STUDI MUKHTALIF AL-HADITH TENTANG TIYARAH DALAM SUNAN AL-NASA’I NOMOR INDEKS 3568 DAN MUSNAD AHMAD NOMOR INDEKS 4171.

(1)

STUDI MUKHTALIF AL-H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH

DALAM SUNAN AL-NASA>

’I

> NOMOR INDEKS 3568 DAN

MUSNAD AH}MAD NOMOR INDEKS 4171

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

MOH. ISTIKROMUL UMAMIK

E53212103

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Moh. Istikromul Umamik, 2016. STUDI MUKHTALIF AL-H}ADI>>TH

TENTANG T}IYARAH DALAM SUNAN AL-NASA>’I> NOMOR INDEKS 3568 DAN MUSNADAH}MAD NOMOR INDEKS 4171.

Periwayatan h}adi>th secara ma’na karena proses pengkodifikasian h}adi>th yang berlangsung jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW berdampak pada perbedaan pemahaman h}adi>th pada generasi Islam selanjutnya. Salah satunya adalah hadis tentang kebolehan dan kesyirikan t}iyarah. Sehingga masalah yang diteliti: 1). Bagaimana kualitas sanad dan matan h}adi>th tentang kebolehan t}iyarah?, 2). Bagaimana kualitas sanad dan matan h}adi>th tentang kesyirikan t}iyarah?, 3) Bagaimana penyelesaian h}adi>th tentang kebolehan t}iyarah dengan h}adi>th tentang kesyirikan t}iyarah?.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan h}adi>th tentang kebolehan t}iyarah dan kesyirikan t}iyarah serta penyelesaianya diantara dua h}adi>th yang bertentangan tentang t}iyarah tersebut.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meniliti kitab sunan al-Nasa>’i> dan Musnad Ah}mad, serta dibantu dengan kitab standar lainya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan matan kemudian penyelesaianya dengan menggunakan ilmu mukhtalif al-h}adi>th.

Penelitan ini dilakukan karena terdapat dua h}adi>th yang bertentangan tentang t}iyarah, karena terdapat teori yang mengatakan bahwa apabila dua h}adi>th yang s}ah}i>h} maka tidak mungkin bertentangan, kemudian dilakukan penelitian kualitas terhadap kedua h}adi>th baik yang membolehkan t}iyarah dan yang menggap t}iyarah itu syirik.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kualitas h}adi>th tentang dibolehkan t}iyarah dan h}adi>th tentang t}iyarah adalah syirik adalah s}ah}i>h}, karena statusnya sama-sama s}ah}i>h}}, maka metode yang digunakan dalam menyelesaikan perbedaan h}adi>th tersebut yaitu metode al-jam’u wa al-tawfiq. H}adi>th pertama menyatakan bahwa wanita (istri), kuda (kendaraan) dan rumah termasuk dalam al-Shu’mu (adanya kesialan), sedangkan h}adi>th yang kedua menyatakan bahwa t}iyarah (menganggap sial sesuatu) termasuk syirik. Imam Muslim menyatakan bahwa al-Shu’mu dan t}iyarah mempunyai makna yang satu. Sehingga kesimpulan akhirnya bahwa t}iyarah termasuk syirik, namun Rasulullah memberi peringatan hendaknya manusia berhati-hati terhadap 3 hal yakni wanita (istri), kuda (kendaraan) dan rumah.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM……….ii

ABSTRAK………..iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI………...iv

PENGESAHAN SKRIPSI ……….v

PERNYATAAN KEASLIAN………...……vi

MOTTO ………vii

PERSEMBAHAN……….viii

KATA PENGANTAR………ix

DAFTAR ISI ……….xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ……….xvi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….……….1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ………6

C. Rumusan Masalah ………7

D. Tujuan Penelitian ………..7


(8)

F. Kajian Pustaka ………..8

G. Metode Penelitian ……….9

H. Sistematika Pembahasan………..………12

I. Outline………14

BAB II: TEORI KESAHIHAN H}ADI>>>TH DAN MUKHTALIF AL-H}ADI>>TH DAN SEPUTAR T}IYARAH A. Teori Ke-S}ahi>h-an H}adi>th ……….. 15

B. Mukhtalif al-H}adi>th ………..………33 C. Pengertian T}iyarah ………43

BAB III: TINJAUAN REDAKSIONAL H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH A. Biografi Singkat Imam Al-Nasa>’i>> ……….49

B. Biografi Singkat Ah}mad Ibn Hanbal ………54

C. Data H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah Riwayat al-Nasa>’i>> …………..62

D. I‟tibar H}adi>th ……….88

E. Data H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah Riwayat Ah}mad Ibn Hanbal…88 F. I‟tibar H}adi>th ………..……….107

BAB IV: ANALISIS H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH A. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Thiyarah………….…….109

1. Penelitian Sanad H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah ……….……109

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah ………116

B. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah ……121


(9)

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah ……..……..130 C. Penyelesaian H}adi>th Yang Tampak Bertentangan ………..…..135 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ……….145

B. Saran ………146

DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’a>n dan h}adi>th adalah dua ajaran pokok Islam. Al-Qur’a>n sebagai sumber hukum pertama, memuat tata nilai dan kehidupan yang sempurna, pokok-pokok ajaran ketauhidan, ibadah dan muamalah, janji dan ancaman yang bersifat global dan universal.1 Sedangkan h}adi>th sebagai sumber hukum kedua setelah

Al-Qur’a>n, merupakan penafsiran dari ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’a>n. Al-Qur’a>n dan h}adi>th masing-masing memiliki perbedaan bila ditinjau dari segi periwayatanya. Semua periwayatan ayat-ayat dalam Al-Qur’a>n berlangsung secara muta>watir,2 sehingga berkedudukan sebagai qat}’i>, al-wuru>d.3 Sedangkan h}adi>th sebagian kecil periwayatanya berlangsung secara muta>watir, dan sebagian besar berlangsung secara a>ha>d, sehingga berkeduduan sebagai z}anni> al-wuru>d.4

Dengan demikian orisinalitas Al-Qur’a>n tidak diragukan lagi dan tidak perlu untuk diteliti. Akan tetapi h}adi>th masih perlu dilakukan kegiatan penelitian terutama terhadap h}adi>th yang bersifat a>ha>d, agar h}adi>th yang bersangkutan dapat

1 Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin, Alquran Sumber Islam Yang Pertama, (Bandung: Pustaka, 1989), cet 1, hal 60

2 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1966), hlm 150 3 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm 93


(11)

dipertanggungjawabkan periwayatnya, berasal dari Nabi Muhammad saw atau tidak.5

Arkaoun menyatakan bahwa proses dari kegiatan “menafsir ” Alquran itulah yang kemudian terimplementasi dalam tindakan perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau taqriri. Aktifitas Nabi tersebut yang kemudian disebut dengan Sunnah Nabi. Kegiatan periwayatan pada masa Nabi pada dasarnya telah mulai berlangsung, baik melalui pendengaran langsung dari Nabi, melalui hafalan dari sahabat, maupun catatan pribadi yang dimiliki oleh sahabat tertentu. Apabila sahabat ragu terhadap kebenaran suatu h}adi>th maka langsung saja dapat menanyakannya kepada sumber yang meriwayatkan atau langsung meriwayatakan kepada Nabi. 6

Menurut Komaruddin Hidayat, h}adi>th dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual, keduanya saling bersebrangan pemahaman kedua cara tersebut bagaikan bagaikan dua keping mata uang yang tidak bisa di pisahkan secara dikotomis, sehingga tidak semua h}adi>th dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual. Selain itu, dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan pengarangnya. 7

Dalam sejarah periwayatan h}adi>th, diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, terjadi penelitian periwayatan Nabi secara komprehensif hal ini bertujuan supaya tidak ada periwayatan yang bukan berasal dari Nabi. Selain itu

5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hlm. 4

6 Journal Hunaifa. Vol. 4. No. 4 Desember 2007: 403-416


(12)

periwayatan h}adi>th harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan.8 Namun pada kenyataanya terdapat h}adi>th yang termasuk riwayat bi al-ma’na yang mempunyai pengertian bahwa periwayatan suatu h}adi>th yang dilakukan seorang periwayat dengan menggunakan lafaz dari sendiri tanpa mengacu pada teks aslinya.9 di samping itu ada juga h}adi>th yang redaksi dan kandungan isinya berbeda antara h}adi>th yang satu dengan h}adi>th yang lain atau disebut dengan Mukhtalif al-hadi>th.

Dalam khazanah Ilmu h}adi>th menunjukkan bahwa terdapat sejumlah h}adi>th Nabi yang lainya tampak saling bertentangan atau kontradiktif.10 Menurut Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Kayfa Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah menyebutkan bahwa nash syariat tidak mungkin bertentangan. Perentangan yang mungkin terjadi adalah lahiriyahnya bukan dalam keadaan hakikinya dan kedua secara metodologinya.11 Sesungguhnya Tidak mungkin h}adi>th Nabi bertentangan dengan h}adi>th Nabi yang lainya atau malah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’a>n, alasan yang paling utama karena keduanya berasal dari sumber yang sama yakni dari Allah. Semua ulama telah sepakat bahwa h}adi>th yang tampak bertentangan tersebut harus diselesaikan supaya tidak menimbulkan polemik dikalangan masyarakat dalam pengamalan h}adi>th - h}adi>th Nabi.

