AKIBAT HUKUM PENCURIAN DANA KARTU KREDIT MELALUI PEMBELANJAAN DI INTERNET Studi Kasus Tentang Penyidikan Dan Pembuktian Di Polisi Daerah Jawa Timur.

(1)

   

Studi Kasus Tentang Penyidikan Dan Pembuktian Di Polisi

Daerah Jawa Timur

SKRIPSI

Oleh:

MOCH. TAUFIK ILMA DENI HIDAYAT NPM.0671010053

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA


(2)

   

Daerah Jawa Timur

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur

Oleh:

MOCH. TAUFIK ILMA DENI HIDAYAT NPM.0671010053

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA


(3)

   

AKIBAT HUKUM PENCURIAN DANA KARTU KREDIT MELALUI PEMBELANJAAN DI INTERNET

Studi Kasus Tentang Penyidikan Dan Pembuktian Di Polisi Daerah Jawa Timur

Disusun Oleh:

MOCH. TAUFIK ILMA DENI HIDAYAT NPM.0671010053

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

 

Pembimbing Pendamping

Sutrisno, SH., Mhum NIP. 030 193 492 Pembimbing Utama

Prof. Dr. Indrati Rini, SH, MS NIP. 130 936 179

Mengetahui, A.n Dekan Wadek I

Haryo Sulistyantoro, S.H., M.M. NIP. 030 212 027


(4)

   

PEMBELANJAAN DI INTERNET

Studi Kasus Tentang Penyidikan Dan Pembuktian Di Polisi Daerah Jawa Timur

Oleh:

MOCH. TAUFIK ILMA DENI HIDAYAT NPM.0671010053

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 21 Juni 2010

 

Mengesahkan, D E K A N

Haryo Sulistyantoro, S.H., M.M. NIP. 196206251991031 001

  TIM PENGUJI TANDA TANGAN

1. Prof. Dr. Indrati Rini, S.H., M.S. ( ________________________ )

NIP. 130 936 179

2. Sutrisno, SH.,Mhum. ( ________________________ )

NIP. 030 193 492

3. Haryo Sulistiyantoro, SH.,MM ( ________________________ )


(5)

   

Nama : Moch. Taufik Ilma Deni Hidayat Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 09 Oktober 1987 NPM : 0671010053

Konsentrasi : Hukum Pidana

Alamat : Jl. Anusanata 76 B Gedangan Sawotratap. Sidoarjo

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya susun dengan judul: “AKIBAT HUKUM PENCURIAN DANA KARTU KREDIT MELALUI PEMBELANJAAN DI INTERNET Studi Kasus Di Polisi Daerah Jawa Timur” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan atau plagiat. ---

Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini dicurigai sebagai hasil jiplakan atau plagiat maka saya bersedia dituntut di depan Pengadilan. Dan apabila Pengadilan telah memberikan keputusan yang berkekuatan hukum tetap dimana isinya menyatakan bahwa skripsi ini adalah secara sah dan meyakinkan merupakan hasil jiplakan atau plagiat maka saya bersedia untuk dicabut gelar kesarjanaan (sarjana hukum) yang saya peroleh. --- Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya serta penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya. ---

 

Surabaya, 14 Juni 2010 Penulis

MOCH. TAUFIK ILMA DENI HIDAYAT NPM.0671010053

Mengetahui Ketua Program Studi

Subani, S.H., M.Si NIP. 030 174 635


(6)

iv

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Rumusan Masalah ... 5

3. Tujuan Penelitian... 6

4....M anfaat Penelitian ... 6

5....Kajian Pustaka ... 7

a. Cyber Spase, Cyber Crime, Cyber Law ... 7

b. Internet... 9

c. Transaksi Elektronik... 9

d. Kartu Kredit ... 9

e. Penyelidik dan Penyelidikan, Penyidik dan Penyidikan ... 10

f. Pembuktian ... 10

g. Kepentingan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia... 12

h. Pengaturan Korban Kejahatan Dalam Hukum Positif Dan Upaya Hukum Korban Kejahatan carding ... 14

6....M etode Penelitian ... 15


(7)

v

e...Metode Pengolahan Data ... 17

f. Metode Analisis Data ... 17

7. Lokasi Penelitian ... 17

8. Waktu Penelitian ... 18

9. Jadwal Penelitian... 18

10. Anggaran Penelitian... 19 DAFTAR PUSTAKA


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Fenomena cyber crime di Indonesia merupakan perbincangan yang selalu menarik minat masyarakat. Dari masyarakat pada umumnya, sampai pada masyarakat yang memang pada khususnya memiliki keterkaitan langsung dengan fenomena cyber crime. Misalnya, aparat penegak hukum, akademisi, khusunya akademisi hukum. Hal ini sangat dirasa sekali saat mahasiswa Fakultas Hukum UPN “VETERAN” JAWA TIMUR menyelenggarakan seminar nasional mengenai dampak cyber crime dan sosialisasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya dibaca UU ITE).

Pada perkembangannya, ternyata penggunaan internet tersebut membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi. Sebagaimana sebuah teori mengatakan: "crime is a product of society its self”, yang secara sederhana dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang melahirkan suatu kejahatan. Semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat, semakin canggih pula kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat itu.

Berkaitan dengan hal tersebut, selanjutnya peneliti mencoba telusuri dan kaji mengenai cyber crime khususnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Kasus yang muncul kepermukaan dan diketahui oleh


(9)

publik pada umumnya adalah berdasarkan laporan akan terungkapnya para pelaku cyber crime atau laporan dari korban cyber crime akan kerugian yang dialaminya. Berikut ini adalah salah satu contoh kasus yang menunjukan tindakan cyber crime di kota Surabaya;

Kasus yang berhasil dibongkar IDIK IV Reserse Kriminal Polwiltabes Surabaya, tanggal 03 Juli 2005. Chandra Halim, 42, warga Kalijudan Asri Surabaya seorang pembobol bank dengan kartu kredit, terungkap kerugian yang dialami 10 bank dan dua lembaga pengeluar kartu kredit lain mencapai Rp 33,6 miliar. Yakni Bank Danamon, Niaga, ANZ, HSBC, BNI, Mandiri, BII, Standard Chartered Bank, Permata, Citibank, GE Extra Master Card, serta kartu belanja Carrefour. Chandra Halim diamankan polisi di kompleks ruko Rungkut Megah Raya, Kalirungkut, Minggu (3/7) malam. 1

UU ITE masih memiliki kelemahan salah satunya belum mencakup masalah operasional perbankan khusunya kegiatan perbankan yang memiliki potensi kejahatan dunia maya antara lain adalah layanan online shopping (berbelanja secara online) yang memberikan fasilitas pembayaran melalui kartu kredit (credit card fraud). Jenis kejahatan ini muncul akibat kemudahan sistem pembayaran menggunakan kartu kredit yang diberikan online shop. “Modusnya ialah pelaku menggunakan nomor kartu kredit korban untuk berbelanja di

online shop”. 2

Kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang dikenal dengan istilah Electronic Commerce yaitu suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena transaksi jual beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang dimanapun dan kapanpun. Dengan demikian semua

       1 

Info Kasus Pencurian kartu kredit di Surabaya, diakses dari

www.bi.go.id/Info-found.htm, Pukul 19.00, Sabtu, Tanggal 22 Mei 2010. 

