PERFORMANS AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG TEPUNG KULIT BUAH NAGA TANPA DAN DIFERMENTASI Aspergillus Niger.

(1)

TESIS

PERFORMANS AYAM BROILER YANG DIBERI

RANSUM MENGANDUNG TEPUNG KULIT

BUAH NAGA TANPA DAN DIFERMENTASI

Aspergillus Niger

IRA ASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

PERFORMANS AYAM BROILER YANG DIBERI

RANSUM MENGANDUNG TEPUNG KULIT

BUAH NAGA TANPA DAN DIFERMENTASI

Aspergillus Niger

IRA ASTUTI 1491361013

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

PERFORMANS AYAM BROILER YANG DIBERI

RANSUM MENGANDUNG TEPUNG KULIT

BUAH NAGA TANPA DAN DIFERMENTASI

Aspergillus Niger

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Udayana

IRA ASTUTI 1491361013

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 19 APRIL 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc., Ph.D Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS NIP. 194709071975031002 NIP. 195908131985032001

Mengetahui

Ketua Program Studi S2 Ilmu Peternakan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 196202201987021001 NIP. 195902151985102001


(5)

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 19 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 1501/UN14.4/HK/2016, Tanggal 12 April 2016

Ketua : Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc., Ph.D

Anggota :

1. Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS 2. Prof. Dr. Ir. I Ketut Sumadi, MS

3. Dr. Ir. Ni Wayan Siti, MS 4. Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS


(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ira Astuti NIM : 1491361013

Progran Studi : ILMU PETERNAKAN

Judul Tesis : Performans Ayam Broiler yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Kulit Buah Naga Tanpa dan Difermentasi

Aspergillus Niger

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 19 April 2016 Yang membuat pernyataan


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya penulisan Tesis ini dapat diselesaikan, shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Peternakan pada Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Ir. I Made Mastika, M.Sc., Ph.D sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Prof. Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian hingga akhir penulisan Tesis ini. Hal yang sama penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. I Ketut Sumadi, MS., Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS dan Ibu Dr. Ir. Ni Wayan Siti, MS sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk perbaikan penulisan Tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Nono Jaeni, SP dan Ibu Hj. N. Solihat, SP serta kedua kaka yaitu Andri Firman Budiansyah, ST dan Ryan Wahyu Septiana, S.Pd yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan bantuannya baik moril maupun materil. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan angakatan 2014, kepada seluruh Dosen, Ketua dan Staf Program Studi Magister Ilmu Peternakan Universitas Udayana dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelasaian Tesis ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas dukungan dan perhatiannya. Harapan penulis semoga Tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya rekan-rekan yang membaca.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Ira Astuti dilahirkan di Cianjur pada tanggal 01 November 1993 dari pasangan Bapak Nono Jaeni, SP dan Ibu Hj. N. Solihat, SP dan merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar tahun 1998 - 2000 di Sekolah Dasar Negeri Padaasih. Kemudian pada tahun 2000 - 2004 penulis pindah pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Loji, tahun 2004 - 2007 melanjutkan pendidikan menengah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pacet Cipanas, Kabupaten Cianjur, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pertanian Pembangunan SPP-SNAKMA Cikole Lembang Bandung Barat pada tahun 2007 - 2010.

Pada tahun 2010 - 2014 penulis diterima sebagai mahasiswi di Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda Bogor. Selama menjadi mahasiswi penulis aktif dibeberapa organisasi diantaranya Himpunan Profesi Mahasiswa Peternakan (HIMPROMAPET), Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan se-Indonesia (ISMAPETI). Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister Ilmu Peternakan, di Universitas Udayana Denpasar Bali.


(9)

PERFORMANS AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG TEPUNG KULIT BUAH NAGA TANPA

DAN DIFERMENTASI Aspergillus Niger

Ira Astutia, I. M. Mastikab, G. A. M. Kristina Dewib

aMahasiwi Program Studi Magister Ilmu Peternakan, Universitas Udayana Denpasar

bDepartemen Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Denpasar

iraastuti1124@yahoo.co.id ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi dalam ransum terhadap performans ayam broiler. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 7 perlakuan dan 3 kali ulangan. Ternak yang digunakan pada penelitian ini ayam broiler jantan umur dua minggu sebanyak 84 ekor yang dibagi dalam 21 unit kandang dimana tiap unitnya menggunakan 4 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan (P0) ransum tanpa menggunakan tepung kulit buah naga (kontrol), (P1) ransum dengan menggunakan 2% tepung kulit buah naga, (P2) ransum dengan menggunakan 2% tepung kulit buah naga difermentasi, (P3) ransum dengan menggunakan 4% tepung kulit buah naga, (P4) ransum dengan menggunakan 4% tepung kulit buah naga difermentasi, (P5) ransum dengan menggunakan 6% tepung kulit buah naga, (P6) ransum dengan menggunakan 6% tepung kulit buah naga difermentasi. Peubah yang diamati meliputi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, mortalitas, persentase karkas, persentase hati, jantung, rampela, dan lemak abdomen, panjang usus dan sekum, kecernaan bahan kering, energi, protein, kolesterol darah, jumlah mikroba dan IOFCC. Semua data ditabulasi dan dianalisis menggunakan SPSS 17, ketika ada pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukan ransum mendapat tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, mortalitas, dan persentase karkas dan bagian karkas ayam broiler yang meliputi persentase dada, persentase sayap, persentase paha, dan persentase punggung. Sama halnya dengan persentase hati, rampela, lemak abdomen, panjang usus dan sekum, kecernaan bahan kering, energi, protein, kolesterol darah dan jumlah mikroba menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun analisis sidik ragam menunjukan berbeda nyata (P<0,05) terhadap persentase jantung. Pemberian tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi sampai level 6% dapat diberikan pada ternak ayam broiler dan memberikan pengaruh yang sama dengan kontrol, memberikan kecenderungan menurunkan kolesterol darah, serta pada 4% tanpa difermentasi meningkatkan nilai IOFCC sebesar Rp. 79/ekor/periode dibanding kontrol dan 6% difermentasi meningkatkan nilai IOFCC sebesar Rp. 391/ekor/periode. Kata kunci : Performans, Ayam Broiler, Tepung Kulit Buah Naga, Fermentasi,


(10)

PERFORMANCE OF BROILERS GIVEN DIET CONTAINING DRAGON FRUIT PEEL MEAL WITHOUT AND

FERMENTATION Aspergillus Niger

Ira Astutia, I. M. Mastikab, G. A. M. Kristina Dewib

aStudent of the Master Animal Husbandry, Udayana University, Denpasar

bDepartment of Animal Nutrition, Faculty Animal Husbandry, Udayana University, Denpasar

iraastuti1124@yahoo.co.id

ABSTRACT

An experiment was carried to study the effect of dragon fruit peel meal without and fermentation in the diet on performance of broiler chickens. The study design used is completely randomized design, which consist of 7 (seven) treatments and 3 (three) replications. Chickens used in this study are 84 male broilers aged two weeks old were divided into 21 unit cages and each unit consisted of 4 chikens. Treatments offered were control diet without dragon fruit peel meal (P0), diet with used 2% dragon fruit peel meal (P1), diet with used 2% dragon fruit peel meal fermented (P2), diet with used 4% dragon fruit peel meal (P3), diet with used 4% dragon fruit peel meal fermented (P4), diet with used 6% dragon fruit peel meal (P5), diet with used 6% dragon fruit peel meal fermented (P6). Parameters observed were feed consumption, body weight gain, feed conversion, mortality, percentage of carcass, percentage of liver, heart, gizzard, and abdominal fat, intestinal and cecum length, digestibility of dry matter, energy, protein, blood cholesterol, total plate count and the value of IOFCC was calculated. All data were tabulated and analyzed using SPSS 17 when there was significant effect wasfound, analyzes continued with Duncan multiple range test. Broilers chickens received dragon fruit peel meal without and fermentation did no have significantly effect (P>0,05) on feed consumption, body weight gain, feed conversion, mortality, percentage carcasses and portions of broilers chickens carcass show as the percentage of breast, wing, thigh and percentage of the back compared the control. Similarly the percentage liver, gizzard, abdominal fat, intestinal and cecum length, digestibility of dry matter, energy, protein, blood cholesterol and total plate count had no significantly different (P>0,05). While analized was significantly effect (P<0,05) percentage of heart. It can the conculated that of dragon fruit peel meal without and fermentation until the to level 6% can be given to broilers chickens and having the same effect with control, gives the tendency to lower blood cholesterol, as well as at 4% without fermentation increase the value of IOFCC was Rp. 79/head/period than control and 6% fermentation increase the value of IOFCC was Rp. 391 /head/period. keywords: Performances, Broilers, Dragon Fruit Peel Meal, Fermentation, Aspergillus


(11)

RINGKASAN

Penelitian ini berjudul performans ayam broiler yang diberi ransum mengandung tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi Aspergillus niger

(dibawah bimbingan I Made Mastika selaku pembimbing pertama dan G. A. M. Kristina Dewi selaku pembimbing kedua).

