Analisis Kesetiaan Samurai Dalam Novel Kaze Karya Dale Furutani

(1)

ANALISIS KESETIAAN SAMURAI DALAM NOVEL KAZE

KARYA : DALE FURUTANI

DERU FURUTANI SAKUHIN SHOUSETSU “KAZE” SAMURAI

NO CHUUJITSUNITSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Bidang Ilmu

Sastra Jepang

Oleh: LUSI EL ADITA NIM : 040708008

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS KESETIAAN SAMURAI DALAM NOVEL KAZE

KARYA : DALE FURUTANI

DERU FURUTANI SAKUHIN SHOUSETSU “KAZE” SAMURAI

NO CHUUJITSUNITSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Bidang Ilmu

Sastra Jepang Oleh : LUSI EL ADITA NIM : 040708008

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs.Eman Kusdiyana.M.Hum Prof.Hamzon Situmorang.M.S.Ph.D NIP. 19600919 1988 03 1 001 NIP. 19580704 1984 12 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua Program Studi

Prof.Drs. Hamzon Situmorang.M.S.Ph.D NIP. 19580704 1984 12 1 001


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh,

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada : Pukul

Tanggal : Hari :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan

Prof. Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D NIP. 19650909 1994 03 1 004

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan 1. Prof.Drs.Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( ) 2. Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum ( ) 3. Drs.Yuddi Adrian, M.A ( )


(5)

KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRROHMANIRRAHIM....

Puji dan Syukur penulis panjatkan kekhadirat ALLAH SWT, Karena dengan rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Kesetiaan Samurai Dalam Novel Kaze Karya Dale Furutani, ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan sebagai dosen pembimbing II.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara,


(6)

yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan perkuliahan dengan baik.

5. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan untuk kedua orang tua tersayang dan tercinta Ayahanda Daimus Tami A.Md dan Ibunda WilfanadisS.Pd yang telah banyak mencurahkan kasih sayangnya, do’a dan perhatiannya kepada penulis.

6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada My Sista Popi & My Bro Dipo

( Good Luck yach ) , Ibu Rifda , Sandi yang telah banyak memberikan dukungan dan doanya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman yang telah membantu dan memberi support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Sastra Jepang stambuk 2004 , Fitri, Dhona , Miskah , Rahma (All My Best Friend), Tobey, Rudi, Salim, Citra, Ai, S iti, anak-anak Kosan Bang Edy khususnya Lorong Gaul, terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga kita sukses dalam menghadapi masa depan yang lebih cerah.

8. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(7)

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Januari 2010 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB. I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 5

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7

1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6.Metode Penelitian ... 12

BAB. II. TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN SAMURAI DALAM NOVEL KAZE KARYA DALE FURUTANI ... 14

2.1. Riwayat Hidup Dale Furutani ... 14

2.2. Setting dari Novel Kaze ... 15

2.2.1. Setting Tempat ... 16

2.2.2. Setting Waktu ... 19

2.2.3. Setting Sosial ... 19


(9)

2.4. Kesetiaan Samurai ... 22

2.4.1. Samurai ... 23

2.4.2. Kesetiaan ... 31

BAB III. ANALISIS KESETIAAN SAMURAI DALAM NOVEL KAZE KARYA DALE FURUTANI ... 33

3.1. Sinopsis cerita novel Kaze ... 33

3.2. Analisis Kesetiaan Tokoh Samurai Dalam Novel Kaze ... 40

3.2.1. Matsuyama Kaze ... 41

3.2.2. Lord Manase ... 48

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

4.1. Kesimpulan ... 50

4.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK


(10)

ABSTRAK

Karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi, dan sesuai dengan perkembangan zaman, karya sastra banayak diminati oleh masyarakat, khususnya novel. Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya sosial, moral dan pendidikan. Salah satu karya berupa novel adalah novel “kaze “ yang judul aslinya adalah Death at the Crossroad yang ditulis oleh Dale Furutani yang menceritakan kehidupan sekitar tahun 1603 saat Hideyoshi, sang pemersatu Jepang, meinggal dunia dan Tokugawa Ieyasu yang berambisi mengambil alih kekuasaan mengobarkan peperangan besar dengan pewaris tahta. Perang besar itu biasa disebut sebagai perang Sekigahara yang menewaskan puluhan ribu samurai dan pengikut dua pihak yang bersengketa. Tokugawa berhasil menang dan memenjarakan sang pewaris bersama ibunya. Di pihak yang kalah Kaze harus kehilangan keluarga dan tuannya. Kaze berutang kesetiaan terakhir bagi tuannya. Sebuah janji penting telanjur terucap, yang membuatnya terikat untuk menemukan putri sang tuan yang seolah menghilang ditelan bumi. Peristiwa inilah yang membuat samurai berumur 30 tahunan ini mulai berkelana ke seluruh wilayah Jepang.

Kesetiaan yang tercermin dalam novel ini berupa kesetiaang atau pengabdian diri berdasarkan moral. Kaze menjunjung tinggi perintah tuannya Kaze harus menjalankan perintah yaitu dengan cara melakukan pengembaraan dan mencari putri Kaisar yang hilang setelah malapetaka besar yang menimpa kekaisaran Jepang.


(11)

Konsep Bushido benar-benar diterapkan Kaze dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang Samurai. Konsep ini dijadikan Kaze sebagai prinsip hidup yang harus dijalankannya. Karena baginya, pengembaraannya merupakan kesetiaan terakhir bagi tuannya. Kesetiaan itu hendaknya lahiriah dari batin seorang Samurai tersebut.

Kaze adalah seorang ronin, samurai tak bertuan, yang secara tidak sengaja melewati persimpangan jalan Deza Suzaka, dia menemukan sesosok mayat laki-laki misterius. Sebatang anak panah memembus punggung lelaki itu. Petunjuk ini mengarahkan jika ada hubungan antara hilangnya sang putri dan penemuan mayat misterius. Kaze dicurigai oleh Magistrat setempat, Nagato Takamasu, sehingga dibawa menghadap penguasa wilayah Manase.

Berdasarkan ciri-ciri anak panah Kaze dibebaskan dari tuduhan. Namun, Kaze tak lantas pergi begitu saja dari desa Suzaka. Dia justru bertekad menyelidiki siapa pelaku pembunuh lelaki di persimpangan desa Suzaka itu. Selama melakukan penyelidikan itu, Kaze untuk sementara tinggal di rumah seorang penjual arang bernama Jiro yang saat itu juga menemukan mayat tersebut. Selama tinggal disana Kaze mendapatkan banyak arti hidup dalam kehidupan rakyat kecil seperti petani yang sebenarnya.

Kaze mulai menyelidiki tentang misteri pembunuhan itu dan berusaha mecari dan mengumpulkan petunjuk dan juga barang bukti pada kasus tersebut. Kaze menemukan barang bukti yaitu sebuah anak panah, yang mirip dengan anak panah yang dimiliki Sang Penguasa Wilayah.


(12)

Akhirnya Kaze mengetahui pelaku pembunuhan penemuan di persimpangan jalan desa Suzaka yaitu Lord Manase ( Sang Penguasa Wilayah ). Kaze pun menghakiminya dengan cara Seppuku, ritual bunuh diri. Setelah semuanya selesai, Kaze teringat bahwa saat mendatangi desa Higashi, ada seorang pemuda yang memberinya kue beras, di dalam kain pembungkusnya terdapat lambang Klan yang sama persis dengan lambang Klan mantan tuannya, maka Kaze bertekad, mengejar pemuda pemberi kue beras untuk mendapatkan Sang putri Kaisar yang hilang.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang dapat dituangkan melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Selain itu sastra juga merupakan hasil karya seseorang yang diekspresikan melalui tulisan yang indah, sehingga karya yang dinikmati mempunyai nilai estetis dan dapat menarik para pembaca untuk menikmatinya.

Dalam sastra terdapat genre sastra, antara lain seperti puisi, drama, roman, prosa dan lain-lain. Prosa ada beberapa jenis salah satunya novel. Novel adalah suatu cerita prosa fiktif panjang yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Karya novel biasanya mengangkat berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat. Karya-karya yang menarik itu dapat mempengaruhi jiwa para pembaca sehingga dapat menyelami dan seolah-olah hadir dalam cerita tersebut. (Tarigan, 1984:164) .

Novel adalah bentuk karya sastra yang didalamnya terdapat nila-nilai budaya, sosial, moral, dan pendidikan. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel ‘Kaze’ karya ‘Dale Furutani’, yang akan dilihat penulis adalah kesetiaan. Dalam novel ini penulis akan membahas tentang kesetiaan samurai kepada tuannya. Kesetiaan atau disebut juga dengan pengabdian diri. Pengertian Kesetiaan Situmorang (2000:1)


(14)

adalah kesetiaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi seorang samurai atau bushi.

Dalam Sejarah Bushido Jepang Situmorang (1995:11) menjelaskan bahwa pada awalnya bushi adalah kelompok petani yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya kizoku (keluarga bangsawan) dalam mempertahankan eksistensi shoen atau dozoku tuannya. Sejalan dengan pengertian diatas, juga diutarakan oleh Nio Joe Lan (1962: 52) bahwa bushi adalah golongan yang sudah biasa dengan kesukaran-kesukaran kehidupan sehingga mereka setia kepada pemimpinnya.

Untuk mengatur golongan bushi yang setia pada pemimpinnya ini dibentuklah sebuah susunan peraturan tertentu tentang kesetiaan yang dinamakan dengan bushido.

Bushido menurut Tsunemoto dalam Situmorang (1995:24) adalah janji untuk

mengabdikan jiwa raganya terhadap tuannya. Ciri pengabdian ini menganggap tuan sebagai sesuatu yang mutlak bagi hidup bushi tersebut sehingga bushi bersedia mati demi tuannya. Gejala yang paling jelas adalah perilaku bunuh diri mengikuti kematian tuannya dan mewujudkan balas dendam tuannya.