2

Eddy O.S Hiariej, Hukum dan Teknologi, UGM Jogjakarta, November 2005, Hal. 22-23


(10)

transaksi jual beli melalui internet ini dilakukan tanpa ada tatap muka antara para pihak, dengan transaksi jual beli tersebut atas rasa kepercayaan satu sama lain, sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara elektronik pula baik melalui e-mail atau cara lainnya, oleh karena itu tidak ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional.

Kondisi seperti dijelaskan diatas tentu saja dapat menimbulkan berbagai akibat hukum dengan segala konsekuensinya, antara lain apabila muncul suatu perbuatan yang melawan hukum dari salah satu pihak dalam sebuah transaksi jual beli secara elektronik ini, akan menyulitkan pihak yang dirugikan untuk menuntut segala kerugian yang timbul dan disebabkan perbuatan melawan hukum itu, karena “Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet.” 3 Sehingga untuk melakukan tuntutan terhadapanya pun sangat sulit dilakukan tidak seperti tuntutan yang dapat dilakukan dalam hubungan hukum konvensional / biasa.

Kenyataan seperti ini merupakan hal-hal yang harus mendapat perhatian dan pemikiran untuk dicarikan solusinya, karena transaksi jual beli yang dilakukan melalui internet tidak mungkin terhenti, bahkan setiap hari selalu ditemukan teknologi terbaru dalam dunia internet, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengguna internet tersebut tidak mencukupi, dengan

       3 Departemen Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia, Buku Panduan

Untuk Memahami UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008, Hal. 93 


(11)

demikian harus diupayakan untuk tetap mencapai keseimbangan hukum dalam kondisi ini.

Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, Pihak kepolisian melalui Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1 butir 13 penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi serta bagaimana dan sebab – sebab tindak pidana tersebut. Informasi biasanya didapat dari NCB / Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau laporan dari negara lain yang kemudian diteruskan ke Unit cybercrime / satuan yang ditunjuk. Dalam teknik pembuktian aparat kepolisian perlu diteliti karena peristiwa pencurian dana kartu kredit terjadi di dunia maya yang dimana bukti - buktinya tidak bisa disentuh, diraba, dirasa, tetapi benda ini hanya bisa dilihat, diukur satuannya, dan diproses lebih lanjut juga dengan menggunakan komputer.

Dalam modusnya antara korban dan pelaku tidak pernah melakukan kontak secara fisik karena peristiwa tersebut terjadi di dunia maya, namun kerugian yang ditimbulkan adalah nyata. Selain itu dalam kenyataannya kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatanya tidak dibatasi oleh teritorial suatu Negara, yang mudah diakses kapanpun dan dari mana pun.


(12)

Dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan “modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.” 4

Berkaitan dengan hal tersebut perlunya penelitian ini berjudul “Akibat Hukum Pencurian Dana Kartu Kredit Melalui Pembelanjaan di Internet Studi Kasus Tentang Penyidikan Dan Pembuktian di Polisi Daerah Jawa Timur.” 2. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasar uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Apa tindakan operasional Polisi Daerah Jawa Timur dalam penyidikan pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet?

b. Bagaimana upaya-upaya Polisi Daerah Jawa Timur dalam pembuktian pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet?

c. Apa upaya hukum korban pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis:

a. Untuk menganalisis tindakan operasional Polisi Daerah Jawa Timur dalam penyidikan pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.

b. Untuk menemukan dan menganalisis upaya-upaya Polisi Daerah Jawa.

4Krisnawati, “et all”, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, 2006, Pena Pundi ksara, Jakarta, hlm. 3


(13)

Timur dalam pembuktian pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.

c. Untuk menemukan dan menganalisis upaya hukum korban pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian skripsi ini adalah :

a. Manfaat Teoritis :

Manfaat secara khusus yaitu dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan pengembangan ilmu hukum pada khususnya.

b. Manfaat Praktis :

(1) Bagi pihak-pihak yang berperkara

Menambah pengetahuan mengenai tindakan operasional penyidikan dan upaya pembuktian yang berkaitan dengan hukum Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya mengenai pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan di internet, hingga upaya hukum yang dapat ditempuh.

(2) Bagi Kepolisian

1) Agar tetap kosisten dalam memecahkan permasalahan hukum berdasarkan kebenaran agar dapat tercapainya suatu keadilan. 2) Agar selalu meningkatkan perlindungan hukum bagi masyarakat

yang dirugikan khususnya pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.


(14)

5. Kajian Pustaka a. Cyber crime

Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. TheU.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai:"…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized

behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data". Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer (1989) mengartikan: "kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal".

Dari beberapa pengertian di atas, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih (Wisnubroto, 1999). 5

Menurut Tb. Ronny R. Nitibaskara berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi melalui atau pada jaringan komputer didalam internet disebut

              5 

Pengertian Cyber crime menurut ahli hukum. Data kasus diakses dari www.simandiri.com./site/ket.definisi.php?p=cybercrime, Pukul 19.00, Sabtu, Tanggal 22 Mei 2010. 


(15)

cyber crime. 6

b. Cyber Space

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. 7

c. Cyber Law

Cyber law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu". Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini. 8

d. Internet

Internet adalah Sistem informasi global yang menghubungan berbagai jaringan komputer secara bersama-sama dalam suatu ruang global berbasis Internet Protocol.Internet merupakan jaringan luas dari komputer yang lazim disebut dengan orldwide network. Internet merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. 9 e. Transaksi Elektroik

UU ITE Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 menyebutkan

 6

  Tb. Ronny R. Nitibaskara, “Problema Yuridis Cybercrime”, Makalah pada Seminar Cyber Law, diselenggarakan oleh yayasan Cipta BAngsa, Bandung, Juli 2000, p. 2. 