Usaha peternakan ayam broiler berkembang sangat pesat, hal ini menyebabkan semakin tingginya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya mengkonsumsi protein hewani. Berkembangnya usaha ayam broiler bukannya tanpa masalah, kendala yang dihadapi adalah meningkatnya harga pakan yang cukup tajam dengan biaya mencapai 60-70%. Mahalnya harga tersebut secara tidak langsung mengharuskan peternak mencari bahan pakan alternatif. Salah satu bahan yang dapat digunakan adalah limbah kulit buah naga yang memiliki kandungan nutrien yang baik dan antioksidan yang cukup tinggi. Rendahnya protein dan tingginya serat kasar merupakan kendala sebagai bahan pakan ayam broiler. Kandungan nilai nutrien dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan Aspergillus niger. Hasil yang didapatkan yaitu meningkatkan protein dari 8,79% menjadi 10,71% dan menurunkan serat kasar dari 24,83% menjadi 21,78%. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari 11 November 2015 sampai 10 Februari 2016. Penelitian ini berlokasi di Kampung Loji, Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Ternak yang digunakan adalah ayam broiler jantan yang berumur 2 minggu sebanyak 84 ekor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah (P0) ransum tanpa menggunakan tepung kulit buah naga (kontrol), (P1) ransum dengan menggunakan 2% tepung


(12)

kulit buah naga, (P2) ransum dengan menggunakan 2% tepung kulit buah naga difermentasi, (P3) ransum dengan menggunakan 4% tepung kulit buah naga, (P4) ransum dengan menggunakan 4% tepung kulit buah naga difermentasi, (P5) ransum dengan menggunakan 6% tepung kulit buah naga, (P6) ransum dengan menggunakan 6% tepung kulit buah naga difermentasi. Data dianalisis dengan ANOVA dan bila ada perbedaan yang nyata dilanjutkan uji Duncan, data dianalisis menggunakan program aplikasi statistik SPSS 17.

Hasil penelitian menunjukan ransum mendapat tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, mortalitas, dan persentase karkas dan bagian-bagian karkas ayam broiler yang meliputi persentase dada, persentase sayap, persentase paha, dan persentase punggung. Sama halnya dengan persentase hati, rampela, lemak abdomen, panjang usus, panjang sekum, kecernaan bahan kering, energi, protein, kolesterol darah menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dan jumlah mikroba dalam sekum memberikan nilai yang tidak berbeda jauh dengan kontrol. Namun analisis sidik ragam menunjukan berbeda nyata (P<0,05) terhadap persentase jantung.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan kulit buah naga tanpa dan difermentasi sampai level 6% dalam ransum dapat diberikan pada ayam dan memberikan pengaruh yang sama dengan kontrol. Selain itu penggunaan sampai level 6% tanpa dan difermentasi ada kecenderungan menurunkan kolesterol darah ayam broiler. Penggunaan tanpa difermentasi 4% meningkatkan nilai IOFCC sebesar Rp.79/ekor/periode dibanding kontrol dan 6% difermentasi meningkatkan nilai IOFCC sebesar Rp. 391/ekor/periode.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT. ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

RINGKASAN ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ayam Broiler ... 5

2.2 Potensi Kulit Buah Naga ... 9

2.3 Proses Mendapatkan Kulit Buah Naga ... 11

2.4 Kandungan Gizi Kulit Buah Naga ... 13

2.5 Kulit Umbi Ungu Sebagai Pembanding Kandungan Antioksidan... 15

2.6 Upaya Peningkatan Nilai Nutrien Kulit Buah Naga. ... 16

2.7 Kulit Buah Naga untuk Pakan Ternak ... 19

2.8 Bahan atau Limbah lain yang Difermentasi ... 24

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 28

3.1 Kerangka Berpikir ... 28

3.2 Konsep ... 29

3.3 Hipotesis ... 31

BAB IV MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 32

4.1 Materi Penelitian. ... 32

4.1.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 32

4.1.2 Ternak ... 32


(14)

4.1.4 Kandang ... 33

4.1.5 Alat ... 33

4.2 Metode Penelitian... 33

4.2.1 Proses Pengolahan Kulit Buah Naga. ... 33

4.2.2 Analisis Laboratorium ... 35

4.2.3 Pemeliharaan Ayam ... 36

4.2.4 Prosedur Pemotongan ... 37

4.2.5 Rancangan Penelitian. ... 38

4.2.6 Peubah yang Diamati ... 39

4.2.7 Analisis Data ... 43

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

5.1 Hasil ... 44

5.1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Performans ... 44

5.1.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Potong, Persentase Karkas dan Bagian Karkas ... 45

5.1.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Hati, Jantung, Rampela, Lemak Abdomen, Panjang Usus dan Panjang Sekum ... 46

5.1.4 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan, Kolesterol Darah dan Mikroba dalam Sekum ... 48

5.1.5 Pengaruh Perlakuan Terhadap IOFCC (Income Over Feed and Chick Cost) ... 49

5.2 Pembahasan ... 50

5.2.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Performans ... 50

5.2.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Potong, Persentase Karkas dan Bagian Karkas ... 53

5.2.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Hati, Jantung, Rampela, Lemak Abdomen, Panjang Usus dan Panjang Sekum ... 57

5.2.4 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan, Kolesterol Darah dan Mikroba dalam Sekum ... 61

5.2.5 Pengaruh Perlakuan Terhadap IOFCC (Income Over Feed and Chick Cost) ... 66

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1 Simpulan ... 67

6.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

4.1 Kandungan Nutrien Bahan Pakan Penelitian ... . 32 4.2 Komposisi Bahan Penyusun Ransum dan Kandungan

Nutrien Ransum (umur 2-6 minggu) ... 39 5.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Performans Ayam Broiler

Selama Penelitian ... 44 5.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Potong, Persentase Karkas

dan Persentase Bagian Karkas. ... 46 5.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Hati, Jantung, Rempela

Lemak Abdomen, Panjang Usus dan Panjang Sekum ... 47 5.4 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan, Kolesterol Darah

dan Jumlah Mikroba dalam Sekum (Total Plate Count) ... 49 5.5 Pengaruh Perlakuan Terhadap IOFCC (Income Over Feed


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Bagan Proses Pengolahan Buah Menjadi Sari Buah dan Sirup ... 13 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 30 4.1 Proses Pengolahan Kulit Buah Naga Tanpa dan Difermentasi ... 34


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot

Badan dan Konversi Ransum ... 79 2 Analisis Sidik Ragam Bobot Potong, Persentase Karkas dan

Persentase Bagian Karkas ... 80 3 Analisis Sidik Ragam Persentase Hati, Jantung, Rempela,

Lemak Abdomen, Panjang Usus dan Panjang Sekum ... 82 4 Analisis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering, Energi, Protein

dan Kolesterol Darah ... 84 5 Foto-foto Penelitian ... 85


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Usaha peternakan ayam broiler berkembang sangat pesat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, hal ini menyebabkan semakin tingginya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya mengkonsumsi protein hewani. Permintaan terhadap daging ayam broiler terus meningkat setiap tahun, pada tahun 2014 permintaan ayam pedaging sebesar 1.544.379 ton dan angka sementara tahun 2015 meningkat menjadi 1.627.106 ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2015). Ayam broiler memiliki karakteristik pertumbuhan yang cepat sehingga dapat dipanen dalam waktu singkat yaitu 5-6 minggu. Daging ayam banyak digemari oleh masyarakat karena harganya relatif murah, dapat terjangkau oleh lapisan menengah ke bawah serta mudah diperoleh (Murtidjo, 2003).

Berkembangnya usaha peternakan ayam broiler bukanya tanpa masalah, kendala yang dihadapi adalah meningkatnya harga pakan yang cukup tajam karena pakan merupakan kebutuhan primer dengan biaya mencapai 60-70% (Supriyati et al., 2003). Tingginya biaya pakan disebabkan bahan baku berasal dari komoditi impor, selain itu penggunaannya bersaing dengan kebutuhan manusia. Mahalnya harga pakan tersebut secara tidak langsung mengharuskan peternak mencari bahan pakan alternatif yang tidak bersaing sehingga dapat menurunkan biaya dan memaksimalkan pendapatan.

