TREN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DALAM

TREN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DALAM DUNIA
PENDIDIKAN
Oleh: Ari Yanto
Universitas Majalengka
ari.thea86@gmail.com
Abstrak
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental
maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang
yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya atau sebayanya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya
menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar oleh gurunya sendiri.Kondisi ini amatlah
memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat
di lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa
menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan
serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan
nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang
menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.Melihat kejadian kasus kekerasan seksual pada
anak dilihat sangat ironis sekali, dimana moral dan agama itu tidak lagi menjadi pedoman
dalam keluarga. Sehingga banyak terjadi dimana-mana kekerasan seksual terutama terhadap
anak. ini disebabkan oleh lemahnya pendidikan moral dan agama yang diajarkan oleh orang
tua didalam keluarga. Orang tua seharusnya berperan penting dalam mendidik anak khususnya

tentang akhlak dan moral.Keluarga merupakan struktur terkecil dari lingkungan sosial, yang
mana didalamnya ada orang tua yang mempunyai peranan penting dalam mendidik dan
membimbing anak dari segi moral dan agama. Dengan bimbingan orangtua diharapkan segi
moral dan agama anak lebih baik sehingga mampu mengatasi penyimpangan moral dan agama
seperti kekerasan seksual pada anak tersebut. Kemudian orang tua membekali pengetahuan dan
nilai-nilai yang betul, yang mana pengetahuan itu adalah hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan yang dilakukan setelah dewasa, pengetahuan ini diberikan kepada anak sejak usia
muda pada umur 12-16 tahun, hubungan seksual ini hanya diperbolehkan pada usia 21 tahun
dengan ikatan pernikahan.
Kata kunci: kekerasan seksual, dunia pendidikan
A. Latar Belakang
Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus
bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara
lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan
pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan
keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Namun apakah pasal tersebut sudah
dilaksanakan dengan benar? Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi
yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik,
mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah
orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya atau sebayanya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya
148

menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri.Kondisi ini amatlah
memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat
di lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa
menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan
serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan
nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang
menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.
Ada beberapa fakta yang membuktikan bahwa kekerasan itu terjadi terhadap anak yaitu
Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak (PA) dalam TRIBUNNEWS.commenyatakan
bahwa disemester awal tahun 2013 kekerasan yang terjadi kepada anak-anak terus meningkat
sampai akhir tahun."Komnas Anak menetapkan tahun 2013 ini sebagai kondisi darurat nasional
kejahatan seksual terhadap anak. Berdasarkan data kasus yang dipantau pusat data dan
informasi Komnas Anak dari bulan Januari sampai Juni 2013 ada 1132 kasus dan akan
meningkat sampai penghujung tahun,"Data dirinci lebih lanjut sebagai berikut yaitu, kasus

kekerasan pada anak yang dibagi menjadi tiga kategori dengan rincian kekerasan fisik 294
kasus (28 persen), psikis 303 kasus (20 persen) dan paling besar kekerasan seksual sebanyak
535 (52 persen).Dan ternyata kekerasan seksual lah yang menempati posisi atau urutan
pertama. Sehingga menurut Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait Kasus kekerasan seksual
anak ini ternyata menjadi tren dan berada di ranking pertama. Melihat data dan kejadian seperti
itu tidak terlihat adanya perlindungan terhadap anak umumnya dari pemerintah khususnya dari
keluarga itu sendiri. Sehingga kejadian kekerasan seksual ini tidak jauh beda dengan tahun
kemarin malahan lebih meningkat.

Data Kekerasan Anak
Bulan Januari-Juni 2013
Kekerasan Fisik

Psikis

Kekerasan Seksual
535

294


303

Data ini diambil dari Komnas Perlindungan Anak (PA) dalam TRIBUNNEWS.com

Selain itu laporan yang dilansir oleh salah satu stasiun televisi yaitu Metro TV adalah
kekeresan seksual terhadap anak dimulai dari tahun 2010 sebanyak 48% 2011 sebanyak
52% 2012 sebanyak 62% dan sampai ke tahun 2013 terus meningkat dan kekerasan
seksual ini tidak mengenal usia bahkan jenis kelamin sekalipun.Ini merupakan bukti nyata
yang harus diterima bahwa ancaman terhadap anak tidak pernah surut. Ini menjadikan angka
yang sangat memprihatinkan sehingga kekerasan seksual ini masuk kedalam fase darurat.

