PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH BIDANG PERIZINAN BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG.

(1)

i

SKRIPSI

PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH

BIDANG PERIZINAN BANGUNAN DI KABUPATEN

BADUNG

NI MADE AYU PURWATI 1203005047

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH

BIDANG PERIZINAN BANGUNAN DI KABUPATEN

BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE AYU PURWATI 1203005047

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi yang berjudul “PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH BIDANG PERIZINAN BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG”dapat penulis selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan sebagai kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vi

5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Administrasi NegaraFakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Prof. Dr. Ibrahim R., S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan telah dengan sabar memberi arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Cok Istri Anom Pemayun, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan telah dengan sabar memberi arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak I Gede Artha, S.H., M.H, Dosen Pembimbing Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

9. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.


(7)

vii

10.Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan selama duduk di bangku perkuliahan.

11.Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

12.Rai Sunawa dan Ni Wayan Suarni selaku orang tua penulis yang selalu memberikan kasih sayang, do’a, perhatian dan dukungan moril dan materiilserta pengorbanan yang tak ternilai selama penulis menempuh pendidikan dasar sampai dengan menyelesaikan studi Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

13.Saudara sepupu penulis, devi gandari, oktavia, sintyawati, ricky anditya, agus setiawan tika, ana, prila, degus, hendra dan dik omang, lina dan tidak lupa dengan kakek dan mbah yang selalu mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini

14.Teman-teman penulis semasa duduk di bangku SMP, devina, galang dan Irma yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

15.Teman seperjuangan penulis dari bangku SMA, Irma, dayu dewi, prima, jeje dan lidya yang selalu mendoakan serta mendukung penulis.

16.Wanita-wanita tangguh seperjuangan penulis, Suartami Dewi, Gek Mas Widiasih, Ari Astuti, Ema Wulandari, dan Pramitha Asti yang selalu


(8)

viii

mendukung, hingga membantu penulis dalam mencari data dan berjuang bersama dari awal perkuliahan sampai dengan saat ini.

17.Teman-teman seperjuangan penulis, Maria Margaretha, Kevin Saputra Ryadi, Bayu Putra Pemayun, Ari Dwiyatmika, Putri Purnama Santhi, Agus Mega Putra, Aris, Yudi, Gung Ari, Gung Dalem, Lepok, Dedek, Dewi Lestari, Maria, Nanda, Leona, Gek In, Yeyen, Ayu Purnama, Alit, Ayu Dwilaksmi, Intan, Sulbianti, Nita, serta rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

18.Teman- teman penulis semasa KKN, gita, wulan, dayu wulan, caca, prima dan ayu padma yang selalu memberikan masukan serta dukungan kepada penulis dala menyelesaikan tugas akhir ini.

19.Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) yang senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan 2013-2014dan delegasi Piala Mutiara Djoko Sutono VIII.

20.Para Informan yang telah banyak memberikan bantuan berupa informasi dan keterangan yang diperlukan sehubungan dengan penyusunan skripsi ini.

21.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.


(9)

ix

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini dan jauh dari kata sempurna, untuk itu penulissangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum.

Denpasar, Maret 2016


(10)

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ….……….. i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ……… ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ...iv

KATA PENGANTAR ……….... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ……….………. x

DAFTAR ISI ………... xi

ABSTRAK ……….. xiv

ABSTRACT……….. xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ………... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ……….. 6

1.4 Tujuan Penelitian ………... 1.4.1 Tujuan Umum ……… 1.4.2 Tujuan Khusus ………... 7 7 7 1.5 Manfaat Penelitian ………... 1.5.1 Manfaat Teoritis ………... 1.5.2 Manfaat Praktis ………. 8 8 8 1.6 Landasan Teoritis ……….... 8


(12)

xii

1.7 Metode Penelitian ……… 18

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SATUAN POLISIPAMONG PRAJA, PERIZINAN, DAN PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI ...

25

2.1Pengertian dan Peranan Satuan Polisi Pamong Praja ... 25 2.2 Pengertian Izin …...

2.2.1 Unsur- Unsur Perizinan ... 2.2.2 Fungsi dan Tujuan Perizinan ... 2.3 Pengertian Izin Mendirikan Bangunan ... 2.4 Penegakan Hukum Secara Administrasi ………...

28 31 34 35 39

BAB IIITUGAS DAN KEWENANGAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH TENTANG IZIN BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG ... 45

3.1 Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penegakan Hukum Peraturan Daerah tentang Izin Bangunan di Kabupaten Badung ………... 45 3.2 Tugas Dan Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam

Penegakan Hukum Peraturan Daerah Tentang Izin Bangunan Di Kabupaten Badung ………... 50


(13)

xiii

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH BIDANG

PERIZINAN BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG ... 58

4.1 Faktor Pendukung Dalam Penegakan Hukum Peraturan Daerah Bidang Perizinan Bangunan Di Kabupaten Badung ………... 58

4.2Faktor Penghambat Penegakan Hukum Peraturan Daerah Bidang Perizinan Bangunan Di Kabupaten Badung …... 62

BAB V PENUTUP ... 66

5.1 Simpulan ……….. 66

5.2 Saran ……… 67 DAFTAR PUSTAKA ………..

DAFTAR INFORMAN ... 69 72


(14)

xiv

ABSTRAK

PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH BIDANG PERIZINAN BANGUNAN DI

KABUPATEN BADUNG

Kabupaten Badung merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang mengalami kemajuan yang sangat signifikan baik dalam hal pembangunan infrastruktur maupun pertumbuhan penduduk.Laju pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kabupaten Badung memiliki dampak tersendiri terutama untuk tetap menjaga ketentraman, ketertiban umum, dan menjamin adanya perlindungan terhadap masyarakat.Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan luas pemukiman menimbulkan suatu permasalahan lainnya yakni adanya bangunan liar yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) untuk dijadikan tempat tinggal atau usaha oleh masyarakat setempat. Dalam hal ini peranan Satpol PP sangat diperlukan untuk membantu kepala daerah agar dapat menertibkan bangunan liar yang tidak memiliki IMB. Permasalahan dalam tulisan ini adalah Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung dan faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.

