Analisis Perilaku On Dan Giri Dalam Novel Samurai Kazegatan Karya Ichirou Yukiyama
ANALISIS PERILAKU ON DAN GIRI (BALAS BUDI) DALAM
NOVEL SAMURAI KAZEGATAN KARYA ICHIROU
YUKIYAMA
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
RAHMADIA HASIBUAN 05708017
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
ANALISIS PERILAKU ON DAN GIRI DALAM
NOVEL SAMURAI KAZEGATAN KARYA ICHIROU YUKIYAMA
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
RAHMADIA HASIBUAN NIM: 050708017
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Drs. Amin Sihombing Prof.Hamzon Situmorang.M.S.Ph.D NIP : 19600403 1991 03 1 001 NIP: 19580704 1984 12 1 001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Departemen Sastra Jepang Ketua Program Studi
NIP.19580704 1984 12 1 001
Prof. Hamzon Situmorang. M.S. Ph.D
(4)
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRROHMANIRRAHIM....
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan
ridhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis perilaku On dan Giri
(Balas Budi) Dalam Novel Kazegatana Karya Ichirou Yukiyama, ini diajukan untuk
memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi
Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta
penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1
Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan sebagai dosen pembimbing II.
3. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku dosen pembimbing I yang telah
menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan
menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen
Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan
perkuliahan dengan baik.
5. Terima kasih yang sebesar-besarnyanya penulis ucapkan untuk kedua orang tua
tersayang dan tercinta Ayahanda Syair alam dan Ibunda Marliana yang telah banyak
(5)
6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada saudara-saudaraku yang telah banyak
memberikan dukungan dan doanya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini (Bang Khoirul, Kak Murni, Bang Kasirul, Kak Riana,
Adik Uswatun, Adik Rodiatam, Adik Iqbal M.
7. Keponakan – keponakanku tercinta (Muhsin, Uci, Lili, Naufal) love u all.
8. Teman-teman yang telah membantu dan memberi support kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Sastra Jepang stambuk 2005,,,, Liza, Dian,
Aisyah, Refina, Chaterine, Thori, dan teman-teman stambuk 2004,,,Uci, Fitri,
Mischa, Tobey, Citra, terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga kita
sukses dalam menghadapi masa depan yang lebih cerah dan buat Septika
menemukan jalan terbaik.
19. Kepada sahabat ku Santi dan Niar terima kasih buat persahabatan kita selama ini.
Semoga persahabatan kita tetap terjaga.
10. Buat anak-anak kos batu putih terutama Mamamia thanks atas supportnya, walopun
kita masih baru bersama, kelen akan selalu dalam kenanganku.
11. Bang Amran yang telah memberikan joke disaat menunggu dosen pembimbing.
12. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga
dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu
nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu
jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.
Medan, Juni 2010
Penulis Rahmadia Hasibuan
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1.Latar Belakang Masalah... 1
1.2.Perumusan Masalah... 6
1.3.Ruang Lingkup Pembahasan... 7
1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 7
1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10
1.6.Metode Penelitian... 11
BAB II NOVEL SAMURAI KAZEGATANA DAN KONSEP ON DAN GIRI 2.1. Latar Novel Samurai Kazegatana... 13
2.1.1. Latar Tempat... 14
2.1.2. Latar Waktu... 17
2.1.3. Latar Ruang... 19
2.1.4. Alur Cerita Cerita... 23
2.1.5. Ringkasan Cerita Novel... 23
2.2. Konsep On dan Giri... 30
2.2.1. Konsep On... 31
(7)
BAB III ANALISIS PERILAKU ON DAN GIRI OLEH PARA TOKOH CERITA DARI NOVEL SAMURAI
KAZEGATANA KARYA ICHIROU YUKIYAMA
3.1. Hanmaru... 48
3.2. Akazawa... 52
3.4. Gorou... 55
3.4. Satoru... 56
3.5. Hironobu... 58
3.6. Shinnosuke Hirokatsu... 60
3.7. Takajima... 62
3.8. Yukino Heihachi... 63
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 65
4.1. Kesimpulan... 65
4.1. Saran... 66
DAFTAR PUSTAKA... 67 ABSTRAK
(8)
ABSTRAK
Karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi dan sesuai
dengan perkembangan zaman, karya sastra banyak diminati oleh masyarakat, khususnya
novel. Novel adalah bentuk karya sastra yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya sosial,
moral, pendidikan. Salah satu hasil karya sastra berupa novel, yaitu novel Samurai
Kazegatana yang ditulis oleh Ichirou Yukiyama yang menceritakan kehidupan sekitar tahun
1493-1573 saat perang sering berkecamuk diantara para daimyou yang berebut kekuasaan
dan wilayah. Banyak kelompok yang memanfaatkan kemelut tersebut untuk menindas rakyat
dan mengeruk keuntungan. Salah satunya adalah gerombolan perampok Chigatana yang
bersarang di Lembah Toraguchi dan merampok saudagar-saudagar yang lewat.
Berbagai pasukan telah dikirim untuk menumpas gerombolan perampok yang
meresahkan seluruh pedagang yang ada di Shirozora. Namun semua pasukan yang dikirim
gagal, bahkan tertumpas. Hal tersebut dikarenakan terlalu meremahkan kemampuan
gerombolan perampok Chigatana. Sehingga semua saudagar semakin putus asa tidak
terkecuali Akazawa.
Akazawa adalah saudagar yang berada di Shirozora yang mempunyai seorang
pengawal yang sangat setia bernama Hanmaru. Hanmaru adalah pengawal yang telah
menerima kebaikan dari ayah Akazawa sewaktu kelaparan hampir merenggut nyawanya dan
telah membesarkan Hanmaru seperti anak sendiri. Untuk itu Hanmaru telah mendapat
perlakuan On dari Ayah Akazawa. Sebagai seorang yang mengerti balas budi maka Ia harus
membayarnya dengan melakukan Giri kepada keluarga Akazawa, walaupun ayah Akazawa
telah meninggal.
On adalah beban tanggung jawab secara sosial dan psikis terhadap penerimaan
kebaikan dari orang lain, baik sederajat ataupun tidak dan hal itu menimbulkan kewajiban
(9)
yang harus dibayar atau dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas kebajikan yang telah
diterima dan mempunyai batas waktu. Dengan kata lain Giri adalah pembayaran kembali On
yang jumlah pembayarannya setara dengan On yang diterima dan tidak terbatas waktunya.
Setelah ayah Akazawa meninggal, Akazawa melanjutkan usaha ayahnya sebagai
seorang saudagar. Namun karena adanya gerombolan perampok Chigatana membuat usaha
Akazawa tidak kondusif. Dalam keadaan seperti itu Akazawa membentuk sebuah pasukan
yang bernama Kazegatan yang berarti “Pedang Angin”. Pasukan ini bertujuan untuk
menumpas gerombolan Chigatana yang sangat meresahkan masyarakat. Anggota dari
kelompok ini yaitu, Hanmaru, Gorou, Satoru, Hironobu, Shinnosuke Hirokatsu. Walaupun
Akazawa hanya orang biasa namun kecerdasannya dalam menyusun strategi untuk
menyerang sekutu Chigatana tidak bisa diremehkan. Hal tersebut terbukti dengan strategi
yang disusunnya secara perlahan tapi pasti semua anggota Chigatana dapat tertumpas habis.
Hanmaru sebagai pengawal setia pada keluarga Akazawa yang selalu mematuhi
perintah tuannya. Ikut serta menyerang ke markas Chigatana di Lembah Toraguchi dan
gerombolan perampok Chigatana habis tertumpas hanya tinggal Yukino Heihachi sebagai
kepala gerombolan Chigatana yang tersisa. Setelah kekalahan Chigatana, Heihachi
mendatangi kediaman Akazawa dengan menyamar sebagai Genzou untuk membunuh
keluarga Akazawa. Akazawa menyadari penyamaran yang dilakukan Heihachi. Sehingga
Hanmaru diperintahkan Akazawa untuk membawa Tsubame (adiknya) ke Hineriyam dan
melindungi dari ancaman pembunuhan dari Heihachi.
Pada saat kepergian Hanmaru mengawal Tsubame ke Hineriyama Heihachi datang ke
kediaman Akazawa. Akazawa menghadapi Heihachi seorang diri. Akazawa melakukan itu
untuk kehidupan Tsubame, supaya kelak kemudian hari Tsubame meneruskan usaha ayahnya
dan demi menjaga nama baik keluarga Akazawa. Namun karena Akazawa bukan orang yang
(10)
Akazawa Hironobu sebagai anggota kazegatana tiba di kediaman Akazawa Ia melawan
Heihachi untuk membalas kematian tuannya, karena telah jelas kekuatan Hironobu dangan
Heihachi lebih unggul, Hirobu tewas saat melawan Heihachi. Selanjutnya Heihachi kembali
ke Lembah Toraguchi.
Sesampai di Hineriyama Hanmaru pamit kepada Tsubame untuk pergi ke Lembah
Toraguchi. Hanmaru pergi ke Lembah Toraguchi untuk membalas kematian tuannya. Namun
karena kemampuan Heihachi sangat hebat Hanmaru tidak dapat melawannya. Untung Satoru
datang menyelamatkan Hanmaru dan membawanya pergi Ke Hineriyama. Di Hineriyama
Satoru meminta pedang Hanmaru untuk digunakan membunuh Heihachi dan agar dendam
Hanmaru terbalas dengan menggunakan pedangnya.
Di Hineriyama akhirnya Hanmaru meninggal, tapi Ia tidak menyesal karena Ia
meninggal setelah melakukan kewajiban balas dendam. Satoru dan Heihachi pun akhirnya
meninggal saat bertarung.
Dengan melawan Heihachi di Lembah Toraguchi, Hanmaru menunjukkan perbuatan
Giri kepada keluarg Akazawa atas perlakuan On yang telah diterimanya dari keluarga
Akazawa. Walaupun anggota Kazegatana bukanlah samurai namun bersikap seperti samurai.
Hal tersebut dapat dilihat dari kesetiaan mereka pada Akazawa seorang saudagar yang
membentuk pasukan Kazegatana. Saat Akazawa meninggal mereka membalas kematian
Akazawa.
Giri dalam pemikiran masyarakat Jepang dibagi dua yaitu, Giri kepada dunia dan Giri
terhadap nama. Giri yang diangkat atau terlihat dalam novel ini adalah Giri kepada dunia
karena Giri kepada dunia adalah kewajiban untuk membayar kembali semua
kebaikan-kebaikan yang telah diterima. Dalam hal ini Hanmaru melakukan balas dendam untuk
tuannya yang telah meninggal.