8 Mu. Zuhri, Hadis nabi, Telaah Historis dan metodologis (Yogyakarta : PT. Tria Wacana, 2003) 112

9 Salamah Nurhidayati, Kritik Teks Hadis (Yogyakarta : teras, 2009) 45

10 Untung Ranuwijaya Said Husain al-Munawar, Ilmu Hadis (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), 26

11 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), 153


(13)

Para ulama h}adi>th berbeda pendapat dalam melakukan penyelesaian h}adi>th yang bertentangan. Ibn Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan h}adi>th yang bertentangan, masing-masing h}adi>th harus diamalkan. Ibnu Hazm menekankan perlunya metode istisna’. Imam Syafi‟i memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan h}adi>th yang bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global dan yang satunya bersifat rinci, mungkin yang satu bersifat umum dan yang satu bersifat khusus, mungkin yang satu bersifat penghapus (al-Na>sikh) dan yang lain bersifat sebagai dihapus ( al-mansu>kh) atau mungkin keduanya bisa diamalkan. Sedangkan Ibnu Hajar menempuh empat tahap yaitu, al-jam’u, al-na>sikh wa mansu>kh, tarji>h dan al-tawqi>f. 12

Dari beberapa penyelesaian yang digunakan oleh para ulama ketika terdapat matan h}adi>th yang bertentangan dengan mata h}adi>th yang lain, maka penulis tertarik untuk meneliti pertentangan h}adi>th yang berkaitan dengan menganggap sial sesuatu, sebagaimana disebutkan dalam sunan al-Nasa>’i> bahwa kesialan itu terdapat dalam 3 hal yakni, kuda (Kendaraan), wanita dan rumah. Di samping lain Nabi juga meriwayatkan h}adi>th yang dikutip dari Musnad Ahmad bahwa berfirasat buruk (t}iyarah) terhadap sesuatu itu termasuk bagian dari syirik. Kedua h}adi>th tersebut sekilas bertentangan satu sama lain dalam artian bahwa disatu sisi Rasulullah mengajarkan tentang beberapa hal yang didalamnya terdapat kesialan, namun disisi lain Rasul juga melarang berfirasat buruk terhadap sesuatu.


(14)

H}adi>th yang menerangkan bahwa Rasulullah menunjukkan tentang adanya kesialan di tiga hal adalah Riwayat al-Nasa>’i> Nomer indeks 3568 yang berbunyi:

أ

وُصْنَم ُنْب ُدمََُُو ٍديِعَس ُنْب ُةَبْ يَ تُ ق َََرَ بْخ

ْنَع ُناَيْفُس اَنَ ثدَح ََاَق ُهَل ُظْفللاَو ٍض

ِِِّنلا ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍِِاَس ْنَع ِّيِرْزلا

ٍةَث َََث ِِ ُمْؤشلا َلاَق َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص

ضادلاَو ِسَرَفْلاَو ِةَأْرَمْلا

.

13

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan Muhammad bin Manshur dan ini adalah lafaz Muhammad bin Manshur, berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Kesialan ada dalam tiga hal: wanita, kuda, dan rumah."

Riwayat tersebut diatas Bertentangan dengan riwayat Ah}mad bin Hanbal Nomer indeks 4171

َْلا ىَسيِع ْنَع ٍلْيَمُك ِنْب َةَمَلَس ْنَع َةَبْعُش ْنَع ٌجاجَحَو ُةَبْعُش اَنَ ثدَح ٍرَفْعَج ُنْب ُدمَُُ اَنَ ثدَح

ِدْبَع ْنَع ٍّضِز ْنَع ِّيِدَس

ِهْيَلَع َُا ىلَص ِِِّنلا ْنَع َِا

َلاَق َملَسَو

ِلكَو تلِِ ُهُبِ ْذُي ََا نِكَلَو َِإ انِم اَمَو ِكْرِّشلا ْنِم ُةَرَ يِّطلا

14

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dan Hajjaj dari Syu'bah dari Salamah bin Kuhail dari Isa Al Asadi dari Zirr dari Abdullah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Thiyarah (berfirasat buruk) termasuk syirik, tidaklah dari kami melainkan (bisa melakukannya) akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal."

Dengan melihat h}adi>th diatas, perlu kiranya untuk menemukan solusi tepat yang dapat menyelesaikan pertentangan dua h}adi>th tersebut. Problemnya adalah apakah benar Rasulullah menganjurkan dan mengingatkan kepada kita bahwa tempat kesialan itu berada di tiga hal yakni kuda (kendaraan), wanita dan rumah. Kalau melihat faktanya ternyata banyak ajaran-ajaran yang termasuk ke-adat-an

13

Abi> Abdi al-Roh}man Ah}mad bin Shu’aib bin ‘Ali al- Shahir al-Nasa>’i>, Sunan al- Nasa>’i> (Riyadh : Maktabah al-Ma’arif, 303 H.), 556.

14

al-Imam al-h}afidz abi> ‘abdillah ah}mad bin h}anbal , Musnad al-imam al-h}afidz abi> ‘abdillah ah}mad bin h}anbal (Riyadh: Bait al-afka>r al dawaliyah,1998), 352.


(15)

khusunya adat jawa berpijak pada h}adi>th tersebut, seperti dalam primbon jawa yang menyatakan bahwa seseorang bisa sukses jika perhitungan wetonnya tepat dengan istri, keadaan rumahnya dan juga kendaraan yang ditumpanginya.

Selain itu, Rasulullah mengingatkan bahwa mengggap sial sesuatu atau berfirasat buruk terhadap sesuatu itu termasuk syirik karena semua yang terjadi pada diri manusia berasal dari takdir dan kuasa Allah , tidak karena atau akibat dari suatu hal

Dengan demikian, perlu kiranya diteliti intisari dari kedua h}adi>th tersebut baik melalui pemahaman tekstual dan secara kontekstual supaya kehujjahan h}adi>th dapat diketahui diantara keduanya dan bisa diamalkan oleh masyarakat secara luas.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Mengingat keluasan pembahasan tentang h}adi>th tentang Menganggap sial sesuatu, khususnya yang terkait dengan petunjuk h}adi>th Nabi dalam hubunganya dengan kehati-hatian umat Islam kepada tiga hal yakni, kuda (kendaraan), wanita dan rumah, dan juga pelarangan menganggap sial sesuatu maka permasalahan yang akan diangkat dalam rangka untuk memproyeksikan penelitian ini lebih lanjut adalah penyelesaian tentang h}adi>th Nabi yang tampak bertentangan tersebut.

Termasuk juga dalam rangkaian penyelesaian mukhtalif h}adi>th. H}adi>th tentang menganggap sial sesuatu adalah penelitian tehadap kualitas h}adi>th yang bersangkutan melalui prosedur penelitian h}adi>th, yang di usulkan oleh para pakar


(16)

ulama h}adi>th yakni melalui kegiatan takhri>j, I’tiba>r dalam meneliti kualitas sanad dan matan.

Dari beberapa identifikasi masalah diatas penulis membatasi pembahasan pada permasalahan h}adi>th yang tampak bertentangan dan cara penyelesain sekaligus solusinya, hal ini agar fokus masalah yang penulis teliti terarah dan tidak meluas.

C. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah yang akan dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

1. Bagaimana kualitas h}adi>th tentang kesialan ada di tiga hal dalam h}adi>th Nomor indeks 3568 pada kitab Sunan al-Nasa>’i>?

2. Bagaimana kualitas h}adi>th tentang berfirasat buruk adalah kesyirikan dalam h}adi>th Nomor indeks 4171 pada kitab Musnad Ah}mad bin Hanbal?

3. Bagaimana penyelesaian h}adi>th yang tampak berbeda satu sama lain?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, berdasarkan pada pokok masalah yang telah dirumuskan diatas, bertujuan untuk

1. Untuk menguji kualitas h}adi>th tentang kesialan ada di tiga hal dalam h}adi>th Nomor indeks 3568 pada kitab Sunan al-Nasa>’i>


(17)

2. Untuk menguji kualitas h}adi>th tentang berfirasat buruk adalah kesyirikan dalam h}adi>th Nomor indeks 4171 pada kitab Musnad Ah}mad bin Hanbal

3. Mendiskripsikan penyelesaian h}adi>th yang tampak berbeda satu sama lain.

E. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis penelitian ini dilakukan sebagai bentuk upaya pengujian kritis terhadap h}adi>th - h}adi>th yang berkaitan dengan menganggap sial sesuatu sebagai refrensi yuridis dogmatis dalam ajaran Islam. Pengujian yang dimaksud adalah untuk mengetahui pertentangan h}adi>th Nabi yang mengenai himbauan kesialan terhadap sesuatu, dengan h}adi>th Nabi yang tidak boleh menganggap sial sesuatu, dan metode yang dipakai dalam mengkrompromikan h}adi>th - h}adi>th kontradiktif terebut.

Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menjadi salah satu pertimbangan dalam upaya pengkajian secara mendalam terhadap h}adi>th yang diterima dengan meniliti kualitas sanad dan matan. Secara khusus dapat memberikan kontribusi yang refrensial dan sebagai wacana dalam memaknai perintah dalam himbauan menganggap sial sesuatu dan pelarangan menganggap sial sesuatu, sehingga hasilnya dapat dijadikan hujjah dan dasar bagi pelaksanaan muamalah diantara manusia secara umum dan umat Islam secara khsusus.

F. Kajian Pustaka

Dalam hal ini penulis belum menemukan karya ilmiah yang membahas tentang h}adi>th - h}adi>th tersebut. Dalam pelacakan penulis melihat hanya ada


(18)

pembahasan dalam bukunya Yusuf al-Qardhawi Studi Kritik H}adi>th (Kayfa

Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah), tentang bagaimana cara menyelesaikan ketika terdapat dua h}adi>th yang saling bertentangan. Dalam hal ini Yusuf al-Qardhawi membahas pertentangan yang memperbolehkan wanita melihat laki-laki dan h}adi>th yang tidak memperbolehkan wanita melihat laki-laki dan juga h}adi>th yang memperbolehkan wanita untuk berziarah kubur.15 namun demikian dalam pembahasanya Yusuf al-Qaradhawi hanya sekilas saja tidak dijelaskan secara detail.

Sehubungan dengan kenyataan diatas, h}adi>th mukhtalif tentang menganggap sial sesuatu, perlu diangkat dalam bentuk penelitian yang mendalam, karena dari literature-literature yang ada hanya membahas mengenai gambaran umumnya saja, dan belum menyangkut masalah kaidah kesahihan h}adi>th.

G. Metode Penelitian

1. Model dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif.16 yang bermaksud untuk mengungkapkan kehujjahan h}adi>th dalam himbauan dan pelarangan menganggap sial sesuatu melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis. Yakni dengan berusaha memaparkan data-data tentang suatu hal atau masalah dengan analisa dan interpretasi

15

Mah}mu>d al-Tah}ha>n, Taysir Mustalah al-H}adi>th (Bairut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1979), 131.

16 Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat

deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku individu atau kelompok yang dapat diamati berdasarkan subyek itu sendiri. Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), 9.


(19)

serta komperasi yang tepat.17 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana status kehujjahan di antara dua h}adi>th yang bertentangan.

Jenis dari penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research), yakni penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.18 Baik itu buku-buku yang termasuk sumber primer maupun buku-buku yang termasuk sumber sekunder.

