Pemimpin yang tidak kredibel: kajian ma'ani al-hadith dalam kitab Musnad Ahmad no indeks 14441.

(1)

(Kajian

Ma‘a>ni al

-Hadi>th dalam Kitab Musnad Ah}mad

No. Indeks 14441)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

AFIFATUN NUR NIM: E03213005

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Afifatun Nur, 2017. PEMIMPIN YANG TIDAK KREDIBEL (Kajian Ma’a>ni

al-hadi>>th dalam Kitab Musnad ah}mad no. indeks 14441)

Seorang pemimpin adalah tampuk kekuasaan yang memerintah dan memutuskan segala perkara yang ada dalam wilayahnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila belakangan ini banyak diantara mereka baik secara individu maupun golongan saling merebut tahta tersebut dengan menggunakan cara-cara yang dilarang misalnya untuk bisa mendapatkan sebuah jabatan tersebut tidak sedikit dari mereka yang melaukukan tindakan tidak demokratis seperti halnya melakukan praktik Money politc saat menjelang pemilu sehingga kemudian ketika kekuasaan telah benar-benar berada dalam genggamannya juga banyak diantara mereka yang tidak dapat menunaikan amanah besarnya tersebut. Hal ini juga bisa dilatar belakangi oleh rakyat yang kurang berhati-hati dalam menentukan dan memilih seorang pemimpin yang kebanyakan dari mereka tidak meperhatikan integritas serta kemampuannya. Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab permasalahan mengenai kualitas dan ke-hujjah-an hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad Ah}mad (no. indeks 14441). Penelitian ini juga membahas tentang pemaknaan hadis tersebut dengan Ilmu Ma’a>ni al-H{adi>th serta aplikasi dari hadis tersebut terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Musnad Ah{mad dan dibantu dengan kitab standar lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhri>j dan menerapkan kajian keilmuan Ma‘a>ni al-H{adi>th guna memperoleh pemahaman hadis tersebut. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu kualitas hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel adalah s}ah}i>h} dan termasuk kategori maqbu>l

ma‘mu>lun bih. Setelah meode Ma’a>ni al-H{adi>th diterapkan, menghasilkan makna universal bahwa yang dimaksud dengan pemimpin yang tidak kredibel ialah seorang pemimpin yang dalam kepemimpinannya mereka tidak mengikuti jejak Rasul sehingga Nabi memberi petunjuk kepada ummatnya untuk selalu berhati-hati dalam menentukan dan memilih seorang pemimpin.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...i

ABSTRAK ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN SKRIPSI ...iv

PERNYATAAN KEASLIAN ...v

MOTTO ...vi

PERSEMBAHAN ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...x

PEDOMAN TRANSLITERASI ...xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Kegunaan Penelitian ...10

F. Penegasan Judul ...10

G. Telaah Pustaka ...11

H. Metode Penelitian ...13


(8)

BAB II : METODE KRITIK HADIS, ILMU MA‘A<NI< AL H{ADI<TH SERTA TINJAUAN UMUM KEPEMIMPINAN

A. Kaidah Kes}ah}i>h}an Hadis ... 18

1. Kaidah Otentisitas Hadis ... 19

2. Kaidah Validitas Hadis ... 29

3. kaidah Kehujjahan Hadis ... 32

B. Ilmu Ma‘a>ni> al-H{adi>th ... 35

1. Pendekatan Historis ... 36

2. Pendekatan Hermeneutik ... 37

C. Tinjauan Umum Kepemimpinan ... 41

1. Pengertian Kepemimpinan ... 41

2. Kriteria Seorang Pemimpin dalam Islam ... 53

BAB III : KITAB MUSNAD AH{MAD DAN HADIS TENTANG PEMIMPIN YANG TIDAK KREDIBEL A. Biografi Ah}mad bin H{anbal ... 56

B. Karakteristik Kitab Musnad Ah}mad ... 61

C. Pemikiran dan Kritik Terhadap Musnad Ah}mad ... 67

D. Hadis Tentang Pemimpin yang tidak Kredibel ... 67

1. Hadis dan Terjemah ... 67

2. Takhrij Hadis ... 68


(9)

BAB IV : ANALISIS HADIS TENTANG PEMIMPIN YANG TIDAK KREDIBEL

A. Kualitas dan Keh}ujjahan Hadis tentang Pemimpin yang tidak

Kredibel ...76

1. Analisis sanad hadis ...76

2. Analisis matan hadis ...82

B. Pemaknaan Hadis tentang Pemimpin Yang Tidak Kredibel dengan Pendekatan Hermeneutik ...85

1. Kajian Linguistik...86

2. Kajian Sosio-Historis ...89

3. Kajian Konfirmatif ...93

4. Kajian Tematik-Komprehensif ...96

C. Aplikasi Hadis Tentang Pemimpin Yang Tidak Kredibel Terhadap Kehidupan Masyarakat ...98

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP


(10)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, selalu terdorong untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok,1 dengan mengaktualisasikan dirinya untuk menemukan jati diri atau identitas masing-masing. Dalam proses ini, setiap orang membutuhkan bantuan dan partisipasi orang lain. Hal ini bukan untuk menjadi sama seperti orang lain, tetapi justru untuk menjadi pribadi yang berbeda dari yang lain.

Setiap orang apabila dibandingkan antara satu dengan yang lain, akan terlihat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap orang memiliki keinginan, kehendak, kemauan, pikiran, pendapat, kebutuhan, sifat dan tingkah laku yang berbeda-beda. Dalam kondisi bervariasi yang bersifat kodrati ini, manusia dalam mewujudkan kehidupan bersama perlu saling mengenal dan saling menghargai, dan akhirnya perlu saling menolong.2

Namun, diantara perbedaan tersebut terdapat kesamaan yang menjadi motivasi untuk membentuk suatu kelompok atau organisasi. Organisasi ini dibentuk untuk meningkatkan efektifitas dalam memanfaatkan kesamaannya itu sehingga mencapai tujuan bersama. Demi efisiensi kerja dalam upaya mencapai

1

Al-Qur’a>n (49): 13. 2

Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 8.


(11)

2

tujuan dan mempertahankan hidup bersama, diperlukan bentuk kerja kooperatif yang perlu diatur dan dipimpin.3

Oleh karena itu, diperlukan seorang pemimpin dalam kelompok tersebut. Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia dibebani tugas untuk memakmurkan bumi.4 Tugas yang disandangnya ini menempatkan setiap manusia sebagai pemimpin (khali>fah). Setiap orang harus memimpin dimulai dari dirinya sendiri, dengan berbuat amal kebajikan bagi dirinya sendiri, orang lain (masyarakat dan lingkungan sekitarnya, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa) agar mencapai tujuan hidupnya berupa keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. Setiap manusia harus mengendalikan dirinya baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun sebagai makhluk Allah yang memikul kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas segala tingkah laku dan perbuatannya selama hidup di muka bumi. Dalam masalah kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW.menyatakan:

Ketahuilah, bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pimpinannya itu. Maka imam adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Seorang lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri (wanita) adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadapnya. Sedangkan seorang hamba (budak) adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan bertanggung jawab terhadapnya. Ketahuilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap pimpinannya.5

3

Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 2.

4

Al-Qur’a>n (2): 30.

5Muhammad bin Isma‘il Abu ‘Abdullah al

-Bukhari al-Ja‘fa, Sahi>h al-Bukha>ri>, jilid V (Beirut: Da>r Ibnu Kasi>r, 1987), 1988.


(12)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam posisi dan status apapun juga, manusia sebagai pribadi maupun sebagai umat, tanggung jawab sebagai pemimpin tidak dapat dielakkan. Apabila tanggung jawab ini ditunaikan, maka akan menjadikannya sebagai orang-orang yang beruntung. Namun sebaliknya, apabila diabaikan, maka ia termasuk orang-orang yang merugi.6

Tanggung jawab ini akan semakin berat, apabila seseorang menjadi pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggung jawab ini menjadi berat, karena hakikat kepemimpinannya memiliki dua dimensi.

Pertama, adalah pertanggungjawaban yang harus disampaikan pada orang-orang yang dipimpinnya. Kedua, adalah pertanggungjawabannya kepada Allah tentang kesungguhan dan kemampuannya dalam mengikuti serta menjalankan petunjuk Allah dan keteladanan Nabi Muhammad dalam memimpin. Dua dimensi ini akan berpadu menjadi satu kesatuan, apabila tanggung jawab yang kedua tersebut telah ditunaikan secara baik semata-mata karena Allah SWT. Maka secara pasti dimensi pertama juga terpenuhi. Dengan demikian jelas bahwa kepemimpinan berkenaan dengan hubungan vertikal dengan Tuhan (h}abl min Alla>h) dan hubungan secara horizontal dengan sesamanya (h}abl min al-na>s).