Mastika (1991) melaporkan salah satu alternatif untuk penyediaan pakan adalah melalui pemanfaatan limbah, baik limbah pertanian, peternakan maupun industri pertanian. Mustika et al. (2014) menjelaskan salah satu bahan yang dapat dimanfaatkan adalah kulit buah naga yang merupakan limbah pertanian dan belum


(19)

2

banyak dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Pohon buah naga

(dragon fruit) merupakan tanaman yang baru dibudidayakan di Indonesia mulai

tahun 2000 dan banyak digemari oleh masyarakat karena memiliki khasiat dan manfaat (Daniel et al., 2014). Menurut Kristanto (2008) mengatakan bahwa pengembangan dan penanaman buah naga sampai saat ini masih terpusat di daerah Jawa Timur diantaranya Pasuruan, Jember, Mojokerto, Bayuwangi dan Jombang. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (2014) Provinsi Kalimantan Timur menjadi salah satu pusat produksi buah naga di Indonesia bersama Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Buah naga (dragon fruit) merupakan bahan baku utama dalam pembuatan jus, selai, sirup, keripik atau bahan makanan lainnya (Mustika et al., 2014). Produksi pada tahun 2014 adalah 28.819 ton, dan ini menunjukan peningkatan yang pesat dibanding tahun 2013 yang hanya 16.631 ton (BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014). Menurut Citramukti (2008) bagian dari buah naga 30-35% merupakan kulit dan belum dimanfaatkan sepenuhnya meskipun pada beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa kulit buah naga memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi. Menurut Nurliyana et al. (2010) kandungan

phenolic yang terdapat pada kulit buah naga sebesar 28,16 mg/100 g, selain

memiliki antioksidan juga mengandung antosianin. Namun, rendahnya protein dan tingginya serat kasar dalam kulit merupakan kendala dalam pemanfaatan sebagai bahan pakan ternak khususnya ternak unggas (ayam broiler).

Upaya peningkatan nilai nutrien kulit buah naga dapat dilakukan melalui fermentasi dengan Aspergillus niger. Proses fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob, yaitu


(20)

3

tanpa memerlukan oksigen (Fardiaz, 1998). Penggunaan Aspergillus niger banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah, cepat dan tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan (Ratanaphadit etal., 2010). Fermentasi dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan mutu pakan, baik dari segi nutrien maupun daya cernanya (Lunar, 2012). Penelitian tentang kulit buah naga sebagai pakan ternak masih jarang dilakukan. Hasil penelitian Mustika et al. (2014) menunjukan kulit buah naga dapat diberikan sampai level 1% sedangkan Rosa et al. (2013) dapat diberikan 4% pada puyuh. Pada ayam petelur dapat diberikan hingga 6% tanpa mempengaruhi kualitas telur (Wulandari, 2011). Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menggunakan tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi sebagai bahan pakan yang digunakan dalam ransum ayam broiler.

1.2 Rumusan masalah

1. Sampai level (aras) berapa tepung kulit buah naga tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan ayam broiler ?

2. Bagaimana pengaruh pemberian tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi terhadap performans ayam broiler?

3. Apakah pemberian tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi dapat menurunkan biaya yang dikeluarkan untuk pakan?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi dalam ransum terhadap performans ayam broiler, disamping itu mencari alternatif pemanfaatan bahan yang tidak


(21)

4

berkompetisi dengan manusia, dapat menekan biaya pakan dan mengurangi pencemaran lingkungan.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai pemanfaatan penggunaan tepung kulit buah naga tanpa dan difermentasi dengan

Aspergillus niger untuk pakan ternak khususnya ayam broiler dan informasi

diharapkan menjadi awal dari penelitian selanjutnya, serta membantu pemerintah dalam mengurangi pencemaran lingkungan.


(22)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Broiler

Broiler merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat pertumbuhannya, karena merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi sehingga memiliki sifat ekonomi yang menguntungkan, diantaranya dapat dipanen umur 5-6 minggu (Rasyaf, 2007). Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang harganya relatif murah, dapat dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat menengah ke bawah, serta cukup tersedia di pasaran (Murtidjo, 2003). Produktivitas ayam broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi ransum, kualitas ransum, jenis kelamin, lama pemeliharaan dan aktivitas. Selain itu pertambahan bobot badan, konversi ransum, genetik, iklim dan faktor penyakit (North dan Bell, 1990).

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan dalam jangka waktu tertentu dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrien yang lain (Wahju, 2004). Menurut Rasyaf (2007) konsumsi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan ayam broiler dan konsumsi itu dipengaruhi oleh suhu, sistem pemberian ransum, kesehatan ayam, besar tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas, kualitas ransum serta sifat genetik dari ayam broiler. Konsumsi sangat berpengaruh pada produksi yang dicapai karena bila nafsu makan rendah akan menyebabkan laju pertumbuhan dari ayam tersebut menjadi terhambat dan akhirnya produksi akan menjadi menurun (Rasyaf, 2007). Konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan dan setiap


(23)

6

minggunya ayam mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya (Fadilah et al., 2007). Menurut Wahju (2004) konsumsi ransum ayam jantan lebih banyak dari pada ayam betina dan lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging dari pada ayam betina (North dan Bell, 1990).

Salah satu hal penting dalam menentukan produksi ternak adalah dengan mengetahui pengukuran pertambahan bobot badan ternak. Pertambahan bobot badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama periode tertentu dan diperoleh melalui penimbangan berulang dalam waktu tertentu misalnya tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap waktu lainya (Tillman et al., 1991). Menurut Rose (1997) pertambahan bobot badan berlangsung sesuai dengan kondisi fisiologis ayam, yaitu bobot badan akan berubah kearah bobot badan dewasa. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa pertumbuhan pada ayam broiler dimulai dengan perlahan kemudian berlangsung cepat sampai dicapai pertumbuhan maksimum setelah itu menurun kembali hingga akhirnya terhenti. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur 4-5 minggu, kemudian mengalami penurunan (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah galur ayam, jenis kelamin, faktor lingkungan, energi metabolis dan kandungan protein ransum (Wahju, 2004). Menurut Ensminger (1992) abnormalitas kondisi tubuh dicerminkan oleh menurunnya konsumsi, terjadi penurunan bobot badan dan meningkatnya nilai konversi ransum.

Lacy dan Vest (2000) menyatakan konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak dan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama kurun waktu


(24)

7

tertentu. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan semakin tinggi konversi ransum menunjukan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan. Konversi ransum merupakan parameter penting sebagai tinjauan ekonomis biaya ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum semakin menguntungkan, hal ini disebabkan semakin sedikit ransum diberikan untuk menghasilkan berat badan tertentu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

Mengetahui efisiensi penggunaan ransum secara ekonomis, selain memperhitungkan bobot badan yang dihasilkan dan efisiensi ransum, faktor biaya juga perlu diperhitungkan. Selisih harga penjualan dengan biaya DOC dan pakan merupakan parameter yang digunakan dalam menentukan nilai ekonomis pemeliharaan (Prawirokusumo, 1990). Income Over Feed and Chick Cost

(IOFCC) merupakan brometer untuk melihat seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk pakan dalam usaha peternakan. IOFCC dihitung dengan selisih dari total pendapatan dengan total biaya pakan dan DOC digunakan selama usaha penggemukan ternak (Prawirokusumo, 1990).

Badan Standardisasi Nasional (1995) menjelaskan karkas ayam pedaging adalah bagian tubuh ayam pedaging setelah dikurangi bulu, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker). Soeparno (1994) menyatakan faktor yang mempengaruhi karkas adalah bangsa, jenis kelamin, umur, bobot badan, dan ransum. Umur berpengaruh terhadap berat karkas yang disebabkan oleh adanya perubahan alat-alat tubuh terutama penambahan dari lemak karkas (Soeparno, 1994).

Menurut Suprijatna et al. (2008) organ ayam broiler terdiri dari organ pencernaan dimulai dari mulut, kerongkongan, tembolok, proventrikulus, rempela,


(25)

8

usus halus, usus buntu (sekum), usus besar, kloaka dan anus. Organ dalam lainya adalah hati, jantung, dan lemak abdominal (Suprijatna et al., 2008). Putnam (1991) menyatakan persentase hati 1,70-2,80%, jantung 0,27%-0,42%, rempela 1,6-2,3%, dan lemak abdomen 2,64-3,3%. Usus halus pada ternak merupakan organ penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrien bahan ransum (Gillespie, 2004). Menurut Nickle et al. (1977)panjang usus halus sekitar 1,5 meter pada ayam dewasa, terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus halus bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh, tipe makanan dan faktor lainnya. Menurut Rose (1997) dalam sekum terdapat bakteri yang membantu proses pendegradasian bahan makanan melalui proses fermentasi yang selanjutnya produk yang dihasilkan digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan zat makanan. Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa panjang sekum unggas normal berkisar antara 12 sampai 25 cm.

Mortalitas adalah kematian pada ayam broiler yang senantiasa terjadi dan sulit dihindari. Menurut Wiharto (1999) angka mortalitas untuk ayam broiler adalah kurang dari 5% dan ada banyak hal yang berpengaruh terhadap mortalitas dalam pemeliharaan unggas, seperti terserang penyakit, kekurangan ransum, kekurangan minum, temperatur, sanitasi, dan lain sebagainya (Wiharto, 1999). Hal yang perlu diperhatikan dalam menekan angka kematian adalah mengontrol kesehatan ayam, mengontrol kebersihan tempat ransum dan minum serta kandang, melakukan vaksinasi secara teratur, memisahkan ayam yang terkena penyakit dengan ayam yang sehat, dan memberikan ransum dan minum pada waktunya (Lacy dan Vest, 2000).