2. Sumber data penelitian

Data primer dalam penelitian ini adalah kitab sunan al-Nasa>’i> dan Musnad Ah}mad bin Hanbal.

Sumber yang sekunder berasal dari Karya-karya para ulama lain sebagai pelengkap dalam penelitian ini diantaranya adalah:

1. Taysi>r Must}alah al-h}adi>th, karya Mah}mu>d T}ahha>n

2. Tahdhib al-Tahdhi>b, karya Shiha>b al-Din Ah}mad ibn ‘Ali> bin Hajar al-‘Asqalani>

3. Tahdhib al-Kama>l fi al-Asma’ al-Rija>l, karya Jama>l al-Din Abi> al-Hajja>j Yu>suf al-Mizzi

4. Mukhtalif al-H}adi>th Bayna al-Fuqaha’ wa al-Muh}addithi>n, karya Na>fis H}usain Hammad

5. Metodologi Penelitian H}adi>th Nabi, karya M. Syuhudi Ismail 6. Kaidah Kesahihan Sanad H}adi>th : Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, karya M. Syuhudi Ismail.

17 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offsat, 1990), hal 9. 18 Winarno, Penelitian Ilmiah (Bandung : Tarsito, 1994), 251.


(20)

7. Dan buku-buku lain yang erat hubungannya dengan pembahasan penelitian ini.

3. Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menelaah literatur-literatur dan mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan topik mengaggap sial sesuatu.

4. Teknik analisis data

Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian ini. Dari penelitian h}adi>th secara dasar terbagi dalam dua komponen yakni sanad dan matan. Dalam mengenalisis data sanad dan matan, data-data yang sudah terkumpul dan tersusun tersebut, kemudian dianalisis dan atau di interpretasikan hingga diperoleh pengertian data yang jelas. 19

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan Rija>l al-H}adi>th dan al-Jarh} wa al-Ta’di>l serta mencermati silsilah guru murid dan proses penerimaan h}adi>th tersebut (Tah}ammul wa al-Ada>’)20 sedangkan dalam kaitanya dengan penelitian matan menggunakan analisis isi (conten analysis). Validitas matan h}adi>th diuji pada tingkat kesesuaian h}adi>th dengan penegasan eksplisist al-Qura>n, logika atau akal sehat, fakta sejarah informasi h}adi>th-h}adi>th lain yang

19 Winarni Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito. 1992), 139.


(21)

berkualitas s}ah}i>h} serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.21

Dalam upaya penyelesaian h}adi>th yang tampak bertentangan tersebut penulis menggunakan beberapa metode penyelesain yang telah ada dalam ilmu mukhtalif al-h}adi>th, yakni yang baik berupa al-jam’u wa al-tawfiq (menggabungkan dan mengkompromikan h}adi>th) atau tarji>h (memilih dan mengunggulkan kulaitas h}adi>th yang lebih baik) atau Nasakh – mansukh dan atau tawaquf (menghentikan atau mendiamkan).

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama adalah pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang landasan teori seputar mukhtalif al-h}adi>th. Dalam bab ini dijelaskan pengertian mukhtalif al-h}adi>th sekaligus teori ke-s}ahi>h an h}adi>th. Pada bab ini juga dibahas metode penyelesaian mukhtalif al-h}adi>th h}adi>th yang bertentangan khususnya tentang menganggap sial sesuatu.

Bab ketiga mengandung berupa tinjauan redaksional h}adi>th - h}adi>th yang terkait dengan perintah dan pelarangan mengaggap sial sesuatu. Didalamnya tercakup h}adi>th - h}adi>th dari beberapa kitab yang berhubungan dengan materi h}adi>th yang mengalami kontradiktif. Selain itu juga membahas mengenai biografi


(22)

singkat al-Nasa>’i>, biografi singkat Ah}mad bin Hanbal data h}adi>th, skema sanad, takhri>jh}adi>thdan I‟tibar.

Bab keempat berisi analisis kajian tentang menganggap sial sesuatu dalam h}adi>th Nabi yang meliputi klasifikasi h}adi>th - h}adi>th tentang himbauan tentang menggap sial sesuatu dan h}adi>th pelarangan menggap sial sesuatu berikut validitas dan kualitasnya, solusi yang digunakan dalam menyelesaikan h}adi>th -h}adi>th kontradiksi tentang menggap sial sesuatu.

Bab kelima berisi tentang kesimpulan yakni simpulan dari pembahasan pada penelitian ini, selain itu juga berisi kritik dan saran. Kritik dimaksudkan untuk pengamalan h}adi>th Nabi, dan saran dimaksudkan untuk perkembangan dari keilmuan h}adi>th itu sendiri.


(23)

I. Outline BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah C. Rumusan Masalah

D. Tujuan Penelitian E. Kegunaan Penelitian F. Kajian Pustaka G. Metode Penelitian H. Sistematika Pembahasan I. Outline

BAB II

TEORI KESAHIHAN H}ADI>>TH DAN MUKHTALIF AL-H}ADI>TH DAN SEPUTAR T}IYARAH

A. Teori Ke-S}ahi>h-an H}adi>th B. Mukhtalif al-H}adi>th C. Pengertian T}iyarah BAB III

TINJAUAN REDAKSIONAL H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH A. Biografi Singkat Imam Al-Nasa>’i>>

B. Biografi Singkat Ah}mad Ibn Hanbal

C. Data H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah Riwayat al-Nasa>’i>> D. I‟tibar H}adi>th

E. Data H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah Riwayat Ah}mad Ibn Hanbal F. I‟tibar H}adi>th

BAB IV

ANALISIS H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH

A. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Thiyarah 1. Penelitian Sanad H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah 2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah

B. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah 1. Penelitian Sanad H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah C. Penyelesaian H}adi>th Yang Tampak Bertentangan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran


(24)

BAB II

TEORI

KES{AH{I>H{AN

H}ADI>TH

, MUKHTALIF AL-

H}ADI>TH

DAN

T}IYARAH

A. Teori Ke-S}ah}i>h-an H}adi>th

H}adi>th s}ah}i>h menurut ahli h}adi>th, adalah h}adi>th yang sanad-nya bersambung, dikutip oleh orang yang adil, sempurna ingatanya, tidak ber-‘illat dan tidak janggal.1 Kes}ah}i>han h}adi>th merupakan hal yang harus dipenuhi dalam suatu pengamalan h}adi>th, Kes}ah}i>han h}adi>th di sini tidak hanya mengacu pada segi sanadnya namun juga redaksi dari h}adi>th tersebut. Ulama h}adi>th baik itu kontemporer maupun salaf telah memberikan kriteria khusus mengenai syarat adanya Kes}ah}i>han sebuah h}adi>th.

Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para muh}addithi>}n maka dapat disimpulkan, bahwa suatu h}adi>th dapat dinilai s}ah}i>h apabila telah memenuhi lima syarat, yakni sanadnya bersambung, perawinya „adil, d{a>bit{, tidak mengandung „illat dan tidak janggal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa h}adi>th s}ah}i>h adalah h}adi>th yang terpenuhi unsur-unsur Ke-s}ah}i>h-an baik itu dalam segi sanad maupun matan, karena dimungkinkan sanad-nya s}ah}i>h tetapi matan-nya tidak, atau sebaliknya.

Adapun kreteria Ke-s}ah}i>h-an h}adi>th Nabi terbagi dalam dua pembahasan, yaitu kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanad h}adi>th dan Ke-s}ah}i>h-an matan h}adi>th. Jadi,

1 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadist, cet III. (Bandung: PT al-Ma‟arif, 1981), 95.


(25)

sebuah h}adi>th dikatakan s}ah}i>h apabila kualitas sanad dan matan-nya sama-sama bernilai s}ah}i>h.

1. Kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanadH}adi>th

Menurut bahasa, sanad adalah sesuatu yang dijadikan sandaran. Sedangkan menurut Istilah, sanad adalah berita tentang jalan matan, dan ada juga yang mengatakan bahwa sanad adalah silsilah para perawi yang meriwayatkan h}adi>th dari sumber yang pertama.2

Para ulama h}adi>th telah sepakat tentang syarat-syarat Ke-s}ah}i>h-an sanadH}adi>th, sebagaimana berikut:

a. Ittis}a>l al-Sanad (Ketersambungan sanad)

Menurut as-Shiddiqy Ittisa>l al-Sanad yakni tiap-tiap perawi dalam sanad h}adi>th menerima riwayat h}adi>th dari periwayat terdekat sebelumnya yang terus bersambung sampai akhir sanad.3

Menurut Mah{mu>d T{a>h}h{a>n sanad-nya bersambung yang dimaksudkan disini adalah bahwa setiap rawi yang besangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara pertama. 4

Ittisa>l al-Sanad dimaksudkan bahwa kodifikator h}adi>th urutan pertama sampai pada perawi terakhir tidak mengalami keputusan sanad. Tiap perawi menerima h}adi>th dari sanad

2

Munzier Suprapta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafido Persada. 2002), 45.

3

Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 322-337.

4Mah}mu>d al-T}ahh}}an, Taisi>r Must}alah al-H}adi>th

(Surabaya: Toko Kitab Hidayah. 1985), 34.


(26)

sebelumnya keadaan saling menerima ini sampai akhir sanad. Sehingga dengan kata lain periwayat Mukharrij sampai perawi yang menerima h}adi>th Nabi secara langsung, saling memberi dan menerima dengan perawi terdekatnya.5

Suatu sanad dapat diketahui bersambung atau tidak dengan langkah-langkah yang dibuat muh}addithi}n sebagaimana berikut:

1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti 2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat

melalui kitab Rija>l al-Hadi>th dengan tujuan untuk mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat satu zaman dan hubungan guru murid dalam periwayatan h}adi>th.

3) Meneliti lafaz} yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad.6

Jadi suatu sanad h}adi>th dapat dinyatakan bersambung apabila:

1) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar thiqah („adil dan d{a>bit{)

2) Antara masing-masing rawi dan rawi terdekat dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan h}adi>th

5 Subh}i al-S}a>lih, Ulu>m al-Hadi>th Wa Must}alahuhu,

(Bairut: al-‘Ilmu li al-Malaym, 1997), 145.

6

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 128.