Sosok pemimpin yang bisa memenuhi dua dimensi inilah yang diharapkan ada pada setiap pemimpin pada wilayah terkecil hingga terbesar. Namun kenyataan yang terjadi, tidak semua pemimpin mampu memenuhinya. Ada pemimpin yang baik, pemimpin buruk bahkan ada pula pemimpin abnormal.7

6

Nawawi, Kepemimpinan Menurut... 10. 7


(13)

4

Kepemimpinan dalam dunia Islam dikenal dalam beberapa istilah, khila>fah,

ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk dan ri‘ a>sah. Di antara para ulama, ada yang menyamakan istilah-istilah ini dan ada pula yang membedakannya.8

Dalam menyebut pemimpin dalam pemerintahan (kepala negara), istilah khali>fah, ima>m

dan ami>r yang sering digunakan.9

Masalah kepemimpinan dalam Islam merupakan masalah penting dan menarik. Perselisihan terbesar di kalangan umat Islam yang terjadi pasca wafatnya Nabi SAW adalah dilatarbelakangi oleh masalah ini. Perselisihan masalah kepemimpinan ini telah mengakibatkan pertumpahan darah dalam Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masing-masing pihak yang berseteru saat itu mengaku bahwasanya orang pilihan dari golongannyalah yang berhak menduduki kursi kepemimpinan umat Islam.

Seorang pemimpin adalah tampuk kekuasaan. Pemimpinlah yang memerintah dan memutuskan segala perkara yang berada dalam wilayahnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila di antara mereka baik secara individu maupun golongan saling berebut tahta tersebut. Namun tidak semua dari mereka mempunyai niat baik dalam hal ini. Mereka yang berniat busuk hanya ingin memerintah sesuka hati demi memuaskan hawa nafsu mereka yang tidak pernah habis. Akibatnya, rakyat yang dipimpinlah menjadi korban tak berdosa.

Salah satu hadis sahih riwayat Ah}mad Ibn H{anbal yang membicarakan tentang kepemimpinan dalam pemerintahan dan menyebut pemimpin dengan

8

Al-Mawardi>, Al-Ahka>m Al-Sultha>niyyah (Beirut: Dar al-Fikr, [t.t]), 3; M. Dawam Rahardjo,

Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 346.

9


(14)

istilah Ami>r (Ima>rah), dalam redaksi tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah melakukan permohonan kepada Allah agar supaya ummatnya terlindungi dari para pemimpin yang bodoh. Redaksi hadis ini adalah sebagai berikut:

َح

ّد َ ث

َنا

َع ْب

ُد

ّرلا

ّز

ِقا

َأ

ْخ َ ب

َر َنا

َم ْع

َم ٌر

َع

ِن

ْبا

ِن

ُخ َ ث

ْي ٍم

َع

ْن

َع ْب

ِد

ّرلا

ْْ

ِن

ْب

ِن

اس

ِب

ٍط

َع

ْن

َج

ِبا

ِر

ْب ِن

َع ْب

ِد

ِها

َأ

ّن

ّنلا

ِّي

َص ّل

ى

ُها

َع َل

ْي ِه

َو

َس ّل

َم

َق

َلا

ِل

َك

ْع

ِب

ْب

ِن

ُع

ْج َر

َة

:

َأ َع

َذا

َك

ُها

ِم

ْن

ِإ َم

َرا ِة

ُسلا

َف َه

ِءا

،

َق

َلا

:

َو َما

ِإ َم

َرا ُة

ُسلا

َف َه

ِءا

؟

َق

َلا

:

ُأ َم َرا

ٌء

َي ُك

ْو ُ ن ْ

و

َن

َ ب ْع

ِد

ْي

ََ َ ي

ْق َت

ُد ْو

َن

َِِ ْد

ِي

ْي

َو ََ

َي ْس

َ ت ُ ن ْو

َن

ِب

ُس ّن

ِِْ

َف َم

ْن

َص

ّد َ ق

ُه ْم

ِب

َك

ِِ

ِِ

ْم

َو َأ َع

َ نا

ُه ْم

َع َل

ى

ُظ ْل

ِم

ِه

ْم

َف ُأ

ِئلو

َك

َل ْي

ُس ْو

ا

ِم

يِ

َو َل

ْس

ُت

ِم

ْ ن ُه

ْم

َو ََ

َي ِر

ُد ْوا

َع َل

ى

َح ْو

ِض

ْي

َو َم

ْن

ََْ

ُي َص

يد ْ ق

ُه ْم

ِب

َك

ِِ

ِِِ

ْم

َو ََْ

َي ِع

ْ ن ُه

ْم

َع َل

ى

ُظ ْل

ِم

ِه

ْم

َو َأ َنا

ِم

ْ ن ُه

ْم

َو َس

ََِ ُد

ْوا

َع َل

ّي

َح ْو

ِض

ْي،

َيا

َك ْع

َب

ْب

َن

ُع

ْج َر

َة

:

َا

ّصل

ْو ُم

ُج ّن

ٌة

َو

ّصلا

َد َق

ُة

ُت ْط

ِف

ُئ

َْْا

ِط ْي َئ

َة

َو

ّصلا

ََ

ُة

ُ ق ْر َب

ٌنا

َأ

ْو

َق

َلا

:

ُ ب ْر َ

ٌنا

َي

َكا

ْع

َب

ْب

َن

ُع

ْج َر

َة

ِإ ّنه

ََ

َي ْد

ُخ

ُل

َْْا ّن

َة

َْل

ٌم

َ ن َب

َت

ِم

ْن

ُس

ْح

ٍت

,

َا ّنل

ُرا

َأ ْو

ََ

ِب

ه

َي َكا

ْع

َب

ْب َن

ُع

ْج َز

َة َا

ّنل

ُسا

َغ

ِدا

َي

ِنا

َف

ُم ْب َت

ٌعا

َ ن ْف

َسه

َف

ُم ْع

ِت ُق َه

ا

َو َب

ِئا ٌع

َ ن ْف

َسه

َف ُم

ْو ِب ُق

َها

.

10

Menceritakan kepada kami ‘Abdurrazza>q menceritakan kepada kami Ma‘mar dari

Ibn Khuthaim dari ‘Abdurrahma>n Ibn Sa>bit} dari Ja>bir Ibn ‘Abdilla>h bahwa

Rasulullah SAW bersabda kepada Ka’ab Ibn Ujrah: mudah-mudahan Allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu). Ka‘ab Ibn ‘Ujrah bertanya: siapa yang dimaksud dengan pemimpin yang dungu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: mereka adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalanku. Mereka tidak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka ataupun mendukung kedzaliman mereka, maka orang itu tidak termasuk golonganku, karena aku tidaklah seperti itu, mereka juga tidak akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai Ka’ab, sesungguhnya puasa adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT (qurban) dalam riwayat lain Burha>n (dalil) wahai Ka’ab Ibn ‘Ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan dirinya. Golongan yang mejual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri.

Perrnyataan Nabi tentang pemimpin bodoh (ءاهفّسلا ةرامإ) tentu wajar jika ditanggapi dengan pertanyaan oleh sahabat: siapa yang dimaksud pemimpin bodoh oleh Nabi yang kemudian Nabi menjawab atas pertanyaan tersebut bahwa

10Ah}mad Ibn H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah}mad Ibn Hanbal, Juz 22 (Beirut: Mu‘assah al-Risa>lah,


(15)

6

yang dimaksud dengan pemimpin bodoh adalah pemimpin yang hidup sepeninggal Rasulullah yang di dalam kepemimpinannya mereka tidak mengikuti jejak Rasul, dengan kata lain bahwa seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin yang bodoh, jika suasana yang terbangun di masa kepemimpinannya bernuansa negatif, yaitu berupa kedustaan bahkan kedzaliman. Kondisi demikian tentunya dapat menimbulkan efek negatif dalam proses perjalanan roda kepemimpinannya yang dapat merugikan salah satu bahkan kedua belah pihak, yaitu ketertindasan yang biasanya terjadi pada kalangan rakyat yang dipimpin.

Makna atau maksud sesungguhnya yang ditemukan dari sabda Nabi ini, diharapkan dapat memberi pedoman dan arahan bagi kepemimpinan umat Islam untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahwa kemunduran umat Islam sejak Abad Pertengahan disebabkan oleh kemunduran dalam hal kepemimpinan akibat kesalahpahaman dalam memahami bagaimana sikap dan pribadi seorang pemimpin yang dimaksud oleh Nabi sebagai suri tauladan terbaik bagi umat Islam.11

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an sekaligus penjelas al-Qur’an12

yang dapat menjadi pegangan hidup umat manusia khususnya umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seorang Nabi tidak mungkin mengatakan sesuatu, yaitu memerintah ataupun melarang sesuatu tanpa ada tujuannya. Semua pernyataan beliau pasti mempunyai alasan dan tidak terlepas dari faktor situasi sosio-historis yang ada pada

11

Al-Qur’a>n (33): 21. 12

Mustafa al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri>‘ al-Islami, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1978), 379-381.


(16)

masyarakat masa Nabi. Dengan demikian, hadis tersebut harus diinterpretasi untuk memperoleh petunjuk Tuhan yang tersembunyi dalam sabda Nabi secara tepat. Oleh karena itu, berbagai pertanyaan berkenaan dengan hadis tentang pemimpin bodoh di atas harus ditemukan jawabannya, sehingga kesamaran yang dapat menyebabkan perselisihan karena kesalahpahaman dalam interpretasi teks agama di antara umat Islam menjadi jelas dan permasalahan dapat teratasi.

