PEMILIH MUDA DI KOTA MEDAN

PEMILIH MUDA DI KOTA MEDAN

Muryanto Amin I

Konsolidasi demokrasi di Kota Medan, salah satunya ditandai oleh
partisipasi politik para warga kota yang memiliki hak pilih dalam setiap pemilihan
pejabat publik yaitu anggota legislatif, walikota, dan gubemur. Partisipasi politik
warga kota itu terwujud dalam bentuk kehadiran mereka di Tempat Pemungutan
Suara (TPS) dalam setiap pemilihan pejabat publik, kecermatannya dalam memilih
calon pejabat publik, pengawasan yang dilakukan kepada pejabat publik yang dipilih,
dan kedekatan mereka dengan para wakil yang mereka pilih menjadi pejabat publik.
Itulah bentuk nyata dari kegiatan pelaksanaan pemilihan umum yang menjadi
gambaran ideal dan maksimal bagi pemerintahan demokrasi di zaman modem.2
Pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang dilakukan
di Indonesia pasca turunnya Pemerintah Orde Baru menjadi momentum penting untuk
mewujudkan hak masyarakat secara nyata terkait pemenuhan dan peningkatan
kebutuhan hidupnya. Tetapi, sejak pelaksanaan pemilu yang dilakukan tahun 1999
dan pilkada langsung 2005, terdapat beberapa persoalan mendasar mengenai substansi
pemilihan -para pejabat publik tersebut. Di antara persoalan itu adalah kebanyakan
para pemilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang makna dari pemilihan
pejabat publik, sehingga pemilu dan pilkada langsung tidak lebih dari kompetisi para

saudagar yang membeli suara, pemilih tidak mengutamakan kebutuhan yang
berkesinambungan. 3
Situasi pelaksanaan pemilu seperti itu terjadi di Kota Medan dan saat ini
sedang berada pada wilayah para pemilih yang menjangkau swing voters dan pemilih
muda (young voters). Penanda terjadinya pembelian suara para pemilih terlihat dari
kualitas para anggota legislatif yang terpilih baik pada tingkat Kota Medan maupun
Provinsi Sumatera Utara. 4 Sedangkan pada saat pemilihan kepala daerah, pemilih
yang datang ke TPS hanya berjumlah 57% pada pemilihan Walikota Medan dan
38,7% pada pemilihan Gubemur Sumatera Utara. Saat ini walikota terpilih masih

Direktur CEPP FISfP USU.
Robert A. Dahl. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 33.
3 Evaluasi Pemilihan Indonesia dalam terbitan Kompas, 31 Desember 2012, hal4 .
4 Kualitas anggota DPRD Kota Medan yang sangat minim ditandai dengan rendahnya peraturan daerah
yang diterbitkan, konflik internal di an tara anggota DPRD untuk merebut posisi ketua pad a alat
kelengkapan DPRD (komisi, badan, dan lain sebagainya).
I

2


1

- -- - -

---

- - - - - - --- - - - -

-

.berstatus sebagai terdakwa dalam kasus korupsi dan Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara sedang diselidiki aparat penegak hukum terkait dugaan kasus korupsi bantuan
sosial. Persoalan utama yang terjadi akibat negatif pelaksanaan pemilihan tersebut
adalah terkait dengan uang.
Dari uraian masalah di atas makalah ini akan menguraikan isu-isu yang khas
di Kota Medan tentang kondisi para pemilih dalam kategori pemilih muda yang
memiliki sifat dan karakter, kegiatan keseharian, pengalaman dan tantangan yang
berbeda dari generasi sebelurnnya. Meningkatkan partisipasi pemilih muda di Kota
Medan merupakan salah satu cara menjamin terselenggaranya substansi demokrasi di
tingkat lokal.


Rendahnya Partisipasi Pemilih Muda di Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265 ,10 km 2) atau 3,6% dari
keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan
kotaikabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah
penduduk yang relatifbesar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' - 3° 43'
Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan
cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas
permukaan laut. Jumlah penduduk di Kota Medan sebanyak 2.983.868 pada tahun
2012 yang tersebar di 21 kecamatan. Komposisi penduduk kota Medan ialah Suku
Jawa (33 ,03%), China (10,65%), Batak (20,93%), Mandailing (9,36%), Minangkabau
(8,6%), Melayu (6,59%), Karo (4,10%), Aceh (2,78%), dan suku lainnya (3,95%).5
Jumlah pemilih kota Medan sebanyak 2.030.257 orang dan yang berada pada
kategori usia pemilih muda 17-29 tahun berada pada angka 127.289 orang. Jumlah
terse but berkisar 6% dari jumlah keseluruhan pemilih atau setara dengan 3 kursi
DPRD Kota Medan (BPP: 40.000 untuk setiap kursi dengan asmsi semua pemilih
memberikan hak pilihnya).
Rendahnya jumlah pemilih yang hadir dalam pemilihan Gubemur Provinsi
Sumatera Utara tahun 2013 yaitu 38,7% juga menunjukkan minimnya pemilih muda