Jenis penelitian yang digunakan adalah berupa penelitian yuridis sosiologis (empiris), yaitu penelitian yang berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.

Dalam peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan peraturan daerah bidang perizinan bangunan di Kabupaten Badung sudah cukup tegas . Dalam hal penegakan perda terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu faktor pendukung yaitu faktor hukum yang tegas, faktor penegakan hukum dan faktor tindak lanjut dari PPNS dan faktor penghambatyaitu kesadaran dari masyarakat, adanya proses IMB yang sulit dan perkembangan pariwisata yang pesat di Kabupaten Badung.


(15)

xv ABSTRACT

CIVIL SERVICE POLICE UNIT ROLE IN THE ENFORCEMENT OF LICENSING REGULATIONS OF THE BUILDING INTHE DISTRICT

BADUNG

Badung Regency is a regency in Bali which is progressing very significant both in terms of infrastructure development and population growth. The rate of population growth that occurred in the Badung regency has a disparate impact is mainly to maintain tranquility, public order, and guarantee the protection of the public. One of the factors of population growth rates in the Badung regency of Bali as a tourism center in the activity of emigration and immigration. The high rate of population growth is not matched by the growth of a broad settlement raises other issues namely the existence of illegal buildings that do not have a building permit (IMB) to be used as a residence or business by the local community. In this case the role of municipal police is needed to help the head of the region in order to curb illegal buildings do not have the IMB. The problem in this paper is how the arrangement of duties and authority of the Civil Service Police Unit in law enforcement Local regulations on building permits in Badung and factors that become obstacles in law enforcement Local regulations on building permits in Badung.

This type of research is in the form of juridical sociological (empirical), the research is based on the science of normative law (legislation), but not assess the system of norms in the rule of law, but to observe the reactions and interactions that occur when a system of norms that work in in society.

In the role of Civil Service Police Unit in the enforcement of local regulations in the field of building permits Badung are tough enough. In terms of enforcement of the regulations, there are several factors that affect the supporting factors are strict legal factors, factors and factors of law enforcement follow-up of investigators and obstructing factors is the awareness of the public, the IMB process difficult and rapid development of tourism in Badung regency.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai pulau. Dimana di setiap pulau terdapat daerah yang diberikan kewenangan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Pasal 18 ayat (1)

menyatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah - daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan kota yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu, mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang – Undang”. Di dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan”.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 jis. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Pemda) menyatakan bahwa :


(17)

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip ototnomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945”.

Akan tetapi, meskipun Pemerintah Daerah dapat menjalankan pemerintahannya dengan prinsip otonomi seluas-luasnya terdapat beberapa urusan pemerintahan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat. Berdasarkan UU Pemda dijelaskan bahwa pemerintah daerah memiliki urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Di dalam Pasal 12 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “ Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi :

a. Pendidikan; b. Kesehatan;

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan f. Sosial.

Selanjutnya di dalam Pasal 13 ayat (4) UU Pemdadijelaskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/ kota adalah :

a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota; b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya

dalam daerah kabupaten/kota;

d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.

Di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah untuk mewujudkan salah satu urusan pemerintahanyaitu menciptakan ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat maka sangat diperlukannya dibentuk suatu instansi


(18)

untuk membantu Kepala Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah. Oleh karena itu di dalam Pasal 255 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman serta menyelenggarakan perlindungan

masyarakat”. Jika sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 148 ayat (1) menyatakan bahwa “ Untuk membantu kepala daerah dalam menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja”, disini terdapat beberapa perbedaan dalam hal tujuan dibentuknya Satuan Polisi Pamong Praja. Di lihat dari Undang-Undang 32 Tahun 2004 bahwa Satuan Polisi Pamong Prajadibentuk untuk menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat saja, namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tujuan dibentuknya Satpol PP pun bertambah yaitu untuk menegakan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat.

Dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja yang untuk selanjutnya

disingkat menjadi “Satpol PP” memiliki tugas untuk membantu kepala daerah

agar dapat mewujudkan ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan daerah yang aman, tertib dan teratur sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan dengan lancar serta menimbulkan rasa aman di dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP menyatakan bahwa Satpol PP berwenang melakukan :


(19)

a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

b. Menindak warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

c. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Kabupaten Badung merupakan satu dari delapan Kabupaten yang ada di Bali, dimana perkembangan Kabupaten Badung sendiri telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan baik dalam hal pembangunan infrastruktur maupun pertumbuhan penduduk. Dalam hal laju pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kabupaten Badung memiliki dampak tersendiri, terutama untuk tetap menjaga ketentraman, ketertiban umum, dan menjamin adanya perlindungan terhadap masyarakat. Salah satu faktor laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Badung sebagai pusat pariwisata di Bali yaitu aktifitas emigrasi dan imigrasi.Tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan luas pemukiman menimbulkan suatu permasalahan lainnya yakni adanya bangunan liar yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) untuk dijadikan tempat tinggal atau usaha oleh masyarakat setempat. Dalam hal ini


(20)

peranan Satpol PP sangat diperlukan untuk membantu kepala daerah agar dapat menertibkan bangunan liar yang tidak memiliki IMB. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Badung dalam Pasal 4 huruf e menyebutkan bahwa Satpol PP merupakan lembaga teknis daerah.

Satpol PP sendiri memiliki peranan yang sangat penting dalam hal penegakan peraturan daerah. Seperti contohnya, jika terdapat pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dikarenakan bertentangan dengan peraturan daerah maka dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran di bidang hukum administrasi yaitu berupa sanksi paksaan pemerintah.Pasal 238 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “ Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Di dalam Pasal 238 ayat (1) UU Pemda sanksi paksaan pemerintah disebut juga dengan istilah paksaan penegakan atau pelaksanaan Perda dimana kedua istilah ini memiliki makna yang sama. Sanksi paksaan penegakan atau pelaksanaan Perda merupakan sanksi administrasi yang diterapkan oleh Pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi atau menindak lanjuti tindakan masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap norma hukum administrasi.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian dengan judul “PERANAN SATUAN POLISI PAMONG

PRAJA DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH BIDANG


(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung ?

