak dapat terus hidup dalam tempurung jika hendak berdiri sejajar dengan bangsa asing di dunia, sehingga ia sebagai seorang daimyo mengadopsi pemikiran barat dan berusaha memasukkan pemikiran tersebut ke semua golongan. Dalam novel ini yang memiliki latar belakang keshogunan Tokugawa, membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial dapat terlihat bagaimana tingkatan-tingkatan golongan dalam masyarakat dan hubungan interaksi yang ada pada masyarakat Jepang di masa itu, hak serta kewajiban dalam setiap golongan yang mana bagi bangsa lain hak serta kewajiban tersebut sangat tidak manusiawi. Hubungan interaksi sosial antara golongan kelas atas seperti hubungan antar para daimyo dengan daimyo yang saling bersaing dalam memperebutkan kekuasaan, hubungan antara golongan kelas atas dengan golongan kelas bawah maupun golongan kelas bawah dengan golongan kelas bawah.

Dengan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti novel yang mengangkat kehidupan sosial masyarakat yang memiliki kehidupan dalam bentuk golongan atas bawah yang ada di Jepang pada masa keshogunan Tokugawa dan bagaimana hubungan interaksi sosial antar golongan masyarakat tersebut. Masyarakat golongan kelas atas adalah seperti daimyo dan golongan masyarakat kelas bawah seperti kalangan samurai, pedagang, petani, tukang, geisha dan bahkan golongan yang dianggap sebagai golongan yang sangat rendah sekalipun yaitu kaum Eta meliputi penjagal, penyamak, dan pengurus makam yang terdapat dalam novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’, maka penulis akan membahasnya melalui skripsi yang berjudul : ”Analisis Sosiologis Terhadap Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ Karya Takashi Matsuoka”.


(15)

1.2. Perumusan Masalah

Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi pengarang dengan masyarakat. Studi sosiologi didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat (Nyoman, 2003:1). Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif, dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Begitu juga dengan berupa karya sastra berupa novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ karya Takashi Matsuoka.

Di dalam novel ini banyak menunjukkan sosiologi masyarakat Jepang terutama pada akhir keshogunan Tokugawa yang berkisar tahun 1861-1867, yaitu mengenai interaksi atau hubungan antara orang perorang atau kelompok manusia dalam suatu masyarakat. Jika dihubungkan dengan kenyataan yang pernah terjadi, ada banyak perbedaan hubungan interaksi antar masyarakat tersebut. Maka masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimana kondisi umum masyarakat Jepang pada akhir keshogunan Tokugawa?

b. Bagaimana hubungan interaksi sosial antara masyarakat golongan atas dengan golongan atas seperti daimyo dengan daimyo, masyarakat golongan atas dengan masyarakat golongan bawah seperti daimyo dengan rakyat (samurai, petani, pedagang, dan kaum eta), dan masyarakat


(16)

golongan bawah dengan masyarakat golongan bawah yaitu rakyat dengan rakyat yang terdapat dalam novel Samurai “Kastel Awan Burung Gereja” tahun 1861-1867?

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan, pada hal yang berkaitan dengan masyarakat pada akhir keshogunan Tokugawa yang meliputi daimyo, samurai, masyarakat jelata, dan hubungan sosial antar masyarakat.

Analisis difokuskan kepada bentuk–bentuk interaksi sosial yaitu bentuk- bentuk yang tampak apabila orang perorangan ataupun kelompok manusia mengadakan hubungan satu sama lain terutama dengan mengetengahkan kelompok serta lapisan sosial sebagai unsur pokok sruktur sosial, yaitu hubungan interaksi para pelaku dalam masyarakat pada keshogunan Tokugawa, seperti hubungan interaksi sosial antara daimyo dengan daimyo, hubungan interaksi sosial daimyo dengan rakyat seperti samurai, petani, pedagang, geisha, kaum eta dan hubungan interaksi sosial rakyat dengan rakyat. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas, sehingga penulis dapat lebih terarah dan terfokus. Selain itu sebelum bab pembahasan (bab III) penulis manjelaskan tentang tinjauan umum terhadap novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’, kondisi masyarakat Jepang pada akhir keshogunan Tokugawa, riwayat hidup pengarang dan sosiologi sastra.


(17)

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. 4.1. Tinjauan Pustaka

Menurut Soekanto dalam Nur Illyani (2008:6), bahwa objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut antar manusia, dan proses yang timbal balik dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Menurut Macluer dan Page dalam Soekanto (2003:24) bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata krama, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan manusia.

Lebih lanjut, menurut Selo Sumardjan dalam Soekanto (2003:24) bahwa masyarakat adalah orang–orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Dari berbagai definisi yang berlainan di atas, pada dasarnya isinya sama, yaitu masyarakat mencakup beberapa unsur, yaitu:

a. Manusia yang hidup bersama.

b. Bercampur dalam waktu yang cukup lama.

c. Mereka sadar bahwa mereka adalah satu kesatuan. d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

Di dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ dapat dilihat bagaimana kehidupan masyarakat yang dipegang oleh kekuasaan Tokugawa, yang didapatnya melalui sebuah peperangan. Sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa kehidupan masyarakat pun ikut mengalami perubahan diantaranya ialah adanya pembagian golongan masyarakat berdasarkan kelas-kelas, perbedaan hak dan kewajiban dan sebagainya.


(18)

1.4.2. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Penelitian menurut Prof.Dr.Wiryono Nitisastro defenisi research itu bararti attention : “penyelidikan atau investigasi secara ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang keadaan (1981:8). Maka dari itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok–pokok pikiran yang nenggambarkan dari sudut mana penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39-40).

Teori merupakan pengetahun ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara–cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.

Penelitian yang dilakukan terhadap novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ ini merupakan penelitian sosiologis, yang merupakan proses pengungkapan kebenaran, yang didasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal dalam sosiologi sebagai ilmu. Konsep-konsep dasar tersebut merupakan sarana ilmiah yang dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran yang dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran yang ada dalam masyarakat (Soekanto, 2003:411).

Di dalam penelitian ini dibahas mengenai analisis sosiologis terhadap novel “Kastel Awan Burung Gereja”, oleh karena itu teori yang digunakan adalah sosiologi. Menurut Nyoman (2004:60) dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat.


(19)

Pada prinsipnya, menurut Laurensen dan Swingewood dalam Suwardi (2008:79) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya merupakan refleksi pada masa karya sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkapkan sastra sebagai situasi social penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Hal ini menegaskan bahwa sering kali tampil terikat. dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.

Novel Samurai “Kastel Awan Burung Gereja” berlatar belakang akhir keshogunan Tokugawa yang telah terjadi pada masa lalu, sehingga dalam hal menganalisis novel ini juga menggunakan pendekatan historis. Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.

Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang karya sastra, dan periode-periode tertentu dengan objek karya-karya individual. Hakikat karya sastra adalah imajinasi tetapi imajinasi yang memiliki konteks sosial dan sejarah. Dengan hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya (Nyoman, 2004: 66). Melalui pendekatan diatas, novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ dapat dilihat kehidupan sosial masyarakat Jepang pada saat itu.