Sikap inilah yang pada zaman itu sangat dikagumi oleh masyarakat Jepang. Kebanyakan orang ingin menjadi seorang bushi. Sikap ini pun terus berkembang sampai zaman sekarang. Namun tentunya sikap tersebut sedikit demi sedikit berubah mengikuti zaman.

Pada penulisan ini, penulis akan menganalisa tentang kesetiaan Samurai terhadap tuannnya melalui salah satu novel terjemahan yang berjudul ‘Kaze’ karya


(15)

Dale Furutani’. Dale Furutani lahir di Hilo, Hawaii pada tanggal 1 Desember 1946. Menurut Dale Furutani menulis novel merupakan suatu hiburan, dengan segala daya upaya mencoba akurat dalam penceritaan kehidupan bangsa Jepang 1603, dengan menggunakan kebebasan demi kepentingan penciptaan suatu karya fiksi.

Novel Kaze dengan judul asli Death at the Crossroad, novel ini menceritakan tentang seorang ronin, samurai yang tidak bertuan yang bernama Matsuyama Kaze. Ronin adalah sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya dizaman feodal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai samurai, karena samurai adalah "pelayan" bagi sang tuan.

Ronin disebut juga sebagai samurai tak bertuan, hidup tak terikat pada tuan atau daimyo dan mengabdikan hidup dengan mengembara mencari jalan samurai yang sejati. Di zaman Jepang kuno, ronin berarti orang yang terdaftar (memiliki koseki) sebagai penduduk di suatu tempat, tapi hidup mengembara di wilayah lain sehingga dikenal juga dengan sebutan furo (pengembara).

Kaze melakukan pengembaraan dan mencari putri kaisar yang hilang setelah malapetaka besar yang menimpa Kekaisaran Jepang. Mangkat sang tuan Kaisar Hideyoshi. Pengembaraan seorang kaze merupakan kesetiaan terakhir terhadap tuannnya dan kaze melaksanakan perintah tuannya dengan mengorbankan kepentingan sendiri dan keluarganya.


(16)

Kesetiaan yang timbul dalam diri Matsuyama Kaze merupakan pengabdian yang luar batas kehidupan dan kematian, seorang Samurai tidak akan menyalahkan tuannya. Matsuyama Kaze akan menganggap segala tindakan tuannya adalah benar, karena seorang Samurai sejati rela melakukan apa saja demi menjaga kehormatan tuannya tanpa memikirkan benar atau salah, rasional atau tidak rasional.

Ditengah pengembaraanya, dia menemukan sesosok mayat laki-laki misterius disebuah persimpangan Desa Suzaka. Sebatang anak panah menembus punggung lelaki itu. Matsuyama Kaze dicurigai sebagai tersangka oleh Magistrat setempat, Nagato Takamasu. Kaze dibawa menghadap penguasa wilayah Manase. Berdasarkan ciri-ciri anak panah Kaze dibebaskan dari tuduhan. Namun, Kaze tak lantas pergi begitu saja dari desa Suzaka. Dia justru bertekad menyelidiki siapa pelaku pembunuh lelaki di persimpangan desa Suzaka itu. Selama melakukan penyelidikan itu, Kaze untuk sementara tinggal di rumah seorang penjual arang bernama Jiro yang saat itu juga menemukan mayat tersebut. Selama tinggal disana Kaze mendapatkan banyak arti hidup dalam kehidupan rakyat kecil seperti petani yang sebenarnya. Akhirnya Kaze menemukan pelaku pembunuh lelaki misterius itu dia bernama Manase. Kaze pun menghakiminya dengan cara seppuku, yaitu ritual bunuh diri. Setelah semuanya selesai, dia teringat bahwa saat mendatangi desa Higashi, ada seorang pemuda yang memberinya kue beras. Di dalam kain pembungkusnya terdapat lambang Klan yang sama persis dengan lambang Klan mantan tuannya, maka Kaze bertekad mengejar pemuda pemberi kue beras untuk mendapatkan sang putri kaisar yang hilang. Pengabdian diri seorang samurai terjadi karena keinginan dari diri sendiri sebagai


(17)

bentuk loyalitas atau kesetiaan yang sudah mendasar dalam diri orang Jepang sejak dulu, seperti kesetiaan yang dimiliki oleh bushi atau seorang samurai, hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Kesetiaan Samurai dalam Novel Kaze karya Dale Furutani”.

1.2 Perumusan Masalah

Tokoh utama dalam novel Kaze adalah seorang samurai yang tidak bertuan yang bernama Matsuyama Kaze. Kaze melakukan pengembaraan dan mencari putri kaisar yang hilang setelah malapetaka besar menimpa Kekaisaran Jepang. Mangkat sang Tuan, kaisar Hideyoshi. Pengembaraan seorang Kaze merupakan sebuah kesetiaan terakhir terhadap tuannya dan Kaze harus melaksanakan perintah tuannya dengan mengorbankan kepentingan sendiri.

Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi seorang samurai. Kehormatan seorang samurai pertama kali diberikan kepada tuan tanah yang paling berkuasa, kemudian pada kizoku nya lalu kepada keluarganya. Seorang samurai wajib untuk mengabdi kepada tuannya, sekalipun tuannya adalah seorang jendral militer, tuan tanah feodal atau kepala keluarga. Perintah seorang atasan tidak boleh ditanyakan. mereka harus mengikutinya dengan kemampuan terbaik seorang samurai sekalipun jika hal ini membuat ketidakbahagiaan atau menyebabkan kematian, hidup seorang pelayan bergantung pada tuannya.

Keadilan dalam diri seorang samurai tentunya juga dituntut dalam melaksanakan pengabdiannya kepada tuannya. Ketidakadilan bisa menjadi samurai


(18)

rendah dan tidak manusiawi. Samurai menanamkan etika khusus dalam kesehariannya menjalankan kesetiaan kepada tuan. Ketulusan dan kejujuran sama berharganya dengan nyawa mereka “ Bushi no ichi-gon “ atau “janji samurai”, melebihi janji akan harga diri. Samurai juga membutuhkan pengendalian diri dan kesabaran agar benar-benar dihormati. Samurai tidak menunjukkan tanda dari penderitaan dan kesenangan. Samurai memikul segalanya tanpa merintih, tanpa menangis. Samurai berpegang teguh pada ketenangan dalam bersikap dan juga pada ketenangan dalam berpikir yang bisa saja terpengaruh oleh segala bentuk keinginan. Sehingga dapat dikatakan bahwa samurai merupakan ksatria sejati.

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji dalam novel Kaze maka maslah penelitian yang dirumuskan dalam pertanyaan adalah sebagai berikut :

1. Hal apakah yang menyebabkan seorang samurai setia kepada tuannya? 2. Kesetiaan samurai seperti apa yang diungkapkan dalam novel Kaze pada tuannya?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari masalah-masalah yang ada, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulis dapat terarah dan terfokus dalam melakukan pembahasan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada analisis kesetiaan Samurai terhadap tuannya, dan kesetiaan seperti apa yang diungkapkan dalam novel Kaze. Agar


(19)

pembahasannya lebih akurat, maka sebelum bab pembahasan penulis juga menjelaskan mengenai riwayat hidup pengarang, setting dari novel Kaze, alur cerita novel Kaze, dan juga definisi kesetiaan samurai, pengertian samurai dan pengertian kesetiaan.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Masyarakat feodal adalah masyarakat yang militeristik yang hidup “di atas” tanah yang terpecah belah. Hal ini terjadi karena lahirnya banyak penguasa feodal yang memberikan perlindungan atas faktor produksi, terutama tanah kepada petani. Penguasa militer dengan perantara prajurit menekan pajak setinggi-tingginya dari petani sehingga petani tersebut hidupnya tergantung pada penguasa militer tersebut. Martin dalam Situmorang (1995:1).

Dalam pemerintahan yang berdasarkan feodalisme atau kebudayaan feodal ini, Jepang mempunyai golongan militer yang sangat kuat bahkan dalam stratifikasi masyarakat pada saat itu menduduki tingkat pertama. Golongan militer ini disebut dengan Bushi. Selain dikenal golongan militer dikenal pula ahli pedang Jepang yang disebut dengan Samurai. Benedict (1982:335) mengatakan samurai adalah prajurit yang berpedang dua. Sedangkan menurut Nurhayati (1987:10) samurai adalah pasukan pengikut tuan tanah/ penguasa yang disebut dengan Daimyo.


(20)

Dalam zaman feodalisme di Jepang baik sebelum maupun pada saat zaman Edo sudah ada dirumuskan suatu konsep etos pengabdian diri Bushi terhadap tuannya yang dikenal dengan Bushido atau jalan hidup Bushi. Benedict (1982: 333) mengatakan bushido adalah tata cara samurai yang merupakan sebuah perilaku tradisional Jepang yang ideal. Inazo Nitobe dalam Benedict (1982 : 333) mengatakan bushido adalah perpaduan antara keadilan, keberanian, kebaikan hati, kehormatan, kesopanan, kesetiaan, dan pengendalian diri. Bushido yang ada di Jepang sebelum dipengaruhi oleh ajaran Shido dari Tokugawa. Telah ada semenjak adanya bushi di Jepang yang disebut dengan bushido lama (Situmorang : 1995 : 21). Bushido lama dapat ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya, mereka mampu untuk bunuh diri mengikuti kematian tuannya ataupun mampu mewujudkan balas dendam tuannya. Dalam hal ini terkandung bahwa adanya kesetiaan seorang samurai terhadap tuannya, yaitu kesetiaan pengabdian yang didasarkan pada ajaran Budha Zen.

1.4.2. Kerangka Teori

Pradopo (2003:122) Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai

konvensi-konvensi tersendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam. Dalam berbagai genre inilah, penulis dapat dengan leluasa berkarya untuk dapat menyampaikan berbagai macam tujuan, termasuk didalamnya pesan kebudayaan, karena sastra merupakan bagian integral kebudayaan.