yang ikut memilih. Pengamatan awal yang cenderung terlihat pada pelaksanaan
pemilihan gubernur tersebut, para pemilih muda tidak menjadi pamilih aktif. Mereka
terkesan enggan bersentuhan dengan politik dan hanya melihat proses pemilihan

5

Medan dalam Angka, Biro Pusat Statistik (BPS), tahun 201 2.

-

2

-

-~

-

-


---- -

' ~

- - - - --

-

t.

kepala daerah sebagai ajang hura-hura dalam bentuk kampanye politik semata.
Sementara, berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Medan, pada Ujian Nasional
2013 , jumlah peserta mencapai 124.276 orang. Data ini menunjukkan sekolah sebagai
institusi yang efektif dari segi jumlah dan struktur untuk dijadikan mitra dalam
pendidikan pemilih. Selain itu, jumlah mahasiswa yang berada pada semester satu dan
dua berkisar 54.569 orang dari 13 perguruan tinggi yang ada di Kota Medan.
Potensi

pemilih


muda

di

Kota

Medan,

dari

perkiraan

178.845,

memperlihatkan betapa penting dan signifkannya suara pemilih mud a di Kota Medan
pada Pemilu 2014 nanti. Diperkirakan sekitar 125 ribu pemilih mud a yang tidak
menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur Provinsi Surnatera Utara.
Jurnlah terse but secara langsung akan menentukan legitimasi bagi partai politik yang
akan memenangkan pemilihan kepala daerah di Kota Medan. Rendahnya partisipasi
pemilih muda disebabkan oleh berbagai faktor yang melatarinya.

Pemilih muda di Kota Medan memiliki karakter, kebiasaan, pengalaman, dan
tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Sebagian besar dari mereka
memiliki pendidikan, berstatus ekonomi yang baik dan umurnnya tinggal di
perkotaan. Mereka sangat gemar menggunakan teknologi informasi dengan segala
macam perangkat lunaknya untuk mendapatkan informasi terkait dengan hal-hal
baru.6 Oleh karena itu, mereka akan selalu berpikir kritis dan sangat tidak tergantung
dengan orang lain. Kondisi itu menyebabkan mereka akan menghadapi tantangan
yang luar biasa seperti perubahan politik dalam negeri dengan berbagai sebabnya
yang tidak kunjung jelas arah penyelesaiannya.
Rendahnya partisipasi pemilih muda di Kota Medan bisa disebabkan karena
tingginya rasionalitas mereka dalam memilih para wakilnya di legislatif maupun
eksekutif. Penyebab lainnya adalah juga karena apatisme mereka melihat prilaku
politisi yang tidak baik dari media maupun dari opini yang berkembang di
masyarakat. Apatisme disebabkan karena mereka hidup di dunianya sendiri, tidak
peduli dengan lingkungan sekitarnya yang seharusnya bisa diubah dari cara memilih
wakil-wakil mereka di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Irmawati. 2012. "Fenomena Gen C (Generasi C) di Kota Medan". Makalah. Penerimaan
Mahasiswa Baru Universitas Sumatera Utara.


6

3

Mobilisasi Pemilih Muda

Jumlah pemilih muda yang besar di Kota Medan membuat pengurus partai
politik dan setiap tim sukses calon kepala daerah harus melirik potensi mereka.
Mobilisasi yang dilakukan oleh anggota legislatif dan tim sukses calon kepala daerah
dilalukan dengan berbagai cara. Untuk sekolah-sekolah negeri, peran kepala sekolah
dan komite pendidikan, selalu menjadi perhatian bagi pengurus partai politik dan tim
sukses tersebut. Kepala sekolah menjadi salah satu pihak yang efektif mendekati
siswa yang duduk di bangku kelas tiga untuk mempengaruhi mereka agar memilih
salah satu calon anggota legislatif dalam pemilu maupun calon kepala daerah.
Sementara, pengurus partai politik yang juga anggota legislatif berebut untuk menjadi
anggota komite pendidikan di setiap sekolah negeri. Setiap anggota legislatif yang
berminat menjadi anggota komite sekolah dibagi berdasarkan wilayah daerah
pemilihan (dapil). Misalnya seorang anggota legislatif dapil 1 yang terdiri dari
beberapa kecamatan dan di wilayah tersebut terdapat satu atau lebih sekolah negeri,
maka anggota legislatifitu akan dibagi berdasarkanjumlah sekolah yang ada.