Permasalahan sebenarnya tidak berhenti sampai pemahaman matan hadis saja, namun akan berlanjut ketika normativitas hadis harus dihadapkan dengan realitas dan tuntutan historisitas perkembangan zaman. Masalah ini akan bertambah karena sebuah teks atau matan hadis bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah, vacum historis13

, melainkan dibalik sebuah teks atau matan sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makna sebuah hadis sehingga sesuai dengan tuntutan dan perkembangan humanitas kontemporer.

Apabila dihadapkan dengan kondisi kekinian, yaitu pada realitas kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana kontekstualisasi hadis tersebut yang sementara belakangan ini banyak pemimpin yang berkualitas pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus ulama, namun mereka semua tidak berpegang teguh terhadap petunjuk Rasul atau bahkan melakukan

13

Lukman S. Thahir, Memahami Matan Hadis Melalui Pendekatan Hermenetik, Hermeneia, Vol. 1/ No. 1, Januari-Juni 2002, 50.


(17)

8

tindakan bodoh yang dilarang oleh Rasul maka mereka layak disebut sebagai pemimpin bodoh.14

Misalnya tindakan-tindakan yang dilakukan secara tidak demokratis pada saat pemilihan umum (Pemilu) menjelang. Seperti praktek politik uang (Money politics) yang terjadi di Kelurahan Sempaja Selatan dalam pemilu legislatif pada tahun 2014. Masyarakat Kelurahan Sempaja Selatan menilai politik uang (Money politics) sebagai suatu hal yang wajar karena alasan ekonomis dan sebagian karena ketidaktahuan masyarakat itu sendiri.

Praktek politik uang (money politics) yang terjadi di Kelurahan Sempaja Selatan cukup terbuka, sehingga di tengah masyarakat menjadi hal yang umum dan tidak ada masyarakat yang mempersoalkannya, sebagian masyarakat menunggu adanya bagi-bagi uang sehingga terlihat menjadi wajar di saat pemilihan umum (pemilu) sedang berlangsung. Dalam penelitian dan observasi terlihat dari anggota salah satu team sukses partai anonim 1, membagi uang tidak jauh dari tempat pemungutan suara (TPS) di Kelurahan Sempaja Selatan.15

Upaya kontekstualisasi ini dilakukan untuk menghidupkan kembali ruh hadis dalam segala dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia, sehingga benar-benar menjadi rah}matan li al-'a>lami>n, bukan hanya sekedar goresan tinta di atas kumpulan kertas yang hanya memenuhi koleksi perpustakaan.

14

Islamislogic.wordpress.com/kumpulan hadis tentang pemimpin. Diakses pada tanggal 12 februari 2017 jam 10:23.

15

Dedi Irawan, Studi Tentang Politik Uang (Money Politik) dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014: Studi Kasus di Kelurahan Sempaja Selatan, eJournal Imu Pemerintahan, 2015, 1725.


(18)

B.Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diketahui identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Kualitas dan kehujjahan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel. 2. Pemaknaan ِءا َف َه ُسلا َرا ُة ِإ َم.

3. Aplikasi hadis dalam kehidupan masyarakat.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad Ahmad No 14441?

2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad Ahmad No 14441?

3. Bagaimana aplikasi hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad Ahmad No 14441 dalam kehidupan masyarakat?

D.Tujuan penelitian

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Untuk menjelaskan kualitas dan kehujjahan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad Ahmad No 14441.

2. Untuk menjelaskan bagaimana pemaknaan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad Ahmad No 14441.

3. Untuk menjelaskan aplikasi hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dalam kitab Musnad No 14441 dalam kehidupan masyarakat.


(19)

10

E.Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada realitas sosial, adapun kegunaannya antara lain:

1. Dari segi teoritis: untuk menambah wawasan, wacana dan khazanah ilmu pengetahuan keislaman pada umumnya, dan dalam bidang hadis pada khususnya.

2. Dari segi praktis: Penelitian ini adalah memberi pengertian kepada masyarakat Islam tentang bagaimana seharusnya ihwal seorang pemimpin dan yang dipimpin yang sesuai dengan ajaran Islam yang disampaikan melalui hadis Nabi.

F. Penegasan Judul

Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman, maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

Pemimpin: Sering disebut dengan penghulu, pemuka,

pelopor, Pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua dan sebagainya.

Kredibel: Dapat dipercaya (orang atau keterangan).16

Kitab Musnad Ah}mad: Ima>m Ah}mad, Juz 22 (Beirut: Mu’assah

al-Risa>lah, No indek 14441.

16


(20)

Ma’a>ni al-Hadi>th: Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan memahami hadis Nabi Muhammad SAW.17

G.Telaah Pustaka

Kajian pustaka merupakan uraian singkat mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang tema yang sejenis, sehingga diketahui secara jelas posisi dan kontribusi peneliti. Dalam menghasilkan penelitian yang komprehensif dan untuk memastikan tidak adanya pengulangan dalam penelitian maka sebelumnya harus dilakukan sebuah pra-penelitian terhadap objek penelitiannya. Setelah peneliti melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya ilmiah, peneliti menemukan beberapa karya diantaranya adalah sebagai berikut:

Skripsi dengan judul Hadis-hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkam salat: kajian ma’a>ni> al-Hadi>th. Skripsi ini disusun oleh Ummu Humairo’ Qurbany, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Dalam skripsi ini membahas bagaimana makna yang dikandung hadis. Dalam pembahasannya ditemukan bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam masyarakat. Serta hubungan antara kepemimpinan (Ima>mah) dengan salat.

17

Abdul Mutaqi , Ilmu Ma’ani al-Hadis Paradigma Interkonektif: Berbagai Teori dan Metode


(21)

12

Skripsi dengan judul Konsep Kepemimpinan Dalam Syi’ah: Telaah Kritis Atas Pemikiran Thabathabai. Skripsi ini disusun oleh Nurul Hikmah, mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 2008. Dalam skripsi ini membahas tentang konsep kepemimpinan dalam Syi’ah menurut pemikiran Thabathabai yaitu harus Ma’shum (bebas dari dosa dan kekeliruan) seperti halnya sifat yang di sandang oleh Rasulullah SAW. Serta menyebutkan contoh dari beberapa orang yang pantas menjadi seorang pemimpin sepenggalan Rasul.

Skripsi dengan judul Tipe Kepemimpinan Perspektif Primal Leadership. Skripsi ini disusun oleh Imam Mawardi, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2009. Dalam skripsi ini membahas bahwa dalam primal leadership kunci kesuksesan seorang pemimpin itu terletak pada kemampuan kecerdasan emosi seseorang, dan emosi ini akan selalu terjaga baik bila pemimpin-pemimpin mengerjakan dengan sepenuh hati, jujur, dan penuh rasa tanggung jawab. Dengan demikian pemimpin yang memaksimalkan manfaat primal leadership akan menggerakkan emosi pengikutnya ke arah yang benar.

Skripsi dengan judul Konsepsi Kepemimpinan dalam Sahih al-Bukhari :Kajian atas Sanad dan Matan Hadis. Skripsi ini disususn oleh Ihwanuddin, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2001. Dalam skripsi ini mengetengahkan pembahasan konsep kepemimpinan dari hadis-hadis tentang kepemimpinan yang terdapat dalam kitab


(22)

hadis. Ihwanuddin menyatakan bahwa hadis-hadis tersebut sahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan kandungan dalam matannya mengindikasikan bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya dalam hal kebajikan dan amar ma’ruf. Apabila terdapat hal yang tidak menyenangkan dalam kepemimpinannya, maka rakyat harus bersabar tanpa membangkang.

Skripsi dengan judul Hadis-hadis tentang Kepemimpinan dari Suku Quraisy : Studi Kritik Sanad dan Matan. Skripsi ini disusun oleh Hendrik Imran, mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2001. Dalam skripsi ini membahas validitas hadis berdasarkan sanad dan matannya, serta bagaimana makna yang dikandung hadis. Dalam pembahasannya ditemukan bahwa kepemimpinan dari suku Quraisy sama sekali tidak dimaksudkan sebagai syarat mutlak bagi jabatan pimpinan negara yang diterapkan oleh Nabi SAW. dan mengikat kepada umat secara permanen.

Adapun sejauh pengamatan peneliti, penelitian tentang pemimpin yang merupakan sebuah kajian ma‘ani al-hadis terhadap hadis yang bersangkutan belum ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diadakan dan tulisan inilah sebagai realisasinya.

H.Metode Penelitian

Sebuah penelitian ilmiah wajib adanya metode tertentu untuk menjelaskan objek yang menjadi kajian. Agar mendapatkan hasil yang tepat sesuai rumusan masalahnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi gerak dan batasan dalam


(23)

14

pembahasan ini agar tepat sasaran.18 Secara terperinci metode yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Model penelitian

Penelitian ini menggunakan kualitatif untuk mendapatkan data yang koprehensif tentang kedudukan, fungsi dan peranan seorang pemimpin yang tidak kredibel dalam pemaknaan hadis dan menggunakan metode reasech library (penelitian kepustakan) dan kajiannya disuguhkan secara deskriptif analitis.