2. Apakah faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari dan membatasi supaya jangan sampai suatu pembahasan keluar dari pokok permasalahannya, terlebih dahulu perlu ditetapkan mengenai batasan-batasannya. Adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.

2. Kemudian pokok permasalahan yang kedua akan membahas mengenai faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.


(22)

1.4 Tujuan Penelitian

Agar penulisan ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat mencapai target yang dikehendaki. Tujuan dari penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain :

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan peraturan daerah di bidang perizinan bangunan di Kabupaten Badung.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tugas dan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum Peraturan Daerah tentang izin bangunan di Kabupaten Badung.


(23)

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis.

Untuk memPerdalam bidang ilmu hukum, khususnya Hukum Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini mengenai peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan Peraturan Daerah bidang perizinan bangunan di Kabupaten Badung.

b. Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kotribusi atau masukan terhadap kinerja Satuan Polisi Pamong Praja sebagai institusi atau perangkat pemerintahan daerah dalam menindak pelanggaran Peraturan Daerah di Kabupaten Badung sehingga dapat mewujudkan supremasi hukum dengan menegakan Peraturan Daerah tersebut.

1.6 Landasan Teoritis

Dalam upaya pemahaman permasalahan yang berhubungan dengan penelitian, maka terlebih dahulu perlu dideskripsikan teori-teori, konsep-konsep ataupun asas-asas hukum yang relevan . Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.

a. Negara Hukum

Dalam rangka memberikan makna-makna dan hakekat negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD


(24)

NRITahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Indonesia sebagai negara hukum menunjukan bahwa setiap tindakan penguasa maupun rakyatnya harus berdasarkan hukum dan sekaligus dicantumkan tujuan negara, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyatnya. Selain itu rumusan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 merupakan perumusan yang tegas tentang konsep negara hukum yang memiliki arti hukum adalah panglima dalam suatu negara.

Gagasan negara hukum masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19 yaitu dengan munculnya konsep

rechtstaat yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant yang dikemukakan oleh Freidrich Julius Stahl. Menurut Sthal, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah sebagai berikut :

a. Pengakuan adanya hak asasi manusia

b. Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan1

Negara Indonesia juga disebut sebagai negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (matchtsstaat), dan pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Asas negara hukum atau asas the rule of law, berarti dalam penyelenggaraan negara, tindakan-tindakan penguasanya

1 Ridwan HR, 2014, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta,


(25)

harus didasarkan hukum, bukan didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasanya belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang-wenang.2

Supomo dalam bukunya Undang-Undang Sementara Republik Indonesia, telah mengartikan istilah negara hukum sebagai berikut

“... bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum

artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara.”3

Pada wilayah Anglosakson, muncul pula konsep negara hukum

(rule of law) dari A.V.Dicey dengan unsur-unsur sebagai berikut : a. Supremasi hukum (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitary power),

dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama dalam hukum ( equality before the law).

Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat;

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.4

2Joeniarto, 1968, Negara Hukum, YBP Gajah Mada, Yogyakarta, h.53. 3Soepomo, UUD RI, Noordhof, Jakarta, h.21.


(26)

Selanjutnya Muhammad Yaminmenyatakan “Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”.5

Negara Indonesia sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukanlah tanggungjawab lembaga hukum semata-mata, melainkan tanggungjawab kelembagaan dan kepemimpinan atas nama kedaulatan rakyat. Hal itu merupakan tanggung jawab semua warga negara yang artinya oleh dan untuk rakyat Indonesia sebagai manusia Indonesia, sebagaimana ditetapkan oleh filsafat negara Pancasila dan UUD NRI 1945. Wujud tanggung jawab rakyat sebagai warga negara menegakkan keadilan itu ialah kualitas kesadaran hukum masyarakat yang nampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.

Pengertian Negara Hukum dalam konteks Negara Hukum Indonesia dapat dilihat dari sudut pandang asas religiusitas, asas kolektifitas dan asas pengayoman. Asas religiusitas nampak bahwa

negara Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian bermasyarakat”dari status “naturalis”ke status “civil” dengan

perlindungan terhadap “civil right”, melainkan atas berkat rahmat

5Yamin Mohamad, 1952, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan,


(27)

Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi tersebut merupakan cerminan luhur asas kolektifitas yang melahirkan kesepakatan satu tujuan untuk

berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” dan pembinaan akhlak luhur berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun tujuan hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dimana memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.6

b. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcment, bahasa Belanda rechtshandhaving.7Penegakan hukum merupakan

bentuk nyata dalam melaksanakan hukum demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum yang dilaksanakan oleh struktur hukum yakni aparat penegak hukum terhadap materi atau substansi hukum itu sendiri bagi para pelanggar hukum.Penegakan hukum adalah suatu

6Kusumaatmadja Mochtar, 1970, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Pajajaran, Jilid III, h. 1.


(28)

proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang di rumusukan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.8

Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun melalui abitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (Alternative despute or conflicts resolution).9 Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.

Pada hahikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik

8Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, h.24. 9Jimly Asshidiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu


(29)

pemerintahlah yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum. Penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :10

1. Ditinjau dari sudut subyeknya

Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dam memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

2. Ditinjau dari sudut obyeknya

Dalam arti luas, penegakan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis. c. Teori Peraturan Perundang-Undangan

Istilahperundang-undangan(legislation,wetgeving,

atauGetsetzgebung) dalambeberapakepustakaanmempunyaiduapengertian yang berbeda.Dalamkamusumum yang berlaku, istilah legislation


(30)

undang.11PengertianwetgevingdalamJuridischwoordenboekdiartikansebaga iberikut :

1. Perundang-undanganmerupakan proses pembentukanatau proses membentukperaturannegara, baik di tingkatpusatmaupun di tingkatdaerah.

