PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENIKAH DI USIA REMAJA.

(1)

PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENIKAH DI USIA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Binti Khoirunisak B07212003

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

x

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menggali, menemukan dan menggambarkan proses yang dilalui remaja dalam mengambil keputusan untuk menikah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan strategi case studi. Penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian adalah wanita yang menikah di usia 18 tahun, menikah bukan karena dijodohkan dan tidak hamil diluar nikah.

Penelitian ini menemukan empat kategori temuan yang mana satu kategori temuan merupakan temuan utama, dan tiga kategori temuan merupakan temuan lainnya sebagai pendukung temuan utama. Pertama, terdapat beberapa proses yang dilalui remaja dalam pengambilan keputusan, mulai dari mengenali masalah yang ada, menetapkan tujuan yang ingin dicapai, memahami masalah yang sedang terjadi, hingga akhirnya menentukan pilihan yang sesuai dengan keinginan remaja, dan diteruskan dengan tahap memilih, dimana remaja memiliki alasan tertentu untuk memilih menikah di usia remaja, selanjutnya remaja menerapkan tujuan tersebut setelah menikah.

Adapun temuan lain yang di temukan sebagai data tambahan. Pertama, ditemukan adanya alasan remaja menikah muda yaitu karena saling menyukai, ingin memiliki banyak anak, hingga agar terhindar dari perjodohan yang tak diharapkan Kedua, ditemukan persiapan yang dilakukan sebelum menikah yaitu, persiapan ilmu untuk bekal pernikahan dan untuk bekal ketika memiliki anak, persiapan diri agar setelah menikah tanggung jawab seorang isteri dapat terlampaui. Adapun persiapan yang wajib dilalui oleh calon isteri adalah menjalankan suntuk TT. Ketiga, ditemukan adanya faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan untuk menikah pada remaja diantaranya Circumstance (keadaan sekitar), Preferences (harapan dan tujuan), Emotions (suasana hati), Actions, (pencarian informasi dan berdiskusi dengan orang lain), danBeliefs(keyakinan dalam pengambilan keputusan).


(7)

xi

ABSTRACT

This study attempts to understand, digging, finding and described the processes traversed teenager in making decisions to marry. The research is qualitative study , with strategy case study. This research using triangulation as data validation .The subject of study is a married woman in age 18 years, married not because promised and not pregnant out marriage.

This study found four categories a discovery that which one category findings is main findings, and three categories findings is another result as a supporter main findings. First, there are some process traversed of adolescent in decision-making, starting from recognize problem, set goals to be achieved, understand the problems is going on, until finally forging the appropriate option with desire adolescent, and passed on to the stage choose, where adolescent having some reason to choose married in early adolescent, next adolescent apply the purpose after marriage.

As for another finding in find as additional data. First, found reason adolescent young married is the like each other, want to have many children, until to avoid from an arranged marriage who unexpected second, found preparations by before marriage namely, preparation science to provision marriage and to provision when have children, preparation self so that after married the responsibility of a wife can exceeded. As for preparation which should be passed by by the potential wife are run daytime TT. Third, find any of factors affect the decision-making process to marry in adolescents of them circumstance (like the way of approximately), preferences (expectations and a goal), emotions (mood), actions, (search information and discuss with another soul), beliefs (beliefs in decision-making) .


(8)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

INTISARI ...x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengambilan Keputusan ... 17

1. Pengertian Pengambilan Keputusan ... 17

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan ... 20

3. Proses dalam Pengambilan Keputusan ... 23

B. Remaja... 25

1. Pengertian Remaja ... 25

2. Karakteristik dan Tugas Masa Remaja ... 28

3. Pengambilan Keputusan Remaja ... 33

C. Pernikahan ... 36

1. Pengertian Pernikahan ... 36

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Menikah di Usia Remaja ... 38

3. Syarat- syarat Pernikahan ... 43

D. Perspektif Teoritis ... 45

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 50

B. Lokasi Penelitian... 51

C. Sumber Data ... 51

D. Cara pengumpulan Data ... 52

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 53

F. Keabsahan Data... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 56

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 56


(9)

vii

B. Hasil Penelitian ... 59

1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 59

2. Analisis Hasil Temuan ... 69

C. Pembahasan ... 81

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ... 93

2. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA... 97


(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Data Usia Menikah pada Perempuan di Wonocolo Surabaya (01 Januari 2016- 18 Mei 2016) ... 4


(11)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Panduan Wawancara

Lampiran 2 : Verbatim Wawancara Subjek

Lampiran 3 : Verbatim Wawancara Informan

Lampiran 4 : Lembar Pernyataan Persetujuan Partisipan Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian Skripsi

Lampiran 6 : Kartu Konsultasi


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia ialah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain, karena setiap manusia memiliki naluri untuk hidup bersama atau berkelompok dengan manusia lain, agar kebutuhan tersebut terpenuhi maka manusia perlu melakukan interaksi satu sama lain. Selain itu untuk mempertahankan dan melangsungkan kehidupan manusia butuh adanya sebuah keluarga yang dapat memberikan suatu ikatan lahir dan batin antara dua jenis manusia yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan, sehingga tercapai tujuan untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah melalui ikatan yang disebut pernikahan. Pernikahan dijalankan untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam hidupnya didunia ini, juga mencegah perzinaan, agar ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat (Tahrir Mahmood dalam Mardani: 2011).

Pernikahan merupakan ikatan suci antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa (Dariyo: 2003). Pernikahan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan


(13)

2

seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agar mampu menjaga kerukunan, harmonis, dan mampu mengelola persoalan-persoalan yang dihadapinya, pasangan suami-istri harus memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Oleh karenanya pernikahan harus dipandang dan disikapi sebagai sesuatu yang serius dan penting (Mukson: 2013).

Pada zaman modern ini Jumlah perempuan yang memilih melajang di usia menikah makin banyak. Ini bisa saja karena masalah pilihan atau alasan yang disengaja, seperti memfokuskan diri pada karir, memiliki pengalaman pahit dimasa lalu, mencoba mencari pria yang tepat, sudah terbiasa sendiri, terlalu banyak komitmen dalam keluarga, serta lebih enak menjadi single. Ada beberapa data yang menyatakan bahwa pada tahun 1980 sebanyak 31% perempuan belum menikah di usia dewasa (20 tahun keatas). Jumlah tersebut meningkat menjadi 33% pada tahun 1990, sehingga secara absolut, selama periode 1980-1990 terdapat kenaikan penduduk perempuan yang belum menikah sebanyak 6,5 juta orang (Kristanti dalam Aruman: 2011).

Hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perempuan berusia 30-54 tahun yang belum menikah berjumlah 1.418.689 orang atau sekitar 4,1% dari total jumlah perempuan Indonesia dalam rentang usia yang sama (BPS online, dalam Septiana&Syafiq: 2013).


(14)

3

Fenomena peningkatan jumlah perempuan dewasa belum menikah juga terjadi di kota Surabaya. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Surabaya bulan Oktober 2012, tercatat pada tahun 2010 jumlah perempuan usia 30 tahun keatas yang masih lajang sebesar 103.568 penduduk, meningkat menjadi 106.771 pada tahun 2011 dan 108.695 pada tahun 2012 (BPS online, dalam Septiana&Syafiq: 2013). Walaupun angka perempuan yang melajang hingga usia 30 tahun meningkat, di kota metropolitan khususnya di Surabaya juga masih ditemukan pasangan yang menikah di usia remaja.

Data pernikahan usia remaja di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) kota Surabaya mengalami penurunan dari tahun 2013 hingga juni tahun 2015. Data yang diperoleh pada tahun 2013 terdapat 97 pernikahan, tahun 2014 terdapat 74 pernikahan sedangkan di tahun 2015 hingga juni tahun 2015 terdapat 20 pernikahan (Surabaya news: 2015). Meskipun mengalami penurunan dalam hal pernikahan di usia remaja, Surabaya masihtercatat sebagai daerah tertinggi dengan kasus pernikahan muda disbanding daerah lain di JawaTimur (Metrotv news. Com: 2016).

Berdasarkan pada pasal 7 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, batasan umur untuk dilakukan pernikahan bila pihak pria mencapai usia 19 dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun (Undang- Undang Republik Indonesia, Nomor 1 Tentang Perkawinan: 1974). Namun pada kenyataannya masyarakat Indonesia memiliki pandangan tersendiri mengenai usia pernikahan yang kurang lebih berkisar antara 21-25 tahun bagi perempuan,


(15)

4

dan 25-30 tahun bagi laki-laki, hal ini dikarenakan pada usia tersebut perempuan sudah matang dalam hal mental, fisik maupun finansialnya, dan untuk laki secara umum ketika menginjak usia tersebut seorang laki-laki sudah mapan dalam pekerjaannya, memiliki pekerjaan tetap, dan sudah memiliki penghasilan sendiri.

Di Indonesia data usia menikah juga terperinci dalam SimKah, lebih spesifik di kota Surabaya khususnya di kecamatan Wonocolo usia menikah dapat di gambarkan sebagai berikut ini:

Tabel 1: Data Usia Menikah pada Perempuan di Wonocolo Surabaya (01 Januari 2016- 18 Mei 2016)

No Usia menikah Jumlah

1 16-19 tahun 9

2 20-25 tahun 68

3 26-30 tahun 39

4 31-35 tahun 15

5 36-40 tahun 7

6 41-45 tahun 8

7 46-50 tahun 6

Jumlah Keseluruhan 152

Sumber: SimKah. Kemenag.go.id

Dari data diatas dapat dilihat bahwa di kota besar khususnya di Surabaya masih ditemui remaja yang melangsungkan pernikahan di antara usia 16-19 tahun, meskipun tidak sebanyak pada usia 20-30 tahun.