(21)

Seperti halnya yang diungkapkan dalam Ratna (2003:10) bahwa intensitas hubungan antara sastra dan kebudayaan dapat dijelaskan melalui dua cara, pertama sebagaimana terjadi intensitas hubungan antara sastra dengan masyarakat, sebagai sosiologi sastra, kaitan antara sastra dan kebudayaan juga dipicu oleh lahirnya perhatian terhadap kebudayaan sebagai studi sruktural .

Dalam menganalisis sebuah karya sastra diperlukan suatu pendekatan serta teori yang berfungsi sebagai acuan penulis dan alat untuk memecahkan masalah dalam menganalisis karya sastra. Dalam penulisan ini, penulis lebih mengarahkan pada penelitian kebudayaan. Kebudayaan selalu bersifat sosial dan historik. Sosial karena tidak ada budaya perseorangan, namun meliputi kelompok manusia (suku dan bangsa ). Historik karena suatu budaya pasti memiliki akar budaya.

Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa sastra adalah pencerminan kehidupan masyarakat. Jadi melalui sastra, pengarang mencoba mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang diketahui dengan jelas. Jadi bertolak dari pandangan itu maka kritik sastra lebih banyak menggunakan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat pada karya sastra tersebut mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.

Berdasarkan teori Sosiologis diatas, maka dalam penelitian ini penulis dapat menganalisis kondisi sosial atau masalah-masalah sosial yang diungkapkan dalam


(22)

novel Kaze yang diperankan oleh Matsuyama Kaze dalam hubungannya dengan masyarakat. Kemudian Penulis juga menggunakan pendekatan Historis.

Menurut Ratna (2004: 66), pendekatan historis (sejarah) melihat konsekuensi karya sastra sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas dimana karya sastra adalah gambaran kehidupan masyarakat dizamannya .

Penelitian sejarah selalu berarti penelitian tentang sejarah manusia. Fungsi dan tugas penelitian sejarah ialah untuk merekonstruksi sejarah masa lampau manusia (the human past) sebagaimana adanya (as it was). Harus disadari sepenuhnya bahwa betapapun cermatnya suatu penelitian sejarah, dengan tugas rekonstruksi semacam itu seorang sejarawan akan masih tetap menghadapi sejumlah problem yang tidak mudah. Dengan memberikan aksentuasi ”sejarah manusia” untuk mengingatkan bahwa penelitian dan rekonstruksi sejarah hendaknya lebih berperspektif pada konsep manusia seutuhnya. Manusia adalah makhluk rohani dan jasmani. Rohani dengan manifestasinya dalam bentuk akal, rasa, dan kehendak, yang menjadi sumber eksistensi kemanusiaannya, namun eksistensi hanya nyata dalam realitas di dalam alam jasmani. Perkembangan rohani manusia menjadi nampak dalam wadah agama, kebudayaan, peradaban, ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Manusia juga beraspek individu sekaligus sosial, unik (partikular) sekaligus umum (general). Keduanya sekaligus merupakan keutuhan (integritas), kesatuan (entitas), dan keseluruhan (totalitas). Rekonstruksi sejarah pun hendaknya utuh dan menyeluruh.


(23)

Setting yang dijadikan dalam novel Kaze merupakan peristiwa sejarah yang diperankan oleh tokoh, dan novel tersebut mengandung unsur-unsur sejarah yang digambarkan dengan zaman feodalisme seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan di Jepang. Dengan melihat peristiwa yang berhubungan dengan sejarah maka penulis menggunakan pendekatan Historis.

Berdasarkan pendekatan diatas, penulis akan membahas latar belakang sejarah Samurai pada masa Keshogunan Tokugawa, sehingga kita dapat melihat lebih jauh tentang kesetiaan tokoh Samurai dalam novel Kaze tersebut.

Selain teori sosiologis dan historis penulis juga menggunakan teori Semiotika dalam pembahasan novel Kaze. Menurut Jan Van Luxemburg (1992: 46) semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda lambang dan proses perlambangan tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.

Berdasarkan teori Semiotika akan menganalisa tanda yang kemudian dihubungkan dengan konsep budaya. Sehingga pada kondisi ini karya sastra yang berbentuk novel yang akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterpretasikan. Tanda-tanda yang terdapat dalam novel ini akan diinterpretasikan dengan mengunakan teori semiotika. Oleh karena itu novel Kaze ini akan dipilih tindakan tokoh samurai yang menggambarkan budaya masyarakat Jepang berupa kesetiaan melalui cuplikan-cuplikan yang diambil dari novel Kaze .


(24)

1.5.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana telah dikemukakan maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan hal yang menyebabkan seorang samurai setia kepada tuannya?

2. Untuk mendeskripsikan Kesetiaan Samurai seperti apa yang diungkapkan dalam novel Kaze pada tuannya?

1.5.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kesetiaan para samurai pada masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan oleh pembelajar bahasa Jepang pada khususnya maupun orang-orang yang tertarik mengenai budaya Jepang pada umumnya.


(25)

1.6 . Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif dan pendekatan semiotik. Metode dekriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, menginterpretsikan data. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai individu keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

Dengan menggunakan metode deskriptif ini, peneliti akan menjelaskan kesetiaan tokoh samurai. Pendekatan semiotik digunakan untuk menunjukkan adanya perilaku yang mencerminkan budaya kesetiaan di dalam novel.

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah novel yang berjudul Kaze karya Dale Furutani yang diterbitkan oleh Penerbit Qanita PT. Mizan Pustaka Anggota IKAPI, Bandung pada tahun 2008 setelah diterjemahkan kedalam versi bahasa Indonesia. Novel Kaze ini diterbitkan pertama kali oleh William Morrow and Company, inc.,New York.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka ( library reseach ) yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan buku-buku dan referensi yang ada diperpustakaan umum Universitas Sumatra Utara,


(26)

perpustakaan yang ada di jurusan sastra Jepang, membaca literatur dan melakukan penelusuran melalui media internet.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN SAMURAI DALAM NOVEL “KAZE” KARYA DALE FURUTANI

2.1. Riwayat Hidup Dale Furutani

Nama lengkapnya adalah Dale Furutani. Lahir di Hilo, Hawaii, pada 1 Desember 1946, Dale Furutani adalah generasi ketiga Jepang- Amerika , sansei. Keluarganya berasal dari pulau Oshima, Selatan Hiroshima. Kakek dan neneknya datang d Hawaii pada tahun 1896 sebagai pekerja disebuah pabrik gula, namun kakeknyanya memutuskan kontrak karena bisnis ikan yang digelutinya lebih berhasil.

Ketika berusia enam tahun, Dale kecil diadopsi oleh John Flanagan, dan pindah ke California. Pengalaman buruknya, perlakuan rasialis dari teman-teman sekolahnya,karena dia satu-satunya orang Asia disekolahnya, tak menghalangi Dale muda melambungkan imajinasinya.

Dale mendapatkan gelar akademis di bidang penulisan kreatif dari California State University, Long Beach, dan gelar MBA di bidang pemasaran dan system informasi dari UCLA. Pada tahun 1993, novel pertamanya, Death in Little Tokyo,meraih Anthony Award dan Macavity Award untuk novel Misteri Debutan Terbaik.


(28)

Menurut Jacob Sumardjo dan Saini (1997: 75-76), setting dalam cerita bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya, tetapi juga halnya terjadi erat dengan karakter, tema, dan suasana cerita. Dalam suatu cerita yang baik, setting harus benar-benar mutlak untuk menggarap tema dan karakter cerita. Jadi jelas bahwa pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu. Setting bisa berarti menyatakan tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan watak yang tertentu pula, cara hidup dan cara berfikir tertentu.

Menurut Ikram (1980 : 21), setting adalah tempat secara umum dan waktu atau masa terjadi. Menurut Welleck (1989 : 24), latar adalah lingkungan, terutama dalam lingkungan rumah tangga, dan merupakan metonimi, metafora, dan pertanyaan dari watak. Menurut Esten (1982: 92-93), setting dapat merupakan pernyataan dari sebuah keinginan manusia. Ia merupakan latar alam sebagai proyeksi dari keinginan. Latar sosial adalah keinginan sosial, tempat tokoh itu bermain. Yang dimaksud dengan latar sosial dalam hal ini tidak tidak hanya menyangkut kelas sosial dari masyarakat, tetapi juga lingkungan masyarakat.

Menurut Kenny (1966: 42), setting sebagai unsur cerita yang dinamis membantu pemgembangan unsur lainnya.Hubungan dengan unsur lain boleh jadi selaras , boleh jadi pula berkontras, artinya selamanya latar itu sesuai dengan apa yang dilatarinya. Tidak tertutup kemungkinan adanya latar yang berkontras. Contohnya, adanya suatu pembunuhan yang terjadi di siang bolong, suasana gembira


(29)

yang ditimbulkan oleh penggambaran pagi yang cerah sengaja dijadikan latar sebagai kontras terhadap keadaan batin tokoh yang serba gundah.

Setting memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan tejadi. Dengan demikian pembaca merasa dipermudah untuk menggunakan daya imajinasi, selain itu dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang setting.

Nurgiyantoro (1995: 227) mengatakan setting dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara tersendiri yang pada kenyataan saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainya. Dalam menganalisis latar novel Kaze , akan dibahas latar-latar sebagai berikut :

2.2.1. Setting Tempat

Setting tempat merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya. Unsur-unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu,mungkin juga lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Latar terjadinya peristiwa-peristiwa dalam novel Kaze adalah sebagai berikut : 1. Desa Suzaka


(30)

Desa Suzaka merupakan tempat atau setting dimana desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang bernama Ichiro.