2. Perundang-undanganadalahsegalaperaturannegara, yang merupakanhasilpembentukanperaturan, baik di tingkatpusatmaupuntingkatdaerah.12

Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhir ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm)

yang tidak dapat ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau darimana asalnya.13

Norma dasar yang merupakan norma tertingi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi

11John M.EcholsdanHasan Shadily, 1987, KamusInggris-Indonesia, cet. XV,

pt.Gramedia, Jakarta, h.353.

12S.J FockemaAndreae, 1948, Rechtsgeleerdhandwoordenboek, J.B. Wolters, Groningen/

Batavia.


(31)

lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan

presupposed.

d. Teori Otonomi Daerah

Di Indonesia otonomi selain mengandung arti “perundangan”

(regelling), juga mengandung arti “pemerintah” (bestuur). Oleh karena itu, dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas pula mengenai otonomi.14 Hal ini dikarenakan kedual hal tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan, apalagi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat kondisi geografis, sistem politik, hukum, sosial dan budaya, sangat beraneka ragam dan bercorak, di sisi lain NKRI yang meliputi daerah-daerah kepulauan dan wilayah negara yang sangat luas. Oleh sebab itu, hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah akan lebih mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.15

Amrah Muslimin melihat bahwa dalam melakukan pemerintahan secara luas, pemerintahan (dalam arti luas) berpegang pada dua macam asas, yaitu asas keaslian dan asas kedaerahan. Asas

14Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, h.22.

15Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,


(32)

kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan , yaitu dekosentrasi dan desentralisasi.16

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Yang dimana artinya mampu membangun kerja sama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antardaerah. 17

Didalam sistem pemerintahan daerah berdasarkan UUD 1945 berikut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sendi-sendi atau asas desentralisasi dan otonomi selalu menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, meskipun dalam lingkup substansi dan perwujudannya masih terlihat sedang mencari bentuk serta mengalami berbagai perkembangan.

e. Teori Kewenangan

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk

16Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h.4. 17Siswanto Sunarno, op.cit. h.8.


(33)

mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.18

Wewenang sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam negara. Tanpa adanya wewenang pemerintah tidak akan bisa melaksanakan kekuasaannya tersebut. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.19

1.7 Metode Penelitian

Penelitian dalam bahasa Inggris disebut research, adalah suatu aktivitas

“pencarian kembali” pada kebenaran (truth).20 Pencarian kebenaran yang dimaksud adalah upaya-upaya manusia untuk memahami dunia dengan segala rahasia yang terkandung di dalamnya untuk mendapatan solusi atau jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya. Selain itu yang dimaksud dengan pencarian adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu. Dengan kata lain, penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak

18Ridwan HR, op.cit, h.99. 19Ibid, h.104.

20Sutandyo Wigyosubroto, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya,


(34)

yang tidak kita ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak.21

Soerjono Soekanto menjelaskan penelitian hukum adalah suatu penelitian ilmiah yang mempelajari suatu gejala hukum tertentu dengan menganalisisnya atau melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan.22 Adapun metode penelitian yang digunakan pada

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam membahas masalah ini adalah berupa penelitian yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum yang sosiologis berdasarkan madzhab sociological jurisprudenceyaitu penelitian yang berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.23

21Amiruddin, H.Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h.19.

22Soerjono Soekanto dalam Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum,

Rajawali Pers, Jakarta, h.38.

23Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 47.


(35)

1.7.2 Jenis Pendekatan

Penelitian ini mengunakan penelitian deskriptif yang penelitiannya secara umum yang menggunakan pendekatan kualitatif yang mempelajari masalah-masalah yang ada serta tata cara kerja yang berlaku. Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendiskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan mengintrepetasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitiandeskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.24

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu baik dari responden maupun informan, sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan. Bahan hukum tersebut yaitu :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yag bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk iut.

24Mardalis, 1999, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta,


(36)

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

3. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

Adapun bahan – bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah :

a. Bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah :

a) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

c) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

a) Berupa literatur – literatur yang memuat mengenai pandangan dari beberapa ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti;


(37)

c) Bahan – bahan internet yang relevan dengan masalah yang diteliti.

c. Adapun bahan hukum tersier yang digunakan adalah :

a) Kamus Hukum

b) Kamus Besar Bahasa Indonesia c) Ensiklopedia Hukum

1.7.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum yuridis sosiologis dikenal dengan teknik – teknik untuk mengumpulkan data dan bahan hukum, yaitu studi dokumen, wawancara, observasi dan penyebaran quisoner/angket. Adapun teknik pengumpulan data dan bahan hukum yang digunakan adalah :

a. Teknik studi dokumen

Teknik ini dilakukan melalui bahan-bahan tertulis yang ada di instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini khusunya Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung.

b. Teknik wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada


(38)

seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan permasalahan-permasalahan penelitian kepada responden.

c. Teknik observasi/pengamatan

Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.

1.7.4 Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dan kualitatif. Analisis data kualitatif adalah data yang dikumpulkan naturalistik yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi angka-angka, data sukar diukur dengan angka, hubungan antara variabel tidak jelas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi serta kuisioner atau mengembangkan data tersebut dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Sedang pola pikir secara kualitatif artinya hanya mengecek dan melaporkan apa yang ada ditempat peneliti yang diselenggarakan penelitian.