(11)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta dan rasa, sedangkan kebudayaan
adalah hasil dari cipta rasa, karsa, dan rasa tersebut Koentjaraningrat (1976:28). Kebudayaan
dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa saling
berbeda-beda. Meskipun terkadang ada kesamaan seperti halnya rumpun dan ras. Di jepang antara
kebudayaan dan budaya dibedakan berdasarkan pengertiannya. Budaya ialah sesuatu hal yang
semiotik, tidak kentara atau bersifat laten artinya keseluruhan hal yang alamiah. Sedangkan
kebudayaan ialah seluruh cara hidup manusia untuk mempertahankan hidupnya artinya,
keseluruhan hal yang bukan alamiah yaitu hasil ciptaan manusia. Kebudayaan juga dapat
dijelaskan dalam Situmorang (1995:3) adalah sebuah jaringan makna yang dianyam manusia
tersebut dalam hidup, dan mereka bergantung pada jaringan-jaringan makna tersebut. Salah
satu hasil kebudayaan manusia adalah sastra.
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang mempunyai unsur seni. Menurut Hegel
dalam Umri (1996:33) seni adalah pikiran yang sempurna yang menjelma kedunia panca
indra. Karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinatif atau fiktif yaitu
suatu cerita rekaan yang mengangkat dari daya khayal kreatif, bersifat intuitif yang
mengutamakan faktor rasa agar dapat difahami oleh para pembaca. Sastra juga dapat
dikatakan sebagai suatu karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi
yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek
kebahasaan maupun aspek makna menurut Mukarovsky dalam Fananie (2000:3).
Pada umumnya, karya sastra memiliki jenis yang bervariasi, baik bersifat fiksi
maupun non fiksi. Fiksi antara lain novel, cerpen, essei, dan cerita rakyat, sedangkan non
(12)
cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan
rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin
suatu cerita. Sesuai dengan perkembangan karya sastra, karya fiksi sudah lama dikenal dan
berkembang dikehidupan masyarakat khususnya novel.
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif; biasanya dalam
bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Novel itu sendiri menurut “The American
College Dictonary (dalam Tarigan, 1984:164) menyatakan bahwa novel adalah suatu cerita
prosa yang fiktif dengan panjang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan
kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau
kusut. Hal inilah yang menegaskan kembali bahwa novel mengangkat berbagai fenomena
yang terjadi dimasyarakat, sehingga dapat mempengaruhi jiwa para pembaca dan dapat
menyelami makna yang terkandung seolah-olah berada dalam situasi yang digambarkan oleh
novelis. Novel juga merupakan suatu karya sastra yang dapat mengemukakan sesuatu secara
bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, melibatkan permasalahan yang lebih
kompleks. Semua karya sastra termasuk novel merupakan sesuatu totalitas yang memiliki
nilai seni. Totalitas itu dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu dari unsur instrinstik dan
ekstrinsik (Nisa:2009).
Dengan demikian, novel yang merupakan salah satu genre sastra sangat menarik
untuk dijadikan objek linguistik maupun sosial budaya. Salah satu novel yang menarik untuk
dibahas adalah "kazegatana" karya Ichirou Yukiyama yang menggambarkan suasana Jepang
pada zaman feodal yang dibalut oleh kekuatan karakter masyarakat jepang zaman dahulu,
yaitu mengedepankan harga diri dan pengabdian yang mengandung banyak nilai-nilai budaya
Jepang.
Adapun nilai-nilai budaya yang akan diteliti dari dalam novel "Samurai
(13)
adalah memikul beban tanggung jawab secara social dan psikis terhadap penerimaan
kebaikan dari orang lain, baik sederajat ataupun tidak dan hal itu menimbulkan kewajiban
untuk membayar setiap kebajikan yang didapatkan secara timbal balik. Konsep moral On
dilandasi oleh bagaimana hubungan antar individu dengan satuan sosial yang lebih tinggi
ketika bangsa Jepang belum dipengaruhi oleh modernisasi, mereka senantiasa diliputi rasa
berhutang kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara (Sayidimin, 1982:42).
Dengan kata lain On adalah nilai-nilai penting yang harus dipertahankan di dalam
kehidupan masyarakat Jepang yang berkaitan dengan adanya jaringan hubungan kewajiban
yang saling timbal balik. Dengan adanya perasaan berhutang budi, maka orang Jepang
merasa berkewajiban untuk membalas budi kepada semua orang yang telah memberikan
kebajikan terhadap penerima kebajikan antara lain orang tua, para penguasa, masyarakat dan
Negara. Rasa kewajiban itu disebut Gimu.
Gimu adalah konsep pembalasan kebaikan setulus hati dan pembayaran kembali yang
semaksimal mungkin pun dari kewajiban membalas budi dianggap belum cukup, dan tidak
ada batas waktu pembayarannya (Benedict, 1982:125). Gimu juga dikatakan pembalasan
kebaikan setulus hati (Situmorang,1995:66). Yaitu bahwa kebaikan yang telah diterima
tersebut harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi. Di dalam masyarakat bushi hal ini
diartikan mulai dari rasa terima kasih sampai melakukan tugas balas dendam tuan dan
melakukan Junshi (mengikuti kematian tuan). Selain itu masyarakat Jepang selalu merasa
berkewajiban untuk membalas sikap atau kebaikan yang telah diterima dari orang lain yang
setimpal yang disebut Giri. Giri adalah hutang yang harus dibayar atau dilunasi dengan
perhitungan yang pasti atas suatu kebajikan yang telah diterima seseorang dan kebajikan
tersebut harus dibayar dalam batas waktu tertentu (Mattulada,1997:284).
Pada masa modern ini konsep Giri diwujudkan atau dapat dilihat dengan giatnya
(14)
yaitu istilah pada anak muda yaitu seorang gadis memberikan coklat kepada ayah, kakak pria,
rekan kerja pria, ataupun teman-teman pria lainnya di hari valentine. Coklat ini tidak
melambangkan cinta hanya merupakan ungkapan rasa sayang dan perhatian. “Giri Choco”
berupa coklat biasa yang harganya relatif murah dan tidak terlalu istimewa. Dengan ini bukan
hal yang aneh jika ada seorang pria di Jepang yang mendapatkan banyak coklat dari
teman-teman wanitanya di hari Valentine. Dan istilah kedua “Honmei Choco” yaitu seorang gadis
memberikan coklat kepada pria idamannya atau kekasihnya. Coklat ini melambangkan cinta
dan sangat istimewa biasanya harganya relatif mahal.”.
Konsep On dan Giri yang terdapat dalam novel Samurai Kazegatana dengan setebal
352 halaman ini, ada dua hal yang sangat menarik untuk dibahas antara lain, pertama adalah
cara pengarang (Ichirou yukiyama) mengemas cerita dengan latar belakang Jepang pada
zaman feodal. Plot-plot yang dihadirkan seakan membuat penulis merasa tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Tapi, kemudian terkejut karena prediksi pembaca ternyata salah. Alur
cerita meski sederhana tetapi menarik karena sedikit sulit untuk ditebak. Hal kedua yang
membuat novel ini begitu menarik adalah penggambaran suasana Jepang di zaman feodal.
Jepang digambarkan sebagai sebuah wilayah yang tidak kondusif terhadap dunia
perdagangan dengan adanya kelompok perampok Chigatana dan pembunuhan terhadap
pengawal-pengawal pengiriman barang dagangan serta pembunuhan terhadap pasukan yang
diutus untuk menumpas Chigatana dan bagaimana seorang pengawal pengiriman barang
melaksanakan semua perintah Tuannya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk
meneliti tentang “ANALISIS PERILAKU ON DAN GIRI DALAM NOVEL “SAMURAI
KAZEGATANA” KARYA ICHIROU YUKIYAMA”. Namun bukan berarti novel ini
tidak memiliki kelemahan. Namun kelemahan yang ditemukan tidak begitu besar terhadap
penelitian yang dilakukan. Kelemahan tersebut ialah ketiadaan profil dan riwayat penulis
(15)
Dengan alasan diatas, dalam penulisan skripsi ini penulis tertarik untuk menganalisis
Budaya balas budi di Jepang, dengan istilah On dan Giri (balas budi) yang tercermin dari
karya sastra Jepang menggambarkan balas budi antara satu sama lain. Konsep On dan Giri
(konsep balas budi) yang tercermin dari novel Samurai Kazegatana karya Ichirou Yukiyama
tersebut. Dalam menganalisis novel tersebut akan menggunakan pendekatan semiotik karena
pada dasarnya semiotik adalah mempelajari lambang-lambang atau tanda. Sedang sastra
adalah merupakan sebuah lambang (Luxemburg, 1984:44). Lambang dalam sebuah karya
sastra adalah lambang bahasa mencerminkan sebuah nilai budaya dan moral. Sehingga
kata-kata atau tanda di dalam novel Samurai Kazegatana disimbolkan sebagai tanda yang akan
diinterprestasikan sebagai wujud refleksi dari adanya perilaku On dan Giri pada setiap
perilaku tokoh cerita.
1.2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan judul proposal yaitu, “Analisis Perilaku On dan Giri dalam Samurai
Kazegatana Karya Ichirou Yukiyama”, maka proposal ini akan membahas mengenai
penggambaran perilaku tokoh melalui tanda atau simbol tokoh berdasarkan teks-teks yang
terdapat dalam novel.
Tokoh utama dalam novel Samurai Kazegatana adalah seorang pengawal keluarga
pedagang yang berjiwa samurai bernama Hanmaru. Hanmaru melakukan pengawalan
terhadap barang dagangan tuannya sebagai rasa balas budi karena telah menerima kebaikan
dan pertolongan dari tuannya. Hal tersebut menimbulkan adanya rasa berhutang budi dan
merasa berkewajiban untuk membalas apa yang telah diterima dari orang yang telah memberi
dan menolong. Membalas dengan cara melaksanakan apa saja yang diperintahkan sekalipun
memberikan atau mengorbankan jiwa dan raga. Kesetiaan merupakan bentuk wujud dari
(16)
Oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba menggambarkan perilaku
On dan Giri tersebut melalui novel Samurai Kazegatana karya Ichirou Yukiyama.
Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba menjawab masalah yang dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep On dan Giri dalam pemikiran dan moral masyarakat Jepang?
2. Bagaimana pencerminan On dan Giri didalam novel Kazegatana tersebut melalui
interaksi para tokoh cerita?
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis menganggap perlu adanya
pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian
tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulis dapat terarah dan terfokus.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memulai dari lingkup pembahasan yang
difokuskan pada analisis perilaku On dan Giri oleh delapan tokoh cerita dalam novel Samurai
Kazegatana berdasarkan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan semiotik, serta
bagaimana kondisi masyarakat Jepang pada masa zaman feodal yang dijadikan latar didalam
novel tersebut. Untuk kelengkapan dalam pembahasan, maka penulis juga akan menjelaskan
tentang defenisi On dan Giri.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka
Menurut de Saussure dalam Endraswara (2003:64) telaah semiotik adalah karya sastra
memiliki hubungan antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penanda adalah aspek
formal atau bentuk tanda, sedangkan petanda adalah aspek makna atau konseptual dari
penanda. Sedangkan menurut Teew (1984:57), Semiotik adalah sistem tanda (sign), dan
(17)
signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah aspek moral atau bunyi pada
tanda itu dan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptualnya.