Suzaka, sebagai desa di Pegunungan, yang senantiasa mengalami panen padi yang agak sedikit, dan warganya amat tergantung pada hasil panen yang kering seperti gandum, juga mengumpulkan pakis biasa, pakis gunung, dan jamur liar dari hutan sekitar, inilah yang membuat Suzaka menjadi desa yang sangat miskin, karena di Jepang, beras adalah uang. Karena desa Suzaka, desa Agraris jadi kebanyakan kehidupan masyarakatnya bertani dan juga berniaga.

Desa ini juga merupakan tempat tinggal Jiro ( Si penjual arang ), Samurai Matsuyama Kaze sempat beberapa kali tinggal di rumah Jiro. Bagi Kaze rumah Jiro adalah tempat persinggahannya sebelum dia melanjutkan pengembaraannya mencari Putri Kaisar yang hilang.

2. Persimpangan Jalan

Tempat atau setting yang dimana Samurai Kaze menemukan sesosok mayat laki-laki misterius, sebatang panah menembus punggungnya. Persimpangan yang menandai pertemuan 4 jalan setapak, satu jalan mengarah ke Timur menuju desa Suzaka, tempat tinggal jiro, satu menuju Utara keluar wilayah dan mengarah Keresidenan Uzen, satunya lagi jalan mengarah ke Selatan ke Higashi dan Keresidenan Rikuzen mengarah Barat menuju Gunung Fukuto.


(31)

Kedai yang merupakan setting atau tempat para pejalan kaki atau pengembara untuk memperoleh makan dan menghabiskan malam.

Area ini adalah area persegi empat yang berlantai kotor, yang dikelilingi lantai tinggi dari kayu sebagai tempat minum teh.

4. Hutan Bambu

Hutan bambu juga dijadi sebagai tempat peristirahatan Samurai Matsuyama Kaze, sama halnya dengan rumah Jiro.

5. Kediaman Lord Manase

Kediaman ini didirikan menyerupai sangkar besar dengan beberapa hal terbuka ditengah-tengahnya. Pinggiran halaman adalah beranda tertutup dengan lantai kayu tinggi serta atap genteng, bangunan ini seperti sebagian besar rancangan khas rumah penguasa di pedesaan.

Kediaman ini juga dijadikan setting atau tempat dimana Kaze dan Jiro ditahan karena mereka dicurigai oleh sang penguasa ( Lord Manase ) mereka telah membunuh pria misterius yang tewas di persimpangan jalan.

6. Kamp Bandit

Kamp bandit adalah tempat tinggal segerombolan bandit, didalamnya terdapat tempat penyimpanan senjata mereka. Kamp selalu dijaga ketat oleh anak buah


(32)

pemimpin bandit (Ketua Kuemon) agar tidak sembarangan orang yang masuk kedalam Kamp bandit tersebut.

2.2.2 Setting Waktu

Setting waktu yang berhubungan dengan masalah ‘kapan ‘ terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ‘kapan’ tersebut biasanya dihubungkan dengan setting tempat dan setting waktu faktual. Setting waktu juga harus dikaitkan dengan setting tempat dan setting sosial sebab pada kenyataan memang berkaitan.

Novel “Kaze” Karya Dale Furutani menggambarkan setting waktu yang menceritakan tentang kehidupan samurai pada zaman Edo( Keshogunan Tokugawa ). Hal ini dapat dilihat dari penggambaran suasana Jepang di tahun-tahun pertama sang Shogun besar, Tokugawa Ieyasu memegang kekuasaan. Jepang digambarkan sebagai sebuah wilayah yang belum kondusif dengan banyaknya bandit dan pembunuhan-pembunuhan terhadap pengikut penguasa terdahulu. Senjata-senjata kembali beredar setelah pada masa Hideyoshi sempat dilarang.

2.2.3. Setting Sosial

Setting sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang


(33)

kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap dan lainnya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

Novel “Kaze “ bila dilihat dari setting sosial adalah mengggambar tentang samurai Kaze berutang kesetiaan terakhir bagi tuannya. Kaze harus menemukan putri Kaisar yang hilang setelah malapetaka besar menimpa kekaisaran Jepang. Mangkatnya sang Tuan, Kaisar Hideyoshi, menjadi sasaran empuk Tokugawa Ieyasu untuk melakukan tindakan makar.

2.3. Alur Cerita Novel Kaze

Pengertian Plot atau alur dalam cerpen atau karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjadi cerita yang dihasilkan oleh para pelaku dalam saat bercerita tahapan peristiwa yang berbagai macam ( Aminuddin, 2000 : 83 ).

Alur atau plot cerita fiksi secara umum dibagi menjadi tiga jenis, yakni alur maju, alur mundur dan alur maju mundur. Alur maju adalah cerita yang mengalir dan berurutan dari awal kejadian sampai akhir peristiwa sampai akhirnya mencapai penyelesaian sesuai dengan yang diinginkan pengarang. Alur mundur adalah jalan cerita yang dimulai dari menceritakan peristiwa hasil lalu mundur ke cerita penyebab atau peristiwa penyebab cerita hasil. Alur maju mundur adalah jalan cerita yang tidak


(34)

beraturan. Pengarang bisa saja menceritakan kejadian yang sedang terjadi, lalu tiba-tiba melompat menceritakan kejadian yang lampau dan kembali lagi ke cerita yang sekarang.

Sebagaimana diungkapkan oleh Petronius dalam Fananie (2001:93) struktur plot mencakup tiga bagian;

1. Exposition (setting forth of the beginning) 2. conflict (a complication that moves to climax)

3. Denouement (literally,”unknotting”, the outcome of the conflict;the

resolution).

Dalam pengertiannya elemen plot hanyalah didasarkan pada paparan mulainya peristiwa, berkembangnya peristiwa yang mengarah pada konflik yang memuncak, dan penyelesaian terhadap konflik.

Berdasarkan fungsi plot dalam membangun nilai estetik cerita, maka identifikasi dan penilaian terhadap keberadaan plot menjadi sangat beraneka ragam. Keberagaman tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga prinsip utama analisis plot yang meliputi:

1. Plots of action, analisis proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik yang muncul secara bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tokoh utama, dan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis


(35)

(determinisme) itu, berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh yang bersangkutan dalam menghadapi situasi tersebut;

2. Plots of character, proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan; dan

3. Plots of thought, proses perubahan secara lengkap kaitannya denagn

perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi.

Perubahan perilaku, moral, pemikiran atau pandangan, dan konflik-konflik yang dialami oleh tokoh cerita serta peristiwa-peristiwa yang muncul memang seharusnya dijalani oleh para tokohnya, dalam novel Kaze ini terjadi pada perilaku Matsuyama Kaze yang harus mengabdi kepada Kaisar Hideyoshi sebagai tuannya yang sudah mengangkatnya sebagai anak plots of action. Dalam plots of character, fokus utama terjadinya peristiwa adalah perubahan moral, karakter atau emosi tokoh cerita. Untuk mengetahui jalinan plot model plots of character adalah dengan menganalisis setiap perubahan perilaku atau emosi tokoh-tokohnya. Pada plots of thought, penekanan utama yang menyebab perubahan emosi atau perasaan tokoh adalah didasarkan pada situasi yang dihadapi secara langsung.

2.4. Kesetiaan Samurai

Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi seorang Samurai. Kehormatan seorang Samurai pertama kali diberikan kepada tuan tanah yang paling berkuasa, kemudian


(36)

kizoku nya lalu kepada keluarganya. Seorang samurai wajib untuk mengabdi kepada tuannya, sekalipun tuannya adalah seorang jenderal militer, tuan tanah feodal atau kepala keluarga. Perintah seorang atasan tidak boleh ditanyakan. Mereka harus mengikutinya dengan kemampuan terbaik seorang samurai sekalipun jika hal ini membuat ketidakbahagiaan atau menyebabkan kematian. Hidup seorang pelayan bergantung pada tuannya. Mereka harus mengorbankan apa pun yang diminta tuannya.

Keadilan dalam diri seorang Samurai tentunya juga dituntut dalam melaksanakan pengabdian kepada tuan. Ketidakadilan bisa menjadikan samurai rendah dan tidak manusiawi. Samurai menanamkan etika khusus dalam kesehariannya menjalankan kesetiaannya kepada tuan. Ketulusan dan kejujuran sama berharganya dengan nyawa mereka. “ Bushi no Ichi-gon “ atau “ janji samurai “ melebihi janji akan harga diri. Samurai juga membutuhkan pengendalian diri dan kesabaran agar benar- benar dihormati. Samurai tidak menunjukkan tanda dari penderitaan dan kesenangan. Samurai berpegang teguh pada ketenangan dalam bersikap dan juga pada ketenangan dalam berpikir yang bisa saja terpengaruh oleh segala bentuk keinginan. Sehingga dapat dikatakan bahwa samurai merupakan Ksatria sejati.


(37)

2.4.1. Samurai

Kata “ Samurai “ berasal dari kata kerja bahasa Jepang kuno “ samorau “. Kata tersebut akhirnya mengalami perubahan mwenjadi “saburau “ yang berarti melayani, sehingga “ samurai “ dapat diartikan sebagai pelayan bagi sang majikan.

Dalam catatan sejarahnya, samurai sebenarnya diciptakan sebagai “ satria bersenjata “ oleh karena itu pada zaman Edo, samurai lebih dikenal dengan sebutan Bushi (orang bersenjata ).

Berikut adalah beberapa sebutan untuk Samurai. Diantaranya adalah Buke (ahli bela diri), Musha atau Bugeisha (pakar bela diri), kabukim (preman samurai), Mononofu (satria panglima) dan Shi (huruf kanji pengganti Samurai).

Pada masa terbentuknya pengelompokkan antar golongan, membuat samurai juga menerapkannya. Samurai lebih menekankan dirinya sebagai prajurit elit dari kalangan bangsawan yang sopan dan terpelajar. Dan hal ini tentunya sangat berbeda dengan Ashigaru atau tentara berjalan kaki. Beberapa kelompok Samurai yang lainnya adalah ronin (orang ombak; samurai yang tidak bertuan), dan Hanshi (samurai yang bertugas diwilayah Han).

Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang


(38)

mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士 ) yang berarti “orang yang

dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi (続日本

紀), pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim padaakhir abad ke 12(zaman kamakura).

Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “ orang yang mengabdi “. Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin ( 浪人 ). Ronin ini sudah ada sejak zaman Muromachi

(1392), istilah ronin digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya, kehidupan seorang ronin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai menjadi ronin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani hidup sebagai ronin. Adapula ronin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang ronin secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi ronin makin bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai yang kehilangan majikannya.


(39)

Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum militer harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( 防人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini

tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.

Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para


(40)

petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan Samurai. Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan.

Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.

Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi

sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai. Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kontra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan


(41)

besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di Istanan Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家 - bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya.

Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan. Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.

Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada


(42)

Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).

Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokucho tairitsu ).

Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.


(43)

Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana Kaisar. Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh.

Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang. Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun


(44)

sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata.

Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran

Bakufu Muromachi. Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujo ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.


(45)

Kesetiaan atau disebut juga dengan pengabdian diri dalam Situmorang (2000:1) adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan sendiri.

Dalam Situmorang (2000:1), kesetiaan secara umum dapat dibagi menjadi tiga unsur yaitu: setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran,( moral), dan setia karena untuk mendapatkan keuntungan (ekonomi ). Setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa dapat dilihat pada sejarah peperangan diseluruh dunia. Penduduk setempat mau tidak mau akan bergabung menjadi tentara musuh untuk melindungi keluarganya. Demi mempertahankan kehidupannya, seorang petani rela menjadi tentara musuh untuk melindungi dan mengabdi kesetiaan kepada tuaannya. Namun pada saat tertentu dia dapat menyerang dan menguasai tuannya.

Kesetiaan seorang anak kepada orang tuanya yang selama ini membesarkan dan mengajarkan hal-hal yang baik demi kehidupannya, dapat dimasukkan kepada setia berdasarkan ajaran (moral). Sang anak akan merasa ada tanggung jawab baginya, untuk menjaga dan membalas budi kedua orang tuanya. Sama halnya seperti seorang Samurai yang hidup dalam Ie Kizokunya, akan selalu menjaga dan mengabdi kepada tuannya yang telah mensejahterakan kehidupannya. Kesetiaan yang ketiga yaitu setia karena untuk mendapatkan keuntungan misalnya seorang gadis kecil yang selalu ikut dengan kakaknya, semata-mata mengharapkan jajanan dari kakaknya. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan pergi dari kakaknya. Setelah


(46)

mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan pergi dari kakaknya dan pergi bermain dengan teman-teman yang sebaya dengannya.

Dalam Rand (2003 : 75) mengatakan, kesetiaan lahir dari manusia yang memahami tujuan dan hakekat hidup. Kesetiaan dilakukan tidak hanya karena ada rasa percaya, tetapi juga karena kebutuhan untuk kelangsungan hidup, juga karena terpaksa melakukannya.


(47)

ANALISIS KESETIAAN SAMURAI DALAM NOVEL “KAZE”KARYA DALE FURUTANI

3.1. Sinopsis Cerita Novel Kaze

Novel Kaze Merupakan novel Trilogi yang dimana perjalanan novel ini ditulis dalam buku pertama yang berjudul Kaze, Pengembaraan Seorang Samurai Tak Bertuan Mencari Putri Kaisar yang hilang atau dengan judul asli Death At The Crossroad. Tokoh utama dalam novel “Kaze “ adalah menceritakan tentang seorang Samurai yang bernama Matsuyama Kaze. Dalam novel ini Kaze berperan sebagai tokoh utama yang menjadi tokoh sentralnya, Novel “ Kaze” ini mengisahkan tentang seorang pria ditemukan tewas mengenaskan dengan sebuah anak panah yang menancap di punggungnya. Noda darah menyebar dari ujung dimana anak panah itu menancap. Bentuk anak panah itu sangat baik, dengan tangkai kayu yang lurus berwarna gelap, bersih, dan bulu-bulu kelabu, yang dihiasi dengan indah. Dipersimpangan jalan Desa Suzaka mayat itu ditemukan oleh penjual arang yang bernama Jiro.

Jiro adalah laki-laki yang tak banyak bicara, tetapi pekerjaan paruh waktunya sebagai penjual arang kayu di desa kecil Suzaka memaksanya untuk berbicara dengan para pelanggannya. Itulah yang terkadang menjadi bagian paling berat baginya, sebab kata-kata susah keluar dari pikiran atau lidah Jiro.


(48)

Jiro jengkel, di pagi ketika persoalan duniawi seperti terhambat atau menjelaskan kenaikan harga tampak sedemikian susahnya, penemuan mayat ini malah membuat rasa cemasnya bertambah. Seiring gangguan keamanan yang kian meningkat di wilayah ini, bukan hal yang mengejutkan jika kelak dia menemukan mayat-mayat ditengah-tengah desa. Jika Jiro melaporkan masalah ini, pasti dia harus berurusan dengan Magistrat Wilyah yaitu Nagato Takamasu, dan itu menimbulkan kekacauan lebih besar dan keadaan yang tidak menyenangkan. Bahkan mungkin akan terjadi pemukulan apabila Magistrat yang semena-mena itu berniat menanganinya, berdasarkan rumo yang beredar. Jiro menghela napas. Betapa menyebalkan!!. Karna sosok Nagato merupakan hal yang menakutkan bagi para petani dan rakyat jelata didesanya.

Tiba-tiba dibelakangnya , Jiro mendengar suara dari jalan setapak yang mengarah ke Uzen. Ia menoleh kebelakang dan melihat seorang laki-laki berbelok di tikungan jalan, berjalan ke arahnya. Mirip orang yang mati itu, ia juga mengenakan kimono dan hakama. Ada sesuatu berbeda , laki-laki asing jelas seorang samurai. Di pundaknya, ia acuh tak acuh menyandang katana bersarung . Dia adalah Kaze. Kaze adalah seorang ronin, samurai yang tidak bertuan, yang secara tidak sengaja melewati persimpangan tersebut.

Sang Magistrat akhirnya mengetahui tentang kejadian tersebut, dia harus melaporkan hal ini kepada Penguasa Wilayah ( Lord Manase). Kejadian ini ini sangat tidak wajar. Sang Magistrat meminta samurai Kaze untuk tetap tinggal sampai Penguasa Wilayah memutuskan apa yang mesti dilakukan terhadap situasi ini. Sang


(49)

Magistrat menawarkan rumah penjual arang (Jiro) untuk tempat tinggal samurai Kaze. Misteri dibalik kematian ganjil pria yang tidak dikenal itu menahan Matsuyama Kaze, dia terpaksa sejenak melupakan rencananya.Kaze melakukan penyelidikan tentang kasus misteri pembunuhan tersebut.

Satu hal dari Samurai itu betul-betul menggangu Jiro ialah kesederhanaannya. Kaze tampak menjaga pedangnya agar selalu didekatnya sepanjang waktu, seolah dia waspada jika sewaktu-waktu datang sebuah serangan. Jiro tahu, kaum samurai menganggap pedang mereka adalah kepanjangan dari jiwa mereka, tetapi dia merasa aneh lantaran Kaze tidak pernah membiarkan pedangnya sedikit lebih jauh dari rentang pendek lengannya. Dia juga merasa ada keganjilan, kaze hanya membawa satu pedang, sebuah katana panjang. Samurai biasanya membawa dua pedang, katana panjang wakizashi yang lebih pendek. Wakizashi pendek digunakan sebagai senjata tambahan dan untuk kewajiban lain seperti ritual bunuh diri. Samurai menyebut Wakizashi sebagai “penjaga kehormatan “ .

Setelah semalaman Kaze menginap dirumah Jiro. Keesokan paginya Kaze berencana melanjutkan pencariannya, tapi Jiro menghalanginya karna Sang Penguasa belum memberi keputusan tentang pembunuhan itu. Pembunuhan itu tak ada sangkut pautnya denganku. ” Magistrat-mu tak berarti apa-apa bagiku.Dia terlalu bodoh untuk memahami apa yang terjadi. Dia tak akan pernah menemukan pembunuhnya. Domo. Terima atas keramah tamahanmu. Semoga beruntung” kata Kaze .

Begitu keluar dari dari desa, Kaze menikmati manisnya udara pegunungan, yang harum dengan cemara dan bekas rumput musim panas. Langit bersinar cerah,


(50)

dan kendati tidak memperoleh berita tentang gadis itu, dia tidak patah semangat. Dia belum menyerah. Desa terakhir ini berarti satu-satunya tempat yang bisa ditelusuri. Jika gadis itu masih hidup, cepat atau lambat dia akan menemukannya. Untuk memperagakan kekuatan konsentrasinya, Daruma, rahib India yang mengembangkan Budisme Zen, duduk dalam sebuah gua dan bertapa selama sembilan tahun seraya menatap ke dinding. Sensei Kaze sering mengungkit cerita itu jika Kaze mulai terlalu letih menghadapi pelajaran atau latihan, tapi Kaze tak pernah melihat contoh itu berhasil baginya. Dia bisa tenang, tapi tak sanggung berpangku tangan.

Sudah dua tahun dia mencari gadis itu. Selama pencarian, dia menyusuri kota dan daerah pelosok Jepang, terus-menerus bergerak. Tidak berkegiatan, bukan kurang sabar, adalah alasan mengapa ajaran Daruma tak pernah meresap dalam hatinya. Dua tahun sejak dia melihat gadis itu, dan pada usia itu para gadis tumbuh dengan cepat. Samurai bertanya-tanya apakah dia akan mengenali gadis itu kembali. Apakah ada sedikit percikan orang tuanya yang memancar di wajah gadis itu kala dewasa, atau mungkin dia berpapasan dijalan suatu desa dan tak menyadari bahwa dia telah menemukan sasaran pencariannya.