(39)

25

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA, PERIZINAN, DAN PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI

2.1 Pengertian Dan Peranan Satuan Polisi Pamong Praja

Satuan Polisi Pamong Praja atau yang sering disebut Satpol PP merupakan salah satu perangkat pemerintahan daerah yang ditujukan untuk membantu kepala daerah dalam menegakan Peraturan daerah dan Peraturan Kepala Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengatur mengenai pembentukan Satpol PP, secara terperinci pembentukan Satpol PP didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

Pengertian mengenai Satpol PP dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP dalam Pasal 1 ayat (8) menyatakan bahwa Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Selain itu, dalam Pasal 1 ayat (7) Peraturan Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja juga menyebutkan hal sama mengenai pengertian Satpol PP berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2010. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 8 Peraturan Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja


(40)

26

menyatakan bahwa polisi pamong praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah tidak akan lepas dari adanya usur pelaksana pemerintahan daerah tersebut, dimana yang melaksanakan pemerintahan daerah. Unsur pelaksana pemerintahan daerah tersebut adalah aparatur pemerintah daerah. Salah satu atribut penting yang menandai suatu daerah otonom adalah memiliki aparatur pemerintahan tersendiri yang terpisah dari aparatur pemerintahan pusat yang mampu untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya.25 Salah satu aparatur pemerintahan daerah yang dimaksud yaitu Satpol PP. Dalam mewujudkan ketentraman dan perlindungan bagi masyarakat, Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah memiliki peranan yang sangat penting mengingat hal tersebut merupakan tugas dari Satpol PP. Keberadaan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah mempunyai arti khusus yang cukup menonjol karena tugas-tugasnya membantu kepala daerah dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban serta penegakan peraturan daerah.

Pemerintah dan masyarakat memiliki hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Pemerintah daerah memiliki peranan untuk mengatur masyarakatnya. Dimana dalam hal ini, pengaruh dari pemerintah untuk mengatur mengandung arti bahwa pemerintah ikut serta dalam penertiban dan melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk dalam menegakan Perda.

25Josef Riwu, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, PT Raja


(41)

27

Wewenang dari Satpol PP dapat dilihat dalam UU PemdaPasal 255 ayat (2) yaitu :

a. Melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur atau badan hukum, yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;

b. Menindak warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

c. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; dan

d. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.

Tugas dari Satpol PP sendiri dapat dilihat dalam PP Nomor 6 Tahun 2010 Pasal 4 yang menyatakan bahwa “ Satpol PP mempunyai tugas menegakan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat”. Dalam Pasal 5 PP Nomor 6 Tahun 2010 dapat dilihat fungsi dari Satpol PP yaitu :

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;


(42)

28

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah;

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;

e. Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.

Peranan Satpol PP yang meliputi mengenai tugas, fungsi dan wewenang dari Satpol PP itu sendiri. Dalam penjelasan umum PP Nomor 6 Tahhun 2010 tersebut disebutkan Satpol PP mempunyai tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tentram, tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Selain itu, disamping menegakan Perda, Satpol PP juga dituntut untuk menegakan kebijakann pemerintah daerah lainnya yaitu peraturan kepala daerah.

1.2 Pengertian Izin

Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan


(43)

29

perundang-undangan.26 E. Utrech mengatakan bahwa bilamana peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenakannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).27

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu Daerah terdapat pengertian izin yaitu dalam ketentuan tersebut izin diartikan sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Pengertian izin sendiri dalam Peraturan tersebut lebih ditekankan pada izin tertulis yang berbentuk dokumen, sehingga yang disebut izin tidak termasuk yang diberikan secara lisan.

Terdapat beberapa istilah lain yang sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan izin yaitu dispensasi, konsesi dan lisensi. Dispensasi adalah keputusan adminstrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan tersebut. Lisensi adalah suatu izin yang memberikan hak untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. Lisensi digunakan untuk menyatakan suatu izin yang memperkenankan seseorang untuk menjalankan suatu perusahaan dengan izin khusus atau istimewa. Sedangkan konsensi merupakan suatu izin

26Sjachran Basah, 1995, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi,

Makalah Pada Penataran Hukum Administrasi Di Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, h.1-2.

27E. Utrecht, 1998, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta


(44)

30

berhubungan dengan pekerjaan yang besar dimana kepentingan umum terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas pemerintah, tetapi oleh pemeritah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang izin) yang bukan pejabat pemerintah. Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.28

N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit, yaitu Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam Hukum Administratif. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga.Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk keadaan terntentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin.

Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakn yang leh pembuat


(45)

31

undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercelaa, namun dimana ia mengingankan dapat melakukan pengawsan sekadarnya.Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenaan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan). 29

1.2.1 Unsur – Unsur Perizinan

Dilihat dari pemaparan pendapat pada pakar tersebut, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu :

a. Instrumen Yuridis

Untuk menjaga ketertiban dan keamaanan serta mengupayakan kesejahteraan umum, hal tersebut merupakan kewenangan pemerintah. Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai kini maih tetap dipertahankan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang pengaturan, muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiw


(46)

32

individual dan konkret yaitu dalam bentuk keputusan. Sesuai dengan sifatnya, individual dan konkret, keputusan ini merupakan ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan atau sebagai norma penutup dalam rangkaian norma hukum. Salah satu wujud dari keputusan ini adalah izin. Berdasarkan jenis-jenis keputusan izin termasuk sebagai keputusan yang bersifat konstitutif, yakni keputusan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan itu. Dengan demikian, izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapai atau menetapkan peristiwa konkret.

b. Peraturan Perundang-undangan

Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu prinsip dalam negara hukum. Dimana memiliki makna yaitu setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan dan penerbitan keputusan izin merupakan tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan, harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas legalitas. Tanpa ada dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Oleh sebab itu dalam penerbitan izin harus ada wewenang dari pemerintah. Wewenang yang


(47)

33

diperoleh pemerintah untuk mengeluarkan izin ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

c. Organ Pemerintahan

Organ pemerintah adalah pihak yang memiliki kewennagan untuk mengeluarkan beschikking, dimana pihak yang dimaksudkan adalah organ yang menjalankan urusan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah. Banyaknya organ pemerintah yang berwenang memberikan izin tentu akan berakibat pada penghambatan penerbitan izin, bahkan tidak mencapai sasaran yang hendak di capai. Hal ini berarti campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi perizinan dapat menimbulkan kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang membutuhkan izin, apalagi kegiatan usaha yang menghendaki kecepatan pelayanan dan menuntut efisiensi.

d. Peristiwa Konkret

Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu dan fakta hukum tertentu. Peristiwa konkret ini beragam, dan sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, maka izin pun memiliki berebagai keragaman. Peristiwa konkret, izin sebagai salah satu jenis dan beschiking memiliki bentuk dan sifat yaitu konkret dimana objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, terntentu atau dapat ditentukan. Individual yang artinya Keputusan Tatat Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal dituju. Final yaitu sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.