Menurut Barthes (Kurniawan, 2001:56), tanda akan memuat empat substansi yaitu:
1. Substansi eksperesi, misalnya suara dan artikulator.
2. bentuk eksperesi yang dibuat dari aturan-aturan sintagmatik dan paradigmatik.
3. substansi isi, diantaranya adalah aspek-aspek emosional, ideologis, dan pengucapan
sederhana dari petanda, yaitu makna positif.
4. bentuk isi yaitu susunan formal petanda di antara petanda-petanda itu sendiri melalui
hadir tidaknya sebuah tanda semantik.
Sedang sastra adalah merupakan sebuah lambang (Luxemburg, 1984:44). Lambang
dalam sebuah karya sastra adalah lambang bahasa mencerminkan sebuah nilai budaya dan
moral.
Dengan kata lain, semiotik adalah model penelitian sastra berdasarkan tanda atau
simbol yang terdapat dalam karya sastra. Tanda-tanda tersebut telah diatur oleh pengarang
sehingga ada sistem, konvensi, dan aturan-aturan yang harus dimengerti oleh peneliti.
Sedangkan karya sastra itu sendiri adalah refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan
pengarang lewat bahasa yaang dimengerti oleh sipenerima tanda atau penanda. Novel
merupakan salah satu hasil karya sastra yang bersifat fiksi yang tertulis dan naratif dalam
bentuk cerita yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya, sosial, moral, dan pendidikan.
Lewat novel “Samurai Kazegatana” yang dibahas peneliti dalam penulisan skripsi ini
akan membahas tentang konsep On dan Giri yang merupakan konsep yang terdapat pada
masyarakat Jepang. Konsep On dan Giri merujuk pada suatu konsep pemberian. Pemberian
adalah bagian dari suatu sistem tukar menukar yang saling mengimbangi dimana kehormatan
dari sipemberi dan sipenerima terlibat didalamnya. Dengan kata lain segala bentuk pemberian
(18)
Dari konsep-konsep On pada masyarakat Jepang dapat dipandang dari tiga sudut,
yaitu: pertama secara Universal On berarti hutang yang telah terdapat dalam pemikiran asli
Jepang. Kedua secara harfiah dari karakter kanji On mengandung pengertian kebaikan atau
berkah. Ketiga dari sudut pemikiran Buddha, On adalah mengacu kepada hutang seseorang
terhadap manusia dalam konteks tanggung jawab terhadap Buddha.
2. Kerangka Teori
Penelitaian kebudayaan ini dilakukan melalui novel yang merupakan sebuah karya
sastra yang bergenre karya fiksi. Setiap penelitian diperlukan suatu teori pendekatan yang
menjadi suatu acuan bagi penulis dalam menganalisis masalah yang dibahas. Semiotik sastra
adalah penelitian yang terfokus pada tanda atau lambang.
Metode telaah Semiotik adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda atau
simbol. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda (sign), dan tanda
merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu signifiant
(penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah aspek moral atau bunyi pada tanda itu dan
signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptualnya (Teew, 1984:57). Namun, signifiant
tidaklah identik dengan bunyi dan signifie bukanlah makna denotatif. Keduanya adalah
sesuatu atau benda yang diacu oleh tanda tersebut. Menurut pandangan ini sastra adalah
sebuah sistem sekunder karena semiotik mempelajari bahasa alami yang dipakai dalam sastra.
Ilmu tanda-tanda dan lambang-lambang menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda atau lambang. Oleh karena itu, didalam sebuah karya sastra
tanda-tanda tersebut disimbolkan berupa kata-kata dan bahasa. Maka kata-kata atau bahasa
yang terdapat dalam novel tersebut disimbolkan sebagai tanda yang akan diinterprestasikan.
Berdasarkan pendekataan semiotik ini maka segala hal yang berhubungan dengan
nilai budaya dianggap suatu tanda, dan tanda tersebut akan di interprestasikan sebagai wujud
(19)
dapat mengetahui perilaku On dan Giri yang digambarkan melalui perilaku tokoh cerita
dalam novel Kazegatana.
1.5. Tujuan Penelitan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui secara umum tentang konsep On dan Giri pada masyarakat Jepang.
2. Untuk mengetahui bagaimana cerminan perilaku On dan Giri yang digambarkan oleh
Ichirou Yukiyama dalam novel Samurai Kazegatana.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
2. Bagi pembaca diharapkan dapat mengingatkan bahwa dalam sastra terdapat nilai budaya
dan nilai yang dapat dipelajari.
3. Bagi pembaca diharapkan dapat memberikan kesadaran tentang konsep on dan Giri
dalam berinteraksi dengan orang Jepang.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian (riset) adalah penggunaan metode ilmiah yang bersifat formal dan sistematis
untuk mempelajari masalah. Langkah-langkah dalam melakukan penelitian pada umumnya
yaitu pemilihan dan pembatasan masalah, pelaksanaan prosedur-prosedur penelitian
(pengumpulan data), pembuatan analisis data dan pembuatan atau penarikan kesimpulan
(Sumanto, 1990:4).
Berdasarkan metode penelitian yang dipakai, penelitian ini merupakan penelitian
(20)
pemahaman dan penjelasan kejadian-kejadian masa lampau. Tujuan penelitian sejarah adalah
untuk mencapai kesimpulan sehubungan dengan sebab, akibat kecenderungan dari masa
lampau yang dapat membantu menjelaskan kejadian masa kini dan mengantisipasi kejadian
yang akan datang. Pada penelitian sejarah dikenal dengan adanya data primer dan sekunder.
Sumber data primer merupakan informasi dari “tangan pertama” misalnya: laporan saksi
mata, dan dokumen asli. Sedangkan sumber data sekunder adalah informasi dari “tangan
kedua” (Sumanto, 1990).
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel yang berjudul “Samurai
Kazegatana karya Ichirou Yukiyama” yang diterbitkan oleh Qanita PT. Mizan Pustaka
Anggota IKAPI, Bandung pada tahun 2009 setelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Teknik pengumpulan data yang digunakan teknik studi kepustakaan (library research),
dengan mengambil sumber acuan dari berbagai buku dan artikel yang berhubungan dengan
konsep On dan Giri, budaya Jepang, Sejarah Jepang serta buku panduan lainnya dan
penelusuran melalui media internet sebagai literatur tambahan.
Semua buku tersebut penulis peroleh dari fasilitas yang tersedia di perpustakaan umum
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Program Studi Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Konsulat Jendral Jepang Medan, juga dari
(21)
BAB II
NOVEL SAMURAI KAZEGATANA DAN KONSEP ON DAN GIRI 2.1. Latar Novel Samurai Kazegatana
Menurut Ikram (1980:21), setting adalah tempat secara umum dan waktu atau masa
terjadi. Menurut Welleck (1989:24), latar adalah lingkungan, terutama dalam lingkungan
rumah tangga, dan merupakan metonimi, metafora, dan pertanyaan dari watak. Menurut
Esten (1982:92-93), setting dapat merupakan pernyataan dari sebuah keinginan manusia. Ia
merupakan latar alam sebagai proyeksi dari keinginan. Latar sosial adalah keinginan sosial,
tempat tokoh itu bermain. Yang dimaksud dengan latar sosial dalam hal ini tidak hanya
menyangkut kelas sosial dari masyarakat, tetapi juga lingkungan masyarakat.
Setting memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
(22)
daya imajinasi, selain itu dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan
pengetahuannya tentang setting.
Nurgiyantoro (1995:227) mengatakan setting dapat dibedakan kedalam tiga unsur
pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara tersendiri yang pada
kenyataan saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam
menganalisis latar novel Samurai Kazegatana, akan dibahas latar-latar sebagai berikut :
2.1.1. Latar Tempat
Latar tempat merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya sastra. Unsur-unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, mungkin juga lokasi tertentu tanpa nama yang
jelas.
Latar terjadinya peristiwa-peristiwa dalam novel Kaze adalah sebagai berikut :
1. Desa Shirozora
“Namun, bagaimanapun mereka tetap harus bersyukur, karena di provinsi ini
kekacauan perang tidak terlalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Berkat kekuatan
militer sang Daimyou yang mampu menahan ancaman di perbatasan, Hineriyama menjadi
kota yang tergolong aman. Dan Shirozora yang terletak tak terlalu jauh darinya, ikut
merasakan sepercik kedamaiannya (hal:14).
Desa Shirozora merupakan latar tempat dimana desa ini dipimpin oleh seorang
Shouya. Desa ini merupakan tempat tinggal Hanmaru, Akazawa, Tsubeme (adik saudagar
Akazawa). Tuan Takajima juga orang yang bertempat tinggal di desa ini.
(23)
“Jalan Ryuujin, yaitu jalan yang menghubungkan Shirozora dengan Hineriyama,
meliuk-liuk bagaikan naga melalui bukit dan lembah. Dalam keadaan normal, sebenarnya
jalan itu sangat digemari, sebab seseorang yang berangkat pagi dapat tiba di tujuan sebelum
matahari terbenam meskipun berjalan santai. Akan tetapi dengan kemunculan Chigatana,
jalan kini dihindari. Hutan yang menutupi sebagian jalan menjadi tempat sempurna bagi
perampok untuk bersembunyi, menanti , lalu menyergap mangsanya” (hal:43-44).
Jalan Ryuujin merupakan latar tempat yang berupa jalan yang menghubungkan Desa Shirozora dengan Hineriyama, tempat kelompok perampok Chigatana muncul menghadang
pengawal barang dagangan yang dikirim pedagang dari Shirozora menuju kota provinsi
Hineriyama.
Bila dipandang dari atas, dengan sudut pandang yang lebih luas. akan kelihatan
banyak kelompok patroli perampok yang berjaga dengan waspada, sementara disebuah tanah
terbuka agak jauh berkumpul lebih banyak lagi orang yang berwajah sangar. Dengan keadaan
seperti itu gerombolan perampok Chigatana menjadikan lembah Toraguchi yang merupakan
jalan Ryuujin menjadi benteng yang mustahil untuk ditembus.
3. Lembah Toraguchi
“Akhirnya, mereka mencapai Lembah Toraguchi, yang terletak tepat diantara tiga
bukit. Hutan di lembah itu paling lebat-begitu lebat sehingga kegelapan selalu menguasainya
meskipun matahari masih bersinar di atas sana” (hal: 47).
Lembah Toraguchi yaitu latar tempat yang merupakan lembah yang sangat gelap
karena sinar matahari tidak dapat menembus lembah tersebut. Hal tersebut menjadikan
lembah ini tempat yang ideal untuk bersembunyi gerombolan perampok Chigatana. Lembah
ini terletak diantara tiga bukit. Lembah toraguchi adalah lembah tergelap diantara dua lembah
(24)
Sudah berbagai pasukan dikirim ke lembah ini untuk menumpas para perampok
tersebut. Namun, setiap pasukan yang dikirim tidak pernah berhasil, selalu gagal bahkan
tertumpas sampai habis. Hal tersebut karena terlalu meremehkan kemampuan kelompok
Chigatana. Masyarakat semakin putus asa menghadapi masalah ini terutama para pedagang.