Kedudukan komite sekolah yang berasal dari anggota legislatif atau pengurus
partai politik selalu memberikan pengaruh kepada guru, murid, dan kepala sekolah
agar memilih dirinya dalam pemilihan umum. Selain itu, bagi anggota legislatif atau
pengurus partai politik yang menjadi tim sukses salah satu calon walikota atau
gubemur meminta kepada guru, murid, dan kepala sekolah agar memilih calon yang
mereka dukung. Prilaku itu berlangsung ketika momentum pemilu dan pilkada
langsung akan dilakukan di Kota Medan. Permintaan itu dilakukan secara
tersembunyi atau tidak diketahui umum. Jika permintaan terse but dipenuhi oleh
kepala sekolah atau guru untuk mempengaruhi muridnya, maka akan ada imbalan jasa
tertentu kepada kepala sekolah ataupun guru itu. Imbalan dapat berupa uang ataupun
jabatan di sekolah. Tetapi, jika tidak dipenuhi, maka akan ada tindakan tertentu yang
berkaitan dengan jabatan kapala sekolah, pemindahan tempat guru itu mengajar, dan
lain-Iainnya yang berakibat pada karir guru di sekolah negeri.
Bentuk mobilisasi lain yang dilakukan oleh pengurus partai politik adalah
mendudukkan para siswa sekolah menjadi pengurus dan ketua Organisasi Siswa Intra
Sekolah (08IS), Pramuka, pasukan pengibar bendera (Paskibra) Merah Putih, dan
organisasi siswa lainnya. Mereka yang dipilih menjadi pengurus organisasi siswa
tersebut diberikan fasilitas khusus seperti bantuan dana untuk kunjungan ke luar
daerah maupun luar negeri, publikasi melalui papan reklame yang tersebar di wilayah
4


Kota Medan, dan fasilitas lainnya yang diperlukan. Tetapi, kegiatan tersebut
diselenggarakan dalam untuk mendukung salah satu partai politik yang memiliki
jaringan khusus kepada pemerintah daerah.
Mobilisasi itu dilakukan bukan untuk memberikan pendidikan politik bagi
siswa agar mengetahui makna demokrasi, tetapi sudah diarahkan pada pilihan
tertentu. Mulai dari kepala sekolah, komite pendidikan, dan organisasi siswa dipilih
berdasarkan keinginan pengurus partai politik. Tetapi, hal itu sulit dilakukan pada
mahasiswa semester satu atau dua di perguruan tinggi negeri dan swasta karena tidak
diterima oleh para seniomya yang aktif di organisasi intra maupun ekstra universitas.
Suasan kehidupan kampus di Kota Medan sedikit berbeda dari sekolah menengah
atas. Meskipun, tidak banyak para aktivis mahasiswa yang mampu membuat gerakan
untuk mengawasi prilaku politisi di sekolah-sekolah Kota Medan.

Penyebab Rendahnya Partisipasi Pemilih Muda

Tahun 2013 menjadi tahun politik ditandai dengan banyaknya pemilihan
langsung kepala daerah, mulai dari walikota dan gubemur di wilayah Provinsi
Sumatera Utara. Dilihat dari jumlah pemilihan itu sudah mencengangkan, belum lagi


broad-based participation yang menakjubkan. Jutaan pernilih, tua-muda, laki-Iaki dan
perempuan terse bar di Kota Medan. Namun, broad-based participation yang
menakjubkan itu tidak mengakar di kesadaran berpolitik warga negara yang sehat.
Suksesi politik yang diyakini demokratis tidak lebih dari kompetisi para saudagar
membeli suara, bukan memenangkan simpatik pemilih.
Strategi political marketing bertumpu di penetrasi uang, bukan program kerja
kandidat yang bersentuhan dengan isu dan preferensi pemilih. Personal branding
adalah pamer kedermawanan, bukan pertautan emosional pemilih dengan pre stasi
sosial kandidat. Uang mendongkrak elektabilitas tanpa kandidat perlu berusaha untuk
menjangkau swing voters atau menyelami senti men pemilih pemula (young voters)
dan merangkul mereka.
Orientasi uang menciptakan image dan model komunikasi politik antara
kandidat dan pemilih. Hal itu hanya memberi suasana kebatinan yang sesaat baik dan
berorientasi pada pergantian para pejabat publik. Termasuk juga sulit untuk
membangun · nalar politik publik. Akhimya, suasana tersebut menjadi nilai kadar
kekuasaan politik dan mematikan politik sebagai sebuah kebajikan serta kedaulatan
publik hanya berada pada sebatas aksesori.