(48)

34

e. Prosedur dan Persyaratan

Untuk penerbitan izin harus melalui prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Selain harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan persyaratan izin tersebut berbeda-beda sesuai dengan jenis izin, tujuan izin dan instansi pemberi izin. Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, meskipun demikian pemerintah tidak boleh membuat atau menentukan prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara arbitrer (sewenang-wenang), akan tetapi harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut. Dimana dalam menentukan syarat izin tersebut tidak boleh melampui batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan bersangkutan.

1.2.2 Fungsi dan Tujuan Perizinan

Sebagai instrumen yuridis, izin yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat dengan tujuan supaya mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai suatu tujuan yang konkret. Izin berfungsi sebagai ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan.30 Hal ini berarti, melalui izin dapat diketahui gambaran mengenai masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Hal ini berarti persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan


(49)

35

pengendali dalam mengfungsikan izin itu sendiri. Berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat diletakan dalam fungsi-fungsi menertibkan maysrakat.

Tujuan perizinan terebut tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin, yang secara umum yaitu :

a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan)

b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan)

c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen

d. Hendak membagi benda-benda yang sedikir (izin penghuni di daerah padat penduduk)

e. Pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet” , dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu)31

1.3 Pengertian Izin Mendirikan Bangunan

Izin mendirikan bangunan adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada pemilik gedung untuk membangun,, mengubah, memperluas, mengurangi dan atau merawat bangunan gedung sesuai

31N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh


(50)

36

dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis yang berlaku.32 IMB adalah awal surat bukti dari pemerintah daerah bahwa pemilik gedung dapat mendirikan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dan berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh pemerintah daerah. Pengertian mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk menggalo, menimbun, meratakan tanah, yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan, memperbaiki/merenovasi dan menambah bangunan. Izin mendirikan Bangunan (IMB) merupakan keputusan pemerintah tata usaha negara (KTUN) yang wajib dimiliki oleh setiap bangunan khusunya bangunan gedung,dimana di perlukanna suatu peraturan yang berfungsi sebagai sarana pengendali untuk menjamin bahwa bangunan yang akan dibangun dapat menjamin keselamatan orang-orang yang akan tinggal di dalam gedung tersebut serta orang-orang disekitar gedung. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan dalam Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa “ Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan

persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku”.

Izin Mendirikan Bangunan merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan,

32Mariot Pahala Siahaa, 2008, Hukula Bangunan Gedung di Indonesia, Raja Grafindo


(51)

37

keselamatan, kenyamanan sekaligus kepastian hukum. Tujuan diperlukannya IMB adalah untuk menjamin adanya ketertiban, keamanan serta kenyamanan dari bangunan tersebut terhadap penghuni maupun lingkungan sekitarnya. Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan hubungan yang baik antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dalam pemeberian izin mendirikan sebuah bangunan. Untuk mendirikan bangunan harus memenuhi proses izin yang telah ditetapkan pemerintah sebagai badan yang berwenang. IMB yang dimaksudkan adalah sebagai perangkat yuridis untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan serta kenyamanan. IMB juga perlu diperbaharui apabila dalam perjalanannya bangunan mengalami perubahan signifikan atau renovasi yang menimbulkan kegiatan yang berdampak pada lingkungan seperti perubahan fungsi dan bentuk. Dengan adanya IMB diharapkan bahwa penataan wilayah dapat berjalan sesuai dengan peruntukannya.

Dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan menjelasakan syarat-syarat mengajukan pemohonan IMB yaitu dengan melengkapi dokumen administrasi dan rencana teknis. Yang dimaksudkan dengan dokumen administrasi yaitu terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan “ persyaratan dokumen administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :

a. Tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian pemanfaatan tanah;

b. Data kondisi/ situasi tanag (letak/lokasi dan topografi); c. Data pemilik bangunan;


(52)

38

d. Surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;

e. Surat pemberitahuan pajak terutang bumi dan bangunan (SPPTT-PBB) ytahun berkenaan; dan

f.Dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban.”

Untuk persyaratan rencana teknis terdapat dalam Pasal 12 ayat (3) yang

menyatakan bahwa “ persyaratan dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b, meliputi :

a. Gambar rencana/arsitektur bangunan; b. Gambar sistem struktur;

c. Gambar sistem utilitas;

d. Perhitungan struktur dan/atau bentang struktur bangunan disertai hasil penyelidikan tanah bagi bangunan 2 (dua) lantai atau lebih;

e. Perhitungan utilitas bagi bangunan gedung bukan hunian rumah tinggal; dan

f.Data penyedia jasa perncanaan.”

Pemberian izin bangunan dimaksudkan untuk sebagai pengaturan, pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan mendirikan bangunan. Pengaturan disini memiliki tujuan agara dapat menghasilkan suatu pembangunan yang tertib, teratur dan sesuai dengan fungsinya. Adanya pengendalian ditujukan untuk dapat mengendalikan laju pertumbuhan pembangunan. Dan untuk hal pengawasan untuk kegiatan mendirikan bangunan dilaksanakan agar segala


(53)

39

kegiatan pembangunan sudah disetujui oleh badan yang berwenang dan dapat memtahui aturan supaya pembangunan tersebut sesuai dengan izin yang telah dikeluarkan oleh badan yang berwenang.