 7

Departemen Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia, Buku Panduan Untuk Memahami UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008, hal. 94 - 95 

8 Tb. Ronny R. Nitibaskara, op.cit., 2000, p. 4. 

9 Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika,Jakarta,1990. Hal. 86  


(16)

Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Penjelasan transaksi secara elektronik, pada dasarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan dari sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau internet.

f. Kartu Kredit

Pengertian kartu kredit adalah uang plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi yang memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan pembayaranya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (finance change) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan. 10

g. Penyidik, Penyidikan dan Penyelidik, Penyelidikan

Penyidik (pasal 1 butir 1 KUHAP) : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Penyidikan (pasal 1 butir 2 KUHAP) : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu mem- buat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

10 Johannes Ibrahim, Kartu Kredit, (Dilematis antara Kontrak dan Kejahatan), PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal.11


(17)

tersangkanya”.

Penyelidik (Pasal 1 butir 4 KUHAP) : “Penyilidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan”. Penyelidikan (pasal 1 butir 5 KUHAP) : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

h. Pembuktian

(1) Pasal 1 angka 4 UU ITE :

Berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,

atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektronigmagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode, akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

(2) Pasal 5 ayat (3) UU ITE :

Dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.


(18)

Dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertang- gung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

(4) Pasal 7 UU ITE :

Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasar adanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ada padanya berasal dari sistem elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirim, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang. Kemudian saksi ahli harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun. Hal ini diatur dalam Pasal 43 ayat (5) huruf h dimana penyidik berwenang meminta batuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasar Undang – Undang ini sesuai dengan ketentuan hokum acara pidana yang berlaku.

i. Kepentingan Korban Kejahatan Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia Secara teoritis dan praktik sistem Peradilan di Indonesia kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai bagian perlindungan


(19)

Masyarakat sesuai teori kontrak sosial (sosial contract argument). 11 Secara Umum dalam teori dikenal ada dua model perlindungan, yaitu Pertama, model hak – hak prosedural (the action system). Secara singkat model ini menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, dan lain sebagainya. Selain itu, dengan adanya keterlibatan korban mempunyai segi positif dalam penegakan hukum, dan juga mempunyai segi negatif karena partisipasi aktif korban dalam pelaksanaan proses peradilan pidana dapat menyebabkan kepentingan pribadi terletak diatas kepentingan umum. Namun demikian secara historis, teori dimaksud merupakan latar belakang terhadap terbentuknya lembaga kejaksaan, sebagaimana dikatakan oleh Jan JM Van Dijk, The Hague, bahwa : “Historically this has been the

main justification for the estabilishment of the office the public

prosecutor”. 12

Kedua, Model pelayanan yang menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan. Apabila dianalisis, ternyata baik model hak – hak prosedural maupun model pelayanan masing – masing mempunyai kelemahan. Model

11 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1992, Hal. 78 

12 H. Parman Soeparman, Pengaturan Hak MEngajukan Upaya Hukum Peninjauan

Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2007, Hal.


(20)

hak – hak prosedural dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan individual si korban, di samping suasana peradilan yang bebas dan dilandasi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dapat terganggu oleh pendapat korban tentang pemidananaan yang dijatuhkan karena didasarkan atas pemikiran yang emosional sebagai upaya untuk mengadakan pembalasan. Selain hal diatas, yang menetapkan Jaksa Penuntut Umum mewakili korban maka sering dalam prakteknya, aspirasi korban dalam proses peradilan pidana kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidak puasan dari dan atau keluarganya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek ini salah satunya dikarenakan secara prosedural korban tidak mempunyai peluang untuk menyatakan ketidakpuasan terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. 13

Sebagai lembaga yang mewakili korban kejahatan seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutanya pidananya lebih banyak menguraikan penderitaan korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sehingga pengajuan tuntutan pidana hendaknya didasarkan kepada keadilan dari kaca mata korban sehingga cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi, sedangkan terdakwa dan atau penasihat hukumnya berhak memohon hukuman yang seringan – ringannya, atau kalau memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan putusan hakim yang berupa pemidanaan (veroordeling) haruslah pula mengandung anasir yang bersifat

13 H. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan


(21)

kemanusiaan, eduktif dan keadilan. Tegasnya, mengandung unsur moral justice, sosial justice dan legal justice.

j. Pengaturan Korban Kejahatan Dalam Hukum Positif dan Upaya Hukum Korban Kejahatan carding

Pasal 31 UU ITE

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan didalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak yang menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang di transmisikan

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara intersepsi sebagai mana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah


(22)

6. Metode Penelitian

a. Jenis dan Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan. 14

Tipe penelitian studi kasus, ”studi kasus merupakan pendekatan yang bertujuan mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti”. 15

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Terdiri dari :

a) KUHPidana dan KUHAP (R. Soenarto Soerodibroto, S.H.)

b) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Departemen Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia).

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan

       14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum normatif, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2010, Hal.13 

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Universitas Indonesial, Jakarta, 1986, Hal.16


(23)

bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur website, hasil karya sarjana. Terdiri dari:

- Buku-buku tentang hukum pidana - Buku-buku tentang cyber crime - Buku-buku tentang Penelitian Hukum

- Buku-buku tentang Penelitian Hukum Normatif

- Handout-handout mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum - Dokumen-dokumen di Kepolisian

3) Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya. Yaitu kamus hukum. 16

c. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yang digunkan adalah dengan studi pustaka. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku dan dari sumber-sumber data sekunder, “Such documents not only describe contemporary events, bu also help to reveal how

these events have appeared to those living thourgh them”. 17

d. Metode Pengolahan Data

Metode dalam pengolahan data ini adalah Editing, yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan. 18

e. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif. Pengertian metode

16 Ibid , h.13

17 Indrati Rini, Handout Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum UPN ”VETERAN” JAWA TIMUR, 2009 


(24)

kualitatif menurut Soerjono Soekanto adalah ”suatu tata cara penelitan yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan, dan perilaku nyata...”. 19

7. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui keseluruhan isi dari skripsi ini, maka dibuat suatu sistematika secara garis besar yang terdiri dari 4 (empat) bab, yang selengkapnya adalah sebagai berikut :

BAB I, merupakan pendahuluan yang melipuiti uraian tentang latar belakang masalah, latar belakang maslah ini adalah dasar dari pemilihan judul skripsi, setelah didapatkan permasalahn maka dimasukkan ke dalam rumusan msalah yang akan menjadi topik pembahasan. Di dalam bab ini juga terdapat tujuan penelitian, manfaat penelitian, penjelasan judul, metodologi, lokasi dan waktu penelitian. Agar keempat bagian tersebut dapat digunakan dalam menentukan arah dari skripsi ini. Dengan maksud apa yang akan dikonsepkan dapat terarah dengan jelas. Dan yang terakhir adalah sistematika penulisan yang berguna untuk meringkas poin yang ada didalam skripsi.

BAB II, berisi tentang tindakan operasional Polisi Daerah Jawa Timur dalam penyidikan pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.