Karena tidak dapat mengirim barangnya ke Hineriyama.
Di lembah ini telah banyak terjadi pertempuran. Sehingga sudah banyak darah yang
tertumpah akibat ulah kelompok perampok Chigatana. Setiap saudagar dari Shirozora
mengirim barang dagangan ke Hineriyama kota provinsi selalu dihadang kereta barang
dagangannya, pasukan yang dikirim Shouya dari desa Shirozora ditumpas habis tanpa sisa
oleh gerombolan perampok Chigatana, bahkan pasukan yang diutus oleh yang mulia
(Daimyou) juga ditumpas habis hanya utusan junjungan yang selamat yaitu Hirokatsu
Shinnosuke.
4. Hineriyama
Sebuah peringatan telah dikelurkan Walikota agar penduduk lebih berhati-hati bila
melakukan perjalanan menuju Hineriyama, kota benteng utama provinsi mereka. Sebab ada
kemungkinan perampok akan menghadang di sekitar Lembah Toraguchi” (hal:12).
Kota Hineriyama merupakan latar tempat kota benteng Ibu kota provinsi yang
dipimpin oleh Daimyou. Tempat para pedagang atau Saudagar dari Shirozora mengirim
barang dagangan, Kota ini adalah kota yang aman karena Daimyounya memilki pasukan
yang kuat.
5. Desa Tanoki
“Ya Aku tinggal di desa Tanoki, sebelah barat Shirozora. Mungkin kau pernah
mengunjunginya” (hal:90).
(25)
2.1.2. Latar Waktu
“Sesungguhnya, mereka hidup di zaman yang nyaris mengkhawatirkan, terutama
karena hampir di seluruh Jepang perang sedang berkecamuk” (hal: 13). Saat ini, para
daimyou berupaya saling menghancurkan demi menjadi yang terkuat. Pada zaman feodal
Jepang, perang sering berkecamuk di antara para daimyou yang berebut kekuasaan dan
wilayah (terdapat pada cover belakang buku: bagian sinopsis).
Latar waktu yang berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan
dengan latar tempat dan latar waktu faktual. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar
tempat dan latar sosial sebab pada kenyataan memang berkaitan.
Novel “Samurai Kazegatana” Karya Ichirou Yukiyama menggambarkan latar waktu
yang menceritakan tentang kehidupan seorang pengawal dan pedagang (saudagar) pada
zaman Sengoku, yaitu seorang penguasa menguasai lebih dari satu wilayah (masa
kepemimpinan Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi).
Dalam Swandana (2009:103-104) zaman sengoku adalah zaman dimana
masing-masing pemimpin wilayah sering disebut “Klan” yang mempunyai misi yang sama yaitu
mempersatukan seluruh Negara di dunia, dengan adanya perebutan kekuasaan mengatas
namakan “Negara”. Istilah zaman sengoku berawal dari “perang saudara” yang terjadi
sekitar tahun 1493-1573.
(26)
“Semua saudagar di Shirozora pasti merasa cemas dengan ancaman kawanan
perampok, tetapi mungkin saat ini tak ada yang lebih gelisah daripada Akazawa, karena Dia
bermaksud mengirimkan satu kereta penuh berisi kain sutera ke Hineriyama besok” (hal: 15).
Latar ruang mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan
sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks. Dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap
dan lainnya. Disamping itu, latar ruang juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan.
Novel “Samurai Kazegatana” bila dilihat dari latar ruang adalah menggambarkan
tentang seorang pengawal yang bernama Hanmaru berutang budi kepada keluarga Akazawa.
Dengan berutang budi ini, Dia melakukan apapun yang di perintahkan oleh Akazawa, bahkan
Dia rela mengorbankan jiwa dan raga sebagai refleksi balas budi (On dan Giri)nya kepada
keluarga Akazawa orang yang telah memberikan kebaikan kepadanya.
Latar ruang mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan
sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks. Dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap
dan lainnya. Disamping itu, latar ruang juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan.
Novel “Samurai Kazegatana” bila dilihat dari latar ruang adalah menggambarkan
(27)
(konsep balas budi). Hanmaru merasa berhutang terhadap keluarga Akazawa yang telah
memungut dan membesarkannya seperti anak sendiri.
2.1.4. Alur Cerita
Pengertian Plot atau alur dalam cerpen atau karya fiksi pada umumnya adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjadi cerita yang
dihasilkan oleh para pelaku dalam saat bercerita tahapan peristiwa yang berbagai macam (
Aminuddin, 2000 : 83 ).
Alur atau plot cerita fiksi secara umum dibagi menjadi tiga jenis, yakni alur maju, alur
mundur dan alur maju mundur. Alur maju adalah cerita yang mengalir dan berurutan dari
awal kejadian sampai akhir peristiwa sampai akhirnya mencapai penyelesaian sesuai dengan
yang diinginkan pengarang. Alur mundur adalah jalan cerita yang dimulai dari menceritakan
peristiwa hasil lalu mundur ke cerita penyebab atau peristiwa penyebab cerita hasil. Alur
maju mundur adalah jalan cerita yang tidak beraturan. Pengarang bisa saja menceritakan
kejadian yang sedang terjadi, lalu tiba-tiba melompat menceritakan kejadian yang lampau dan
kembali lagi ke cerita yang sekarang.
Montage dalam Aminuddin (2000: 84) menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam
plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Exposition, yakni awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa
serta pengenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita.
b. Inciting Force, yakni ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang
bertentangan dengan pelaku.
c. Rasing Action, yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai
(28)
d. Crisis, yaitu semakin panas dan para pelaku sudah diberi gamabaran nasib oleh
pengarangnya.
e. Climax, yaitu situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi
hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri.
f. Falling Action, yakni kadar konflik sudah menuntun sehingga ketegangan dalam
cerita sudah mulai mereda sampai menuju penyelesaian cerita.
Dalam novel “Samurai Kazegatana” tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita yang
tersusun dalam tahapan yang dinyatakan oleh Montage sebagai berikut: Dalam novel
“Kazegatan" tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita yang tersusun dalam tahapan yang
dinyatakan oleh Montage sebagai berikut :
a. Expositon
Ekposition dalam novel “Samurai Kazegatana” adalah dengan diperkenalkannya desa
Shirozora, yang merupakan tempat saudagar Akazawa yang berdagang kain sutera dari desa
Shirozora dikirim ke ibu kota proivinsi Hineriyama dengan kereta barang menggunakan jasa
para pengawal yang mengawal barang dagangan.
Dilanjutkan dengan pengenalan tokoh-tokoh utama, yakni tokoh Hanmaru, seorang
pengawal yang sangat setia terhadap tuannya karena kelurga tuan telah mengangkatnya dari
seorang gelandangan yang kelaparan hingga nyaris merenggut nyawanya. Dan untuk
membalas budi atas kebaikan yang telah diterimanya Ia rela mengorbankan jiwa dan raga
dengan pedangnya untuk sang majikan.. Tokoh Akazawa pemuda yang sangat cerdas dan
seorang saudagar yang handal berusia 21 tahun. Sedangkan tokoh Gorou mempunyai sifat
(29)
adalah nona Tsubame yaitu merupakan adik Saudagar Akazawa yang mempunyai kecerdasan
yang sama dengan tuan Akazawa berusia 15 tahun.
a. Inciting Force
Tahapan Inciting Force dalam novel “Samurai Kazegatana” menggambarkan kondisi
Lembah Toraguchi tepatnya jalan Ryuujin yang sangat mencekam karena gerombolan
permapok Chigatana yang siap menyerang dan menghadang setiap kali pedagang mengirim
barang dagangan menuju Hineriyama. Tuan Gorou tewas di Lembah Toraguchi saat
menagawal barang dagangan Tuan Akazawa, dan di waktu yang bersamaan Hanmaru untuk
pertama kalinya ikut mengawal kereta barang dagangan. Pada saat terjadi pertempuran yang
sangat sengit antara pengawal barang dagangan dengan gerombolan perampok, Hanmaru
hampir tewas kalau saja Satoru yaitu seorang ninja tidak segera menyelamatkan nyawa
Hanmaru.
Dengan kejadian ini Shouya mengirim pasukan untuk menumpas gerombolan
perampok Chigatana. Namun pasukan yang dikirim gagal. Setelah kegagalan pasukan
Shouya yang mulia kemudian mengirim pasukan kembali untuk menumpas Chigatana yang
dipimpin oleh pengikutnya yang bernama Hirokatsu Shinnosuke. Akan tetapi, karena sifat
Shinnosuke yang sombong karena Ia adalah seorang yang hebat di medan perang dalam
melawan musuhnya, tapi tidak dibarengi penyusun strategi yang handal untuk memimpin
pasukan di medan perang. Sehingga pasukan pimpinan Hirokatsu ini juga gagal menumpas
gerombolan perampok Chigatana.
b. Rasing Action
Hanmaru merasa keberatan atas masuknya Satoru ke dalam kelompok Kazegatana
(30)
kejadian ketika Hanmaru membujuk Hironobu yaitu seorang ronin untuk bergabung dengan
anggota kazegatana, mengajukan syarat bila saja Hanmaru tidak mampu untuk
mengalahkannya Ia tidak akan mau bergabung dengan kelompok Kazegatana. Hanmaru
merasa Hironobu sepele atas kemampuan yang Ia miliki. Untuk menguji kemampuan
Hanmaru Akhiranya mereka berduel di lapangan terbuka dengan disaksikan oleh dua
bersaudara Akazawa dan Tsubame.
Kemudian Satoru diketahui oleh Hirokatsu Shinnosuke sebagai orang yang mengabdi
pada Daimyou musuh provinsi Hineriyama sehingga Hirokatsu Shinnosuke marah besar dan
memaksa Satoru keluar dari anggota kelompok Kazegatana dan mereka saling membunuh.
Saat pedang Hirokatsu hampir mengenai Satoru, Hanmaru datang menyelamatkan nyawa
Satoru. Hanmaru melakukannya untuk membalas kebaikan yang telah diterimanya dari
Satoru.
c. Climax
Hanmaru serta anggota Kazegatana beraksi menumpas gerombolan perampok
Chigatana serta sekutunya Takajima pedagang yang berada di Shirozora. Satu persatu semua
gerombolan Chigatana tewas karena menggunakan strategi yang disusun oleh Akazawa.
Dalam keadaan seperti ini keberadaan Kelompok Kazegatana diketahui oleh sekutu
perampok Chigatana yang membuat Akazawa meninggal demi menjaga keselamatan adiknya
Tsubame dan menjaga nama baik keluarga.