149

Kekerasan Seksual Anak
70%
60%
52%
50%

62%


48%

40%

2010

30%

2011
2012

20%
10%
0%
Data ini diambil dari Metro TV

Melihat kejadian kasus ini dilihat sangat ironis sekali, dimana moral dan agama itu
tidak lagi menjadi pedoman dalam keluarga. Sehingga banyak terjadi dimana-mana kekerasan
seksual terutama terhadap anak. ini disebabkan oleh lemahnya pendidikan moral dan agama

yang diajarkan oleh orang tua didalam keluarga. Orang tua seharusnya berperan penting dalam
mendidik anak khususnya tentang akhlak dan moral. Dimana pendidikan moral dan agama
tersebut harus diberikan kepada anak sejak dini hingga beranjak remaja karena pendidikan
agama dan moral merupakan pondasi awal pendidikan dasar yang harus diberikan oleh
keluarga supaya anak mendapatkan pembekalan pengetahuan dan nilai-nilai yang betul
sehingga tidak terjadi lagi kekerasan terutama seksual pada anak baik dikeluarga, sekolah, dan
lingkungannya.
B. Pembahasan
Seperti dua sisi koin yang berlawanan, kehidupan seksual pun tidak ada terlepas dari
keadaan normal dan keadaan yang menyimpang. Seseorang yang memiliki ketertarikan seksual
pada obyek yang tidak umum disebut dengan parafilia. Orang yang menderita parafilia ini bisa
dijelaskan oleh 4 teori yakni teori biologis (adanya perbedaan dalam struktur otak, kimia otak,
bagian-bagian otak dan hormon), teori perkembangan (adanya potensi erotis umum yang dapat
melekat pada hampir semua hal sejak kita lahir), teori perilaku (pengkondisian pada
kenikmatan seksual) dan teori sosiologis (menelaah cara masyarakat membentuk perilaku
tertentu).
Ada berbagai macam dari parafilia salah satunya yang menarik adalah sadism yang
mengacu kepada kekerasan yang sengaja dilakukan, baik secara fisik atau psikis terhadap orang
lain dalam ketergugahan seksual dan orgasme. Sedangkan sadomasochism adalah aktivitas
seksual dimana salah satu pasangan beperan sebagai dominan dan yang lain berperan sebagai

yang patuh atau “budak”.
Menurut Michael Crosby, lingkaran kekerasan merupakan buah dari setiap paksaan
yang mengakibatkan luka. Paksaan dan luka itu bisa bersifat fisik ataupun psikis, personal
ataupun komunal, dan psikologis ataupun sosiologis.Tiga kata saja, tragis dan ironis.
Memalukan sekali di negeri yang katanya cinta damai ini seakan kekerasan telah menjadi
infotainment yang hampir setiap hari disuguhkan oleh media dalam berbagai kemasan menarik.
Kemasan-nya yang menarik itu nampaknya justru semakin mendorong masyarakat untuk
melakukan tindakan-tindakan kekerasan baru dalam bentuk yang lebih inovatif.

150

Menurut Saifullah (2008) penyebab terjadinya kekerasan seksual dan fisik di pesantren
dapat dicari dari salah satu faktor berikut: Pertama, pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung
penginapan seringkali membuat para santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama,
tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi tinggi.
Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas. Mereka
sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat reproduksinya. Dengan
demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau membandingkan antara organ
vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika bergurau topik pembahasan pun

mengarah pada seksualita. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga memicu terjadinya
kekerasan fisik karena perebutan wilayah kekuasaan' oleh raja-raja kecil.
Kedua, peraturan di pesantren dalam hal pergaulan antara santri dengan santriwati atau
antara santri dengan dunia luar cukup ketat. Pembatasan secara fisik untuk berinteraksi dengan
lawan jenis berpotensi memicu santri tidak menemukan penyaluran dan membuat orientasi
seksualnya sedikit menyimpang. Hal ini didukung dengan interaksi intens dengan sesama jenis.
Ibarat kata pepatah, tak ada tali akar pun jadi. Ketiga, kekerasan seksual seringkali dipicu
karena seorang whistle blower. Sangat mungkin dari ratusan santri, satu atau dua orang
memang memiliki kelainan orientasi seksual. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test
masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Para pelajar
dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar
insaf. Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualita dengan merujuk pada
literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati
senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang
digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga
dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.
Orang tua sangat berperan penting dalam hal pembentukan kepribadian anak. Baik
buruknya kepribadian anak yaitu perkembangan moral di masa yang akan datang bergantung
dari pendidikan dan bimbingan orang tua. Maka dari itu sangat jelas sekali peran penting dari
keduanya.