(26)

9

2.2 Potensi Kulit Buah Naga

Pohon atau tanaman buah naga (Hylocereus sp) berasal dari Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Winarsih, 2007). Seiring dengan perkembangannya, buah naga banyak dibudidayakan di Asia. Negara di Asia yang sudah melakukan pembudidayaan secara besar-besaran adalah Vietnam, Thailand, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Indonesia mulai meningkatkan budidaya tanaman ini (Cahyono, 2009). Indonesia memiliki potensi yang besar untuk membudidayakan tanaman buah naga yang hasilnya dapat diekspor, hal ini disebabkan Indonesia memiliki iklim tropis, sesuai dengan iklim yang dibutuhkan tanaman ini untuk tumbuh dengan baik (Cahyono, 2009).

Nama buah “naga” berasal dari masyarakat Vietnam dan orang Cina yang menganggap buahnya membawa berkah bagi mereka. Oleh karena itu, buah ini selalu diletakan diantara dua ekor patung naga di atas meja altar pemujaan dan warna merah pada buah menjadi sangat mencolok dan kontras diantara dua patung naga yang memiliki warna hijau, dari kebiasaan inilah dikalangan orang Vietnam yang sangat terpengaruh budaya Cina buah naga dikenal sebagai thang loy

(Muaris, 2012). Nama thang loy oleh orang Vietnam kemudian diterjemahkan di Eropa dan negara lain yang berbahasa Inggris sebagai dragon fruit (Indah dan Supriyanto, 2013). Selain itu, penampilan batangnya yang menjulur berwarna hijau mirip tubuh naga. Buahnya bersisik dan memiliki sayap seperti seekor naga karena itu menambah pencitraan bahwa buah ini dinamakan buah naga (Muaris, 2012). Buah naga sebenarnya adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga

hylocereus dan selenicereus. Adapun klasifikasinya menurut Kristanto (2008)


(27)

10

Divisi : Magnoliophyta

Subdivisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales

Family : Cactaceae

Genus : Hylocereus

Subfamily : Hylocereanea

Spesies : Hylocereus

Pohon buah naga dibudidayakan mulai tahun 2000 oleh Joko Rainu Sigit di Delangu, Klaten Jawa Tengah. Tanaman ini memiliki potensi yang baik dilihat dari permintaan yang terus meningkat diikuti dengan teknik budidaya yang mudah dilakukan (Jaya, 2010). Buah naga memiliki berbagai sebutan dibeberapa daerah, seperti di Cina disebut dengan Feny Long Kwa dan Thang Loy, di Thailand disebut Kaew Mangkorn, di Taiwan disebut Shien Mie Kou dan di Israel disebut

Pitahaya (Departemen Pertanian, 2009). Menurut Winarsih (2007) tanaman buah

naga sering dibuat menjadi tanaman hias, dalam setahun bisa berbuah tiga kali dan produksinya bisa terus meningkat dengan perawatan yang baik. Setiap tahun, tanaman ini meningkat begitu juga dengan impor buah ke Indonesia. Berdasarkan catatan dari eksportir buah di Indonesia, buah naga impor ini masuk ke tanah air mencapai antara 200-400 ton/tahun asal Thailand dan Vietnam (Winarsih, 2007).

Hingga saat ini pengembangan dan penanaman sentra produksi buah naga di Indonesia masih terpusat dibeberapa daerah seperti Jawa Timur (Jember, Pasuruan, Malang, Lumajang, Banyuwangi), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Bekasi, Sumedang, Indramayu), Jawa Tengah (Boyolali, Karanganyar, Kendal, Semarang, Pati, Wonosobo, Purbalingga, Pemalang, Banjarnegara,


(28)

11

Sragen, Sukoharjo), D.I.Yogyakarta (Sleman, Bantul, Kulonprogo), Sumatera Utara (Deli Serdang), Sumatera Barat (Padang Pariaman), Lampung (Lampung Timur, Tulang Bawang, Lampung Selatan), Riau (Kota Pekanbaru, Siak), Kepulauan Riau (Kota Batam, Bintan, Karimun, Tanjung Pinang) dan Kalimantan (Wibawa, 2008). Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menjadi salah satu pusat produksi buah naga di Indonesia (Direktorat Hortikultura Kementrian Pertanian, 2014).

Kulit buah naga merupakan bagian terluar yang biasanya dibuang sekitar 30-35% dari buah (Citramukti, 2008). Sedangkan bijinya menyatu dengan buah (Mustika et al., 2014). Produksi pada tahun 2014 adalah 28.819 ton dari jumlah sebanyak itu dapat diperoleh total kulit 8.645-10.086 ton (BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014). Pada beberapa penelitian kulit buah naga memiliki kandungan antioksidan dan zat warna alami yaitu antosianin cukup tinggi yang berperan memberikan warna merah (Daniel et al., 2014). Antosianin adalah kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar dalam tanaman (Abbas, 2003). Warna merah pada daging dan kulit mengindikasikan tingginya kandungan phenol (Nurliyana et al., 2010). Senyawa phenol dilaporkan banyak berperan dalam aktivitas biologis seperti antimutagenik, antikarsinogenik,

antiaging, dan antioksidan (Kosem et al., 2007).

2.3 Proses Mendapatkan Kulit Buah Naga

Tanaman buah naga (Hylocereus sp) pada awalnya dipergunakan sebagai tanaman hias karena sosoknya yang unik, eksotik, serta tampilan bunga dan buah yang menarik (Winarsih, 2007). Buah naga berkembang menjadi buah dengan tampilan berkulit merah serta bersisik dan semakin naik daun lantaran dipicu oleh


(29)

12

impor dari Thailand yang semakin membludak di pasar buah-buahan Indonesia (Winarsih, 2007). Semakin banyaknya permintaan, menjadi peluang para pekebun mulai mengembangkan budidaya buah naga di Indonesia. Buah naga sudah masuk pasaran, sehingga gampang dijumpai di swalayan diseluruh nusantara. Selain rasanya yang manis, buah naga mengandung manfaat bagi kesehatan. Maka tidak heran jika permintaan konsumen buah naga semakin hari semakin meningkat (Winarsih, 2007). Tanaman ini selain disukai buahnya untuk dikonsumsi, limbah kulitnya dapat diolah untuk diberikan pada ternak (Sadarman, 2013).

Semakin meningkatnya produksi buah naga diikuti dengan semakin banyaknya produksi makanan olahan berbahan baku buah naga maka akan meningkatkan jumlah limbah yang dihasilkan (Wahyuni, 2011). Cara mendapatkan kulit buah bisa langsung mencarinya ke tempat pembuatan makanan dari buah naga seperti keripik, mie, dodol, stik, bolu dan selai atau industri minuman seperti jus, sari buah, dan sirup.

Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari pemerasan atau penghancuran buah segar yang telah masak. Pada prinsipnya dikenal dua macam sari buah, pertama sari buah encer (dapat langsung diminum), yaitu cairan buah yang diperoleh dari pengepresan daging buah, dilanjutkan dengan penambahan air dan gula pasir. Kedua sari buah pekat atau sirup, yaitu cairan yang dihasilkan dari pengepresan daging buah dan dilanjutkan dengan proses pemekatan, baik dengan cara pendidihan biasa maupun dengan cara lain seperti penguapan dengan hampa udara, dan lain-lain. Sirup ini tidak dapat langsung diminum, tetapi harus diencerkan dulu dengan air (Margono et al., 1993). Adapun diagram alir pengolahan pembuatan sari atau sirup buah dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(30)

13

Gambar 2.1 Bagan Proses Pengolahan Buah Menjadi Sari Buah dan Sirup (Margono etal., 1993)

2.4 Kandungan Gizi Kulit Buah Naga

Kulit buah naga berpotensi sebagai bahan obat karena memiliki kandungan sianidin 3-ramnosil glukosida 5-glukosida (Saati, 2009). Menurut Wahyuni (2011) kulit buah naga berkhasiat untuk mencegah kanker usus, kencing manis dan berbagai penyakit. Jaafar (2009) dan Woo et al. (2011) menyatakan bahwa kulit buah naga mengandung berbagai macam senyawa seperti golongan flavonoid,

thiamin, niacin, pyridoxine, kobalamin, fenolik, polyphenol, karoten,

phytoalbumin, dan betalain. Serta terdapat zat lain yang berkhasiat sebagai

buah segar dipotong-potong

disaring kulit sebagai

limbah

ditambah air, gula, natrium benzoat, asam sitrat, dan garam diperas atau dipres buah

hingga jadi bubur

dimasukan dalam botol dan tutuprapat

sari buah yang sudah dimasukan dalam botol direbus dalam air mendidih (± 30 menit)

diangkat

sari buah endapan

sebagai bahan pembuatan dodol dan selai

sirup dibotolkan

disaring

didihkan hingga agak pekat

endapan bisa dan langsung dipake sebagai selai


(31)

14

antioksidan yaitu betacyanins dan betaxanthins (Tang dan Norziah, 2007). Menurut Nurliyana et al. (2010) kandungan phenolic yang terdapat pada kulit sebesar 28,16 mg/100 g, sedangkan pada daging buah hanya sebesar 19,72 mg/100 g, dari hasil penelitian tersebut menunjukan kulit buah naga mengandung antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan daging buahnya. Selain itu, kulit buah naga juga memiliki kandungan vitamin C yang dapat diberikan sebagai vitamin alami (Sadarman, 2013).

Wu et al. (2005) menjelaskan kulit buah naga kaya polyphenol dan sumber

antioksidan yang baik. Menurut studi yang dilakukannya terhadap total phenolic

konten, aktivitas antioksidan dan kegiatan antiproliferative, kulit buah lebih kuat inhibitor pertumbuhan sel-sel kanker dari pada dagingnya dan tidak mengandung toksik. Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau menghambat dan mencegah terjadinya proses oksidasi (Amrun et al., 2007). Selain itu antioksidan juga diartikan sebagai senyawa yang dapat melawan radikal yang dihasilkan dari proses metabolisme oksidatif. Senyawa antioksidan juga dapat mengurangi resiko terhadap penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung koroner (Amrun et al., 2007).

Manfaat dari kulit buah naga adalah menghambat sel-sel kanker atau tumor ganas yang bersarang pada tubuh, membantu menjaga kesehatan kulit, bahkan buah sebagai sumber pewarna alami makanan, mencegah diabetes dan penyakit jantung, sebagai alat pendektesi makanan yang mengandung borak dan formalin (Julio et al., 2014). Hasil analisis proksimat yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK) bahwa komposisi nutrien kulit buah naga didapatkan protein


(32)

15

8,79%, serat kasar 24,83%, abu 20,06%, lemak 1,32%, energi 2887 Kkal/kg, kalsium 2,35% dan posfor 0,30%.

2.5 Kulit Umbi Ungu Sebagai Pembanding Kandungan Antioksidan

Sama halnya, pada kulit umbi jalar ungu (Ipomea Batatas L) memiliki warna ungu yang cukup pekat pada daging umbinya, warna ungu pada umbi jalar disebabkan oleh adanya pigmen ungu antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai dengan daging umbinya (Pakorny et al., 2001). Antosianin pada kulit umbi jalar ungu mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Pakorny et al., 2001). Menurut Sagain (2015) selain antosianin dan betakaroten, warna jingga pada umbi jalar mengindikasikan akan tingginya kandungan senyawa Lutein dan Zeaxantin, pasangan antioksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil dan merupakan pembentuk vitamin A serta merupakan senyawa aktif yang memiliki peran penting dalam menghalangi proses perusakan sel (Sagain, 2015). Umbi jalar ungu juga kaya vitamin E untuk memenuhi kebutuhan sehari bagi manusia (Sagain, 2015). Umbi jalar ungu (Ipomoea Batatas L) mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi dari pada umbi jalar jenis lain. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kandungan antosianin pada kulit umbi ungu lebih tinggi dibandingkan daging umbinya (Cevallos-Cassals and Cisneros-Zevallos, 2002; Steed and Truong, 2008; Montilla et al., 2011).

Secara nutrien, umbi jalar pada umumnya didominasi oleh karbohidrat (Depkes, 1981). Menurut Susilawati dan Medikasari (2008) tepung umbi jalar ungu mengandung protein 2,79% dan serat 4,72%. Selain itu mempunyai kadar abu 2,62%, lemak 2,32% (Hardoko et al., 2010). Pada kulit umbi jalar ungu ditemukan antosianin dan peonidin glikosida yang mempunyai aktivitas


(33)

16

antioksidan lebih kuat, dengan demikian kulit umbi jalar ungu mempunyai potensi besar sebagai sumber antioksidan alami dan sekaligus sebagai pewarna alami (Hardoko et al., 2010). Senyawa antosianin berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan untuk mencegah terjadi penuaan, kanker, dan penyakit degeneratif. Selain itu, antosianin memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik, mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan menurunkan kadar gula darah (Jusuf et al., 2008).

Menurut hasil penelitian Laiku (2012) bahwa penggunaan 10% ubi jalar ungu (Ipomoea Batatas L.) terfermentasi dengan inokulan berbeda ke dalam ransum itik Bali betina umur 23 minggu menunjukan hasil bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, persentase daging, persentase tulang, persentase lemak itik Bali betina umur 23 minggu tidak berbeda nyata dengan pemberian ransum perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan oleh kandungan nutrien ransum yang mendekati sama pada setiap perlakuan sehingga tingkat konsumsi ransum juga mendekati sama.

2.6 Upaya Peningkatan Nilai Nutrien Kulit Buah Naga

Pemanfaatan kulit buah naga sebagai pakan ternak terutama unggas memiliki keterbatasan, hal tersebut karena kulit buah naga memiliki kandungan serat kasar tinggi dan protein yang rendah. Salah satu proses yang banyak dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrien suatu bahan berserat tinggi adalah melalui fermentasi (Ghanem et al., 1991). Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu atau proses


(34)

17

fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob, yaitu tanpa memerlukan oksigen (Fardiaz, 1998).

Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu pakan baik dari aspek nutrien maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya (Supriatna, 2005). Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrien yang lebih tinggi dari bahan aslinya, hal ini disebabkan mikroba bersifat katabolik yang mempunyai kemampuan merubah komponen kompleks yang terkandung dalam bahan pakan asal menjadi zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Winarno dan Fardiaz, 1979). Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya seluosa dan hemiselulsa menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1983).

Salah satu mikroba yang dapat digunakan adalah Aspergillus niger yang termasuk dalam kelompok jamur (kapang), kapang ini sangat baik dikembangkan karena tumbuh cepat (Winarno, 1983). Klasifikasi Aspergillus niger menurut Hardjo et al. (1989) sebagai berikut: genus Aspergillus, famili Euritaceae, ordo

Eutiales, kelas Asomycotina, divisi Asmatgmycota. Hidayat (2007) Aspergillus

niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan

konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus dan berwarna


(35)

18

coklat (Hidayat, 2007). Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC - 37ºC (optimum), 6ºC - 8ºC (minimum), 45ºC - 47ºC (maksimum) (Hidayat, 2007).

Penggunaan Aspergillus niger sudah banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah, cepat, menghasilkan enzim selulolitik, dan juga enzim amilolitik seperti amylase dan glukoamilase (Ratanaphadit et al., 2010)

.

Kapang Aspergillus niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan (Supriatna, 2005). Selain itu, penggunaannya mudah karena banyak digunakan secara komersial sehingga banyak digunakan untuk memproduksi asam sitrat, asam glukonat, dan beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amilo-glukosidase, dan selulase (Hardjo et al., 1989). Enzim selulase yang dihasilkan Aspergillus niger mampu merombak struktur serat kasar yang sulit dicerna menjadi lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Lunar, 2012). Hasil analisis proksimat yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK) dan Balai Pemeriksaan Mutu Pakan Ternak (BPMPT) bahwa komposisi nutrien kulit buah naga difermentasi Aspergillus niger

didapatkan protein 10,71%, serat kasar 21,78%, abu 17,95%, lemak 1,23%, energi 2975 Kkal/kg, kalsium 1,75%, dan posfor 0,35%.

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian dan diketahui bahwa terdapat perubahan kandungan nilai nutrien pada substrat melalui proses fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger. Fermentasi bungkil kelapa dengan

Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan asam amino

serta menurunkan kandungan serat kasar (Sinurat et al., 1998). Fermentasi kulit umbi ketela pohon oleh Aspergillus niger selama 96 jam menurunkan serat kasar dari 32,07% menjadi 23,66% (Gushairiyanto, 2004). Fermentasi limbah sawit


(36)

19

dengan kandungan serat kasar 48,88% oleh Aspergillus niger menghasilkan kandungan serat kasar 27,31% (Mirwandhono et al., 2004). Fermentasi kulit buah markisa dengan Aspergillus niger meningkatkan protein dari 13,12% menjadi 18,13% dan menurunkan serat kasar dari 29,9% menjadi 22,1% (Supriatna, 2005)

2.7 Kulit Buah Naga untuk Pakan Ternak

Sadarman (2013) melaporkan mengenai pemberian ekstrak kulit buah naga dalam air minum sebagai antioksidan terhadap status kesehatan ayam pedaging memberikan peningkatan eritrosit (sel darah) dengan perlakuan tertinggi ditunjukan oleh T4 (penambahan ekstrak kulit buah naga 53,25 g/5 ml/ekor) 2,22±0,26; T1 (kontrol) 2,21±0,09; T2 (penambahan ekstrak kulit buah naga 17,75 g/5 ml/ekor) dan T3 (penambahan ekstrak kulit buah naga 35,50 g/5 ml/ekor) menghasilkan nilai yang sama yaitu 2,11±0,14 dan 2,11±0,11. Hasil analisis menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata. Hal ini diduga bahwa zat yang terkandung dalam kulit buah naga belum mampu menyebabkan perubahan jumlah eritrosit pada ayam pedaging, karena eritrosit pada semua perlakuan tidak mampu bertahan lebih lama dalam sistem transportasi.

Nilai hematokrit pada penelitian ini dari tertinggi hingga terendah yaitu perlakuan T4 (27,66±2,90%); T1 (26,94±0,76%); T2 (25,84±2,04%) dan T3 (25,74±1,86%). Nilai hematokrit masih berada dalam kisaran normal sekitar 22,0-35,0%. Hemoglobin penting untuk kelangsungan hidup karena membawa dan mengantarkan oksigen ke jaringan tubuh. Hemoglobin perlakuan T1 (7,28 g/dl) cenderung lebih tinggi dari T2 (6,76 g/dl), T3 (6,92 g/dl) dan cenderung lebih rendah dari T4 (7,50 g/dl). Pada penelitian ini menunjukan kadar hemoglobin masih berada dalam kisaran normal yaitu 7,0-13,0 g/ml.


(37)

20

Nilai leukosit perlakuan T1 (703,64) cenderung lebih tinggi dari perlakuan T3 (692,04) dan cenderung lebih rendah dari perlakuan T4 (721,16) dan T3 (751,64). Namun demikian, tidak menunjukan perbedaan yang nyata dengan kontrol. Peningkatan jumlah leukosit ayam pedaging dalam penelitian ini diduga karena kondisi terinfeksi atau terjadinya radang selama pemeliharaan berlangsung atau karena kondisi stress pada saat pengambilan darah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak kulit buah naga dalam air minum menunjukan peningkatan eritrosit, hemoglobin dan nilai hematokrit ayam pedaging dan peningkatan tersebut masih berada dalam batas normal, sedangkan leukositnya meningkat tajam. Namun demikian, pemberian ekstrak kulit buah naga dalam air minum sebagai antioksidan tersebut dapat meningkatkan status kesehatan ayam pedaging.

Wulandari (2011) menyatakan mengenai efektifitas penggunaan limbah kulit buah naga dalam ransum sebagai alternatif suplemen alami hingga 6% dapat meningkatkan warna kuning telur yang lebih pekat, terlihat pada perlakuan P4 (penambahan kulit buah naga 6% dalam ransum) sebesar 10; P3 (penambahan kulit buah naga 3% dalam ransum); P2 (penambahan kontrol+ekstrak air minum buah naga 10%) dan P1 (kontrol) sebesar 9. Berdasarkan analisis, tidak berbeda nyata. Rataan produksi perlakuan P4 lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1, P2, dan P3. Produksi telur mengalami puncak produksi pada minggu ke-3 dengan produksi telur terbanyak pada perlakuan P4 (75,80); P2 (63,52); P1 (57,01) dan P3 (42,04). Indeks telur pada P4 menunjukan hasil tertinggi sebesar (63,01), P1 (62,27), P3 (61,15); dan P2 (61,10).


(38)

21

Haugh Unit (HU) tertinggi penelitian ini ditunjukan pada perlakuan P2

(78,27); P3 (76,57); P4 (76,00); dan P1 (67,75). Menurut USDA (1964) HU lebih dari 72 termasuk dalam kualitas AA, bila HU 60-72 termasuk kualitas A, dan HU 31-60 termasuk kualitas B, serta HU kurang dari 31 termasuk kualitas C. Kualitas telur hasil penelitian pada penambahan buah naga pada air minum atau penambahan kulit buah naga pada ransum dapat dikelompokkan pada telur berkualitas AA, sedangkan kontrol termasuk dalam telur kualitas A. Dari data penelitian ini, konversi ransum yang baik terlihat pada P1 (2,26); P3 (2,3); P2 (2,45) dan P4 (2,54). Penggunaan kulit buah naga cenderung meningkatkan konversi ransum. Disimpulkan bahwa pemberian tepung kulit buah naga dapat diberikan pada ayam petelur dan tidak mempengaruhi kualitas telur ayam.

Mustika et al. (2014) menunjukan bahwa penambahan tepung kulit buah naga merah pada ransum puyuh dapat diberikan 1% tanpa berpengaruh buruk. Selanjutnya pemberian 1% menyebabkan penurunan terhadap konsumsi ransum, secara numerik konsumsi ransum tertinggi yaitu P2 (penambahan 0,50% tepung kulit buah naga merah) 27,12±0,10 g/ekor/hari; P1 (penambahan 0,25% tepung kulit buah naga merah) 26,85±0,77 g/ekor/hari; P3 (penambahan 0,75% tepung kulit buah naga merah) 26,68±0,98 g/ekor/hari); P0 (kontrol) sebesar 26,46±1,09 g/ekor/hari dan P4 (penambahan 1% tepung kulit buah naga merah) 26,29±1,22 g/ekor/hari dan menunjukan perlakuan berpengaruh tidak nyata.

Nilai Hen Day Production (HDP) tertinggi hingga terendah berturut P2 (87,77±5,30%); P0 (87,57±9,53%); P1 (85,99±5,28%); P4 (85,57±7,86%) dan P3 (81,75±7,36%). Selanjutnya data FCR (Feed Convertion Ratio) berturut P1 (2,41±0,07); P2 (2,39±0,03); P0 (2,38±0,17); P3 (2,35±0,08); dan P4 (2,35±0,13).


(39)

22

Secara numerik nilai FCR terendah diperoleh perlakuan P4, hal ini menunjukan penambahan tepung kulit buah naga merah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan menurunkan nilai FCR. Dijelaskan pula bahwa nilai

Income Over Feed Cost (IOFC) tertinggi hingga terendah antara lain perlakuan P2

(120,84±20,66); P0 (119,96±26,42); P1 (119,41±26,42); P4 (115,69±16,94); dan P3 (103,08±18,52). secara numerik nilai IOFC tertinggi didapatkan pada perlakuan P2. Disimpulkan bahwa pemberian 1% kulit buah naga merah tidak memberikan efek negatif pada tubuh ternak dan tidak mempengaruhi produktivitas ternak puyuh.

Penelitian lain oleh Rosa et al. (2013) menyatakan pemberian tepung kulit buah naga sebagai suplemen dalam ransum guna menghasilkan telur puyuh yang kaya vitamin A dan rendah kolesterol sampai level 4% dapat memberikan peningkatan terhadap persentase produksi telur dan mengalami puncak produksi pada minggu ke-4 dengan produksi telur terbanyak pada P3 (penambahan 4% tepung kulit buah naga) 16,30, P1 (penambahan 1% tepung kulit buah naga) 15,60, P0 (kontrol) 14,35 dan P2 (penambahan 2% tepung kulit buah naga) 11,90. Warna kuning telur pada penelitian ini berkisar 6,44-7,67. Warna kuning telur tertinggi sampai terendah berturut P3 (7,67±0,50); P2 (7,44±0,53), P1 (6,67±0,71) dan P0 (6,44±0,73). Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan

karotenoid pada tepung kulit buah naga yang tinggi sehingga meningkatkan skor

warna pada kuning telur. Sedangkan konsumsi tertinggi terjadi pada perlakuan P2 (17,465 g/ekor/hari), P3 (17,055 g/ekor/hari), P0 (16,730 g/ekor/hari) dan P1 (16,680 g/ekor/hari). Dijelaskan pula bahwa bobot telur selama penelitian berkisar 9,25-9,60 g/butir. Bobot telur tersebut masih dalam batas normal yaitu 7-11


(40)

23

g/butir dan hasil analisis menunjukan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan tertinggi ditunjukan pada P1 (9,60±0,40 g/butir); P2 (9,40±0,51 g/butir); P0 (9,32±0,46 g/butir); dan P3 (9,25±0,47 g/butir).

Haugh Unit (HU) pada penelitian ini berkisar 62,02-63,84%. HU tertinggi

terdapat pada P0 (63,84±1,76); P1 (63,29±0,77); P2 (62,02±1,15); dan P3 (62,19). Hal ini menunjukan bahwa pemberian tepung kulit buah naga dapat menurunkan HU pada telur puyuh. Tebal kerabang berkisar 0,14-0,16 mm dan perlakuan tertinggi terjadi pada P0 (0,16±0,01 mm); P1 (0,16±0,01 mm); P2 (0,15±0,01 mm) dan P3 (0,14±0,01 mm). Dijelaskan, penurunan tebal kerabang dimungkinkan karena rasio Ca:P dalam ransum yang ditambahkan tepung kulit buah naga menjadi berubah sehingga mempengaruhi imbangan tersebut.

Kandungan Vitamin A pada telur puyuh dengan perlakuan P2 merupakan kandungan tertinggi (2090,90 IU/100g) cenderung lebih tinggi dari perlakuan P3 (1668,32 IU/100g), P0 (1667,55 IU/100g) dan P1 (1613,52 IU/100g). Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan suplemen yang menggunakan panas. Vitamin A sangat rentan terhadap panas dan menyebabkan vitamin A rusak sehingga kandungan vitamin A pada telur puyuh tidak meningkat. Hasil analisis kandungan kolesterol pada penelitian ini diketahui kolesterol pada telur puyuh mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perlakuan tertinggi pada P1 (27,68 mg/g); P2 (27,05 mg/g); P3 (26,83 mg/g) dan P0 (26,63 mg/g). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian atau pemberian kulit buah naga masih sangat terbatas dan secara umum memberikan dampak positif.