2. Langkah-langkah penelitian

a. Takhri>j al-Hadi>th, yaitu meneliti keberadaan hadis dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabarah.

b. Kritik sanad hadis, yaitu meneliti para perawi dengan cara mengetahui sejarah hidup perawi yang terdapat dalam sebuah sanad, baik itu kehidupan sepak terjang, serta para guru dan muridnya.

c. Kritik matan hadis, yaitu metode yang digunakan untuk melakukan penelitian pada sebuah matan hadis.

d. Metode jarh dan ta‘di>l, yaitu untuk mengkritisi para perawi dalam sebuah sanad, sehingga dapat diketahui sifat dan perilaku masing-masing perawi hadis.

18


(24)

e. Melakukan ma’a>ni> al-Hadi>th, yaitu metode yang digunakan dalam rangka memahami maksud dan tujuan yang terkandung dalam teks sebuah hadis.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain:

a. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai, yaitu Kitab Musnad Ahmad karya Ima>m Ah}mad Ibn H{anbal.

b. Sumber data sekunder

1) Tahdi>b al-tahdi>b karya Ibn Hajar al-‘Asqalani>.

2) Tahdi>b Kama>l Fi> Asma>’i Rija>l karya Jama>luddi>n al-Hajja>j Yu>suf al-Mizzi>.

3) Ilmu Ma’a>ni> Hadith karya ‘Abdul Mustaqi>m.

4) Bulu>gh al-Ama>ni> Min Asra>r al-Fath al-Rabba>ni> karya Ahamd ‘Abdurrahma>n al-Banna>.

5) Kamus al-Munawwir karya Ahmad Warson al-Munawwir.

6) Ahka>m al-Sultha>niyah karya Ima>m al-Mawardi>

7) Pemimpin dan Kepemimpinan karya Kartini Kartono. 8) Kepemimpinan menurut islam karya Hadari Nawawi. 9) Metologi penelitian agama karya Dadang Kahmad. 4. Metode Anlisis Data

Dalam penelitian sanad digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-hadi>th, jarh wa al-ta‘di>l serta mencermati


(25)

16

silsilah guru-guru dan murid serta proses penerimaan hadis tersebut

(tahammul wa al-ada>’).

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis dengan penegasan Al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, infrormasi hadis-hadis lain yang bermutu shahih.

Kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya.19 Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik Library Research yaitu suatu riset kepustakaan.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang masing-masing menampakka titik berat yang berbeda-beda, namun dalam satu kesatuan berhungan sehingga tidak dapat dipisahkan.

Bab satu berisi pendahuluan yang mencakup tentang gambaran umum yang memuat pola dasar penulisan skripsi ini, meliputi: latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika pembahasan.

Bab dua merupakan landasan teori yang membahas tentang kaidah

kes}ahi>han hadis, ilmu ma’a>ni al-Hadi>th, serta tinjauan umum tentang

19


(26)

kepemimpinan. Bab ini merupakan landasan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.

Bab tiga merupakan data Kitab Musnad Ah}mad Ibn H{anbal dan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel, merupakan penyajian imam Mukharij dan kitabnya yang meliputi Biografi Ima>m Ah}mad Ibn Hanbal, karakteristik kitab Musnad Ahmad, pemikiran dan kritik terhadap kitab Musnad Ah}mad, data hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel, dilanjutkan dengan skema sanad, tabel periwayatan serta biografi seluruh perawi.

Sedangkan bab empat merupakan anlisis data yang menjadi tahapan setelah seluruh data terkumpul, terdiri dari kualitas hadis dan kehujjahan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel, didalamnya termasuk membahas analisa sanad dan matan hadis. Kemudian pemaknaan hadis tentang pemimpin yang tidak kredibel dan aplikasi hadis dalam kehidupan masyarakat, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika politik dan kemasyarakatan.

Bab lima merupakan bagian penutup, yang meliputi: kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta dilengkapi dengan daftar pustaka.


(27)

BAB II

METODE KRITIK HADIS, ILMU MA‘A<NI< AL H{ADI<TH SERTA TINJAUAN UMUM KEPEMIMPINAN

A. Kaidah Kes}ah}i>h}an H{adi>th

Para ulama hadis mendefinisikan hadis s}ah}i>h} sebagai hadis sanad-nya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi sempurna ingatasanad-nya

sampai berakhir pada Rasulullah SAW, sahabat atau tabi„in, bukan hadis yang shadh dan tidak terkenaillat yang menyebabkan cacat di dalam penerimaannya.1 Kes}ah}i>han hadis merupakan hal yang harus dipenuhi dalam suatu pengamalan hadis, Kes}ah}i>han hadis di sini tidak hanya mengacu pada segi sanadnya namun juga redaksi dari hadis tersebut. Ulama hadis baik itu kontemporer maupun salaf telah memberikan kriteria khusus mengenai syarat adanya Kes}ah}i>han sebuah hadis.

Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para muh}addithi>}n maka dapat disimpulkan bahwa hadis s}ah}i>h adalah hadis yang terpenuhi unsur-unsur Ke-s}ah}i>h-an baik itu dalam segi sanad maupun matan, karena dimungkinkan sanad-nya s}ah}i>h tetapi matan-nya tidak, atau sebaliknya. Adapun kreteria Ke-s}ah}i>h-an hadis Nabi terbagi dalam dua pembahasan, yaitu kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanad hadis dan Ke-s}ah}i>h-an matan hadis. Jadi, sebuah hadis dikatakan s}ah}i>h apabila kualitas sanad dan matan-nya sama-sama bernilai s}ah}i>h.

1


(28)

1. Kaidah Otentisitas Hadis (Kritik Sanad)

Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada definisi hadis s}ah}i>h} di atas, maka suatu hadis dianggap s}ah}i>h}, apabila sanad-nya memenuhi lima syarat:

a. Ittis}a>lal-Sanad (bersambungnya sanad).

Yakni tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya yang mana ini terus bersambung sampai akhir sanad.2

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh langkah-langkah seperti berikut:3

1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab Rija>l al-Hadi>th dengan tujuan untuk mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat satu zaman dan hubungan guru murid dalam periwayatan hadis, dan untuk mengetahui apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal ‘adil dan d}a>bit} dan tidak

tadlis

3) Meneliti lafaz} yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad.

2

Hasbi Ash-shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Biulan Bintang, 1987), 322-337.

3

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 132-133.


(29)

20

Jadi suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:

1) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar thiqah („adil dan

d{a>bit{)

2) Antara masing-masing rawi dan rawi terdekat dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tah}{ammul wa ada>’

al-hadi>}th4

b. Ada>lat al-Ra>wi>(Rawinya bersifat „a>dil)

Kata adil dalam kamus bahasa Indonesia berarti tidak berat sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya, tidak sewenang-wenang.5 Al-Irshad menyatakan bahwa yang dimaksud „a>dil adalah berpegang teguh pada pedoman dan adab-adab shara‘.6

Menurut pendapat ulama, seorang rawi bisa dinyatakan ‘adi>l jika memenuhi kriteria berikut: beragama Islam, mukallaf, memelihara muru’ah, dan melaksanakan ketentuan agama. 7 Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa kualitas pribadi periwayat hadis haruslah ‘adil.

Ulama Muh}addith>in berpendapat bahwa seluruh sahabat dinilai „a>dil berdasarkan al-Qur’a>n, hadis dan Ijma’. Namun

4

Ismail, Kaidah Kesahihan, 133. 5

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesiacet ke 8 (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 16.

6

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadits (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 9. 7

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),64.


(30)

demikian setelah dilihat lebih lanjut, ternyata ke-„a>dil-an sahabat bersifat mayoritas dan ada beberapa sahabat yang tidak adil. Jadi, pada dasarnya para sahabat Nabi dinilai „a>dil kecuali apabila terbukti telah berprilaku yang menyalahi sifat „a>dil.8

Secara umum, ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadis, yakni berdasarkan:

a. Popularitas keutamaan pribadi periwayat di kalangan ulama hadis.

b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis, yang berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.

c. Penerapan kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l, bila terjadi ketidak

sepakatan tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.9

d. D}a>bit}

Menurut bahasa, d}a>bit} adalah yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna.10 D{a>bit} adalah perawi atau orang yang ingatanya kuat dalam artian bahwa apa yang diingatnya lebih banyak dari pada apa yang ia lupa. Dan kualitas kebenaranya lebih besar dari pada kesalahanya. Pembagian d}a>bit} ada dua yakni d}a>bit{ s{adri> dan d}a>bit{ al-kita>bi. D{a>bit{ s{adri> adalah jika seseorang memiliki ingatan yang kuat sejak menerima sampai

8

Ismail, Metodologi Penelitian, 160-168. 9

Ismail, Kaidah Kesahihan,139 10Luwis Ma‟luf,


(31)

22

menyampaikan h}adi>th kepada orang lain dan ingatanya itu sanggup dikeluarkan kapanpun dan dimanapun ia kehendaki. Apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatanya maka ia disebut sebagai orang yang d}a>bit} al-kita>bi (memiliki hafalan catatan yang kuat).11

Ke-d}a>bit-an seorang perawi dapat diketahui dengan kesaksian ulama, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-d}abita-nya dan hanya sekali mengalami kekeliruan.12

Tingkat ke-d}abit-an yang dimiliki oleh para periwayat tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan ingatan dan kemampuan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi, perbedaan tesebut dapat dipetakan sebagai berikut:

1) D{a>bit, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang mampu menghafal dengan sempurna dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain. 2) Tama>m al-d}a>bit}, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang

hafal dengan sempurna, mampu untuk menyampaikan dan faham dengan baik hadisyang dihafalnya itu.13

11

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab... 10. 12

Ismail, Kaidah Kesahihan... 142. 13


(32)

e. Terhindar dari Shudhu>dh

Secara bahasa, kata Shadh dapat berarti: yang jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan, dan yang menyalahi orang banyak.14 Hadis yang mengandung shudhu>dh, oleh ulama disebut H{adi>th Sha>dh, sedang lawan dari hadis shadh

disebut H{adi>th Mahfu>z}. Menurut al-Syafi>’i, suatu hadis bisa dikatakan shadh jika hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang thiqah namun bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang juga thiqah.