Istilah moral berasal dari kata latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moaralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral (yusuf. 2004:132).
Menurut Agustin (2013:54) moralitas atu moral adalah istilah yang berasal dari bahasa latin:
mos (jamak:moses) yang berarti cara hidup atau kebiasaan. Sehingga nilai-nilai moral itu,
seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanaan,
memelihara kebersihan, larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan
berjudi.
Selain itu perkembangan beragama seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya yaitu :
1) Faktor Pembawaan (internal)
Pada hakikatnya manusia mempunyai fitrah (pembawaan) beragama. Manusia yang
baru lahir baik dalam zaman primitif, bersahaja, sudah modern menurut fitrah kejadiannya
mempunyai potensi beragama atau keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan
di luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta.
Keyakinan bahwa manusia memiliki fitrah atau kepercayaankepada Tuhan
didasarkan kepada firman Allah yaitu : Surat Al-Araf ayat 172, Surat Ar-Rum ayat 30, dan
Surat Asy-Syamsu ayat 8.
2) Faktor Lingkungan (eksternal)


151

Faktor lingkungan adalah faktor perangsang atau stimulus berkembangnya fitrah
beragama dengan sebaik-baiknya. Lingkungan itu baik di keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Ada 1 teori yakni blaming the victim dimana teori ini mengatakan seseorang yang
diperkosa merupakan kesalahan dirinya sendiri entah berkaitan dengan penampilannnya
yang mencolok dan menarik perhatian, sikapnya yang agresif atau berjalan sendirian
ditempat yang rentan akan tindak pemerkosaan. Saya secara pribadi tidak setuju terhadap
teori ini karena korban pemerkosaan sudah cukup dilucuti oleh perilaku yang diterimanya
dan kita sebagai orang yang berpendidikan seharusnya tidak secara mudah menyalahkan
korban pemerkosaan. Hal yang seharusnya kita lakukan adalah membantunya menata
hidupnya kembali dan membuang pemikiran korban akan kehancursn dunianya setelah
kasus pemerkosaan terjadi pada dirinya.
Mereka adalah manusia yang perlu diberikan bantuan secara psikologis bukan orang
yang patut diberikan cemoohan atau pengucilan. Satu hal yang saya yakini adalah setiap orang
bertindak didasari sebuah alasan terlepas dari alasan mereka yang negatif atau positif. kita
sebagai calon psikolog nantinya harus menelisik lebih jauh tentang hal tersebut. Stop blaming
the victim and make a better perceptions for her/ his about their future are our jobs.
1. Tren Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Dunia Pendidikan

Kekerasan seksual pada anak pada saat ini sangat menyedihkan sekali, kita melihat
dibeberapa media Televisi dan media cetak banyak kita temui kasus yang serupa dimana
kekerasan seksual tersebut menjamur diberbagai daerah. Kasus kekerasan seksual ini terjadi
pada anak usia 6-18 tahun. Dan dimana usia-usia anak tersebut masih mengenyam pendidikan
formal baik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Dan
ternyata pelakunya itu tidak jauh dari orang terdekat dari anak tersebut diantaranya seperti
didalam keluarga (orang tua), sekolah (oknum guru), dan lingkungan sekitar (teman sebaya).
Kasus kekerasan seksual ini didasarkan fakta dari berbagai sumber seperti Komnas
Perlindungan Anak (PA) dalam TRIBUNNEWS.com yang menyatakan bahwakasus kekerasan
pada anak yang dibagi menjadi tiga kategori dengan rincian kekerasan fisik 294 kasus (28
persen), psikis 303 kasus (20 persen) dan paling besar kekerasan seksual sebanyak 535 (52
persen).Dan ternyata kekerasan seksual yang menempati posisi atau urutan pertama.Kemudian
data selanjutnya diambil dari salah satu stasiun televisi yaitu Metro TV adalah kekeresan
seksual terhadap anak dimulai dari tahun 2010 sebanyak 48% 2011 sebanyak 52% 2012
sebanyak 62% dan sampai ke tahun 2013 terus meningkat dan kekerasan seksual ini tidak
mengenal usia bahkan jenis kelamin sekalipun.
Melihat dari data diatas bahwa kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anak
terus meningkat dan tindakan dari para pelakunya ini tidak mengalami efek jera dari segi
hukuman. Sedangkan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa
“Ancaman hukuman maksimal 15 tahun bagi orang dewasa yang melakukan tindakan seksual
pada anak-anak”. Akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu, justru para pelaku tindakan
kekerasan seksual tersebut dihukum maksimal 9 tahun. Sehingga tidak mempunyai dampak
efek jera bagi para pelakunya dan tidak membuat orang takut. Sehingga timbul sebuah
pertanyaan “Ada apakah dengan perundang-undangan di negara kita???”
Dengan terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual pada anak dipengaruhi oleh beberapa
faktor penyebab seperti salah satunya bisa dari korban dan si pelakunya. Ditinjau dari korban,
pendidikan moral dan agama yang didapat dari keluarga dan disekolah mengalami
kemerosotan pendidikan yang drastis karena si anak tidak serius dalam mendalami ilmu
pendidikan dari segi moral dan agama, sehingga anak itu terlalu bebas bergaul melampaui
batas-batas yang ada. Sedangkan dilihat dari si pelaku tindakan kekerasan seksual yang
dilakukannya bisa datang dari dampak negatif adanya media elektronik dan teknologi yang
tanpa disaring lagi oleh si pelaku seperti mengunduh atau mendownload film-film pornografi,
152