(27)

secara sah menurut ketentuan al-tah}{ammul wa al-ada>’ al -hadi>}th

Para ulama juga menetapkan dasar-dasar terhadap rawi yang tertolak riwayatnya, antara lain:

1) Orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW

2) Orang yang berdusta dalam bicaranya meskipun hanya sekali dan tidak atas nama Rasulullah SAW

3) Ahli bid‟ah yang selalu mengikuti hawa nafsunya

4) Zindiq, fasik, selalu lupa dan tidak mengerti apa yang dibicarakan.7

b. Ada>lat al-Ra>wi> (Rawinya bersifat „a>dil)

Kata adil dalam kamus bahasa Indonesia berarti tidak berat sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya,tidak sewenang-wenang. 8 Menurut al-Ra>zi>. „a>dil adalah tenaga jiwa yang selalu mendorong untuk selalu takwa, menjahui dosa-dosa besar, menjahui untuk melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan (Muru’ah) seperti makan di jalan umum, buang air kecil tidak pada tempat yang ditentukan dan bersenda gurau yang berlebih-lebihan.9 Menururt al-Irshad

7

Musthafa al-Shiba‟i. Hadis Sebagai Sumber Hukum, Cet III (Bandung: CV. Diponegoro. 1990), 147-150.

8

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia cet ke 8 (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 16.


(28)

„adi>l adalah berpegang teguh pada pedoman dan adab-adab shara’.10

Sedangkan Menurut Ibn Sam`a>ni>, bisa dikatakan „a>dil seseorang jika memenuhi empat syarat sebagai berikut :

1) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat

2) Menjahui dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun

3) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat merendahkan citra diri, membawa kesia-siaan dan mengakibatkan penyesalan

4) Tidak mengikuti pendapat salah satu madzab yang bertentangan dengan shara’..11

Kaitanya dengan ilmu h}adi>th, Muh}addith>in berpendapat bahwa seluruh sahabat dinilai „a>dil berdasarkan al-Qur’a>n, h}adi>th dan Ijma’. Namun demikian setelah dilihat lebih lanjut, ternyata ke-„a>dil-an sahabat bersifat mayoritas dan ada beberapa sahabat yang tidak adil. Jadi, pada dasarnya para sahabat Nabi dinilai „a>dil kecuali apabila terbukti telah berprilaku yang menyalahi sifat „a>dil.

12

10

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadits (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 9.

11 Rahman, Ikhtis}ar Mus}t}alah..,95. 12


(29)

Jadi, sifat ke-„a>dil-an mencakup beberapa hal unsur penting diantaranya adalah:

1) Islam. Sehingga periwayatan orang kafir tidak diterima, sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya

2) Mukallaf. Karenanya periwayatan dari anak yang belum dewasa, menurut pendapat yang lebih s}ahi>h tidak dapat diterima, sebab ia belum terbebas dari kedustaan. Demikian pula periwayatan orang gila.

3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadian. 13

ke-„a>dil-an dalam periwayatan h}adi>th lebih umum dari pada ke-„a>dil-an dalam persaksian, di dalam persaksian, dikatakan „a>dil jika terdapat dari dua orang laki-laki yang merdeka. Sementara itu,dalam periwayatan hadith, cukup seorang perawi saja, baik laki-laki maupun perempuan, seorang budak ataupun merdeka. 14 c. D}a>bit}

D}a>bit} adalah perawi atau orang yang ingatanya kuat dalam artian bahwa apa yang diingatnya lebih banyak dari pada apa yang ia lupa. Dan kualitas kebenaranya lebih besar dari pada kesalahanya. Pembagian d}a>bit} ada dua yakni d}a>bit{ s{adri> dan d}a>bit{ al-kita>bi, d}abit{ s{adri> adalah jika seseorang memiliki ingatan yang kuat sejak menerima sampai menyampaikan h}adi>th kepada orang

13 Rahman, Ikhtis}ar Mus}t}alah.., 120. 14


(30)

lain dan ingatanya itu sanggup dikeluarkan kapanpun dan dimanapun ia kehendaki. Apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatanya maka ia disebut sebagai orang yang d}a>bital-kita>bi (memeliki hafalan catatan yang kuat).15

D}a>bit adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima h}adi>th, faham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikanya.16 Ke-d}a>bit-an seorang perawi dapat diketahui dengan kesaksian ulama, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-d}abita-nya dan hanya sekali mengalami kekeliruan. 17

Tingkat ke-d}abit-an yang dimiliki oleh para periwayat tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan ingatan dan kemampuan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi, perbedaan tesebut dapat dipetakan sebagai berikut:

1) d}a>bit, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang mampu menghafal dengan baik dan mampu menyampaikan dengan baik h}adi>th yang dihafalnya itu kepada orang lain.

15

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab …, 10.

16Muh}ammad Aj>jaj al-Kha>tib, Us>}ul al-H}adi>th,

(Beirut, Da>r al-Fikr, tth), 278.

17Al-S}a>lih, Ulu>m al-H}adi>th..


(31)

2) Tama>m al-d}a>bit}, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang hafal dengan sempurna, mampu untuk menyampaikan dan faham dengan baik h}adi>th yang dihafalnya itu. 18

Upaya untuk mendeteksi ke-d}a>bit-an rawi adalah dengan memperbandingkan h}adi>th-h}adi>th yang diriwayatkan dengan h}adi>th lain atau dengan al-Qur’a>n, yang dapat dilakukan dengan enam perbandingan h}adi>th yaitu:

1) Memeperbandingkan h}adi>th -h}adi>th yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Nabi, antara satu dengan yang lain 2) Memperbandingkan h}adi>th yang diriwayatkan oleh seorang

rawi pada masa yang berlainan

3) Memperbandingkan h}adi>th - h}adi>th yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru h}adi>th

4) Memperbandingkan suatu h}adi>th yang sedang diajarkan oleh seorang dengan h}adi>th semisal yang diajarkan gurunya 5) Memperbandingkan antara h}adi>th - h}adi>th yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau hafalan h}adi>th

6) Memperbandingkan h}adi>th-h}adi>th dengan ayat-ayat al-Qur’a>n.19

d. Terhindar dari Shudhu>dh

18

Musahadi Yuslem, Ulumul Hadis (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 363.

19Ali Musthafa Ya‟qub,


(32)

al-Sha>dh menurut bahasa adalah seseorang yang memisahkan diri dari jama‟ah. H}adi>th yang mengandung shudhu>dh oleh ulama disebut dengan h}adi>th sha>dh sedangkan lawan dari h}adi>thsha>dh disebut dengan h}adi>thmah{fu>z}.20

Menurut al-H}a>kim al-Naysa>bu>ri>. sha>dh berarti h}adi>th yang diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi orang-orang yang thiqah lainya tidak meriwayatkan h}adi>th tersebut.21 Sedangkan menurut Istilah h}adi>thsha>dh adalah H}adi>th yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbu>l yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi hafalanya. 22

Jadi untuk mengetahui ke-sha>dh-an suatu h}adi>th, harus mengumpulkan semua sanad h}adi>th yang memiliki kesamaan pokok masalah dalam matanya kemudian diperbandingkan pada mulanya mungkin semua sanad dan matan itu kelihatan s}ahi>htetapi setelah diadakan terdapat shudhu>dh.23

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa syarat sha>dh adalah penyendirian dan perlawanan. Syarat sha>dh ini bersifat komulatif. Jadi, selama tidak terkumpul padanya dua unsur

20

Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Jilid 2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), 228

21

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) 86

22

Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Jilid 2.., 228

23


(33)

tersebut, maka tidak dapat disebut sebagai h}adi>th sha>dh.24 Ulama h}adi>th telah sepakat bahwa penelitian tentang adanya sha>dh suatu h}adi>th sangat sulit diteliti karena terletak pada sanad yang tampak s}ahi>h dan baru dapat diketahui dengan penelitian yang lebih mendalam.

Sha>dh dalam h}adi>th tidak hanya terjadi dalam sanad saja tetapi ditemukan juga pada matan. Dalam menentukan sha>>dh tidaknya suatu h}adi>th, para ulama menggunakan cara mengumpulkan semua sanad dan matan h}adi>th yang mempunyai masalah yang sama. Secara sepintas h}adi>th sha>dh itu sahih karena rawinya orang-orang thiqah, tetapi setelah dikaji lebih dalam ternyata ada sesuatu yang menggugurkan ke-s}ahi>h-an s}ahi>h tersebut sehingga dalam mengetahui adanya ke-shudhu>dh-an pada suatu h}adi>th sangat sulit. Oleh karena itu, tidak setiap ulama mampu untuk melakukanya. Hanya orang-orang yang mumpuni dan biasa melakukan upaya penelitian h}adi>th saja yang dianggap mampu melakukan hal tersebut.

e. Tidak ada unsur ‘illah

H}adi>th yang ber‘illah oleh kalangan ulama h}adi>th dikenal dengan istilah mu`allal, ada juga sebagian mereka yang menamakan dengan istilah ma`’lu>l.25 suatu h}adi>th yang setelah diadakan penelitian, tampak adanya salah sangka dari rawinya, dengan

24Al-S}a>lih

, „Ulu>m al-H}adi>th.., 197.

25


(34)

mewas{alkan (menganggap bersambung suatu sanad) h}adi>th yang munqat{i` (terputus) atau memasukkan sebuah h}adi>th pada suatu h}adi>th yang lain yang semisal dengan itu. 26

Pada umumnya ‘illah yang sering ditemukan adalah pada : 1) Sanad yang tampak muttas}il (bersambung) dan marfu>` (bersandar kepada Nabi), tetapi kenyataannya mauqu>f (Bersandar kepada sahabat Nabi) walaupun sanad-nya dalam keadaan muttas}il. Contohnya adalah h}adi>th riwayat al-Bukhari :

و ءاسما رظت ت اف تحبصأ اذإو حابصلا رظت ت اف تيسمأ اذإ : لوقي

كتوم كتايح نمو كضرم كتحص نم ذخ

H}adi>th ini bersanad ‘ali ibn ‘abdillah , Muh}ammad ibn

‘abdur rah}man ‘abdul mundzir thufawiy, sulaiman

al-a’masi>, Mujahid dan Ibnu Umar . ini adalah h}adi>thmauqu>f sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasul yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasul memegang bahunya bersabda:

ليبس رباع وا بيرغ كنأك ايندلا ي نك

26


(35)

2) Sanad yang tampak muttas}il (bersambung) dan marfu>’ (bersandar kepada Nabi), tetapi kenyataanya mursal (bersandar kepada tabi’in, orang Islam generasi setelah sahabat Nabi dan sempat bertemu dengan sahabat Nabi) walaupun sanad-nya dalam keadaan muttas}il. Contohny adalah:

H}adi>th yang diriwayatakan oleh Malik dari Ibu Shihab dari

‘Ubaidillah ibn ‘Abdillah dari ‘abdullah ibn ‘Abbas. Kata Ibn Abbas:

يح ماصف ناضمر ي حتقلا ماع موي ةكم يإ جرخ ه لوسر نأ

غلب

سا لا رطفاف رطفا م ديدكلا

3) Dalam h}adi>th itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan h}adi>th yang lain.

4) Dalam sanad h}adi>th itu telah terjadi kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda. 27 contohnya adalah penyebutan sahabat ‘Abdullah bahwa yang diamaksud adalah ‘Abdullah ibn Umar bukan

‘Abdullah bin Mas’ud

27


(36)

Untuk mengetahui terdapat ‘illah tidaknya suatu h}adi>th, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu: pertama, mengumpulkan semua riwayat h}adi>th, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matannya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui di mana letak ‘illah-nya dalam h}adi>th tersebut. Kedua, membandingkan susunan rawi dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam keumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahlianya, bahwa h}adi>th tersebut mempunyai ‘illah dan ia menyebutkan letak ‘illah pada h}adi>th tersebut. 28

Maka untuk mengetahui keadaan sanad h}adi>th dan juga keadaan rawi suatu h}adi>th makan dalm ilmu h}adi>th ada ilmu khusus yang membahas yaitu rija>l al-hadi>th. Ilmu ini dimaksudkan dapat secara spesifik mengupas keberadaan rawi h}adi>th. Selain itu dalam ilmu ini juga dibahas tentang data-data para perawi yang terlibat dalam civitas periwayatan h}adi>th dan dengan ilmu ini juga dapat diketahui sikap ahli h}adi>th yang menjadi kritikus terhadap para perawi h}adi>th tersebut. 29

2. Kreteria ke-s}ah}i>h-}an matan

28

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, ed III (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 163.

29


(37)

Apabila sanad h}adi>th menjadi obyek penting ketika melakukan penelitian maka dengan demikian matan h}adi>th juga harus diteliti, karena keduanya adalah dua unsur penting yang saling berkaitan. Belum lagi ada beberapa redaksi matan h}adi>th yang menggunakan periwayatan semakna, sehingga sudah barang tentu matan h}adi>th juga harus mendapatkan perhatian untuk dikaji ulang.30

Hal yang perlu diperhatikan pada penelitian matan h}adi>th adalah mengetahui kualitas matan tersebut, ketentuan kualitas ini adalah dalam hal ke-s}ah}i>h-}an sanad h}adi>th atau minimal tidak berat ke-d}a`i>f-nya. 31

Menurut Ibn al-S}ala>h, ke-s}ah}i>h-}an matan h}adi>th tercapai ketika telah memenuhi dua kritera, antara lain:

a. Matan h}adi>th tersebut harus terhindar dari kejanggalan (sha>dh) b. Matan h}adi>th tersebut harus terhindar dari kecacatan (`illat)

Maka dalam penelitian suatu matan h}adi>th kedua hal tersebut harus menjadi acuan tujuan utama, namun dalam prakteknya para ulama h}adi>th tidak memberikan pasti dan baku mengenai langkah-langkah penelitian matan. Agar kritik matan tersebut dapat menntukan akan ke-s}ah}i>h-}an suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan h}adi>th, para ulama telah menentukan tolok ukur tersebut menjadi empat kategori, antara lain:

a. Tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n

b. Tidak bertentangan dengan h}adi>th yang kualitasnya lebih kuat

30

Ismail, Metodologi Penelitian…, 26.

31


(38)

c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah

d. Susunan pernyataanya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.32

Menurut Muh}ammad ‘Ajjaj al-Kha>tib ilmu ini merupakan ilmu yang membahas hal ihwal para rawi h}adi>th dari segi diterima atau ditolaknya periwayatanya.33

Terdapat beberapa kaidah dalam men-Jarh}} dan men-Ta’di>l-kan perawi diantaranya: 34

a.

حر ا يلع مدقم ليدعتلا

(penilaian ta`’di>l didahulukan atas penilaian

jarh}). Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji seorang rawi dan ada juga ulama h}adi>th yang mencelanya, jika terdapat kasus demikian maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut alasanya adalah sifat pujian itu adalah naluri dasar sedangkan sikap celaan itu itu merupalan sifat yang datang kemudian. Ulama yang memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’i>, namun pada umumya tidak semua ulama h}adi>th menggunakan kaidah ini.

b.

ليدعتلا يلع مدقم حر ا

(penilaian jarh{ didahulukan atas penilaian

ta`di>l). Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan terhadap seorang rawi, karena didasarkan asumsi

32

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2007), 128.

33

M. A>jjaj al-Kha>tib, Us}u>l al-H}adi>th : Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Nur Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),23.

34


(39)

bahwa pujian timbul karena persangkaan, baik dari pribadi kritikus h}adi>th, sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh perawi yang bersangkutan. Kaidah ini banyak didukung oleh ulama h}adi>th, fiqih dan usul fiqih.

c.

رسفما حر ا تبث اذإ اإ لد

ع

ملل مك اف لد

عما

و حر

ا

ا ضراعت اذإ

(apabila terjadi

pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini banyak dipakai oleh para ulama kritikus h}adi>th dengan syarat bahwa penjelasan tentang ketercelaan itu harus sesuai dengan upaya penelitian.

d.

ةقث

ل

حرج

لبقي اف افيعض ح

ا ر

ا ناك اذإ

(apabila kritikus yang

mengemukakan ketercelaan adalah golongan orang yang d{a`i>f maka kritikanya terhadap orang yang thiqah tidak diterima kaidah ini juga didukung oleh para ulama ahli kritik h}adi>th.

e.

نحورجا ي

ابشأا ةيشخ ةبث

ت

لا دعب

اا حر ا لبقي ا

(jarh{ tidak diterima,

kecuali setelah diteliti secara cermat dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara periwayat yag dikritik dengan periwayat lain, sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekiliruan. Kaidah ini juga banyak digunakan oleh para ulama ahli kritik h}adi>th.


(40)

f.

ب دت

ع

ي ا ةيوايند

ةوادع نع ئ

شا لا حر ا

(jarh{ yang dikemukakan oleh orang

yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawiaan tidak perlu diperhatikan hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif.

Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah al-jarh} wa al-ta`di>l namun keenam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam kitab ilmu h}adi>th. Yang terpenting adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.

3. Keh}ujjahanh}adi>ths}ah}i>h

Sesuai dengan ijma‟ para ulama h}adi>th dan ulama ushul fiqih, menyatakan bahwa h}adi>th yang telah memenuhi persyaratan h}adi>th s}ah}i>h wajib diamalkan sebagi hujjah atau dalil shara’. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak mengamalkanya. h}adi>ths}ahih} li ghayrih lebih tinggi derajatnya dari pada h}asan li dha>tih tetapi lebih rendah dari ada s}ah}ih} li dha>tih. Sekalipun demikian, ketiganya dapat dijadikan hujjah. 35

Dalam kaitanya dengan sanad h}adi>th para ulama h}adi>th berbeda pendapat dalam menilai tinggi rendahnya kualitas sanad, hal ini berkaitan dengan tingkat ke-d}a>bit}-an dan ke-`a>dil-an perawi h}adi>th tersebut. Dalam hal ini ulama membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:

35


(41)

a.

ديناسأا حص

أ

yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, menurut sebagian ulama h}adi>th, sanad yang paling s}ah}ih secara mutlak adalah sebagai berikut:

1) H}adi>th yang diriwayatkan oleh Ibn Shiha>b al-Zuhri> dari Sa>lim bin `Abd al lah bin`Umar dari Ibn `Umar

2) Sebagian ulama berpendapat, sanad yang paling s}ah}ih adalah periwayatan Sulayma>n al A`mashi> dari Ibra>hi>m al Nukha>’i> dari Alqamah bin Qays dari `Abd al lah bin Mas`u>d

3) Menurut al-Bukha>ri dan yang lain, sanad yang paling s}ah}ih adalah periwayatan Ima>m Ma>lik bin Anas dari Na>fi` budak (Mawla>) Ibn `Umar dari Ibn `Umar dan sanad inilah yang disebut sislsilah Al-dhahab (Rantai Emas).36

b.

ديناسأا نسحأ

yaitu rangkaian sanad dari yang tingkatanya di bawah

tingkat pertama diatas, seperti periwayatan sanad dari H}amma>d bin Salamah dari Tha>bit dari Anas.

c.

ديناسأا فعضأ

yaitu rangkaian sanad h}adi>th yang tingkatanya lebih

rendah dari tingkatan kedua. Seperti periwayatan Suhayl bin Abu> S{a>lih{ dari ayahnya dari Abu> Hurayrah.37

36

Ibid.,176.

37


(42)

B. Mukhtalif al-H}adi>th

Secara bahasa, mukhtalif berasal dari kata Ikhtila>f (berbeda) yang merupakan lawan dari ittifa>q (sesuai), maksudnya ialah h}adi>th - h}adi>th yang sampai pada seluruh umat Islam namun berbeda makna antara h}adi>th satu dengan yang lainya dalam bahasa lain h}adi>th yang saling bertentangan.38 Sedangkan menurut Istilah: Ilmu yang membahas h}adi>th - h}adi>th yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkromomikanya, di samping membahas h}adi>th yang sulit difahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.

Sehingga kesimpulanya, „Ilmu Mukhtalif al-H}adi>th merupakan ilmu yang memperbincangkan tentang bagaimana memahami dua h}adi>th yang secara lahir bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikanya. Di samping itu membahas tentang h}adi>th yang sulit dipahami dan dimengerti, kemudian mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.39 Sehingga, menurut banyak ulama „Ilmu Mukhtalif al-H}adi>th juga biasa disebut dengan ilmu Mushki>l al-H}adi>th, Ilmu Ta’wi>l al-H}adi>th, Ilmu Ikhtila>f al-H}adi>th ataupun Talfi>q al-H}adi>th semuanya memeliki pengertian yang sama.

Mukhtalif al-H}adi>th adalah dua h}adi>th maqbu>l yang secara lahir maknaya bertentangan satu sama lain, namun dapat dikompromikan muatan makna keduanya dengan cara yang wajar. Ilmu ini membahas mengenai h}adi>th - h}adi>th yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima.

38al-T}ah}h}}a>n, Taisi>r Must}alah} al-H}adi>th .., 46. 39Al-Kha>tib, Us}u>l al-H}adi>th…,


(43)

Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumanya dan lainya, yang biasa disebut dengan talfi>q al-h}adi>th.40

Al-Suyu>t}i> menyebutkan dalam Tadri>b al-ra>wi>, bahwa h}adi>th - h}adi>th mukhtalif adalah dua buah h}adi>th yang saling bertentangan pada makna z}ahir-nya, maka di antara keduanya itu dikompromikan atau di-tarji>h}-kansalah satunya. Sehingga ilmu ini biasa disebut dengan sebuah pengetahuan antara ilmu fiqih dan h}adi>th dan akan sampai kepada kesimpulan yang benar. 41

Terdapat beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan Mukhtalif al-H}adi>th. Diantaranya adalah:

1. Mushki>l al-H}adi>th adalah penggambaran yang mengandung kejanggalan karena adanya kesamaan-kesamaan. Jika diterapkan dalam konteks penalaran h}adi>th, maka penggambaran penuh dengan kejanggalan itu dapat disebabkan dan menyebabkan kontradiksi antar h}adi>th yang berlainan. Satu h}adi>th sepertinya menunjukkan obyek yang sama dengan yang ditunjuk oleh yang lain, namun penunjukkan keduanya berasal dari sisi yang berbeda sehingga muncul kontradiksi. 42

2. Ta’wi>l al-Ha{di>th, kata Ta’wi>l yang semakna atau bahkan lebih spesifik dari sekedar tafsir menunjukkan proses lanjutan dari Mukhtalif al-H}adi>th yang merupakan bagian dari solusi yang ditawarkan.43

40 Subh}i al-S}a>lih

, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis cet: IX (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013), 114.

41Abdurrohman bin Abi> Bakar al-Suyut}i>, Tadri>b al-Rawi> fi Sharh Taqri>b al-Nawawi>, juz

1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 310.

42 Ibnu Mandhur, Lisa>n al-Arab

, Jilid III (Kairo: Da>r al-H}adi>th, 2003),169.

43


(44)

3. Ta`a>rud{ al-Ah}a>di>th (Ta`a>rud{ al-‘Adillah). Merupakan terminologi yang banyak dipakai oleh kalangan fikih dan Ushul Fikih. Ia menjadi bagian dari kajian Ta`a>rud{ al-‘Adillah (Pertentangan antar dalil). Pengertian kebahasaan Ta`a>rud{ memiliki kesaman dengan Mushki>l.44

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pertentangan yang terjadi pada Mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa tidaklah mungkin suatu h}adit>h akan bertentangan karena h}adit>h - h}adit>h tersebut pastilah bersumber dari satu orang yakni Rasululah SAW. Perlu diingat juga bahwa yang dimaksud dengan h}adit>h yang tampak Mukhtalif itu adalah dua h}adit>h yang mempunyai derajat h}adit>h yang sama. Seperti h}adit>h yang sama-sama shahih, jika ada dua h}adit>h yang berbeda derajat dan berbeda yang satu d}a’i>f dan yang satu s}ahi>h maka kedua h}adit>h itu tidak perlu untuk dikompromikan atau dalam kata lain haruslah dipilih yang s}ahi>h.

Secara metodologis, penyelesaian pada h}adit>h Mukhtalif pada langkah pertama dilakukan al-jam`’uatau al-tawfi>q. Ibn H{ajar menegaskan bahwa, h}adit>h maqbu>l jika tidak ada h}adit>h lain yang maqbu>l yang bertentangan dengannya disebut al-muh}kam, tetapi apabila ada h}adit>h yang setara (maqbu>l) lain yang bertentangan dengannya, bila dikompromikan secara wajar maka h}adit>h tersebut dipandang h}adi>th Mukhtalif.45 Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data sejarah yang memastikan bahwa kedua h}adit>h itu tidak datang secara bersamaan, maka yang terakhir dipandang Na>sikh dan lainya dipandang mansu>kh. Jika

44

Ahmad Ibn Muhammad al-Dimyati, Hashi>yah al-Dimyat}i> ‘Ala> Sharh} Al-Waraqat,

(Semarang: Maktabah al-„Alawiyah, tt), 16.

45

Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Erlangga, 2010), 111.


(45)

langkah ini tidak dapat dilakukan (tidak ada data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan) maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah tarji>h}. Namun bila hal ini tidak dapat dilakukan maka h}adi>th-h}adi>th yang bertentangan tersebut akhirnya di tawwaqquf-kan.

Dengan demikian, penyelesaian ikhtila>f dilakukan secara bertahap bukan pilihan, yakni dengan metode al-jam`’, al-tawfi>q, al-ta’li>f atau al-talfi>q. Istilah-istilah ini secara terminology bermakna sama, jika tidak dapat dengan langkah pertama ini maka barulah secara bertahap dilakukan pendekatan Na>sikh, Tarji>h}, dan al-tawaqquf46

Kata Mukhtalif secara bahasa berarti berselisih atau bertentangan sedangkan dalam dunia ilmu h}adit>h istilah ini diperuntukkan dari adanya dua h}adit>h yang sama-sama s}ahi>h yang secara lahir bertentangan, namun pada substansinya tidak.47 Sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu mushki>l al-h}adi>th, ilmu ta’wi>l al-h}adi>th, dan ilmu tawfi>q al-h}adi>th. Ima>m al Nawawi> berkata dalam Taqri>b ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayat yang terpenting, yang harus diketahui oleh seluruh ulama dan berbagai golongan.48

Suatu h}adit>h tidak lepas dari penelitian dua unsur penting h}adit>h yakni sanad dan matan h}adit>h. Keduanya merupakan dua kompenen penting dalam khazanah penelitian h}adit>h. Sebab, tujuan akhir dari penelitian h}adit>h adalah untuk memperoleh validitas sebuah matan h}adit>h.

1. Sebab-sebab Mukhtalif al-h}adi>th

46

Ibid., 113

47Ahmad Umar Hasyim, Qawa>id Us}u>l al-H}adi>th

(Beirut: ‘ali>mul kutub, 1997), 203.

48Subh}i al-s}a>lih


(46)

Disebabkan banyak masalah baru muncul setelah Rasullah SAW wafat, sehingga mengharuskan para sahabat untuk berijtihad dalam menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqih, dan beberapa sebab yang :

a. Faktor internal H}adi>th (Al ‘A>mil al-Da>khil )

Ialah factor internal h}adi>th yang berkaitan dengan internal redaksi h}adi>th tersebut, biasanya karena terdapat `’illah di dalam h}adit>h tersebut yang nantinya kedudukan h}adit>h tersebut menjadi d}a`i>f lalu secara otomatis h}adit>h tersebut ditolak ketika berlawanan dengan h}adit>hs}ahi>h.

b. Faktor Eksternal H}adi>th (Al-‘A>mil al-Kha>ri>ji>)

Ialah faktor eksternal, yakni factor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi SAW, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini waktu dan tempat di mana Nabi Muhammad SAW menyampaikan h}adi>thnya.

c. Faktor Metodologi (Al-Bu>du>’ al-Manhaj)

Ialah faktor metodologi yang berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami h}adit>h tersebut, dan sebagian h}adit>h yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kotekstual yaitu dengan keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami h}adit>h, sehingga memunculkan h}adit>h - h}adit>h yang mukhtalif.


(47)

Factor yang berkaitan dengan ideologi suatu mazhab dalam memahami suatu h}adi>th, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.49 2. Penyelesaian h}adit>hmukhtalif

a. Metode al-Tawfi>q atau al-Jam`u

Al-jam’u` (bisa dikatakan al-Tawfi>q atau al-talfi>q), yakni kedua h}adit>h yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya.50 Metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan dua h}adit>h tersebut sama-sama berkualitas S}ahi>h, metode ini dinilai lebih baik ketimbang melakukan tarji>h} (mengunggulkan salah satu dari dua h}adit>h yang tampak bertentangan )

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika mengkompromikan h}adi>th:

1) Menguasai dan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan kajian kebahasaan, seperti memerhatikan Mujmal, Mubayyan, Mut}laq, Muqayyad, `’A>mm dan Kha>s}, Hakikat dan Majaz, dan lainnya.

2) Kontekstual, yakni sisi lain dari tekstual artinya memahami suatu teks berdasarkan keadaan dan situasi ketika h}adi>th itu ada.

49

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadit: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Idea Press, 2008), 87.

50

Al-Shafi‟i al-Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmni Taman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), 198-200.


(48)

3) Pemahaman korelatif 4) Menggunakan Ta’w>il. 51 b. Metode Na>sikh-Mansu>kh

Metode Na>sikh dapat dilakukan jika jalan tawfi>q tidak dapat dilakukan, itupun bila data sejarah kedua h}adi>th yang Ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas, tanpa diketahui taqaddum dan ta’akhkhur dari kedua h}adi>th tersebut, metode Na>sikh mustahildilakukan.

Na>sikh wa mansu>kh (petunjuk dalam h}adi>th yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” sedang h}adi>th yang lain sebagai “yang dihapus”)52

kata Na>sikh menurut Sha>fi`i> bermakna Iza>lah yang berarti penghapusan atau pembatalan.53 Dalam kerangka teori keilmuan, Na>sakh dipahami sebagai sebuah kenyataan adanya sejumlah h}adi>th Muktali>f bermuatan takli>f. h}adi>th yang berawal datang wuru>d dipandang tidak berlaku lagi karena ada h}adi>th lain yang datang kemudian dalam kasus yang sama dengan makna yang berlawanan dan tidak dapat ditawfi>qkan. Na>sakh itu sendiri sangat terikat dengan waktu awal dan akhir datang, Yang datang lebih awal disebut mansu>kh dan akhir datang disebut na>sikh atau Mah}mu>d. 54

Adanya Na>sakh dapat diketahui dengan beberapa cara, diantaranya:

51

Al-Shafi‟i, al-Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmui Taman…, 198-200.

52

Ibid., 109

53

Ibid.., 109

54

Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), 130-131.


(49)

1) Adanya penegasan dari Rasulullah sendiri, seperti Na>sakh larangan ziarah kubur bagi wanita

2) Adanya keterangan berdasarkan pengalaman, seperti keterangan bahwa terakhir kali Rasulullah tidak berwudlu ketika hendak Sholat, setelah mengkonsusmsi makanan yang dimasak dengan api.

3) Berdasarkan fakta sejarah, seperti diketahui h}adi>th yang menjelaskan batalnya puasa karena berbekam

4) Berdasarkan Ijma’, seperti Na>sakh hukuman mati bagi orang yang meminum arak sebanyak empat kali. Na>sakh ini diketahui secara ijma’ oleh seluruh sahabat bahwa hukuman seperti itu sudah mansu>kh. Ini tidak bermakna mansu>kh dengan ijma’, tapi berdasarkan ijma’ terhadap fakta bahwa hukuman itu pada masa kahir tidak diterapkan oleh Rasulullah Saw.55

c. Metode tarji>h}

Tarji>h} pada lughah ialah tafd}i>l (mengutamakan) atau taqwiyah (menguatkan). Dalam pengetian sederhana, tarji>h} adalah suatu upaya komperatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada h}adi>th -h}adi>th yang tampak ikhtilaf.56 Tarji>h} sebagai salah satu langkah penyelesaian h}adi>th - h}adi>th mukhtalif tidak bersifat opsional, yakni dapat dilakukan kapan saja bila terdapat h}adi>th mukhtalif. Penerapan tarji>h} tanpa didahului oleh pendekatan tawfi>q mengandung

55Ibn Jama’ah, al-Minha>l al-Ra>wi

(Bairut: Da>r al-Fikr, 1406 H),63.

56Ibn S}ala>h


(50)

konsekuensi yang besar. Karena dengan memilih atau menguatkan h}adi>th tertentu akan mengakibatkan ada atau bahkan banyak h}adi>th lain yang terabaikan.57

Sha>fi`i> dalam analisis h}adi>th mukhtalifmenyimpulkan bahwa jika ada dua h}adi>th mukhtalif yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan tawfi>q maka yang diamalkan adalah h}adi>th yang lebih kuat, yang paling penting adalah persyaratan yang paling mendasar dalam tarji>h} adalah kenyataan bahwa kedua h}adi>th mukhtalif tidak dapat lagi dikompromikan.

Adapun jalan untuk men-tarji>h-}kan dua dalil yang tampak bertentangan itu dapat ditinjau dari berbagai segi

Pertama, segi sanad (I`tiba>r Sanad), misalnya:

1) H}adi>th yang rawinya banyak, me-ra>jih-kan h}adi>th yang rawinya sedikit

2) H}adi>th yang diriwayatkan oleh rawi besar, merajihkan h}adi>th yang diriwayatkan oleh rawi kecil.

3) H}adi>th yang rawinya lebih thiqah, merajihkan h}adi>th yang rawinya kurang thiqah

Kedua segi matan (I`tiba>r Matan), misalnya:

1) H}adi>th yang mempunyai arti hakikat, me-ra>jih-kan h}adi>th yang mempunyai arti majazi

57


(51)

2) H}adi>th yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi, me-ra>jih-kan h}adi>th yang hanya mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.

Ketiga, segi hasil penunjukkan (madlu>l), misalnya: madlu>l yang positif, me-ra>jih-kan yang negatif (didahulukan muthbi>t `’ala al na>fi’>).

Keempat, dari segi luar (al-‘`>Amil al-Kha>rijah), misalnya, dalil yang qawliyah merajihkan dalil fi`’liyah. 58

Adapun syarat-syarat tarji>h} itu ada dua macam, yaitu:

1) Adanya persamaan antara dua dalil tentang status ketetapan dalilnya. Oleh karena itu tidak terjadi Ta`’a>rud} antara al-Qur’a>n yang Qat}`‘i> al-thubu>t dengan h}adi>th ah}a>d yang z}anni> al-thubu>t, kecuali jika ada perbedaan dari segi dala>lah-nya.

2) Adanya persamaan dalam kekuatanya, jadi tidak ada ta`a>rud} antara h}adi>th mutawa>tir dengan h}adi>th ahad,karenadalam hal ini h}adi>th mutawa>tir-lah yang harus didahulukan.59 d. Metode Tawaqquf

Tawaqquf, (Menghentikan atau mendiamkan). Yakni, tidak mengamalkan h}adi>th tersebut sampai ditemukan adanya keterangan h}adi>th manakah yang bisa diamalkan. Namun sikap Tawaqquf menurut Abdul Mustaqim sebenarnya tidak menyelesaikan masalah

58

Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis.., 158.

59Al-Shaukani>, Naylu al-Aut}a>r, (Beirut: Da>r al-Jail,


(52)

melainkan membiarkan atau mendiamkan masalah tersebut tanpa adanya solusi. Padahal sangat mungkin diselesaikan melalui ta’wi>l. Oleh karena, teori tawaqquf harus dipahami sebagai sementara waktu saja, sehingga ditemukan ta’wi>l yang rasional mengenai suatu h}adi>th dengan ditemukanya suatu teori dari penelitian ilmu pengetahuan atau sains, maka tawaqquf tidak berlaku lagi.60

c. Pengertian T}iyarah

Setiap perilaku yang dinisbatkan kepada perbuatan yang dilakukan pada masa Jahiliyah sangatlah tercela. Namun, sangat disayangkan bahwa untuk saat ini masih banyak umat manusia dalam kesehariannya masih menganut kepercayaan-kepercayaan yang diyakini sebagaimana oleh Kaum Jahiliyah, salah satu diantara kepercayaan yang diyakini tersebut adalah hal yang bersifat tathayur atau dalam bahasa lain disebut t}iyarah.

T}iyarah adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, atau binatang lainya.61 T}iyarah berarti merasa bernasib sial karena sesuatu, diambil dari kata zajrut t}ayru (menerbangkan burung). 62 Ibn Qayyim berkata bahwa, dahulu kaum jahiliyah suka menerbangkan atau melepaskan burung, jika burung itu terbang ke kanan maka menamakannya dengan sa> ih, bila burung itu tebang ke arah kiri mereka menamakannya dengan istilah ba>rih kalau terbangnya ke depan dengan istilah na>tih dan manakala ke

60 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani Hadis ., 98-99. 61 Shaikh Muh}ammad al-Tamimi>

, Kitab Tauhid, Terj. Muhamad Yusuf Harun (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1418 H.) 14.

62


(53)

belakang, maka mereka menyebutnya dengan istilah qa>id. Sebagian bangsa Arab menganggap sial dengan ba>rih dan menganggap mujur dengan sa>ih dan ada lagi pendapat yang lain.63

T}iyarah tidak terbatas hanya pada terbangya burung saja, tetapi juga bisa termasuk di dalamnya yaitu percaya pada nama-nama, bilangan, angka, orang-orang cacat dan sejenisnya. Menurut Syekh al-Ustman: T}iyarah adalah mengggap sial atas apa yang dilihat didengar, atau yang diketahui. Seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Yang mendengar seperti mendengarkan burung gagak dan yang diketahui seperti mengetahui tanggal, angka atau bilangan. t}iyarah menafikan (meniadakan tauhid dari dua segi).

Pertama: orang yang ber-t}iyarah tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.

Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayul dan keragu-raguan.64

Ibn Qayyim menuturkan bahwa orang yang ber-t}iyarah itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya, banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan madarat kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan untuk berbuat kebajikan.65

63

Ibid.,

64Maktabah Syamilah, “al-Qaulu al--Mufi>d ‘ala> kita>bi al-Tauhi>d” (Syamilah, Ver.22) 65Maktabah Syamilah, “Mift>ah da>r al-Sa’adah” (Syamilah, Ver.22)


(54)

Diantara bentuk t}iyarah yang banyak di yakini oleh masyarakat adalah: 1. Ber-t}iyarah dengan melihat arah burung

Ber- t}iyarah dengan burung menjadi asal mula manusia berprilaku tiyarah, maksud dengan burung ini adalah jika burung setelah dilepaskan terbang ke kanan maka ia melanjutkan apa yang menjadi hajat atau aktifitasnya dan sebaliknya jika burung tersebut terbang ke sebalah kiri maka ia mengurungkan hajat atau aktifitasnya.

2. Ber- t}iyarah dengan hari tertentu

Seperti keyakinan orang orang bahwa malam jumat adalah malam yang keramat, yang pada hari itu banyak terjadi musibah. Di sebagian daerah orang tidak mau bekerja bekerja di hari sialnya, atau seseorang tidak akan mengerjakan hajatnya jika jatuh pada hari sial atau paling buruk dalam hidupnya.

3. Ber- t}iyarah dengan bulan tertentu

Sebagaimana keyakinan kaum jahiliyah bahwa Shafar sebagai bulan sial dan Syawal juga bulan sial sehingga, seseorang tidak akan mengadakan pernikahan pada hari atau bulan tersebut. Bantahan terhadap keyakinan ia disampaikan oleh Rasulullah dengan melakukan pernikahan dengan Aisyah pada bulan Syawal.

Menurut Ibn Rajab bahwa beranggapan sial dengan bulan Shafar termasuk tiyarah yang dilarang, termasuk juga menggap hari Rabu sebagai hari sial bagi sebagian orang dan dikalangan masyarakat Inonesia bahwa


(55)

bulan Suro atau bulan Muharram adalah pantang untuk melakukan pernikahan.

4. Ber- t}iyarah dengan angka tertentu

Sebagian masyarakat menggap bahwa angka tertentu mendatangkan hoki atau keberuntungan dan sekaligus angka tertentu menjadikan kesialan seperti orang berebut plat atau nomer hp yang ada angka delapan, karena mereka beranggapan bahwa angka delapan itu mendatangkan keberuntungan, seseorang menghindari angka tiga belas karena beranggapan bahwa angka iga belas itu mendatangkan kesialan tetentu.

5. Be- t}iyarah dengan ayat al-Qur‟an

Sebagian beranggapan bahwa jika seseorang membuka mushaf kemudian yang dilihat adalah ayat tentang azab maka hari mereka akan sial, Sebaliknya jika pertama mushaf yang pertama kali dibuka adalah tentang kenikmatan maka berarti hari mereka akan mengalami keberuntungan.

