PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN

NIM: 090707016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013

HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI SOSIAL TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA

Nama: RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN

NIM : 090707016

Disetujui oleh Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D Arifni Netrirosa, SST., M.A. NIP 196512211991031001 NIP 196502191994032002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal : Hari

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. Arifninetrirosa, SST., M.A. ( )

4. Drs. Fadlin, M.A. ( )

5. Drs. Prikuten Taraigan, M.Si.

DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma- norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

Dalam kitab suci umat Islam (yang juga menjadi dasar adat Minangkabau), yaitu Al-Qur’an, dijelaskan pula bahwa di antara kelompok manusia di dunia ini pernah ada dan akhirnya dimusnahkan oleh Tuhan, karena berbagai sebab terutama moralitas. Di antara kelompok umat manusia yang pernah ada dan kemudian dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan sebagainya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum laki-lakinya menyukai sesama lelaki. Kalaupun praktik begini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual di antara laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan sudah bisa dipastikan tidak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan Dalam kitab suci umat Islam (yang juga menjadi dasar adat Minangkabau), yaitu Al-Qur’an, dijelaskan pula bahwa di antara kelompok manusia di dunia ini pernah ada dan akhirnya dimusnahkan oleh Tuhan, karena berbagai sebab terutama moralitas. Di antara kelompok umat manusia yang pernah ada dan kemudian dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan sebagainya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum laki-lakinya menyukai sesama lelaki. Kalaupun praktik begini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual di antara laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan sudah bisa dipastikan tidak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan

Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat- istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.

Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi

Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.

Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya.

Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban

Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.

Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan, menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan kedua, menurut agama (syarak). Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut

sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu). 1 Selanjutnya, perkawinan baru

1 Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya

berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing- Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing- Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat

Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin

perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya. 2 Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang

sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota

tujuan merantau 3 masyarakat Minangkabau di Indonesia. Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk

menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada

yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.

2 Baca skripsi Hery Gunawan “Analisis Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.” Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011. 3 Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: (a) darek (darat); (b) pasisie (pesisir), dan (c) rantau.

penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang,

dan gambir, yang disajikan di dalam carano 4 diberikan kepada marapulai sebagai wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi

dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin silahturahmi.

Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus, karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya marapulai dan para tamu.

Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan, 5 ada beberapa catatan penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu

mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau, sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis

4 Wadah yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat serta dipenuhi ukiran yang umumnya terdapat ukiran itiak pulang patang (itik pulang petang), menjadi tempat untuk menaruh sirih, pinang,

dan gambir yang digunakan dalam berbagai upacara adat. 5 Pengamatan langsung ini penulis lakukan pada tanggal 5 Februari 2012, di Jalan Gurilla Gang

Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.

sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya bersifat cekatan dan tegas.

Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek. Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju, langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan penyilangan kedua kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan dengan

dengan kekhasan masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan, gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih. Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap

gerakan-gerakan

“kasar”

yang

identik identik

Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk keindahannya. Untuk mengiringi tari Galombang, masyarakat Minangkabau menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.

Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku. Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi). Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.

Guna dan fungsi tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan.

Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga imaji antar anggota masyarakat mereka.

Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di sanggar Tigo Sapilin Sumatera Utara, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari Minangkabau.

Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk mengadakan pertunjukan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua aspek, yaitu tari dan musik.

Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini. Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?

Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.

Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut. Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the

study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang.

Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve

been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4). 6

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan- bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik

6 Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia,

dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.

sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa

Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai

Elizabeth Hesler tahun 1976. 7 Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik

Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.

Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”

7 Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis- Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain- lainnya.

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut. (1) Bagaimana struktur tari Galombang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari, hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya.

(2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah

ini akan dijawab dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang dihasilkan alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan tasa. Untuk melodi akan dikaji mengenai aspek: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, formula, jumlah nada yang digunakan, kadensa, dan kontur. Untuk ritem akan dikaji: meter, tempo, aksentuasi, interloking, motif ritem, pola ritem, durasi, dan hal- hal sejenis.

(3) Bagaimana fungsi tari Galombang dimaksud dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah ini kan diurai

menggunakan pendekatan fungsional dalam ilmu tari (antropologi tari) dengan melihatnya berdasarkan fakta dan data lapangan. Uraian ini akan meperhatikan bagaimana secara budaya dan sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan meletakkan fungsi tari Galombang dalam kebudayaannya.

Setelah mengkaji ketiga pokok masalah tersebut, maka langkah berikutnya adalah menganalisis hubungan antara struktur tari, struktur musik, dan fungsi tari dalam masyarakat. Kajian ini akan melibatkan hubungan seperti apa yang terjadi di dalam tari dan musik. Paling tidak dalam dimensi waktu, siklus-siklus, motif, frase, dan bentuk keduanya, yang seperti apa yang menghubungkan musik dan tari. Setelah itu keduanya dihubungkan dengan sejauh apa fungsi tari (dan musik iringan) pada pertunjukan tari Galombang, dalam adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari Galombang

disajikan dalam perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan. (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur musik irigan tari

Galombang yang disajikan dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

(3) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di

Kota Medan.

1.3.1 Manfaat

Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah (1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tari Galombang).

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari

Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat Minangkabau.

(3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang.

(4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin ilmu seni.

(5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain

tempat suatu etnik merantau.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur, yaitu struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tarian Galombang. Identifikasi suatu struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Dalam tulisan ini penulis menyatakan pola berarti gerakan- gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.

Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola.

Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang adalah salah satu tari tradisional Minangkabau yang digunakan pada upacara adat perkawinan. Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke rumah anak daro.

Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan, dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas.

Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada masyarakat manapun. Biasanya melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan secara adat maupun agama. Pada umumnya acara perkawinan biasa disertai dengan pertunjukan kesenian tari, musik, teater, atau pun sastra.

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka. Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

1.4.2 Teori

Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian

Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.

Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto, musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs 1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo.

Untuk mengkaji struktur musik iringan tari Galombang ini, penulis menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup struktur melodi talempong pacik yang disajikan dengan teknik interloking. Begitu juga dengan melodi puput serunai yang akan dianalisis melalui 8 struktur melodinya yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi).

Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which

a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such

a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).