(41)

24

2.8 Bahan atau Limbah lain yang Difermentasi

Bahan pakan konvensional dari limbah pertanian telah banyak diteliti dan umumnya mempunyai nilai nutrien rendah, sehingga membutuhkan teknologi pengolahan (Stephanie dan Purwadaria, 2013). Kemajuan teknologi diberbagai sektor seperti bidang pertanian dan peternakan merupakan suatu terobosan yang dapat memecahkan atau menghasilkan jawaban terhadap perubahan kebutuhan (Atdmadilaga, 1991). Upaya untuk memperbaiki kualitas nilai nutrien, mengurangi atau menghilangkan pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat dilakukan dengan penggunaan mikroorganisme melalui proses fermentasi (Widjastuti et al., 2007).

Beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan komposisi nilai nutrien bahan pakan dalam substrat melalui fermentasi. Menurut Supriatna (2005) fermentasi kulit buah markisa dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 13,12% menjadi 18,13%, energi dari 4495 Kkal/kg menjadi 4972 Kkal/kg serta kandungan nutrien lainya yang essensial bagi ternak dan menurunkan serat kasar dari 29,9% menjadi 22,1%. Hasil penelitian Sembiring dan Wahyuni (2005) menunjukan bahwa pemanfaatan kulit buah markisa hingga level 16% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan lemak abdominal ayam broiler.

Hasil fermentasi kulit pisang oleh probiotik meningkatkan protein 127%. Sebelum fermentasi protein 6,65% dan setelah difermentasi meningkat sebesar 14,88% (Udjianto et al., 2005). Sedangkan menurut Koni et al. (2013) kulit pisang yang difermentasi Rhyzopus oligosporus mengalami peningkatan dari 3,63% menjadi 22,15%. Dijelaskan pula bahwa penggunaan kulit pisang


(42)

25

fermentasi Rhyzopus oligosporus hingga 15% tidak mempengaruhi konsumsi ransum tetapi nyata menurunkan pertambahan bobot badan dan meningkatkan konversi ransum, dari hasil penelitan tersebut penggunaan 10% kulit pisang fermentasi dalam ransum ayam pedaging memberikan hasil terbaik.

Ibrahim et al. (2015) menjelaskan penggunaan kulit nanas mengandung gulma yang difermentasi dengan youghurt hingga level 22,5% dalam ransum memberikan pengaruh yang baik terhadap lemak dan kolesterol ayam broiler. Selanjutnya, Aro (2008) melaporkan bahwa protein kulit singkong tanpa fermentasi sebesar 8,2% dan setelah fermentasi menjadi 14%. Hasil penelitian Stephanie dan Purwadaria (2013) menunjukan fermentasi kulit singkong menggunakan fungi merupakan salah satu metode pengolahan yang baik, karena dapat meningkatkan kandungan protein atau asam amino esensial, menurunkan serat kasar dan senyawa sianogenik yang berbahaya. Selain itu, nilai kecernaan karbohidrat maupun protein pada kulit singkong fermentasi juga lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi. Kulit singkong terfermentasi berpotensi mensubstitusi jagung pada ransum unggas sampai 10%.

Penelitian lain oleh Abun (2005) menunjukan bahwa fermentasi ampas umbi garut menggunakan Aspergillus niger pada tingkat 15% dalam ransum nyata menurunkan nilai kecernaan ransum yaitu bahan kering dan protein. Menurut Yadyana et al. (2012) pemberian 10% ransum ubi jalar ungu terfermentasi

Aspergillus niger dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik,

lemak, protein, retensi protein dan pertambahan bobot badan pada itik Bali.

Hasil penelitian Nurhayati et al. (2006) menunjukan pengaruh yang sangat nyata dari perlakuan berbagai campuran bungkil inti sawit dan onggok yang


(43)

26

difermentasi oleh Aspergillus niger terhadap kandungan nutrien. Kandungan abu, protein, kalsium dan posfor mengalami peningkatan setelah dilakukan fermentasi. Sebaliknya kandungan lemak pati, gula dan energi metabolis mengalami penurunan. Selanjutnya, hasil fermentasi kulit buah kakao oleh jamur Marasmius sp dapat menurunkan serat kasar dari 38,45% menjadi 23,29%, selulosa dari 22,90% menjadi 17,72%, dan lignin dari 15 ,54% menjadi 2,97% (Suhermiyati, 2003). Menurut Guntoro et al. (2002) kandungan gizi kulit buah kakao yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger menghasilkan protein 15-17% dan serat kasar turun dari 21-23% menjadi 10-11%.

Noferdiman (2012) menjelaskan penggunaan Azolla microphylla

difermentasi menggunakan jamur Trichoderma Harzianum meningkatkan protein kasar dari 26,67% menjadi 34,06% dan dapat dimanfaatkan hingga 50% sebagai pengganti bungkil kedelai dalam ransum tanpa mengganggu organ pencernaan ayam broiler.

Mulyani et al. (2013) ampas tahu yang difermentasi dengan Bacillus

amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum meningkatkan protein dari 3,61%

menjadi 13,65% dan serat kasar 4,74% menjadi 24,14%. Menurut hasil penelitiannya bahwa pemberian ransum fermentasi ampas tahu berpengaruh nyata untuk meningkatkan pertambahan bobot badan ternak itik alabio. Saputra et al.

(2013) menyatakan pemberian ampas tahu terfermentasi Bacillus

amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum tidak menunjukan pengaruh nyata

terhadap bobot potong, bobot karkas, bobot jeroan (hati, jantung dan usus). Namun berpengaruh nyata terhadap bobot jantung itik alabio betina umur 6 minggu. Sedangkan penelitian Putri et al. (2013) penggunaan ampas tahu yang


(44)

27

difermentasi menggunakan Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma

harzianum tidak mempengaruhi analisis pH, keempukan, air bebas dan warna

pada daging itik alabio betina.

Hasil penelitian lain oleh Fransistika et al. (2012) menunjukan pengaruh waktu fermentasi campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger

meningkatkan kandungan protein ampas sagu, dan hasil terbaik diperoleh dengan waktu 6 hari dengan kadar protein sebesar 16,27%, sedangkan kandungan serat kasar dari ampas sagu cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Selanjutnya, hasil penelitian Sandi et al. (2012) mengenai pengaruh penambahan ampas tahu dan dedak fermentasi oleh EM-4 terhadap karkas, usus dan lemak abdomen ayam broiler menunjukan hasil semakin tinggi level ampas tahu dan dedak fermentasi dalam ransum memberi hasil yang relatif sama dengan kontrol. Sukaryana (2010) menyatakan bahwa peningkatan energi metabolis produk fermentasi campuran bungkil inti sawit (80%) dan dedak padi (20%) oleh

Trichoderma viridie menghasilkan nilai sebesar 2149,33±4,90 lebih tinggi dari

pada campuran bungkil inti sawit (80%) dan dedak padi (20%) tanpa fermentasi sebesar 1836,04a±19,28 atau terjadi peningkatan sebesar 17,06%.


(1)

Secara numerik nilai FCR terendah diperoleh perlakuan P4, hal ini menunjukan penambahan tepung kulit buah naga merah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan menurunkan nilai FCR. Dijelaskan pula bahwa nilai Income Over Feed Cost (IOFC) tertinggi hingga terendah antara lain perlakuan P2 (120,84±20,66); P0 (119,96±26,42); P1 (119,41±26,42); P4 (115,69±16,94); dan P3 (103,08±18,52). secara numerik nilai IOFC tertinggi didapatkan pada perlakuan P2. Disimpulkan bahwa pemberian 1% kulit buah naga merah tidak memberikan efek negatif pada tubuh ternak dan tidak mempengaruhi produktivitas ternak puyuh.

Penelitian lain oleh Rosa et al. (2013) menyatakan pemberian tepung kulit buah naga sebagai suplemen dalam ransum guna menghasilkan telur puyuh yang kaya vitamin A dan rendah kolesterol sampai level 4% dapat memberikan peningkatan terhadap persentase produksi telur dan mengalami puncak produksi pada minggu ke-4 dengan produksi telur terbanyak pada P3 (penambahan 4% tepung kulit buah naga) 16,30, P1 (penambahan 1% tepung kulit buah naga) 15,60, P0 (kontrol) 14,35 dan P2 (penambahan 2% tepung kulit buah naga) 11,90. Warna kuning telur pada penelitian ini berkisar 6,44-7,67. Warna kuning telur tertinggi sampai terendah berturut P3 (7,67±0,50); P2 (7,44±0,53), P1 (6,67±0,71) dan P0 (6,44±0,73). Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan karotenoid pada tepung kulit buah naga yang tinggi sehingga meningkatkan skor warna pada kuning telur. Sedangkan konsumsi tertinggi terjadi pada perlakuan P2 (17,465 g/ekor/hari), P3 (17,055 g/ekor/hari), P0 (16,730 g/ekor/hari) dan P1 (16,680 g/ekor/hari). Dijelaskan pula bahwa bobot telur selama penelitian berkisar 9,25-9,60 g/butir. Bobot telur tersebut masih dalam batas normal yaitu 7-11


(2)

g/butir dan hasil analisis menunjukan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan tertinggi ditunjukan pada P1 (9,60±0,40 g/butir); P2 (9,40±0,51 g/butir); P0 (9,32±0,46 g/butir); dan P3 (9,25±0,47 g/butir).