(20)

Dengan pandangan kerangka teori di atas, maka di dalam penelitian ini akan ditunjukkan mengenai interaksi antar golongan dalam masyarakat pada akhir keshogunan Tokugawa yang dapat dilihat pada novel Samurai “Kastel Awan Burung Gereja” karya Takashi Matsuoka.

1.5. Tinjauan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kondisi umum masyarakat Jepang pada akhir keshogunan Tokugawa.

b. Untuk mengetahui hubungan interaksi sosial masyarakat golongan atas dengan masyarakat golongan atas seperti antara daimyo dengan daimyo, masyarakat golongan atas dengan masyarakat golongan bawah seperti daimyo dengan rakyat (samurai, petani, pedagang, geisha, kaum eta) dan hubungan interaksi sosial rakyat dengan rakyat pada masyarakat Jepang yang terdapat dalam novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ tahun 1861-1867.


(21)

1.5.2. Manfaat Penelitian

a. Dapat menambah pengetahuan tentang sejarah Jepang pada akhir keshogunan Tokugawa melalui novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’.

b. Dapat menambah pengetahuan mengenai sosiologi atau kehidupan masyarakat Jepang dan interaksi masyarakat Jepang pada akhir keshogunan Tokugawa melalui novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’.

1.6. Metode Penelitian

Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam cakupan kualitatif dan pendakatan historisme. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Menurut Whitney (1960) metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, dan pandangan-pandangan dalam masyarakat.

Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta–fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun,


(22)

mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data. Adapun penelitian sejarah (Historical Research) yaitu penelititan yang bertujuan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, mensintesis, memverifikasi bukti-bukti untuk menegakkan faka-fakta, dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research), yaitu dengan menelusuri sumber–sumber kepustakaan dengan buku–buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data diperoleh dari berbagai jurnal, artikel, buku, dan berbagai situs internet.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL DAN SOSIOLOGI SASTRA

2.1Novel

2.1.1 Defenisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harafiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudiam masuk ke dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehinggga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner.

Menurut Jacob Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur suspensi daam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan dari pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4) digolongakn sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction), yang terbagi atas (10 fiksi historical (historical fiction) atau novel historis, jika


(24)

menjadi dasar penulisan fakta sejarah, (2) fiksi biografis (biographical fiction) atau novel biografis, jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis, dan (3) fiksi sains (science fiction) atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu pengetahuan.

Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’” ini ke dalam novel historis karena terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber. 2.1.2 Novel sebagai Sebuah Karya Fiksi

Fananie (2000:6) mengungkapkan bahwa secara umum sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek-aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun efek makna.

Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra disamping genre-genre lainnya. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discource).

Menurut Altenbern dan Lewis dalam Nurgiantoro (1966:14), mengatakan bahwa fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur-unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman hidup


(25)

manusia. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, orang lain dan interaksinya dengan Tuhan.

Fiksi juga merupakan sebuah cerita, karena didalamnya terkandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Wellek dan Waren dalam Nurgiantoro (1956:22) mengutarakan betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan estetik.

Abrams (1981:61) mengungkapkan bahwa pada awalnya fiksi mengacu pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, tapi kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai peristiwa dan kondisi yang juga imajinatif. Kesemuanya itu walau bersifat noneksintensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan atau dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan pristiwa-peristiwa latar aktualnya, sehingga tampak sungguh ada dan terjadi, terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, karena daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas , menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, dan melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Oleh karena itu novel memiliki kelebihan yang khas.

Sebagai salah satu karya fiksi, novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Bentuknya lebih panjang, biasanya lebih dari 10.000 kata.


(26)

2. Jumlah pelaku dalam novel biasanya lebih dari satu.

3. Ditulis dengan gaya narasi, yang terkadang dicampur deskripsi untuk menggambarkan suasana.

4. Bersifat realistis, artinya merupakan tanggapan pengarang terhadap situasi lingkungannya.

5. Novel banyak menceritakan dan melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

6. Alur ceritanya cukup kompleks.

7. Novel juga sering menawarkan lebih dari satu tema.

8. Novel lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial.

Novel juga lebih menitikberatkan kepada tokoh manuasia dalam karangannya dari pada kejadiannya dan secara keseluruhannya mengambil bentuk yang dikatakan dengan ciptaan dunia berdasarkan perbedaan individu.

Selain itu novel mampu menghadirkan perkembangan suatu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.

2.1.3Unsur-Unsur Pembangun Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu paduan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian atau unsur-unsur yang berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Sehingga dengan unsur-unsur tersebut keterpaduan sebuah novel akan terwujud.


(27)

1. Unsur intrinsik

Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang berada dalam karya sastra itu sendiri. Nurgiantoro (1998:23) berpendapat unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai ketika orang-orang membaca sebuah karya sastra.

Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar berbagai unsur inilah yang membuat sebuah novel berwujud.

Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, alur atau plot, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat dan lain-lain.

a. Tema

Setiap karya fiksi termasuk novel mengandung atau menawarkan tema kepada pembacanya. Menurut Stanton (1965:88) dan Kenny (1966:20) dalam Nurgiantoro, tema (theme) merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan pengalaman begitu diingat. Jadi, dengan kata lain tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel atau karya sastra.

b. Alur atau Plot

Stanton dalam Nurgiantoro (1965:14) mengemukakan bahwa plot atau alur merupakan urutan kejadian dalam sebuah certita, tiap kejadian tersebut dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lainnya.


(28)

Paulus Tukan membedakan alur menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

c. Penokohan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. Penokohan mencakup pada masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan atau karakter tokoh, dan bagaimana penempatan atau pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus mencakup pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

d. Latar

Stanton (2007:35) menyebutkan latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor (tempat), dan juga berwujud waktu-waktu tertentu. Biasanya latar diketengahkan melalui baris-baris deskriptif.

e. Sudut pandang

Abarms dalam Nurgiantoro (1981:142) memaparkan bahwa sudut pandang (point of view) mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan cara atau pandagan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk sebuah cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.


(29)

Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya.

f. Gaya bahasa

Gaya bahasa merupakan tingkah laku pengarang dalam mengunakan bahasa dalam membuat karyanya. Gaya bahasa yang digunakan pengarang berbeda satu sama lain. Hal ini dapat menjadi sebuah ciri khas seorang pengarang. g. Amanat

Amanat merupakan pesan moral atau hikmah yang ingin disampaikan pengarang pada pembacanya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan pada pembacanya.

Menurut Kenny (1966:89), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil melalui cerita oleh pembaca.

2. Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra tersebut. Secara lebih khusus dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik karya sastra cukup berpengaruh terhadap totalitas keterpaduan cerita yang dihasilkan. Wellek dan Warren (1956) mengatakan bahwa unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.


(30)

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga memiliki beberapa unsur diantaranya keadaan subjektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik merupakan segala faktor yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Yang merupakan milik subjektif pengarang yang berupa kondisi sosial, motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang.

Unsur-unsur ekstrinsik meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya.

2.1.4Klasifikasi Novel

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, karena daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel merupakan dunia dalam skala yang lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling berkaitan.

Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu novel serius dan novel populer. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.


(31)

1. Novel populer (novel pop)

Novel populer sering disebut juga sebagai novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiantoro (1981:82) mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens dan tidak berusaha meresapi masalah kehidupan, karena akan dapat membuat novel ini menjadi berat dan dapat berubah menjadi novel serius.

Novel populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan kembali pengalamannya itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasi dirinya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena novel populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak berpotensi mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.

2. Novel serius (novel sastra)

Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra harus sanggup memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.


(32)

Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.

Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sunguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara yang baru juga. Karena adanya unsur pembaharuan tersebut teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat ketinggalan karena pengarang akan berusaha untuk menghindarinya.

Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara inplisit sehingga menyebabkan pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan pola harapan pembaca , disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini justru menjadikan teks yang bersangkutan suatu cerita yang memiliki kualitas kesusastraan.

Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya, novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.


(33)

2.2 Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’

Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ ini merupakan novel pertama yang ditulis oleh Takashi Matsuoka. Novel ini pertama kali dierbitkan oleh Bantam Dell Publishing Group di New York dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, salah satunya yaitu bahasa Indonesia. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh PT Mizan Pustaka pada Januari 2005.

2.2.1Biografi Pengarang

Takashi Matsuoka tumbuh di Hawaii. Sejak kecil Takashi sudah bercita-cita menjadi penulis mengikuti jejak sang ayah, seorang reporter surat kabar di Hawaii. Sebelum menjadi penulis fulltime, Takashi matsuoka sempat bekerja di kuil sekte Zen Buddha di Honololu. Hal inilah yang melatarbelakangi ia dapat dengan fasih menggambarkan kehidupan spiritual penganut Zen dalam bukunya.

Takashi juga belajar tenteng hukum di New York, meskipun kini ia hanya menulis dan tinggal di Honolulu bersama anak perempuannya.

2.2.2Setting Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’

Setiap karya sastra disusun atas unsur-unsur yang mejadikannya sebuah kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra adalah unsur instrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra yang dalam hal ini adalah novel.

Setting atau latar yang disebut juga landasan tumpu, menyaran pada lingkungan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216)


(34)

1. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang, seperti Hiroshima, Edo, Distrik Tsukiji dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di tempat-tempat seperti di hutan-hutan, gunung, pelabuhan, kuil dan lain-lain.

2. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ karya Takashi Matsuoka mengambil setting pada masa akhir Keshogunan Tokugawa sekitar tahun 1861-1867.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adapt istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.


(35)

Demikian juga dalam novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang terdapat dalamm novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ ini terjadi di Jepang dan berlangsung pada akhir keshogunan Tokugawa sekitar tahun 1861-1867.

Pada zaman ini Jepang mengalami sistem pengontrolan masyarakat oleh rezim penguasa secara sistematis mulai dari struktur pemerintahan, masyarakat, pemikiran, ekonomi, budaya, seni, pendidikan, diplomasi, dan hukum.

Pada saat itu Jepang di perintah dengan adanya sebuah keshogunan, yang kemudian dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang kemudian masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang daimyo.

Dalam kondisi yang seperti itu dibentuklah bushi atau samurai sebagai pengawas pertanian dan untuk memperluas wilayah kekuasaan. Novel ini menggambarkan kisah kehidupan seorang Daimyo Akaoka, Genji Okumichi yang mampu melihat masa depan. Dimana pada pemerintahan saat itu menetapkan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial. Genji selaku seorang daimyo yang berada pada kelas golongan atas merupakan seoarang yang baik hati, tampan, berpikir terbuka dan berusaha melawan Kawakami yang ingin menumpas habis seluruh keturunan klan Okumichi. Klan Okomichi bermusuhan dengan penguasa pada saat itu. Namun klan ini terkenal memiliki samurai yang sangat kuat dan dipercaya pada setaip generasi mempunyai kemampuan untuk meramal masa depan. Dimulai dari kakek Genji, paman Genji yang bernama Shigeru, dan genji sendiri pada generasinya.


(36)

2.3 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio/socius (Yunani) yang berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal- usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya sastra yang baik (Nyoman, 2003:1)

Sesungguhnya kedua ilmu tersebut yaitu sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra berbeda, bahkan bertentangan secar diametral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang sastra sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan cirri-ciri, sebagaimana ditunjukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta (Nyoman, 2003:2).

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan moral. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang sukses yaitu karya satra yang dapat merefleksikan zamannya.


(37)

Kendati sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan terentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra (Laurenson dan Swingewood, dalam Suwardi 2008:78). Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi obyek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini, sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang tekah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan adalah pernyataan Levin (Elizabeth dan Burns dalam Suwardi 2008:79) “literature is not only the effect of social causes but also the cause af social effect” . Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam


(38)

menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.

Pada prinsipnya menurut Laurenson dan Swingewood (Suwardi, 2008:79) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokuman sosial yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisannya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

Langkah yang bisa ditempuh pendekatan ini, menurut Junus (Suwardi, 2008:93) ada tiga strategi, yaitu:

1. Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain, kemudian dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya. Strategi ini ditempuh karena karya sastra tersebut hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya.

2. Pendekatan ini boleh mengambil image atau citra “suatu”- perempuan, laki-laki, orang asing, tradisi, dunia modern dan lin-lain dalam suatu karya. Citra tentang “sesuatu” itu disesuaikan dengan perkembangan budaya masyarakat.

3. Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau tema, yang keduanya berbeda secara gradual. Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif dapat dikonkritkan melalui pelaku.

Ketiga strategi penelitian tersebut menunjukkan bahwa penelitian sosiologi sastra dapat dilakukan melalui potongan-potongan cerita. Hubungan


(39)

antar unsur dan keutuhan (utinity) unsur juga tidak harus. Hanya saja pendekatan ini memang ada kelemahannya, antara lain peneliti akan sulit menghubungkan secara langsung karya sastra dengan sosiobudaya

Di dalam genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah yang dianggap paling dominant dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alas an yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novelmenampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga palig luas, bahasa novel juga cenderung merupakan bahasa sehari-hari. Bahasa yang umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsive sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Nyoman (2004:336) karya sastra lebih jelas mewakili cirri-ciri zamannya. Seperti pada novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ yang menunjukkan kehidupan manusia Jepang dalam zaman keshogunan khususnya kehidupan masyarakat yang berada dalam kelas-kelas sosial yang berupa golongan kelas atas dan golongan kelas bawah yang memeiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda.

Cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora jelas membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intern masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca. Artinya ada kesejajaran antara cirri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang


(40)

lain yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Inilah aspek-aspek sosial karya sastra. Dimana karya sastra diberikan kemungkinan yang luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.

Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat, agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya satra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman (2004:339-340) meliputi tiga macam, yaitu:

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. 3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,

dilakukan dengan disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua.


(41)

Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosisologi sastra, masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondidsikan karya sastra, bukan sebaliknya.

Oleh sebab itu bardasarkan atas metode penelitian sastra inilah penulis berusaha menjadikannya pedoman untuk dapat menganalisis pembahasan pada bab III yang didalamnya mencakup tentang bagaimana hubungan interaksi sosial antara masyarakat golongan atas dengan golongan atas seperti daimyo dengan daimyo, masyarakat golongan atas dengan masyarakat golongan bawah seperti daimyo dengan rakyat (samurai, pedagang, geisha, dan kaum eta), dan masyarakat masyarakat golongan bawah dengan masyarakat golongan bawah. Sehingga apa yang diharapkan penulis dalam keingintahuan tentang hubungan interaksi sosial pada masyarakat Jepang yang terdiri dari golongan-golongan dapat terjawab dengan penelitian menggunakan analisis sosiologi sastra, yang sebagai fungsinya bahwa karya sastra itu merupakan cerminan dari suatu masyarakat.


(42)

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP NOVEL SAMURAI ‘KASTEL AWAN BURUNG GEREJA’

3.1. Sinopsis Cerita

Novel Samurai ‘Kastel Awan Burung Gereja’ diawali dengan datangnya para misionaris dari Amerika untuk menyebarkan firman Tuhan “Injil”. Mereka adalah Cromwell, Emily dan Mattew Stark. Kedatangan mereka disambut oleh Bangsawan Agung Akaoka dari klan Okumichi bernama Genji. Klan Okumichi bermusuhan dengan shogun yang menjadi penguasa pada saat itu. Klan ini juga terkenal mempunyai samurai-samurai yang hebat dan sangat ditakut i.

Selain itu, setiap generasi klan Okumichi dipercaya mempunyai kemampuan untuk meramal masa depan dimulai dari kakek Genji, paman Genji yang bernama Shigeru dan Genji sendiri pada generasinya. Shigeru pernah menceritakan pertanda yang dialaminya bahwa ada kejadian-kejadian yang sangat aneh, yang mungkin di masa depan dalam jangka panjang. Akan ada perangkat yang memungkinkan komunikasi jarak jauh. Pesawat terbang. Udara tercemar yang tak bisa dihirup. Air tercemar yang tak bisa diminum. Laut dalam yang kini jernih akan penuh dengan ikan-ikan mati. Populasi sangat padat sehingga orang-orang berdesakan di dalam kereta selama beraru-ratus kilometer dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Orang asing diman-mana, tidak hanya di zona terbesar seperti Edo dan Nagasaki.

Lord Genji, seorang pemimpin yang tampan, berpikiran terbuka, dan baik hati adalah tokoh utama pada novel ini. Dia berjuang melawan Kawakami yang merupakan musuh bebuyutan yang ingin menumpas habis seluruh keturunan klan


(43)

Okumichi. Meskipun Genji bukanlah seorang samurai yang ahli bermain pedang dan bertempur pada peperangan, tetapi dia mempunyai kharisma, wibawa dan samurai-samurai yang tangguh disekelilingnya. Salah satunya adalah pamannya yang bernama Shigeru. Seorang samurai dengan kekuatan hampir menandingi Mushashi sang legenda.

3.2 Analisis Hubungan Interaksi Antar Tokoh Cerita Dalam Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’

3.2.1 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Daimyo

Berikut adalah hubungan interaksi antara daimyo dengan daimyo yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan (hal. 42)

”Siapa yang menerima para misionaris ini?” ”Bangsawan Agung Akaoka.”

Kawakami memejamkan matanya, menarik napas panjang, dan menahan dirinya. Bangsawan Agung Akaoka. Akhir-akhir ini dia terlalu sering mendengar nama itu lebih dari yang diinginkannya. Daerah kekuasaannya sebenarnya kecil, jauh, dan tidak penting. Dua pertiga bangsawan lain mempunyai daerah kekuasaan yang lebih besar. Namun, seperti sekarang ini, sebagaimana selalu terjadi pada masa-masa tak menentu, Bangsawan Agung Akaoka memainkan peranan penting yang sangat tidak sesuai dengan posisinya yang tidak sebenarnya. Tidak penting apakah bangsawan Agung Akaoka adalah seorang pejuang tua dan politisi yang penuh muslihat seperti mendiang Lord Kiyori, atau seorang


(44)

penggemar seni yang tak berguna seperti penggantinya yang kekanak-kanakan, Lord Genji. Gosip yang beredar selama berabad-abad telah berhasil menaikkan status mereka dari derajat yang seharusnya. Gosip tentang kemampuan meramal masa depan yang mereka miliki.

Analisis:

”Siapa yang menerima para misionaris ini?” ”Bangsawan Agung Akaoka.”

Kawakami memejamkan matanya, menarik napas panjang, dan menahan dirinya. Bangsawan Agung Akaoka. Akhir-akhir ini dia terlalu sering mendengar nama itu lebih dari yang diinginkannya. Daerah kekuasaannya sebenarnya kecil, jauh, dan tidak penting. Dua pertiga bangsawan lain mempunyai daerah kekuasaan yang lebih besar. Namun, seperti sekarang ini, sebagaimana selalu terjadi pada masa-masa tak menentu, Bangsawan Agung Akaoka memainkan peranan penting yang sangat tidak sesuai dengan posisinya yang tidak sebenarnya.

Pada cuplikan di atas terdapat dua orang tokoh daimyo yaitu Kawakami dan Genji selaku Bangsawan Agung Akaoka. Dari cuplikan diatas dapat diketahui bahwa adanya hubungan interaksi yang kurang baik antar daimyo yaitu Kawakami dan Genji. Antar daimyo terjadi kompetisi dalam mancapai tujuan yang ingin dicapai dan menggunakan berbagai cara agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Bentuk interaksi yang kurang baik lainnya yaitu adanya kecemburuan akan kemampuan yang dimiliki, baik kemampuan dalam kepemilikan wilayah kekuasaan maupun kemampuan lainnya yang dapat meningkatkan wibawa sebagai seorang pemimpin dan kepopuleran dalam masyarakat.


(45)

Di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang memiliki kedudukan serta peranan yang terpandang di dalam masyarakat. Seseorang yang merasa memiliki kedudukan yang lebih rendah tentu akan menginginkan kedudukan dan peranan yang sederajat dengan orang lain. Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung dari apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada masa itu. Pada saat itu juga seorang daimyo yang dianggap sebagai seorang pemimipin yang berkuasa dan dihormati tentu yang memiliki wilayah kekuasaan yang besar. Hal ini menyebabkan Kawakami merasa tersaingi oleh Bangsawan Agung Daimyo Akaoka. Maka dari cuplikan di atas dapat diketahui adanya hubungan interaksi dalam bentuk yang kurang baik antar daimyo, seperti adanya kompetisi agar dapat memperoleh tujuan yang diinginkan.

2. Cuplikan (hal. 692)

Kawakami berkata, ”Saya dengar Anda sangat beruntung berhasil memikat hati seorang wanita dengan kecantikan tak tertandingi, Nona Mayonaka no Heiko.”

”Sepertinya begitu.”

”Ya, sepertinya begitu,”kata Kawakami.”Betapa tipis batas antara perkiraan dan fakta. Apa yang dikira cinta mungkin juga ternyata benci atau lebih buruk lagi taktik yang dirancang untuk membingungkan dan mengalihkan perhatian. Apa yang terlihat sebagai kecantikan bisa jadi adalah keburukan yang sangat dalam sehingga tak terbayangkan.”Kawakami berhenti, berharap Genji


(46)

membalas sindirannya, tetapi Genji diam saja.”Terkadang perkiraan dan yang sebenarnya tidak sama, tetapi keduanya nyata. Heiko misalnya, kelihatannya seperti seorang geisha yang cantik dan memang dia adalah geisha yang paling cantik. Tetapi, dia juga seorang ninja. ”Kawakami berhenti lagi. Dan Genji tetap diam. ”Apa Anda tak memercayai saya?”

Analisis:

Kawakami berkata, ”Saya dengar Anda sangat beruntung berhasil memikat hati seorang wanita dengan kecantikan tak tertandingi, Nona Mayonaka no Heiko.” Kalimat di atas menunjukkan indeksikal bahwa para pejabat yang dalam hal ini daimyo tidak hanya bersaing memperoleh kekuasaan wilayah namun juga bersaing mendapatkan seorang geisha. Mendapatkan seorang geisha kelas atas dapat meningkatkan prestise para pejabat. Dan pada kalimat ”Heiko misalnya, kelihatannya seperti seorang geisha yang cantik dan memang dia adalah geisha yang paling cantik. Tetapi, dia juga seorang ninja. Kalimat ini menunjukkan fakta bahwa geisha berada di lingkaran pemerintahan. Para daimyo menggunakan taktik politik dengan mengirimkan seorang geisha sebagai mata-mata dan dapat menyampaikan seluruh informasi yang penting. Maka dari cuplikan di atas dapat diketahui bahwa adanya hubungan interaksi yang kurang baik antar daimyo, dimana pada cuplikan di atas hubungan yang kurang baik tersebut tercipta karena adanya perebutan dalam mendapatkan hati seorang geisha yang akhirnya berujung pada perselisihan.


(47)

3. Cuplikan (hal. 692)

”Sekali lagi, terima kasih atas kebaikan Anda,”Genji membungkuk dan siap-siap untuk pergi.

”Jangan tergesa-gesa. Ada satu lagi agenda pembicaraan kita.” Analisis:

Cuplikan dia atas menunjukkan hubungan interaksi antara seorang daimyo dengan daimyo lainnya. Daimyo berasal dari kata Daimyoshu (kepala keluarga terhormat) yang berarti orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah. Di dalam masyarakat samurai di Jepang, istilah daimyo digunakan untuk samurai yang memiliki hak atas tanah yang luas (tuan tanah) dan memiliki banyak bushi sebagai pengikut. ”Sekali lagi, terima kasih atas kebaikan Anda,”Genji membungkuk dan siap-siap untuk pergi.

Cuplikan di atas menunjukkan indeksikal bahwa adanya hubungan interaksi yang baik antar sesama daimyo. Meskipun sesama daimyo yang berkuasa atas suatu wilayah harus tetap berprilaku sopan yang terlihat dengan membungkukkan badan terhadap lawan bicara. Pada masyarakat Jepang sikap dengan cara membungkukkan badan merupakan suatu bentuk penghormatan kepada lawan bicara.


(48)

3.2.2 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Rakyat 3.2.2.1 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Samurai

Berikut adalah hubungan interaksi antara daimyo dengan samurai yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan (hal. 39)

”Tuanku, ”terdengar suara asistennya, Mukai, dari luar pintu. ”Masuk.”

Dengan berlutut, Mukai menggeser pintu hingga terbuka, membungkuk, masuk dengan tetap berlutut, menutup pintu dan membuka lagi.

Analisis:

Tuanku, ”terdengar suara asistennya, Mukai, dari luar pintu. ”Masuk.”

Dengan berlutut, Mukai menggeser pintu hingga terbuka, membungkuk, masuk dengan tetap berlutut, menutup pintu dan membuka lagi.

Dari cuplikan diatas dapat dilihat interaksi antara seorang samurai terhadap atasannya. Seorang samurai harus menghormati atasan. Ketika hendak bertemu dengan atasan seorang samurai harus berprilaku sopan dan mematuhi tata krama yang berlaku. Terlebih lagi bangsa Jepang sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran tentu penuh dengan sopan santun. Salah satu bentuk prilaku hormat yaitu dengan membungkukkan badan atau ojigi ketika berhadapan dengan orang lain yang merupakan bentuk adat istiadat masyarakat Jepang seperti yang dilakukan oleh tokoh Mukai. Ojigi dipakai untuk memberi hormat, menyampaikan selamat datang dan berpisah, untuk mengungkapkan penghargaan atau terima kasih, untuk menyampaikan rasa penyesalan karena


(49)

kesalahan, meminta kemurahan hati seseorang, serta memohon keputusan atau restu salah seorang birokrat pemerintahan. Makin lama dan dalamnya orang membungkuk menunjukkan orang yang bersangkutan makin menghormati dan menyegani pihak yang diberi hormat itu. Maka pada cuplikan tersebut dapat terlihat hubungan ineraksi yang baik antara atasan terhadap bawahan yaitu antara seorang daimyo dengan samurai. Samurai sangat bersikap hormat, sopan, dan patuh kepada tuan mereka.

2. Cuplikan (hal. 53)

”Kita adalah samurai klan Okumichi,” kata Taro, memotong-motong acar lobak menjadi potongan kecil siap santap. ”Adalah tugas kita untuk mematuhi tuan kita apa pun perintahnya.”

Analisis:

Kita adalah samurai klan Okumichi,”....”Adalah tugas kita untuk mematuhi tuan kita apa pun perintahnya.”

Kalimat di atas menunjukkan indeksikal bahwa adanya sikap yang harus dimiliki dan dilaksanakan bagi samurai terhadap tuan yaitu mematuhi dan mengerjakan apa pun perintah tuan. Seorang samurai harus mengabdi dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan. Pengabdian semacam ini melambangkan pengabdian tanpa pamrih kepada tuan. Hal ini mencerminkan hubungan yang baik antara tuan dengan samurai. Sehingga dari cuplikan di atas terlihat hubungan interaksi yang baik. Yaitu hubungan interaksi antara masyarakat golongan atas seperti daimyo dengan masyarakat golongan bawah seperti samurai yang terus mengabdi tanpa mengaharapkan imbalan dalam bentuk apapun.


(50)

3. Cuplikan (hal. 85)

Saiki berlari untuk menghentikan langkah Genji. ’Tuanku, mohon Anda masuk kembali. Ada tiga puluh penembak di depan kita, tak lebih dari sepuluh langkah.”

” Ini keterlaluan,” Genji tak menghiraukan Saiki dan melangkah hingga ke bagian depan barisan samurainya.

Analisis:

Saiki berlari untuk menghentikan langkah Genji. ’Tuanku, mohon Anda masuk kembali. Ada tiga puluh penembak di depan kita, tak lebih dari sepuluh langkah.”

Kalimat di atas menunjukkan indeksikal bahwa seorang samurai sangat menjaga keamanan tuannya. Dalam keadaan yang sangat mengancam keselamatan nyawa sekalipun harus mendahulukan keselamatan tuan dari pada keselamatan diri sendiri. Sudah menjadi kewajiban seorang samurai melindungi dan mengutamakan keamanan tuan, bahkan harus siap mengorbankan nyawa. Maka dari cuplikan di atas terlihat hubungan interaksi yang baik antara samurai dengan tuan. Yaitu samurai terus menjaga keselamatan tuannya.

4. Cuplikan (hal. 189)

Saiki berkata lagi, ”Tuanku, setidaknya izinkan hamba menemani Anda.” ”Aku tak bisa. Keberadaanmu justru membuat kepergianku terlihat serius. Itu berkebalikan dengan apa yang kita inginkan.”


(51)

Salah seorang samurai yang berjaga tertawa mendengar ini, tetapi segera manhan tawanya ketika Saiki menengok dan melotot kepadanya.

”Selain itu,” lanjut Genji, sambil menahan tawa juga, ” kamu diperlukan disisni untuk melindungi para tamu kita dari serangan lebih lanjut.”

Analisis:

Saiki berkata lagi, ”Tuanku, setidaknya izinkan hamba menemani Anda.” Kalimat ini menunjukkan rasa keperdulian seorang samurai, keperdulian untuk melindungi dimanapun tuan barada dan kemanapun tuan pergi. Apa pun yang diperintahkan dan larangan tuan harus dipatuhi oleh seorang samurai, tidak boleh menyangkal. Sebab seorang samurai telah berjanji akan mengabdikan diri hanya untuk tuan dan pengabdian itu tentunya adalah pengabdian tanpa pamrih. Dari cuplikan di atas dapat terlihat hubungan interaksi yang baik antara samurai dengan tuannya. Seorang samurai tetap menjaga keamanan tuan meskipun berada dalam keadaan yang sangan mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri.

5. Cuplikan (hal. 506)

”Tuanku Kawakami.” Kurir itu berlutut dan membungkuk sesuai dengan tata cara seorang samurai di medan perang. ”Lord Shinobu menyampaikan salam.”

Analisis:

Cuplikan diatas merupakan interaksi antara seorang samurai dengan seorang daimyo yang menunjukkan indeksikal sikap hormat seorang samurai saat bertemu dengan seorang atasan. Sikap hormat tersebut terlihat ketika seorang samurai berlutut dan membungkuk (ojigi) kepada daimyo. Maka dari cuplikan di


(52)

atas dapat diketahui hubungan interaksi yang baik antara samurai terhadap daimyo. Seorang samurai sangat menghormati daimyo dengan berlutut dan melakukan ojigi ketika bertemu.

6. Cuplikan (hal. 690)

”Penggal kepalanya,”perintah Kawakami. ”Dia masih hidup, Tuan.”

”Kalau begitu tunggu. Bawa mereka ke sini. Tunjukkan padanya.”Ajudan Kawakami memegang dua pedang Cakar Burung Gerejas ehingga Shigeru bisa melihatnya. ”Silakan dilihat, Lord Shigeru.” Dua orang menopangnya. Orang ketiga memegang kapak besar dan menghantam katana dan wakizashinya sehingga patah menjadi dua.

”Bagus,”kata Kawakami. ”Sekarang, penggal dia.” Analisis:

Dari cuplikan di atas dapat diketahui adanya hubungan interaksi antara seorang daimyo dengan samurai. Samurai tersebut menunjukkan sikap yang begitu patuh dan sikap setia kepada tuan. Apapun yang diperintahkan oleh tuan akan dilaksanakan, tanpa mempertimbangkan hal apa pun, termasuk diperintahkan untuk membunuh seseorang dengan cara memenggal kepala yang bagi sebagian orang hal itu sangat menakutkan dan tidak manusiawi. Samurai merupakan orang-orang yang mempunyai kesetian yang sangat tinggi kepada kaisar, daimyo atau tuannya. Mereka hidup dalam kesederhanaan tanpa tertarik pada kekayaan dan benda-benda berharga. Mereka lebih tertarik pada kehormatan dan penghargaan. Maka dari cuplikan di atas terlihat hubungan interaksi yang baik antara samurai


(53)

terhadap daimyo, dapat diketahui bahwa seorang samurai sangat patuh dan setia pada sesorang daimyo. Para samurai melakukan hal tersebut tanpa pamrih dan tanpa adanya unsur paksaan.

3.2.2.2 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Pedagang

Berikut adalah hubungan interaksi antara daimyo dengan pedagang yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan (hal. 114)

”Bangunan itu milik seorang pedagang bernama Fujita,” lapor Hide. ”Orang yang polos. Tidak pernah terlibat dengan orang mencurigakan, tidak ada hubungan dengan klan mana pun, tak punya utang, dan tidak punya anak perempuan yang menjadi jaminan di Dunia Terapung. Dia kelihatannya tak tahu apa-apa. Tentu saja, dia sangat takut akan tindakan balasan dari Anda. Tanpa diminta, dia menawarkan memenuhi semua kebutuhan kita untuk pesta tahun baru.”

Analisis:

Pada cuplikan di atas terdapat kalimat ”Tentu saja, dia sangat takut akan tindakan balasan dari Anda. Tanpa diminta , dia menawarkan memenuhi semua kebutuhan kita untuk pesta tahun baru.” yang merupakan indeksikal bentuk interaksi antara seorang pedagang yang merupakan masyarakat golongan bawah dengan seorang daimyo. Pembagian empat kelas shinokosho pada zaman Tokugawa sangat ketat, yang menempatkan kaum pedagang sebagai golongan masyarakat kelas bawah. Bagaimanapun kayanya dan baiknya seorang pedagang tetap harus bersikap tunduk, patuh dan merasa takut pada masyarakat golongan


(54)

atas. Di samping itu keberadaan kaum pedagang mempengaruhi perekonomian para shogun dan daimyo. Kemajuan perekonomian bertumpu pada kaum pedagang. Maka dari cuplikan di atas dapat diketahui hubungan interaksi yang kurang baik, dalam hubungan interaksi di atas memberikan keuntungan bagi para golongan atas namun menimbulkan kerugian bagi para masyarakat golongan bawah sebab merasa tertekan dan terbebani oleh para masyarakat golongan atas dengan harus menghidupi perekonomian masyarakat golongan atas.

2. Cuplikan (hal. 120)

Kawakami merasa geli melihat Monzaemon, pedagang besar, terburu-buru turun dari kuda putihnya yang terkenal dan membungkuk di tanah seperti petani lain, meski dia mengenakan pakaian yang mentereng. Banyak bangsawan yang punya utang kepada Monzaemon. Shogun sendiri punya utang cukup besar kepada pria kecil itu. Tetapi, lihat sekarang, Monzaemaon menekankan wajahnya ke tanah saat menemui rombongan bangsawan yang statusnya di atas dirinya.

Analisis:

. Tetapi, lihat sekarang, Monzaemaon menekankan wajahnya ke tanah saat menemui rombongan bangsawan yang statusnya di atas dirinya. Dari cuplikan di atas terlihat hubungan interaksi antara seorang daimyo yang bernama Kawakami dengan seorang pedagang yang bernama Monzaenon. Meskipun seorang padagang adalah orang yang kaya, memiliki banyak harta ketika berhadapan dengan seorang pejabat negara yang dalam hal ini adalah daimyo maka seorang pedagang tersebut harus tetap memberi hormat dan berprilaku layaknya rakyat golongan bawah lainnya. Seorang pedagang besar sekalipun harus tunduk patuh


(55)

kepada daimyo. Hal ini dikarenakan dalam kelas sosial masyarakat Jepang terdiri dari golongan-golongan kelas sosial yaitu golongan atas dan golongan bawah. Yang mana kelas sosial daimyo lebih tinggi dari pada pedagang, sehingga tidak ada yang dapat merubah bentuk interaksi yang seperti telah ditetapkan antara golongan bawah dengan golongan atas meskipun dengan kekayaan. Maka dari cuplikan di atas disimpulkan adanya hubungan interaksi yang kurang baik antara masyarakat golongan atas dengan masyarakat golongan bawah, karena dalam berinteraksi terdapat unsur penekanan dan paksaan oleh masyarakat golongan atas terhadap masyarakat golongan bawah dengan harus tunduk patuh yang menunjukkan perbedaan kelas sosial.

3.2.2.3 Hubungan Interaksi antara Daimyo dengan Geisha

Berikut adalah hubungan interaksi antara daimyo dengan geisha yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan (hal. 28)

...Heiko berdiri dan berjalan menghampiri Genji dengan langkah pendek-pendek agak diseret seperti kebiasaan wanita terhormat Jepang, kemudian berlutut dan membungkuk saat dia tinggal beberapa langkah dari Genji. Dia membungkuk untuk beberapa saat, tidak mengharap perhatian darinya.

Analisis:

...Heiko berdiri dan berjalan menghampiri Genji dengan langkah pendek-pendek agak terseret seperti kebiasaan wanita terhormat Jepang, kemudian berlutut dan membungkuk saat dia beberapa langkah dari Genji. Kalimat di atas mengindeksikalkan sikap hormat yang ditunjukkan oleh seorang geisha terhadap


(56)

seorang daimyo ketika berinteraksi. Sikap hormat tersebut ditunjukkan dengan berlutut dan membungkuk. Ojigi atau membungkuk merupakan manifestasi yang paling nyata dari tatakrama tradisional Jepang. Ojigi dipakai untuk memberi hormat, menyampaikan selamat datang dan berpisah, untuk mengungkapkan penghargaan atau terima kasih, untuk menyampaikan rasa penyesalan karena kesalahan, meminta kemurahan hati seseorang serta memohon keputusan atau restu salah seorang birokrat pemerintahan. Maka dari cuplikan di atas dapat diketahui adanya hubungan interaksi yang baik antara daimyo dengan geisha yang tercermin dalam hal pemberian hormat seperti melakukan ojigi.

2. Cuplikan (hal. 32)

Genji tertawa pendek. ”Menjadi tugas kami para bangsawan untuk menjamin semua penjarahan, pembunuhan, dan perbudakan di Jepang dilakukan hanya oleh kami. Kalau tidak, bagaiman mungkin kami menamai diri Bangsawan Agung?”

Heiko membungkuk, ”Saya merasa aman mengetahui perlindungan yang demikian besar. Saya akan menyiapkan air mandi Anda, Tuanku.”

”Terima kasih.” Analisis:

Dari cuplikan di atas dapat diketahui bahwa seorang daimyo atau bangsawan agung merupakan masyarakat golongan atas dan seorang geisha merupakan masyarakat dari kelas golongan bawah. ”Geisha” adalah sebuah kata yang berarti ”orang yang praktek / kehidupan oleh gei (seni)”. Gei secara khusus mengacu pada seni memainkan shamisen (alat musik bersenar tiga), drum,


(57)

tradisional menari dan menyanyi, upacara minum teh, kaligrafi dan seni percakapan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai penghibur sering pula menghibur para kaum bangsawan. Dalam berinteraksi dengan seorang bangsawan seorang geisha menunjukkan sikap yang lemah lembut, hormat, penuh tatakrama dan berbahasa dengan menggunakan kata-kata yang sangat halus. Karena seringnya berinteraksi dengan para bangsawan yang memegang peran pemerintahan, sebagai penghibur sehingga seorang geisha memiliki peran penting dalam pemerintahan yang digunakan untuk memperlancar hubungan khususnya hubungan diplomasi. Maka dari cupliakan di atas dapat diketahui hubungan interaksi yang baik antara daimyo dengan geisha. Geisha begitu bersikap hormat dan bertutur kata halus terhadap daimyo.

3. Cuplikan (hal. 126)

”Kau terlambat, Heiko.”

”Beribu ampun, Lord Kawakami,” Heiko membungkuk sehingga kulit belakang lehernya yang lembut terlihat jelas. Kembali dia mendengar Kawakami menarik napas tajam. Heiko mengosongkan wajahnya dari ekspresi apa pun. ”Hamba dibuntuti. Dan saya pikir penting untuk mengelabui sehingga dia tidak tahu bahwa saya mengetahui keberadaannya.”

Analisis:

”Beribu ampun, Lord Kawakami,” Heiko membungkuk sehingga kulit belakang lehernya yang lembut terlihat jelas. Kembali dia mendengar Kawakami menarik napas tajam. Heiko mengosongkan wajahnya dari ekspresi apa pun. ”Hamba dibuntuti. Dan saya pikir penting untuk mengelabui sehingga dia


(58)

tidak tahu bahwa saya mengetahui keberadaannya.” Dari cuplikan di atas terlihat bahwa seorang geisha tak hanya berperan sebagai seorang penghibur, namun juga merupakan seorang yang dipercaya oleh seorang bangsawan sebagai mata-mata para kaum bangsawan. Sebagai seorang masyarakat yang berada pada golongan bawah ketika berinteraksi dengan seorang bangsawan yang merupakan seorang yang berada pada golongan atas, seorang geisha bersikap hormat. Ketika melakukan sebuah kesalahan, tetap harus meminta maaf, memohon ampun, dan membungkuk layaknya masyarakat golongan bawah lainnya. Maka dari cuplikan di atas terlihat hubungan interaksi yang baik antara daimyo dengan geisha. Seorang geisha bersikap hormat, tunduk patuh dan sudah seleyaknya harus meminta maaf jika berbuat kesalahan.

4. Cuplikan (hal. 129)

”Gosip semacam itu telah lama menyebar di keluarga Okumichi. Katanya, setiap generasi ada satu orang yang terlahir dengan kemampuan meramal.”

”Ya, Tuanku. Memang begitu kabarnya.” Heiko membungkuk. ”Permisi.” Dia menuangkan air panas di cangkir teh. Aroma harum memenuhi udara.

Analisis:

”Gosip semacam itu telah lama menyebar di keluarga Okumichi. Katanya, setiap generasi ada satu orang yang terlahir dengan kemampuan meramal.”