BAB III, berisi tentang upaya-upaya Polisi Daerah Jawa Timur dalam pembuktian pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. BAB IV, berisi tentang upaya hukum korban pencurian dana kartu kredit

19 Soerjono Soekanto, PengantarPenelitian Hukum, Cetakan III, Universitas


(25)

melalui pembelanjaan di internet.

BAB V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari pokok permasalahan yang telah dibahas dalam BAB II, BAB III, BAB IV, dan saran.


(26)

BAB II

Tindakan Operasional Penyidikan Pencurian Dana Kartu Kredit Melalui Pembelanjaan Di Internet

Tindak pidana cybercrime cukup marak di Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia menyadari betul kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana yang bersifat borderless ini. Untuk sementara ini, perhatian terutama diarahkan pada tindak pidana credit card fraud atau yang populer dengan istilah carding. 20

Cybercrime dasarnya adalah penyalahgunaan komputer dengan cara hacking komputer ataupun dengan cara-cara lainnya merupakan kejahatan yang perlu ditangani dengan serius, dan dalam mengantisipasi hal ini perlu rencana persiapan yang baik sebelumnya. Karena kejahatan ini potensial menimbulkan kerugian pada beberapa bidang: politik, ekonomi, sosial budaya yang siginifikan dan lebih memprihatinkan dibandingkan dengan ledakan bom atau kejahatan yang berintensitas tinggi lainnya bahkan di masa akan datang dapat mengganggu perekonomian nasional melalui jaringan infrastruktur yang berbasis teknologi elektronik (perbankan, telekomunikasi satelit, jaringan listrik, dan jaringan lalu lintas penerbangan dan sebagainya.)

Polri secara serius mengantisipasi cycbercrime dan permasalahan lainnya yang berhubungan dengan kejahatan internasional yang menggunakan hi-tech

20 Drs. Rusbagio Ishak, seminar tentang hacking, NeoTek, Semarang., Agustus


(27)

karena kejahatan ini sangat intens, jangkauannya sangat luas serta pelaku rata-rata mempunyai intelektualitas yang tinggi dan mempunyai komunitas tersendiri, serta memerlukan penanganan secara komprehensif.

Kemudahan dalam transaksi perdagangan secara elektronik ternyata membawa beberapa masalah serius sehubungan dengan masalah keamanan dalam pembayaran secara elektronik yang diterapkan. Sistem pembayaran secara elektronik telah begitu mendominasi dalam era teknologi seperti sekarang dan banyak menarik minat para pemodal, pebisnis, perusahaan jasa pembayaran elektronik, perusahaan kartu kredit.

Namun demikian kemudahan ini diiringi pula oleh resiko yang harus ditanggung dalam menggunakan sistem transaksi perdagangan seperti ini. Masalah utama yang dihadapi adalah begitu banyak penyalahgunaan teknologi untuk kejahatan, mengingat transaksi elektronik umumnya mengandalkan teknologi internet, maka kasus-kasus kejahatan internet secara langsung berhubungan dengan kerentanan transaksi dan pembayaran elektronik yang dilakukan melalui internet ini.

Mengingat transaksi elektronik umumnya dilakukan dengan menggunakan pembayaran melalui kartu kredit sebagai aktivasi atau otentifikasi transaksi, maka tentu saja kejahatan teknologi internet berhubungan pula dengan sistem pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit, sehingga munculah apa yang dinamakan dengan tindak penipuan atau penyalah gunaan kartu kredit (credit card fraud).


(28)

Kejahatan penyalahgunaan kartu kredit ini muncul dengan berbagai versi. Kasus yang umum terjadi adalah kasus pemalsuan kartu kredit dengan berbagai tehnik terbaru, misalnya dengan teknik “Cardholder-Not-Present / CNP (Si Pemilik Kartu tidak Hadir saat transaksi) yang banyak terjadi di banyak negara akhir-akhir ini. Dengan semakin banyaknya jasa perbankan dan situs dagang yang menawarkan kemudahan jasa pembayaran dan finansial secara elektronik seperti internet banking, phone banking, dan e-commerce diiringi dengan penggunaan kartu kredit sebagai otorisasi transaksi maka para pelaku kejahatan yang mulanya bertindak secara fisik (begal, perampok, pencopet, dsb) kini mulai beralih ke dunia maya dengan harapan memperoleh target sasaran yang lebih besar, lebih menguntungkan dan resiko yang lebih kecil. Dengan berbagai cara mereka berusaha untuk mencari celah dan jalan yang bisa mereka susupi untuk menjalankan aksi-aksi kejahatan mereka.

Ide pembayaran transaksi perdagangan secara elektronik bukanlah hal yang baru. Bahkan sejak tahun 1970-an dan awal 1980-an, berbagai metode dan tehnik pembayaran melalui jaringan komputer dan kartu kredit sudah mulai diperkenalkan, terutama di negara-negara maju. Semakin tidak mengherankan lagi bahwa beberapa tahun terakhir ini para pengguna internet dunia meningkat dengan pesat hingga mencapai 930 juta pengguna dan jumlah ini terus meningkat secara eksponensial dari waktu ke waktu. Sistem pembayaran secara elektronik baru benar-benar mendunia sekitar akhir tahun 1996 dan awal tahun 1997, dimana begitu banyak lembaga komersial maupun lembaga pendidikan mulai berlomba-lomba mengembangkan sistem pembayaran baru ini dengan berbagai cara dan


(29)

variasi yang unik pula. Beberapa banyak pula yang gagal dalam menerapkan sistem pembayaran elektronik ini. Misalnya sistem cyber cash dan Digi cash yang mengalami kerugian saat memperkenalkan cara pembayaran elektronik dan kemudahan penarikan uang tunai.

Sistem pembayaran elektronik (E-Payment) mengandalkan pada sistem pentransferan nilai mata uang melalui jaringan internet dan teknologi komunikasi sebagai sarana lalu lintas data finansial sehubungan dengan sistem perdagangan elektronik yang diberlakukan (e-commerce). Sistem pembayaran elektronik (E-Payment) yang umum dilakukan ada beberapa jenis, yaitu menurut kategori Business to Business (B2B), Business to Consumer (B2C), Consumer to Business (C2B) dan Consumer to Consumer (C2C).

Masalah keamanan masih saja menjadi isu utama dalam hal sistem pembayaran seperti ini karena resiko penipuan dan pemalsuan data elektronik masih saja ditemui sebagai kendala utama dalam sistem pembayaran elektronik ini. Bahkan dari tahun ke tahun jumlah kejahatan elektronik ini bukannya menurun malah semakin bertambah. Hal ini terutama terjadi karena semakin bertambahnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran secara luas, dimana celah ini dimanfaatkan oleh berbagai pelaku kejahatan terorganisir yang semakin merajalela melibatkan diri dalam berbagai aksi. Sebagai contoh, lebih dari satu dekade yang lalu kejahatan penipuan dan pemalsuan kartu kredit yang terjadi di Inggris mencapai jumlah kerugian sekitar 96.8 juta poundsterling.