Adapun penyebab utama terjadinya shadh sanad hadis

adalah pebedaan tingkat ke-d}abit}-an periwayat. Apabila istilah thiqah yang merupakan gabungan dari istilah ‘adil dan d}abit}, maka dikalahkannya perawi yang thiqah dengan perawi yang lebih thiqah, berarti dalam hal ini yang didilebihkan bukan dari segi keadilannya melainkan lebih dari segi ke-d}abit}-annya.15

. Dalam menentukan shadhdan tidaknya suatu h}adi>th, para ulama menggunakan cara mengumpulkan semua sanad dan matan hadis yang mempunyai tema yang sama.

14Ma‟luf,

Al-Munjid fi al Lughah , 379. 15


(33)

24

f. Terhindar dari ‘Illat

Secara bahasa ‘illat berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan.16 Sedangkan menurut istilah ilmu hadis ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas s}ah}i>h} menjadi tidak s}ah}i>h}.17 Untuk mengetahui ‘illat dalam suatu hadis diperlukan penelitian yang lebih cermat, sebab hadis yang bersangkutan tampak sahih sanadnya.18

Untuk mengetahui terdapat ‘illah tidaknya suatu hadis, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu: pertama, mengumpulkan semua riwayat hadis, kemudian membuat perbandingan antara sanad dan matannya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui dimana letak ‘illah-nya dalam hadis tersebut. Kedua, membandingkan susunan rawi dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam keumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahlianya, bahwa hadis tersebut mempunyai ‘illah dan ia menyebutkan letak

‘illah pada hadis tersebut.19

16

Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisa>n al-‘Arab, Vol. 13 (Mesir: al-Dar al Mis}riyyah, t.th), 498.

17

Ismail, Kaidah Kesahihan, 152 18

Ismail, Metodologi Penelitian, 83. 19

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, ed III (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 163.


(34)

Dalam meneliti sanad hadis, sangat diperlukan mempelajari ilmu Rija>l al H{adi>th, yaitu ilmu yang secara spesifik mengupas keberadan para rawi hadis dan mengungkap data-data para perawi yang terlibat dalam kegiatan periwayatan hadis serta sikap ahli hadis yang menjadi kritikus terhadapa para perawi hadis tersebut.20 Ilmu ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Ilmu Tawa>ri>kh al-Ruwah

Ilmu ini disebut juga dengan ilmu biografi periwayat hadis. Secara etimologi, kata tari>kh berasal dari akar kata arrakha- yu’arikhu-ta’ri>khan-ta>ri>khan. Selanjutnya kata ta>ri>kh memiliki bentuk jama‘ tawa>ri>kh yang berarti memberi tanggal, hari, bulan dan sejarah.21 Kata ta>ri>kh sudah diserap dalam bahasa Indonesia yang berarti cacatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan, tahun, sejarah, dan riwayat.22 Sedangkan kata al-ruwa>h berasal dari kata riwa>yah.23

Dengan demkian, ilmu ta>ri>kh

al-ruwah adalah ilmu yang membahas tentang sejarah hidup atau biografi para periwayat hadis yang berkaitan dengan lahir dan wafatnya seta membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan periwayatan, seperti guru dan muridnya, negeri yang didatangi

20

Suryadi, Metodologi Ilmu Rija> al- Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), 6.

21

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990), 38; Abdul Majid Khon, Takhri>j dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 79.

22

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-7 (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 1021-1022.

23


(35)

26

untuk mencari hadis, kapan melakukan perjalanan itu, di negeri mana periwayat tersebut tinggal dan sebagainya.24

b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta‘di>l

Menurut bahasa, kata al-Jarh} merupakan mas}dar dari kata

jarah}a-yajrah}u-jarh}an-jarah}an yang artinya melukai, terkena luka di badan, atau menilai cacat (kekurangan).25 Sedang menurut istilah adalah sifat yang tampak pada periwayat hadis yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalannya dan daya ingatya yang menyebabkan gugur, lemah, atau tertolaknya periwayatan.26

Al-Ta‘di>l dari segi bahasa berasal dari kata al-‘adl yang artinya sesuatu yang dirasakan lurus atau seimbang. Maka

al-ta‘di>l artinya menilai adil kepada seorang periwayat atau membersihkan periwayat dari kesalahan atau kecacatan. 27 Sedangkan menurut istilah adalah memberikan sifat kepada periwayat dengan beberapa sifat yang membersihkannya dari kesalahan dan kecacatan. Oleh sebab itu, tampak keadilan pada dari periwayat dan diterima beritanya.28

Jadi, al-Jarh ialah sifat kecacatan periwayat hadis yang menggugurkan keadilannya, sedangkan al-Tajri>h} adalah nilai

24

Khon, Takhri>j dan Metode, 80. 25Majma‟ al

-Lughah al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wajiz (Mesir: Wizarah al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim, 1997), 99; Khon, Takhri>j dan Metode, 98.

26Muhammad „Ajja>j al

-Khat}i>b, Al-Mukhtas}ar Al-Waji>z fi ‘Ulu>m Al-H{adi>th (Beirut: Mu„assasah Al-Rizalah, 1985), 1103

27

Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wajiz, 409. 28


(36)

kecacatan yang diberikan kepadanya. Adapun al-‘adl adalah sifat keadilan periwayat hadis yang mendukung penerimaan berita yang dibawanya, sedangkan al-ta‘di>l adalah nilai adil yang diberikan kepadanya. 29

Objek pembahasan ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l adalah meneliti para periwayat hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hadis apakah s}ah}i>h} atau d}a‘i>f.

Berikut ini terdapat beberapa kaidah dalam men-Jarh}} dan men-Ta’di>l-kan perawi diantaranya:30

a.

حرْا

ى

لع مدقم ليدعتلا

(penilaian ta`’di>l didahulukan atas penilaian

jarh}). Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji seorang rawi dan ada juga ulama hadis yang mencelanya, jika terdapat kasus demikian maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut alasanya adalah sifat pujian itu adalah naluri dasar sedangkan sikap celaan itu merupakan sifat yang datang kemudian. Ulama yang memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’i>, namun pada umumya tidak semua ulama hadis menggunakan kaidah ini.

b.

ليدعتلا

ىلع مدقم حرْا

(penilaian jarh{ didahulukan atas penilaian

ta`di>l). Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan

29

Khon, Takhri>j dan Metode... 100. 30


(37)

28

yang berisi celaan terhadap seorang rawi, karena didasarkan asumsi bahwa pujian timbul karena persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh perawi yang bersangkutan. Kaidah ini banyak didukung oleh ulama hadis, fiqih dan usul fiqih.

c.

رسفما حرْا تبث اذإ َإ لد

ع

ملل مكلاف لد

عما

و حر

ا

ْا ضراعت اذإ

(apabila terjadi pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini banyak dipakai oleh para ulama kritikus hadis dengan syarat bahwa penjelasan tentang ketercelaan itu harus sesuai dengan upaya penelitian.

d.

ةقث

ل ه

حرج

لبقي َف افيعض ح

ا ر

ْا ناك اذإ

(apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah golongan orang yang

d{a`i>f maka kritikanya terhadap orang yang thiqah tidak diterima kaidah ini juga didukung oleh para ulama ahli kritik

hadis.

e.

نحورجا ي

ابشْا ةيشخ ةبثت

لا دعب َا حرْا لبقي َ

(jarh{ tidak diterima, kecuali setelah diteliti secara cermat dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara


(38)

periwayat yag dikritik dengan periwayat lain, sehingga harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekiliruan. Kaidah ini juga banyak digunakan oleh para ulama ahli kritik hadis. f.

هب دت

ع

ي َ ةيوايند

ةوادع نع ئشانلا حرْا

(jarh{ yang dikemukakan oleh

orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawiaan tidak perlu diperhatikan hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif.

Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah al-jarh} wa al-ta`di>l namun keenam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam kitab ilmu hadis. Yang terpenting adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.

2. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan)

Apabila sanad hadis menjadi obyek penting ketika melakukan penelitian maka dengan demikian matan hadis juga harus diteliti, karena keduanya adalah dua unsur penting yang saling berkaitan. Belum lagi ada beberapa redaksi matan hadis yang menggunakan periwayatan semakna, sehingga sudah barang tentu matan hadis juga harus mendapatkan perhatian untuk dikaji ulang.31 Pengembangan kritik redaksional matan hadis bertujuan untuk

31


(39)

30

memperoleh komposisi kalimat matan dan nisbah otoritas hadis yang

s}ah}i>h}. derajat kes}ah}i>h}an teks dan nisbah matan merupakan jaminan atas nilai kehujjahan, sekaligus meletakkan landasan kerja istinba>t} (penyimpulan deduktif).32

Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas s{ah}i>h} ada dua macam, yakni terhindar dari shudhu>dh dan terhindar dari ‘Illat. Kedua unsur tersebut harus menjadi acuan utama.33 Berdasarkan pendapat imam al-Syafi‟I dan al-Khalili hadis yang terhindari shudhu>dh adalah sanad hadis harus mahfu>z} dan tidak

ghari>b serta matan hadis tidak bertentangan atau tidak menyalahi riwayat yang lebih kuat.34 Kemudian matan hadis yang terhindar dari

‘illat ialah matan yang memenuhi kriterian berikut ini: a. Tidak terdapat ziyadah (tambahan) dalam lafaz} b. Tidak terdapat idra>j (sisipan) dalam lafaz} matan

c. Tidak terjadi idt}irab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) dalam lafaz} matan

d. Jika terjadi ziya>dah, idra>j, dan idt}irab bertentangan dengan riwayat yang thiqah lainnya, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung shudhu>dh.35

Langkah-langkah metodologis yang ditawarkan oleh ulama kritik hadis dalam penelitian matan hadis yaitu36

32

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), 111. 33

Ibid,. 116. 34

Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Jakarta: Renaisan, 2005), 110.

35


(40)

a. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya

Hal yang perlu diperhatikan pada penelitian matan h}adi>th adalah mengetahui kualitas sanad dari matan tersebut, ketentuan kualitas ini adalah s}ah}i>h} sanad hadis atau minimal tidak berat ke-d}a`i>f-nya37

b. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna c. Meneliti kandungan matan

Adapun tolok ukur penelitian matan yang dikemukakan oleh ulama berbeda-beda. Namun S{alah}u al-Di>n al Adla>bi> menyimpulkan bahwa tolok ukur untuk penelitian matan ada empat macam, yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur‟an b. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat

c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan fakta sejarah. d. Dan susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda

kenabian.38

Dalam hal ini, M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa matan hadis yang tidak memenuhi salah satu butir dari barometer di atas, sesungguhnya tidak serta merta langsung dinyatakan sebagai hadis palsu,39 karena adanya beberapa pertimbangan yaitu: pertama, banyak kalangan menilai hadis dengan bertumpu pada pemaknaan

36

Ismail, Metodologi Penelitian, 113 37

Ismail, Metodologi Penelitian., 115. 38

Ibid., 120. 39


(41)

32

literal atau tekstual saja, padahal pemaknaan tekstual tidak sepenuhnya merepresentasikan kedalaman seluruh makna hadis. Kedua, penilaian ada atau tidaknya kontradiksi antar teks adalah subyektif dan relatif, karena bergantung pada kapasitas keilmuan, wawasan, serta latar belakang yang membentuk tradisi keilmuan seorang ulama. Ketiga, pengujian rasionalitas kandungan makna hadis bisa menyeret kepada pemahaman yang tidak tepat, karena tolok ukurnya bersifat nisbi. Keempat, kritik matan hadis memiliki kecenderungan kuat melawan norma-norma obyektif ilmiah, karena didasarkan pada pandangan teologis tertentu.40

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa barometer yang diformulasikan oleh sementara ulama hadis untuk mengukur tingkat kesahihan matan informasi matan hadis sangat bergantung pada tingkat pemahaman seseorang. Berbeda dengan fakta dalam sanad yang relative lebih terhindar dari subyektifitas peneliti, karena perdebatannya berkisar pada soal fakta-fakta yang disajikan.

B. Kaidah Keh}ujjahan Hadis

Menurut bahasa, h}ujjah berarti alasan atau bukti, yakni sesuatu yang menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga h}ujjah dengan dalil. Para ulama mempunyai pendapat sendiri mengenai teori keh}ujjahan hadis s}ah}i>h}, h}asan dan d}a‘i>f, yaitu:

40


(42)

1. Keh}ujjahan hadis s}ah}i>h} dan h}asan

Kebanyakan ulama ahli ilmu dan fuqaha, bersepakat menggunakan hadis s}ah}i>h} dan h}asan sebagai h}ujjah. Karena pada prinsipnya, kedua hadis tersebut mempunyai sifat yang dapat diterima (maqbu>l). walaupum rawi hadis h}asan kurang d}abit} dibandingkan dengan rawi hadis s}ah}i>h}. tetapi rawi hadis h}asan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan tidak melakukan dusta. Hadis yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai h}ujjah, disebut hadis maqbu>l, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima, disebut hadis mardu>d.

Hadis maqbu>l menurut sifatnya, dapat diterima menjadi h}ujjah dan dapat diamalkan, yang disebut dengan hadis maqbu>l ma‘mu>lun bih. Sedangkan hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan karena beberapa sebab tertentu disebut hadis maqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih.

a. Hadis maqbu>l ma‘mu>lun bih ialah:41

1) Hadis tersebut muh}kam, yakni dapat digunakan untuk memutuskan hukum, tanpa subhat sedikitpun.

2) Hadis tersebut mukhtali>f (berlawanan) yang dapat dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.

3) Hadis tersebut rajih} yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.

41


(43)

34

4) Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.

b. Hadismaqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih, ialah:42 1) Mutashabbih (sukar dipahami).

2) Mutawaqqaf fihi (saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan).

3) Marju>h} (kurang kuat dari pada hadis maqbu>l lainnya).

4) Mansu>kh (terhapus oleh hadis maqbu>l yang datang berikutnya).

5) Hadis maqbul yang maknanya berlawanan dengan Alquran, hadis mutawattir, akal sehat dan ijma‘ para ulama.

2. Keh}ujjahan hadis d}a‘i>f

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dan mengamalkan hadis d}a>’if:43

a. Hadis d}a>’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (fad}a>’il al-a‘mal) atau dalam hukum.

b. Hadis d}a>’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (fad}a>’il al-a‘mal), sebab hadis d}a>’if lebih kuat dari pada pendapat ulama.44

42

Ibid., 144-147. 43

Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), 165. 44


(44)

c. Hadis d}a>’if dapat diamalkan dalam fad}a>’il al-a‘mal, mau‘id}ah,

targhi>b (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhi>b (ancaman yang menakutkan), jika memenuhi beberapa persyaratan, yakni: 1) Tidak terlalu d}a>’if, seperti jika di antara perawinya pendusta (hadis maud}u’) atau dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hafalannya sangat kurang, dan berlaku fasiq

dan bid‘ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis

munka>r).45

2) Masuk ke dalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul

bih) seperti hadis muh}kam (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain), nasi>kh (hadis yang membatalkan hukum pada hadis sebelumnya), dan rajah} (hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).

3) Tidak diyakini secara kebenaran hadis dari Nabi, tetapi karena berhati-hati (ikhtiya>t}).46

C. Ilmu Ma‘a>ni> Al H{adi>th

Secara bahasa etimologi, ma‘ani> merupakan bentuk jamak dari kata ma‘na yang berarti makna, arti, maksud, atau petunjuk yang dikehendaki suatu lafal.47Ilmu Ma‘a>ni al H{adi>th secara sederhana ialah ilmu yang membahas tentang makna atau maksud lafal hadis Nabi secara

45

Ibid., 166. 46

Khon, Ulumul Hadis, 165. 47


(45)

36

tepat dan benar. Secara terminology, Ilmu Ma‘a>ni al H{adi>th ialah ilmu yang membahas tentang prinsip metodologi dalam memahami hadis Nabi sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud dan kandungannya secara tepat dan proporsional.48 Ilmu Ma‘ani al H{adi>th juga dikenal dengan istilah Ilmu fiqh al-H{adi>th atau Fahm al-H{adi>th, yaitu ilmu yang mempelajari proses memahami dan menyingkap makna kandungan sebuah hadis. 49

Dalam proses memahami dan menyingkap makna hadis tersebut, diperlukan cara dan teknik tertentu. Oleh sebab itu banyak tokoh-tokoh modernis yang menawarkan teori dalam memahami hadis. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori yang ditawarkan oleh Nurun Najwa dalam bukunya Ilmu Ma’anil Hadis Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi. Pendekatan yang ditawarkan ada dua, yaitu pendekatan historis dan pendekatan Hermeneutika. Namun dalam pemaknaan kali ini, penulis hanya akan menggunakan pendekatan Hermeneutika, karena pendekatan

Hermeneutika merupakan pendekatan untuk memahami kandungan teks-teks hadis .