(31)
Novel Samurai Kazegatana Merupakan novel karangan Ichirou Yukiyama. Novel ini
menceritakan keadaan Jepang pada zaman Feodal, Dimana perang sering berkecamuk
diantara para Daimyou yang berebut kekuasaan dan wilayah. Banyak kelompok yang
memanfaatkan situasi tersebut untuk menindas rakyat dan mengeruk keuntungan. Salah
satunya adalah munculnya gerombolan perampok Chigatana yang bersarang di Lembah
Toraguchi dan beraksi di jalan Ryuujin yaitu jalan yang menghubungkan Shirozora dengan Hineriyama. Gerombolan perampok Chigatana merampok saudagar-saudagar yang mengirim
barang dagangan yang diangkut kereta barang dengan menggunakan jasa para pengawal.
Munculnya gerombolan perampok ini membuat semua saudagar merasa Khawatir,
karena barang tidak dapat dikirim disebabkan setiap barang dagangan yang dikirim dihadang
dan dirampas gerombolan Chigatana dan juga tidak segan menumpas anggota pengawal
kereta barang sampai habis. Hanmaru yang merupakan tokoh sentral dalam novel ini
berperan sebagai pengawal yang berjiwa samuarai yang menjunjung kehormatan dan kesetian
terhadap tuannya. Hanmaru sudah bekerja pada keluarga Akazawa sejak Ia berusia 6 tahun
dan telah banyak menghabiskan waktu bermain bersama dengan Akazawa dan Tsubame
sehingga Akazawa menganggap Hanmaru seperti adik sendiri. Namun setelah kedatangan
Gorou situasi diantara Hanmaru dan Akazawa jadi berubah. Hal ini dikarenakan semenjak
kedatangan Gorou, Hanmaru menunjukkan ketertarikan yang sangat kuat terhadap ilmu
teknik pedang sehingga akhiranya Ia diangkat Gorou menjadi muridNya. Akazawa
mempunyai motto bila mati harus terlebih dahulu “Melakukan apa yang harus dilakukan”
dengan pengertian tak perlu menyesal setelah melakukan apa yang harus dilakukan. Motto
ini Hanmaru dapatkan dari Gorou yaitu Seorang samurai yang mengabdi kepada seorang
Daimyou, tetapi beberapa tahun yang lalu, ayah Akazawa pernah menyelamatkan hidupanya,
sehingga Dia memutuskan jalan hidup dan bekerja pada keluarga Akazawa sebagai pengawal,
(32)
Sepenuhnya kesetiaan Gorou lebih terasa seperti pengabdian hidup sepenuhnya pada seorang
junjungan.
Akazawa merasa sulit mempercayai kabar tentang perampokan terhadap iring-iringan
kereta barang dagangan Takajima, salah seorang saudagar di Shirozora, dalam perjalannya
menuju kota Hineriyama. Dengan peristiwa tersebut, berarti telah terjadi tiga perampokan di
Jalan Ryuujin dalam kurun waktu lima hari. sebuah jumlah yang sangat besar untuk
menyatakan adanya bahaya yang mengancam. Dalam keadaan seperti ini Akazawa berniat
membatalkan mengirim barang dagangan. Namun Gorou memohon agar pengiriman barang
tidak di batalkan. Akhirnya barang jadi dikirim, karena sekeras apapun Akazawa meyakinkan
Gorou untuk membatalkan pengiriman barang, semakin keras Gorou memohon agar barang
dagangan dikirim. Bila saja barang dagangan tidak jadi di kirim akan melukai perasaan
Gorou sebagai seorang pengawal yang berjiwa Samurai. akhirnya Akazawa menyadari tak
ada apapun di dunia ini akan dapat mengubah tekad Gorou.
Pengiriman barang Tuan Akazawa yang dikawal oleh Gorou, serta Hanmaru (untuk
pertama kali), serta sepuluh ronin yang disewa. Salah satu ronin tersebut ialah teman semasa
kecil Gorou yaitu Hironobu. Dalam pengawalan barang dagangan di Lembah Toraguchi di
Jalan Ryuujin pengawal dihadang oleh gerombolan perampok sehingga terjadi pertempuran
yang sangat sengit. Dalam pertempuran ini Gorou tewas, Gorou meninggal di saksikan
langsung oleh Hanmaru. Untuk itu Dia berjanji akan membalas kematian GuruNya. Hanmru
juga hampir tewas. Namun karena Satoru seorang Ninja yang mengincar Yukino Heihachi
kepala gerombolan perampok menyelamatkan nyawanya saat bertempur dengan gerombolan
Chigatana. Pada pertempuran ini selain Hanmaru, ada satu orang lagi yang selamat yaitu Hironobu. Hal ini tidak mengherankan Hanmaru, karena sebelum pergi ke lembah Toraguchi, Hironobu sudah menayatakan hal itu sebelumnya.
(33)
Pengiriman barang dagangan Akazawa merupakan pengiriman yang terakhir.
Penghentian mendadak aliran perdagangan ini akhiranya menarik perhatian sang Daimyou
dan memerintahkan Shouya membentuk pasukan yang terdiri dari 30 orang untuk menumpas
gerombolan perampok Chigatana. Pasukan ini gagal dalam menumpas Chigatana, dan yang
pulang hanya 6 orang. Salah satu diantara pasukan yang pulang bercerita “sesuai
perhitungan, kawanan perampok menyergap kami di Lembah Toraguchi yang gelap. Kami sudah siap, tapi mereka (gerombolan perampok Chigatana) berada di atas angin karena jumlahnya sangat banyak dan telah mengenal seluk beluk lembah itu”.
Dengan keadaan yang tidak kondusif seperti ini. Akazawa berencana membentuk
pasukan secara diam-diam dan dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan tinggi.
Hanmaru merupakan orang yang diutus untuk mencari orang-orang seperti rencana Akazawa.
Akhirnya Hanmaru mengingat Satoru, orang yang menyelamatkannya saat bertempur dengan
geombolan pasukan Chigatana. Namun ada satu kendala, Dia tidak mengetahui keberadaan
Satoru.
Saat mengunjungi makam gurunya yang terletak di halaman kuil, Hanmaru bertemu
dengan Satoru, lalu Hanmaru mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang telah
diterimanya dari Satoru dan mengajak Satoru bergabung dengan pasukan yang dibentuk
Akazawa. Saat itu Satoru menyamar sebagai petani. Setelah pertemuannya dengan Satoru,
malamnya satoru datang mengunjungi kediaman Akazawa dan Dia mengajukan syarat untuk
bergabung dengan pasukan yang dibentuk Akazawa. Setelah syarat tersebut dipenuhi Satoru
bergabung dengan pasukan yang dibentuk Akazawa. Anggota pasukan yang dibentuk
Akazawa Terdiri dari tiga orang, diantaranya Akazawa, Hanmaru, dan Satoru. Kelompok ini
belum mempunyai nama. Beberapa nama diusulkan, tapi tak ada yang disepakati. Kemudaian
Tsubame menyanyikan sebuah lagu di masa kecil sewaktu mereka (Hanmaru, Akazawa, Tsubame) bermain bersama “Kazegatana Kazegatana, menebas tanpa suara, membelah
(34)
tanpa wujud, lalu menghilang seolah tak pernah ada” Mendengar lagu ini mereka semua
sepakat memberi kelompok ini dengan nama “Kazegatana” yang berarti pedang angin.
Karena jumlah kelompok Kazegatana hanya tiga orang dianggap masih kurang. Untuk itu
diutus kembali Hanmaru mengajak Hironobu bergabung. Awalnya Hironobu enggan
menanggapi ajakan Hanmaru dengan alasan Ia tidak ingin mencari pertarungan. Alasan inilah
yang menguatkan Akazawa bertekad mengajak Hironobu bergabung bersama Kazegatana
dalam menumpas Chigatana. Namun karena keadaan yang mendesak akhirnya Dia mau
bergabung ditambah lagi alasannya untuk melindungi Hanmaru di medan perang dari
kejamnya gerombolan perampok Chigatana. Karena Dia tidak ingin Hanmaru mengalami hal
yang sama dengan sahabat masa kecilnya Gorou “mati sia-sia”.
Di saat yang bersamaan Yang mulia (Daimyou) mengutus seorang pengikutnya
Hirokatsu shinnosuke yaitu seseorang yang terkenal lewat keberaniannya di medan tempur
tapi tidak mempunyai strategi yang bagus. Pasukan ini juga gagal menumpas Chigatana
disebabkan Gerombolan perampok Chigatana menggunakan senapan yaitu senjata yang
masih jarang digunakan di Jepang saat itu. Hanya Shinnosuke yang selamat. Dalam
pertempuran tersebut Shinnosuke menjadi incaran Saburou komandan gerombolan Chigatana
yang bertugas menumpas pasukan Shinnosuke. Namun saat semua gerombolan perampok
lengah Shinnosuke melarikan diri. Dia menuju Shirozora. Di tengah jalan Dia bertemu
dengan seorang gadis yang diganggu oleh dua pria. Diapun menyelamatkan gadis tersebut.
Dan kemudian gadis itu membawa Shinnosuke ke rumahnya untuk diobati. Di rumah tersebut
Shinnosuke mendengar pembicaraan dua pria Akazawa membentuk pasukan untuk menumpas Chigatana. Kemudian Shinnosuke menanyakan kebenaran hal tersebut kepada orang yang
membicarakannya. Dengan begitu muncullah idenya menulis surat kepada daimyou
(35)
Malam harinya Shinnosuke menjumpai Akazawa dan menmgutarakan niatnya
bergabung dengan Kazegatana. Akazawa pun menerima Shinnosuke sabagai anggota baru di
Kazegatana. Pada saat pertemuan pertama secara tidak langsung sudah kelihatan api
permusuhan antara Satoru dan Shinnosuke. Satoru adalah orang yang menyelidiki keberadaan
Chigatana. Sehingga Kazegatana mengetahui seberapa besar, taktik, dan kelemahan Chigatana. Hal ini mempermudah Kazegatana menentukan langkah selanjutnya dalam
menumpas Chigatana, dengan melumpuhkan orang-orang penting di tubuh Chigatana
diantaranya Yukino Heihachi (ketua gerombolan perampok), Saburou (tangan kanan Yukino
Heihachi), Takajima (saudagar yang bersekutu dan yang menyediakan kebutuhan
gerombolan perampok), dan Kenji (mata-mata gerombolan perampok Chigatana).
Pada aksi pertama Kazegatana, menggunakan strategi yang disusun oleh Akazawa.
sepuluh orang gerombolan perampok tewas termasuk Saburou. Sasaran selanjutnya adalah
Takajima. Namun karena Takajima mempunyai persiapan dan kewaspadaan yang tinggi, Kazegatana gagal menangkap Takajima dan Dia berhasil melarikan diri berlari ke gubuk tua
yang berada Lembah Toraguchi tempat tinggal Yukino Heihachi tapi Kazegatana
mendapatkan informasi penting dari Takajima untuk melengkapi langkah selanjutnya.