Dewasa ini angka itu meledak berkali lipat mencapai 402.4 juta poundsterling per tahun. Ini baru nilai nyata kerugian yang terlihat, belum nilai lain yang tidak


(30)

langsung tampak seperti biaya yang harus ditanggung untuk pemulihan reputasi suatu lembaga finansial atau perusahaan, juga ongkos yang harus dikeluarkan untuk membiayai berbagai proses hukum sehubungan dengan kasus kejahatan yang menimpa suatu lembaga jasa finansial pembayaran atau perusahaan dagang yang menggunakan jasa pembayaran elektronik dalam transaksinya.

Sistem pembayaran dengan kartu kredit merupakan sistem pembayaran populer yang banyak diterapkan di jasa perdagangan online di internet. Penggunaan sistem pembayaran dengan kartu kredit pertama kali diperkenalkan sekitar antara tahun 1949 (kartu kredit Diner’s Club) dan tahun 1958 (kartu kredit American Express). Kedua kartu kredit ini menggunakan strip atau pita magnetik dengan data yang tidak terenkripsi serta berbagai informasi yang hanya bisa dibaca (read-only information). Namun seiring dengan perkembangan teknologi, jenis-jenis kartu kredit yang ada sekarang merupakan jenis “kartu kredit berteknologi pintar” yang dilengkapi dengan ekripsi data dan kapasitas penampungan data yang lebih besar daripada jenis-jenis pendahulunya. Pada tahun 1996 Visa dan Master Card mengumumkan bahwa mereka telah bekerjasama mengembangkan sebuah protokol tertentu yang menjamin keamanan transaksi perbankan di internet. Proses ini melibatkan penggunaan teknologi enkripsi digital signature tingkat tinggi, juga sertifikat keamanan yang menyatu dengan proses transaksi itu sendiri sehingga tidak bisa diotak-atik oleh si pengguna sendiri atau bahkan orang lain yang berniat jahat. Biaya keamanan yang harus ditanggung oleh pengguna kartu kredit tentu saja tidak murah akibat adanya


(31)

penggunaan teknologi yang berbasis keamanan ini, ini tercermin dari biaya transaksi yang tidak kecil setiap kali kartu kredit itu digunakan untuk transaksi.

Setiap kali akan bertransaksi di internet, seorang pengguna kartu kredit haruslah menyediakan data detil pribadinya sebagai salah satu otorisasi transaksi baik untuk layanan jasa maupun jual beli barang yang diaksesnya di internet. Celah keamanan saat pengisian data pribadi yang berisi detil data si pemilik kartu kredit ini tampaknya menjadi semacam senjata makan tuan. Celah inilah yang banyak digunakan oleh para pelaku kejahatan internet untuk memalsukan otorisasi transaksi sehingga seakan-akan transaksi tersebut benar-benar telah valid disetujui oleh si pemilik kartu kredit.

Namun demikian selain berbagai resiko keamanan, penggunaan kartu kredit masih mempunyai beberapa keunggulan seperti antara lain:

- Kartu kredit memungkinkan Anda untuk membeli barang atau jasa tanpa harus membawa sejumlah uang secara tunai.

- Setiap transaksi pembelian atau pengeluaran dana akan selalu tercatat dengan baik.

- Anda bisa memesan suatu barang melalui surat (mail-order) dan kemudian dibayar dengan menggunakan kartu kredit

- Kartu kredit memungkinkan Anda membeli barang berharga mahal dengan cara mencicil setiap bulannya.

- Pada suatu kasus tertentu, Anda bisa menangguhkan pembayaran terhadap - suatu barang yang sudah Anda beli bila Anda meragukan keamanan


(32)

- Memiliki kartu kredit berarti Anda tidak perlu merasa khawatir bepergian - dan berbelanja ke luar negeri tanpa membawa mata uang lokal.

- Dengan memiliki kartu kredit akan memudahkan anda untuk pembayaran - tagihan bulanan atau pun tagihan pajak secara otomatis.

Dengan kehadiran cara pembayaran online menggunakan kartu kredit, kemudahan belanja jarak jauh semakin mungkin untuk dilakukan. Anda tidak perlu keluar negeri hanya untuk membeli barang produk buatan luar negeri. Cukup berbelanja melalui internet, dan melakukan pembayaran dengan kartu kredit, maka barang akan diantarkan sampai ke alamat Anda dengan selamat. Upaya-upaya pendeteksian dan pencegahan terhadap tindak penipuan dan penyalahgunaan kartu kredit semakin perlu dipertimbangkan dalam hal manajemen resiko yang diterapkan di berbagai industri kartu kredit dan perusahaan jasa layanan e-commerce.

Menurut sebuah studi mengenai profitabilitas layanan kartu kredit oleh bank sehubungan dengan aspek Manajemen Kartu Kredit, industri perdagangan online dan jasa pembayaran online mengalami kerugian mencapai satu milyar dolar setiap tahunnya akibat adanya tindak penipuan dan penyalahgunaan kartu kredit. Ini baru dihitung dari besarnya kerugian akibat adanya kartu-kartu kredit yang kebobolan, belum dihitung berapa besar kerugian yang dibebankan kepada para merchant (pedagang) akibat tindak penipuan melalui mail-order atau telephone order ; biasa disebut MOTO (layanan jual beli melalui transaksi surat menyurat; semacam katalog dan jual beli melalui telepon ; biasa dilakukan di negara-negara maju).


(33)

Tingkat kerugian ini meningkat dengan drastis dalam beberapa tahun terakhir ini, dimana tindak penipuan dan pemalsuan kartu kredit biasanya menggunakan tehnik terbaru yaitu dengan mengakali sistem pembayaran Cardholder-Not-Present (CNP) yang biasa diterapkan dalam sistem pembayaran transaksi online di internet, kemudian dikenal dengan istilah CNP Fraud. Di Inggris sendiri pada tahun 2004,kejahatan CNP fraud sendiri telah menyebabkan kerugian senilai 116.4 juta poundsterling, sementara itu di Amerika hal yang sama menyebabkan kerugian sebesar 428.2 juta dolar, sementara di Perancis menyebabkan kerugian sekitar 126.3 juta frank dalam periode yang sama. (Financial Times, January 2005; UN World Report on Electronic Fraud, December 2004).