1.4 Penegakan Hukum Secara Administrasi

Setiap negara memiliki tujuan untuk dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Supaya tujuan tersebut dapat dicapai maka dalam menggerakan roda pemerintahan diperlukan organ atau perangkat yang berkesesuaian fungsi dan wewenang masing-masing. Pemberian kewenangan terhadap organ negara tadi merupakan salah satu ruang lingkup Hukum Tata Negara. Sedangkan pembatasan organ tersebut termasuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi Negara.33 Dilihat dari sudut perkembangan hukum administrasi negara dalam aspek suatu negara modern, campur tangan pemerintah dalam setiap aspek kehidupan maysrakat menimbulkan kebutuhan akan adanya perangkat-perangkat HAN yang mampu memberikan perlindungan serta jaminan hal-hal yang baru di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Menurut P.Nicolai dan kawan-kawan “De bestuursrechtelijke handhavings-middelen omvatten (1) het toezich dat bestuursorganen kunnen uitoefenen op de naleving van de bij of krachtens de wet gestelde voorschriften en van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen, en (2) de toepassing van bestuursrechtelijke sanctie

33Mas’udi, 2001, Negara Kesejahteraan dan Hukum Administrasi Negara, Dalam SF. Marbun dkk (eds), Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Adminitrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h.59.


(54)

40

bevogdheden”34, yang diartikan yaitu sarana penegakan hukum administrasi

negara berisi:

1. pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakan kewajiban kepada individu.

2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintahan.

Philipus M.Hadjon menyebutkan bahwa isntrumen penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.35 Paulus E. Lotulung mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara yaitu bahwa ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis kontrol intern dan kontrol ekstern.36 Dalam negara hukum, pengawasan yang dilakukan atas tindakan pemerintah bertujuan agar pemerintah dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan norma-norma hukum sebagai suatu upaya preventif dan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. Pengawasan yang dilakukan dari sisi kebijakan terhadap tindakan pemerintah dalam Hukum

34P. Nicolai, et.al, 1994, Bestuursrecht, Amsterdam, h.390. 35Ridwan HR, op.cit, h.296.

36Paulus E. Lotulung, 1993, Bebebrapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.xv-xviii.


(55)

41

Administrasi Negara yaitu dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat, yang terdiri dari upaya administratif dan peradilan administrasi.

Dalam hukum acara peradilan administrasi mempunyai karakteristik yang tercermin dalam asas-asas hukum administrasi yang melandasi hukum acara peradilan administrasi. Asas-asas tersebut yaitu :

a. Asas praduga rechtmatig, yaitu menurut Philipus M.Hadjon dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Rechtmatig mengandung makna keabsahan. Dengan berlakunya asas vermoeden van rechtmatigheidimana adanya sengketa administrasi (baik yang diselesaikan melalui upaya administrasi maupun badan peradilan administrasi) pada hakekatnya tidak menunda pelaksanaan tindakan pemerintah yang disengketakan. Walaupun tindakan penguasa (termasuk mengeluarkan KTUN) itu disengketakan (digugat), hal itu tidak menghalangi bekerjanya asas tersebut.

b. Asas pembuktian bebas, yaitu dimana sehubungan dengan pertanyaan siapakah yang harus menyerahkan suatu bukti tertentu, hakim administrasi adalah paling berkuasa. Hakim bebas dalam membagi beban pembuktian maupun dalam penilaian alat bukti.

c. Asas keaktifan hakim, dimana menurutJ.A Borman ada dua sikap hakim dalam mengadili suatu sengketa. Pertama bersikap sangat formil yang hanya memperhatikan sebatas yang dikemukakan para pihak dan mencari kebenaran formal. Kedua, bersikap aktif yang dimana hakim


(56)

42

berupaya mencari dan mengungkapkan fakta dan melengkapkan segi hukum dan mencari kebenaran materiil. Sikap hakim administrasi yaitu aktif. Sikap aktif tersebut dikarenakan mencari kebenaran atas peristiwa di muka peradilan administrasi merupakan kepentingan publik yang menurut hukum publik hakim harus diberi wewenang yang besar.

d. Asas Erga Omnes, menurut Philipus M.hadjon adalah putusan berlaku bagi semua orang. Makna asas ini, putusan pengadilan dalam lingkup peradilan administrasi berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa.37

Penggunaan sanksi dalam Hukum Administrasi Negara merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan tersebut berasal dari aturan Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis. Sanksi dalam Hukum Administrasi Negara dapat menjadi alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi dari ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam Hukum Administrasi Negara. Dilihat dari sasarannya, dalam hukum administrasi negara dikenal dua jenis sanksi yaitu sanksi reparatoir (sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sesuai dengan hukum ) dan sanksi punitif ( sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberi hukuman pada seseorang). Terdapat macam-macam sanksi dalam hukum administrasi negara yaitu :

37Suparto Wijoyo, 2005, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara) Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, h. 54-75.


(57)

43

a. Paksaan pemerintah (Bestuursdwang / Politiedwang) , yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki dalam keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan paksaan pemerintah dapat diuraikan dengan sebagai kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi negara.

b. Penarikan kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan, dimana keputusan yang menguntungkan artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui keputusan atau bilamana keputusan tersebut memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada. Pencabutan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu keputusan baru yang isinya menarik kembali atau menyatakan tidak berlaku lagi keputusan itu oleh organ pemerintahan.

c. Pengenaan uang paksa (dwangsom), sanksi ini dapat dikenakan kepada seseorang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah.


(58)

44

d. Pengenaan denda administratif, hal ini dapat dilihat contohnya pada denda fiskal yang ditarik oleh isnpektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dari ketentuan semula sebagai akibat dari kesalahannya. Denda administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak.