Meskipun masyarakat Indonesia berpandangan bahwa usia menikah yang berkisar di masa dewasa awal, Indonesia termasuk negara dengan


(16)

5

persentase pernikahan usia muda tertinggi didunia, dengan peringkat ke 37, dan nomor dua di ASEAN setelah Kamboja (BKKBN: 2012), karena masih banyak dijumpai para remaja di Indonesia yang berumur sekitar 15-19 tahun melakukan pernikahan, yang mana pernikahan ini dilakukan ketika usia pihak perempuan maupun pihak laki-laki belum menginjak usia dewasa.

Hasil pendataan yang dilakukan oleh Sensus Penduduk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa angka pernikahan pada remaja di Indonesia kurang lebih 28 % atau 64 juta dari total jumlah penduduk sebesar 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk: 2010). Ada pun berdasarkan data evaluasi hasil pelaksanaan program KKB di Jatim pada Januari 2013 tercatat sebanyak 16, 84 persen dari 18.792 pernikahan yang dilaporkan di Jatim terjadi pada usia dibawah 20 tahun (Terkini Surabaya: 2013).

Menurut Sarwono (2003), pernikahan muda adalah pernikahan yang terjadi pada masa pubertas, hal ini karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual. Sedangkan, Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono: 2003) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah.

Berbicara mengenai pernikahan di usia remaja, akan secara otomatis timbul berbagai asumsi yang cenderung bersifat negatif, hal ini tidak terlepas dari maraknya tren pernikahan muda dengan istilah kawin-cerai, sehingga hal tersebut membuat semakin berkurangnya nilai kesakralan pernikahan. Menikah pada usia remaja juga akan menimbulkan masalah


(17)

6

kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah maka semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi. Biasanya seseorang yang menikah usia remaja akan cepat merasa bosan terhadap pasangannya, hal ini terjadi karena remaja masih memiliki jiwa yang labil, dalam arti kematangan fisik mereka sering tidak sejalan dengan pemikiran masing-masing, dan hal ini yang akan mengakibatkan perceraian pada pasangan tersebut (Alfida dalam Erlinasari: 2012).

Tidak semua pasangan yang memutuskan untuk menikah di usia remaja mengalami dampak yang kurang baik setelah menikah, ada beberapa manfaat yang didapat ketika seorang remaja memutuskan untuk menikah muda, dan manfaat itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sungguh-sungguh ikhlas dan menikah untuk ibadah. Beberapa dampak positif dari pernikahan diusia remaja, adalah sebagai berikut :

1. Menyelamatkan dari penyimpangan seks, mereka yang menikah karena takut terjerumus pada perzinaan sangat baik dalam pandangan islam. 2. Sehat jasmani dan rohani, penyaluran seks yang benar, itulah kunci

menjadi kesehatan jasmani dalam rumah tangga, berbagai survei menjukkan mereka lebih kebal dari penyakit, daripada mereka yang belum menikah. Bahkan mereka yang berumah tangga jika sakit akan cepat sembuh, daripada yang bujang.

3. Lebih cepat memiliki keturunan, diantara tujuan pernikahan adalah berketurunan. Nikah memungkinkan mempercepat keturunan.


(18)

7

4. Lebih banyak nilai ibadah, rumah tangga lebih banyak memberikan nilai-nilai ibadah banyak lahan amal dalam rumah tangga. Seperti suami menghidupi anak dan istri, memberikan nafkah batin dan yang lainnya dapat dikategorikan jihad.

5. Lebih cepat dewasa, banyak halangan dan rintangan dalam hidup berumah tangga. Halangan dan rintangan itu jika direnungi dapat memberikan pendidikan mental yang baik. Mereka yang sering ditempa kesulitan akan mudah memahami hidup (Al-Ghifari: 2002)

Penelitian yang dilakukan oleh Sudarto (2014) tentang kepuasan perkawinan pada perempuan yang menikah dini, menunjukkan hasil bahwa terdapat dampak yang positif ketika remaja menikah diusia dini, seperti keadaan ekonomi menjadi lebih tercukupi setelah menikah, lebih merasa sehat setelah menikah, emosi yang dirasakan lebih positif setelah menikah, dan relasi dengan orang lain lebih dekat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bahar, Aswin,Gim Tarigan, dan Pengarapen Bangun (2014) yang dilakukan terhadap 60 responden menyimpulkan bahwa terdapat 3 faktor hasil yang berpengaruh terhadap keputusan remaja menikah di usia muda. Ketiga faktor tersebut adalah faktor ekonomi dan biologis 30,688%, faktor pergaulan 15,187% dan faktor tradisi 13,682%. Faktor ekonomi dan biologis merupakan faktor dominan yang menjadi pengaruh terkuat dalam pengambilan keputusan remaja untuk menikah di usia muda.


(19)

8

Kadispendukcapil kota Surabaya menilai tingginya angka

pernikahan usia dini di kota Surabaya dikarenakan faktor hamil diluar nikah. Mayoritas merupakan kalangan dari keluarga tidak mampu. Kecamatan paling tinggi yang terdapat pernikahan usia remaja di Surabaya didominasi oleh kecamatan Rungkut, Tambaksari, Wonocolo dan Simokerto (Surabaya news: 2015).

berdasarkan data diatas, salah satu kecamatan yang terdapat pernikahan usia remaja paling tinggi adalah kecamatan Wonocolo. Kecamatan Wonocolo terdiri dari 5 kelurahan, yaitu Kelurahan Jemur Wonosari, Kelurahan Siwalankerto, Kelurahan Bendul Merisi, Kelurahan Margorejo, dan Kelurahan Sidosermo. Dari beberapa kelurahan yang ada di Kecamatan Wonocolo, Kelurahan Sidosermo dipilih menjadi tempat penelitian ini, karena didalam wilayah kelurahan Sidosermo terdapat banyak sekali pesantren baik pesantren putra maupun pesantren putri.

Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti, banyaknya pesantren di kelurahan sidosermo membuat beberapa remaja hanya memilih belajar di dalam pesantren tanpa melanjutkan ke sekolah formal, baik santri pendatang maupun penduduk asli. Beberapa orang tua akan menikahkan remaja putrinya dengan dalih bahwa putrinya masih bisa belajar di pondok pesantren tanpa harus belajar di sekolah formal setelah menikah dan agar remaja putrinya terhindar dari seks bebas yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi.


(20)

9

Adapun faktor yang paling tinggi penyebab remaja menikah muda di Surabaya adalah hamil diluar nikah. Namun dari observasi peneliti, faktor tersebut jarang ditemui di Kelurahan Sidosermo, sebab seseorang yang menikah di usia remaja didaerah tersebut kebanyakan berasal dari keluarga pondok pesantren dan banyak dari mereka menikah karena keinginan orang tua bukan dari pilihan anak. Sehingga remaja tidak dapat menghindar dari pernikahan muda tersebut.

Berbeda halnya dengan salah satu remaja yang juga menikah di usia muda di daerah Sidosermo ini, remaja tersebut memiliki keinginan sendiri untuk menikah di usia muda tanpa adanya dorongan dari pihak manapun termasuk dari orang tua dan bukan karena hamil diluar nikah. Sehingga dari sinilah peneliti menggunakan lokasi penelitian ini di kelurahan Sidosermo.

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa fenomena pernikahan di usia remaja tidak dapat dihindari sebab pernikahan di usia remaja sudah dijadikan tren pada masyarakat tertentu di Indonesia, dan ketika remaja putri sudah siap menikah dan mengambil keputusan untuk menikah, berarti remaja putri memiliki alasan tersendiri dalam memutuskan dirinya untuk menikah dengan laki-laki yang dipilihnya. Menurut Sanderowitz dan paxman (dalam Sarwono: 2007) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir pendek untuk mengambil keputusan melakukan pernikahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah.


(21)

10

Baron dan Byrne (2008) dalam Kusumawardani, Diah Nurayu, Joevarian, Nezza Nehemiah, dkk (2013) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses melalui kombinasi individu atau kelompok dan mengintegrasikan informasi yang ada dengan tujuan memilih satu dari berbagai kemungkinan tindakan. pengambilan keputusan sebagai suatu proses mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada untuk mendapatkan hasil yang diharapkan (Sweeney dan McFarlin dalam Sarwono dan Meinarno: 2009).

Bagi Siti Cholifah yang menikah di usia remaja untuk mengambil sebuah keputusan menikah sedikit sulit, karena sebelum Siti Cholifah memutuskan untuk menikah tersebut Siti Cholifah sudah pernah dikenalkan dengan orang lain yang masih memeiliki ikatan keluarga dengannya, namun keluarga kecilnya kurang setuju baik kakak-kakaknya maupun orang tuanya, sebab jika Siti Cholifah nanti menikah dengan saudaranya tersebut maka Siti Cholifah akan di bawa pergi ke Madura.

Walaupun keluarga terdekatnya (kakak dan ibu) kurang menyetujui pernikahan itu, kakak dan ibu Siti Cholifah tidak berani membatalkan perjodohan tersebut sebab mereka mengetahui konsekuensi yang akan mereka dapat ketika menolak perjodohan itu yaitu dijauhi oleh keluarga besar, sehingga kakak dan ibu Siti Cholifah pasrah dengan keadaan yang terjadi. Tidak lama setelah adanya perjanjian perjodohan tersebut, akhirnya Siti Cholifah mengenal laki-laki lain, yang dikenalnya melalui media sosial, sehingga Siti Cholifah harus memilih salah satu laki-laki untuk dijadikan


(22)

11

suaminya. Karena merasa cocok dengan laki-laki yang dikenalnya melalui media sosial tersebut akhirnya Siti Cholifah memutuskan untuk menikah dengannya dan kakak serta ibunya pun menyetujui pula keputusan dari Siti Cholifah tersebut. Dari sinilah proses pengambilan keputusan menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti. Mulai dari tahap observasi hingga ke tahap memonitor (setelah menikah).

Dari pemaparan diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengambilan keputusan untuk menikah di usia remaja, terlebih lagi mengenai proses yang dilalui remaja dalam mengambil keputusan untuk menikah itu.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada proses pengambilan keputusan untuk menikah di usia remaja yaitu dengan melihat bagaimana gambaran proses pengambilan keputusan untuk menikah di usia remaja.

C. Tujuan Penelitian

Ditinjau dari fokus masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yakni untuk mengetahui gambaran proses pengambilan keputusan untuk menikah di usia remaja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pada ilmu psikologi terutama


(23)

12

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi seksolog dilembaga swadaya baik formal maupun informal berkenaan dengan proses pengambilan keputusan untuk menikah pada usia remaja.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Pengambilan keputusan untuk menikah pada usia remaja masih jarang dilakukan oleh para peneliti, penelitian yang sering dilakukan adalah tentang faktor yang mempengaruhi remaja menikah diusia muda. Jurnal penelitian yang terpublikasi menunjukkan bahwa pengambilan keputusan untuk menikah pada usia remaja merupakan topik yang menarik untuk diteliti.

Penelitian yang dilakukan oleh Victor, Gimba K. (2014) yang berjudul The Socio-Economic Effect of Early Marriage in North Western Nigeria, hasil menunjukan bahwa terdapat dua temuan yang berhubungan dengan efek menikah pada usia muda, temuan pertama menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pernikahan dini dan pendidikan anak perempuan. Ini berarti bahwa jika anak-anak dikawinkan tentu akan mempengaruhi tingkat pendidikan. Temuan kedua menyatakan bahwa terdapat konsekuensi ketika seorang remaja perempuan melakukan pernikahan dini. Ini berarti ketika seorang remaja perempuan menikah di usia remaja, dia akan menghadapi konsekuensinya seperti putus sekolah, masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan kemiskinan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sadaf Ahmed, Saima Khan dkk (2013) dengan judulPsychological Impact Evaluation Of Early Marriages, menunjukan


(24)

13

hasil bahwa pernikahan dini, memiliki beberapa tanggung jawab apalagi ketika hamil, akan banyak faktor risiko seperti depresi, dapat dievaluasi lebih lanjut bahwa gadis-gadis yang melakukan pernikahan muda berada pada tingkat yang lebih tinggi ketika dibandingkan dengan yang belum menikah.

Penelitian yang dilakukan oleh Annabel Erulkar (2013) dengan judul

Early Marriage, Marital Relations and Intimate Partner Violence in Ethiopia,hasil menunjukkan bahwa, 17% responden telah menikah sebelum usia 15 dan 30% telah menikah di usia 15-17 tahun. Banyak dari mereka yang menikah sebelum usia 18. Berhubungan dengan wanita muda yang telah menikah diusia 18-19, mereka menikah sebelum usia 18 tahun dan lebih banyak 3,8% dari mereka telah dipaksa berhubungan seks perkawinan pertama.

Sarker Obaida Nasrindan KM Mustafizur Rahman (2012) meneliti tentangFactors affecting early marriage and early conception of women: A case of slum areas in Rajshahi City, Bangladesh, hasil menunjukkan bahwa pendidikan, keluarga, dan agama adalah faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan kemungkinan usia dini di pernikahan dan konsepsi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sah RB, Subedi, Shah, dan Jha N (2014), dengan judul Factors affecting Early Age Marriage in Morang District of Nepal telah menunjukkan hasil bahwa Prevalensi pernikahan anak lebih rendah pada Hindu (68,9%) dibandingkan pada Kristen dan


(25)

14

Pendidikan isteri dan suami, dan status ekonomi ditemukan menjadi variable penting dalam menjelaskan pernikahan diniusia (P<0,001). Terlihat juga bahwa kehamilan yang tidak direncanakan lebih tinggi (70,6%) dalam pernikahan usia dini dari kehamilan yang direncanakan (68,3%) tetapi perbedaannya tidaks ignifikan.

Di Indonesia penelitian tentang topik pengambilan keputusan menikah muda sudah pernah diungkap seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Lestari Nurhajati dan Damayanti Wardyaningrum (2012) yang berjudul Komunikasi Keluarga dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja, menyatakan bahwa keputusan menikah diusia remaja banyak ditentukan oleh peran orangtua. Selain itu latar belakang remaja yang mengalami permasalahan dalam relasi dengan orang tua juga turut menentukan relasi anak sebagai remaja yang cenderung lebih dekat dengan orang-orang diluar keluarga seperti teman dan pacar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Angela Sudarto (2014) yang berjudul Studi Deskriptif Kepuasan Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini, menunjukan bahwa dari tiap kelompok kepuasan perkawinan terdapat lima persamaan antar kelompok dan delapan perbedaan yang menjadi karakteristik tiap kelompok. Kelima persamaannya dalam hal agama, dampak pernikahan dalam hal ekonomi, kesehatan, emosional, dan sosial. Kedelapan perbedaan antar kelompok kepuasan perkawinan ini yaitu dalam hal jumlah anak, tempat tinggal, usia kawin, pendapatan suami subjek perbulan, alasan


(26)

15

perkawinan, usia perkawinan, dan dampak perkawinan dalam hal fisik dan pendidikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Aswin Bahar, Gim Tarigan dan Pengarapen Bangun (2014) yang berjudul Identifikasi Faktor Pendorong Pernikahan Dini dengan Metode Analisis Faktor, menunjukan bahwa dari hasil penelitian diperoleh 3 faktor dominan yang mempengaruhi keputusan remaja menikah di usia muda yaitu faktor ekonomi dan biologis (30,688%), faktor pergaulan (15,187%), dan faktor tradisi (13,62%). Ketiga faktor tersebut memberikan proposi keragamaan kumulatif sebesar 59,557% artinya ketiga faktor tersebut merupakan faktor dominan dan sisanya dapat dipengaruhi faktor-faktor lainnya yang tidak teridentifikasi oleh penelitian.

Penelitian yang dilakukan oleh Rochimatul Mukarromah dan Fathul Lubabin Nuqul (2012), dengan judul pengambilan keputusan mahasiswa menikah saat kuliah pada mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, menyatakan bahwa secara umum informan menikah di masa kuliah karena memiliki anggapan bahwa pernikahan adalah suatu keniscayaan dan jodoh yang datang dari Tuhan. Selain itu diantara subjek mengatakan bahwa menikah untuk menjaga nama baik diri dan keluarga juga sebagai bentuk kepatuhan anak perempuan pada orang tua. Beberapa subjek menggunakan

heuristicsebagai gaya pengambilan keputusan untuk memutuskan menikah. Dan hanya salah satu informan yang menganalisa secara mendalam (analytic-systematic). Gaya pengambilan keputusan ini membuat mereka kurang siap menanggung resiko menjalankan peran berumah tangga sambil


(27)

16

kuliah. Subjek umumnya mengalami kesulitan dalam mengatur waktu antara pelaksanaan tugas kuliah dan rumah tangga dan tak jarang kehidupan pernikahan mereka diwarnai dengan konflik-konflik kecil.

Penelitian yang dilakukan oleh Mariyatul Qibtiyah (2014), dengan judul penelitian Faktor yang mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan,

menunjukanbahwa terdapat pengaruh faktor sosial yang meliputi tempat tinggal dan pendidikan terhadap perkawinan muda perempuan. Sedangkan faktor ekonomi dan budaya tidak ada yang berpengaruh terhadap perkawinan muda perempuan wilayah urban dan rural di kabupatenTuban.

Melihat beberapa hasil penelitian terpublikasi diatas baik dari luar negeri maupun dari Indonesia, persamaan yang muncul adalah topik tentang pernikahan diusia remaja, meskipun demikian penelitian ini berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pertama, adanya proses pengambilan keputusan pada remaja yang melakukan pernikahan muda. Kedua, dari segi subjek penelitian adalah remaja yang melakukan pernikahan muda, Ketiga dari sisi pendekatan atau metode penelitian ini kualitatif studi kasus, dan Keempat subjek dan tempat penelitian yang digunakan juga berbeda.


(28)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Setiap hari manusia selalu terlibat dalam sebuah tindakan yang mana tindakan tersebut merupakan pencerminan dari hasil proses pengambilan keputusan dalam pikirannya, sehingga sebenarnya manusia sudah sangat terbiasa dalam membuat sebuah keputusan, bahkan keputusan itu sering dilakukan beberapa kali. Mulai dari masalah-masalah yang sederhana sampai dengan masalah-masalah yang kompleks dan menuntut pertimbangan banyak serta mendalam. Aktivitas pengambilan keputusan tersebut dapat dilakukan secara disadari atau tidak disadari (Suharnan: 2005).

Menurut Davis (dalam Syamsi: 1955) mengatakan bahwa

keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas, terutama keputusan itu dibuat untuk menghadapi masalah-masalah atau kesalahan yang terjadi terhadap rencana yang telah digariskan atau penyimpangan serius terhadap rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Keputusan yang baik pada dasarnya dapat digunakan untuk membuat rencana dengan baik pula. Follet (dalam Syamsi: 1995) menyebutkan bahwa keputusan sebagai hukum situasi. Apabila semua fakta dari situasi itu dapat diperolehnya dan semua yang terlibat baik pengawasan maupun


(29)

18

pelaksanaannya mau menaati hukumnya atau ketentuannya, maka tidak sama dengan menaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan, tetapi itu merupakan wewenang dari hukum situasi.

Menurut Nigro, Ridho (dalam Moordiningsih dan Faturochman: 2006) menyatakan bahwa keputusan ialah pilihan sadar dan teliti terhadap salah satu alternatif yang memungkinkan dalam suatu posisi tertentu untuk merealisasikan tujuan yang diharapkan. Definisi lain tentang pengambilan keputusan juga di jabarkan oleh Suprapto (1991) ia menjabarkan bahwa keputusan adalah hasil yang dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan keputusan harus dapt menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula. Seringkali seorang pembuat keputusan mengambil keputusan yang tidak tepat karena proses yang tidak tepat dan proses yang tidak memadai (Hammond, Keeney, dan Raiffa, dalam Wardani: 2014) .

Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih (Terry, dalam Syamsi: 1995). Pengambilan keputusan merupakan bagian dari suatu peristiwa yang meliputi diagnosa dari suatu peristiwa yang meliputi diagnosa, seleksi tindakan dan

implementasi (Beach dan Connolly, dalam Moordiningsih dan

Faturochman: 2006). Definisi lain tentang Pengambilan keputusan juga dijelaskan oleh Baron dan Byrne (dalam Kusumawardani, Diah Nurayu,


(30)

19

Joevarian, Nezza Nehemiah, dkk: 2013) menurutnya pengambilan keputusan adalah suatu proses melalui kombinasi individu atau kelompok dan mengintegrasikan informasi yang ada dengan tujuan memilih satu dari berbagai kemungkinan tindakan. Pengambilan keputusan sebagai suatu proses mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada untuk mendapatkan hasil yang diharapkan (Sweeney dan McFarlin dalam Sarwono dan Meinarno, 2009).

Menurut Suharnan (2005) pengambilan keputusan adalah proses memilih atau menentukan berbagai kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Pembuatan keputusan terjadi di dalam situasi-situasi yang meminta seseorang harus membuat prediksi kedepan, memilih salah satu diantara dua pilihan atau lebih, membuat estimasi atau prakiraan mengenai frekuensi prakiraan yang akan terjadi.

Menurut Ranyard (1997) proses pengambilan keputusan adalah proses yang memakan waktu yang lama dan melibatkan pencarian informasi, penilaian pertimbangan yang diikuti dengan proses penyesuaian diri terhadap tujuan serta nilai-nilai yang mendasari keputusan tersebut.

Dari beberapa uraian yang dipaparkan diatas maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengambilan keputusan dalam konteks penelitian ini mengarah pada pendapat yang diberikan oleh Suharnan (2005), yaitu proses memilih atau menentukan berbagai kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Pembuatan keputusan terjadi di dalam situasi-situasi yang meminta seseorang harus


(31)

20

membuat prediksi kedepan, memilih salah satu diantara dua pilihan atau lebih, membuat estimasi atau prakiraan mengenai kemungkinan prakiraan yang akan terjadi.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan

Menurut Kotler (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan antara lain :

a. Faktor Budaya, yang meliputi peran budaya, sub budaya dan kelas sosial.

b. Faktor sosial, yang meliputi kelompok acuan, keluarga, peran dan status.

c. Faktor pribadi, yang termasuk usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.

d. Faktor psikologis, yang meliputi motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan pendirian.

Menurut Syamsi (1995), pengambilan keputusan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

a. Keadaan internal

Keputusan yang memerlukan biaya, tetapi keadaan yang tidak mendukung, akan mengurangi kualitas keputusan. Namun biasanya keputusan tetap diambil dengan mengingat dan menyesuaikan keadaan.


(32)

21

b. Tersedianya informasi yang diperlukan

Suatu keputusan diambil untuk mengatasi masalah didalamnya. Untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, maka lebih dulu harus diketahui sebab dan akibat masalah tersebut, maka perlu pengumpulan data yang ada kaitan langsung dan tidak langsung dengan masalah itu. Data-data tersebut kemudian diolah sehingga akhirnya merupakan informasi. Informasi yang diperlukan harus lengkap sesuai kebutuhan, terpercaya dan masih aktual. Berdasarkan informasi inilah pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan baik.

c. Keadaan Ekstern

Pengambilan keputusan harus mempertimbangkan lingkungan luar. Keadaan atau lingkungan diluar dapat berupa, ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya dan lain-lain. Keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku.

d. Kepribadian dan Kecakapan Pengambilan Keputusan

Tepat tidaknya keputusan yang diambil juga sangat tergantung pada kecakapan dan kepribadian pengambilan keputusan. Hal ini meliputi: penilaian, kebutuhan, tingkat inteligensi, kapasitas, kapabilitas, keterampilan, dan lain sebagainya.

Kemdal dan Montgomery (dalam Ranyard: 1997), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan yaitu: a. Circumstances (keadaan sekitar): kategori ini meliputi segala sesuatu


(33)

22

eksternal, komponen lingkungan, pengaruh dari orang lain, dan kualitas stabil. Keadaan relatif objektif dalm arti bahwa orang lain mungkin memiliki akses untuk informasi yang dimaksud. Faktor ini berhubungan dengan adanya pengaruh eksternal dari individu.

b. Preferences : berkaitan dengan keinginan, harapan dan tujuan yang bervariasi pada setiap individu. Preferensi termasuk segala sesuatu yang diinginkan dan lebih disukai pengambil keputusan termasuk keinginan, mimpi, harapan, tujuan dan kepentingan. Semuanya adalah tujuan yang diarahkan dan kuat. Aspek ini berhubungan dengan faktor internal dalam individu.

c. Emotions: reaksi negatif atau positif terhadap situasi, orang lain, dan alternatif-alternatif yang berbeda. Emosi mengacu pada suasana hati dan reaksi positif atau negatif terhadap situasi, orang dan alternatif yang berbeda.

d. Actions: interaksi individu dengan lingkungan dalam pencarian informasi, berdiskusi dengan orang lain, membuat rencana, dan membuat komitmen. Dalam hal pengambilan keputusan menikah, individu akan berusaha untuk mencari informasi, berdiskusi dengan orang lain maupun pasangannya, dan juga akan membuat rencana dan komitmen bersama pasangan.

e. Beliefs: pembuktian dari apa yang diyakini atau dijadikan acuan, hal mengacu pada hipotesis dan teori, misalnya, tentang konsekuensi dari keputusan. Dalam pengambilan keputusan menikah, individu memiliki


(34)

23

keyakinan terhadap hal-hal yang akan terjadi dalam pernikahannya atau konsekuensi dari pernikahan tersebut.

Beberapa faktor di atas, merupakan faktor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

3. Proses dalam Pengambilan Keputusan

Cooke dan Slack (dalam Moordiningsih dan Faturochman: 2006), menjelaskan bahwa terdapat sembilan tahap yang dilalui individu dalam mengambil keputusan yaitu:

a. Observasi. Individu memperhatikan bahwa sesuatu yang keliru atau kurang sesuai, sesuatu yang merupakan kesempatan untuk memutuskan sedang terjadi pada lingkungannya. Suatu kesadaran bahwa keputusan sedang diperlakukan, kesadaran ini diikuti oleh satu periode perenungan seperti proses inkubasi.

b. Mengenali masalah. Sesudah melewati masa perenungan atau karena akumulasi dari banyaknya bukti-bukti atau tanda-tanda yang tertangkap, maka individu semakin menyadari bahwa kebutuhan untuk memutuskan sesuatu menjadi semakin nyata.

c. Menetapkan tujuan. Fase ini adalah masa mempertimbangkan harapan yang akan dicapai dalam mengambil keputusan. Tujuan pada umumnya berkaitan dengan kesenjangan antara sesuatu yang telah diobservasi dengan sesuatu yang diharapkan berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi.


(35)

24

d. Memahami masalah. Merupakan suatu kebutuhan bagi individu untuk memahami secara benar permasalahan. Yaitu mendiagnosa akar permasalahan yang terjadi. Kesalahan dalam mendiagnosa dapat terjadi karena memformulasikan masalah secara salah, karena hal ini akan mempengaruhi rangkaian proses selanjutnya.

e. Menentukan pilihan-pilihan. Jika batasan-batasan keputusan telah didefinisikan dengan lebih sempit, maka pilihan-pilihan dengan sendirinya akan lebih mudah tersedia, namun jika keputusan yang diambil masih didefinisikan secara luas maka proses menetapkan pilihan merupakan proses kreatif.

f. Mengevaluasi pilihan-pilihan. Fase ini melibatkan penentuan yang lebih luas mengenai ketepatan masing-masing pilihan terhadap tujuan pengambilan keputusan.

g. Memilih. Pada fase ini salah satu dari beberapa pilihan keputusan yangtersedia telah dipilih, dengan pertimbangan apabila diterapkan akan menjanjikan suatu kepuasan.

h. Menerapkan. Fase ini melibatkan perubahan-perubahan yang terjadi karena pilihan yang telah dipilih.

i. Memonitor. Memonitor difungsikan untuk melihat efektivitas dalam

memecahkan masalah atau mengurangi permasalahan yang

sesungguhnya.

Berdasarkan tahapan diatas dapat dikatakan bahwa tahap


(36)

25

masalah, menetapkan tujuan, memahami masalah, menentukan pilihan-pilihan, mengevaluasi pilihan-pilihan-pilihan, memilih, menerapkan, sampai memonitor untuk melihat efektivitas dalam memecahkan masalah atau mengurangi permasalahan yang sesungguhnya.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Setiap manusia pasti mengalami masa-masa perkembangan mulai dari janin hingga lanjut usia, dalam rentan kehidupan tersebut ada salah satu masa yang diapit diantara masa anak dan masa dewasa, yaitu masa remaja. Piaget (dalam Hurlock: 1990) menyatakan secara psikologis, masa remaja adalah masa dimana individu berintegrasi dengan mesyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan berada di tingkat yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Salah satu bentuk perkembangan yang menonjol pada masa remaja yaitu terjadi perubahan-perubahan fisik yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksualnya, hal ini ditandai masaknya organ seksual, baik primer maupun sekunder. Masa remaja adalah merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi (Yusuf S: 2012).

J.J Roussea mengemukakan perkembangan remaja yaitu, umur 15 sampai 20 tahun, dinamakan masa kesempurnaan remaja dan merupakan puncak perkembangan emosi. Dalam perkembangan ini terjadi perubahan


(37)

26

dari kecenderungan mementingkan diri sendiri kepada kecenderungan memperhatikan kepentingan orang lain dan kecenderungan mementingkan harga diri. Gejala lain yang timbul juga dalam tahap ini adalah bangkitnya dorongan seks (Sarwono: 2003).

Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual, dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kreteria yaitu, biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut, Remaja adalah suatu masa dimana :

a. Individu berkembang pada saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri

Menurut Konapka masa remaja ini meliputi, remaja awal : 12-15 tahun, remaja madya: 15-18 tahun, remaja akhir 19-22 tahun, sementara Salzman mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung terhadap orang tua kearah kemandirian, minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral (Yusuf S: 2012).


(38)

27

Pengolongan remaja menurut Thornburg (dalam Dariyo A: 2003) terbagi 3 tahap yaitu:

a. Remaja awal (usia 13–14 tahun). b. Remaja tengah ( usia 15–17 tahun) c. Remaja akhir ( usia 18–21 tahun).

Menurut Salzman dan Pikunas (dalam Yusuf S: 2012) Remaja ditandai dengan (1) berkembangnya sikap dependent kepada orang tua kearah independent, (2) minat seksualitas, (3) kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral.

Dari beberapa uraian yang dipaparkan diatas maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan remaja dalam penelitian ini adalah masa dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan berada di tingkat yang sama. Salah satu bentuk perkembangan yang menonjol pada masa remaja yaitu terjadi perubahan-perubahan fisik yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksualnya, dengan ditandai masaknya organ seksual, baik primer maupun sekunder adapun gejala yang timbul dalam tahap ini adalah bangkitnya dorongan seks. Masa remaja memiliki rentan usia antara 15-20 tahun. Dalam penelitian ini peneliti memilih subjek berusia 18 tahun yang mana usia tersebut termasuk dalam masa remaja akhir.


(39)

28

2. Karakteristik dan Tugas Masa Remaja

Pada perkembangannya setiap individu memiliki karakteristik dan tugas perkembangan berbeda yang disesuaikan dengan masanya, dalam hal ini individu akan berkembang dengan mengikuti karakteristik yang ada serta menjalankan tugas-tugas perkembangannya.

Hurlock (1990) membagi karakteristik masa remaja secara umum meliputi yang meliputi :

a. Masa yang penting, karena adanya akibat yang langsung terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode lainnya. b. Masa transisi, karena terjadi masa peralihan dari tahap kanak-kanak ke

masa dewasa, anak harus berusaha meninggalkan segala hal yang bersifat kekanak-kanakan dan mempelajari pola tingkah laku dan sikap baru.

c. Masa perubahan, ketika perubahan fisik semakin terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ada empat perubahan yang berlangsung pada semua remaja, yaitu :

1. Emosi yang tinggi, hal ini bergantung pada perubahan fisik dan psikologis yang terjadi sebab di awal masa remaja perubahan emosi terjadi lebih cepat.

2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru.


(40)

29

3. Perubahan nilai-nilai sebagai konsekuensi perubahan minat dan dan pola tingkah laku. Setelah hampir dewasa, remaja tidak lagi menganggap penting segala apa yang dianggapnya penting pada masa kanak-kanak.

4. Bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja

menghendaki dan menuntut kebebasan, tetapi sering takut

bertanggung jawab akan resikonya dan meragukan

kemampuannya untuk mengatasinya.

d. Masa bermasalah, meskipun setiap periode memiliki masalah sendiri, masalah masa remaja termasuk masalah yang sulit diatasi. Alasannya, sebagian masalah di masa kanak-kanak diselesaikan oleh orang tua dan guru sehingga mayoritas remaja tidak berpengalaman dalam mengatasinya, selain itu sebagian remaja sudah merasa mandiri sehingga menolak bantuan dan ingin mengatasi masalahnya sendirian. e. Masa pencarian identitas, penyesuaian diri dengan standart kelompok

dianggap jauh lebih penting bagi remaja daripada individualitas

f. Masa munculnya ketakutan, persepsi negatif terhadap remaja seperti tidak dapat dipercaya, cenderung merusak, mengindikasikan pentingnya bimbingan dan pengawasan orang dewasa selain itu kehidupan remaja muda cenderung tidak simpatik dan takut bertanggung jawab.

g. Masa yang tidak realistik, hal ini ditunjukan dari pandangan remaja yang cenderung subjektif karena mereka memandang diri sendiri dan


(41)

30

orang lain berdasarkan keinginannya, dan bukan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam hal cita-cita.

h. Masa menuju masa dewasa, di satu sisi remaja ingin segera menyesuaikan dengan tipe orang dewasa yang sudah matang, tetapi di sisi lain mereka masih belum lepas dari tipe remajanya yang belum matang.

Adapun pendapat lain tentang karakteristik umum pada masa remaja, menurut Zulkifli (2006) yaitu:

a. Pertumbuhan fisik: petumbuhan fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa.

b. Perkembangan seksual: mulai menstruasi pada remaja putri,

tumbuhnya rambut kemaluan, dan lain sebagainya Dalam

perkembangan seksualitas remaja terdapat dua ciri, yaitu: 1. Ciri-ciri seks primer

Pada remaja putri, kematangan organ-organ seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium (indung telur)

secara cepat. Ovarium menghasilkan ovum (telur) dan

mengeluarkan hormone-hormon yang diperlukan untuk

menstruasi, perkembangan seks skunder, dan kehamilan. Pada masa inilah (sekitar usia 11-15 tahun), untuk pertama kalinya remaja perempuan mengalami “menarche” (menstruasi pertama). Peristiwa “menarche” ini diikuti oleh menstruasi yang terjadi


(42)

31

dalam interval yang tidak beraturan. Untuk jangka waktu enam bulan sampai satu tahun atau lebih, ovulasi mungkin tidak selalu terjadi. Menstruasi awal sering disertai dengan sakit kepala, sakit pinggang, dan kadang-kadang kejang, serta merasa lelah, depresi dan mudah tersinggung.

2. Ciri-ciri seks sekunder

Ciri-ciri seks sekunder pada remaja putri yaitu, tumbuh rambut pubik atau bulu kapok disekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besar buah dada, dan bertambah besarnya pinggul.

c. Cara berpikir kausalitas: cara berpikir kausalitas yaitu menyangkut hubungan sebab akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia

akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih

menganggapnya sebagai anak kecil. Bila guru dan orang tua tidak memahami cara berpikir remaja, akibatnya timbullah kenakalan remaja.

d. Emosi yang meluap-meluap: keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Jika sedang senang-senangnya mereka mudah lupa diri karena tidak mampu menahan emosi yang meluap-luap, bahkan remaja mudah terjerumus kedalam tindakan bermoral. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis.

e. Mulai tertarik dengan lawan jenis: dalam kehidupan sosial remaja, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya dan mulai berpacaran.


(43)

32

Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti, kemudian melarangnya, akan menimbulkan masalah, dan remaja akan bersikap tertutup terhadap orang tua.

f. Menarik perhatian lingkungan: pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari lingkungan, berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kamping-kampung yang diberi peranan. Bila tidak diberi peranan, ia akan melakukan perbuatan untuk menarik perhatian masyarakat. Remaja akan berusaha mencari peranan diluar rumah bila orang tua tidak member peranan kepadanya karena menganggapnya sebagai anak kecil.

g. Terkait dengan kelompok: remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tua di nomorduakan setelah kepentingan kelompok.

Sedangkan untuk tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meningkatkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa (Ali M: 2008). Tugas-tugas perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosio-psikologis manusia pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks (Fatimah E: 2006).

Adapun tugas perkembangan masa remaja menurut Janiwarty Bethsaida dan Herri Zan Pieter (2013) ialah:


(44)

33

b. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mencapai otoritas.

c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya dan orang lain, baik secara individu maupun kelompok.

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.

f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsip atau falsafah hidup.

g. Mampu meninggalkan reaksi, penyesuaian diri, perilaku dan sikap kekanak-kanakan.

Dari beberapa uraian yang dipaparkan diatas maka dapat ditegaskan bahwa karakteristik dan tugas remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masa dimana seorang remaja mulai ada ketertarikan dengan lawan jenis, sebab ciri seks primer dan skundernya sudah mulai nampak di usia ini. Masa menuju masa dewasa, di satu sisi remaja ingin segera menyesuaikan dengan tipe orang dewasa yang sudah matang, tetapi di sisi lain mereka masih belum lepas dari tipe remajanya yang belum matang.

3. Pengambilan Keputusan Remaja

Banyak remaja tidak dilengkapi dengan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan dengan tepat, dimana beberapa


(45)

34

kemampuan tersebut antara lain, usia, gender, tingkat intelegensi, kelas sosial, struktur keluarga, tempramen, dan faktor sosio-kultural.

Menurut Steinberg (2010), remaja memiliki pengambilan keputusan yang berbeda dan memiliki karakteristik pengambilan keputusan yang berbeda dengan tahap perkembangan lain. Terdapat 6 karakteristik pengambilan keputusan remaja, yaitu:

a. Remaja sangat sensitif terhadap penghargaan/hadiah (reward), termasuk stimulus penghargaan dari tersebut, status sosial atau merasa dikagumi dan dihargai. Sensitivitas tinggi terhadap penghargaan inilah yang diwujudkan dengan 2 cara yang berbeda seperti apa remaja menyelesaikan masalah, dan apa saja yang akan menjadi pertimbangan ketika dihadapkan dengan sebuah pilihan antara dua alternatif tindakan, remaja akan cenderung memilih alternatif yang memiliki potensi reward yang lebih besar pada setiap alternatif daripada kerugian dari masing-masing alternatif.

b. Dibandingkan dengan orang dewasa, remaja lebih fokus pada konsekuensi yang langsung pada suatu keputusan daripada berfikir tentang jangka panjang pada suatu keputusan

c. Orientasi yang lemah dalam memprediksi masa depan mempengaruhi

remaja dalam melihat kerugian dalam pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan mereka cenderung memperhatikan dan fokus pada kerugian yang secara langsung dan jangka pendek dari sebuah pilihan daripada kerugian jangka panjang.


(46)

35

d. Keputusan remaja tentang pengambilan resiko lebih mudah

digoyahkan daripada orang dewasa, hal ini sangat dipengaruhi oleh kelompok sebaya mereka, pengaruh kelompok sebaya sangat tinggi

dalam pengambilan keputusan. Pengaruh kelompok cenderung

memperuncing sensitivitas remaja terhadap reward dan pilihan remaja terhadap reward secara langsung (jangka pendek). Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung memilih untuk sendiri dalam keputusan akan suatu resiko.

e. Ketidakmatangan yang terkait bagian otak dengan kontrol kognitif. Remaja relatif berbeda dengan orang dewasa, yaitu kurang mampu untuk mengatur perilaku mereka. Hal tersebut tercermin pada remaja sebagian besar cenderung untuk bertindak sebelum berfikir, sulit membuat rencana dan mengontrol emosi mereka.

f. Pengambilan keputusan pada remaja lebih mudah terganggu oleh rangsangan emosi sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Pada penelitian yang membandingkan pengambilan keputusan pada remaja dan dewasa, penelitian dilakukan pada mereka yang sedang sendiri dan ketika berada di bawah kondisi rangsangan emosional diminimalkan.

Dari beberapa karakteristik pengambilan keputusan pada remaja diatas dapat di katakan bahwa Remaja sangat sensitif terhadap penghargaan/hadiah (reward), remaja lebih fokus pada konsekuensi yang langsung pada suatu keputusan daripada berfikir tentang jangka panjang


(47)

36

pada suatu keputusan, dalam pengambilan keputusan remaja cenderung memperhatikan dan fokus pada kerugian jangka pendek dari daripada kerugian jangka panjang, keputusan remaja tentang pengambilan resiko lebih mudah digoyahkan daripada orang dewasa dan pengambilan keputusan pada remaja lebih mudah terganggu oleh rangsangan emosi sosial dibandingkan dengan orang dewasa.

C. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Manusia mulai mencari pasangannya diawali masa pubertas yaitu masa ketertarikan dengan lawan jenis yang berawal dari usia 12,5 – 14,5 tahun pada perempuan dan 14–16,5 tahun pada laki-laki (Hurlock, 1990). Masa berikutnya adalah masa pacaran dan diakhiri dengan masa pernikahan. Menikah muda adalah suatu ikatan atau akad yang dilakukan seseorang yang masih dalam usia muda atau pubertas (Sarwono: 2003).

Pernikahan merupakan salah satu diantara lembaga yang melibatkan hubungan-hubungan antar pribadi. Hubungan-hubungan pribadi dalam hidup pernikahan, khususnya antara dua individu yang menjalin hubungan tersebut, sangat berperanan penting untuk melestarikan

lembaga pernikahan (Mappiare: 1983). Menurut Agustina (2013)

pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak, baik suami maupun istri, karena pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Pernikahan akan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum


(48)

37

pernikahan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh perundang-undangan yang berlaku.

Adapun pernikahan dini itu adalah sebuah ikatan suami istri yang dilakukan pada saat kedua calon suami dan istri masih usia muda yaitu pria belum mencapai umur 19 tahun dan wanita belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1)).

Pernikahan diusia muda merupakan ikatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa memiliki persiapan baik fisikologis, psikologis, maupun sosial-ekonomi dan faktor yang tidak kalah penting yaitu usia. Pernikahan muda sendiri adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah 19 tahun (WHO: 2006).

Individu yang memutuskan untuk menikah di usia remaja haruslah siap untuk memikirkan dampak positif maupun dampak negatifnya dari lingkungan pribadi maupun dari masyarakat karena biasanya masyarakat akan berprasangka negatif dengan pernikahan dini. Selain itu juga harus mempunyai emosi yang matang agar dapat mengatasi masalah-masalah yang ada saat sudah hidup berumah tangga karena berumah tangga tidaklah mudah, banyak masalah yang akan dihadapi dari masalah-masalah yang kecil sampai masalah yang besar.

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan usia remaja. Remaja adalah usia 10-19 tahun dimana masa


(49)

38

remaja merupakan peralihan dari masa kenak-kanak menjadi dewasa yang

kebanyakan merupakan keputusan-keputusan yang sesaat.

Kemungkinannya akan sangat buruk untuk mereka, biasanya kedua anak laki-laki dan perempuan tidak dewasa secara emosi dan sering dimanjakan. Mereka ingin segera memperoleh apa yang dikehendakinya, tidak peduli apakah itu berakibat bencana (Steve: 2007).

Dari beberapa uraian yang dipaparkan diatas maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan diusia remaja dalam konteks penelitian ini adalah suatu ikatan suami istri yang dalam melangsungkan pernikahan salah satunya ataupun keduanya masih berada di usia remaja (remaja akhir) yakni antara usia 17-19 tahun.

2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pernikahan di Usia Remaja

Terjadinya pernikahan di usia remaja sedikit banyak pasti terkait dengan orang tua dan individu yang menjalaninya. Al-Gifari (2002) menyebutkan bahwa peran orang tua sangat menentukan remaja untuk menjalani pernikahan di usia remaja. Orang tua selalu menganggap dirinya sebagai contoh sehingga aman bagi dia pasti aman buat anaknya, sebagai contoh apabila orang tua menikah di usia muda dan tidak terjadi hal yang merugikan maka dia sangat mendukung apabila dikemudian hari anaknya menikah di usia muda. Masih menurut Al-Gifari (2001) pendidikan orang tua juga memiliki peran dalam penentuan keputusan untuk anaknya, karena di keluargalah pendidikan anak yang pertama dan utama. Salah satu


(50)

39

faktor yang mempengaruhi keputusan pihak orang tua terhadap anaknya salah satunya yang sangat menonjol adalah faktor pendidikan keluarga.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan di usia remaja, antara lain:

a. Dampak pergaulan yang terlalu bebas

Kehidupan remaja di daerah mencerminkan kehidupan remaja yang sangat bebas. Mereka berteman dengan siapa saja tanpa melihat bagaimana teman yang dekat dengan mereka, Mereka selalu berpacaran di tempat-tempat gelap dan sepi. Tidak hanya itu saja, mereka juga sering mempertontonkan sikap berpacaran mereka yang tidak wajar. Mereka tidak lagi memikirkan tentang bagaimana respon dan sikap orangtua terhadap mereka. Sebagian besar anak remaja, baik pria maupun perempuan di daerah tersebut sering membawa pasangan mereka untuk menginap di rumah mereka selama berhari-hari.

b. Kurangnya perhatian orangtua terhadap remaja.

Orangtua yang terlalu sibuk dengan aktifitasnya sehari-hari mengakibatkan, orangtua lupa memperhatikan kehidupan anak-anaknya. Orangtua tidak lagi mempunyai waktu untuk bersenda gurau dengan mereka, bahkan bercerita kepada ibu mereka tentang dalam hal-hal yang wajib untuk dibicarakan dan hal yang sangat tabu untuk dibicarakan.


(51)

40

c. Kurang adanya komunikasi yang baik antara anak dengan orangtua. Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya, orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “melarikan diri“ dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

d. Kondisi Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi tentunya mempunyai peran terhadap perkembangan anak, dengan perekonomian yang cukup, maka anak-anak mereka mempunyai kesempatan yang luas, seperti mendapatkan pendidikan dan kebutuhan hidup anggota terpenuhi. Lain halnya dengan keadaan sosial ekonomi orang tua yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga, anak-anak mereka tidak mempunyai kesempatan luas, seperti sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Beban orang tua akan semakin berat untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga atau anak-anak mereka. Untuk mengurangi beban orang tua yang berasal dari ekonomi yang rendah mereka akan cepat-cepat menikahkan anaknya khususnya anak gadisnya yang belum cukup umur untuk menikah.


(52)

41

e. Dampak media Komunikasi (siaran/berita)

Paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), dinilai banyak menyuguhkan materi pornografi dan pornoaksi secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kesan yang mendalam dan gambaran psikoseksual yang salah, serta dapat mendorong timbulnya libido seksual remaja, bahkan materi pornografi dan pornoaksi dijadikan referensi oleh remaja untuk melakukan seksual pranikah. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa tersebut. Kajian tentang pemanfaatan waktu luang dikalangan remaja menunjukkan bahwa sebagian besar remaja menghabiskan waktu luangnya untuk menonton TV 86% pada anak laki-laki, dan 90% pada anak perempuan.

Menurut Suryono (dalam Khomsatun: 2012) menyatakan bahwa faktor yang mendorong seseorang untuk melangsungkan pernikahan di usia remaja, diantaranya:

a. Masalah ekonomi keluarga

b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.

c. Adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab.


(53)

42

d. Di lingkungan Masyarakat

1. Ekonomi

2. Pendidikan

3. Faktor orang tua

4. Media massa

5. Faktor adat

Menurut penelitian yang dilakukan Desiyanti (2015) menunjukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan terhadap pernikahan diusia remaja, yaitu:

a. Peran orang tua: Kurangnya peran orangtua sehingga peluang untuk melaksanakan pernikahan diusia remaja pada anaknya lebih besar. b. Pendidikan orang tua: Orang tua yang memiliki pendidikan rendah

berpeluang lebih besar untuk melaksanakan pernikahan diusia remaja pada anaknya lebih besar.

c. Pendidikan anak: Remaja yang memiliki pendidikan rendah memiliki peluang lebih besar untuk melaksanakan pernikahan di usia remaja.

Menurut Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono: 2003) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir pendek untuk mengambil keputusan melakukan pernikahan. Selain itu, faktor penyebab terjadinya pernikahan muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah. Pendidikan seseorang sangat menentukan dalam kehidupannya, baik dalam mengambil keputusan, penyikapan masalah, termasuk didalamnya kematangan


(54)

43

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang melatar belakangi seorang remaja untuk menikah diusia remaja sangat beragam mulai dari faktor ekonomi, adat, serta pendidikan. Hal ini akan berpengaruh pada kehidupannya yang akan datang sesuai dengan alasan yang diambil untuk menikah di usia remaja, bahkan perceraian pun bisa datang menghampiri ketika faktor yang diambil untuk melakukan pernikahan tersebut cenderung negatif dan hanya menguntungkan salah satu pihak saja.

3. Syarat-syarat Pernikahan

Menurut Soemiyati (2007) Mengenai syarat-syarat pernikahan, dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam pasal 6 dan pasal 7, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

a. Harus ada persetujuan dari calon mempelai, persetujuan untuk melaksanakan perkawinan adalah syarat yang penting sekali untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri.

b. Adanya ijin dari kedua orangtua atau wali (pasal 6 ayat 2). Ijin ini hanya diperlakukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.

c. Apabila kedua orang tua meninggal dunia, maka yang berhak memberi ijin sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat 3, 4, dan 5 yang berisi:


(55)

44

Ayat 3: dalam hal salah seorang dari kedua orangtua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.

Ayat 4: dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendak.

Ayat 5: dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

d. Apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya karena disebabkan oleh: 1. Karena dibawah kuratele, 2. Atau sakit ingatan, 3. Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya.


(56)

45

e. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang berhak memberi ijin adalah: 1.Wali yang memelihara calon mempelai, 2. Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas, selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

f. Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) dalam pasal 6 ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak ada menyatakan pendapatnya. Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggalorang yang hendak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin.

g. Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang-kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri.

Syarat-syarat pernikahan diatas sudah diatur dalam undang-undang pernikahan, yang isinya disesuaikan dengan masyarakat yang ada di Indonesia pada umumnya.

D. Perspektif Teoritis

Pada umumnya setiap manusia pasti pernah membuat suatu keputusan ataupun mengambil keputusan yang menurut mereka baik, tetapi banyak diantara mereka dianggap kurang memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dengan tepat. Dalam penetapan pengambilan keputusan harus disertai dengan pemikiran yang matang dengan mengumpulkan informasi yang ada serta memutuskan keputusan yang


(57)

46

sesuai atau bisa juga dengan musyawarah bersama. Sehingga keputusan yang diambil pun sesuai dan tak hanya mengikuti hawa nafsu semata.

Menurut Steinberg (2010) Pengambilan keputusan pada remaja memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan orang dewasa. Remaja sangat sensitif terhadap penghargaan/hadiah, remaja lebih fokus pada konsekuensi yang langsung pada suatu keputusan daripada berfikir tentang jangka panjang pada suatu keputusan, orientasi yang lemah dalam memprediksi masa depan, dalam mengambil resiko remaja lebih mudah terpengaruhi, remaja kurang mampu untuk mengatur perilakunya, dan pengambilan keputusan pada remaja lebih terganggu oleh rangsangan emosi sosial dibandingkan dengan orang dewasa.

Pengambilan Keputusan dalam hal ini pengambilan keputusan untuk menikah, seseorang terlebih dulu akan melakukan pertimbangan sebelum mengambil sebuah keputusan sehingga mereka dapat menghadapi situasi dan kondisi yang menuntut keduanya untuk menentukan posisi, dan menerima serta mempertanggung jawabkan pilihan dan keputusan yang diambil. Pengambilan keputusan untuk menikah biasanya didasari dari usia pasangan.

Menurut Sarwono (2003) dan Zulkifli (2006) pernikahan pada usia remaja merupakan pernikahan yang terjadi pada masa pubertas, dan pada masa ini remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual, sebab pada masa ini remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya, sehingga dengan


(58)

47

melakukan pernikahan tersebut remaja dapat terbebas dari fitnah syahwat dan seks pranikah.

Pengambilan keputusan untuk menikah di usia remaja terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang mendorong, diantaranya; Menurut Suryono (dalam Khomsatun: 2012) menyatakan bahwa faktor yang mendorong seseorang untuk melangsungkan pernikahan di usia remaja, diantaranya: Masalah ekonomi keluarga yaitu penghasilan keluarga yang relatif rendah sehingga untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya sangat kurang. Adanya pernikahan anak-anak tersebut, maka keluarga merasa akan berkurangnya tanggung jawab.

Selain faktor-faktor tersebut adapula faktor lingkungan yaitu: Faktor ekonomi yaitu penghasilan masyarakat disekitarnya yang relatif rendah. Faktor Pendidikan masyarakat yang masih rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya mengenai Undang Undang perkawinan nomer 1 Tahun 1974. Faktor orang tua terjadi karena orang tua selalu menganggap dirinya sebagai contoh sehingga aman bagi dia pasti aman buat anaknya, sebagai contoh apabila orang tua menikah di usia remaja dan tidak terjadi hal yang merugikan maka dia sangat mendukung apabila dikemudian hari anaknya menikah di usia muda. Faktor media massa baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik dinilai banyak menyuguhkan materi pornografi dan pornoaksi secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kesan yang mendalam dan gambaran psikoseksual yang salah, serta dapat mendorong timbulnya


(59)

48

libido seksual remaja. Faktor adat, adat setempat yang mengharuskan para remajanya menikah di usianya mudanya.

Menurut Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono: 2003) pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir pendek untuk mengambil keputusan melakukan pernikahan. Selain itu, faktor penyebab terjadinya pernikahan muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah. Pendidikan seseorang sangat menentukan dalam kehidupannya, baik dalam mengambil keputusan, penyikapan masalah, termasuk didalamnya kematangan psikologis maupun dalam hal lain yang lebih kompleks.

Basri (1996) mengatakan secara fisik biologis yang normal seorang pemuda atau pemudi telah mampu mendapatkan keturunan, tetapi dari segi psikologis remaja masih sangat jauh dan kurang mampu mengendalikan rumah tangga. Berapa banyak keluarga dan perkawian terpaksa mengalami nasib yang kurang beruntung dan bahkan tidak berlangsung lama karena usia terlalu muda dari para pelakunya, baik salah satu atau keduanya.

Dari pemaparan kerangka teoritik diatas, dapat dikatakan bahwa remaja yang mengambil keputusan untuk menikah, memiliki alasan tertentu meskipun tepat tidaknya keputusan yang diambil hanya dirinya dan keluarga saja yang mengetahuinya, berhubung ada tidaknya pengaruh budaya, pendidikan, dan sosial ekonomi yang merupakan faktor pendorongnya. Faktor dalam mengambil keputusan untuk menikah itulah


(60)

49

yang akan membuat sebuah hubungan menjadi harmonis atau tidak dikemudian hari.


(61)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pengambilan keputusan untuk menikah di usia remaja. Untuk mendalami tema penelitian tersebut, maka penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafah positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti menjadi instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif atau kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono: 2007).

Metode kualitatif dipilih karena pada hakekatnya penelitian ini mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution: 1988). Dengan digunakan metode kualitatif, maka data yang didapat lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Penelitian kualitatif lebih memusatkan perhatian pada ucapan dan tindakan subjek penelitian serta situasi yang dialami, sehingga menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan: 1975).


(62)

51

pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakto dan dimensi dari kasus tersebut (Poerwandari: 2001). Dalam konteks penelitian yang akan dikaji ini fokus utamanya adalah Proses Pengambilan Keputusan untuk Menikah di Usia Remaja.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian yaitu wawancara. Penelitian ini berlokasi di kediaman subjek yang terletak di kawasan Kelurahan Sidosermo Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan karena peneliti melihat adanya beberapa remaja yang menikah di usia remaja khususnya remaja putri di daerah tersebut karena alasan dijodohkan, namun ada salah satu remaja yang memilih sendiri pernikahan itu terjadi dan mengingat daerah tersebut masuk dalam daerah perkotaan namun daerah tersebut memiliki kultur agama yang masih kental, yang mana terdapat banyak pondok-pondok di daerah itu. Sehingga menarik peneliti untuk meneliti di daerah tersebut.

C. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong: 2007) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan. Seperti dokumen dan lain sebagainya.

Menurut Banister (dalam Poerwandari: 2001) penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit dengan fokus pada kedalaman dan proses. Pendekatan yang dipakai untuk memilih subjek penelitian adalah dengan menggunakan metode pengambilan sampel


(63)

52

purpossive sampling, yaitu sampel yang salah satu cirinya sampel tidak bisa ditentukan dan ditarik terlebih dahulu.

Data penelitian diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yakni data yang diperoleh dari sumber pertama di lapangan, yaitu remaja berusia 18 tahun yang mengambil keputusan untuk menikah di usia muda (Siti Cholifah).

Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa informan pendukung (significant other). Informan pendukung (significant other)

yang digunakan dalam proses wawancara, dipilih berdasarkan kedekatan personal dan kepahaman informan pendukung tersebut atas subjek. Sehingga teknik yang digunakan dalam pemilihan partisipan wawancara penelitian ini adalah teknik jejaring. Informan pendukung (significant other) yang terlibat dalam penelitian ini adalah orang tua perempuan subjek yang bernama Masiyah.

D. Cara Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara. Menurut Moleong (2007) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu.


(1)

96

4. Bagi praktisi baik dilembaga formal maupun non formal seperti psikolog, terapis, pekerja sosial, dapat menjadikan wacana ini sebagai

tambahan khasanah ilmu pengetahuan sebagai bekal proses

pengambilan keputusan, khususnya terkait pernikahan remaja.

5. Bagi peneliti selanjutnya yang berminat terhadap tema semacam ini untuk melakukan riset dengan metode yang berbeda seperti kuantitatif, dapat diungkap dari sisi lainnya yang masih ada kaitannya dengan pernikahan remaja.


(2)

97

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Hesti. 2013. Gambaran Kehidupan Pasangan Yang Menikah Di Usia Muda di Kabupaten Dharmasraya.Spektrum Pls,1 (1), 205-217

Al-Gifari, A. 2001. Hamil Diluar Nikah : Trend atau Aib?. Bandung : Mujahid Press

__________. 2002. Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza. Bandung: Mujahid Press

Ahmed, Sadaf, Saima Khan, Malka, dkk. 2013. Psychological Impact Evaluation Of Early Marriages.International journal of endorsing health science research.1 (2), 84-86

Ali, Muhammad. 2008.Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara

Aruman, Edhy. 2011. Potret Perempuan Konsumen Lajang di Indonesia (1). Blogspot.com. diakses pada tanggal 1 Desember 2015

Bahar, Aswin, Gim Tarigan dan Pengarapen Bangun. 2014. Identifikasi Faktor Pendorong Pernikahan Dini Dengan Metode Analisis Faktor. Saintia Matematik,2 (1), 1–11

Basri, Hasan.1996. Merawat Cinta Kasih. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

BKKBN, 2012. http://lbhapikntt.com/berita/indonesia-tertinggi-kedua-dalam-pernikahan-usia-dini.html. Diakses pada tanggal 12 November 2015 pukul 12.00 WIB

Creswell John, W. 2010. Research Dsign Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Mix, Edisi 3.Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Dariyo, Agus. 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Desiyanti, Irne W. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado.

JIKMU, 5 (2), 270-280

Erlinasari, Nur. 2012. Penyesuaian Diri dan Keharmonisan Suami istri pada Keluarga Pernikahan dini.Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga


(3)

98

Erulkar, Annabel. 2013. Early Marriage, Marital Relations and Intimate Partner Violence in Ethiopia. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health. 39(1), 6–13

Fatimah, Enung. 2006. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik),

Bandung: Pustaka Setia

Hasan, I. 2002.Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Herdiansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: untuk ilmu-ilmu sosial.Jakata: Salemba Humanika

Hurlock, Elizabeth B.1990. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan edisi kelima,Jakarta: Erlangga

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial

(Kuantitatif Dan Kualitatif). Jakarta: GP. Press.

Janiwarty Bethsaida & Herri Zan Pieter. 2013. Pendidikan Psikologi untuk Bidan Suatu Teori dan Terapannya. Yogyakarta: Andi

Kusumawardani, Diah Nurayu, Joevarian, Nezza Nehemiah, dkk. 2013. Pengaruh

group SizeTerhadap Pengambilan Keputusan Kelompok.Humanitas, 10 (2), 87-100

Khomsatun,Yuli Trisnawatidan dan Ika Pantiawati. 2012. Hubungan Pengetahuan Remaja Putri Menikah Dini Tentang Kehamilan Dengan Kecemasan Menghadapi Kehamilan Di Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang.

Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan,3 (1), 1-12

Kotler, Philip. 2003.Manajemen Pemasaran. Edisi Kesebelas. Jakarta: PT Indeks Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional.

Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu

Metrotv news.com 2016, http://jatim.metrotvnews.com/read/2016/04/20/516659/ pernikahan-usia-dini-di-surabaya-tertinggi-se-jawa-timur

Moerika, M. 2008. Proses Pengambilan Keputusan Pada Individu Dewasa Muda yang Melakukan Konversi Agama karena Pernikahan. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia


(4)

99

Moordiningsih dan Faturochman, 2006. Proses Pengambilan Keputusan Dokter (Physician Decision Making).Jurnal Psikologi, 33 (2), 1-15

Mukson, Moh. 2013. Tradition of Early Marriage in Tegaldowo Village, Rembang District (A Rural Community Life Reflection). Jurnal Bimas Islam, 6 (1), 1-45

Mukarromah, Rochimatul dan Fathul Lubabin Nuqul. 2012. Pengambilan Keputusan Mahasiswa Menikah saat Kuliah pada Mahasiswa UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang. Promoting Harmony in Urban

Community: a Multi-Perspective Approach.136-154

Nasrin, Sarker O & KM Mustafizur Rahman. 2012. Factors affecting early marriage and early conception of women: A case of slum areas in Rajshahi City, Bangladesh. International Journal of Sociology and Anthropology. 4(2), 54-62

Nasution, S. 1996.Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:

Rineka Cipta

Nurhajati, Lestari dan Damayanti Wardyaningrum. 2012. Komunikasi Keluarga dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. 1 (4), 236-248

Poerwandari, K. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia

Qibtiyah, Mariyatul. 2014. Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan.Jurnal Biometrika dan Kependudukan.3 (1), 50-58

Ranyard, R., Crozier, W.R., Svenson, O. 1997. Decision Making Cognitive Models and Explanations. New York: Routledge. This edition published in the Taylor & Francis e-Library, 2002. ISBN 0-203-75263-5

RB, Sah, Subedi, Shah, & Jha N. 2014. Factors affecting Early Age Marriage in Morang District of Nepal. Scholars Journal of Applied Medical Sciences (SJAMS).2(4), 1320-1324

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada

, Meinarno, Eko A. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika


(5)

100

Septiana, Ema dan Syafiq. 2013. Identitas “Lajang” (single identity) dan Stigma: Studi fenomenologi Perempuan Lajang di Surabaya. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. 4 (1), 78-86

Surabayanews, 2015 .http://surabayanews.co.id/2015/08/21/33143/hingga-juni-2015-20-pernikahan-dini-terjadi-di-surabaya.html . Diakses pada tanggal 6 Juni 2016 pukul 12.00 WIB

Steve, C, 2007. Awas! Anak Anda Sudah Remaja, Yogyakarta : Andi Offset. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian pedidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif,

dan R&D. Bandung: ALFABETA

Suharnan. 2005.Psikologi Kognitif.Surabaya: Srikandi

Soemiyati. 2007. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty

Steinberg, L. 2010. Adolescent Decision Making and the Prevention of Underage Smoking. Philadelphia: Temple University.

Sudarto, Angela. 2014. Study Deskriptif Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini.Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3 (1), 1-15.

Suprapto, J. 1998.Teknik Pengambilan Keputusan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Syamsi, Ibnu. 1995.Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Jakarta: Bumi

Aksara.

Terkini Surabaya. 2013. http://surabayajawatimur.blogspot.co.id /2013/ 05/di-jatim-angka-pernikahan - dini-lumayan.html. Diakses pada tanggal 12 November 2015 pukul 12.20 WIB

Victor, Gimba K. 2014. The Socio-Economic Effect of Early Marriage in North Western Nigeria. Mediterranean Journal of Social Sciences.5 (14), 582-592

Wardani, Erlinda Kusuma. 2014. Pengaruh Framing Effect Terhadap

Pengambilan Keputusan Investasi Dengan Locus Of Control Sebagai Variabel Pemoderasi. Jurnal Nominal, 3 (1), 52-60

WHO Geneva, 2006. Young People’s Healthy Challenge for Society, Technical Report Series,731, 9-13


(6)

101

Yusuf, Syamsu. 2012. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.