1. Strategi Kepolisian Dalam Mengatasi Kendala Penyidikan a. Penyempurnaan Perangkat Hukum

Polri bekerja sama dengan para ahli hukum dan organisasi lainnya yang sangat berkepentingan. Peranan saksi ahli sangatlah besar sekali dalam memberikan keterangan pada kasus cybercrime. Sebab, pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirim, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang. Kemudian saksi ahli harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun. Hal ini diatur dalam Pasal 43 ayat (5) huruf h dimana penyidik berwenang meminta


(34)

batuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasar Undang – Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

Upaya tersebut secara garis besarnya adalah menciptakan undang-undang yang bersifat lex specialist, menyempurnakan undang-undang-undang-undang pendukungnya dan melakukan sintesa serta analogi yang lebih luas terhadap KUHP.

b. Mendidik Para Penyidik

Terbatasnya sumber daya manusia merupakan suatu masalah yang tidak dapat diabaikan, untuk itu Polri mengirimkan anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara–negara maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain: CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.

c. Membangun fasilitas forensik komputer

Fasilitas forensic computing yang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting, yaitu:

a). evidence collection b). forensic analysis c). expert witness

d. Meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama Internasional

Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah,


(35)

sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal penanganan kasus cyber crime dan kasus-kasus penyalahgunaan kartu kredit, Polri telah melakukan koordinasi atau joint investigation dengan pihak US Secret Services. Terhadap kasus-kasus penggunaan nomor-nomor kartu kredit secara tidak sah yang terjadi dan sedang dalam proses penyidikan Polri, tersangka dapat divonis sebagaimana kejahatan yang dilakukannya. Untuk itu, yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

a). Mengadakan penelitian ulang terhadap TKP, para saksi dan berkas-berkas perkara cyber crime yang sedang ditangani oleh para penyidik Polri.

b). Sworn written affidafit atau BAP Sumpah untuk saksi dan korban yang berada di luar negeri dilakukan dengan bantuan US Secret Service dan disosialisasikan kepada PU dan pengadilan untuk menjadi alat bukti yang sah dalam proses pengadilan.

c). Melakukan koordinasi dengan jaksa pengiriman internasional dalam hal pengungkapan perkara.

d). Melibatkan saksi ahli dari AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia ).

2. K

endala Yang Dihadapi Penyidik

a. Perangkat Hukum Yang Memadai

Undang-undang atau perangkat hukum positif adalah instrument terakhir dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu penyidikan


(36)

karena penerapan delik-delik hukum yang salah akan mementahkan penyidikan yang dilakukan. Walaupun penyidiknya sudah mampu dan memahami profil dan budaya para hacker atau preker, teknik-teknik serta modus operandi para hacker atau preker, serta sudah didukung oleh laboratorium yang canggih sekalipun.

b. Kemampuan Penyidik

Secara umum penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tersebut dari para penyidik Polri masih sangat minim. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut namun dari beberapa faktor tersebut ada yang sangat berpengaruh (determinan). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut:

a). Kurangnya pengetahuan tentang komputer dan sebagian besar dari mereka belum menggunakan Internet atau menjadi pelanggan pada salah satu ISP (Internet Service Provider).

b). Pengetahuan dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cyber crime masih terbatas. Mereka belum mampu memahami teknik hacking, modusmodus operandi para hacker dan profil-profilnya.

c). Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik karena Jaksa (PU) masih meminta keterangan saksi dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) formal sehingga diperlukan pemanggilan saksi atau korban yang berada di luar negeri untuk dibuatkan berita


(37)

acaranya di Indonesia, belum bisa menerima pernyataan korban atau saksi dalam bentuk faksimili atau email sebagai alat bukti.

c. Fasilitas komputer forensik

Untuk membuktikan jejak-jejak pelaku cybercrime dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada computer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb).


(38)

BAB III

Upaya Kepolisian Dalam Pembuktian

1. Upaya pembuktian Polisi Daerah Jawa Timur di bidang Carding

Telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan konvergensi dalam aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula konvergensi dalam peri kehidupan manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan perdagangan. Perubahan yang terjadi mencakup baik dari sisi lingkup jasanya, pelakunya, maupun konsumennya. Dalam perkembangan selanjutnya melahirkan paradigma, tatanan sosial serta sistem nilai baru ( Supancana, IBR., Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia ).

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu. Sebagai contoh, untuk mengatur sejauh mana ekuatan pembuktian dari suatu dokumen elektronik dan tanda tangan digital / elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak dipergunakan dalam praktik sehari-hari.

Berkaitan dengan hal tersebut, aparat kepolisian dalam hal upaya pembuktian berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan


(39)

kompromitis. 21

Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut dengan “hukum alat bukti yang terbaik” (best evidence rule), satu alat bukti digital sulit diterima dalam pembuktian. 22

The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen atau photograph atau rekaman harus digunakan dengan membawa ke pengadilan dokumen atau photograph atau rekaman asli tersebut. Kecuali jika dokumen atau photograph atau rekaman tersebut memang tidak ada, dan ketidakberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari pihak yang harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best evidence ini, foto kopi (bukan asli) dari suatu surat tidak mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan. Demikian juga bukti digital, seperti e-mail, surat dengan mesin faksimile, tanda tangan elektronik, tidak ada aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin dibawa aslinya ke pengadilan sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang serius dalam

21 Dilema Perkembangan Infrastruktur Informasi Indonesia, Majalah Info Komputer Volume XII no. 8, Agustus 1998

22 Azizah, Nuurlaila. F.. “Penggunaan Bukti Elektronik Dalam Pembuktian


(40)

bidang hukum pembuktian.

2. Analisa Penjelasan Pasal 6

UU ITE

Pada undang-undang secara eksplisit dalam penjelasan umum UU ITE juncto Pasal 6 UU ITE berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas. ( Pasal 6 UU ITE : ”Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.” Penjelasan Pasal 6 UU ITE : ”Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, Informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.” )

Dengan demikian yang merupakan dokumen elektronik dapat disetarakan kedudukannya dengan dokumen yang ditulis diatas kertas. Namun dalam hal ini perlulah diadakan analisa yang lebih mendalam mengenai arti kata


(41)

”kedudukan” yang disetarakan dalam penjelasan umum UU ITE tersebut. 2. Analisa Hukum Pembuktian Menurut UU ITE

Jika dianalisa ketentuan pasal 5 ayat 1, ayat 2, pasal 6, Penjelasan Umum dengan menggunakan metode logika induksi, maka kesimpulannya yang dimaksud dengan kedudukan adalah fungsi; jadi informasi yang dibuat melalui media elektronik ”fungsinya” disetarakan dengan informasi yang dibuat dengan menggunakan media kertas; oleh karena itu dalam UU ITE sama sekali tidak menentukan kedudukan hukum ( dalam hal ini kedudukan, nilai, derajat, dan kekuatan pembuktian ) dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE hanya disebutkan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE : “ Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat

akta.”


(42)

bawah tangan atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Tetapi dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan, diperlukan persyaratan pokok : 1. Surat atau tulisan itu ditanda tangani;

2. Isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking);

3. Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut didalamnya.

Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Akta otentik memiliki daya pembuktian lahiriah, formil dan materiil. Tidak demikian dengan akta dibawah tangan, yang padanya tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah, namun hanya terbatas pada daya pembuktian formil dan materiil dengan bobot yang jauh lebih rendah dibandingkan akta otentik.

Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:


(43)

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;

2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,

kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut. Bagaimanapun juga UU ITE harus bisa menjelaskan bagaimana membuktikan suatu sistem elektronik memenuhi syarat yg diatur dalam UU ITE, agar alat bukti berupa informasi/dokumen elektronik tidak dipertanyakan lagi keabsahannya. Karena dalam UU ITE sendiri pengaturan mengenai sistem elektronik masih akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, maka sangat diharapkan pengaturannya nanti dapat menghindari perdebatan yang


(44)

tidak perlu mengenai keabsahan alat bukti tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya. Karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.

Batas minimal pembuktian akta otentik cukup pada dirinya sendiri, oleh karena nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat, pada dasarnya ia dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain. Sedangkan pada akta dibawah tangan agar mempunyai nilai pembuktian haruslah dipenuhi syarat formil dan materiil yaitu :

a. dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya dua pihak);

b. ditanda tangani pembuat atau para pihak yang membuatnya; c. isi dan tanda tangan diakui.

Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE dapat dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai nilai pembuktian, yaitu :


(45)

atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar...dan seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;

b. Dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang;

c. Dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).

Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian


(46)

oleh karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain. Dan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dengan demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht).

4. Pembahasan mengenai kajian hukum

Kajian hukum berupa pasal demi pasal yang akan dijadikan sebagai pedoman untuk sosialisasi atas telah disahkannya UU no. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik. Penulis bukan seorang akademisi dari kalangan sistem Informasi tapi hanya seorang praktisi hukum saja yang tahu akan sebuah sistem informasi dan suka menggunakan mencari Informasi dan melakukan Transaksi Elektronik jadi mohon maaf sebelumnya bila ada kekurangan dalam pembahasan ini.

Pada Pasal 1 sudah cukup jelas pemaparan mengenai Ketentuan Umum yang akan di atur dalam UU no. 11 Tahun 2008 ini. Sedangakan pada pasal 2 mengandung makna bahwa Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk


(47)

Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.

Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.

Pada pasal 3 “Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.


(48)

“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.

Pada pasal 4 ini membahasa mengenai Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah jelas dalam pemanfaatannya. Sedangkan dalam pasal 5 dibahas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah pada ayat (1). Segala data yang berasal dari elektronik bila diprint atau dicetak maka itu dapat menjadi alat bukti yang sah dalam proses persidangan di Pengadilan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai alat bukti Surat.

Pada pasal 6 sudah jelas dibahas bahwa bentuk informasi tidak hanya tertulis dikertas saja tetapi dapat dituangkan dalam bentuk data secara elektronik. Pada pasal 7 Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak. Pada pasal 8 ada perkecualian – perkecualin yang ditentukan lain.

Pada Pasal 9 Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:

a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;


(49)

b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.

Pada Pasal 10 adanya suatu sertifikasi yang memberikan suatu suatu sertifiasi mengenai Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi Keandalan ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada laman (home page) pelaku usaha tersebut.

Pada pasal 11 ini dibahasa mengenai Tandatangan elektronik dimana Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas – luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik. Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur tentang teknik, metode, sarana, dan proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik. Pada Pasal 12 ini dibahas mengenai siapa yang berhak dan dapat menggunakan tanda tangan elektronik ini. Batasan – batasan untuk keamanan juga diperlukan dalam tanda tangan elektonik ini.


(50)

Pada Pasal 13 membahas mengenai perlunya Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.

Pada pasal 14 Penyelenggara Elektronik harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti. Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah informasi yang minimum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara Tanda Tangan Elektronik.

Pada pasal 15 ini membahas mengenai penyelenggaraan Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. “Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. “Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan nonfisik. “Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya. “Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut. Pasal 16 membahas mengenai syarat minimum untuk dapat sebagai Penyelenggaraan Sistem Elektronik.

Pasal 17 membahas mengenai Trasnsaksi Elektronik dan Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat. Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi


(51)

Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Pada pasal 18 membahas mengenai Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Kewenangan penyelesain sengketa bisa memilih dimana mana menyelesaikan sengketa tersebut dilakukan menggunakan kewenangan pengadilan. Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut.

Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI). Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut.

Apabila tidak memilih tempat penyelesaian sengketa maka berlaku hukum Internasional. Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya.


(52)

Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle of effectiveness).

Pada pasal 19 Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. Yang dimaksud dengan “disepakati” dalam pasal ini juga mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem Elektronik yang bersangkutan. Pada pasal 20 membahas mengenai Pengecualian dari para pihak yang membuat transaksi elektronik. Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password).

Pada Pasal 21 membahas mengenai Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. Yang dimaksud dengan “dikuasakan” dalam ketentuan ini sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.

Pada Pasal 22 membahas mengenai Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. Yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk


(53)

melakukan perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.

Pada Pasal 23 berhubungan dengan nama domain yang berhak memiliki nama domain adalah Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang perolehannya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama (first come first serve).

Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam Nama Domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual karena tidak diperlukan pemeriksaan substantif, seperti pemeriksaan dalam pendaftaran merek dan paten. Yang dimaksud dengan “melanggar hak Orang lain”, misalnya melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, nama Orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada intinya merugikan Orang lain. Yang dimaksud dengan “penggunaan Nama Domain secara tanpa hak” adalah pendaftaran dan penggunaan Nama Domain yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat Orang lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama produknya, atau untuk mendompleng reputasi Orang yang sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan konsumen.

Pada pasal 24 membahas mengenai Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masyarakat. Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan


(54)

Nama Domain oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih sementara pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.

Pada pasal 25 membahas mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun dan didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi oleh Undang - Undang ini dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pada Pasal 26 ada pengecualian mengenai hak pribadi yang dimaksud adalah Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Perbuatan – perbuatan yang dilarang oleh Peraturan perundang – undangan ini:


(55)

Pada Pasal 27 membahas mengenai perbuatan yang dilarang oleh Undang – Undang ini yaitu Perbuatan sesorang yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman.

Pada pasal 28 membahas mengenai perbuatan yang dilarang oleh Undang – Undang ini yaitu Perbuatan sesorang yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat berita bohong dan yang mengakibatkan permusuhan SARA.