kemudian dari segi moral dan agama si pelaku kurang mengetahui adab-adab pada peraturan
moral dan agama yang mana si pelaku tidak bisa melampiaskan hasrat nafsunya yang negatif
ke arah yang lebih positif.
Didalam dunia pendidikan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual tersebut
mengalami dampak yang begitu besar, seperti anak tidak mau lagi melanjutkan sekolahnya,
memiliki beban mental yang sangat berat, berubah yang dulunya ceria menjadi pendiam,
menutup diri dari lingkungan. Sehingga anak itu susah untuk maju menggapai masa depan
yang gemilang dan seharusnya si anak itu bisa meraihnya dengan mudah. Kemudian dampak
bagi si pelaku kekerasan seksual ini tidak mengalami dampak yang begitu besar bagi dirinya
bahkan banyak pelaku-pelaku kekerasan seksual yang menjamur diberbagai daerah baik dikota
maupun diperdesaan. Dikarenakan salah satunya, lemahnya hukuman yang didapak si pelaku
melalui perundang-undangan yang ada di negara kita.
Contoh kasusnya adalah pekan sekitar Februari 2010 terungkap kasus kelainan seksual
lainnya di Palembang. Pengidap kelainan seksual di Palembang ini bernama Purnama. Ia
diduga mengidap sadisme seksual. Purnama akan memperoleh kepuasan jika dalam melakukan
hubungan seksual diawali dengan menyakiti atau menyiksa terlebih dahulu pasangannya.
Menurut pengakuan korban (istri Purnama), selama bertahun-tahun sebelum
disetubuhi, dirinya dicambuk, kemaluannya disiram dengan minuman keras (miras), bahkan
belakangan kerap ditodong dengan senjata api. Dalam area sadism, Purnama melakukan
perilaku flagellation yaitu menyerang partner, biasanya dengan mencambuk. Selain itu
Purnama juga diduga mengalami kelainan yakni triolisme (penderita kelainan seksual yang
akan memperoleh kepuasan jika saat melakukan hubungan seksual dengan pasangannya dilihat
oleh orang lain). Pengakuan dari istrinya mengatakan Purnama sering membawa perempuan
lain ke rumah, menyuruh istri dan keempat anaknya menonton perbuatan mesumnya tanpa rasa
malu. Kalau istri dan anak-anaknya melawan, Purnama akan menodongkan pistol. Sehingga
membuat istri dan anak-anaknya menjadi ketakutan. Penderita seksual ini merupakan salah
satu dari sekian banyak penyimpangan ekspresi seksual yang terjadi.
Selain penyimpangan ekspresi seksual, yang tidak kalah maraknya adalah kasus
pemerkosaan yang biasanya dialami oleh wanita walaupun tidak menutup kemungkinan untuk
para pria. Di sebuah negera yang rentan akan kasus pemerkosaan, dibuatlah sebuah komdom
untuk wanita. Para wanita dinegara tersebut disuruh memakai kondom ini setiap hari ini untuk
menjaga dirinya dari tindak pemerkosaan. Kondom ini berfungsi ketika wanita diperkosa, penis
dari laki-laki yang melakukan penetrasi akan terjepit dalam vagina perempuan dan tidak bisa
keluar lagi bila tidak diberikan suntikan relaksasi. Hal ini akan memudahkan untuk para
penegak hukum dalam mengidentifikasi pelaku pemerkosa.
2. Solusi
Keluarga merupakan struktur terkecil dari lingkungan sosial, yang mana didalamnya
ada orang tua yang mempunyai peranan penting dalam mendidik dan membimbing anak dari
segi moral dan agama. Dengan bimbingan orangtua diharapkan segi moral dan agama anak
lebih baik sehingga mampu mengatasi penyimpangan moral dan agama seperti kekerasan
seksual pada anak tersebut. Kemudian orang tua membekali pengetahuan dan nilai-nilai yang
betul, yang mana pengetahuan itu adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan
yang dilakukan setelah dewasa, pengetahuan ini diberikan kepada anak sejak usia muda pada
umur 12-16 tahun, hubungan seksual ini hanya diperbolehkan pada usia 21 tahun dengan ikatan
pernikahan.
Dan kepada anak-anak yang sudah mengalami tindakan kekerasan seksual itu harus
mendapatkan penanganan secara khusus baik dari keluarga maupun pemerintah, si anak
mendapatkan terapi-terapi secara khusus yang dapat meningkatkan kepercayaan diri lagi.
a. Upaya-Upaya Pencegahan Penyimpangan Sosial
153