Kediaman Takajima di jaga dua puluh orang pengawal yang berasal dari gerombolan
perampok Chigatana. Keadaan ini dimanfaatkan Kazegatana untuk menjebak Takajima
membuka kedoknya sebagai orang yang bekerja sama dengan Chigatana. Kazegatana
membuat jebakan seolah-olah orang yang membunuh Takajima adalah orang-orang
Chigatana dan ketahuan bekerja sama dengan Chigatana dengan keberadaan penjaga atau
pengawal di kediamannya sebanyak dua puluh orang gerombolan perampok Chigatana.
Meninggalnya Takajima membuat Yukino Heihachi semakin berhati-hati. Dengan Banyaknya
keberuntungan yang berpihak di tubuh Kazegatana bukan berarti tidak ada kelemahan.
(36)
Satoru ditugaskan menyelidikinya. Akhirnya Satoru mendapatkan informasi tersebut, karena
niat Satoru pada awalnya ialah mendekati Yukino Heihachi dan menghadapinya langsung
untuk mengemban tugas yang diberikan junjungannya. Satoru mendekati Kenji yang
merupakan bekas muridnya. Satoru dan Kenji bercakap-cakap dan tanpa sengaja Shinnosuke
mendengarkan percakapan itu. Shinnosuke mendengar bahwa Satoru adalah mata-mata
provinsi musuh provinsinya. Shinnosuke berang sehingga menyebabkan pecahnya
Kazegatana ditandai dengan keluarnya Satoru dari kelompok Kazegatana.
Dengan tidak adanya Satoru dalam tubuh Kazegatana, membuat Kazegatana sedikit
melemah karena Satoru merupakan orang yang berperan penting dalam kelompok
Kazegatana. Setelah tewas Saburou dan Takajima dua orang penting di tubuh Chigatana.
keberadaan Kazegatana tercium oleh Chigatana melalui mata-matanya Kenji. Hal ini
meneyebabkan bahaya besar pada Kazegatana. Pada aksi terakhir menumpas Chigatana
dengan pertempuran sengit di Lembah Toraguchi, Yukino Heihachi tidak tewas, malah Dia
pergi ke Shirozora dan menyamar sebagai Genzo menemui Akazawa. Setelah Akazawa
mengetahui bahwa orang yang menyamar adalah Yukino Heihachi Dia menugaskan Hanmaru
mengantar dan mengawal Tsubame ke Hineriyama ke rumah Saudagar Motorijo. Dengan
menyerahkan kepalanya kepada Yukino Heihachi hal ini diketahui Hironobu, Diapun datang
ke kediaman Akazawa dan melawan Yukino Heihachi namun karena kekuatan dan kehebatan
Yukino Heihachi dalam melawan musuh membuat Hironobu tewas. Dengan meninggalnya Akazawa Hanmaru berniat menghabisi Shinnosuke, Dia kembali ke Lembah Toraguchi dan
melawan Yukino Heihachi. meskipun Hanmaru menyadari kemampuannya tidak bisa
menandingi Heihachi, Hanmaru tetap berharap akan dapat membunuh Shinnosuke. Disini
terlihat jelas kekalahan Hanmaru, kemudian Ditolong Satoru saat Yukino Heihachi hendak
menikamnya. Untuk kedua kalinya Hanmaru diselamatkan Oleh Satoru dengan mengangkat
(37)
telah kehilangan kakanya, dan juga para pelayan yang sangat dekat dengannya. Kesedihan Tuan Putri (Tsubame) pasti sangat dalam maka jangan membuatnya lebih bersedih lagi dengan kematianmu, Hanmaru. Yang harus kau lakukan sejak saat ini adalah melindungi dan menghibur Tuan Putri yang sedang bersedih. Cukup dengan terus berada disampingnyapun, aku yakin gadis itu sudah merasa sangat bahagia”.
Sesampai di Hineriyama Satoru berpamitan pergi ke Lembah Toraguchi untuk
menuntaskan kewajibannya membunuh Yukino Heihachi Dia meminta pedang Hanmaru
untuk membunuh Yukino Heihachi. Ketika sampai di gubuk tua satoru berdebat dengan
Heihachi dan setelah itu terjadi pertempuran sengit antara Heihachi dan Satoru. Kekuatan
seimbang. Sehingga Satoru dan Yukino Heihachi saling menikam menusuk jantung dan
sama-sama meninggal.
2.2. Konsep On ( 恩 )dan Giri ( 義理 )
Manusia adalah makhluk individu yang dilahirkan dalam kelompok sosial
(Reischauer, 1982:161). Kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain untuk menuntutnya untuk berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku
dalam masyarakat diaman Ia tinggal. Hal tersebut dikarenakan masyarakat merupakan
sekelompok orang yang hidup bersama dan mempunyai aturan-aturan atau norma-norma
yang berlaku dan dijadikan sebagai konsep moral untuk melaksanakan hidup. Maka
(38)
interaksi social orang Jepang. Dengan begitu konsep On(恩) dan Giri ( 義理)“balas
budi”yang merupakan konsep moral yang menekankan adanya kewajiban social maupun
moral yang dipikul seseorang untuk mengembalikan semua anugrah dan pemberian yang
telah diterimanya dari orang lain.
2.2.1. KONSEP ON
On ( 恩 ) adalah sebuah konsep yang merujuk pada makna hutang budi yang
berkaitan dengan segala kebaikan yang diterima seseorang dari orang lain, baik sederajat
maupun tidak, secara sengaja ataupun tidak sengaja menimbukan kewajiban untuk dibayar.
bagi orang Jepang On ( 恩 ) merupakan perasaan berhutang yang paling utama dan selalu ada
dalam kehidupan manusia (Benedict, 1982:121). Dengan kata lain On ( 恩 ) adalah nilai-nilai
penting yang harus dipertahankan di dalam masyarakat Jepang yang berkaitan dengan adanya
jaringan yang saling timbal balik.
Dalam semua pemakaiannya, On ( 恩 ) mengandung arti suatu beban, suatu utang,
dan sesuatu yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin (Benedict, 1982:105). Seseorang
dikatakan menerima On ( 恩 ) berarti Ia telah menerima anugerah-anugerah, pemberian atau
kemurahan hati dari si pemberi On ( 恩 ). Contoh yang paling umum untuk melukiskan
adanya hubungan orang tua dengan anak. Di satu pihak orang tua memberikan
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material, perlindungan, keamanan, cinta dan kasih sayang serta
upaya untuk mensosialisasikan si anak, dilain pihak sang anak menerima semua pemberian
tersebut selama Ia hidup. Pada sebuah artikel Dewi kania terdapat pada skripsi Nurafni
(39)
pengertian hutang secara sosial dan psikologis yang dirasakan oleh seseorang setelah
menerima suatu kebaikan atau hadiah dari orang lain. Bagi bangsa Jepang On ( 恩 )
merupakan salah satu etika yang tertanam begitu dalam, sehingga On ( 恩 ) yang diterima
dirasakan sebuah beban yang harus dipikul oleh seseorang dengan sebaik mungkin. Oleh
karena itu diantara nilai-nilai yang mengatur tatanan social orang Jepang, On ( 恩 )
menduduki tempat yang paling utama. Pemberian-pemberian itu secara hukum tidak
mengharapkan suatu balasan, tetapi pada kenyataannya perasaan berhutang yang dirasakan
oleh penerima On (恩) sangat kuat. Sehingga meskipun secara hukum tidak dituntut untuk
membalas pemberian yang telah diterima namun secara moral hal tersebut merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan karena terbebani rasa berhutang.
Menurut marcell Mauss (1992) pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma.
Semua bentuk pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan
terhadap apa yang tgelah diterima. Dengan demikian yang ada bukan hanya pemberian dari
seseorang kepada orang lain. Tetapi tukar-menukar (barter) pemberian yang dilakukan oleh
dua orang atau dua kelompok yang memberi dan mengimbangi. Pemberian itu juga dapat
dilihat sebagai sebuah bentuk transaksi yang berlaku diantara si pemberi dan si penerima.
Setiap pemberian adalah bagian dari suatu sistem tukar-menukar yang saling mengimbangi
diamana kehormatan si pemberi dan si penerima terlibat didalamnya. Sehingga nilai dari
pengembalian yang telah diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima,
karena bersamaan dengan pemberian tersebut nilai kehormatan dari orang atau kelompok
yang bersangkutan terlibat didalamnya.
(40)
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jepang memperlakukan On (恩) sebagai moral
umum atau sebagai konsep etika. Dengan demikian On (恩) dianggap sebagai nilai-nilai
“benar” dan “salah” yang dainut oleh Bangsa Jepang. Orang Jepang yang tidak mengenal
etika ini disebut orang yang tidak mengenal On (恩) atau On Shirazu. Sebutan ini merupakan
sebutan penghinaan yang paling buruk dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan mengenai etika yang berkaitan dengan On (恩) diajarkan mulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan tempat kerja, dan dalam kehidupan
masyarakat Jepang. Pada umumnya, mereka dididik untuk selalu memperhatikan etika ini dan
diingatkan mengenai kewajiban mereka terhadap orang tua, kehormatan keluarga, dan harga
dirib yang harus dijunjung. Mereka juga dididik untuk selalu memperhatikan etika sosial
yang berlaku di masyarakat, yang mewajibkan mereka untuk bersikap dan berperilaku yang
sesuai dengan norma-norma sosial.
Untuk menghindari adanya sanksi dari masyarakat berupa pengasingan, yang berarti
kehilangan harga diri bagi orang Jepang, maka mereka akan membatasi dirinya dalam
menjalani hidup. Dalam arti, seseorang akan menempatkan dirinya dalam kelompok
masyarakat dan menjaga semua tindakannya agar sesuai dengan norma masyarakat yang
berlaku.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang tanpa disengaja akan menerima budi
baik. Bagi orang Jepang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti tahu malu dan
menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain
merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu masyarakat menuntnut kepada
(41)
Selanjutnya Benedict mengatakan bahwa di Jepang orang yang berbudi luhur tidak
akan mengatakan bahwa mereka tidak berhutang apa-apa kepada
siapapun.kesalingberhutangan yang lebih dikenal dengan sebutan On (恩) merupakan
pencurahan murni dari rasa pengabdian yang timbal balik antara si pemberi dan si penerima
On (恩) (Benedict, 1982 :5).
Sehubungan dengan sikap dan perilaku orang Jepang dalam melakukan interaksi
sosial ini, ada saja kemungkinan bahwa mereka akan menampilkan sesuatu yang sebenarnya
bukan merupakan ekspresi dari suaru hati mereka sendiri. Ada dua sikap yang selalu ada
dalam diri orang Jepang yaitu sikap Tatemae dan Honne. Tatemae adalah sikap yang
ditampilkan atau dianjurkan oleh seseorang secara lahiriah. Srdangkan Honne adalah sikap
yang dipikirkan oleh seseorang berdasarkan suara hati, nalurinya atau merupakan sikap
seseorang secara batiniah. Baik sikap Tatemae maupun sikap Honne akan muncul pada orang
Jepang selama orang tersebut terikat oleh Giri ( 義理 ).
2. Pembagian On ( 恩)
Secara umum prinsip On (恩) dapat dibagi menjadi:
a. Ko On (子恩)
Ko On (子恩) adalah On yang diterima dari kaisar Jepang. On (恩) yang diterima dari
kaisar Jepang selalu digunakan dalam arti pengabdian tanpa batas, kalau hal tersebut
menyangkut utang seseorang yang terbesar dan terutama orang tersebut terhadap kaisar yang
memberikan On (恩). Hal ini ditunjukkan utang seseorang pada kaisarnya yang harus
diterima orang tersebut dengan rasa terima kasih yang mendalam. Orang Jepang merasa
(42)
yang menyangkut dirinya tanpa mengingat bahwa mereka telah menerima
keuntungan-keuntungan, tanpa mmengingat kebaikan dari atasan atau penguasa mereka. Dalam seluruh
sejarah, orang Jepang menganggap bahwa orang yang paling utama adalah atasan tertinggi.
sehingga setiap batang rokok yang dibagikan atas nama kaisar kepada tentara digaris depan
selama perang adalah salah satu bentuk On (恩) kekaisaran tambahan. Selanjutnya orang
Jepang mengatakan bahwa setiap penerbang yang bunuh diri (kamikaze) adalah suatu wujud
pembayaran On (恩) kekaisaran mereka. Dilain pihak semua pasukan yang meninggal dalam
sebuah pulau di pasifik merupakan wujud menebus On (恩) nya yang tak terbatas kepada
kaisar. Selanjutnya wujud lain dari pengabdian tanpa batas orang Jepang kepada kaisar
adalah seperti apa yang dilakukan oleh para pilot kamikaze (pasukan berani mati). Alasan
dari fenomena kamikaze ini adalah karena adanya On (恩) yang tidak terbatas kepada
kaisarnya yang menimbulkan pengabdian yang begitu besar sehingga mereka rela
mengorbankan diri.
b. Oya On ( 親恩 )
Oya On ( 親恩 ) adalah On ( 恩 ) yang diterima dari orang tua yaitu setiap orang
Jepang menyadari telah menerima On ( 恩 ) dari orang tuanya masing-masing. Hutang
seseorang pada orang tuanya adalah hutang terhadap semua kal yang telah dilakukan oleh
orang tuanya dalam membesarkan dirinya sejak kecil hingga dapat mandiri. Meskipun para
orang tua di Jepang pada dasarnya sama dengan para orang tua di bangsa manapun, yaitu
membesarkan anak-anaknya berdasarkan kasih sayang dan tanggung jawab sebagai orang
(43)
親恩) sudah dikenal oleh anak-anak di Jepang. Maka untuk menebus On ( 恩) dari orang
tuanya maka setelah mereka menjadi orang tua, mereka berusaha membesarkan
anak-anaknya dengan lebih baik dari pa yang telah dilakukan oleh orang tua mereka terhadap
dirinya. Artinya, On (恩) yang diterima dari orang tua dijabarkan sebagai utang dan sebagai
anak mereka. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk membayarnya. salah satu cara yang
ditempuh ialah dengan berbuat sesuatu yang pernah dilakukan orang tuanya ketika Ia masih
kecil. misalnya dengan mencurahkan kasih sayang dalam pengasuhan anak-anak mereka.
Perbuatan ini adalah bentuk peneusan utang kepada orang tua yang telah mengasuh mereka
ketiak mereka tidak berdaya disaat kanak-kanak. Hal lain adalah dengan memberikan
pendidikan yang baik bagi anak-anak. adanya pemahaman tentang kewajiban untun
mengembalikan On ( 恩) yang diterima menimbulkan rasa tanggung jawab bagi si penerima
On ( 恩) Ruth Benedict (1982:129-131). Menyatakan bahwa apabila orang barat melihat
pengasuhan anak ditentukan oleh factor naluri keibuan serta tanggung jawab ke bapakan di
Jepang yang sama dipersepsikan sebagai pengungkapan bakti terhadap leluhur. Dalam
pranata kelurga Jepang bakti filial meletakkan semua tanggung jawab diatas pundak kepala
keluarga untuk mencari nafkah untuk anak-anaknya. Selanjutnya seorang ibu yang
bertanggungjawab membesarkan anak. Ibu bertanggung jawab atas segala tindak-tanduk yang
dilakukan anaknya. Sekalipun tindak-tanduk yang dilakukan anak selalu jelek. Apabila si
anak berbuat sesuatau yang merugikan orang lain, sang ibu tidak segan-segan meminta maaf
kepada publik atas tindak-tanduk atau perbuatan jelek anak tersebut.
(44)
Nushi On (主の恩) adalah On ( 恩 ) yang diterima dari seorang tuan atau atasan
(Mattulada,1979:283). Nushi On ( 主の恩 ) atau On ( 恩 ) kepada tuan ini dapat dilihat pada
pengabdian kepada bushi terhadap tuan. Yaitu etos pengabdian diri Bushi sebelum zaman
Edo adalah kesetiaan pengabdian kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Budha Zen.
Pengabdian diri terhadap tuannya, pengabdian yang bersifat zetti teki (mutlak). Bushido yang
ditandai dengan pengabdian yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya ini dapat dilihat
dari Junshi yaitu bunuh diri mengeikuti kematian dan perilaku adauchi yaitu mewujudkan
balas dendam tuan. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda pengabdian kepada tuannya.
Penyebab yang mendorong pengikut yang dekat dengan tuan melakukan Junshi adalah karena
dalam Ie ( 家 ) terjadi jalianan hubungan yang sangat erat antara tuan dan pengikut yang telah berlangsung dari generasi ke generasi tuan dan anak buah. Karena itu anak buah berpikiran
bahwa segala sesuatu yang diterimanya selam hidup merupakan On (恩) “budi” dari tuan
yang harus dibayar dengan Chu ( 忠 ) yaitu penghormatan terhadap tuan yang diwujudkan dengan Giri ( 義理 ) “balas budi”. Hal ini diperkuat oleh pandangan ajaran Budha Zen yang
dianut oleh para bushi yaitu bahwa perjalalanan di dunia kematian adalah gelap, oleh Karena
itua para anak buah harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian tuan menuju raise
(dunia setelah mati). Dan hal ini diperkuat dengan adanya pandangan reinkarnasi yang
dipercaya oleh Bushi, sehingga timbullah cita-cita bushi untuk menjadi abdi tuan selama
tujuh kali dalam siklus hidup dan mati dalam pandangan budha tersebut. Hal inilah yang
mengakibatkan timbulnya sikap pengabdian anak buah terhadap tuan yang melewati batas
hidup dan mati (Situmorang, 1995:21). Selanjutnya On (恩) terhadap tuan ini pada bushido
Tsunemoto (dalam Situmoran,1995:24) adalah janji untuk mengabdikan diri terhadap tuan.
(45)
tuan. Makasudnya secara absolute mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah
dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan dan menjadikan anak buah yang betul-betul dapat
diandalkan yaitu betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan. Sehingga pada masa
feodal cerita-cerita mengenai seseorang mengenai samurai yang mengorbankan anak dan
keluarganya demi menyelamatkan tuannya bukan mereupakan suatu hal yang aneh. Hal itu
semua dilakukan demi pembayaran kembali atas On (恩) yang telah diterima dari tuannya.
Dan hal itu adalah sesuatu yang wajar.
d. Shi no On ( 師の恩 )
Shi no On ( 師の恩 ) adalah On (恩) yang diterima dari guru, yaitu On (恩) yang
disebakan karena telah merasa membantu seseorang yntuk maju. oleh karena itu orang (guru)
tersebut telah mengenakan terhadap mereka yang dimasa depan mungkin mengharuskan
orang tersebut untuk memenuhi suatu permintaan mereka pada saat mereka mengalami
kesulitan atau barangakali untuk memberikan bantuan kepada salah seorang sanak
saudaranya yang lain setelah mereka tiada. Orang tersebut harus berusaha keras untuk
melaksanakan kewajiban dan utang mereka agar berkurang dengan berlalunya waktu.
3. Jenis Pembayaran On
Dalam setiap penerimaan On (恩) selalu disertai dengan kewajiban untuk membayar
kembali On (恩) yang telah diterima seseorang dari orang lain ada dua kategori kembali
pembayaran On (恩) , yaitu Gimu ( 義務 )dan Giri ( 義理 ). a. Gimu ( 義務 )
Gimu ( 義務 ) adalah pembayaran kembali On (恩) dalam bentuk dan waktu yang tidak
terbatas. dengan kata lain pelunasan kewajiban ini tidak pernah dapat dialkukan sepenuhnya
(46)
kewajiban yang menjadi utang seseorang kepada lingkaran keluarga terdekatnya dan kepada
penguasa yang menjadi lambing Negara, cara hidupnya dan cinta kepada negaranya. Gimu (
義務 ) ini harus dibayar seseorang karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan ketat pada saat ia dilahirkan. Beberapa tindakan ketaan tertentu mungkin dilaksanakan dengan enggan sekali,
namun Gimu ( 義務 ) tidak pernah didefenisikan sebagai “keengganan”. Sehingga orang-orang mengenggap tentang Gimu ( 義務 ) ini adalah pembayaran utang tanpa batas sehingga disebut “orang tidak pernah dapat membayar kembali sepersepuluh ribu dari On (恩) ini”.
Dari pengertian lain Gimu merupakan sekumpulan kewajiban atau tugas yang dipunyai
seseorang semenjak kelahirannya sampai kepada kematiannya untuk dilaksanakan tanpa
batas dan tanpa akhir. Gimu ( 義務 ) merupakan suatu bentuk kewajiban atau tugas kepada lingkungan keluarga dekat, kepada penguasa yang menjadi symbol negerinya yang telah
mengikat kesetiaanya semenjak seseorang itu lahir dalam lingkungan keluarganya dan
bangsanya (Mattulada, 1979:285). On (恩) yang diterima dengan pembayaran kembali secara
Gimu ( 義務 ) sama sekali tidak dapat dihinadari oleh setiap orang Jepang. Namun, karena tidak ada ketentuan mengenai bentuk, cara dan waktu pembayarannya, maka seseorang tidak
merasa keberatan menerima On ( 恩) dengan resiko Gimu ( 義務 ) ini. Artinya, tidak ada rasa
terpaksa dan keengganan didalam melakukan pembayaran terhadap On ( 恩 ) yang diterima,
karena Gimu ( 義務 ) adalah suatu kewajiban moral yang tidak perlu mengikat. kewajiban Gimu ( 義務 ) ini ditujukan kepada kaisar Chu (忠), kepada orangtua Ko(子)、dan terhadap pekerjaan. Jenis kewajiban ini adalah suatu keharusan dan merupakan nasib universal
seseorang. Peristiwa-peritstiwa dalam hidup seseorang dapat mengubah detail-detail Gimu (
義務 ) orang tersebut, tetapi secara otomatis, Gimu ( 義務 ) terdapat pada semua orang dan berada diatas semua kejadian yang tidak disengaja. Jenis Gimu ( 義務 ) diatas adalah kewajiban tanpa syarat. Kewajiban Gimu Chu ( 義務忠 ) adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuan, bukan balas budi dari anak terhadap orngtuanya. Dalam zaman edo
(47)
konsep Chu ( 忠 ) adalah balas bushi terhadap tuan, balas budi tuan terhadap Shogun sehingga konsep Chu ( 忠 ) ini bertgumpu di tangan shogun (Situmorang, 1995:67).
Benedict (1982:133) mengatakan bahwa konsep Chu (忠)adalah kewajiban terhadap pemimpin sekuler yaitu shogun. Kesetiaan kepada shogun sering bertentangan dengan
kesetiaan bushi kepada tuan. Kesetiaan kepada shogun dirasakan sesuatu yang terpaksa
sehingga dikatakan terasa dingin tidak sehangat kesetiaan terhadap tuan. Oleh karena itu
orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali atas
utang kepada kaisar.
Kewajiban Gimu Ko adalah pembayaran On (恩) kepada orang tua sendiri yaitu setiap
orang Jepang menyadari telah menerima On (恩) dari orang tuanya masing-masing. On (恩)
tersebut adalah utang terhadap semua hal yang telah dilakukan orang tuanya dalam
membesarkan dirinya sejak kecil hingga dapat mandiri sehingga di Jepang tidak ada kata
yang mengungkapkan “kewajiban bapak terhadap anaknya”. Dan semua tugas seperti itu
dicakup oleh Ko(子)kepada orang tua dan kepada leluhur. Bakti filial ini meletakkan semua tanggung jawab yang banyak kepada pundak kepala keluarga untuk mencari nafkah bagi
anak-anaknya, mendidik putra-putranya dan adik-adik lelakinya, mengurus pengolah tanah
keluarga, memberikan tempat berlindung kepada sanak keluarga yang memerlukan.
a. ( 義理 )
Jenis pembayaran On (恩) yang kedua adalah Giri ( 義理 ). Yaitu pembayaran
kembali On (恩) yang jumlah pembayarannya setara dengan On (恩) yang diterima dan
(48)
menjadi begitu mengikat orang Jepang, sehingga On (恩) dengan resiko Giri ( 義理 ) ini
biasanya sedapat mungkin dihindari Orang Jepang.
2.3. Konsep Giri ( 義理 )
Kata Giri ( 義理) mempunyai bermacam-macam arti. Dalam artian yang paling luas,
huruf Gi ( 義 ) menandai bahwa setiap pribadi bertindak Menurut pengertian tentang
bagaimana ia harus tampil dengan semestinya. Perkataan Giri ( 義理 ) hanyalah berarti alas
an untuk Gi ( 義 ) “tindakan benar”. Oleh karena itu Giri ( 義理) atau Gi ( 義 ) adalah janji
untuk bertindak dalam hubungannya dengan orang lain di dalam masyarakat. Dan Giri itu
lebih merupakan janji akan menampilkan suatu sikap atau tindakan tertentu terhadap semua
orang yang mengelilingi seseorang (Minami, 1993:152).
Pengertian Giri ( 義理 ) bila dilihat dari karakter kanjinya dibagi menjadi Gi ( 義 )
dan Ri ( 理 ), Yaitu Gi ( 義 ) memiliki arti “keadilan, kebenaran, moralitas, kemanusiaan,
integritas, kebutuhan, kehormatan, kesetiaan, dan ketaatan”. Sedangkan Ri ( 理 ) adalah
“alasan, akal, keadilan, kebenaran, dan prinsip”. Kemudian kedua kanji itu digabungkan dan
memilki arti yang spesifik yaitu, Menurut Harumi Befu dalam skripsi Nur Afni dalam
pemakaiannya. Istilah Giri ( 義理 ) kepada kewajiban-kewajiban sosial yang bersifat
normatif dan etis yang menghendaki orang Jepang untuk berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh masyarakat dalam berhubungan dengan individu lain dimana seseorang
menjalin hubungan yang khusus. sedangkan Menurut Mattulada (1979:286) Giri ( 義理 )
merupakan hutang yang harus dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas suatu kebajikan
(1)
Heihachi: “Bukankah kamu sudah punya pengawal?”
Takajima: “Hanya dua orang di Shirozora. Dari enam orang yang mengawalku malam ini, tinggal satu yang masih hidup.”
Heihachi: “Tapi dua puluh orang terlalau banyak.”
Takajima : “Ingat Heihachi. Jika aku mati, Chigatana juga tak akan bertahan. Aku yang menyediakan kebutuhan kalian selama ini. Kalian mana bisa mengandalkan hasil rampokan saja.”
Heihachi: “Baiklah permintaanmu akan kupenuhi,” Heihachi tidak berusaha menutupi,” Heihachi tidak berusaha menutupi kekesalannya. “Sekarang, pergilah.”
Takajima: “Terima kasih, Heihachi. Kau tidak akan menyesalinya di masa depan.” Paras Takajima berubah cerah.
Heihachi: “Bagaimana dengan senapan yang kuminta?”
Takajima: “Aku sudah memesannya dari selatan. Paling lambat, senapan-senapan itu akan tiba di Shirozora minggu depan.”
Analisis
Dari cuplikan percakapan di atas terdapat indeksikal dari perilaku yang saling timbal balik, yaitu adanya indeksikal antara pemberian On atau pemberian kebaikan dan indeksikal dari perbuatan Giri atau pembalasan kembali atas kebaikan tersebut.
Percakapan yang menunjukkan adanya indeksikal dari On adalah ketika Heihachi telah menerima bantuan dari Takajima. Yaitu selama ini telah menyediakan semua kebutuhan Chigatana. Sedangkan indeksikal dari perilaku Giri ialah Takajima meminta bantuan kepada Heihachi yaitu meminta 20 anggota Chigatana menjaga rumahnya karena
(2)
Maka dapat disimpulkan dalam cuplikan di atas terdapat peristiwa yang saling timbal balik, Yaitu adanya pembalasan atas pemberian kebaikan. Dan hubungan ini saling membutuhkan. Hal inilah yang dikatakan indeksikal dari perbuatan On dan Giri.
3.8. Yukino Heihachi
a. karakteristik Yukino Heihachi
Ketua gerombolan perampok Chigatana. Sebelum menjadi perampok Heihachi adalah seorang samurai dengan upah tak seberapa. Hidupnya sulit, namun kesetiaan mengikatnya pada sang junjungan dengan begitu erat.
Tak banyak yang tahu, bahwa Dia menjadi perampok karena takdir. Pada suatu hari, pedangnyamerobek perut samurai lain, yang ternyata keponakan junjungannya. Kemarahan sang junjungan hari itu sangat meluap sehingga menginginkan kepalanya. Keinginan untuk hidup mengalahkan kesetiaan dan kehormatannya. Kemudian takdir menuntun kakinya ke Lembah Toraguchi dan mempertemukannya dengan Takajima (hal: 244).
(3)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. On adalah sebuah konsep yang merujuk pada konsep hutang budi yang berkaitan dengan segala kebaikan yang diterima seseorang dari orang lain, baik sederajat ataupun tidak dan secara sengaja atau tidak sengaja yang menimbulkan kewajiban untuk dibayar. Bagi orang Jepang On merupakan perasaan berhutang yang paling utama dan selalu ada dalam kehidupan mereka.
2. Seseorang dikatakan menerima On berarti ia telah menerima anugerah, pemberian atau kemurahan hati dari si pemberi On.
3. Dalam kehidupan sehari-hati orang Jepang memperlakukan On sebagai moral umum atau sebagai konsep etika dalam berinteraksi di lingkungannya.
4. Bagi orang Jepang budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya.
5. Dalam setiap penerimaan On selalu disertai dengan kewajiban untuk membayar kembali On yang telah diterima seseorang dari orang lain yaitu Gimu dan Giri.
6. Giri adalah hutang yang harus dibayar atau dilunasi dengan perhitungan yang pasti atas kebajikan yang telah diterima dan mempunyai batas waktu. Dengan kata lain Giri
(4)
7. Novel “Samurai Kazegatana” adalah novel karya Ichirou Yukiyama yang menceritakan tentang seorang tokoh pengawal yang bernama Hanmaru, berjiwa samurai dan telah mendapat pertolongan dari Ayah Akazawa, sehingga Hanmaru merasa berhutang budi kepada keluarga Akazawa dan berlanjut kepada Akazawa setelah kematian Ayah Akazawa. Refleksi dari balas budi yang dilakukan Hanmaru yaitu setia kepada Akazawa, rela berkorban baik Jiwa maupun raga.
8. Di dalam novel “Samurai Kazegatana” terdapat perilaku-perilaku On dan Giri yang diperankan Oleh para tokoh cerita.
Saran
Skripsi ini masih memiliki kekurangan. Baik dari segi Pemahaman konsep budaya, penulisan, analisa, maupun lainnya. Jadi disarankan bagi para pembaca yang ingin meneliti tentang konsep budaya On dan Giri atau budaya-budaya Jepang lainnya, maka sebaiknya harus benar-benar memahami konsep budaya tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta didukung oleh data yang akurat.
Setelah membaca skripsi ini diharapkan kepada pembaca dapat menyadari dan menaati norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku, maka kita akan memiliki suatu pribadi yang memiliki harga diri.
Selanjutnya kita harus menyadari, bahwa di dalam berinteraksi dengan orang lain, pasti kita akan menerima budi baik dari orang tersebut. Sehingga dengan menyadari budi baik yang telah diterima tersebut sangat penting untuk diingat dan dibalas. Karena dalam pemberian dan pengembalian melibatkan suatu nilai kehormatan.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Afni, Nur. 2005. Analisa On dan Giri Dalam Novel Kokoro Karya Natsume Soseki.(Skripsi: USU Medan, 2005).
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Jakarta: Sinar Harapan.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Jepang Dilihat dari Kaca Mata Indonesia. Jakarta. PT. Anem Kosong Anem.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Koentjaradiningrat. 1976. Metode-metode Penelitian Masyrakat. Jakarta: Gramedia.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Weststeijn. 1992. PengantarIlmu Sastra (Terj, Dick Handoko). Jakarta: PT. Gramedia.
Minami, Hiroshi. 1993. Psikologi Bangsa Jepang, Jakarta: Yayasan Karta Sarana.
Nurgryantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Reischauer, Edwin O. 1982. Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetian Bushi Dari Tuan Kepada Keshogunan Dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) Di Jepang: Medan. Usu Press.
Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia Dan Masyarakat Jepang Dalam Perjoengan Hidup. Jakarta: UI Press.
Swandana, Dozy. 2009. Dewa Perang Jepang. Sidoajo. Masmedia Buana Pustaka. Umry, Hadi Shafwan. 1996. Apresiasi Sastra. Medan: Yayasan Wina.
Welleck, Rene, Austin Warren. 1993. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Pt Gramedi Pustaka Utama (Terj).
(6)