Pada pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pada pasal 30 Setiap orang yang secara melawan hukum mengakses komputer atau sistem elektonik milik orang lain dengan cara apapun baik untuk tujuan memperoleh data elektronik maupun untuk membobol sistem pengamanaan.

Pada pasal 31 Setiap orang yang secara melawan hukum menyadap, menghentikan yang sedang ditransmisikan data elektronik kecuali petugas penegak hukum.

Pada Pasal 32 Setiap orang yang secara melawan hukum menghilangkan atau merubah istem informasi.


(56)

Pasal 33 melarang Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja membuat sistem informasi itu bekerja tidak sebagaimana mestinya. Pasal 34 melarang setiap orang yang membuat atau memproduksi setiap perangkat keras dan perangkat lunak yang dapat mengakibatkan perbuatan dari pasal 27 – 33.

Pada pasal 35 membahas mengenai Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pada pasal 36 membahas mengenai Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Pada Pasal 37 membahas mengenai Loctus Delikti yaitu Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Pada Pasal 38 setiap orang dapat mengajukan Gugatan apabila dirugikan dengan adanya perbuatan melawan hukum sesuai dalam peraturan perundang – undangan ini dan dapat diselesaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku atau melalui lembaga arbiterase.


(57)

Pasal 39 Gugatan secara perdata dapat dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku.

Pada pasal 40 sampai 41 mengatur peran serta masyarakat dan pemerintah dalam pemanfaatan teknologi ini.

Proses Penyelidikan :

Pada pasal 42 sampai 44 membahas masalah mengenai penyidikan. Yang bertugas untuk melakuakan penyidikan yaitu Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untu melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan


(58)

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Ketentuan Pidana

Ketentuan Pidana berserta sanksinya diatur dalam pasal 45 sampai pasal 51. Pada Pasal 52 diatur mengenai pemberatan Pidana. Maksud dari pemberatan Pidana adalah penambahan sanksi pidana karena perbuatan pidana itu cukup membahayakan dan merugikan bagi korban kejahatan.

Ketentuan Peralihan

Pada pasal 53 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.

Ketentuan Penutup Pada pasal Pasal 54

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini


(59)

BAB IV

Upaya Hukum Korban Pencurian Dana Kartu Kredit Melalui Pembelanjaan Di Internet

Berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6 September 1985 dai Perserikatan Bangsa – Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan bahwa :

“Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, includingphysical or mental injury, emotional suffering, economic loss or subtantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power”.

Menurut Arif Gosita diartikan sebagai, “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”. 23

1. Upaya Penyelesaian Sengketa

Pada pasal 18 UU ITE membahas mengenai Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Kewenangan

       23

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, Hal. 96 


(60)

penyelesain sengketa bisa memilih dimana mana menyelesaikan sengketa tersebut dilakukan menggunakan kewenangan pengadilan. Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut.

Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI).

Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut.

Apabila tidak memilih tempat penyelesaian sengketa maka berlaku hukum Internasional. Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya.

Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle of effectiveness).

Pada pasal 19 UU ITE Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. Yang dimaksud


(61)

dengan “disepakati” dalam pasal ini juga mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem Elektronik yang bersangkutan. Pada pasal 20 UU ITE membahas mengenai Pengecualian dari para pihak yang membuat transaksi elektronik. Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password).


(62)

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

1) Dalam upaya Kepolisian dalam proses penyidikan berkaitan dengan kasus pencurian dana kartu kredit di internet memerlukan perhatian khusus guna menanggulangi kejahatan cybercrime yang semakin canggih. Adapun usaha-usaha Kepolisian dalam Upaya salah satunya melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Karena dalam pengumpulan bukti hingga proses pembuktian membutuhkan pihak-pihak yang benar-benar menguasai teknologi jaringan.

2) Dokumen elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya. Karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.


(1)

penyelesain sengketa bisa memilih dimana mana menyelesaikan sengketa tersebut dilakukan menggunakan kewenangan pengadilan. Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut.

Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI).

Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut.

Apabila tidak memilih tempat penyelesaian sengketa maka berlaku hukum Internasional. Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya.

Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle of effectiveness).

Pada pasal 19 UU ITE Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. Yang dimaksud


(2)

yang terdapat dalam Sistem Elektronik yang bersangkutan. Pada pasal 20 UU ITE membahas mengenai Pengecualian dari para pihak yang membuat transaksi elektronik. Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password).


(3)

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

1) Dalam upaya Kepolisian dalam proses penyidikan berkaitan dengan kasus pencurian dana kartu kredit di internet memerlukan perhatian khusus guna menanggulangi kejahatan cybercrime yang semakin canggih. Adapun usaha-usaha Kepolisian dalam Upaya salah satunya melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Karena dalam pengumpulan bukti hingga proses pembuktian membutuhkan pihak-pihak yang benar-benar menguasai teknologi jaringan.

2) Dokumen elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya. Karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.


(4)

dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI). Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut. Apabila tidak memilih tempat penyelesaian sengketa maka berlaku hukum Internasional. Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Akan tetapi para pelaku pencuri dapat diproses sesuai hukum tindak pidana, yang dimana korban diwakili oleh jaksa selaku Penuntut Umum.

2. Saran

1) Agar Kepolisian secara serius mengantisipasi cycbercrime dan permasalahan lainnya yang berhubungan dengan kejahatan internasional yang menggunakan hi-tech karena kejahatan ini sangat merugikan korban pencurian dana kartu kreditnya.

2) Agar hukum selalu dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak


(5)

bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut dengan “hukum alat bukti yang terbaik” 3) Agar pihak-pihak terkait mensosialisasikan upaya-upaya yang dapat

dilakukan apabila terjadi kejahatan cybercrime khususnya carding pada masyarakat.


(6)

Azizah, Nuurlaila. F.. “Penggunaan Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara           Dunia Maya”. Universitas Gajah Mada. 2008

Anonim, Kasus Cyber Crime Di Surabaya, www.bi.go.id./ web/id/SP001/Info01/ DASP01/ Info-found.htm, Pukul 19.00, Sabtu, Tanggal 22 Mei 2010.

______, Cyber Crime, http://www.simandiri.com./site/ket.definisi.php?p=cybercrime, Pukul 19.00, Sabtu, Tanggal 22 Mei 2010.

Departemen Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia, Buku Panduan Untuk Memahami UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008

Indrati Rini, Handout Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya, 2009

Nitibaskara, Tb. Ronny R., Problem Yuridis Cybercrime, Makalah pada Seminar tentang Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000

R. Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politia Bogor, 1996

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Universitas Indonesial, Jakarta, 1986

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum normatif, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2010

Tb. Ronny R. Nitibaskara, “Problema Yuridis Cybercrime”, Makalah pada Seminar Cyber Law, diselenggarakan oleh yayasan Cipta Bangsa, Bandung, Juli 2000.