1. Pendekatan Historis

Pendekatan historis di sini dalam pengertian khusus, yakni adanya proses analisa secara kritis terhadap peninggalan masa

48

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma‘anil Hadists Paradigma Interkoneksi: Berbagai Teori dan

Metode Memahami Hadis (Yogyakarta: Idea Press, 2008), 11. 49


(46)

lampau yakni mengupas otentisitas teks-teks hadis dari aspek sanad maupun matan. Secara historis, teks-teks hadis tersebut diyakini sebagai laporan tentang hadis Nabi. Dapat dipahami bahwa pendekatan ini dipergunakan untuk menguji validitas teks-teks hadis yang menjadi sumber rujukan. Pendekatan ini digunakan karena kajian terhadap teks hadis pada dasarnya merupakan tahapan penting untuk memahami sejarah masa lampau.50

Secara keseluruhan, pendekatan ini sama dengan teori atau kaidah kesahihan hadis yang dikemukakan oleh ulama kritikus hadis. Hanya saja Nurun Najwa tidak menggunakan kategori otentisitas matan sebagaimana yang dikemukakan jumhur ulama hadis, yakni matan hadis tersebut tidak mengandung shadh dan ‘illat, maknanya tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an, hadis yang sahih, logika, dan sejarah, karena dianggap konsep tersebut ambigu jika diterapkan dalam otentisitas dan pemaknaan.51

2. Pendekatan Hermeneutika

Secara etimologi hermeneutika berasa dari bahsa Yunani,

hermenia yang disetarakan dengan exegesis, penafsiran atau

hermeneuein yang berarti menafsirkan, menginterpretasikan atau

50

Nurun Najwa, Ilmu Ma’anil Hadis Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan

Aplikasi (Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008), 11. 51


(47)

38

menterjemahkan.52 Meski disinonimkan dengan kata exegesis, tetapi hermeneutika lebih mengarah kepada penafsiran aspek teoritisnya, sedang exegesis penafsiran pada aspek praksisnya.53

Secara terminologi, berarti penafsiran terhadapa ungkapan yang memiliki rentang sejarah atau penafsiran terhadap teks tertulis yang memiliki rentang waktu yang panjang dengan audiennya54 sebagai sebuah teori interpretasi, hermeneutika dihadirkan utuk menjembatani keterasingan dalam distansi waktu, wilayah dan sosio kultural Nabi dengan teks hadis dan audiens (umat Islam dari masa ke masa). Dalam pendekatan ini akan melibatkan tiga unsur utama yaitu Teks, Pensyarah, Audiens.55

Metode ini digunakan untuk memahami teks-teks hadis yang sudah diyakini orisinil dari Nabi, dengan mempertimbangkan teks hadis memiliki rentang yang cukup panjang antara Nabi dan umat Islam sepanjang masa. Hermeneutika terhadap teks hadis menuntut diperlakukannya teks hadis sebagai produk lama dapat berdialog secara komunikatif dan romantis dengan pensyarah dan audiennya yang baru sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karenanya, upaya mempertemukan horison masa lalu dengan horison masa kini dengan

52

Mircel Eliade, The Encyclopedia of Religion, Vol. 6 (New York: macmillan Publishing Company, t.t), 279; Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), 15.

53

Najwa, Ilmu Ma’a>nil, 17. 54

C. Verhaak dan R Haryono Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 175; Najwa, Ilmu Ma’anil, 17. 55


(48)

dialog triadic diharapkan dapat melahirkan wacana pemahaman yang lebih bermakna dan fungsional bagi manusia.56

Berikut langkah-langkah dari pendekatan hermeneutika:57 a. Memahami dari aspek bahasa

Dalam kajian terhadap bahasa disini, ada tiga pembahasan yang dikaji, yakni:

1) perbedaan redaksi masing-masing periwayat hadis. 2) makna harfiah terhadap lafadh yang dianggap penting. 3) pemahaman tekstual matan hadis tersebut, dengan merujuk

kamus bahasa Arab maupun kitab Sharh} hadis yang terkait. b. Memahami konteks historis

Kajian ini diarahkan pada konteks asba>b al wuru>d al hadi>th secara ekspilisit dan implisit, serta konteks ketika hadis tersebut dimunculkan (jika memungkinkan), yakni dengan merujuk pada kitab sharah} dan sejarah.

c. Mengorelasikan secara tematik-komprehensif dan integral Yakni dengan mengkorelasikan teks hadis terkait dengan

Al-Qur’a>n, teks hadis yang setema baik sealur maupun yang kontradiktif, serta data-data lain baik relitas historis empiris, logika, maupun teori Ilmu Pengetahuan yang berkualitas.

56

Najwa, Ilmu Ma’a>nil, 18. 57


(49)

40

d. Memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya, dengan mempertimbangkan data-data sebelumnya (membedakan wilayah tekstual dan kontekstual)

Prosedur yang dilakukan dalam mencari ide dasar adalah dengan menentukan apa-apa yang tertuang secara tekstual dalam teks, untuk menentukan tujuan yang tersirat di balik teks dengan berbagai data yang dikorelasikan secara komprehensif.

Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rasulullah, manusia biasa, imam, kepala Negara, suami, pribadi, panglima perang.58 Oleh karenanya, dalam memahami ide dasar hadis, perlu diperhatikan peran Nabi ketika hadis itu terjadi.

Memahami hadis Nabi secara tekstual saja merupakan sesuatu yang sangat berat, karena konsistensi untuk merealisasikannya, mustahil untuk dilakukan. Sebagai ilustrasi yang sangat sederhana, Nabi adalah orang Arab yang berbahasa Arab. Ketika memahami secara tekstual, mestinya mengharuskan semua orang Islam di dunia dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Arab, sebagai bahasa Nabi. Hal tersebut mustahil dilakukan59 Oleh karena itu, Nurun Najwa menggunakan batasan wilayah tekstual/normative dan kontekstual/historis sebagai berikut:

58

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani Al

Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 4.

59


(50)

a. Tekstual (Normatif) mencakup:

1) Menyangkut ide moral atau tujuan makna dibalik teks 2) Bersifat absolut, prinsipil, universal, fundamental

3) Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi,

mu’a>sharah bi al-ma’ru>f

4) Menyangkut relasi langsung dan spesifik manusia dengan Tuhan yang bersifat universal (bisa dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun)

b. Kontekstual (Historis) mencakup:

a. Menyangkut sarana atau bentuk. Bentuk adalah sarana, sehingga kontekstual sifatnya. Apa yang tertuang secara tekstual selama tidak menyangkut 4 kriteria di atas, pada dasarnya adalah wilayah kontekstual.

b. Mengatur hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis.

c. Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya.

d. Terkait persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan IPTEK

e. Kontradiktif secara tekstual

f. Menganalisa pemahaman teks-teks hadis dengan teori sosial/ politik/ ekonomi/ sains terkait.


(51)

42

1. Pengertian Kepemimpin

Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika

mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti

menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari supaya dapat mengerjakan sendiri. Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.60

Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada relasi inter-personal). Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian, pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok

60

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 769.


(52)

atau satu organisasi.61

Sebenarnya kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi, khususnya ilmu administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat. Sedang inti dari administrasi adalah manajemen. Dalam kaitannya dengan administrasi dan manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-sumber manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien serta terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau organisasi. Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diraih, bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi kepemimpian menduduki fungsi kardinal dan sentral dalam organisasi, manajemen maupun administrasi.

Istilah Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khila>fah, ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk dan ri’a>sah. Setiap istilah ini mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering digunakan dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khila>fah, ima>mah dan ima>rah. Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan dalam Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.

a) hila>fah

Kata khila>fah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun

61


(53)

44

yang berarti al-‘aud} atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang. Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khali>fah dengan bentuk jamak khulafa>’ 62 yang berarti wakil, pengganti dan penguasa.63

Kata khali>fah sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khali>fah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi wewenang.64 Menurut al-Ragi>b al-Asfah}a>ni>, arti “menggantikan

yang lain” yang dikandung kata khali>fah berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak. 65

Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula pengertiannya sebagai wakil Tuhan di

62

Al-Ima>m al-Alla>mah Abi> Fad}l Jama>l al-Di>n Muh{ammad bin Mukram ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri> (selanjutnya disebut al-Mis}ri>), Lisa>n al-‘Arab, jilid IX (Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1992), 82-83; Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: [t.p.], 1984), 390-391; Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam Perspektif al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 21.

63

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis

(Magelang: Indonesiatera, 2001), 30. 64

Rahman, Moralitas Pemimpin, 22. 65


(54)

muka bumi yang mempunyai dua pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara.

Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna.66

Menurut M. Dawam Rahardjo, istilah khali>fah dalam

al-Qur‟an mempunyai tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khali>fah berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khali>fah diemban secara kolektif oleh suatu generasi.

Ketiga, khali>fah adalah kepala negara atau pemerintahan.67

Khila>fah sebagai turunan dari kata khali>fah, menurut Abu>

al-A‘la> al-Maudu>di>, merupakan teori Islam tentang negara dan pemerintahan.68 Adapun menurut Ibnu Khald{u>n dalam bukunya

Muqaddimah, khila>fah adalah kepemimpinan. Istilah ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan. Khila>fah ini masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan adalah kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam suatu sistem kedaulatan.69

66

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep -konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 356.

67

Ibid,. 357. 68Abul A‟la al

-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat.(Bandung: Mizan, 1995), 168-173.

69


(55)

46

Menurut Imam Baid{a>wi> al-Mawardi> dan Ibnu Khald{u>n,

khila>fah adalah lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-undang berdasarkan hukum Islam dan mengurus masalah-masalah agama dan dunia. Menurut

al-Mawardi>, khila>fah atau ima>mah berfungsi mengganti peranan kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.70

Posisi khila>fah ini mempunyai implikasi moral untuk berusaha menciptakan kesejahteraan hidup bersama berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan harus tetap diletakkan dalam rangka menjaga eksistensi manusia yang bersifat sementara.

Menurut Bernard Lewis, istilah ini pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Dalam prasasti tersebut, kata khali>fah tampaknya menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Sedangkan setelah Islam datang, istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu> Bakr yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad. Dalam pidato inagurasinya, Abu> Bakr menyebut dirinya sebagai Khali>fah

70


(1)

B. Saran

Hasil akhir dari penelitian ini belum sepenuhnya sempurna, mungkin ada yang tertinggal atau bahkan terlupakan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan dan dikaji ulang yang tentunya lebih teliti, lebih kritis dan juga lebih mendetail guna menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat. Penelitian yang jauh dari unsur kefanatikan sangat diperlukan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini sehingga nilai-nilai objektifitas terpenuhi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdurrahma>n, Muhmmad bin, al-Muba>rakfu>ri>, ‘Abdurrai>m bin.1426. Tuhfatu al-Ah}wadhi> fi> Sharh Ja>mi’ al-Tirmidhi>. Qo>hirah: Dar al-Hadi>th.

A.J. Wensincnk. 1967. Mu’jam al-Mufahras al-Alfa>dh al-Aha>dith al-Naba>wi> (terj), m.fuad ‘ abd al-baqi, Vol. 4. Leiden : EJ.Bril.

Abbas, Hasjim. 2016. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Kalimedia.

Abdur Rahman. Bulu>ghu Ama>ni> Min Asra>ri Fath Rabba>ni>. t.tp: Bait al-Afkar al-Dauliyah.

Abi> al-Fad}l, Shiha>b al-Di>n, Ahmad bin ‘Ali> bin Hajar al-‘Asqala>ni. 1994. Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Vol. 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Ahmad, Arifuddin. 2005. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Renaisan.

al-Arabiyah, Majma’ al-Lughah. 1997. Al-Mu’jam Al-Wajiz. Mesir: Wizarah al-Tarbiyah wa al-Ta’lim.

Al-Ima>m al-Alla>mah Abi> Fad}l Jama>l al-Di>n Muh{ammad bin Mukram ibn Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri>. 1992. Lisa>n al-‘Arab, jilid IX. Beiru>t: Da>r al-S}a>dir. al-Khat}i>b, Muhammad ‘Ajja>j. 1985. Al-Mukhtas}ar Al-Waji>z fi ‘Ulu>m Al-H{adi>th

(Beirut: Mu‘assasah Al-Rizalah.

al-Maududi, Abul A’la,. 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. Bandung: Mizan.

Al-Nawawi. 1924. Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi Juz 1. Mesir: al-Maktabah al-Misriyyah.

al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Min Fiqhi al-Daulah fi> al-Isla>m, alih bahasa Kathur Suhardi, Fikih Daulah Dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

---. 1999. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2, Alih bahasa As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press.

Al-Qur’a>n, 49: 13. 58:11. 4:58. 2:124.

al-Siba‘i, Mustafa. 1978. al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri‘ al-Islami. Beirut: al-Maktabah al-Islami.


(3)

an-Nabhani, Taqiyuddin. 1997. al-Nidzam al-Islam, Alih bahasa Nurchalis, Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta: Pustaka al-Izzah.

Anshari, Endang Saefuddin. 1989. Islam Dan Kebudanyaan. Surabaya: Bina Ilmu. Arifin, Zainul. 2010. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Al-Muna.

Arnold, Thomas W. 1965. The Caliphate . London: Routledge and Kegan Paul LTD.

As-Shalih, Subhi. 2000. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. Baidan, Nasruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

C. Verhaak dan Iman, R Haryono. 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dzulmani. 2008. Mengenal Kitab-Kitab Hadits. Yogyakarta: Insan Madani. Eliade, Mircel. [t.t]. The Encyclopedia of Religion, Vol. 6. New York: macmillan

Publishing Company.

Esposito, John I.. 2000. (Editor), Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, Jilid 5. Bandung: Mizan.

Fuad, Mohammad Fachruddin,. 1988. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.

Hadi, Sutrisno. 2001. Metologi Research, jilid 1. Yogyakarta: Andi Publisher.

HAM, Musahadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu.

H{anbal, Ah}mad Ibn. Musnad li Ima>m Ah}mad Ibn H{anbal. Beirut: Mu‘assah al-Risa>lah.

Hashem, Omar. 1985. Kekaguman Dunia Terhadap Islam. Bandung: Pustaka. Hawwa, Sa’id. 1993. Ar-Rasul Muhammad SAW. terj. Suhardi, Kathur. Solo: CV.

Pustaka Mantiq.

Hikmah, Nurul. 2008. Konsep Kepemimpinan dalam Syi’ah: telaah kritis atas pemikiran Thabathbai. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya.

Humairo’. Ummu. 2004. Hadis-hadis Tentang Seburuk-buruk Pemmpn Selama Menegakkan Salat: kajian ma’ani al-hadis. Skripsi. Fakultas Ushuluddin


(4)

UIN Sunan Kaliaga Yogyakarta.

ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram. [t.th]. Lisa>n ‘Arab, Vol. 13. Mesir: al-Dar al Mis}riyyah.

Ihwanuddin, 2001. Kepemimpnan dalam Shahh Bukhari: Kajian atas sanad dan matan hadis. Skripsi. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Imran, Hendrik. 2001. Hadis-hadis tentang Kepemimpnan dari Suku Quraisy: Studi kritik sanad dan matan. Skripsi. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Irawan, Dedi. 2015. Studi Tentang Politik Uang (Money Politik) dalam Pemilu

Legislatif Tahun 2014: Studi Kasus di Kelurahan Sempaja Selatan. eJournal Imu Pemerintahan.

Islamislogic.wordpress.com/kumpulan hadis tentang pemimpin. Diakses pada tanggal 12 februari 2017 jam 10:23.

Isma‘il, bin Muhammad Abu ‘Abdullah al-Bukhari al-Ja‘fa. 1987. Sahi>h al-Bukha>ri>, jilid V. Beirut: Da>r Ibnu Kasi>r.

Ismail, M. Syuhudi. 2007. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,

---. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.

---. 1987. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’an al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang.

Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis. Magelang: Indonesiatera.

Kartono, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu? Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Khald}u>n, Ibnu. [t.t.] Muqaddimah. Beiru>t: Da>r al-Fikr.

Khon, Abdul Majid. 2014. Takhri>j dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah.

---. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Sinar Grafika Offset.


(5)

Madjid, Nurcholish. 1995. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina. Mawardi, al Imam. [t.th]. Al-Ahkam Al-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Mawardi, Imam. 2009. Tipe Kepemmpinan Perspektif Primal Leadership. Skripsi. Fakulats Ushuluddin UN Sunan Ampel Surabaya.

Mulyono, Edi. 2013. Belajar Hermeneutika. Yogyakarta: IRCiSoD.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: [t.p].

Musahadi HAM.. 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu.

Mustaqim, Abdul. 2008. Ilmu Ma‘anil Hadists Paradigma Interkoneksi: Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis. Yogyakarta: Idea Press.

---[t.th]. Ilmu Ma’a>ni al-Hadis Paradigma Interkonektif: Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi. [t.tp]: Erlangga.

Mustofa, Agus. t.th. Memilih Pemimpin. Surabaya: PADMA Press.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: UI Press.

Nawa>wi>, Muhammad. [t.th]. Mara>qi al-Ubudiyah ‘Ala> Sharh} Bida>yat al-Hida>yah. Sarba>ni>: Ima>rat Alla>h.

Nawawi, Hadari. 1993. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurun Najwa. 2008. Ilmu Ma’anil Hadis Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Cahaya Pustaka.

Partanto, A. Pius. t.th. Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: ARKOLA.

Poerwadarminta. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-7. Jakarta: Balai Pustaka.

Pulungan, J. Suyuthi. 1994. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina,


(6)

Bandung: Pustaka Setia.

Rais, Muhammad Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. terj. al-Kattam, Abdul Hayyie. Jakarta: Gema Insani Press.

Ridwan, Muhtadi. 2012. Studi Kitab-Kitab Hadis Standar. Malang: UIN Maliki Press.

Rohman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif. Rojak, Jeje Abdul. 2014. Hukum Tata Negara Islam. Surabaya: UINSA Press. Shiddieqy, Hasbi Ash. 1971. Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan

Bintang.

Shihab, Muhammad Quraish. 2000. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. II, Vol. I. Jakarta: Lentera Hati.

Suryadi, Metodologi Ilmu Rija> al- Hadis. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah. Syadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan

Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Syariati, Ali. 1989. Ummah dan Imamah, terj. Afif Muhammad. Jakarta: Pustaka Hidayah,

Thahir , S Lukman. 2002. Memahami Matan Hadis Melalui Pendekatan Hermenetik, Hermeneia, Vol. 1/ No. 1, Januari-Juni.

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya. 2013. Studi Hadis, ed III Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

W. J. S. Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. cet ke 8. Jakarta: Balai Pustaka.

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hida Karya Agung. Yusuf Mizzi, Jamaluddin Abu Hajjaj. 1994. Tahdi>b Kama>l Fi> Asma>’I