Salah satu upaya pencegahan penyimpangan sosial adalah dilakukan dengan kontrol
sosial. Tujuan kontrol sosial adalah mengendalikan perilaku individu. Kontrol sosial dapat
dilakukan dengan tindakan sebagai berikut:
1. Kasih Sayang (Attachement)
Kasih sayang menjadi sumber utama kekuatan yang muncul dari hasil sosialisasi di dalam
keluarga.
2. Tanggung Jawab (Commitment)
Tanggung jawab yang kuat pada aturan dapat memberikan kerangka kesadaran tentang
masa depan. Bentuk komitmen ini, antara lain adanya kesadaran bahwa masa depan pelaku
tindakan menyimpang akan suram.
3. Keterlibatan Atau Partisipasi (Involvement)
Dengan munculnya kesadaran mengakibatkan individu terdorong berprilaku partisipatif
dan terlibat dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan masyarakat. Keterlibatan
seseorang tersebut akan mengurangi peluang seseorang untuk melakukan pelanggaran
hukum.
4. Kepercayaan (Believe)
Kepercayaan terhadap norma-norma dan aturan sosial dalam masyarakat yang telah
tertanam kuat pada diri seseorang berarti kepatuhan masyarakat terhadap peraturan itu
akan makin kuat juga.
b. Kontrol sosial memiliki jenis sanksi yaitu:
1. Sanksi Fisik
Sanksi fisik dapat berupa dipenjara, dicambuk, dan diikat.
2. Sanksi Psikologis
Sanksi psikologis dapat berupa dicemooh, diasingkan, dicopot dari jabatannya.
3. Sanksi Ekonimi
Sanksi ekonomi dapat berupa denda dan penyitaan harta kekayaan.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari kasus yang dijelaskan diatas peran orang tua dan pemerintah dalam pendidikan moral
dan agama yang benar membantu dalam penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dilingkungan sekitar seperti kekerasan seksual pada anak.
2. Saran
a. Orang tua
Orang tua yang baik akan selalu mengawasi dan mendidik anaknya dalam belajar dan
pergaulannya sehari-hari.
b. Pemerintah
Pemerintah harus mampu memberikan perlindungan yang lebih terhadap anak dan
pemerintah juga bisa konsisten terhadap peraturan yang dibuat dalam perundangundangan yang berlaku di negara kita.
D. REFERENSI
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/18/sampai-akhir-2013-tren-kekerasan-seksualanak-meningkat
http://majalahfaktaonline.blogspot.com/2013/01/2013-tahun-darurat-kekerasan-seksual.html
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosda
Agustin, Mubiar. 2011. Permasalahan Belajar & Inovasi Pembelajaran. Bandung: Refika
Aditama.

154

Nurihsan,Juntika & Mubiar Agustin. 2011. Dinamika Perkembangan Anak Dan Remaja
Tinjauan Psikologi, Pendidikan, Dan Bimbingan. Bandung: Refika Aditama
Lickona, Thomas. 2013. Educating For Character (Mendidik Untuk Membentuk Karakter).
Jakarta: Bumi Aksara
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana
Yusuf LN, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosda
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Darajat, Zakiah. 1971. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang
Sarwono, Sarlito W. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Danim, Sudarwan. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta
http://bbawor.blogspot.com/2008/08/peran-orang-tua-dalam-pendidikan-anak_19.html
http://bbawor.blogspot.com/2010/03/kenakalan-remaja.html
http://rudidw.blogspot.com/2012/09/teori-kekerasan.html
http://meellmelisa.wordpress.com/2013/05/21/siapa-yang-salah-ketika-penyimpanganseksual-terjadi/

155