5

Rendahnya partisipasi pemilih muda akan berdampak pada pertama terkait

cost sosial politik besar. Selain menyedot anggarart negara sampai ratusan miliar
rupiah, demokrasi dalam bentuk pemilu dan pilkada langsung juga menyeret biaya
so sial yang tidak sedikit. Namun, semua menguap dan jadi investasi gagal. Kedua ,
terkait mekanisme kompetisi elektoral yang faktanya sampai saat ini jadi "jalan tikus"
elite antidemokrasi menyelundupkan kepentingan mereka. Ketiga, produk yang
dihasilkan justru melestarikan kultur kepemimpinan yang korup, eksklusif, dan tidak
responsif, cenderung ke arah penyalahgunaan wewenang (abuse of power), berlaku
diskriminatif dan tidak toleran, serta melembagakan ketidaksetaraan sosial.

Partisipasi Pemilih Muda uotuk Demokrasi
Demokrasi tidak semata soal hak politik seseorang mendapatkan kekuasaan
politik. Demokrasi juga bukan "konsensus" segelintir elit guna meredusir konflik dan
memproteksi kepentingan mereka. Demokrasi harus diartikan sebagai keadaban untuk
mendekati dan mewarnai kekuasaan politik yang menuju cita-cita kemerdekaan
Republik Indonesia. Memburu predikat negara demokrasi melalui pemaksaan
kehendak justru menghasilkan demokrasi yang salah arah. Demokrasi kemudian akan
dikenal sebagai kegiatan yang menghabiskan anggaran besar untuk belanja pemilu,
sebaliknya menyisihkan anggaran yang sangat sedikit untuk pemberdayaan modal
so sial.
Menumbuhkan kesadaran demokrasi dapat dilakukan kepada generasi
penerus yaitu pemilih mud a harus dilakukan untuk mengurangi pada apa yang terjadi
di tengah publik, keluarga, komunitas dan organisasi so sial. Menumbuhkan keadaban
demokrasi pada pemilih muda tidak cukup mencetak dan membagi-bagikan kartu
pemilih. Pendidikan, sosialisasi, exposure to politics dalam pengalaman keseharian
akan menguatkan daya artikulatif pemilih mud a selaku "shaper" dan "maker" . Proses
itu akan melahirkan kualitas partisipasi pemilih muda yang disebut Sherry R Arnstein
sebagai cornerstone of democracy. 7
Prioritas untuk pendidikan politik bagi pemilih mud a dapat menumbukan
modalitas sosial yang ditandai Robert D. Putnam sebagai sumber daya demokrasi,
sekaligus kunci guna membuat demokrasi bekerja dengan baik. 8 Demokrasi yang

Sherry R . 1969. "A Ladder of C iti zen Partic ipati on" . JA IP. Vol. 35, No.4, Jul y 1969 . ha l. 2 16-224.
Robert D P utnam. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modem ltaly. P rinceto n:
Princeton University Press.

7

8

~

6

-

-

- - --

- - --

-

-

- - - --~

~

~-

hendak kita tuju ialah demokrasi yang merepresentasikan virtualitas setiap warga
negara. Orientasi yang bersifat historis ini menempatkan demokrasi sebagai satu
ketegangan kreatif dengan konsekuensi. Mengajarkan pemilih muda untuk demokrasi
akan dapat menghasilkan pertama, bangsa ini hams segera keluar dari jebakan yang
panjang dalam pluralitas konflik dan kepentingan elit. Kedua, menggeser fokus dari
politik yang bersifat prosedural atau seremonial ke politik substansial. Ketiga,
meninggalkan politik sebagai art o/possible ke politik sebagai art o/impossible.

Daftar Pustaka

Biro Pusat Statistik (BPS), Medan dalam Angka, tahun 2012.
Dahl, Robert, A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Irmawati. 2012. "Fenomena Gen C (Generasi C) di Kota Medan". Makalah.
Penerimaan Mahasiswa Bam Universitas Sumatera Utara.

Kompas, 31 Desember 2012,
Robert D Putnam. ] 993 . Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton: Princeton University Press.
Sherry R. 1969. "A Ladder of Citizen Participation". JAIP. Vol. 35, No . 4, July 1969.
hal. 216-224.

7

- --

-

-- -

-

-

- ---- -

-- -------

- -

-- - - - - - - - -- --

-

-

-