Nilai Bushido dan Penyimpangannya dalam Dwilogi Novel Samurai Karya Takashi Matsuoka

(1)

1

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA

DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI

KARYA TAKASHI MATSUOKA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NELVITA

087009014/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

2

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA

DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI

KARYA TAKASHI MATSUOKA

TESIS

Oleh :

NELVITA

NIM: 087009014/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

3

Judul : Nilai Bushido dan Penyimpangannya dalam Dwilogi Novel

Samurai Karya Takashi Matsuoka Nama Mahasiswi : Nelvita

Nomor Induk : 087009014 Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusasteraan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si) (Prof. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,


(4)

4

Tanggal Lulus: 17 November 2011 Telah Diuji pada

Tanggal 17 November 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Anggota : 1. Prof. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Dra. Siti Muharami Malayu, M. Hum


(5)

5

ABSTRAK

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI KARYA TAKASHI MATSUOKA

Bushido merupakan suatu budaya yang dimiliki oleh samurai Jepang. Nilai

bushido ini banyak ditemukan di dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka. Penelitian tesis ini membicarakan mengenai nilai – nilai bushido

yang terdapat di dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka berdasarkan teori antropologi sastra. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa nilai – nilai bushido

terdapat di dalam novel jilid pertama, yaitu Samurai: Suzume no Kumo. Nilai

bushido ini juga masih terdapat di novel jilid kedua, yaitu novel Samurai: Aki no Hashi, namun di novel ini terdapat pertentangan terhadap nilai bushido

yang diakibatkan oleh masuknya bangsa asing ke Jepang. Nilai bushido yang terdapat di dalam novel ini adalah nilai kesetiaan, kehormatan, keberanian, kejujuran, kepercayaan diri, kepatuhan, dan pengabdian diri.


(6)

6

ABSTRACT

BUSHIDO’S VALUE AND THE DISTORTIONS IN ‘SAMURAI’ NOVEL AUTHORED BY TAKASHI MATSUOKA

Bushido is a culture wich is owned by the Japanese. Bushido values can be found in the novel entitled samurai by Takashi Matsuoka. This thesis research discusses about bushido values. The theory used in this research anthropological literature. The research method used is a qualitative method.From the analyze, the bushido values found out in the first volume of the novel entitled Samurai: Suzume no Kumo. Bushido values is also still there in the second volume novel entitled Samurai: Aki no Hashi. But in this second volume novel, there is a conflict of bushido values caused by the entry of the foreigners into Japan. Bushido values contained in this novel are the value of loyalty, honor, courage, honesty, confidence, obedience and devotion. Keywords: bushido, Samurai, Takashi Matsuoka, novel


(7)

7

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya tesis ini dapat selesai dengan baik. Tesis ini yang berjudul Nilai Bushido dan Penyimpangannya dalan Dwilogi Novel Samurai karya Takashi Matsuoka merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusasteraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tidak lupa penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si selaku pembimbing I yang selalu memberikan masukan yang berharga dan juga kepada Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D yang telah bersedia menjadi pembimbing II yang selalu sabar dalam membimbing peyusunan tesis ini.

Akhir kata, kiranya tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang membangun untuk penulisan tesis ini penulis harapkan dari pembaca.

Medan, 17 November 2011 Penulis,


(8)

8

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK …………....………. ……… i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

PERNYATAAN ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH... vii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 8

1.3 Tujuan Penelitian………... 9

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ……….. 9

1.4.2 Manfaat Praktis ……….... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI ……... 11

2.1 Kajian Pustaka ……….... 11

2.2 Konsep ……….... 18

2.2.1 Falsafah Samurai (Bushido) ……... 18

2.2.2 Sejarah Samurai ………... 24

2.2.3 Novel ……….... 29 2.3 Landasan Teori ……….... 31

BAB III METODE PENELITIAN ………... 36

3.1 Metode ………... 36

3.2 Sumber Data………... 37

3.3 Teknik Pengumpulan Data ………... 37

3.4 Teknik Analisis Data ………... 38

3.5 Bahan Analisis ………...………... 42

BAB IV NILAI BUSHIDO DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI ... 48

4.1 Chugo (Kesetiaan) ………... 48

4.2 Rei (Kehormatan) ………... 54

4.3 Yu(Keberanian)…….………... 55

4.4 Gi(Integritas) ………... 57 4.5 Shin (Kejujuran) ………... 60 4.6 Meiyo (Nama Baik)………... 61

4.7 Jin (Kemurahan Hati)... 62

4.8 Tei (Peduli pada yang lebih tua) ... 63

BAB V NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI……...………... 65


(9)

9

5.2 Pengkhianatan ... 75

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………... 80

6.1 Simpulan ………... 80

6.2 Saran ………... 81

DAFTAR PUSTAKA ………... 83 LAMPIRAN ... 86


(10)

10

PERNYATAAN

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA DALAM

DWILOGI NOVEL SAMURAI KARYA TAKASHI MATSUOKA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 17 November 2011


(11)

11

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji bagi Allah SWT karena atas segala rahmat, karunia, kasih sayang dan ridho-Nya, serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Dalam penyelesaian studi dan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Nurlela, M. Hum. selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku dosen pembimbing I yang selalu meluangkan waktu selama proses bimbingan, memberikan kritik dan saran, bahkan bersedia meminjamkan bahan-bahan rujukan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan nasihat yang berharga pada penulis.


(12)

12

7. Bapak Prof. Dr. Amrin Saragih dan Ibu Dra. Siti Muharami Malayu, M. Hum. selaku tim penguji tesis ini, yang telah memeriksa dan memberikan saran dalam rangka perbaikan tesis ini.

8. Seluruh dosen pada Program Studi Linguistik, khususnya para dosen Konsentrasi Analisis Wacana Kesusasteraan yang telah memberikan ilmu yang berguna selama masa perkuliahan.

9. Seluruh Staf di Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.

10.Seluruh dosen pengajar Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan perhatian bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

11.Kedua orang tua; Ayahanda tercinta Alm. Drs. Iskandar Syarief, M.A. dan Ibunda tercinta Farida Hanum, yang telah memberikan segala upaya demi kelangsungan studi penulis, senantiasa mendampingi dan selalu berdoa untuk anaknya ini.

12.Abang dan kakak; dr. Anggia Mulia dan Kakanda Istie Widayatie, S.T. yang selalu mendukung penulis dimanapun mereka berada beserta keponakan tercinta Nazira.

13.Teristimewa untuk sahabat tersayang serta semua teman-teman angkatan Prodi Linguistik, baik senior, angkatan 2008, maupun junior, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.


(13)

13

Akhir kata, tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak disebut namanya namun turut membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Medan, 17 November 2011 Penulis,

Nelvita


(14)

14

PERNYATAAN

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA DALAM

DWILOGI NOVEL SAMURAI KARYA TAKASHI MATSUOKA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 17 November 2011


(15)

5

ABSTRAK

NILAI BUSHIDO DAN PENYIMPANGANNYA DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI KARYA TAKASHI MATSUOKA

Bushido merupakan suatu budaya yang dimiliki oleh samurai Jepang. Nilai

bushido ini banyak ditemukan di dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka. Penelitian tesis ini membicarakan mengenai nilai – nilai bushido

yang terdapat di dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka berdasarkan teori antropologi sastra. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa nilai – nilai bushido

terdapat di dalam novel jilid pertama, yaitu Samurai: Suzume no Kumo. Nilai

bushido ini juga masih terdapat di novel jilid kedua, yaitu novel Samurai: Aki no Hashi, namun di novel ini terdapat pertentangan terhadap nilai bushido

yang diakibatkan oleh masuknya bangsa asing ke Jepang. Nilai bushido yang terdapat di dalam novel ini adalah nilai kesetiaan, kehormatan, keberanian, kejujuran, kepercayaan diri, kepatuhan, dan pengabdian diri.


(16)

6

ABSTRACT

BUSHIDO’S VALUE AND THE DISTORTIONS IN ‘SAMURAI’ NOVEL AUTHORED BY TAKASHI MATSUOKA

Bushido is a culture wich is owned by the Japanese. Bushido values can be found in the novel entitled samurai by Takashi Matsuoka. This thesis research discusses about bushido values. The theory used in this research anthropological literature. The research method used is a qualitative method.From the analyze, the bushido values found out in the first volume of the novel entitled Samurai: Suzume no Kumo. Bushido values is also still there in the second volume novel entitled Samurai: Aki no Hashi. But in this second volume novel, there is a conflict of bushido values caused by the entry of the foreigners into Japan. Bushido values contained in this novel are the value of loyalty, honor, courage, honesty, confidence, obedience and devotion. Keywords: bushido, Samurai, Takashi Matsuoka, novel


(17)

15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Ada terdapat berbagai macam definisi kebudayaan, ada yang membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak kentara atau laten. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang konkrit, berwujud, dan dapat dijamah. Sedangkan Ienaga Saburo (dalam Situmorang, 2008: 3) membedakan pengertian kebudayaan dalam arti sempit dan kebudayaan dalam arti luas. Kebudayaan dalam arti luas adalah segala usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit meliputi tradisi dan sistem kepercayaan. Sementara kebudayaan menurut Tylor (dalam Ratna, 2005: 5) adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, adat-istiadat, moral, termasuk juga sastra, dan lain-lain.

Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra terjadi dalam konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi, konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1989: 120). Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku warga masyarakat dan menyapa pembaca yang juga sama-sama dengannya yang merupakan warga masyarakat tersebut. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk. (1989:


(18)

2

26) yang menyatakan bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam menganalisis sistem masyarakat.

Karya sastra merupakan rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan. Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat, manusia sebagai fakta sosial dan juga manusia sebagai makhluk kultural. Kebudayaan bersifat universal, artinya kebudayaan dimiliki oleh tiap bangsa di dunia ini, dan setiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, yaitu aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas, kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal. Objek yang diteliti adalah masyarakat itu sendiri. Dalam ilmu sastra, tokoh-tokoh dan kejadian dipahami secara imajinatif sebagai hasil rekaan pengarang. Sebaliknya, melalui pemahaman fakta sosial akan didapat pengertian yang berbeda, mengapa pengarang menciptakan tokoh sebagaimana terkandung dalam karya sastra, seberapa jauh tokoh-tokoh tersebut mewakili tokoh-tokoh yang ada dalam masyarakat yang sesungguhnya. Dalam hubungan inilah terjadi analisis dalam kaitannya dengan sastra dan kebudayaan.

Keseluruhan permasalahan masyarakat yang dibicarakan dalam sastra dan kebudayaan, tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya. Kenyataan, baik sebagai fakta sosial maupun fakta sejarah memegang peranan penting baik dalam karya sastra maupun kebudayaan. Hakikat masyarakat dan kebudayaan pada umumnya adalah kenyataan, sedangkan hakikat karya sastra adalah


(19)

3

imajinasi. Namun imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan.

Setiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan Jepang. Jepang memiliki budaya yang khas yang tidak dimiliki oleh bangsa yang lain dan merupakan budaya yang unik untuk dipahami dan dipelajari. Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang selalu berusaha memelihara dan melestarikan kebudayaan bangsanya. Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang mampu mengambil dan menarik manfaat dari hasil budi daya bangsa lain tanpa mengorbankan kepribadian sendiri. Selain itu juga sifat bangsa Jepang menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidup dan meneruskan nilai-nilai budaya bangsanya. Jepang tidak pernah kehilangan kepribadian dan adat-istiadatnya yang tradisional.

Kekhasan dan keunikan budaya Jepang juga dapat dilihat dari kehidupan nyata, dapat diekspresikan atau diungkapkan dalam bentuk karya sastra yaitu novel. Sesuai dengan media yang tersedia, di antara jenis-jenis karya sastra, novel merupakan sarana yang paling memadai dalam menampilkan kembali masalah-masalah kehidupan. Dalam penelitian ini budaya samurai akan penulis kaji dari dwilogi novel Samurai karya Takashi Matsuoka.

Novel Samurai merupakan sebuah karya sastra epik yang dikarang oleh Takashi Matsuoka. Takashi Matsuoka lahir pada tanggal 10 Januari 1947. Sejak kecil Matsuoka sudah bercita-cita menjadi penulis, mengikuti jejak sang ayah, seorang reporter surat kabar di Hawaii. Takashi Matsuoka sempat bekerja di kuil Buddha Zen


(20)

4

sebelum menjadi penulis full-time. Takashi juga belajar hukum di New York, dan kini kegiatannya hanya menulis dan tinggal di Honolulu.

Novel ini terdiri atas dua jilid yaitu novel yang pertama adalah novel

Samurai: Suzume no Kumo (Kastel Awan Burung Gereja) dan novel kedua adalah

Samurai: Aki no Hashi (Jembatan Musim Gugur). Novel Samurai: Suzume no Kumo

merupakan novel perdana karya Takashi Matsuoka yang menceritakan tentang kehidupan samurai yang berlatar (setting) Jepang pada zaman Edo (1603-1867). Matsuoka mengenalkan kebiasaan, ritual, dan tradisi Jepang kepada pembacanya. Dalam novel ini terdapat budaya bushido pada masyarakat Jepang di zaman itu. Novel ini juga menampilkan tentang sejarah Jepang pada masa itu. Dalam novel ini, Takashi mengkritik sejarah bangsa Jepang karena mengisolasi diri selama berabad-abad.

Di samping itu, alur cerita yang beralih-alih membuat kisah ini sangat dinamis. Pengarang menggambarkan dunia para bangsawan, geisha, ninja, samurai dan rahib yang dilukiskan secara detail. Takashi juga mengajak pembaca berimajinasi dengan menyelami perpaduan unik kemanusiaan dan keanggunan kuno khas Jepang di samping merenungi makna kehidupan dan kematian.

Lanjutan dari novel Samurai: Suzume no Kumo adalah novel Samurai: Aki no Hashi. Dalam lanjutannya ini, Takashi sedikit demi sedikit menyibak rahasia yang terselubung dalam buku pertama. Takashi juga mengajak pembaca untuk berimajinasi dengan menyelami arti pengetahuan dan pertanda bagi manusia. Dalam novel


(21)

5

bushido yang muncul pada tokoh-tokoh samurai yang merupakan oknum dari bushi

berupa pengkhianatan pada tiap generasi klan Okumichi.

Dwilogi novel ini menceritakan tentang kisah hidup Genji Okumichi, seorang

daimyo (tuan tanah) di Akaoka, yang memiliki pemikiran moderat untuk menerima masuknya bangsa asing ke Jepang. Bushido1 yang sangat diagung-agungkan itu harus ditinggalkan, digantikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat. Sikap Genji ini dinilai sangat kontroversial dan kurang ajar oleh kelompok bangsawan dan generasi tua yang sangat mencintai tradisi samurai.

Kemudian dapat dilihat beberapa pujian terhadap novel tersebut. Misalnya, adalah “Perjalanan melewati imajinasi daratan Jepang pada 1868 yang sangat nyata” (Publishers Weekly). Kemudian The Grand Rapid Press juga menyatakan bahwa novel ini merupakan “Novel debutan yang sangat menarik dan Matsuoka punya semua karakteristik yang dibutuhkan untuk menjadi pengarang besar”. Begitu pula dengan Baton Rouge Magazine yang mengatakan bahwa novel ini merupakan “Novel perdana yang mengesankan… benar-benar menarik dan susah diletakkan begitu Anda mulai membacanya”.

Kemudian dapat dilihat pujian untuk novel Samurai: Jembatan Musim Gugur dari Publishers Weekly, yakni “Takashi Matsuoka berkisah dengan sangat kaya dan terpercaya, membuat novel Samurai: Jembatan Musim Gugur ini menjadi bacaan

1

Bushido (武士道)adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai yang bersumber dari pelajaran agama Buddha, khusunya ajaran Zen dan Shinto. Bushido mengandung keharusan samurai untuk senantiasa memperhatikan 1. kejujuran, 2. keberanian, 3. kemurahan hati, 4. kesopanan, 5. kesungguhan, 6. kehormatan/harga diri, dan 7. kesetiaan.


(22)

6

yang memukau”. Novel ini merupakan, “Salah satu cerita yang paling impresif sepanjang masa. Dikisahkan dengan detil rumit dan eksotis, membuat Samurai:

Jembatan Musim Gugur ini sangat memuaskan pembacanya”. (San Fransisco Chronicle Books).

Dalam novel Samurai ini banyak terdapat nilai-nilai budaya Jepang terutama

bushido. Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-1333), terus berkembang mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan, dan lain-lain. Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido. Bushido (jalan prajurit) merupakan nilai-nilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido

digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido lahir dari ajaran Shinto, Zen Buddhisme dan ajaran Konfusius yang menjadikannya suatu kode etik bagi samurai pada zaman Edo. Setiap samurai menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan, serta pengendalian diri (Suryohadiprojo,1987: 197).

Bushido yang terdapat di setiap zaman memiliki karakteristik masing-masing. Bushido lama adalah bushido yang ada semenjak adanya bushi di Jepang. Ciri khas bushido lama ini berbeda-beda di setiap daerah, tetapi pada umumnya berupa moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah. Adanya ketidakseragaman konsep pengabdian diri pada masing-masing bushido lama ini adalah karena terpencarnya kekuasaan pemerintah di Jepang


(23)

7

sebelumnya. Bushido lama ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, gejala paling jelas dapat dilihat dari perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya (Situmorang, 1995: 21).Pemikiran bushido lama ini lahir pada zaman Kamakura dan Muromachi yang hidup di masyarakat bushi hingga zaman Edo.

Ada sepuluh sikap yang harus dimiliki oleh bushi di dalam mewujudkan moral shido, yaitu: menjaga perasaan, mempunyai kebebasan hati, mempunyai harapan, kemurahan, kecerahan, membicarakan giri, menerima takdir jiwa pasrah,

seiren (hidup jernih), kejujuran, dan teguh hati (gusho). Kesepuluh sikap tersebut harus diterapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai berikut: mengupayakan chuko (kesetiaan pengabdian terhadap tuan dan terhadap ayah), mengutamakan jinggi (kemanusiaan), melakukan berbagai penelitian terhadap alam, dan mempelajari tulisan. Kemudian bushi juga harus memperhatikan igi

(kesan/penampilan) dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara berpakaian, cara makan dan tempat tinggal (Situmorang, 1995: 55). Igi bushi juga diterapkan dalam tata krama makan, pakaian dan tempat tinggal.

Shido ini bersumber dari jugaku (konfusionis) yang muncul dari pemikiran

kangakusha yang muncul dari pengalaman di zaman Sengoku jidai (masa perang seluruh negeri) sebagai pendidikan politik dengan tujuan supaya negara aman (Situmorang, 1995: 57).


(24)

8

Dalam novel Samurai: Suzume no Kumo ini banyak terdapat nilai-nilai budaya Jepang terutama bushido (jalan hidup bushi) yang sangat tinggi, maka penulis mencoba untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan hal yang telah disebutkan di atas. Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis nilai falsafah bushido yang terdapat di dalam dwilogi novel Samurai.

Kemudian di dalam novel jilid kedua, Samurai: Aki no Hashi juga masih terdapat nilai–nilai bushido, namun di dalam novel kedua ini sudah mulai ada penyimpangan terhadap nilai – nilai bushido yang diakibatkan oleh bangsa asing yang masuk ke Jepang. Kedua aspek ini menarik penulis untuk membahas mengenai nilai – nilai bushido dan penyimpangannya di dalam dwilogi novel Samurai.

1.2 Perumusan Masalah

Secara garis besar permasalahan yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini adalah tentang nilai falsafah bushido dan penyimpangannya yang terdapat dalam dwilogi novel Samurai karya Takashi Matsuoka. Adapun masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah nilai falsafah bushido yang terdapat dalam dwilogi novel

Samurai karya Takashi Matsuoka?

2. Bagaimanakah penyimpangan nilai bushido di dalam dwilogi novel Samurai


(25)

9

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menguraikan nilai falsafah bushido yang terdapat dalam dwilogi novel

Samurai karya Takashi Matsuoka.

2. Menganalisis penyimpangan nilai bushido yang terdapat dalam dwilogi novel

Samurai karya Takashi Matsuoka.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk merangsang penelitian sastra Jepang yang selama ini berfokus pada penelitian intrinsik dan struktural. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya Jepang.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khasanah pengetahuan tentang perkembangan sastra Jepang.


(26)

10

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Membantu masyarakat untuk memahami nilai budaya dan filsafat Jepang. 2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan

kebudayaan masing-masing.


(27)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai bushido dan penyimpangannya dalam karya sastra Jepang yang berjudul Samurai karya Takashi Matsuoka sepanjang yang diketahui belum ada. Namun penelitian mengenai bushido dalam karya sastra yang lain cukup sering ditemukan. Di antaranya adalah:

1. Skripsi dari Universitas Sumatera Utara yang berjudul Etika Bushido dalam Novel Shiosai karya Yukio Mishima yang diteliti oleh Anto Gultom. Skripsi ini memfokuskan pada etika bushido di dalam novel Shiosai yang menekankan pentingnya sebuah kesetiaan dalam menjalankan suatu tanggung jawab walaupun beban tugas yang diberikan cukup berat. Etika moral

bushido ini adalah keberanian, kejujuran, kehormatan, kesopanan, kebajikan, kesetiaan, ketulusan dan keteguhan hati.

2. Skripsi dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 2010 yang berjudul Analisis Tujuh Prinsip Bushido dalam Novel Young Samurai the Way of the

Sword’ karya Chris Bradford oleh Wulandari Fikri. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif. Novel Young Samurai ’the Way of the

Sword’ merupakan sebuah novel yang menyajikan sisi kehidupan masyarakat

Jepang pada abad ke-16. Dimana pada saat itu merupakan zaman yang penuh dengan sejarah kebangkitan feodal Jepang. Zaman tersebut merupakan zaman


(28)

12

yang banyak melahirkan kekuatan-kekuatan militer Jepang, seperti dengan adanya kemunculan bushi atau yang dikenal dengan samurai pada saat sekarang. Dalam bushido terkandung beberapa prinsip dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup seorang samurai. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat bushido yang harus dimiliki seorang samurai menurut Bradford terdiri dari tujuh prinsip antara lain, gi (integritas), yu (keberanian),

jin (welas asih atau kasih sayang), rei (hormat), makoto (kejujuran), meiyo

(martabat), dan chungi (kesetiaan). Novel Young Samurai ’the Way of The

Sword’, menceritakan kisah Jack seorang anak berusia dua belas tahun berkebangsaan Inggris yang telah belajar memahami banyak hal tentang pelajaran-pelajaran mengenai berbagai macam nilai-nilai bushido di sebuah sekolah yang bernama Niten Ichi Ryo setelah ia diangkat sebagai anak oleh seorang daimyo yang bernama Masamoto. Kisah ini terjadi pada zaman Edo, dimana pada zaman ini merupakan zaman yang memuat sejarah kebangkitan feodal Jepang, yang melahirkan sistem militer Jepang, seperti dengan terbentuknya bushi atau samurai.

3. Skripsi dari Universitas Sumatera Utara pada tahun 2010 yang berjudul Analisis Nilai Kesetiaan Bushidou Dihubungkan dengan Karoushi karya Johan Kristian Napitupulu. Pada zaman feodal di Jepang bushido merupakan konsep pengabdian diri bushi. Di dalam ajaran bushido terdapat nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kesetiaan, kehormatan, kebajikan dan keteguhan hati. Pada awalnya konsep pengabdian diri bushi disebut dengan bushido yang


(29)

13

ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, sehingga anak buah melakukan junshi yaitu bunuh diri mengikuti kematian tuannya. Kesetiaan untuk kepentingan bersama dan tuannya merupakan pemenuhan kewajiban samurai untuk mentaati nilai-nilai bushido. Perilaku junshi yang dilakukan bushi merupakan salah satu cerminan perilaku dari adanya budaya rasa malu di Jepang. Prinsip ketidakmampuan. membalaskan budi baik tuan membuat mereka melakukan pengabdian yang mutlak diluar dari pemikiran rasional. Rasa malu mengakibatkan pengabdian yang paling tinggi yang dilakukan para bushi terhadap tuannnya. Dalam hal ini rasa malu bagi bushi dapat diartikan dengan jalan kematian sehingga menjadi pedoman bagi setiap bushi. Seorang bushi membalaskan budi baik tuannya dengan cara mengabdi sampai mati untuk tuannya dengan melakukan junshi. Apabila seorang bushi tidak melakukan junshi setelah kematian tuannya maka masyarakat akan menilainya bushi pengecut sehingga ia akan merasa malu. Pada masa modern ini corak pengabdian diri bushi terlihat pada fenomena karoshi. Karoshi dapat diartikan kematian yang disebabkan karena terlalu banyak bekerja. Fenomena karoshi yang terjadi pada pekerja di Jepang, memiliki kesamaan dengan perilaku junshi yang dilakukan oleh kaum bushi, yaitu sebagai bentuk pengabdian terhadap atasan.

4. Skripsi dari Unversitas Sumatera Utara pada tahun 2010 yang berjudul Analisis Kesetiaan pada Tokoh-Tokoh Samurai dalam Komik Shanaou Yoshitsune karya Sawada Hirofumi karya Marnita Widya U.N. Simbolon.


(30)

14

Komik Shanaou Yoshitsune karya Sawada Hirofumi merupakan komik yang menceritakan tentang kesetiaan para samurai dalam memperjuangkan kehormatan klannya (keluarga), yang telah direbut oleh klan samurai lain. Di dalam cerita ini terdapat 3 jenis makna kesetiaan berdasarkan Bushido secara umum, yaitu kesetiaan berdasarkan ekonomi, kesetiaan berdasarkan moral dan kesetiaan berdasarkan keterpaksaan. Makna kesetiaan itu sendiri merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang samurai sehingga mereka rela mengorbankan nyawanya sendiri. Samurai merupakan kaum petarung yang mempunyai kemampuan dalam seni bela diri. Selain pedang, seorang samurai juga memiliki banyak kemampuan dan keahlian dalam menggunakan busur dan panah. Para samurai akan menjadi seorang ksatria semenjak ia mulai menjadikan dirinya seorang samurai sampai ia mati. Mereka tidak mempunyai rasa takut terhadap bahaya. Kumpulan samurai disebut dengan Bushi. Sedangkan Bushido merupakan prinsip hidup samurai dalam ajaran Shinto. Dalam ajaran Shinto, Bushido dibekali dengan ajaran kesetiaan dan patriotisme. Bagi seorang samurai, penghormatan adalah segalanya. Kehormatan terbesar adalah kemampuannya untuk melakukan Bushido, yang apabila dilihat dari kanjinya bermakna, “jalan hidup ksatria”. Ini merupakan kode etik dan jalan hidup bagi seorang samurai di Jepang. Bushido lebih ditekankan pada pelayanan diri sendiri, keadilan. Rasa malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah hati, kesederhanaan, semangat bertarung, kehormatan, kasih sayang, dan yang paling utama adalah kesetiaan.


(31)

15

5. Penelitian dari Universitas Airlangga pada tahun 2006 yang berjudul Representasi Nilai-Nilai Bushido dalam Film Produksi Hollywood: Studi Semiotik Tentang Representasi Nilai-Nilai Bushido dalam Film The Last Samurai karya Jatu Arrumurti Mursito. Film, sebagai suatu media penyampai pesan sekaligus sebagai sebuah produk budaya, film juga fak lepas dari kekuasaan yang dimiliki oleh pembuat film untuk memasukkan berbagai nilai maupun elemen yang mendasari hal yang tampak dalam film tersebut. Budaya Jepang, dalam konteks ini yaitu Bushido, sebagai pedoman moral yang menjadi tuntunan dalam menjalankan prinsip hidup seorang samurai yang ingin direpresentasikan melalui kacamata budaya barat, yaitu Hollywood. Bushido, sebagai sebuah elemen dari budaya Jepang tentunya dengan berbagai macam nilai di dalamnya dianggap sebagai suatu realitas kemudian diangkat menjadi sebuah representasi identitas kultural dalam film The Last Samurai. Dimana, dalam representasi tersebut sudah tentu termuati kandungan makna dari suatu budaya timur yang coba diangkat ke dalam sebuah media oleh budaya barat, dalam konteks ini adalah Hollywood. Fokus permasalahan dari penelitian ini, yaitu tentang bagaimana nilai-nilai Bushido direpresentasikan dalam film produksi Hollywood, yakni The Last Samurai. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu realitas ditampilkan kembali dalam sebuah film yakni The Last Samurai. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menggali data yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan, yakni representasi dalam film produksi


(32)

16

Hollywood dalam film The Last Samurai. Melalui pendekatan kualitatif dan menggunakan metode semiotik, maka informasi yang diperoleh akan diatur ke dalam pola-pola tertentu, yang kemudian diinterpretasi dan ditarik kesimpulan mengenai representasi Bushido dalam film produksi Hollywood, yakni The Last Samurai. Dari hasil analisis dan interpretasi peneliti melalui data yang diambil, serta mengacu pada beberapa literatur yang membahas mengenai sejarah budaya Jepang, peneliti menginterpretasi bahwa dalam film ini enam prinsip nilai yang terkandung dalam Bushido direpresentasikan melalui tiga level semiotik. Keenam nilai tersebut, yakni honour (kehormatan), loyality (kesetiaan), bravery (keberanian), discipline (kedisiplinan ), sincerity (kejujuran), serta politeness (kesopansantunan).Masing-masing dari keenam nilai tersebut terepresentasi pada tiga level dalam semiotik yang digunakan untuk menganalisis data, yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi.

Oleh karena itu, penelitian terhadap nilai bushido dan penyimpangannya dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka ini perlu dilakukan, dengan harapan dapat menambah informasi mengenai nilai bushido dan penyimpangannya yang terdapat dalam karya sastra Jepang.

Bushi adalah golongan militer yang dikenal juga sebagai ahli-ahli pedang Jepang atau disebut juga dengan samurai. Benedict (1982: 335) mengatakan samurai


(33)

17

bahwa bushi adalah kelompok petani yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya kizoku (keluarga bangsawan) dalam mempertahankan eksistensi shoen dan

dozoku tuannya yang mengakibatkan para bushi saling berperang. Setelah bushi

berhasil menjalankan tugasnya, lama kelamaan mereka tidak tergantung lagi pada

kizoku melainkan kizoku akhirnya bergantung pada bushi. Sehingga kelompok bushi

ini menjadi kelompok yang disegani.

Bushido atau jalan hidup bushi menurut Kawakamidalam Bellah(1985: 121) pada awalnya berkembang dari kebutuhan-kebutuhan praktis para prajurit, selanjutnya dipopulerkan oleh ide-ide moral Konfusius tidak hanya sebagai moralitas kelas prajurit tetapi juga sebagai landasan moral nasional. Kelas samurai secara sangat sadar dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas.

Benedict (1982: 333) mengatakan bushido adalah tata cara samurai yang merupakan sebuah perilaku tradisional yang ideal. Inazo Nitobe (dalam Benedict, 1982: 333) mengatakan bushido adalah perpaduan antara kehormatan, kesopanan, kesetiaan dan pengendalian diri.

Tsunetomo dalam Religi Tokugawa mengatakan 4 sumpah bushi sebagai berikut:

1. supaya bushi mampu mematuhi peraturan yang berlaku bagi bushi 2. supaya menjadi bushi yang berguna bagi tuan

3. supaya menjadi bushi yang mengabdi kepada orang tua


(34)

18

Kesetiaan ini diwujudkan dengan bunuh diri mengikuti kematian tuannya ataupun mewujudkan balas dendam tuannya. Bushido lama dapat ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya dan kemudian diikuti dengan pengabdian kepada orang tua (Situmorang, 1995: 21).

2.2 Konsep

2.2.1 Falsafah Samurai (Bushido)

Sistem nilai budaya terdiri atas konsep-konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar masyarakat. Konsep-konsep tersebut berkenaan dengan hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat. Misalnya dalam masyarakat Jepang ada sistem nilai budaya filsafat samurai (bushido) yang bersumber dari ajaran Buddha aliran Zen, Shintoisme dan Konfusionis.

Bushido terdiri dari kata bushi (ksatria atau prajurit) dan do (jalan). Bushido

atau jalan ’ksatria’ merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (abad 12-19). Makna

bushido secara umum adalah sikap rela berkorban bagi pimpinan atau negara. Pada zaman feodal itu, pengelompokan dalam masyarakat amat ketat dijalankan, dimana


(35)

19

bushi atau samurai menempati posisi tertinggi. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh masyarakat, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku

bentuk etika, diterapkan dengan ketat, dan diajarkan pada masyarakat.

Kode bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hukum tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, serta mempersiapkan kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuannya. Mereka mengabdikan kesetiaan itu sebagai standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan.

Bushido sudah terimplementasikan secara baik dan sudah menjadi sistem kepribadian bagi setiap masyarakat Jepang (Agustian, 2010: 40). Nilai-nilai tersebut yaitu:

1. Gi ( 義 - integritas ) : mempertahankan etika dan menjaga kejujuran

Seorang Samurai senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan kebenaran. Integritas merupakan nilai Bushido yang paling utama. Kata integritas mengandung arti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam falsafah bushido, dan merupakan dasar bagi insan manusia untuk lebih mengerti tentang moral dan etika.

“Seorang ksatria harus paham betul tentang yang benar dan yang salah, dan berusaha keras melakukan yang benar dan menghindari yang salah. Dengan cara itulah bushido biasa hidup.” (Kode Etik Samurai)


(36)

20

Integritas bisa diartikan kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, atau ketulusan. Semua arti kata itu tepat sekali mendukung pembentukan sosok pribadi manusia sesuai yang diharapkan yaitu manusia yang ”paripurna” atau secara sederhana ialah manusia yang penuh dengan ”kemuliaan”. Dalam kamus Oxford memiliki dua arti yang terkait dengan kepribadian seseorang: jujur dan utuh. Integritas berasal dari bahasa Latin ”integrate” yang artinya komplit. Kata lain dari komplit adalah tanpa

cacat, sempurna, tanpa kedok. Maksudnya adalah apa yang ada di hati dan yang kita ucapkan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan adalah sama.

2. Yū (勇– Keberanian) : berani dalam menghadapi kesulitan

Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip keberanian yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Keberanian merupakan ciri para samurai, mereka siap dengan risiko apapun termasuk mempertahankan nyawa demi memperjuangkan keyakinan.

Keberanian mereka tercermin dalam prinsipnya yang menganggap hidupnya tidak lebih berharga dari sebuah bulu. Namun demikian, keberanian samurai tidak membabibuta, melainkan dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin.

Keberanian merupakan aset yang sangat berharga bagi siapapun yang hidup di dunia ini. Tanpa keberanian seseorang tidak akan menjadi siapa-siapa dan tidak akan meraih kesuksesan. Keberanian bisa menjadikan samurai yang dianggap mustahil menjadi kenyataan. Keberanian memungkinkan seseorang untuk keluar dari kesulitan dan bahkan berhasil meraih kesuksesan.


(37)

21

Yang menarik dalam kode bushido dijelaskan bahwa sikap pemberani tidak saja terlihat dalam situasi perang, namun juga dalam keadaan damai. Keberanian bukanlah sesuatu yang hanya tampak pada saat seseorang mengenakan baju besi, mengangkat senjata, lalu bertempur dalam peperangan. Perbedaan antara sikap berani dan sikap pengecut itu sudah bisa tampak dalam kehidupan sehari-hari meski tanpa perang.

3. Jin (仁– Kemurahan hati) : mencintai sesama, kasih sayang dan simpati

Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan (yang). Jin

mewakili sifat feminin. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi berperang, para

samurai harus memiliki sifat pengasih dan peduli pada sesama manusia. Sikap ini harus tetap ditunjukkan baik di siang hari yang terang-benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.

Kasih sayang dan kepedulian tidak hanya ditujukan pada atasan dan pimpinan namun pada kemanusiaan. Sikap ini harus tetap ditunjukan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.

4. Rei (礼– Menghormati) : Hormat kepada orang lain.

Ksatria tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang waktu. Sikap santun dan hormat tidak saja ditujukan pada pimpinan dan orang tua, namun kepada tamu atau siapa pun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam


(38)

22

memperlakukan benda ataupun senjata. Hingga saat ini kesantunan para samurai

masih terlihat pada cara orang Jepang merundukkan kepalanya sebagai tanda hormat. ”Apakah kau sedang berjalan, berdiri diam, sedang duduk, atau sedang bersandar, di dalam perilaku dan sikapmu lah kau membawa diri dengan cara yang benar-benar mencerminkan prajurit sejati. (Kode Etik Samurai)

5. Makoto atau (信– Shin) : Kejujuran dan tulus-ikhlas.

Jujur dan tulus ikhlas merupakan kode etik samurai yang berarti berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang siapapun.

6. Meiyo (名誉– nama baik) : Menjaga kehormatan diri dan kemuliaan

Bagi samurai cara menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode

bushido secara konsisten sepanjang waktu dan tidak menggunakan jalan pintas yang melanggar moralitas. Seorang samurai memiliki harga diri yang tinggi, yang mereka jaga dengan cara perilaku terhormat. Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu dan menghindari perilaku yang tidak berguna. Malu adalah budaya leluhur dan turun-temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran.

”Jika kau di depan publik, meski tidak bertugas, kalau tidak boleh sembarangan bersantai. Lebih baik kau membaca, berlatih kaligrafi, mengkaji sejarah, atau tatakrama keprajuritan.” (Kode Etik Samurai)


(39)

23

7. Chūgo (忠義– kesetiaan) : Kesetiaan kepada satu pimpinan dan guru

Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan seorang ksatria tidak saja saat pimpinannya dalam keadaan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. Puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan kehormatan seorang samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan.

”Seorang ksatria mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melakukan pelayanan tugas.” (Kode Etik Samurai)

8. Tei (悌) : Menghormati orang tua dan menghargai tradisi

Samurai sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka harus memahami silsilah keluarga juga asal-usulnya. Mereka fokus melayani dan tidak memikirkan jiwa dan raganya pribadi.

”Tak peduli seberapa banyak kau menanamkan loyalitas dan kewajiban keluarga di dalam hati, tanpa prilaku baik untuk mengekspresikan rasa hormat dan peduli pada pimpinan dan orang tua, maka kau tak bisa dikatakan sudah menghargai cara hidup samurai. (Kode Samurai).”

Dalam masyarakat Edo, bushi sering dikatakan sebagai pemelihara moralitas, karena pekerjaan bushi bukan mengolah, bukan berdagang dan bukan berperang. Di dalam masyarakat yang damai karena tidak ada perang maka bushi menjadi penganggur. Oleh karena itu dalam ajaran shido dikatakan bahwa bushi harus


(40)

24

menyadari eksistensinya sebagai hati di dalam badan. Bushi adalah sebagai guru masyarakat.

2.2.2. Sejarah Samurai

Asal muasal kaum samurai dimulai pada keluarga Yamato, yaitu klan terkuaat di Jepang hingga abad ketujuh Masehi. Istilah samurai, berasal dari kata kerja bahasa Jepang saburau yang berarti ‘melayani’. Pada awalnya istilah mengacu kepada

“seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Yang dinamakan samurai hanya mereka yang lahir dari keluarga terhormat dan ditugaskan untuk menjaga anggota keluarga kekaisaran.

Selanjutnya keluarga Yamato kesulitan mempertahankan kekuasaannya dan mulai mendelegasikannya pada mantan pesaing yang berfungsi sebagai gubernur. Ketika kekaisaran Yamato makin melemah, para gubernur lokal justru makin kuat. Beberapa gubernur mereka menguasai negara hingga tahun 1867. Seiring berjalannya waktu, semua naggota kelas penguasa, mulai dari shogun hingga ksatria yang paling rendah secara umum disebut sebagai samurai.

Pada awal sejarah samurai, khususnya pada masa berlaku pertarungan satu lawan satu, pertarungan berdasarkan pada kemuliaan para prajuritnya. Para petarung saling menghargai satu sama lain. Mereka juga memiliki kehormatan diri yang sangat kuat, yang didasarkan pada ajaran etika prajurit.

Beberapa peraturan berubah seiring berjalannya waktu dan dengan adanya perjanjian-perjanjian dengan prajurit asing. Salah satu dari perubahan tersebut terjadi


(41)

25

pada abad ke-13, saat pasukan Mongolia menginvasi Jepang bagian Selatan. Perubahan ini terjadi karena jumlah pasukan Mongolia saat itu jauh mengungguli pasukan Jepang. Mereka juga memiliki senjata yang lebih canggih seperti meriam, panah beracun, dan pasukan pemanah yang mampu menembakkan panah bertubi-tubi dalam peperangan. Para prajurit Mongolia juga tidak menghargai etika keprajuritan seperti layaknya para samurai, maka sulit bagi para samurai untuk menerima cara bertarung yang demikian. Para samurai telah terbiasa mengenal secara personal musuh mereka, dan sekarang mereka harus melawan sebuah pasukan yang sama sekali asing. Etika yang dijunjung tinggi pada pertarungan-pertarungan sebelumnya pun tidak dapat diaplikasikan. Pengalaman melawan pasukan Mongolia mengajarkan para samurai bahwa tidak semua prajurit memiliki etika dalam bertarung.

Pada tahun 1400, jumlah anggota kelompok samurai di Jepang mencapai angka 10 persen dari seluruh populasi masyarakat. Karena tidak ada masa peperangan, para samurai mulai merambah ke berbagai aspek budaya. Para samurai

menggabungkan latihan keras dalam seni perang dengan studi ilmu klasik China seperti sastra, puisi, kaligrafi, seni lukis, dan seni keramik. Semakin tinggi derajat

samurai termasuk shogun, maka semakin penting pula pelajaran tersebut baginya. Keadaan aman tanpa perang berlangsung hingga tahun 1467 sebelum akhirnya pemerintahan shogun melemah dan para daimyo mulai berusaha mengambil alih kekuasaan tertinggi dan era pedang dimulai lagi.

Periode berikutnya dikenal dengan periode Sengoku –yang berarti periode perang- berlangsung selama 101 tahun. Pada masa itu serangkaian pertempuran dan


(42)

26

peperangan hebat terjadi di kalangan daimyo untuk saling menguasai. Selama periode perang tersebut keahlian luar biasa dalam seni olah pedang serta senjata lain menjadi sebuah keharusan bagi para samurai. Setiap shogun dan daimyo di seluruh Jepang mebentuk dojo atau sekolah bela diri yang dipimpin oleh para master atau pendekar Jepang.

Perang antar klan ini menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Tak terhitung banyaknya warisan seni dan budaya yang dihancurkan seperti kuil, bangunan kuno, perpustakaan yang hancur dan hilang lenyap.

Masa beriktunya Jepang berhasil disatukan sehingga mencapai masa perdamaian oleh tiga shogun yaitu: Oda Nobunaga (1534-1582), Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), dan Tokugawa Ieyasu (1542-1616).

Setelah satu abad lebih mengalami kekacauan, masa damai itu berdampak pada kemakmuran ekonomi dan perkembangan seni dan budaya yang terus meningkat. Arsitektur benteng menjadi marak, minat baru terhadap sastra dan puisi serta lukisan bermunculan. Upacara minum teh mencapai puncaknya sedangkan ilmu bela diri pun terus berkembang.

Pada masa pemerintahan Tokugawa diberlakukan kebijakan pengasingan nasional. Semua orang Jepang dilarang meninggalkan negara secara permanen dan menolak semua orang asing mengunjungi Jepan. Jepang benar-benar terisolasi dari dunia internasional. Kebijakan ini menjadi faktor paling penting dan menyebabkan panjangnya masa pemerintahan Tokugawa hingga mencapai 250 tahun.


(43)

27

Pada masa Tokugawa, samurai menduduki posisi sekaligus memiliki hak-hak istimewa. Bersama dengan keluarga mereka, samurai ini berjumlah sekitar 7-10% populasi nasional. Mereka diberi jaminan hak istimewa sosial yang lebih tinggi dan upah tetap yang turun-temurun berdasarkan undang-undang yang ditetapkan Hideyoshi dan dilanjutkan oleh Tokugawa.

Meskipun mereka memiliki hak istimewa, namun sesungguhnya samurai pada masa ini adalah prajurit yang tidak menghadapi perang untuk dimenangkan. Oleh karena itu sebagian dari mereka mencari pekerjaan di bidang lain seperti pemerintahan atau mengajar. Pada masa ini, para samurai sangat besar kesadarannya sebagai sebuah kelas yang memiliki peran unik dan besar dalam sejarah Jepang. Mereka mengutamakan perbuatan dan tingkah laku leluhur mereka dan mencari kemuliaan pada perilaku samurai terdahulu. Di sinilah peran samurai dalam mebentuk karakter seluruh masyarakat Jepang dimulai, yaitu dengan memberikan contoh dan keteladanan kepada kasta yang lebih rendah.

Samurai pada masa Tokugawa tersebut menggunakan waktu luang mereka untuk mendapat derajat pendidikan yang melebihi masa-masa sebelumnya. Selama periode ini, para samurai yang sudah mendalami berbgai disiplin ilmu lain di luar seni perang, secara kolektif mulai menuliskan ciri-ciri ideal seorang samurai yang dikenal dengan bushido atau jalan ksatria. Kode ini tidak bisa dijelaskan hanya dalam beberapa kata, namun intinya adalah keyakinan bahwa samurai harus memiliki kesetiaan mutlak pada tuan atau pemimpin mereka. Pada masa selanjutnya, samurai


(44)

28

mereka tetap mengabadikan kesetiaan itu sebagai standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan.

Kode etik bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hukum tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, dan mempersiapkan kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuannya.

Bushido kemudian menjadi sebuah hukum dan budaya yang membentuk karakter dan perilaku masyarakat Jepang secara umum, meliputi berbagai aspek kehidupan hingga mencapai tingkatan yang belum pernah diraih sebelumnya. Para

samurai pun mengajari kode etiknya kepada anak-anak Jepang selama masa sakoku

(isolasi) hingga mencapai 250 tahun.

Merapatnya kapal-kapal hitam Amerika di perairan Jepang pada 1853 secara militer memaksa Tokugawa untuk membuka pintu gerbang Jepang dan mengakhiri masa ketertutupan (sakoku).

Laksamana Perry yang memimpin angkatan laut Amerika kemudian mengajak berunding agar Jepang membuka diri kepada pihak asing. Diharapkan Shogun membolehkan kapal asing merapat di pelabuhan Jepang dan mengijinkan perdagangan. Saat itu Tokugawa tersadar tradisi yang kaku dan pemerintahan feodalistik tidak bisa mempersatukan dan membangun Jepang. Selanjutnya kekuasaan diserahkan kepada Kaisar Meiji, maka terjadilah modernisasi dan


(45)

29

perubahan besar-besaran. Pada era inilah terjadinya penggabungan antara sains barat dan bushido dari timur.

Sistem feodal kuno dan kelas samurai dihapuskan secara resmi. Meiji memerintahkan para samurai untuk menyarungkan semua katana dan menggantinya dengan undang-undang. Saat itu dua juta samurai dikembalikan ke masyarakat, mereka belajar bahkan pergi ke Amerika. Mereka juga menerjemahkan berbagai buku asing. Pedang diganti dengan pena, namun semangat bushido masih membara di hati para samurai.

Perjalanan sejarah menyadarkan masyarakat Jepang untuk selalu mengingat tradisi dan asal-usul semangat mereka. Karena itu masyarakat Jepang menyadari bahwa dunia fisik dan dunia spiritual memiliki kedudukan yang sama-sama penting, dan upaya untuk memisahkan keduanya atau membiarkan keduanya dalam keadaan tidak seimbang akan menghasilkan suatu ketidakharmonisan yang berpotensi menimbulkan bencana dan kerusakan. Kebijaksanaan kuno yang dikenal dengan kode

bushido menyatu dalam semua aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Dengan tetap memiliki semangat itu, mereka membangun Jepang dengan mempergunakan sains dan teknologi.

2.2.3 Novel

Secara garis besar karya sastra dibagi atas tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. Salah satu bentuk karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat


(46)

30

signifikan adalah prosa. Dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah karya sastra yang berbentuk prosa, khususnya novel.

Menurut Laelasari dan Nurlaila (2006: 166), ”novel diartikan sebagai prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.”

Konsep novel yang lain dikemukakan oleh Semi (1988: 32). Menurutnya novel dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra yang memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas. Panjang cerita novel tentunya berbeda dibandingkan dengan cerpen. Jika cerpen memusatkan perhatian pada perwatakan dan satu masalah, maka novel lebih luas dari itu. Kedudukan perwatakan dan jalan cerita yang ditampilkan pengarang berada dalam satu keseimbangan. Hampir senada dengan Semi, Nurgiantoro (1998: 11) mengatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih rinci, lebih detil, dan kompleks.

Menurut Umar Kayam dalam Nasution (2000: 22), novel mempermasalahkan kehidupan sehari-hari. Karya sastra (termasuk novel) merupakan media untuk menyampaikan ide, gagasan, protes, persetujuan, dan sebagainya.

Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam pula. Namun ukuran luas di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang perspektif, setting dan lain-lainnya hanya satu saja.


(47)

31

Para pakar sastra lain, seperti Wellek dan Austin (1989: 281) mengatakan bahwa novel-novel modern melukiskan manusia lahir, tumbuh, dan mati. Tokoh-tokohnya mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping itu, siklus kemajuan sebuah keluarga diuraikan sejelas mungkin.

Novel dapat dikatakan sebagai salah satu wujud kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. Meskipun bersifat fiksi, namun sebuah novel yang baik tentu berisikan perenungan secara intens, penuh kesadaran, serta tanggungjawab pengarang mengenai hakikat kehidupan.

2.3 Landasan Teori

Sebuah karya sastra sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Pengarang menciptakan karyanya sebagai pengungkapan dari apa yang telah dilaksanakan, disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung.

Seperti halnya ilmu-ilmu humaniora lainnya, sastra sebenarnya esensi dari kebudayaan. Penelitian suatu karya sastra memiliki manfaat agar manusia lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan bahkan ideologi yang diyakini pengarang. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka dalam sebuah penelitian karya sastra, peneliti memerlukan suatu teori yang menjadi suatu acuan dalam menganalisis karya sastra tersebut.


(48)

32

Pada penelitian ini tentu dibutuhkan landasan teori yang berguna untuk mengupas permasalahan yang akan dikaji. Landasan teori dalam penelitian ini merupakan kerangka dasar dalam penelitian. Teori yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori antropologi sastra. Antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu: antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu: kompleks ide, kompleks aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide.

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai

animal rationale. Menurut Cassirer (1990: 65) sistem simbol mendahului sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme.

Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi, sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.


(49)

33

Di pihak lain, sesuai dengan pendapat E. Bloch (Ratna, 2004: 351), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu: a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, e) manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.

Berdasarkan pada sebuah pengistilahan bahwa karya sastra itu adalah imajinasi. Tetapi perlu diketahui justru dalam daya imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-mainkan’. Selebihnya, disitulah letak fokus penelitian antropologi sastra.

Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisiplin yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting, dan b) kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya, dan c) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos. Aspek yang kedua sering menimbulkan masalah dalam membedakan batas-batas penelitian di antara antropologi dan sastra.

Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu sosial humaniora jelas mempermasalahkan manusia dalam masyarakat, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, sosiologi sastra


(50)

34

mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, antropologi sastra pada kebudayaan.

Antropologi sastra memberikan perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat kuno, sedangkan sosiologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat modern, masyarakat kompleks.

Antropologi sastra pada dasarnya sudah terkandung dalam penelitian- penelitian yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam kaitannya dengan mitos. Levi- Strauss juga memanfaatkan konsep oposisi biner, tabu, dan incest dalam rangka membangun teori mengenai kekeluargaan. Berbagai analisisnya terhadap antropologi yang didasarkan atas model linguistik jelas menandai hubungan yang tidak terpisahkan antara bahasa, sastra, dan budaya.

Analisis pandangan dunia, khususnya menurut visi Goldmannian, misalnya, memerlukan pemahaman total terhadap ketiga disiplin tersebut. Pada gilirannya, disiplin sosiologi, psikologi, dan antropologi sastra dimungkinkan untuk mempermasalahkan objek yang sama, sebagai mulitidisiplin. Seperti disinggung di atas, karya sastra mempunyai kebebasan dalam memasukkan hampir keseluruhan aspek kebudayaan manusia. Sastrawan adalah kreator kata- kata, membangun dunia dalam kata. Sastrawan mampu membebaskan substansi kata-kata dan kalimat ke dalam citra (kata-kata dan kalimat) sehingga secara terus menerus tercipta dunia yang


(51)

35

baru seolah-olah dilihat untuk pertama kali. Sastrawan memiliki kebebasan sesuai dengan hukum-hukum imajinatif fiksional.

Sama seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, antropologi sastra pun berfungsi untuk memperkenalkan kekayaan khasanah kultural bangsa sehingga masing-masing kebudayaan menjadi milik bagi yang lain.

Lahirnya studi multikultural, postrukturalisme pada umumnya mendorong intensitas studi interdisiplin. Aspek-aspek kebudayaan sama sekali tidak bisa dipahami terpisah dari gejala yang lain. Sastra adalah bagian integral kebudayaan, menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Antropologi sastra mempermasalahkan karya sastra dalam hubungannya dengan manusia sebagai penghasil kebudayaan. Manusia yang dimaksudkan adalah manusia di dalam karya, khususnya sebagai tokoh-tokoh. Dalam hubungan inilah karya sastra merupakan studi multikultural sebab melalui karya sastra dapat dipahami keberagaman manusia dengan kebudayaannya. Sama seperti sosiologi sastra, analisis yang berkaitan dengan antropologi sastra yang dimaksudkan adalah karya sastra itu sendiri, dengan memanfaatkan teori dan data antropologi. Pada saat mencipta, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai kualitas bentuk maupun isi, pengarang menampilkan unsur-unsur tertentu khazanah kultural yang dihayati, sebagai unsur-unsur ketaksadaran antropologis.


(52)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode

Di dalam melakukan sebuah penelitian, tentulah diperlukan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, data dikumpulkan dalam kondisi alamiah (natural setting). Penelitian kualitatif mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, dan bukan angka. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Kaelan (2005: 5) mengartikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Hal senada juga diungkapkan oleh Whitney dalam Nazir (1988: 63), metode penelitian kualitatif hampir sama dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.


(53)

37

3.2 Sumber Data

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dwilogi novel terjemahan karya Takashi Matsuoka, yaitu Samurai: Suzume no Kumo dan Samurai: Aki no Hashi terbitan tahun 2005 oleh penerbit Mizan Pustaka. Di samping itu, sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, serta makalah dari berbagai diskusi dan seminar, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan lain yang berhubungan dengan permasalahan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka (library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan terhadap semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau kejadian.

Metode pengumpulan data secara hermeneutik dimulai dengan membaca novel-novel tersebut, karena sumber data yang dominan ada pada karya sastra itu. Untuk itu, peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan:

1. Dengan bekal pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang dimiliki, peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan seteliti-telitinya seluruh sumber data.


(54)

38

2. Membaca sumber data secara berkesinambungan berulang-ulang sesuai dengan prinsip dialektik sehingga diperoleh pengertian antara bagian dan keseluruhan dari objek yang diteliti.

3. Setelah langkah kedua, peneliti membaca sekali lagi sumber data untuk memberi tanda bagian-bagian yang diangkat menjadi data yang akan dianalisis lebih lanjut. Dengan langkah-langkah tersebut, dapat diperoleh data penghayatan dan pemahaman arti dan makna tentang karya sastra yang diteliti secara mendalam dan mencukupi.

Sehubungan dengan itu, peneliti akan mengadakan analisis terhadap data utama, yaitu dwilogi novel Samurai. Untuk membantu dan melengkapi data utama tersebut maka dikumpulkan juga buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan membaca buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi mengenai objek penelitian (Semi, 1993: 8). Teknik ini digunakan karena pada penelitian ini sumber data yang tertulis lebih mendominasi.

3.4 Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis konten (content analysis). Analisis konten digunakan peneliti untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan


(55)

39

tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun konsep yang akan diungkap, baru memasuki karya sastra. Aspek penting dari analisis konten adalah bagaimana hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan pada siapa saja (Endraswara, 2008: 161).

Pada prosedur pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Peneliti membaca novel Samurai yang menjadi objek penelitian secara

berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Membaca hermeneutik berlangsung dalam dua tataran (tingkat). Pertama, membaca heuristik, yaitu membaca dengan dasar pemahaman pada konvensi bahasa. Kedua, membaca

hermeneutik, yaitu dicari makna tersirat. Penafsiran ini memerlukan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Jadi, membaca hermeneutik memungkinkan pemberian makna yang khas, bervariasi, dan mendalam.

2. Peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikasi seluruh data serta memfokuskan interpretasi pada objek yang berkaitan dengan filsafat, dan nilai budaya Jepang. Analisis data tidak dikerjakan per sumber data, tetapi per butir masalah yang telah dirumuskan. Jadi, analisis data dikerjakan secara utuh-bulat (holistik) dan menyeluruh (komprehensif).

3. Kemudian peneliti menafsirkan kembali seluruh data yang teridentifikasi dan terklasifikasi untuk menemukan kepaduan, kesatuan dan hubungan antardata sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh-bulat dan menyeluruh tentang hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.


(56)

40

Untuk menganalisis data pada penelitian ini digunakan metode hermeneutika. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermenuein yang artinya menafsirkan. Oleh sebab itu menurut Ratna (2005: 91) hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

Hermeneutika adalah metode yang selalu digunakan untuk penelitian karya sastra. (Ratna, 2004: 44). Hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol dan nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan yang terdapat pada kehidupan manusia. Dalam menganalisis data, hermeneutika memfokuskan pada objek yang berhubungan dengan simbol-simbol, bahasa, atau pada teks-teks serta karya budaya lainnya (Kaelan, 2005: 80-81). Jadi, yang harus dilakukan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah pembacaan yang berulang-ulang (retroaktif) sehingga didapat data-data yang berkaitan dengan kajian budaya di dalam karya tersebut. Namun, sebelum sampai ke tahap hermeneutika, analisis dengan menggunakan teknik heuristik adalah langkah awal yang perlu dilakukan. Heuristik merupakan pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Jadi, metode hermeneutika digunakan sesudah pembacaan heuristik (Pradopo, 2001: 84). Dalam penelitian ini data-data dianalisis berdasarkan setiap masalah bukan menganalisis per data.

Sebagai seorang peneliti tidak boleh bersikap pasif, maksudnya peneliti tersebut harus merekonstruksikan berbagai makna yang terdapat dalam karya sastra yang diteliti tersebut. Pada penelitian yang menggunakan metode hermeneutika,


(57)

41

seorang peneliti harus dapat menginterpretasikan maksud pengarang, dalam hal ini khususnya yang menyangkut kajian budaya dalam karya sastra dwilogi novel Samurai.


(58)

42

1.5 Bahan Analisis

Bahan analisis dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Novel Samurai: Suzume no Kumo

Judul : Samurai Suzume no Kumo

Penulis : Takashi Matsuoka Penerjemah : Esti Ayu Budihabsari

Penerbit : Qanita

Tebal : 820 halaman

Ukuran : 17,5 cm x 10,5 cm

Cetakan : Kelima

Tahun : 2005

Warna Sampul : Merah

Gambar Sampul : Gambar seorang samurai laki-laki memegang katana Desain sampul : Andreas Kusumahadi


(59)

43

2. Novel Samurai: Aki no Hashi

Judul : Samurai Aki no Hashi

Penulis : Takashi Matsuoka Penerjemah : Ary Nilandari

Penerbit : Qanita

Tebal : 851 halaman

Ukuran : 17,5 cm x 10,5 cm

Cetakan : Ketiga

Tahun : 2005

Warna Sampul : Putih

Gambar Sampul : Gambar seorang perempuan Jepang Desain Sampul : Andreas Kusumahadi


(60)

44

Sinopsis cerita Samurai: Suzume no Kumo

Genji Okumichi adalah seorang Daimyo Akaoka yang memiliki pemikiran moderat untuk menerima masuknya bangsa asing ke Jepang. Bushido yang sangat diagung-agungkan itu harus ditinggalkan, digantikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari barat. Sikap Genji ini dinilai sangat kontroversial dan kurang ajar oleh kelompok bangsawan dan generasi tua yang sangat mencintai tradisi samurai. Lord Genji adalah seorang samurai yang tampan, berpikiran terbuka, dan baik hati. Dia berjuang melawan Kawakami si musuh bebuyutan yang ingin menumpas habis seluruh keturunan klan Okumichi. Walaupun Genji bukanlah seorang samurai yang jago bermain pedang dan bertempur, tetapi dia mempunyai kharisma, wibawa dan samurai-samurai yang hebat di sekelilingnya. Salah satunya adalah Paman Shigeru. Seorng samurai yang kemahirannya menggunakan pedang hampir menandingi Musashi sang legenda.

Novel Samurai Suzume no Kumo, diawali dengan datangnya para misionaris dari Amerika ke Jepang untuk menyebarkan firman Tuhan yaitu Injil. Mereka adalah Pendeta Zephaniah Cromwell, Emily Gibson dan Matthew Stark. Emily Gibson adalah pengikut yang paling setia. Murid sekaligus tunangan Cromwell.

Kedatangan mereka disambut oleh bangsawan Agung Akaoka dari klan Okumichi bernama Genji dan para samurainya. Di tengah perjalanan menuju Istana Bangau Yang Tenang, rombongan para samurai dan misionaris ditembakloleh Kuma, oran suruhan Kawakami, musuh Genji. Tembakan sebenarnya ditujukan ke arah joli yang ditandu oleh para samurai. Kemungkinan besar si penembak ingin menembak


(61)

45

Genji karena seorang daimyo-lah yang dijunjung dengan joli. Namun pada saat itu bukan Genji yang naik di atas joli, melainkan Emily. Tembakan meleset dan menembus joli sehingga melukai si pendeta Zephaniah Cromwell dan akhirnya si pendeta meninggal setelah tak berapa lama dirawat. Sehingga hanya tinggal dua orang asing dari rombongan tersebut yang tinggal di Jepang.

Masing-masing dari rombongan misionaris ini memiliki niat dan tujuan yang berbeda untuk datang ke Jepang. Sang pendeta, Zephaniah Cromwell datang ke Jepang benar-benar berniat datang ke Jepang dengan tujuan untuk menyebarkan agama Kristen di Jepang sementara Emily dan Stark memiliki niat yang lain untuk datang ke Jepang. Emily ingin melarikan diri ke Jepang karena mempunyai masa lalu yang kelam di Amerika karena di Amerika ia dianggap terlalu cantik sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Jepang dimana tidak seorangpun yang akan menganggap dia cantik. Sementara Matthew Stark ingin membalas dendam kepada orang yang membunuh istri dan anaknya di Amerika yaitu Jimbo yang datang ke Jepang dan menjadi seorang rahib di Kuil Mushindo.

Klan Okumichi bermusuhan dengan Shogun yang menjadi penguasa pada saat itu. Klan Okumichi mempunyai samurai-samurai yang hebat. Mereka sangat ditakuti. Selain itu, setiap generasi klan Okumichi dipercayai mempunyai kemampuan untuk meramal masa depan. Kakek Genji, Lord Kiyori, paman Genji “Shigeru” dan Genji sendiri pada generasinya.


(62)

46

Sinopsis Cerita Samurai: Aki no Hashi

Novel ini merupakan lanjutan dari Samurai: Suzume no Kumo. Dari 6 orang yang selamat dalam pertempuran di Kuil Mushindo, Lord Genji, Hide, Hanako dan Emily Gibson masih tinggal di Jepang, sementara Mathew Stark dan Heiko pergi menuju Amerika. Emily tinggal di Jepang untuk melanjutkan misi misionarisnya dan menterjemahkan perkamen-perkamen kuno yang ada di Kastel Awan Burung Gereja ke dalam bahasa Inggris.

Pada tahun 1867, orang-orang asing sudah masuk ke Jepang. Hal ini menimbulkan gerakan anti-orang asing. Perubahan pola pikir Lord Genji yang agak kebarat-baratan membuatnya mempunyai musuh-musuh baru, termasuk dari orang kepercayaannya, para samurai yang masih menganut tradisi kuno, seperti Lord Taro, dan juga orang luar, Lord Saemon, yang tidak lain adalah anak dari Lord Kawamichi yang tewas dalam pertempuran di Kuil Mushindo. Dan hal ini juga membahayakan jiwa Emily, yang tidak disukai karena dianggap mempengaruhi junjungan mereka. Beberapa kali terjadi percobaan pembunuhan terhadap Emily.

Tokoh baru yang muncul, antara lain adalah Makoto Stark, anak Matthew Stark yang pergi ke Jepang untuk memperjelas asal-usulnya. Novel ini menceritakan masa lalunya Lord Genji. Dari awal muncuklnya Klan Okumichi, dan sejarah keturunannya sampai berakhir pada Lord Genji.

Genji memiliki seorang paman yaitu Shigeru yang juga memiliki kemampuan meramal masa depan. Akibat kemampuannya ini mengakibatkan Shigeru seperti orang gila. Sering berbicara sendiri mengenai apa yang dilihat dalam visinya. Namun


(63)

47

Genji dengan kebijaksanaannya mampu menyadarkan pamannya Shigeru sehingga tidak bertingkah seperti orang gila lagi.

Beberapa orang samurai bawahannya tidak senang terhadap sikap Genji yang moderat yang menerima masuknya bangsa asing ke Jepang. Mereka adalah samurai generasi tua yang sangat memegang teguh ajaran samurai. Sikap Genji yang moderat ini dinilai oleh mereka tidak sesuai dan melanggar tradisi samurai. Oleh karena itu mereka merencanakan pengkhianatan terhadap Genji.


(1)

81

orang-orang bangsa asing ke Jepang. Orang-orang bangsa asing yang masuk ke Jepang ini memberikan pengaruh berupa perubahan pola pikir dari yang semula berpola pikir tradsional berubah menjadi pemikiran yang moderat yang mau menerima inovasi dan tidak terpaku menjadi orang yang kaku.

Datangnya bangsa asing ke Jepang mengakibatkan pro dan kontra di kalangan samurai Jepang. Ada kalangan yang menerima masuknya bangsa asing ke Jepang dengan tangan terbuka seperti Genji, namun ada pula para samurai tua yang menganggap bahwa kedatangan bangsa asing ke Jepang hanya akan merusak tatanan bangsa Jepang. Dan akhirnya kedatangan bangsa Jepang ini pulalah yang mengakibatkan bangsa Jepang membuka dirinya kepada negara lain setelah mengisolasi diri selama beratus-ratus tahun di bawah kepemimpinan feodal pemerintahan militer Tokugawa.

6.2 Saran

1. Setelah membaca dan dapat memahami isi dari tesis ini diharapkan kepada pembaca agar dapat mengambil manfaat yaitu berupa sikap positif dari moral bushido seperti Gi (integritas) yaitu mempertahankan etika, Yu (keberanian) yaitu berani dalam menghadapi kesulitan, Jin (kemurahan hati)yaitu mencintai sesama, kasih sayang dan simpati, Rei (kehormatan) yaitu penghormatan santun, hormat pada orang lain, Makoto atau Shin yaitu kejujuran dan tulus ikhlas, Meiyo (nama baik) yaitu kemuliaan dan menjaga kehormatan, Chugo (kesetiaan) yaitu loyal


(2)

82

pada pemimpin dan guru, Tei yaitu peduli pada yang lebih tua dan menghargai tradisi.

2. Sebaiknya aspek-aspek penyimpangan dari nilai-nilai bushido ini terutama penyimpangan dari nilai kesetiaan yaitu pengkhianatan tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya dalam lingkungan sosial, pekerjaan, dan lain-lain.


(3)

84

Nasution, Ikhwanuddin. 2005. Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia

Palmer, Richard. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenal Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Raya. Sikana, Mana. 2008. Teras Sastera Kontemporari. Selangor: Pustaka Karya. Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan kepada

Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Medan: USU Press.

Situmorang, Hamzon. 2008. Menoleh Budaya Malu Masyarakat Jepang untuk Lebih Mengenal Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Suparlan, Parsudi. 1996. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


(4)

85

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Depok: Universitas Indonesia.

Tadashi, Fukutake. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: PT. Gramedia Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Terj. Melani Budianta.

Jakarta: Gramedia.


(5)

86

DAFTAR ISTILAH

bushi ( 武士 ) : orang yang dipersenjatai/kaum militer

daimyo : tuan tanah

joli : tandu

perkamen : sebuah alat penyangga tulisan yang dibuat dari kulit binatang.

samurai (侍) : adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman


(6)

87

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Nelvita

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 3 Nopember 1984

NIM : 087009014

Jenis Kelamin : Perempuan

Golongan Darah : A

Warga Negara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jln. Setia Budi Pasar I Gg. Anyelir X No. 90 Medan 20132

Alamat Email : neruvita@yahoo.com

Pendidikan Formal

SD : SD Negeri Percobaan Medan

SMP : SMP Negeri I Medan

SMA : SMA Negeri I Medan

Perguruan Tinggi : Strata 1 Universitas Sumatera Utara Fakultas Sastra Departemen Sastra Jepang