6. Ber- t}iyarah dengan burung hantu

Diantara bentuk tiyarah zaman jahiliyah adalah beranggap sial dengan burung malam atau burung hantu. Mereka berkeyakinan bahwa jika salah satu rumah mereka di datangi burung hantu itu menunjukkan bahwa salah satu dianatara keluarga mereka akan meninggal dunia. Sebagaimana perkataan Ibn `Arabi> bahwa : “mereka dahulu tuut beranggapan jika ada burung hinggap dirumah salah seorang dari mereka


(56)

ia berkata bahwa burung ini akan membawa kabar duka untukku atau kepada salah seorang penghuni rumah, demikian yang terjadi dimasyarakat Arab. Bisa jadi, setiap masyarakat memiiki anggapan demikian terhadap jenis burung yang lain.”

7. Ber- t}iyarah dengan gatal yang ada di tubuh

Kalau yang gatal ada di anggota tubuh sebelah kanan berarti itu pertanda baik, dan sebaliknya jika yang gatal itu anggata badan sebelah kiri itu dianggap bahwa seseorang akan mengalami kesialan

8. Ber- t}iyarah dengan suara gemuruh di telinga

9. Ber- t}iyarah dengan bertemu dengan orang buta atau cacat lainya 10.Ber- t}iyarah dengan tempat tertentu

Artinya bahwa jika terjadi suatu kejelekan pada suatu tempat semisal adalah kecelakaan mereka beranggapan bahwa tempat itu mengandung keangkeran tersendiri yang mengandung kesialan pada seseorang

11.Sebagian orang ber- t}iyarah dengan meminta uang pas pada pembeli pertama

Artinya bahwa jika seseorang pedagang meminta uang pas pada pembeli pertama itu berarti bahwa ia akan mengalami keberuntungan pada hari itu dengan banyaknya pembeli yang akan datang selanjutnya

12.Ber- t}iyarah dengan aktifitas tertentu

Artinya bahwa jika seseorang melakukan aktifitas tertentu maka ia akan mengalami keberuntungan, dan jika ia melakukan aktifitas tertentu


(57)

maka ia akan mengalami kesialan. Seperti menyapu rumah di malam hari akan mendatangan tidak berkah rizki dan apabila ia menyapu rumah pada siang hari maka ia mendatangkan keberkahan rizki.66

66


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemabahasan dalam bab-bab diatas dengan mengacu rumusan masalah pada Bab I maka diketahui beberapa kesimpulan dalam penilitian ini

1. Kualitas h}adi>th tentang kesialan ada di tiga hal dalam h}adi>th Nomor indeks 3568 pada kitab Sunan al-Nasa>’i,> Termasuk h}adi>th} S}ah}ih karena berdasarkan penelitian sanad dan matan, h}adi>th ini memenuhi persyaratan sebagai h}adi>th yang berstatus S}ah}ih.

2. Kualitas h}adi>th tentang berfirasat buruk adalah kesyirikan dalam h}adi>th Nomor indeks 4171 pada kitab Musnad Ah}mad bin Hanbal Termasuk h}adi>th} S}ah}ih karena berdasarkan penelitian sanad dan matan, h}adi>th ini memenuhi persyaratan sebagai h}adi>th yang berstatus S}ah}ih.

3. Penyelesaian dari kedua hadis tersebut yakni menggunakan metode al-jam’u wa al-tawfi>q, al-Jam’u adalah berusaha untuk menggabungkan dua h}adi>th yang nampak bertenangan dan dicari komprominya, dari h}adi>th tersebut maka h}adi>th al-Nasa>’i> dan H}anbali bisa di al-Jam’u sehingga hasilnya bahwa sebenarnya t}iyarah atau menggap sial sesuatu itu termasuk syirik namun Rasulullah berusaha memberi peringatan bahwa terdapat tiga hal yang sering terjadi kesialan pada manusia, yaitu pada istri, rumah dan kendaraan, maka manusia hendaklah berhati-hati dalam tiga hal tersebut, jadi manusia dalam kehidupanya


(2)

haruslah tetap bertawakal kepada Allah namun harus berhati-hati terhadap tiga hal tersebut.

B. Saran-saran

Penelitian dalam skripsi ini masih dalam kualitatif, dengan meneliti dari buku buku dalam bidang hadis yang berkaitan dengan penelitian inim diharapkan untuk penelitian selanjutnya bisa di teliti dalam ranah fakta dalam masyarakat khususny adat jawa yang masih memperhatikan tiga hal tersebut dalam upaya untuk kehidupan yang sejahtera.


(3)

Daftar Pustaka

Ah}mad Bin Hanbal, al-Imam al-Ha>fiz} Abi> ‘Abdillah. Musnad al-Imam al-Ha>fiz} Abi> Abdillah Ah}mad Bin H}anbal. Riyadh: Bait al-Afkar al

Dawaliyah,1998

Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.

ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

As-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-pokok pegangan Imam Mazhab. Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 1997.

al-‘Asqala>ni, Shiha>b al-Di>n Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar. Tahdzi>b al-Tahdzi>b, Juz 9. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.

Bustamin. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004. Farid, Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. al-Dimyati, Ahmad Ibn Muhammad. Hashi>yah Al-Dimyat}I> ‘Ala> Sharh} Al

-Waraqat. Semarang: Maktabah al-„Alawiyah, tth.

Djuned, Daniel. Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.

Dzulmani. Mengenal Kitab-Kitab Hadits. Yogyakarta: Insan Madani, 2008. Journal Hunaifa. Vol. 4. No. 4 Desember 2007.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offsat, 1990 Hajar, Ibn. Fath}ul Ba>ri>. Riyad}: bait al-Afkar al-Dauliyah.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab, ed. 1 cet. Ke-4. Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002

Hasyim, Ahmad Umar. Qawa>id Us}u>l al-H}adi>th. Beirut: ‘ali>mul kutub, 1997. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina,1996.

Al-Imam al-Ha>fiz Abi> al-H}usain Ibn al-Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim (Riyadh: Bait Afka>r al-Dawliyah,1998)

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press,1995.


(4)

Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1999

Itr, Nuruddin. Ulumul Hadis Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.

Juned, Daniel. Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga, 2010.

Jama’ah, Ibn. al-Minha>l al-Ra>wi. Bairut: Da>r al-Fikr, 1406 H.

Khalil, Munawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

al-Kha>tib, M. A>jjaj. Us}u>l al-H}adi>th : Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Nur Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

al-Kha>tib, Muh}ammad Aj>jaj. Us>ul al-Hadi>th,Beirut, Da>r al-Fikr, tth. Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2007

Maktabah Shamilah, “Manhajul Imam Syafi’I fi Istbatil aqidah” (Syamilah,

Ver.22).

al-Mizzi>, al Jamaluddin Abi> al-Hajjaj Yu>suf. Tahdzi>b al-Kamal fi asma>’ al-Rija>l, Juz 1. Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.

Mandhur, Ibnu. Lisa>n al-‘Arab, Jilid III. Kairo: Da>r al-H}adi>th, 2003.

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’ani al-Hadith: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Idea Press, 2008.

al-Munawar, Untung Ranuwijaya Said Husain. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

al-Nasa>’I, Abi> Abdi al-Roh}man Ah}mad bin Shu’aib bin ‘Ali al- Shahir >. Sunan al- Nasa>’i>. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 303 H.

Nurhidayati, Salamah. Kritik Teks Hadis.Yogyakarta: Teras, 2009.

Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia cet ke-8. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mustalah al-Hadist, cet III. Bandung: PT al-Ma‟arif, 1981.

Rah}ma>n, Abu> Abdur. Tuhfatul ahwadi>. Kairo: al-Quds, 2013.

Ridwan, Muhtadi. Studi Kitab-Kitab Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2012. al-S}a>lih, Subh}i.‘Ulu>m al-Hadi>th Wa Must}alahuhu,Bairut: al-‘Ilmu li al-Malaym,


(5)

al-S}a>lih, Subh}i. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis cet: IX. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013.

Al-Shafi‟i. Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmni Taman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012

al-Shiba‟I, Musthafa. Hadis Sebagai Sumber Hukum, Cet III. Bandung: CV.

Diponegoro. 1990

Al--Shaukani>. Naylu al-Aut}a>r. Beirut: Da>r al-Jail, 1973.

Syihabuddin, Miftah Faridl dan Agus. Alquran Sumber Islam Yang Pertama. Bandung: Pustaka, 1989.

Suprapta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafido Persada. 2002 Surahmat, Winarni. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. 1992.

Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi.Yogyakarta: Teras, 2008.

Suryadi. Metodologi Ilmu Rijal Hadith. Yogyakarta: Madani Pustaka, 2003 al-Suyut}i>, Abdurrohman bin Abi> Bakar. Tadri>b Rawi> fi Sharh Taqri>b

al-Nawawi>, juz 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992

al-Suyut}i>, Al-Ha>fiz} Jala>l al-Di>n. Sunan al-Nasa>’i> bi sharh}I al-H}a>fiz Jala>l al-Di>n, (: Maktabah al-Mat}bu>’a>t, Tth.

al-T}ahh}}an, Mah}mu>d, Taisi>r Must}alah al-H}adi>th. Surabaya: Toko Kitab Hidayah, 1985.

al-Tah}ha>n, Mah}mu>d. Taysir Mustalah al-H}adi>th. Bairut: Da>r al-Qur’a>n al -Kari>m, 1979.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010

al-Tamimi>, Shaikh Muh}ammad. Kitab Tauhid, Terj. Muhamad Yusuf Harun. Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1418 H.

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, ed III. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013.

Yanggo, Huzaenah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakata: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Ya‟qub, Ali Musthafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Yuslem, Musahadi. Ulumul Hadis. Semarang: Aneka Ilmu, 2000. Winarno. Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994.


(6)

al-Zahrabi>, Muhammad ibn Mat}ar. Tadin al sunnah al-nabawiyah. Madinah Munawarah : Da>r al-hud}ari, 1998.

Zein, M. Ma‟shum. Ulumul Hadits dan Musthalah Hadist. Jakarta: Depertemen

Agama RI, 2007.

Zuhri, Mu. Hadis nabi, Telaah Historis dan metodologis.Yogyakarta: PT. Tria Wacana, 2003.

Wensick, A.J. Mu’jam al-Mufahras li alfaz} al-H}adith al-Nabawi, Jilid 3. Leiden: E.J. Brill, 1967.

Abdurrahman Mubarak, “Majalah as-Syariah” (diakses Selasa, 10 Mei 2016, 09.10)