Seperti kemampuan berpedang yang merupakan perkara selebar rambut, keberuntungan dalam hidup bisa hanya soal hitungan detik yang singkat. Seorang laki-laki bisa saja berbalik dan anak panah atau peluru atau peluru senapan laras panjang yang ditembakkan ke arahnya luput. Jika dia berbalik sedetik lebih lambat saja , dia pasti mati. Andai pun gadis itu mirip orang tuanya, barangkali Kaze berbalik di tikungan tepat saat gadis itu. Mungkin di pindah ke sebuah desa yang baru


(51)

saja ditinggalkan Kaze. Begitu banyak kemungkinan, tapi Kaze tahu dia tak bisa sekedar duduk bermalas-malasan dan menunggu keberuntungan. Dia meyakini pepatah Jepang yang berkata “Menunggu keberuntungan sama saja seperti menunggu kematian “. Pencarian ini membebani jiwanya tapi dia pun bercermin bahwa hidupnya bukanlah tanpa kesenangan, terutama saat dia berjalan sepanjang lintasan yang sepi sembari menghirup bau musim gugur yang akan tiba dan mendengarkan suara sandalnya menginjak jarum-jarum cemara yang bertebaran di sepanjang jalan. Ketika hendak menyandungkan sebuah lagu rakyat tua, dia berhenti mendadak dan menatap ke pohon-pohon yang membatasi jalan. Matanya menangkap sesuatu, dia melihat seorang penari Noh berdiri seorang diri. Noh adalah sebuah bentuk drama musik Jepang klasik yang tersusun atas tarian, musik, lagu.

Seumur hidupnya, Kaze telah melihat banyak pemandangan aneh, namun pertunjukan Noh bisu ditanah terbuka yang tersembunyi di dipegunungan rasanya bagaikan mimpi. Setelah Kaze menyaksikan pertunjukan Noh, dia kembali melanjutkan pencariannya.

Dunia sedang berubah, dan bukan bertambah baik sejauh Kaze perhatikan. Setelah tiga ratus tahun berperang terus-menerus, Jepang mengalami masa damai yang singkat di bawah kekuasaan Hideyoshi, Taiko. Tapi Hideyoshi sekalipun tak sanggup mempertahankan masa dimana para ksatria wafat pada usia tua di ranjang, dan dia menyerang Korea dengan tujuan akhir menaklukkan China. Setelah beberapa keberhasilan di awal, perang Korea berubah menjadi bencana, karena banyak sekutu terdekat Hideyoshi tewas dalam petualangan di luar negeri itu. Tetapi kematian


(52)

Hideyoshi justru menandai masa berbahaya bagi pewaris dan sekutunya, sebab Tokugawa Ieyasu sedang duduk bersabar di wilayah terkaya Jepang, Kanto, sambil menunggu.

Ieyasu menunggu saat sekutu-sekutu Hideyoshi mengalirkan darah muda mereka di petualangan Korea yang berbuah malapetaka itu. Dan akhirnya, setelah seumur hidup menunggu, Ieyasu mengambil tindakan dan mempertaruhkan segalanya dalam pertempuran yang melibatkan lebih dari dua ratus ribu orang. Dia berhasil mengalahkan pasukan yang setia kepada penerus Hideyoshi di pertempuran Sekigahara, lalu mengangkat dirinya menjadi Penguasa Jepang.

Kini sang pewaris dan janda Hideyoshi ( Sang Lady ) bersembunyi Di Puri Osaka, bak musang yang mengasingkan diri ke lubang perlindungan, sementara wilayah lain dilanda kerusuhan tatkala Tokugawa tak terelakkan lagi, memperluas penaklukannya ke seluruh penjuru negeri melepaskan sejumlah besar samurai yang selama ini setai pada pihak yang kalah di Sekigahara, bebas mengembara ke daerah pedesaan sebagai ronin yang mencari pekerjaan baru. Kaze tak tahu berapa banyak samurai kini yang tidak bertuan.

Sebelum meninggal Sang Lady mengatakan “ kalau dia masih hidup, aku ingin kau menemukannya. Inilah permintaan terakhirku dan perintah terakhir bagimu. Berikan aku wakizashi-mu”. Terkejut, Kaze mengambil pedang pendek dari sabuknya, lantas menaruh ke dalam tangan perempuan itu.

“ ini mewakili kehormatanmu dan kemampuan untuk mencabut nyawamu. Pedang ini sekarang menjadi milikku sampai anakku kau temukan”.


(53)

Kaze berutang kesetiaan terakhir bagi tuannya. Dia harus menemukan putri Kaisar yang hilang setelah malapetaka besar menimpa kekaisaran Jepang. Mangkatnya sang Tuan, kaisar Hideyoshi,menjadi sasaran empuk Tokugawa Ieyasu untuk melakukan tindakan makar. Samurai kini berubah menjadi ronin.

Hari masih awal sore saat Kaze berjalan memasuki desa berikutnya, yaitu desa Higashi, Jika dibandingkan dengan desa Suzaka, desanya jauh lebih miskin dan mengenaskan dari yang biasa dia saksikan.

Ditengah perjalanan Kaze berhenti di Kedai Teh Higashi untuk beristirahat, Kaze meyempatkan diri untuk berbicara dengan pelayan kedai dan menanyakan keadaan sebenarnya yang terjadi pada waktu pembunuhan itu.

Kaze akhirnya kembali ke Desa Suzaka, keadaan telah gelap selama beberapa jam. Waktu mendekati pondok Jiro, dia dapat melihat cahaya perapian mengintip melalui celah-celah pintu. Kaze memanggil Jiro, tapi tidak ada balasan dari Jiro, akhirnya Kaze masuk kedalam rumah Jiro. Tiba-tiba seseorang menghadangnya dan membuat Kaze pingsan. Kaze dibawa kedalam sebuah kurungan kayu, yang ternyata Jiro juga tertahan di dalam kurungan tersebut. Mereka ditahan atas perintah Sang Penguasa Wilayah ( Sang Magistrat ).

Sang Magistrat berencana akan menyalib Jiro, karna Sang Penguasa mencurigainya, dan berpikir kalau yang membunuh laki-laki di persimpangan jalan adalah Jiro, tapi Kaze menghalanginya. Dengan alasan karna Kaze terlanjur menyukainya dan selama tinggal dirumah Jiro, Kaze mendapatkan banyak arti hidup dalam kehidupan rakyat kecil seperti petani yang sebenarnya.


(54)

Kaze mulai menyelidiki tentang misteri pembunuhan itu dan berusaha mecari dan mengumpulkan petunjuk dan juga barang bukti pada kasus tersebut. Kaze menemukan barang bukti yaitu sebuah anak panah, yang mirip dengan anak panah yangdimiliki Sang Penguasa Wilayah.

Akhirnya Kaze mengetahuti pelaku pembunuhan penemuan di persimpangan jalan desa Suzaka yaitu Lord Manase (Sang Penguasa Wilayah). Kaze pun menghakiminya dengan cara Seppuku, ritual bunuh diri. Setelah semuanya selesai, Kaze teringat bahwa saat mendatangi desa Higashi, ada seorang pemuda yang memberinya kue beras, di dalam kain pembungkusnya terdapat lambang Klan yang sama persis dengan lambang Klan mantan tuannya, maka Kaze bertekad, mengejar pemuda pemberi kue beras untuk mendapatkan Sang putri Kaisar yang hilang.

3.2. Analisis Kesetiaan Tokoh Samurai dalam novel Kaze

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada bab sebelumnya tentang pengertian Kesetiaan Samurai, pengertian kesetiaan dan pengertian samurai. Maka untuk selanjutnya, untuk menjelaskan bagaimana karakteristik kesetiaan bushi yang dimiliki Kaze dan Lord Manase dalam novel Kaze.

Dari cerita dalam novel Kaze, banyak hal tentang mengenai kesetiaan. Hal itu akan tampak pada analisis-analisis yang penulis lihat dari novel ini, secara khusus penulis akan menganalisis konsep kesetiaan di Jepang dimiliki oleh para samurai yang dalam novel ini.


(55)

Teori-teori tersebut akan dilihat dan di analisis pada cuplikan –cuplikan cerita dalam novel Kaze sebagai berikut:

3.2.1. Matsuyama Kaze

a. Karakteristik Matsuyama Kaze

Kaze memiliki tinggi normal buat laki-laki seusianya , sekitar satu setengah meter. Dari gelembung lengan bawah dan tonjolan pada bahu di balik kimononya, wajah samurai berpotongan kotak dan bertulang pipi tinggi, dengan alis gelap yang nyaris menyatu di batang hidung. Wajahnya coklat terbakar matahari. Hasil dari perjalanan panjang. Kaze tidak mencukur bagian depan kepalanya seperti samurai lain. Dia malah menarik rambut hitam mengilat itu kebelakang membentuk kuncir kuda.

Kaze menjaga pedangnya agar selalu didekatnya sepanjang waktu, seolah dia waspada jika sewaktu-waktu datang sebuah serangan. Kaum samurai menganggap mereka adalah kepanjangan dari jiwa mereka. Di dalam diri Kaze ada keganjilan, Kaze hanya membawa satu pedang, sebuah katana panjang. Samurai biasanya membawa dua pedang, katana panjang dan wakizashi yang lebih pendek. Wakizashi pendek digunakan sebagai senjata tambahan dan untuk kewajiban lain, seperti ritual bunuh diri. Samurai menyebut wakizashi sabagai ”penjaga kehormatan”.

Kaze seorang ronin, “ manusia ombak “.ibarat ombak di samudra, tak ada daratan yang bisa dia sebut sebagai rumah. Ibarat air dikarang tak bisa berbaur dann menetap, selalu ditarik kembali untuk mengalir ke pantai berikutnya.


(56)

b. Analisis Kesetiaan Samurai Cuplikan 1 hal 96

Dalam beberapa hal, Kaze merasa nyaman karena banyaknya ronin menyusuri negeri. Ini memudahkannya berbaur dalam keramaian karena pemandangan ronin di berbagai tempat di Jepang menjadi suatu hal yang tidak aneh lagi. Normalnya, insting Kaze adalah pergi ke Osaka untuk bertarung membela pewaris Hideyoshi atau melakukan seppuku, bunuh diri, mengikuti Tuannya menuju kematian.

Analisis :

Konsep kesetiaan samurai yang sesuai dengan diatas yang dilakukan oleh Kaze adalah Junshi. Junshi adalah bunuh diri mengikuti kematian tuan. Hal ini terjadi karena adanya hubungan yang sangat erat antara tuan dan pegikut yang berlangsung dari generasi antara tuan dan anak buah (antara Kaze dengan Kaisar Hideyoshi). Bahkan jika ia diperintahkan untuk melakukan Seppuku oleh tuannya, ia harus menerimanya sebagai suatu bentuk pengabdian.

Dalam melaksanakan kesetiaannya, samurai harus menghapuskan kepentingan pribadi dan tindakan ini adalah perbuatan yang paling tinggi nilainya dari seorang samurai. Kematian demi tuan bagi seorang samurai adalah cara terhormat, yang dalam Buhido merupakan masalah penting.


(57)

Sebelum meninggal, Sang Lady berkata, “Temukan putriku.”Kaze sedih jika memikirkan malam mengenaskan itu. Kali ini bukannya kecantikan teduh yang selalu dikaitkan dengan Sang Lady, tubuhnya justru hancur dan menderita akibat siksaan yang dipikulnya. Wajah kurus dan berkerut karena kesakitan, sementara Kaze berusaha keras mencari tempat perlindungan yang hangat, kering baginya. Alih-alih, dia tergolek dalam hujan di bawah saung asal jadi yang dibangun Kaze dari dahan-dahan pohon. Setelah menyelamatkan Sang Lady dari tokugawa , Kaze menghindari orang-orang yang memiliki panji-panji dengan lambang keluarga yang terlihat seperti laba-laba: delapan daun bambu putih melengkung yang mengelilingi berlian putih, semuanya berlatar belakang warna hitam.

Berjalan dibadai yang gelap, dia membawa Sang Lady masuk kedalam wilayah pegunungan, dan meskipun letih, dia ingin terus melarikan diri dari kejaran para pengawal. Tapi Kaze sadar tuannya perlu istirahat dan akhirnya menempuh bahaya dengan berhenti untuk membangun tempat bernaung yang melindunginya dari hujan lebat. Kaze tak berani membuat api unggun dan ketika berpikir untuk minta izin berbaring di samping Lady, Sang Lady mulai bicara. “Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi kalau dia masih hidup aku ingin kau menemukannya.inilah permintaan terakhirku dan perintah terakhir bagimu’”kata Sang Lady. Dia menatap Kaze dengan mata gelisah, “ guratan kelam di wajahnya tampak akibat kelelahan dan kesakitan.

Kaze tak bisa berkata-kta. Dia membungkuk khidmat sebagai balasan atas perintah Sang Lady. Air mata yang basah, panas mengalir di pipinya dan berbaur bersama bersama tetersan hujan sedingin es yang menetesi wajahnya. Sang Lady


(58)

mengulurkan tangannya yang lemah. Tangan itu bergetar karena berusaha keras tetap di angkat.. “ Berikan aku wakizashi-mu.” Terkejut, Kaze mengambil pedang pendek dari sabuknya, lantas menaruh ke dalam tangan perempuan itu. Badan pedang membuat tangannya jatuh ke tanah, tapi dia menggenggam sarung pedang kuat-kuat. Awalnya Kaze mengira Sang Lady telah patah semangat dan hendak menggunakan pedang pendek untuk bunuh diri, tapi kemudian perempuan itu berkata, “Ini mewakili kehormatanmu dan kemampuan untuk mencabut nyawamu. Pedang ini sekarang menjadi milikku sampai anakku kau temukan.”

Analisis :

Dari cerita diatas, Matsuyama Kaze berutang kesetiaan terakhir bagi tuannya (Kaisar Hideyoshi dan istrinya (Sang Lady)) Dia harus menemukan putri Kaisar yang hilang setelah malapetaka besar menimpa kekaisaran Jepang. Berdasar konsep Bushido, seorang Samurai harus mengabdi secara mutlak terhadap tuannya. Salah satu contohnya kesediaan samurai untuk melaksanakan perintah atau keinginan tuannya dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Konsep Bushido yang tidak pernah dilepaskannya, dijadikan sebagai prinsip hidup yang harus dijalankan, karena baginya kesetiaan itu hendaknya lahiriah dari batin seorang samurai.

Cuplikan 3 hal 187-189

Kaze berdiri tak berkutik dihadapan penampakan itu, tak berani bernapas. Ketakutan yang terasa lebih nyata di banding apapun yang diketahuinya kini


(59)

mencengkram hatinya, tapi dia tetap berdiri ditanah dan tidak mengambil langkah seribu. Tanpa halangan, maka tak kenal takut, demikian dia berkata pada dirinya sendiri. Tanpa halangan, maka tak kenal takut. Obake ini adalah arwah Tuannya, seseorang yang sampai sekarang dia layani melalui pencariannya, kendati Lady telah wafat. Tak ada untuk ketakutan terhadapnya sekarang, walau di kini berubah entitas tak berwajah.

Dia jatuh berlutut dan membungkuk di depan obake, kepalanya menembus kabut rendah dan menyentuh bumi. Entah mengapa, tentram rasanya berada begitu dekat dengan tanah basah di hadapan penampakan ini, dan sentuhan dengan planet ini menimbulkan keberanian pada Kaze untuk melanjutkan.” Saya tahu Anda ingin saya menemukan putrimu, “ katanya.” Maafkan atas kelalaian pada sumpah setia !Tapi Lady ada sesuatu yang tak beres disini. Lord yang saya mengabdi padanya, laki-laki yang anda nikahi, selalu mengajarkan bahwa sudah tugas kita mempertahankan keselarasan di dalam diri dan masyarakat luar. Keselarasan ini telah dikacaukan disini. Seantero Jepang bergolak karena pihak Tokugawa memaksakan kehendak mereka, tapi saya merasa memiliki kesempatan untuk memperbaiki keselarasan ini, dan saya ingin mencobanya. Jika gagal dalam beberapa hari kedepan, saya akan meneruskan pencarian. Tapi saat ini, Tuanku, kumohon biarkan saya mencoba!”

Analisis :

Matsuyama Kaze merasa bersalah karena melupakan sumpah setianya yaitu mencari putri kaisar yang hilang, Kaze melakukan pengabdian diri demi tuannya dan


(60)

harus mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya, tindakan ini adalah perbuatan yang paling tinggi nilainya dari seorang samurai. Kaze menunda pencarian anak Tuannnya demi membebaskan Jiro ( si penjual arang ) tapi dia sekarang tahu Sang Lady telah paham dan memberikannya izin untuk mengembalikan keselarasan pada Kaze.

Cuplikan 4 hal 378-379

“ Maafkan aku karena menimbulkan masalah di kediamanmu dan harus mengakhiri hidupmu seperti ini,” ujarnya ke mayat Manase.” Tapi kuingin arwahmu mengetahui beberapa hal yang enggan kubahas saat kau masih hidup dan memungkinkan dirimu melarikan dirimu.

“Aku pun seorang Penguasa Wilayah, sama sepertimu, kecuali wilayahku beribu-ribu kali lipat luasnya dan aku memiliki setiap pengharapan bahwa, apabila atasanku makmur,aku pun makmur. Namun atasanku setia pada Taiko, Hideyoshi. Ketika perang untuk memutuskan siapa pengganti Taiko terjadi, atasanku mendukung pasukan Toyotomi dan bukan Tokugawa Ieyasu. Pertempuran yang menaikkan peruntunganmu, Sekigahara adalah pertempuran yang menghancurkan peruntunganku. Tuanku menderita kekalahan di Sekigahara dan aku bahkan tidak disana untuk mati bersamanya. Aku justru memimpin pasukan kembalu ke kastil kediamannya lantaran diserang sekutu Tokugawa. Aku terlambat sampai disana, dan kastil Tuanku hancur.

“Istri tuanku beserta anaknya ditangkap dalam penterbuan itu. Istrinya berhasil kuselamatkan, tapi tidak anaknya. Ketika disiksa, dia diberitahukan bahwa


(61)

putrid mereka akan di jual sebagai budak. Takdir anaknya yang mengenaskan telah menggerotinya seperti makhluk kecil yang tinggal dalam jantungnya. Karena siksaan itu, dia hanya hidup dalam waktu singkat setelah aku menyelamatkannya, tapi dia memintaku berjanji agar menemukan anaknya dan membebaskannya.”

Analisis :

Akhirnya Kaze memutuskan untuk menghukum Lord Manase dengan cara Seppuku, ritual bunuh diri. Dikarenakan Manase telah membunuh banyak orang termasuk Jendral Iwaki dan seorang samurai yang ditemukan Kaze yang sedang melintasi persimpangan desa Suzaka. Manase membunuh Jendral Iwaki atas perintah Tokugawa, dan memberikan sebuah wilayah kecil untuk Manase sebagai imbalannya. Sedangkan alasan Manase membunuh samurai adalah karena samurai tersebut mengetahui tentang imbalan yang diterima Manase, dan menuntut sejumlah uang.

3.2.2 Lord Manase Cuplikan hal 376-377 “Maafkan aku,” kata Kaze.

Manase tak membalas melainkan mangambil napas dalam-dalam, memegang pedang pendek itu dalam posisi bersiap-siap.”Siap?”

“Aku sudah siap,” jawab Kaze dari belakangnya.

Manase mengangguk satu kali, memejamkan matanya, dan menghunuskan pedangnya ke perutnya dengan segenap kekuatan. Dia mengeluarkan erangan pendek


(62)

kesakitann ndan terkejut ketika mata pedang perak itu menembus dagingnya, tapi sebelum menjerit sakit atau bahkan menarik mata pedang sepanjang perutnya, pedang Kaze melesat cepat ke bawah, memenggal leher Manase dengan jitu dan memutuskan kepala dari tubuhnya.

Darahnya menyembur dari leher Manase yang putus, dan kepalanya membentur tanah dan berguling tak seberapa jauh selagi tubuhnya bergoyang dan kemudian jatuh kebumi. Mata di kepala Manase terbuka dan kelopak mata itu bergetar hebat selama beberapa detik sebelum akhirnya diam.

Analisis :

Manase (penguasa wilayah) memutuskan untuk melakukan seppuku. Hal ini terjadi karena Kaze telah mengetahui bahwa yang membunuh Jendral Iwaki dan seorang samurai yang ditemukan tewas di persimpangan Suzaka adalah Manase.

Manase beranggapan lebih baik bunuh diri dari pada dibunuh musuhnya. Berdasarkan konsep Bushido adalah sesuatu yang memalukan kalau dia sampai dibunuh oleh musuhnya.

Keputusan tersebut dilandasi oleh konsep Bushido yang mengtakan bahwa untuk mewujudkan Bushido harus dibayar dengan pegorbanan diri. Hal ini merupakan salah satu perwujudan karakter dan watak samurai yang bermakna sebagai penghormatan dan keharusan.


(63)

BAB I

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Budaya kesetiaan pengabdian Bushi adalah kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Jepang.

2. Novel Kaze yang dibuat oleh Dale Furutani mengandung nilai-nilai kesetiaan. 3. Novel Kaze yang dijadikan objek penelitian memiliki tokoh samurai yang

mengabdi kesetiaannya berdasarkan moral.

4. Tokoh-tokoh samurai dalam novel Kaze memiliki konsep dan makna kesetiaan berdasarkan Bushido yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh latar belakang kehidupan masing-masing.

5. Dale Furutani melalui novel Kaze telah memperlihatkan sebagian dari budaya masyarakat Jepang yaitu budaya kesetiaan. Di dalam novel ini diungkapkan bahwa Dale Furutani masih mempertahankan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang dengan menceritakan peristiwa yang berkaitan dengan kesetiaan seorang samurai, mengutamakan kepentingan umum, pembalas dendam, dan lain-lain. Walaupun berbentuk fiksi, novel ini tetap menyinggung fakta yang ada berdasarkan sejarah Jepang.


(64)

4.2. Saran

Skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Baik dari segi Pemahaman konsep budaya, penulisan, analisa, maupun lainnya. Jadi disarankan bagi para pembaca yang juga ingin meneliti tentang budaya kesetiaan atau budaya-budaya Jepang lainnya, maka sebaiknya harus bena-benar memahami konsep budaya tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta didukung oleh data yang akurat.

Skripsi ini hendaknya berguna bagi pembaca dan mahasiswa yang juga ingin meneliti tentang budaya kesetiaan, hingga menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin.2000.Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Benedict , Ruth.1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni : Pola-pola Kebudayaan

Jepang. Jakarta : Yayasan Sinar Harapan (Terj ).

Dzurrahmah. 2008. Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals dalam Komik “Gals “ karya Minoha Fuji ( Skripsi ). Departemen Sastra Jepang

Universitas Sumatera Utara.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra.Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Furutani Dale. 2008. Kaze ( Pengembaraan Seorang Samurai Tak Bertuan Mencari

Putri Kaisar yang Hilang ) . Bandung : PT. Mizan Pustaka

(Terj ).

Koentjaraningrat. 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu

Sastra ( Terj. Dick Handoko ). Jakarta : PT. Gramedia. Nio Joe Lan. 1962. Jepang Sepanjang Masa : TP.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : UGM Press. Nurhayati, Yeti.1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta : PT. Dian Rakyat.


(66)

Octavy, Maharany. 2008. Tinjauan Sosiologis Komik” Nodame Cantabile “ karya Ninomiya Tomoko (Skripsi ) Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gema Media.

Ratna, Nyoman Kutha.2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Republika. 2009. Pencarian Matzuyama Kaze. http://resensibuku.com/?p=43 Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-

1868 ) di Jepang. Medan : USU Press.

.2000. Analisis Terhadap Kesetiaan Bushi ( Militer

Tradisional ) Jepang. Medan : Fakultas Sastra

Swandana, Dozi.2009.Dewa Perang Jepang. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Umry, Hadi Shafwan. 1996..Apresiasi Sastra. Medan : Yayasan Wina .

Wulandari, Gusti. 2006. Analisis Kesetiaan pada tokoh-tokoh Samurai Dalam

Samurai X Karya Nobuhiro Watsuki ( Skripsi ). Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Welleck, Rene, Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama ( Terj ).


(1)

kesakitann ndan terkejut ketika mata pedang perak itu menembus dagingnya, tapi sebelum menjerit sakit atau bahkan menarik mata pedang sepanjang perutnya, pedang Kaze melesat cepat ke bawah, memenggal leher Manase dengan jitu dan memutuskan kepala dari tubuhnya.

Darahnya menyembur dari leher Manase yang putus, dan kepalanya membentur tanah dan berguling tak seberapa jauh selagi tubuhnya bergoyang dan kemudian jatuh kebumi. Mata di kepala Manase terbuka dan kelopak mata itu bergetar hebat selama beberapa detik sebelum akhirnya diam.

Analisis :

Manase (penguasa wilayah) memutuskan untuk melakukan seppuku. Hal ini terjadi karena Kaze telah mengetahui bahwa yang membunuh Jendral Iwaki dan seorang samurai yang ditemukan tewas di persimpangan Suzaka adalah Manase.

Manase beranggapan lebih baik bunuh diri dari pada dibunuh musuhnya. Berdasarkan konsep Bushido adalah sesuatu yang memalukan kalau dia sampai dibunuh oleh musuhnya.

Keputusan tersebut dilandasi oleh konsep Bushido yang mengtakan bahwa untuk mewujudkan Bushido harus dibayar dengan pegorbanan diri. Hal ini merupakan salah satu perwujudan karakter dan watak samurai yang bermakna sebagai penghormatan dan keharusan.


(2)

BAB I

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Budaya kesetiaan pengabdian Bushi adalah kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Jepang.

2. Novel Kaze yang dibuat oleh Dale Furutani mengandung nilai-nilai kesetiaan. 3. Novel Kaze yang dijadikan objek penelitian memiliki tokoh samurai yang

mengabdi kesetiaannya berdasarkan moral.

4. Tokoh-tokoh samurai dalam novel Kaze memiliki konsep dan makna kesetiaan berdasarkan Bushido yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh latar belakang kehidupan masing-masing.

5. Dale Furutani melalui novel Kaze telah memperlihatkan sebagian dari budaya masyarakat Jepang yaitu budaya kesetiaan. Di dalam novel ini diungkapkan bahwa Dale Furutani masih mempertahankan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang dengan menceritakan peristiwa yang berkaitan dengan kesetiaan seorang samurai, mengutamakan kepentingan umum, pembalas dendam, dan lain-lain. Walaupun berbentuk fiksi, novel ini tetap menyinggung fakta yang ada berdasarkan sejarah Jepang.


(3)

4.2. Saran

Skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Baik dari segi Pemahaman konsep budaya, penulisan, analisa, maupun lainnya. Jadi disarankan bagi para pembaca yang juga ingin meneliti tentang budaya kesetiaan atau budaya-budaya Jepang lainnya, maka sebaiknya harus bena-benar memahami konsep budaya tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta didukung oleh data yang akurat.

Skripsi ini hendaknya berguna bagi pembaca dan mahasiswa yang juga ingin meneliti tentang budaya kesetiaan, hingga menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin.2000.Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Benedict , Ruth.1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni : Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta : Yayasan Sinar Harapan (Terj ).

Dzurrahmah. 2008. Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals dalam Komik “Gals “ karya Minoha Fuji ( Skripsi ). Departemen Sastra Jepang

Universitas Sumatera Utara.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra.Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Furutani Dale. 2008. Kaze ( Pengembaraan Seorang Samurai Tak Bertuan Mencari Putri Kaisar yang Hilang ) . Bandung : PT. Mizan Pustaka

(Terj ).

Koentjaraningrat. 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu

Sastra ( Terj. Dick Handoko ). Jakarta : PT. Gramedia. Nio Joe Lan. 1962. Jepang Sepanjang Masa : TP.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : UGM Press. Nurhayati, Yeti.1987. Langkah-langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta : PT. Dian Rakyat.


(5)

Octavy, Maharany. 2008. Tinjauan Sosiologis Komik” Nodame Cantabile “ karya Ninomiya Tomoko (Skripsi ) Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gema Media.

Ratna, Nyoman Kutha.2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Republika. 2009. Pencarian Matzuyama Kaze. http://resensibuku.com/?p=43 Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603- 1868 ) di Jepang. Medan : USU Press.

.2000. Analisis Terhadap Kesetiaan Bushi ( Militer Tradisional ) Jepang. Medan : Fakultas Sastra

Swandana, Dozi.2009.Dewa Perang Jepang. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Umry, Hadi Shafwan. 1996..Apresiasi Sastra. Medan : Yayasan Wina .

Wulandari, Gusti. 2006. Analisis Kesetiaan pada tokoh-tokoh Samurai Dalam

Samurai X Karya Nobuhiro Watsuki ( Skripsi ). Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.


(6)

http://www.perpustakaan-online.blogspot.com/2008/06/pendekatan-penelitian-sejarah.html

http://74.125.155.132/search?q=cache:tbjN1N4Y4QgJ:inspirasionline.com/index2.ph p%3Foption%3Dcom_content%26do_pdf%3D1%26id%3D165+novel+jepang+kaze &cd=16&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a

http://dinamika.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/26112007115932_kuliah_pps_261 107.ppt.