”Ya, Tuanku. Memang begitu kabarnya.” Heiko membungkuk. ”Permisi.” Dia menuangkan air panas di cangkir teh. Aroma harum memenuhi udara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan daimyo, seorang geisha tidak hanya sebagai seorang penghibur yang menyanyikan lagu, memainkan alat musik


(1)

Taro berkata singkat, ”Buka jubahmu, pakai saja celana dalam. Tidak ada gunanya mengotori jubah kita juga,” sembari membuka jubah, melipatnya rapi dan menaruhnya di rak.

Analisis:

Dari cuplikan terlihat interaksi antara Taro, Mune dan Yoshi yang ketiganya merupakan sesama golongan rakyat biasa. Interaksi yang terjadi antara rakyat dengan rakyat cenderung lebih santai dan tidak kaku baik dari sisi perilaku maupun dari kata-kata yang diucapkan. Hal ini dapat terjadi karena adanya perasaan dan status sosial yang berada pada posisis yang sederajat. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Maka dari cuplikan di atas dapat terlihat hubungan interaksi yang baik, tidak ada perasaan tertekan dan paksaan. Bentuk interaksi juga lebih santai dan tidak kaku.

3.3.4 Analisis Dari Seluruh Hubungan Interaksi Antar Tokoh Cerita Dalam Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’

Dari cuplikan-cuplikan cerita yang terdapat di dalam novel Samurai ”Kastel Awan Burung Gereja” terlihat interaksi yang terjadi antara suatu individu dengan individu, individu dengan masyarakat maupun masyarakat dengan masyarakat. Diamana hubungan interaksi akan tercipta jika adanya hubungan timbal balik antar keduanya.

Hubungan interaksi tersebut terjadi tentu berbeda-beda, ada hubungan interaksi yang berbentuk positif, berupa hubungan interaksi yang terdiri dari tatakrama, sikap patuh, tunduk dan ada pula hubungan interaksi yang berbentuk negatif, berupa bentuk persaingan dan perlawanan. Sebagaimana yang ada di


(2)

dalam novel Samurai ”Kastel Awan Burung Gereja” berlatar belakang akhir Keshogunan Tokugawa yang menganut paham feodalisme. Salah satu bentuk kebijakannya yaitu membagi masyarakat jepang saat itu menjadi beberapa golongan atau kasta. Adanya golongan masyarakat kelas atas yaitu kaum bangsawan, shogun, daimyo dan masyarakat kelas bawah yang terdiri dari Shi (golongan prajurit), No (golongan petani), Ko (glongan tukang), dan Sho (golongan petani).

Hubungan interaksi yang tercipta antar golongan berbeda-beda. Antara golongan atas dengan golongan atas tercipta hubungan interaksi yang kaku, penuh peraturan dan tatakrama. Hubungan interaksi antara golongan atas dengan golongan bawah merupakan hubungan interaksi yang tidak sembarangan, adanya peraturan dalam berinteraksi membuat interaksi antar golongan ini penuh tatakrama seperti melakukan ojigi (membungkuk), bertutur kata halus dan bertingkah laku sopan. Sedangkan hubungan interaksi antara golongan bawah dengan golongan bawah yaitu rakyat dengan rakyat cenderung lebih santai, tidak kaku dan tidak merasa tertekan. Dengan kata lain dalam berinteraksi golongan yang lebih rendah tingkatannya akan bersikap sopan kepada golongan yang lebih tinggi tingkatannya.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai barikut:

1. Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ adalah novel karya Takashi Matsuoka yang menggambarkan keadaan sejarah Jepang pada akhir Keshogunan Tokugawa yang berkisar tahun 1861-1867, terutama kehidupan masyarakat Jepang pada saat itu. Terdiri dari masyarakat yang memiliki sistem stratifikasi sosial. Adanya tingkatan-tingkatan golongan dalam masyarakat. 2. Melalui novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ dapat diketahui

bagaimana interaksi yang terjadi pada masyarakat Jepang pada saat itu. Interaksi antar golongan masyarakat yang bertingkat-tingkat. Interaksi antar golongan masyarakat kelas atas dengan kelas atas seperti daimyo dengan daimyo, masyarakat kelas atas dengan golongan kelas bawah seperti daimyo dengan rakyat (samurai, petani, pedagang, geisha, dan kaum eta), dan masyarakat golongan bawah dengaan masyarakat golongan bawah yaitu rakyat dengan rakyat.

3. Hubungan interaksi yang tercipta antar golongan berbeda-beda. Antara golongan atas dengan golongan atas tercipta hubungan interaksi yang kaku, penuh peraturan dan tatakrama baik dalam bertindak maupun dalam bertutur kata. Hubungan interaksi antara golongan atas dengan golongan bawah merupakan hubngan interaksi yang tidak sembarangan, adanya peraturan dalam berinteraksi membuat interaksi antar golongan ini penuh tatakrama,


(4)

seperti melakukan ojigi (membungkuk) bertutur kata halus dan bertingkah laku sopan. Sedangkan hubungan interaksi antara golongan bawah dengan golongan bawah cenderung lebih santai, tidak kaku, dan tidak ada perasaan tertekan.

4. Dalam berinteraksi golongan yang lebih rendah tingkatannya akan bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tinggi tingkatannya.

5. Novel Samurai ’Kastel Awan Burung Gereja’ merupakan novel yang benar-benar merefleksikan kehidupan nyata masyarakat Jepang pada saat itu. Kehidupan masyarakat golongan atas yang berkuasa dan masyarakat golongan bawah yang harus patuh pada peraturan yang telah ditetapkan yang mana dapat membawa kesengsaraan dan perasaan tertekan.

4.2 Saran

1. Bagi siapa saja yang imgin menganalisis sebuah karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sosiologinya, sebaiknya terlebih dahulu harus mengumpulkan berbagai referensi baik mengenai novel yang akan diteliti maupun teori-teori pendukung pada penelitian, serta memahami betul teori-teori sosiologi.

2. Di dalam novel Jepang tentu terdapat unsur kebudayaan Jepang. Sebaiknya untuk dapat memberi pemahaman yang baik terhadap kebudayaan tersebut dalam mempelajarinya tidak hanya secara umum, tetapi mempelajarinya secra mendalam agar tidak terjadi kesalah pahaman khususnya bagi pembaca yang bukan orang Jepang.

3. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan masukan terhadap pemahaman tentang karya sastra yang ditinjau dari pendekatan sosiologi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Medpress.

Ginting, Paham. 2006. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian. Medan: USU Press.

Illyani, Nur. 2008. Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya: Eiji Yoshikawa. Medan: USU.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: TP.

Matsuoka, Takashi. 2005. Samurai Kastel Awan Burung Gereja. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Nasution, Irwan dkk. 2006. Metodologi Penelitian.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurgiantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kuta. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

Sihite, Friska. 2008.Skripsi: Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai Dalam Novel Across The Nightingale Floor. Medan: USU

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widyahartono, Bob. 2003. Belajar Dari Jepang: Keberhasilan Sebagai Negara Industri Asia. Jakarta: Salemba Empat.