Haugh Unit (HU) pada penelitian ini berkisar 62,02-63,84%. HU tertinggi terdapat pada P0 (63,84±1,76); P1 (63,29±0,77); P2 (62,02±1,15); dan P3 (62,19). Hal ini menunjukan bahwa pemberian tepung kulit buah naga dapat menurunkan HU pada telur puyuh. Tebal kerabang berkisar 0,14-0,16 mm dan perlakuan tertinggi terjadi pada P0 (0,16±0,01 mm); P1 (0,16±0,01 mm); P2 (0,15±0,01 mm) dan P3 (0,14±0,01 mm). Dijelaskan, penurunan tebal kerabang dimungkinkan karena rasio Ca:P dalam ransum yang ditambahkan tepung kulit buah naga menjadi berubah sehingga mempengaruhi imbangan tersebut.

Kandungan Vitamin A pada telur puyuh dengan perlakuan P2 merupakan kandungan tertinggi (2090,90 IU/100g) cenderung lebih tinggi dari perlakuan P3 (1668,32 IU/100g), P0 (1667,55 IU/100g) dan P1 (1613,52 IU/100g). Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan suplemen yang menggunakan panas. Vitamin A sangat rentan terhadap panas dan menyebabkan vitamin A rusak sehingga kandungan vitamin A pada telur puyuh tidak meningkat. Hasil analisis kandungan kolesterol pada penelitian ini diketahui kolesterol pada telur puyuh mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perlakuan tertinggi pada P1 (27,68 mg/g); P2 (27,05 mg/g); P3 (26,83 mg/g) dan P0 (26,63 mg/g). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian atau pemberian kulit buah naga masih sangat terbatas dan secara umum memberikan dampak positif.


(3)

2.8 Bahan atau Limbah lain yang Difermentasi

Bahan pakan konvensional dari limbah pertanian telah banyak diteliti dan umumnya mempunyai nilai nutrien rendah, sehingga membutuhkan teknologi pengolahan (Stephanie dan Purwadaria, 2013). Kemajuan teknologi diberbagai sektor seperti bidang pertanian dan peternakan merupakan suatu terobosan yang dapat memecahkan atau menghasilkan jawaban terhadap perubahan kebutuhan (Atdmadilaga, 1991). Upaya untuk memperbaiki kualitas nilai nutrien, mengurangi atau menghilangkan pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat dilakukan dengan penggunaan mikroorganisme melalui proses fermentasi (Widjastuti et al., 2007).

Beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan komposisi nilai nutrien bahan pakan dalam substrat melalui fermentasi. Menurut Supriatna (2005) fermentasi kulit buah markisa dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 13,12% menjadi 18,13%, energi dari 4495 Kkal/kg menjadi 4972 Kkal/kg serta kandungan nutrien lainya yang essensial bagi ternak dan menurunkan serat kasar dari 29,9% menjadi 22,1%. Hasil penelitian Sembiring dan Wahyuni (2005) menunjukan bahwa pemanfaatan kulit buah markisa hingga level 16% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan lemak abdominal ayam broiler.

Hasil fermentasi kulit pisang oleh probiotik meningkatkan protein 127%. Sebelum fermentasi protein 6,65% dan setelah difermentasi meningkat sebesar 14,88% (Udjianto et al., 2005). Sedangkan menurut Koni et al. (2013) kulit pisang yang difermentasi Rhyzopus oligosporus mengalami peningkatan dari 3,63% menjadi 22,15%. Dijelaskan pula bahwa penggunaan kulit pisang


(4)

fermentasi Rhyzopus oligosporus hingga 15% tidak mempengaruhi konsumsi ransum tetapi nyata menurunkan pertambahan bobot badan dan meningkatkan konversi ransum, dari hasil penelitan tersebut penggunaan 10% kulit pisang fermentasi dalam ransum ayam pedaging memberikan hasil terbaik.

Ibrahim et al. (2015) menjelaskan penggunaan kulit nanas mengandung gulma yang difermentasi dengan youghurt hingga level 22,5% dalam ransum memberikan pengaruh yang baik terhadap lemak dan kolesterol ayam broiler. Selanjutnya, Aro (2008) melaporkan bahwa protein kulit singkong tanpa fermentasi sebesar 8,2% dan setelah fermentasi menjadi 14%. Hasil penelitian Stephanie dan Purwadaria (2013) menunjukan fermentasi kulit singkong menggunakan fungi merupakan salah satu metode pengolahan yang baik, karena dapat meningkatkan kandungan protein atau asam amino esensial, menurunkan serat kasar dan senyawa sianogenik yang berbahaya. Selain itu, nilai kecernaan karbohidrat maupun protein pada kulit singkong fermentasi juga lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi. Kulit singkong terfermentasi berpotensi mensubstitusi jagung pada ransum unggas sampai 10%.

Penelitian lain oleh Abun (2005) menunjukan bahwa fermentasi ampas umbi garut menggunakan Aspergillus niger pada tingkat 15% dalam ransum nyata menurunkan nilai kecernaan ransum yaitu bahan kering dan protein. Menurut Yadyana et al. (2012) pemberian 10% ransum ubi jalar ungu terfermentasi Aspergillus niger dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, lemak, protein, retensi protein dan pertambahan bobot badan pada itik Bali.

Hasil penelitian Nurhayati et al. (2006) menunjukan pengaruh yang sangat nyata dari perlakuan berbagai campuran bungkil inti sawit dan onggok yang


(5)

difermentasi oleh Aspergillus niger terhadap kandungan nutrien. Kandungan abu, protein, kalsium dan posfor mengalami peningkatan setelah dilakukan fermentasi. Sebaliknya kandungan lemak pati, gula dan energi metabolis mengalami penurunan. Selanjutnya, hasil fermentasi kulit buah kakao oleh jamur Marasmius sp dapat menurunkan serat kasar dari 38,45% menjadi 23,29%, selulosa dari 22,90% menjadi 17,72%, dan lignin dari 15 ,54% menjadi 2,97% (Suhermiyati, 2003). Menurut Guntoro et al. (2002) kandungan gizi kulit buah kakao yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger menghasilkan protein 15-17% dan serat kasar turun dari 21-23% menjadi 10-11%.

Noferdiman (2012) menjelaskan penggunaan Azolla microphylla difermentasi menggunakan jamur Trichoderma Harzianum meningkatkan protein kasar dari 26,67% menjadi 34,06% dan dapat dimanfaatkan hingga 50% sebagai pengganti bungkil kedelai dalam ransum tanpa mengganggu organ pencernaan ayam broiler.

Mulyani et al. (2013) ampas tahu yang difermentasi dengan Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum meningkatkan protein dari 3,61% menjadi 13,65% dan serat kasar 4,74% menjadi 24,14%. Menurut hasil penelitiannya bahwa pemberian ransum fermentasi ampas tahu berpengaruh nyata untuk meningkatkan pertambahan bobot badan ternak itik alabio. Saputra et al. (2013) menyatakan pemberian ampas tahu terfermentasi Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap bobot potong, bobot karkas, bobot jeroan (hati, jantung dan usus). Namun berpengaruh nyata terhadap bobot jantung itik alabio betina umur 6 minggu. Sedangkan penelitian Putri et al. (2013) penggunaan ampas tahu yang


(6)

difermentasi menggunakan Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum tidak mempengaruhi analisis pH, keempukan, air bebas dan warna pada daging itik alabio betina.

Hasil penelitian lain oleh Fransistika et al. (2012) menunjukan pengaruh waktu fermentasi campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger meningkatkan kandungan protein ampas sagu, dan hasil terbaik diperoleh dengan waktu 6 hari dengan kadar protein sebesar 16,27%, sedangkan kandungan serat kasar dari ampas sagu cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Selanjutnya, hasil penelitian Sandi et al. (2012) mengenai pengaruh penambahan ampas tahu dan dedak fermentasi oleh EM-4 terhadap karkas, usus dan lemak abdomen ayam broiler menunjukan hasil semakin tinggi level ampas tahu dan dedak fermentasi dalam ransum memberi hasil yang relatif sama dengan kontrol. Sukaryana (2010) menyatakan bahwa peningkatan energi metabolis produk fermentasi campuran bungkil inti sawit (80%) dan dedak padi (20%) oleh Trichoderma viridie menghasilkan nilai sebesar 2149,33±4,90 lebih tinggi dari pada campuran bungkil inti sawit (80%) dan dedak padi (20%) tanpa fermentasi sebesar 1836,04a±19,28 atau terjadi peningkatan sebesar 17,06%.