(1)

kegiatan pembangunan sudah disetujui oleh badan yang berwenang dan dapat memtahui aturan supaya pembangunan tersebut sesuai dengan izin yang telah dikeluarkan oleh badan yang berwenang.

1.4 Penegakan Hukum Secara Administrasi

Setiap negara memiliki tujuan untuk dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Supaya tujuan tersebut dapat dicapai maka dalam menggerakan roda pemerintahan diperlukan organ atau perangkat yang berkesesuaian fungsi dan wewenang masing-masing. Pemberian kewenangan terhadap organ negara tadi merupakan salah satu ruang lingkup Hukum Tata Negara. Sedangkan pembatasan organ tersebut termasuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi Negara.33 Dilihat dari sudut perkembangan hukum administrasi negara dalam aspek suatu negara modern, campur tangan pemerintah dalam setiap aspek kehidupan maysrakat menimbulkan kebutuhan akan adanya perangkat-perangkat HAN yang mampu memberikan perlindungan serta jaminan hal-hal yang baru di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Menurut P.Nicolai dan kawan-kawan “De bestuursrechtelijke handhavings-middelen omvatten (1) het toezich dat bestuursorganen kunnen uitoefenen op de naleving van de bij of krachtens de wet gestelde voorschriften en van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen, en (2) de toepassing van bestuursrechtelijke sanctie

33Mas’udi, 2001, Negara Kesejahteraan dan Hukum Administrasi Negara, Dalam SF.

Marbun dkk (eds), Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Adminitrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h.59.


(2)

bevogdheden”34, yang diartikan yaitu sarana penegakan hukum administrasi

negara berisi:

1. pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakan kewajiban kepada individu.

2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintahan.

Philipus M.Hadjon menyebutkan bahwa isntrumen penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.35 Paulus E. Lotulung mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara yaitu bahwa ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis kontrol intern dan kontrol ekstern.36 Dalam negara hukum, pengawasan yang dilakukan atas tindakan pemerintah bertujuan agar pemerintah dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan norma-norma hukum sebagai suatu upaya preventif dan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. Pengawasan yang dilakukan dari sisi kebijakan terhadap tindakan pemerintah dalam Hukum

34P. Nicolai, et.al, 1994, Bestuursrecht, Amsterdam, h.390. 35Ridwan HR, op.cit, h.296.

36Paulus E. Lotulung, 1993, Bebebrapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap


(3)

Administrasi Negara yaitu dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat, yang terdiri dari upaya administratif dan peradilan administrasi.

Dalam hukum acara peradilan administrasi mempunyai karakteristik yang tercermin dalam asas-asas hukum administrasi yang melandasi hukum acara peradilan administrasi. Asas-asas tersebut yaitu :

a. Asas praduga rechtmatig, yaitu menurut Philipus M.Hadjon dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Rechtmatig mengandung makna keabsahan. Dengan berlakunya asas vermoeden van rechtmatigheidimana adanya sengketa administrasi (baik yang diselesaikan melalui upaya administrasi maupun badan peradilan administrasi) pada hakekatnya tidak menunda pelaksanaan tindakan pemerintah yang disengketakan. Walaupun tindakan penguasa (termasuk mengeluarkan KTUN) itu disengketakan (digugat), hal itu tidak menghalangi bekerjanya asas tersebut.

b. Asas pembuktian bebas, yaitu dimana sehubungan dengan pertanyaan siapakah yang harus menyerahkan suatu bukti tertentu, hakim administrasi adalah paling berkuasa. Hakim bebas dalam membagi beban pembuktian maupun dalam penilaian alat bukti.

c. Asas keaktifan hakim, dimana menurutJ.A Borman ada dua sikap hakim dalam mengadili suatu sengketa. Pertama bersikap sangat formil yang hanya memperhatikan sebatas yang dikemukakan para pihak dan mencari kebenaran formal. Kedua, bersikap aktif yang dimana hakim


(4)

berupaya mencari dan mengungkapkan fakta dan melengkapkan segi hukum dan mencari kebenaran materiil. Sikap hakim administrasi yaitu aktif. Sikap aktif tersebut dikarenakan mencari kebenaran atas peristiwa di muka peradilan administrasi merupakan kepentingan publik yang menurut hukum publik hakim harus diberi wewenang yang besar.

d. Asas Erga Omnes, menurut Philipus M.hadjon adalah putusan berlaku bagi semua orang. Makna asas ini, putusan pengadilan dalam lingkup peradilan administrasi berlaku bagi siapa saja dan bukan hanya mengikat para pihak yang bersengketa.37

Penggunaan sanksi dalam Hukum Administrasi Negara merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan tersebut berasal dari aturan Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis. Sanksi dalam Hukum Administrasi Negara dapat menjadi alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi dari ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam Hukum Administrasi Negara. Dilihat dari sasarannya, dalam hukum administrasi negara dikenal dua jenis sanksi yaitu sanksi reparatoir (sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sesuai dengan hukum ) dan sanksi punitif ( sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberi hukuman pada seseorang). Terdapat macam-macam sanksi dalam hukum administrasi negara yaitu :

37Suparto Wijoyo, 2005, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan


(5)

a. Paksaan pemerintah (Bestuursdwang / Politiedwang) , yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki dalam keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan paksaan pemerintah dapat diuraikan dengan sebagai kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi negara.

b. Penarikan kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang menguntungkan, dimana keputusan yang menguntungkan artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui keputusan atau bilamana keputusan tersebut memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada. Pencabutan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu keputusan baru yang isinya menarik kembali atau menyatakan tidak berlaku lagi keputusan itu oleh organ pemerintahan.

c. Pengenaan uang paksa (dwangsom), sanksi ini dapat dikenakan kepada seseorang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah.


(6)

d. Pengenaan denda administratif, hal ini dapat dilihat contohnya pada denda fiskal yang ditarik oleh isnpektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dari ketentuan semula sebagai akibat dari kesalahannya. Denda administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak.