Proses pengambilan keputusan seorang suami untuk melakukan poligami.

(1)

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEORANG SUAMI UNTUK MELAKUKAN POLIGAMI

Bayu Mehendra

ABSTRAK

Poligami menjadi salah satu ancaman bagi sebuah keluarga. Meskipun dampaknya bisa diduga dengan mudah, namun fenomena poligami cenderung meningkat. Lewat metode kualitatif naratif, penelitian ini tertarik untuk menyelidiki proses seorang suami yang dengan sengaja dan sadar membuat keputusan untuk melakukan poligami. Pengambilan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur terhadap tiga responden yang melakukan poligami. Verifikasi data dilakukan dengan model triangulasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga responden melalui kelima tahapan proses pengambilan keputusan secara berurutan. Penelitian ini menemukan bahwa keputusan poligami berawal dari kondisi rumah tangga yang bermasalah, yang kemudian menjadi awal terjadinya proses pengambilan keputusan untuk poligami. Dalam prosesnya ketiga responden mengalami dinamika psikologis yang berbeda, di mana ada yang menyesali dan ada yang tidak menyesali keputusannya. Secara ironis, poligami yang diharapkan bisa mengatasi konflik dalam keluarga, justru menjadi sumber konflik yang baru.


(2)

DECISION MAKING PROCESS OF A HUSBAND TO DO POLYGAMY

Bayu Mehendra ABSTRACT

Polygamy became one of threats to a family. Although the impact can be predicted easily, but the phenomenon of polygamy tends to increase. Through narrative qualitative methods, this research interest to investigate the process of a husband who deliberately and consciously made the decision to commit polygamy. Data were collected through semi-structured interviews to three informants who practice polygamy. Data verification is done by triangulation models. The results showed that the three respondents through the five stages of the decision-making process in sequence. This research found that the decision of polygamy originated from a troubled household conditions, which later became the beginning of the decision-making process to polygamy. The three respondents had experienced different psychological dynamics on its processes, either regretted or not. Instead resolve the conflict in the family, ironically, polygamy becomes a new source of conflict.


(3)

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEORANG SUAMI

UNTUK MELAKUKAN POLIGAMI

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Bayu Mahendra NIM : 119114081

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

(5)

(6)

untuk

Ibu Lusia Pratidarmanastiti & Ibuku Bernadeta Sudaryati serta seluruh wanita yang ada didunia


(7)

v

“Always remember that the most important thing in a good marriage

is not happiness, but stability.” Gabriel García Márquez - Love in the Time of

Cholera

"All happy families are alike; each unhappy family is unhappy in its own way."


(8)

(9)

vii

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEORANG SUAMI UNTUK MELAKUKAN POLIGAMI

Bayu Mahendra

ABSTRAK

Poligami menjadi salah satu ancaman bagi sebuah keluarga. Meskipun dampaknya bisa diduga dengan mudah, namun fenomena poligami cenderung meningkat. Lewat metode kualitatif naratif, penelitian ini tertarik untuk menyelidiki proses seorang suami yang dengan sengaja dan sadar membuat keputusan untuk melakukan poligami. Pengambilan data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur terhadap tiga responden yang melakukan poligami. Verifikasi data dilakukan dengan model triangulasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga responden melalui kelima tahapan proses pengambilan keputusan secara berurutan. Penelitian ini menemukan bahwa keputusan poligami berawal dari kondisi rumah tangga yang bermasalah, yang kemudian menjadi awal terjadinya proses pengambilan keputusan untuk poligami. Dalam prosesnya ketiga responden mengalami dinamika psikologis yang berbeda, di mana ada yang menyesali dan ada yang tidak menyesali keputusannya. Secara ironis, poligami yang diharapkan bisa mengatasi konflik dalam keluarga, justru menjadi sumber konflik yang baru.


(10)

DECISION MAKING PROCESS OF A HUSBAND TO DO POLYGAMY

Bayu Mahendra

ABSTRACT

Polygamy became one of threats to a family. Although the impact can be predicted easily, but the phenomenon of polygamy tends to increase. Through narrative qualitative methods, this research interest to investigate the process of a husband who deliberately and consciously made the decision to commit polygamy. Data were collected through semi-structured interviews to three informants who practice polygamy. Data verification is done by triangulation models. The results showed that the three respondents through the five stages of the decision-making process in sequence. This research found that the decision of polygamy originated from a troubled household conditions, which later became the beginning of the decision-making process to polygamy. The three respondents had experienced different psychological dynamics on its processes, either regretted or not. Instead resolve the conflict in the family, ironically, polygamy becomes a new source of conflict.


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Poligami merupakan fenomena yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya praktik poligami yang terjadi dikalangan masyarakat Indonesia, contoh yang mudah kita lihat adalah berbagai kasus yang terjadi dikalangan public figure. Seringkali kita melihat berita ditelevisi mengenai seorang tokoh masyarakat yang menikah lagi dengan wanita lain padahal dirinya masih terikat pernikahan sah dengan istri pertama. Meskipun kehadirannya telah diatur dalam undang-undang perkawinan, namun seringkali terjadi penyimpangan dalam praktik poligami. Langkah para pelaku poligami tampaknya dipermudah dengan adanya pernikahan siri (sah secara Agama Islam). Sebuah pernikahan yang tidak diakui legalitasnya secara hukum. Namun pernikahan ini tidaklah memerlukan banyak persyaratan seperti yang tercantum dalam undang-undang, sehingga tidak jarang praktik pernikahan poligami terjadi tanpa sepengetahuan istri sebelumnya. Hal inilah yang nanti akan menimbulkan adanya beberapa pihak yang dirugikan, baik itu istri pertama, istri kedua dan seterusnya maupun anak.

Temuan inilah yang kemudian memunculkan rasa keprihatinan sekaligus ketertarikan pada penulis untuk melakukan sebuah penelitian sederhana terhadap fenomena poligami. Berbagai perihal mengenai poligami akan tertuang dalam tulisan ini, yang bersumber dari penuturan dari para pelaku sendiri. Selain karena keprihatinan pribadi penulis, tulisan ini juga dibuat dengan alasan untuk diajukan sebagai salah satu sayarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Diharapkan nantinya penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu Psikologi terutama dalam ranah pernikahan dan keluarga. Meski penulis juga menyadari bahwa penelitian ini tidak akan serta-merta membuat para laki-laki menjadi tidak akan poligami, namun setidaknya hasil dari penelitian ini dapat membuat para laki-laki berpikir seribu kali jika ingin melakukan poligami.


(13)

xi

penelitian ini menjadi lebih baik. Penelitian ini juga tidak akan selesai jika tidak ada bantuan dari beberapa pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, pada kesempatan kali ini dengan setulus hati penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran terwujudnya penelitian ini. Ucapan terimakasih peneliti haturkan kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Mereka yang penuh cinta, Bapakku Edi Jaeludin, Ibuku Bernadeta Sudaryati, dan Adikku Yobo Aji Hantara

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. yang telah menemani dan membimbing penulis menyusun penelitian ini dari awal hingga akhir. 4. Dr. YB Cahya Widiyanto, M.Si. yang telah meluangkan banyak waktu

dan telah memberikan berbagai pencerahan kepada peneliti untuk menyelesaikan tulisan ini.

5. Ibu Debri Pristinella, M.Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma atas pelayanan dan pembelajarannya selama ini.

7. Ketiga responden penelitian YD, WR dan TT atas kesediaanya untuk membagi cerita dan pengalamanya kepada peneliti secara terbuka. 8. Om Yohanes Wasisa Kusnandar yang telah memberikan banyak

bantuan selama proses pengambilan data.

9. Teruntuk mereka yang hangat dan tak pernah dingin, Chrisna Yudha, Kenang Satyadharma, Bonivasios Dwi, Theodosius Kristianto, Septian Panji, Randy Leo Kemi, Vico Pradipta, David Kuncoro, Alexander Widyawan, David Gracenda, Vianey Yona, Adhi Nugroho, Albertus Hari Novianto, Gregorius Dwi, Beni Wicaksana, Adolfus Aditya, Arga Yudha, Guritno Kuntoroyakti, Abraham B.I, Awang Adhi, Daniel Rizky, Ivander Harlison, Rhisang Sadewa, Mandana Bintang, Endah Febiana, Raysa Bestari, Suci Setyowati, Bernadeta Aponari,


(14)

10.Teman-teman ITJAS (Ikatan Tjatjat Asmara) A. Harimurti, Aditya Hari Saputra, Timotius Aditya, Galih Pambudi, Wahjoe Kristianto, Dyan Martikatama.

11.Para “Kebo Wesi” yang selalu menjadi penghiburan bagi peneliti ketika dirundung duka nestapa.

12.Untuk mereka yang membuat peneliti seringkali bermimpi menjadi musisi, Elvis Presley, Frank Sinatra, Johnny Cash, John Lennon, ABBA, Bob Marley, Green Day, Sore, Silampukau, Leonardo Ringo, White Shoes and the Couples Company.

13.Semua pihak yang terlibat yang tidak mampu penulis sebutkan satu per satu.


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SKEMA ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 6

C. TUJUAN PENELITIAN ... 6

D. MANFAAT PENELITIAN ... 6

1. Manfaat Praktis ... 6

2. Manfaat Teoretis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERNIKAHAN POLIGAMI ... 8

1. Perniikahan ... 8

2. Poligami ... 10

B. PENGAMBILAN KEPUTUSAN ... 19


(16)

2. Proses Pengambilan Keputusan ... 20

C. PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEORANG SUAMI UNTUK MELAKUKAN POLIGAMI ... 23

BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS DAN METODE PENELITIAN ... 28

B. RESPONDEN PENELITIAN ... 29

C. FOKUS PENELITIAN ... 29

D. METODE PENGAMBILAN DATA ... 29

E. ANALISIS DATA ... 30

F. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROSES PENELITIAN ... 34

B. PROFIL RESPONDEN ... 35

C. HASIL PENELITIAN ... 42

1. Keadaan Sebelum Proses Pengambilan Keptusan ... 42

2. Proses Pengambilan Keputusan ... 47

3. Keadaan Sesudah Proses Pengambilan Keputusan ... 56

D. PEMBAHASAN ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 75

B. SARAN ... 76

1. Bagi Institusi Pernikahan di Indonesia ... 76

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 77


(17)

xv

DAFTAR TABEL

TABEL

Tabel 3.1 Tabel Pedoman Wawancara ... 32 Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Wawancaa dengan Ketiga Responden ... 34 Tabel Kategorisasi Data ... 131


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN

LAMPIRAN RESPONDEN YD ... 81 LAMPIRAN RESPONDEN WR ... 100 LAMPIRAN RESPONDEN TT ... 115


(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR

Gambar 2.1 SKEMA KERANGKA TEORI ... 27 Gambar 4.1 SKEMA HASIL ANALISIS DATA ... 74


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“Mencintai seseorang bukanlah sekadar perasaan yang kuat”, tulis

Erich Fromm, “itu adalah sebuah keputusan, penilaian, dan janji.” Ada dua

kata menarik dalam The Art of Loving (Fromm, 1956) tersebut, yaitu cinta dan janji. Dari kedua kata tersebut, terciptalah istilah janji perkawinan/pernikahan, di mana dua insan mengikat cintanya dalam sebuah janji pernikahan. Pernikahan sendiri dapat diartikan sebagai ikatan janji setia oleh seorang suami dan istri yang mengandung tanggungjawab pada kedua belah pihak (Kertamuda, 2009).

Pernikahan memiliki beberapa bentuk, antara lain pernikahan monogami, poliandri, dan poligami/polyginy. Monogami merupakan pernikahan pada seorang laki-laki dan seorang perempuan, monogami merupakan bentuk norma pernikahan yang umum berkembang di masyarakat (Papalia, 2005). Bentuk pernikahan yang lain adalah poliandri, yaitu seorang wanita yang memiliki beberapa orang suami (Gardiner & Kosmitzki, 2005; Kottak dalam Papalia,2005). Selanjutnya adalah poligami/polyginy yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan dua perempuan atau lebih (Kertamuda, 2009). Bentuk pernikahan ini lebih familiar daripada pernikahan poliandri. Hal ini dikarenakan poligami merupakan fenomena


(21)

2

menjadi perbincangan menarik dikalangan keluarga Indonesia. Hal ini terbukti beberapa media massa seringkali mengangkat berita mengenai beberapa selebritis yang melakukan poligami seperti Mamik, Eyang Subur, Pak Tarno, Kiwil, Komar dan Ajis Gagap (“Artis Poligami, dari Eyang Subur, Pak Tarno hingga Ajis Gagap”, 2013).

Poligami atau sering juga disebut polyginy memang biasanya banyak terjadi di negara-negara Islam, masyarakat Afrika dan beberapa negara di Asia (Papalia, 2005). Dalam praktiknya sebuah pernikahan poligami dibatasi oleh berbagai persyaratan yang cukup ketat dari undang-undang yang berlaku di setiap negara, salah satunya di Indonesia.

Mulia (2009) menjabarkan mengenai undang-undang pernikahan di Indonesia yang mengatur pernikahan poligami, yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari satu apabila, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mengalami cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat memiliki keturunan. Sedangkan pasal 5 juga menambahkan bahwa pengajuan permohonan harus memenuhi syarat adanya persetujuan dari istri, adanya jaminan suami harus mampu memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya, dan ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya. Melihat rincian undang-undang tersebut tampaknya melakukan pernikahan poligami memang melalui persyaratan yang cukup ketat, sehingga bagi seorang pria yang hendak melakukan poligami akan mengalami kesulitan untuk menempuh proses


(22)

pernikahan yang sah di mata hukum apabila sang istri masih mampu menjalankan kewajibannya dan memiliki keadaan fisik yang sehat, serta mampu memiliki keturunan.

Seseorang yang hendak poligami entah disadari atau tidak akan melalui berbagai persyaratan dan konsekuensi atas keputusan yang hendak diambilnya. Karena jika beberapa hal ini tidak diperhatikan, nantinya hanya akan menimbulkan masalah bagi para pelakunya (Kertamuda, 2009). Para pelaku poligami juga hendaknya sudah mampu dalam hal ilmu, materi dan kemampuan bertindak adil pada istri-istri dan anak-anaknya, karena apabila para pelaku poligami tidak memiliki kemampuan tersebut hanya akan memunculkan potensi timbulnya konflik dalam rumah tangga (Yulianti, 2008). Pemicu konflik pada sebuah pernikahan poligami salah satunya adalah ketidakterbukaan suami dan ketidakadilan suami (Yulianti, 2008).

Selain itu, Haryadi (2009) menemukan bahwa dalam sebuah pernikahan poligami terdapat banyak perasaan negatif yang muncul, tidak hanya pada istri tapi juga pada suami. Pernikahan poligami juga menimbulkan berbagai masalah dalam diri anak seperti rasa tidak percaya pada sosok ayah, perasaan bahwa sosok ayah tidak adil pada istri dan anak, serta merasa kurang perhatian (Alawiyah & Kumolohadi, 2007). Haryadi, (2009) juga mengungkapkan bahwa seorang suami pelaku poligami biasanya dianggap sebagai pihak yang diuntungkan ternyata juga merasakan berbagai perasaan negatif dalam dirinya. Lebih lanjut Haryadi (2009) menambahkan


(23)

4

pengalaman yang berat dan menghadapinya dengan kepasrahan. (Haryadi, 2009), melihat beberapa temuan diatas dapat dikatakan bahwa pernikahan poligami merupakan sesuatu yang berpotensi menimbulkan banyak permasalahan dalam keluarga.

Di samping adanya berbagai berbagai potensi masalah yang mengancam dan persyaratannya yang cukup ketat, praktik pernikahan poligami sebenarnya memiliki kendala yang lebih esensial yaitu adanya kenyataan bahwa tidak semua perempuan bersedia untuk membagi suami berikut cintanya dengan wanita lain (Kertamuda, 2009). Sehingga terdapat beberapa pelaku poligami yang mengambil jalan pintas dengan melakukan kawin siri.

Kawin siri yaitu sebuah pernikahan yang sah secara agama (agama Islam) namun tidak memiliki catatan administratif dan tidak memiliki legalitas secara hukum dan undang-undang sehingga dapat dikatakan illegal secara hukum (Kertamuda, 2009). Pernikahan siri juga dianggap akan merugikan salah satu pihak, terutama wanita, karena ketidakjelasan statusnya dalam pernikahan ini, selain itu anak dari hasil pernikahan ini akan mendapat masalah mengenai status, legalitas dan pembagian ahli waris. Beberapa hal ini tentunya harus diperhatikan oleh pelaku poligami karena kehadiran istri dan anak dari pernikahannya yang kedua dan seterusnya akan sulit diterima oleh istri dan anaknya yang sah (Kertamuda, 2009).

Sebuah data dari Woman Crisis Centre yang dilansir oleh Yulianingsih (2012) dalam republika.com menunjukkan bahwa pernikahan


(24)

siri setiap tahunnya mengalami peningkatan setidaknya dari tahun 2010-2012. Pada tahun 2010 angka mencapai 216 kasus, tahun 2011 mencapai 235 kasus dan taun 2012 mencapai 239 kasus dan sebagian besar disebabkan oleh pernikahan poligami tanpa seijin istri pertama. Data peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa pernikahan siri tampaknya membuat aturan dalam praktik poligami menjadi lebih rawan untuk dilanggar, sebab para pelaku tidak terbebani persyaratan apaun dalam pernikahan siri.

Apabila melihat data yang dilansir oleh Yulianingsih (2012) dalam

republika.com dan mengamati UU perkawinan yang berlaku, adanya praktik

pernikahan siri menimbulkan adanya kemudahan secara normatif bagi para suami yang ingin menikah lagi. Selain itu data peningkatan kasus poligami di atas menjadi indikasi bahwa pada masa ini, semakin banyak suami yang membuat keputusan untuk melakukan pernikahan poligami.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tuapattinaya dan Hartati, (2014) menemukan bahwa keputusan untuk menikah terjadi karena adanya faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi motif, kognisi, sikap dan harapan, sedangkan faktor eksternal adalah dukungan sosial, lebih khusus dukungan dari orangtua. Hal ini membuktikan bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan untuk menikah, seseorang mengalami proses psikologis yang sangat kompleks, terlebih lagi dalam hal ini adalah pernikahan poligami yang membawa berbagai dampak dirasakan secara langsung oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya seperti yang


(25)

6

poligami merupakan keputusan yang membawa berbagai dampak bagi istri, anak dan sang suami atau pengambil keputusan itu sendiri. Sehingga sebuah studi mengenai poligami, terutama dalam aspek proses pengambilan keputusan menjadi hal yang menarik dan perlu untuk dilakukan, mengingat keputusan yang diambil adalah keputusan yang membawa berbagai dampak bagi dirinya sendiri dan orang lain.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latarbelakang, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: bagaiamana proses pengambilan keputusan untuk melakukan poligami?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengambilan keputusan seorang suami untuk melakukan poligami.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi ilmu psikologi khususnya terkait dengan studi mengenai konsep pengambilan keputusan dan kajian fenomena poligami pada masyarakat Indonesia.

2. Manfaat Praktis


(26)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi pasangan suami-istri untuk memahami bagaimana keputusan poligami menjadi problematis karena menimbulkan masalah baru dalam rumah tangga. b. Bagi responden penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pola bagaimana para responden melakukan pengambilan keputusan yang berakhir pada sebuah situasi yang problematis.


(27)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pernikahan Poligami 1. Pernikahan

Dalam diri seorang manusia terdapat berbagai kebutuhan-kebutuhan yang menjadi pendorong/latar belakang seseorang dalam bertindak untuk mencapai tujuan (Walgito, 2009). Termasuk dalam tindakan untuk menikah. Walgito (2009) mengungkapkan bahwa terdapat empat kebutuhan yang menjadi latar belakang/pendorong terjadinya sebuah pernikahan yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan religius.

Kebutuhan fisiologis tentunya terkait dengan kebutuhan seksual individu baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun hubungan seksual dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar hubungan pernikahan. Namun, di Indonesia hubungan seksual di luar pernikahan dianggap hal aib dan tidak bisa diterima secara normatif. Sehingga dapat dikatakan pernikahan terjadi karena dilatar belakangi oleh pemenuhan kebutuhan seksual yang dapat diterima oleh norma masyarakat. Kedua adalah kebutuhan psikologis, seiring bertambahnya usia seorang individu akan mulai merasa tertarik dengan lawan jenis dan menjalin sebuah hubungan yang intens. Dalam prosesnya akan muncul rasa saling membutuhkan, rasa kasih sayang, perhatian,


(28)

dihargai dan perlindungan sekaligus rasa aman. Sehingga dengan adanya perkawinan aka nada pasangan hidup yang selalu memberikan pemenuhan kebutuhan psikologis. Ketiga adalah kebutuhan sosial, yaitu sebuah pernikahan terjadi karena adanya norma-norma dalam masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia seseorang yang tidak menikah akan mendapat sorotan dari masyarakat, begitu pula orang yang berpasangan namun tidak menikah, atau orang yang terlambat menikah. Terkadang keadaan seperti itu kurang bisa diterima oleh masyarakat. Terakhir adalah kebutuhan religius, dalam hal ini sebuah pernikahan berlangsung karena didorong oleh ajaran dari kepercayaan tertentu, dimana jika dirinya menikah maka ada sebuah tatanan dalam agama yang dianut telah berhasil dipenuhi oleh seorang individu.

Terlepas dari berbagai latar belakang terjadinya sebuah pernikahan, sesungguhnya pernikahan adalah sebuah tindakan sepasang individu yang bertujuan untuk untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan asas ke-Tuhan-nan (Wantjik, 1976 dalam Walgito 1984). Sepasang individu tersebut diikat dalam suatu perjanjian atau aqad yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berisi ikatan lahir dan batin kedua belah pihak yang diresmikan sesuai syariat hukum (Suprapto, 1990)


(29)

10

Dalam praktiknya sebuah pernikahan ternyata memiliki beberapa bentuk antara lain monogami yaitu pernikahan seorang laki-laki dan seorang perempuan (Zeitzen, 2008). Monogami merupakan bentuk norma pernikahan yang umum berkembang dimasyarakat (Papalia,2005). Bentuk pernikahan yang lain adalah pernikahan poligami yang merupakan sebuah pernikahan seseorang dengan lebih dari satu orang, sehingga pelaku memiliki beberapa pasangan, poligami sendiri memiliki dua bentuk yaitu polyginy dan poliandri (Zeitzen, 2008).

2. Poligami

Kata poligami berasal dari istilah Yunani yaitu “Poly” (banyak)

dan “Gamein” (kawin) yang jika digabungkan berarti kawin banyak atau jika diartikan lebih lanjut, poligami merupakan fenomena dimana seseorang menikah dengan lebih dari satu orang, sehingga memiliki beberapa pasangan (Zeitzen, 2008). Poligami biasanya banyak terjadi di negara-negara islam, masyarakat Afrika dan beberapa negara di Asia (Papalia, 2005). Zeitzen (2008) membagi poligami menjadi 3 bentuk, yaitu polyginy, poliandri dan group marriage (gabungan dari polyginy dan poliandri).

Polyginy diartikan sebagai seorang pria yang memiliki beberapa isri disaat yang bersamaan, namun istilah polyginy saat ini sudah tidak lagi digunakan dan menjadi istilah di kalangan antropolog saja, dan


(30)

masyarakat umum terlebih Indonesia menyebut fenomena ini dengan istilah poligami, sedangkan poliandri adalah seorang wanita yang memiliki beberapa suami dan group marriage merupakan beberapa suami yang menikah dengan beberapa istri.

Pengertian umum yang berkembang di masyarakat Indonesia, poligami dipahami sebagai fenomena ketika seorang laki-laki yang kawin dengan banyak wanita (Suprapto, 1990). Kertamuda (2009) mengartikan poligami atau polyginy sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan dua perempuan atau lebih. Pengertian/definisi poligami yang lain dikemukakan oleh Mulia (2007) yaitu suatu ikatan pernikahan dimana seorang suami menikahi lebih dari satu istri dalam waktu bersamaan.

Praktik poligami sendiri biasanya diawali dengan seorang laki-laki menikah dengan seorang istri kemudian setelah berumah tangga, beberapa waktu kemudian sang suami menikah lagi dengan istri-istri berikutnya, jarang terjadi seorang suami langsung menikahi beberapa istri dalam satu upacara pernikahan. Menurut syariat islam, seorang laki-laki dapat berpoligami hingga memiliki empat istri, tidak lebih (Suprapto, 1990).

Jika disimpulkan atau dirangkum, poligami merupakan hubungan pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan beberapa wanita tanpa menceraikan pasangan sebelumnya, sehingga


(31)

12

laki-laki tersebut merupakan seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu.

Pada praktiknya di Indonesia pernikahan poligami dapat ditempuh dengan dua cara yang berbeda yaitu secara sah menurut hukum Undang-Undang dan ada pula yang hanya sah secara agama atau disebut pernikahan siri (Kertamuda, 2009). Poligami yang hendak dilangsungkan secara resmi, pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang Pernikahan nomor 1 tahun 1974 (Pramita, Mufattanah, Zulkaida, 2012). Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari satu apabila;

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.

2) Istri mengalami cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3) Istri tidak dapat memiliki keturunan.

Sedangkan pasal 5 juga menambahkan bahwa pengajuan permohonan harus memenuhi syarat bahwa;

1) Adanya persetujuan dari istri.

2) Adanya jaminan bahwa suami harus mampu memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya.

Namun undang-undang perkawinan tersebut tampaknya dapat disiasati dengan adanya praktik pernikahan siri. Pernikahan siri yaitu


(32)

sebuah pernikahan yang dinyatakan sah secara agama (agama Islam) namun tidak memiliki catatan administratif dan tidak memiliki legalitas secara hukum dan undang-undang, sehingga dapat dikatakan illegal secara hukum (Kertamuda, 2009). Dalam Syari‟at Islam, poligami dapat ditempuh dengan sebuah pernikahan siri dan pernikahan tersebut dianggap sah menurut Syari‟at Islam (Suprapto, 1990), namun dalam praktiknya pernikahan siri justru terlihat digunakan sebagai celah bagi para pelaku poligami untuk menyiasati undang-undang perkawinan di Indonesia yang cukup ketat untuk para pria yang hendak berpoligami. Hal ini menunjukkan adanya upaya sang suami untuk menghindari ketidaksetujuan istri/istri-istri sebelumnya untuk mengijinkan mereka berpoligami.

Pernikahan siri sesungguhnya justru akan merugikan beberapa pihak, terutama wanita, karena ketidakjelasan statusnya dalam pernikahan ini, selain itu anak dari hasil pernikahan ini akan mendapat masalah yang sama mengenai status, legalitas dan pembagian ahli waris (Kertamuda, 2009). Hal ini dikarenakan pernikahan poligami secara siri tidak memiliki keabsahan hukum perundang-undangan atau dapat dikatakan ilegal dan tidak sah secara hukum (Suprapto, 1990).

Beberapa hal ini tentunya harus diperhatikan oleh pelaku poligami yang menikah siri, karena jika tidak, akan timbul berbagai permasalahan bagi istri dan anak dari pernikahannya tersebut.


(33)

14

Seorang suami yang melakukan poligami, baik itu secara siri maupun secara resmi tentunya memiliki motivasi yang bermacam-macam. Suprapto (1990) menjabarkan beberapa motivasi seorang suami untuk berpoligami, diantaranya adalah motivasi seksual motivasi regenerasi motivasi agama/kepercayaan, motivasi kebanggaan, motivasi ekonomi, motivasi politik, dan motivasi perjuangan.

Motivasi seksual adalah poligami yang semata-mata dilakukan untuk kepuasan seksual. Biasanya hal ini disebabkan karena rasa jenuh suami dalam berhubungan seksual dengan istri sebelumnya. Motivasi berikutnya terdengar cukup populer, yaitu motivasi regenerasi, yaitu poligami yang dilakukan karena istri pertama tidak mampu memberikan keturunan, maka suami memutuskan untuk mencari istri lagi yang mampu memberikan keturunan. Selanjutnya adalah motivasi agama/kepercayaan, poligami dilakukan karena menaati atau melaksanakan apa yang diperintahkan oleh agama, apa yang boleh dilakukakan oleh agama, apa yang diajarkan dalam agama atau mengikuti apa yang dilakukan oleh tokoh dalam kitab agamanya. Terdapat pula motivasi ekonomi yaitu poligami yang terjadi karena pelaku beranggapan bahwa dengan menambah istri maka pendapatannya akan bertambah pula. Istri barunya akan menambah penghasilannya dengan membantunya bekerja. Selanjutnya ada pula motivasi kebanggaan, dimana poligami dilakukan karena pelaku


(34)

memang merasa mampu dan memiliki modal untuk berpoligami. Pelaku merasa bahwa poligami merupakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila bisa melakukannya. Kemudian beberapa motivasi yang cukup unik dan jarang ditemui adalah motivasi perjuangan dan motivasi politik. Motivasi politik adalah poligami yang terjadi karena kepentingan politik seperti kekuasaan dan perluasan wilayah politik dan pemerintahan (biasanya ditemui di wilayah negara yang bersifat kerajaan). Sedangkan motivasi perjuangan adalah poligami yang dilakukan karena seseorang berasumsi bahwa dengan berpoligami maka hal itu akan membantu tujuannya atau kepentingannya segera tercapai.

Beberapa motivasi tersebutlah yang kemudian membentuk bermacam-macam alasan seseorang untuk melakukan poligami. Mulia (2007) menjabarkan mengenai berbagai alasan-alasan seseorang melakukan poligami. Seringkali poligami dikaitkan dengan alasan teologis, yaitu menambah jumlah istri merupkan sesuatu yang mubbah (diperbolehkan oleh Allah) dan perbuatan yang sunnah atau berdasarkan keseluruhan perilaku dalam kehidupan Nabi. Poligami menjadi salah satunya. Sunnah Nabi seharusnya terlaksana dengan sebuah komitmen penuh dengan menjunjung keadilan dan kedamaian. Namun tampaknya saat ini dengan adanya praktik poligami secara siri


(35)

16

keturunan, dimana sang istri dianggap tidak mampu memberikan keturunan bagi sang suami. Alasan ini seringkali dianggap sebagai alasan yang kuat bagi seorang sumai untuk melakukan poligami. Namun setidaknya dalam kasus seperti ini haruslah dilakukan pemeriksaan medis yang benar-benar akurat untuk melihat dari pihak manakah sesungguhnya yang tidak mampu memberikan keturunan. Selanjutnya poligami juga dilakukan dengan alasan untuk menghindari selingkuh, zinah atau pelacuran, Seperti yang dikatakan Walgito (2009) bahwa sebuah pernikah terjadi karena dilatarbelakangi oleh kebutuhan-kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi. Dalam hal ini kebutuhan seksual. Alasan poligami karena menghindari zinah menandakan bahwa seorang suami tidak merasa puas dalam hal seksualitas dengan istri sebelumnya maka mereka ingin memuaskan kebutuhan seksualnya dengan wanita lain. Namun karena hubungan diluar pernikahan merupakan hal yang tidak normatif dan bertentangan dengan nilai agama maka terjadilah sebuah pernikahan poligami dengan alasan menghindari zinah.

Dalam keberadaannya, terutama di Indonesia poligami selalu identik dengan Islam dan Islam selalu mengkaitkan poligami dengan keadilan. Namun keadilan tersebut adalah keadilan yang seperti apa ? Diponegoro (2014) menyebutkan bahwa keadilan dalam poligami berdasarkan fiqih (ilmu yang berfokus pada syariat Islam) meliputi dua hal, yaitu qashata dan adala. Qashata adalah keadilan secara material


(36)

sedangkan adala menekankan pada keadilan dalam hal cinta dan

compassion. Meskipun seseorang mampu untuk bertindak adil, hal

tersebut juga tidak akan menjadi jaminan bahwa dirinya akan terbebas dari dampak-dampak yang muncul setelah dirinya melakukan poligami (Kertamuda, 2009)

Sama seperti alasan-alasan mengapa seseorang melakukan poligami, dampak yang ditimbulkan dari keputusan untuk melakukan poligami juga berbeda-beda. Kertamuda (2009) memaparkan bermacam-macam dampak yang muncul dalam kehidupan keluarga poligami. Dampak-dampak tersebut antara lain adalah dampak psikologi yang biasanya berupa perasaan inferior pada istri yang menyalahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya memberikan kepuasan pada suaminya. Penelitian sebelumnya juga menemukan terdapat dampak psikologis anak dalam pernikahan poligami, yaitu timbul rasa tidak percaya pada sosok ayah, perasaan bahwa sosok ayah tidak adil pada istri dan anak, serta merasa kurang perhatian (Alawiyah & Kumolohadi, 2007). Selain itu penelitian Haryadi (2009) juga menemukan bahwa si pelaku sendiri juga tidak luput dari dampak psikologis seperti, merasa kesulitan membagi waktu, dan muncul berbagai perasaan-perasaan negatif dalam dirinya.

Di samping dampak psikologis yang terpapar dalam penelitian-penelitian sebelumnya, Suprapto (1990) menjabarkan beberapa


(37)

18

dampak ekonomi yaitu istri yang kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena sang suami juga kesulitan membagi keuangan untuk istri-istrinya karena ada kecenderungan suami akan menelantarkan istri dan anaknya yang terdahulu. Poligami juga membawa dampak yang lebih memprihatinkan yaitu dampak kekerasan, bentuk kekerasan yang muncul dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, maupun seksual.

Selain itu terkait dengan praktiknya ternyata poligami juga membawa dampak dalam ranah hokum, hal ini di karenakan adanya persyaratan yang ketat tentang pernikahan poligami, menjadikan praktik menikah siri (sah secara syariat agama namun tidak resmi secara hukum) yang lebih mudah persyaratannya menjadi mengalami peningkatan. Terkait dengan kesehatan ternyata poligami juga dapat membawa dampak yang negatif dalam hal kesehatan yaitu anggota keluarga bias saja saling tertular penyakit kelamin bahkan HIV/AIDS karena suami yang berganti-ganti pasangan.

Poligami ternyata memang membawa berbagai dampak yang dinilai negatif. Penelitian Nevo dan Krenawi (2006) juga menemukan bahwa kehidupan kelarga poligami merupakan kehidupan yang menyakitkan terutama bagi istri dan anak. Bagi istri dan anak dalam sebuah pernikahan poligami, rata-rata memiliki keinginan untuk kembali menjadi keluarga monogami. Agar dalam prosesnya sebuah keluarga dalam pernikahan poligami tetap mampu berfungsi dengan baik (fully fungtioning) diperlukan penerimaan bahwa poligami


(38)

merupakan takdir yang digariskan oleh Tuhan, sebab poligami seringkali terkait dengan alasan-alasan teologis, kemudian diperlukan juga perlakuan adil dari suami untuk para istri dan anak-anaknya, selain itu tidak membuat istri tinggal serumah juga mampu mengurangi hadirnya konflik, ditambah dengan memelihara rasa saling menghormati dan menerapkan pola komunikasi yang terbuka antara para istri dan anak-anak.

Namun kenyataannya sebaik apapun keadaan sebuah keluarga poligami, tetap saja akan mengalami kondisi emosional yang sulit, rasa cemburu, rasa amarah, perasaan dikhianati dan sebuah pertengkaran tetap saja menjadi sesuatu yang lazim dan tidak terhindarkan (Nevo dan Krenawi, 2006).

B. Pengambilan keputusan

1. Definisi Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan proses memilih atau menentukan berbagai kemungkinan di antara berbagai situasi, di mana seseorang diminta untuk membuat prediksi, memilih salah satu dari beberapa pilihan, dan membuat estimasi (Suharnan 2005). Pengambilan keputusan dilakukan dengan sengaja, dan tidak secara kebetulan, serta tidak boleh sembarangan, masalah harus dipahami dan dirumuskan dengan jelas, sehingga ditemukan alternatif pemecahan


(39)

20

sebagai seleksi atau evaluasi sebuah pilihan atau kesempatan-kesempatan. Syamsi (1989) juga mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan, antara lain memperhitungkan segala sesuatunya, mampu berpikir secara rasional, tidak terlalu emosional, dan tidak hanya berorientasi pada kepentingan pribadi.

Dalam sudut pandang psikologi, pengambilan keputusan seorang individu, cenderung memiliki tujuan untuk mencari rasa senang dan menghindari rasa sakit. Sehingga dapat dikatakan keputusan yang diambil memaksimalkan rasa senang dan meminimalkan rasa sakit (Sternberg, 2008). Newell, Lagnado, dan Shanks (2007) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai sebuah komitmen dalam melakukan tindakan.

Newell dkk (2007) mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek utama dalam pengambilan keputusan, yaitu kemungkinan, hasil, dan nilai/manfaat. Berbagai informasi yang ada ketika melakukan pengambilan keputusan mendatangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Berbagai kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan tersebut akan membawa hasil yang berbeda baik itu menguntungkan maupun merugikan. Hal inilah yang yang menjadi penentu sebuah keputusan dikatakan baik atau buruk, namun sesungguhnya keputusan yang baik adalah keputusan yang mendatangkan rasa bahagia setelah membuat keputusan ataupun ketika sedang membuat keputusan. Pada


(40)

akhirnya, setiap keputusan yang dibuat seseorang akan akan mendatangkan berbagai pengaruh bagi individu tersebut baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari berbagai pengertian mengenai pengambilan keputusan tersebut, maka dapat disimpulkan pengambilan keputusan merupakan sebuah proses yang disadari individu untuk memilih salah satu dari berbagai kemungkinan dari sebuah situasi yang sedang dihadapi dengan berbagai pertimbangan yang bersifat subjektif.

2. Proses Pengambilan Keputusan

Janis and Mann (1977), menjelaskan bahwa pengambilan keputusan merupakan sebuah proses dimana seseorang melakukan pemilihan berbagai alternatif dan yang dianggap terbaik nantinya akan ditetapkan menjadi pilihan guna mencapai tujuan yang diharapkan.

Sebuah proses pengambilan keputusan terbagi menjadi beberapa tahapan-tahapan. Janis & Mann (1977) membaginya menjadi 5 tahapan, yaitu:

a. Menilai Masalah

Ketika dihadapkan dengan sebuah permasalahan, seseorang tidak akan langsung melakukan tindakan, namun seseorang akan melihat informasi mengenai berbagai ancaman atau peluang yang dapat ditimbulkan dari masalah tersebut. Hal inilah yang mengawali


(41)

22

sebuah pengambilan keputusan. Biasanya dalam tahap ini seseorang merasakan keragu-raguan.

b. Meninjau Alternatif

Ketika seseorang telah mendapatkan pemahaman yang baik mengenai masalah yang sedang dihadapai, seseorang mulai fokus terhadap satu atau beberapa alternatif pilihan. Dalam tahap ini biasanya seseorang akan mencari saran atau informasi dari individu lain yang kompeten terhadap sesuatu yang sedang seseorang hadapi. Pada akhir tahap ini seseorang akan mulai melakukan seleksi terhadap alternatif pilihan yang dianggap tidak berguna dan membawa ancaman dan resiko.

c. Menimbang Alternatif

Dalam tahap ini seseorang akan mulai melakukan evaluasi mengenai berbagai pilihan-pilihannya. Seseorang mempertimbangkan berbagai keuntungan dan kerugian dari tiap alternatif pilihan. Pembuat keputusan akan sangat berhati-hati dalam hal ini, terutama mengenai penilaian terhadap untung dan rugi dari tiap alternatif pilihan.

d. Mempertimbangkan Komitmen

Dalam tahap ini pengambil keputusan secara hati-hati mulai menetapkan pilihannya, dan mulai menerapkan salah satu alternatif yang menjadi pilihannya dalam kehidupan.


(42)

Ketika seseorang telah membuat keputusan dan telah merasa keputusannya adalah sesuatu yang tepat, terkadang seseorang mendapat respon/feedback negatif dari orang lain mengenai keputusannya. Dalam tahap ini seseorang diharapkan mampu bertahan, karena jika tidak dia akan merasa tidak nyaman terhadap keputusan yang dijalaninya, dan akan mencari alternatif penyelesaian dan dia akan kembali ke tahap pertama.

C. Proses Pengambilan Keputusan Pada Seorang Suami yang Melakukan Poligami

Banyak alasan mengapa seorang suami melakukan poligami, dari mulai karena ingin memiliki keturunan hingga karena dalih untuk menghindari zinah, tentunya masing-masing pelaku poligami akan memliki alasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Namun sebelum melakukan poligami mereka hendaknya sudah memiliki berbagai kesiapan. Berbagai kesiapan tersebut antara lain adalah kesiapan ilmu, materi dan kemampuan bertindak adil bagi istri-istri dan anak-anaknya, agar nantinya dapat lebih terhindar dari konflik (Yulianti, Abidin, dan Setyaningsih, 2008).

Kenyataannya saat ini justru banyak pelaku poligami belum memiliki berbagai kesiapan tersebut namun sudah memutuskan untuk


(43)

24

siri yang kebanyakan dilakukan oleh para pelaku poligami (republika.co.id , 2012), jika mengingat bahwa poligami secara siri tidak memerlukan ijin dari istri sebelumnya, maka dapat disimpulkan orang yang akan poligami memiliki anggapan bahwa istri mereka tidak akan menyetujui keputusan mereka untuk melakukan poligami. Kertamuda (2009) juga pernah menyatakan bahwa tidak semua perempuan bersedia untuk membagi suami berikut cintanya dengan wanita lain. Sehingga tindakan meminta ijin kepada istri dianggap sebagai tindakan “beresiko” yang dapat mengancam tidak terwujudnya keinginan mereka untuk melakukan poligami. Padahal ketidakterbukaan suami nantinya hanya akan menimbulkan konflik dalam kehidupan rumah tangga (Kertamuda, 2009). Konflik tersebut sebagai dampak atau konsekuensi dari keputusan seorang suami yang melakukan poligami. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa poligami memang sebuah keputusan yang berpotensi menuai berbagai dampak kedepannya, dampak bagi istri, anak maupun dirinya sendiri (Kertamuda, 2009).

Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat beberapa dampak-dampak yang timbul dalam kehidupan rumah tangga sebagai akibat dari tindakan suami yang melakukan poligami, dampak-dampak tersebut antara lain adalah munculnya perasaan-perasaan cemburu, dikhianati dan rasa amarah yang dirasakan oleh istri (Nevo & Krenawi, 2006) bahkan sang suami sendiri juga tak luput dari berbagai perasaan negative yang muncul aki bat keputusannya sendiri (Haryadi, 2009). Selain itu, juga timbul


(44)

berbagai persepsi yang buruk bagi pelakunya dimata anak mereka (Alawiyah & Kumolohadi R, 2007).

Sehingga dapat dikatakan keputusan untuk melakukan poligami adalah keputusan yang mengancam kehidupan rumah tangga mereka sendiri. Padahal penuturan Janis and Mann (1977) mengenai pengambilan keputusan adalah sebuah proses dimana seseorang melakukan pemilihan berbagai alternatif yang dianggap terbaik nantinya dan ditetapkan menjadi pilihan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Sehingga mengkaji proses pengambilan keputusan poligami dengan menggunakan teori Janis and Mann menjadi menarik bagi peneliti. Secara teoritis keputusan yang diambil seseorang adalah pilihan yang dianggap terbaik namun kenyataannya dalam poligami justru terkesan sebaliknya, pilihannya ini justru membawa berbagai perasaan negatif bagi para pengambil keputusan poligami (Haryadi, 2009). Proses pengambilan keputusan dibagi oleh Janis & Mann (1977) menjadi beberapa tahapan-tahapan. membagi pengambilan keputusan menjadi 5 tahapan, yaitu menilai masalah, meninjau alternatif, menimbang alternatif, mempertimbangkan komitmen dan menerima

feedback. Berdasarkan kelima tahapan tersebut peneliti ingin mengungkap

berbagai dinamika psikologis yang dialami oleh seseorang yang hendak melakukan pernikahan poligami. Penelitian dari Tuapattinaya dan Hartati (2014) menemukan bahwa keputusan untuk menikah terjadi karena adanya faktor internal dan eksternal, faktor internal meliputi motif, kognisi, sikap


(45)

26

khusus dukungan dari orangtua. Hal ini menjadi penguat bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan untuk menikah, seseorang mengalami proses psikologis yang sangat kompleks ketika memutuskan untuk melakukan sebuah pernikahan, terlebih lagi dalam hal ini pernikahan poligami yang dianggap sebagai cukup beresiko menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangga.


(46)

D. Gambar 2.1

Gambar 2.1 Skema kerangka teoritis Poligami

Fenomena peningkatan kasus

poligami

Proses Pengambilan Keputusan untuk

Melakukan Poligami ? Berdampak bagi : Istri, Anak, Diri Sendiri

Keputusan untuk poligami meningkat


(47)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh peneliti merupakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif menghasilkan data yang bersifat deskriptif, yang diperoleh dari data tertulis atau lisan dari subjek, selain itu juga dari perilaku subjek yang dapat diamati. Pendekatan tersebut memudahkan peneliti menafsirkan fenomena yang terjadi secara lebih alamiah (Denzin & Lincoln, 1987 dalam Moleong, 2006).

Peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitatif juga dikarenakan penelitian kualitatif mampu mengungkap secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang subjek dan mampu menelaah mengenai motivasi, peranan, nilai, sikap dan persepsi subjek. Penelitian kualitatif juga mampu melihat sebuah fenomena dari segi prosesnya (Moleong, 2006).

Dalam hal ini, pendekatan kualitatif dianggap sangat sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu melihat proses pengambilan keputusan seorang suami untuk melakukan poligami. Poligami yang merupakan salah satu pengalaman individu yang menjadi isu sensitif dimasyarakat dan sangat cocok ditinjau dengan metode kualitatif yang mampu mengungkap isu-isu rumit suatu proses, situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang (Moleong, 2006)


(48)

B. Responden Penelitian

Responden dalam penelitian ini sudah ditentukan kriterianya terlebih dahulu oleh peneliti agar sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam hal ini responden penelitian yang ditentukan oleh peneliti adalah:

1. Seorang suami yang poligami (memiliki lebih dari satu istri). 2. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

Kedua kriteria tersebut dianggap mampu merepresentasikan tujuan dari penelitian ini, yaitu melihat proses pengambilan keputusan seorang suami untuk melakukan poligami.

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada proses pengambilan keputusan seorang suami untuk melakukan poligami yang didasarkan pada teori Janis & Mann (1997).

D. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Metode wawancara ini merupakan gabungan dari metode wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Peneliti sudah memiliki pedoman wawancara sebelumnya, namun tidak menutup kemungkinan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan disaat


(49)

30

dengan fleksibel mengembangkan pertanyaan-pertanyaan baru yang relevan dengan pedoman-pedoman wawancara yang sudah dibuat sebelumnya.

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis narasi. Analisis narasi dapat diartikan sebagai interpretasi yang terorganisir terhadap serangkaian kejadian (Smith,2006). Analisis narasi digunakan dalam pemahaman mengenai problem sehari-hari seperti problema pribadi, problema keluarga, problema keuangan dan lain-lain (Becker, 1997 dalam Smith, 2006) sehingga hal tersebut sesuai dengan fokus penelitian ini, yaitu fenomena poligami yang menjadi problem dalam kehidupan berkeluarga. Sebuah studi narasi diawali dengan pengumpulan data dengan wawancara atau percakapan mengenai sebuah pengalaman personal seseorang yang kemudian data tersebutlah yang akan dianalisis (Cresswell, 2007). Analisis narasi pada praktiknya memiliki tiga komponen penting yaitu awal, tengah dan akhir (Smith,2006) sehingga dianggap cocok untuk menganalisis sebuah proses, yang mana dalam penelitian ini merupakan proses pengambilan keputusan seorang suami untuk melakukan poligami.

Ketika menganailis uraian narasi yang disampaikan oleh subjek, peneliti akan melewati dua fase utama yaitu (Smith, 2013) :

1. Fase deskriptif : Pada fase deskiptif peneliti membaca keseluruhan narasi yang kemudian akan membiasakan diri


(50)

dengan alurnya. Kemudian mulai mengidentifikasi komponen pokoknya yaitu awal, tengah dan akhir. Peneliti juga berusaha untuk mulai menyoroti persoalan-persoalan yang ada dan mencerna narasi secara meluas serta mengembangkan kerangka pengkodean guna menangkap makna dari keseluruhan narasi. 2. Fase interpretatif : Dalam fase ini peneliti mengkaitkan teks

narasi dengan literatur teoritis yang sudah ditentukan sebelumnya guna meninterpretasi cerita narasi subjek. Fase ini mengarah pada pelabelan teoritis terhadap penuturan-penuturan subjek. Pelabelan teoritis dilakukan dengan cara theory-led

thematic analysis. Dimana fenomena yang diteliti akan

dikontraskan dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Tema-tema yang dibahas telah ditentukan terlebih dahulu menurut teori yang digunakan. Panduan pertanyaan juga mengacu pada teori yang ada dalam BAB II. Teknik analisis dengan bentuk

Theory-Led dianggap peneliti dapat memudahkan untuk


(51)

32

Tabel 3.1 Tabel Pedoman Wawancara

No Tahapan Pengambilan

Keputusan

Daftar Pertanyaan

1 Menilai Masalah Ceritakan, bagaimana awalnya anda bertemu dengan istri anda yang kedua? Pada saat itu apa yang anda rasakan?

Apa yang anda lakukan setelah merasakan hal itu?

2 Meninjau Berbagai Alternatif

Setelah anda melakukan hal tersebut, apa yang anda pikirkan?

Apakah anda membicarakan hal ini dengan oranglain? Bagaimana tanggapan orang lain? Bagaimana perasaan anda terhadap tanggapan orang-orang tersebut?

3 Menimbang Alternatif Ceritakan mengenai berbagai pertimbangan anda ketika hendak melakukan poligami? Apa saja yang mendukung dan apa saja yang menghalangi?

Bagaimana perasaan anda saat itu?

4 Mempertimbangkan Komitmen

Apa akhirnya yang membuat anda yakin untuk poligami?

Setelah akhirnya anda memilih untuk poligami, bagaiman perasaan anda saat itu? (D2)

5 Menerima

feedback/Respon

Apa saja dampak yang timbul setelah anda memutuskan untuk berpoligami?


(52)

negatif Bagaimana anda menanggapi/menyikapi berbagai dampak tersebut?

Apa yang anda rasakan ketika

menanggapi/menyikapi berbagai dampak tersebut?

F. Kredibilitas Penelitian

Dalam Penelitian kualitatif, kredibilitas merupakan penggati istilah validitas dalam penelitian kuantitatif. Kredibilitas penelitian kualitatif dilihat dari seberapa keberhasilan penelitian tersebut dalam mengesplorasi masalah, proses, setting dan pola interaksi. Selain itu, penelitian yang dilakukan telah mampu memberikan deskripsi mendalam mengenai keterkaitan berbagai aspek yang terlibat, serta mampu mengidentifikasi dan mendeskripsikan subjek secara tepat (Poerwandari, 2005).

Dalam penelitian ini, pencapaian kredibilitas dilakukan dengan dengan cara mengkomparasi dan mendiskusikankan koding dengan peneliti ahli, dalam hal ini adalah dosen pembimbing, agar meningkatkan ketepatan dalam melihat ide dari beragam sudut pandang. Kemudian dilanjutkan dengan mengkonfirmasikan kembali hasil data dengan responden penelitian, sehingga peneliti mendapatkan kesempatan untuk melakukan pengecekan kembali melalui feedback dari responden penelitian (Smith, 2008).


(53)

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Penelitian

1. Peneliti memilih responden penelitian dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu seorang suami yang melakukan poligami dan bersedia membagikan pengalamannya kepada peneliti melalui proses wawancara.

2. Peneliti menyusun pedoman wawancara yang sesuai dengan masalah yang menjadi topik penelitian. Pedoman wawancara inilah yang nantinya digunakan untuk pengambilan data.

3. Peneliti melakukan pertemuan awal dengan responden yang berjumlah tiga orang, untuk membangun rapport segaligus menentukan waktu wawancara.

4. Pelaksanaan wawancara dengan ketiga responden.

Tabel 4.1.

Jadwal Pelaksanaan Wawancara dengan Ketiga Responden

Responden Tempat Tanggal Jam Keterangan

YD Kantor

Responden

27 Januari 2016

16.00-17.00 Rapport & Mengatur waktu wawancara


(54)

B. Profil Responden 1. Responden 1

Rumah Makan Lestari, Tangerang 31 Januari 2016

10.00-12.00 Wawancara Latar Belakang & Wawancara 1

- 8 April

2016

20.00-21.00 Wawancara 2 (Via

Telepon)

WR Kantor

Responden

27 Januari 2016

16.00-17.00 Rapport & Mengatur waktu wawancara Rumah Makan Lestari, Tangerang 30 Januari 2016

13.00-15.00 Wawancara Latar Belakang & Wawancara 1

- 9 April

2016

11.00-12.00 Wawancara 2 (Via

Telepon)

TT Kantor

Responden

28 Januari 2016

12.00-13.00 Rapport & Mengatur waktu wawancara Rumah Makan Lestari, Tangerang 31 Januari 2016

10.00-12.00 Wawancara Latar Belakang & Wawancara 1

- 10 April

2016

19.00-20.00 Wawancara 2 (Via


(55)

36

Inisial : YD

Usia : 33

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh Pendidikan : SMA b. Latar Belakang Responden

Responden adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Responden lahir dan besar di kota Tangerang. Keluarga besar responden adalah suku betawi asli. Responden tinggal bersama orangtuanya sejak kecil sampai responden menikah. Kedua orangtua responden adalah pribadi yang keras dalam mendidik anak, selain itu orangtua responden juga mengajarkan untuk selalu bersikap sederhana dan selalu berusaha. Semasa responden bersekolah di jenjang SD-SMP, responden merupakan siswa biasa dan tidak menonjol. Namun ketika berada di SMA responden termasuk siswa yang berprestasi, terutama dalam bidang matematika.

Ketika masa sekolah responden mulai mengenal dan berteman dengan teman wanita saat duduk di Sekolah Menengah Atas. Responden mengaku dirinya mulai tertarik dengan wanita saat kelas 2 SMA. Responden sempat beberapa kali berpacaran sebelum bekerja, namun dirinya mengaku tidak terlalu sering bergonta-ganti pasangan. Responden menuturkan dirinya termasuk orang yang memiliki


(56)

komitmen dalam sebuah hubungan. Setelah lulus SMA responden langsung bekerja di salah satu perusahaan maskapai penerbangan.

Setelah beberapa tahun bekerja, responden menikah dengan istri pertamanya. Istri pertama responden merupakan teman yang dikenalnya sejak kecil, namun baru tertarik setelah sama-sama dewasa, sekitar tahun 2005. Responden menjalin hubungan pacaran dengan istri pertamanya hingga satu tahun, kemudian mereka menikah. Seiring berjalannya waktu, 7 tahun kemudian responden mengenal wanita lain yaitu istri keduanya, menjalin hubungan berpacaran pada akhir 2013 dan menikah pada pertengahan 2014, setelah enam bulan berpacaran.

Saat ini responden bekerja sebagai porter disebuah perusahaan logistik di Kota Tangerang. Selain itu responden juga membuka usaha warung kelontong di rumahnya yang dikelola oleh istri pertamanya. Responden juga menjadi staf desa ditempat tinggalnya. Kedua istri responden tinggal di tempat yang terpisah, istri pertama bersama responden di rumah dan istri keduanya dirumah orangtuanya sendiri. Pernikahan pertama responden telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang masih berusia sekolah dasar. Sedangkan pernikahan keduanya belum dikaruniai keturunan.

Responden termasuk pribadi yang santai, mudah bergaul dan ramah. Responden juga selalu berpenampilan rapi, selain itu


(57)

38

mengungkapkan bahwa dirinya tinggal dilingkungan betawi asli, dimana poligami dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Beberapa orang ditempat tinggal responden merupakan pelaku poligami, bahkan beberapa tokoh masyarakat disana juga menjadi salah satunya. Ayah responden sendiri juga seorang pelaku poligami.

2. Responden 2

a. Identitas Responden Inisial : WR

Usia : 32

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh Pendidikan : SMK b. Latar Belakang Responden

Responden adalah anak pertama dari lima bersaudara. Responden lahir dan besar di kota Tangerang. Sejak kecil hingga SMK responden tinggal bersama kedua orangtuanya. Responden mengaku sejak kecil dididik untuk menjadi anak yang berprestasi, maka saat bersekolah responden selalu berada di peringkat lima besar. Ketika bersekolah responden mengaku tidak pernah berteman dekat dengan wanita, hal ini dikarenakan responden tidak diperbolehkan untuk berpacaran oleh orangtuanya sebelum responden mampu bekerja.


(58)

Seusai tamat pendidikan SMK responden masuk menjadi pekerja di Bandara. Ketika itu responden mulai berpacaran. Pacar pertama responden adalah teman SMK-nya. Seiring berjalannya waktu responden sering bergonta-ganti pacar, responden menuturkan usia hubungan pacarannya di masa lalu tidaklah lama, hanya beberapa bulan dan tidak ada yang mengarah pada hubungan serius. Namun, pada tahun 2007 responden pernah menjalin hubungan serius dengan seorang wanita hingga sempat akan menikah, namun pernikahannya gagal karena pertengkaran dengan keluarga calon mempelai wanita. Tiba-tiba mempelai wanita dilarang oleh keluarganya untuk menikah dengan responden, dengan alasan responden dianggap kurang pantas untuk wanita tersebut. Responden ingin menikahi wanita tersebut pada 7 Agustus 2007, namun batal pada bulan April 2007.

Tiga tahun kemudian (2010) responden dikenalkan oleh sepupunya dengan seorang wanita yang saat ini menjadi istri pertamanya. Setelah tiga bulan menjalin hubungan, responden melihat kesiapan wanita tersebut, sehingga responden mengajaknya untuk menikah. Setelah menikah responden tinggal di rumah keluarga istri pertamanya dan membuka usaha warung kelontong. Responden meninggalkan pekerjaannya dan beralih menjadi wiraswasta sedangkan istri pertamanya bekerja sebagai guru. Istri pertama responden lebih tua 4 tahun dari dirinya. Hal ini membuat responden


(59)

40

seiring berjalannya waktu responden justru merasa terkekang dan membuatnya mencari pelarian dengan mengenal teman kerjanya yang saat ini menjadi istri keduanya. Selama 4 tahun menikah dengan istri pertama responden tak kunjung memiliki keturunan, setelah dua tahun menikah lagi akhirnya responden memiliki seorang anak dengan istri keduanya.

Responden sendiri mengaku sebagai orang yang serius namun santai dan senang bercanda. Responden senang bersosialisasi dengan teman melalui aktivitas olahraga dan memancing. Responden juga merupakan pribadi yang cuek dan tidak suka dikekang. Saat ini responden tinggal di rumah kontrakan dengan istri keduanya, sedangkan istri pertamanya tinggal bersama keluarganya, namun keduanya masih tinggal di kota yang sama yaitu Tangerang, Jawa Barat. Saat ini responden bekerja sebagai porter di perusaaan logistik, dan istri keduanya membuka usaha warung kelontong di rumah kontrakannya. Responden saat ini lebih sering menghabiskan waktu di rumah istri keduanya karena mereka memiliki bayi yang baru berusia satu bulan, dan membuat responden saat ini fokus untuk merawat anaknya.

3. Responden 3

a. Identitas Responden Inisial : TT


(60)

Usia : 32 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh Pendidikan : SMA

b. Latar Belakang Responden

Responden adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Responden hidup dan tinggal di lingkungan Suku Betawi di kota Tangerang. Sejak kecil responden tinggal di kota Tangerang bersama kedua orangtuanya. Setelah lulus sekolah dan mampu bekerja, akhirnya responden mampu memiliki tempat tinggal sendiri yang juga di kota Tangerang.

Responden mengaku bahwa dirinya adalah orang yang senang berbagi dan mandiri. Responden juga mengatakan bahwa dirinya senang menjalin hubungan pertemanan dengan orang baru. Responden mengungkapkan bahwa dirinya memiliki banyak teman wanita sejak bersekolah hingga saat ini. Responden juga termasuk orang yang religius, karena dirinya mengaku sangat memperhatikan aturan-aturan dalam agama yang dianutnya.

Semenjak lulus Sekolah Menengah Atas, responden langsung bekerja sebagai supir untuk perusahaan logistik. Di samping bekerja sebagai supir, responden juga memiliki bisnis sebagai pemasok kikil


(61)

42

beberapa tahun bekerja akhirnya responden menikah untuk pertama kalinya. Beberapa tahun kemudian setelah responden tahu istrinya berselingkuh, dia menikah lagi untuk kedua kalinya. Satu tahun kemudian responden menikah lagi untuk ketiga kalinya. Saat ini responden tinggal dengan istri ketiganya. Sedangkan istri keduanya berada di Indramayu. Istri pertama responden sendiri masih berada di Tangerang. Secara bergantian responden mengunjungi ketiga istrinya, namun karena responden tinggal bersama istri ketiga, maka dirinya lebis sering menghabiskan waktu bersama istri ketiganya. Responden juga selalu membagi nafkahnya secara adil kepada ketiga istrinya.

Dalam keluarga responden dirinya adalah satu-satunya anggota keluarga yang poligami. Lingkungan tempat tinggal responden juga tidak ada yang poligami. Sehingga seringkali responden mendengar berita-berita negatif yang ditujukan pada dirinya.

C. Hasil Penelitian

1. Keadaan Sebelum Proses Pengambilan Keputusan

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebelum terjadinya proses pengambilan keputusan, ketiga responden memiliki kondisi rumah tangga yang bermasalah. Namun masalah yang mereka hadapi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Responden YD merasa kurang komunikasi dengan istrinya, responden WR merasa tidak suka dengan sikap istrinya


(62)

yang posesif dan sikap mertuanya yang senang mengatur, sedangkan responden TT mendapati istrinya telah berselingkuh.

Responden YD dan responden WR, keduanya merasa perlu mencari hiburan karena kondisi rumah tangga mereka yang bermasalah. Berbeda dengan YD dan WR, responden TT yang mendapati istrinya telah berselingkuh, dirinya menjadi merasa sakit hati dengan sosok perempuan dan tidak berpikir untuk mencari hiburtan seperti kedua responden yang lain.

“akhirnya yang saya nggak suka itu, ya ibaratnya istri saya ini kurang komunikasi sama saya gitu”(538-540)

“ya dulu istilahnya saya juga pengen cari penghiburan karena pas itu saya sering ada masalah dengan istri, kemudian saya

mau” (526-529)(YD)

“Ya pelarian karena istri dan mertua mas, saya dulu kan tinggal sama mertua. orangnya posesif banget, keluar malem jam 10 pulangnya dikunciin gak bisa masuk rumah saya, padahal saya kan seneng main orangnya, nggak bisa saya digituin mas, dia ini suka ngatur mas, Saya bangun siang juga sering dimarahin sama mertua, dulu kan saya masih kerja dirumah buka usaha mas jam tujuh belum bangun udah dimarahin aja, katanya ini rumah dia aturan dia, makanya saya pengen cari hiburan cari pelarian gitu mas” (344-345) (348-353) (356-362) (WR)

“Ya itu mas rasa sakit hati saya diselingkuhin sama yang pertama. Kan saya bilang dulu saya maunya punya istri satu seumur hidup tapi ternyata istri saya yang pertama ini malah nyelingkuhin saya makanya ya saya terus sakit hati sama perempuan”, (208-214)(TT)

Ketika rumah tangganya sedang dilanda permasalahan, istri responden YD seringkali justru pulang ke rumah orangtuanya. Hal ini membuat responden YD merasa kurang komunikasi dengan istrinya dan membuat dirinya seringkali bercerita kepada teman. Kemudian karena


(63)

44

kepada YD untuk berkenalan dengan teman kerjanya yaitu FW (istri kedua YD). Karena responden YD merasa butuh hiburan maka responden YD mengiyakan tawaran tersebut.

“curhat masalah rumah tangga, lanjutnya saya kenal sama istrinya, eh entah kenapa istrinya ini menawakan perempuan yaitu istri kedua ini, ya dulu istilahnya saya juga pengen cari penghiburan karena pas itu saya sering ada masalah dengan istri, kemudian saya mau” (523-529)

Setelah bertemu dengan wanita tersebut (FW) responden YD merasa tertarik karena fisik dan penampilan FW yang solekhah, dan responden terkesan dengan perilaku FW yang selalu cium tangan bila bertemu dengan responden YD. Setelah merasa tertarik responden menjalin hubungan pacaran dengan FW. Selain itu lama-kelamaan responden YD menjadi suka dan cinta pada FW karena lebih perhatian jika dibandingkan istri pertamanya.

“kawan saya ini punya istri kerja disatu perusahaan namanya Panaruh didaerah tangerang setelah itu istrinya ini mengenalkan saya sama istri saya yang kedua sekarang ini lanjutnya saya ngobrol ngobrol diperkenalkan gitu ada rasa tertarik lanjutnya saya jalan sama itu setelah saya jalan saya ada hubungan sama dia, biasalah kayak anak muda seperti itu pacaran gitu lanjutnya setelah itu saya sempatkan jalan berdua gitu ya itu timbul hubungan yaitu pacaran gitu” (6-16)

“Tertariknya dulu karena fisik ya, fisiknya tu kayanya solekhah gitu karena perempuan itu kan berkerudung jadi diliatnya itu solekhah kayanya kayanya ada rasa pas kalo menjalani hubungan dengan itu menjalani rumah tangga ya itu dari tampang dia, fisik dia, wajahnya dia, kesolekhahannya dia begitu, masalahnya kan kalo ketemu dia selalu nyium tangan” (19-26)

“Jadi saya ada terasa suka, cinta sama dia, karena, maaf ya istri saya yang pertama kan intinya kurang memperhatikan entah dari kebutuhan saya sehari hari entah ibaratnya cara berpakaian saya sehari hari, makan saya kurang


(64)

diperhatikan dan kenapa saya ketemu orang ini selalu diperhatikan dari a sampai z itu diperhatikan, setiap ketemu juga Tanya udah makan apa belum, terus juga kerjanya gimana, itu awal pertamanya” (29-38)

Sedangkan responden WR mengalami kondisi di mana istrinya tidak mampu memberikan keturunan, hal ini membuatnya menyesali pernikahannya yang membuat responden gagal menjadi seorang bapak. Selain itu hal ini juga membuat responden merasa pernikahannya tidak sesuai dengan tujuan, yaitu tujuan untuk mendapatkan keturunan. Responden juga merasa minder karena belum memiliki keturunan.

“jadi kan istri saya yang pertama belum bisa kasih saya keturunan sampai sekarang udah nikah 4 tahun” (5-7) “Pas tau istri saya ternyata gak normal itu perasaan saya nyesel mas, nyesel dalam artian saya salah nikah”, (383 -385)

“tujuan saya nikah itu kan nggak hanya jadi suami istri tapi juga jadi bapak, saya nyesel mas, karena nggak bisa jadi bapak”(385-388)

“Iya soalnya kan kita nikah tujuannya mempunyai keturunan” (26-27)

“kalo ngumpul sama temen-temen ada acara nikahan, reunian, orang yang ditanya apa sih pertamabukan harta punya mobil berapa kan bukan to, yang ditanya lu punya anak berapa itu saya minder” (84-91)

Istri dari responden WR juga seringkali tidak memenuhi keinginan responden untuk berhubungan intim dengan alasan kelelahan bekerja. Hal ini membuat responden WR menjadi merasa tidak respect dengan istri.

“Satu dia kerja super sibuk juga kadang waktu buat saya juga nggak ada saya ngajak dia buat hubungan aja dia nolak katanya capek katanya abis ujian, koreksian banyak punyak anak-anak, banyak alesan” (40-44)


(65)

46

“padahal kan harusnya istri kalo suami minta kan harus dikasih itu dari situ saya berpikir aduh istri saya nggak bener nih kalo begini saya kan laki-laki” (45-49)

Selain itu responden juga menjadi tidak suka dengan sikap istri pertama dan mertuanya, sehingga responden mencari pelarian dengan mengenal dan menjalin hubungan dengan SC. SC sendiri adalah mantan teman kerja responden, namun sejak dulu sering memberikan perhatian pada responden WR. Bentuk perhatian tersebut seperti SC yang sering menanyakan kabar, menanyakan pekerjaan dan sering melakukan perbincangan melalui media sosial.

“Istilahnya saya juga cuma cari buat pelarian aja, kenal ngajak jalan” (7-9)

“Ya pelarian karena istri dan mertua mas, saya dulu kan tinggal sama mertua. makanya saya pengen cari hiburan cari pelarian gitu mas”, (344-345) (361-362)

“temen kerja tapi perhatian gitu sering kontak-kontakan terus yang kedua ini kontak lagi lewat facebook “(364 -367)

Responden TT mengalami kondisi awal yang sedikit berbeda. Istri Pertama responden TT terlibat perselingkuhan. Setelah mengetahui istrinya terlibat perselingkuhan kemudian responden merasa sakit hati dengan sosok perempuan. Keinginan responden untuk memiliki satu istri pun menjadi hilang setelah mengetahui istrinya berselingkuh.

“Ya itu mas rasa sakit hati saya diselingkuhin sama yang pertama. Kan saya bilang dulu saya maunya punya istri satu seumur hidup tapi ternyata istri saya yang pertama ini malah nyelingkuhin saya makanya ya saya terus sakit hati sama perempuan”, (208-214)

Ketiga responden dapat dikatakan sama-sama memiliki kondisi rumah tangga yang bermasalah sebelum terjadinya proses pengambilan


(66)

keputusan. Masalah-masalah inilah yang kemudian melatarbelakangi proses pengambilan keputusan ketiga responden untuk melakukan poligami.

2. Proses Pengambilan Keputusan a. Menilai Masalah

Dalam tahap ini, ketika menilai masalah kedua responden YD dan WR sama-sama merasakan keragu-raguan. Responden YD merasa kasihan dengan FW jika hubungan mereka hanya sebatas pacaran, karena responden YD sudah merasa suka dan cinta pada FW, sehingga muncul keinginan dalam diri responden YD untuk menikahi FW, namun di sisi lain YD sadar bahwa dirinya sudah berkeluarga dan YD menganggap istrinya tidak akan memberikan ijin kepadanya untuk poligami dan kemungkinan istrinya justru akan meminta cerai.

“ada rasa kasian jadi kalo cuma hubungan pacaran, sempet saya ada pikiran saya kan punya istri punya anak saya bilang lah saya bilang pacaran aja jangan sampai menikah” (53-57) (YD)

“istri mana yang mau mengijinkan yang ada juga nanti dia malah yang minta cerai duluan” (397-399)

Sedangkan, responden WR yang awalnya merasa tidak ingin menjalin hubungan yang serius dengan SC menjadi ada keinginan untuk menikahi SC. Hal ini dikarenakan responden WR memandang SC mau menerima dirinya apa adanya dan merasa SC menyayanginya, ditambah WR juga sudah tidak sabar ingin mempunyai keturunan


(67)

48

namun di sisi lain responden WR juga tidak ingin mengkhianati pernikahannya dengan melakukan poligami.

“saya belum kepikir poligami, saya masih mikir cari hiburan aja tapi eh tau-taunya dia ini kayaknya bener-bener sayang mau nerima saya apa adanya yaudah terus ngalir aja, akhirnya saya bilang saya itu udah punya istri ini gimana terus dia malah bilang mau nerima saya apa adanya” (372-379)

“tujuannya kan pengen main-main aja tapi dia udah sayang banget sama saya jadi yaudah apa saya nikahin siri aja gitu” (13-19)

“Sebetulnya dulu saya dilemma juga sih, satu saya menghianati pernikahan ya makanya dilemma, cuma saya pertimbangkan lagi mau sampai kapan saya begini” (94-98)

Responden WR juga menjadi terpikir untuk poligami karena ada saran dari teman-temannya. Mereka menyarankan WR untuk poligami agar dirinya segera mendapatkan keturunan.

“Karena ada saran dari beberapa orang temen udah lu poligami aja saya jadi tersugesti untuk poligami mas mereka bilang udah lu daripada kagak punya-punya anak mending lu kawin lagi aja” (393-397)

Ketika menilai masalah yang terjadi, yaitu perselingkuhan istrinya, responden TT langsung berpikir bahwa dirinya harus membalas perbuatan istri pertamanya dengan melakukan perbuatan yang serupa, yaitu berselingkuh.. Namun responden sendiri tidak ingin dirinya terlibat dalam zinah dan pelacuran, dan merasa lebih baik menikahi wanita yang disukainya nanti.

“kalo ada perempuan mau sama saya saya juga mau asalkan itu satu nikah soalnya saya nggak mau yang zinah-zinah” (65-66, 70)

“kalo suka sama perempuan lebih baik langsung nikah, gausah jajan” (76-77)


(68)

b. Meninjau Alternatif

Semua responden melibatkan orang lain untuk meninjau keinginanya untuk menikah lagi/poligami. Ketiga responden meminta saran dan persetujuan dari orang-orang di sekitar mereka. Namun ketiga subjek memilih orang yang berbeda-beda, Responden YD meminta saran pada tokoh masyarakat dan paranormal, responden WR meminta pendapat dan persetujuan pada keluarga calon istri kedua (SC), sedangkan TT meminta pendapat pada orangtuanya sendiri. Mereka memilih orang-orang tersebut dengan alasan-alasan tertentu.

Responden YD memilih bercerita pada orang-orang di sekitarnya yang dapat dipercaya sekaligus dianggapnya paham tentang poligami. Selain itu responden YD juga meminta saran dari paranormal untuk memastikan bahwa dirinya cocok dengan calon istri keduanya (FW).

“saya dengan pak Jarwo dengan pak RT lanjutnya saya diskusi dengan itu apa saya pantes enggak buat poligami terus buat menjalani kehidupan (93-96)

saya sharing sama anggaplah orang tua angkat atau ibarat ini sesepuh lah nama saya sama nama dia pas enggak gitu apabila kita menjalin hubungan kalau menikah ternyata saya MY dengan dia FW lanjutnya ternyata cocok” (70-75)

Hampir sama dengan responden YD, responden WR juga bercerita pada sahabat-sahabatnya. Namun responden WR justru meminta pendapat langsung pada orangtuanya dan keluarga istri keduanya. Hal


(69)

50

keduanya mengerti keadaannya dan agar dirinya tidak dipandang negatif oleh keluarga istri keduanya.

“saya cerita sama orangtua apa adanya, orangtua mendukung juga biarpun itu perbuatan jelek tapi kan tujuanya bener “(60-62)

“Ya positif karena kan saya membaur sama keluarga dia jadi pas di certain saya sudah menikah kakaknya sama orangtuanya Cuma bilang ya nggak papa“(138 -142)

Berbeda dengan kedua responden sebelumnya responden TT adalah satu-satunya responden yang meminta ijin pada istrinya untuk melakukan poligami. Hal ini didorong karena keinginan untuk membalas perbuatan istri responden yang telah berselingkuh.

“lu bisa begini gua juga bisa begini, terus gua bilang kalo gua mau nikah lagi lu boleh enggak, terus dia ngebolehin,” (34-37)

Selain itu responden TT juga secara langsung meminta ijin pada orangtuanya. Orangtua responden TT pun tidak melarang keinginan responden untuk melakukan poligami, asalkan biaya menikah ditanggungnya sendiri karena orangtua TT hanya merasa bertanggungjawab untuk menikahkan anaknya satu kali.

“saya ngomong ke orangtua kalo saya mau kawin lagi dulu orangtua bilang kalo mereka ngawinin anak cuma sekali kalo anak mau kawin lagi mereka bilang terserah pake uang saya punya uang yaudahlah kita nikah” (120-127)

c. Menimbang Alternatif

Ketika hendak memutuskan untuk poligami, ketiga responden memiliki pertimbangan yang beragam. Ketiganya memiliki lebih dari


(70)

satu pertimbangan. Terutama responden YD dan WR. Responden YD memiliki pertimbangan jika dirinya menikahi FW maka akan ada kemungkinan dirinya mampu membantu merubah keadaan FW dan keluarganya menjadi lebih baik. Pertimbangannya ini muncul karena adanya perasaan iba pada diri responden YD terhadap keadaan FW yang berstatus anak yatim.

“saya ada niatan untuk membahagiakan dia membahagiakan orangtuanya seperti itu dikarenakan kan dia anak yatim saya kan juga ada keinginan kalo seumpama dia ini berumahtangga saya ada milik rejeki saya lancar insyaallah saya bahagiakan” (173-179)

Meski begitu responden YD juga merasa berat hati untuk melakukan poligami karena dirinya sudah memiliki anak dari pernikahannya yang pertama, responden YD tidak mau suatu saat nanti anaknya juga poligami seperti dirinya.

“saya ada pikirannya ntar alo anak ini udah dewasa takutnya ini dia mengikuti jejak saya “(364-365)

Selain pertimbangan mengenai anak, responden YD juga merasa jika dirinya nanti poligami maka akan timbul konflik antara dirinya dengan istri pertama dan keluarga istri pertama. Responden YD sendiri takut jika konflik itu terjadi.

“Ya itu kalo kita ketauan yang ada abis digebukin istri tua, kalo saya ketakutannya ya itu ribut besar, sama orangtuanya, kakaknya, saudaranya.” (544-550)

Senada dengan YD, responden WR pun menganggap poligami adalah keputusan yang berpotensi merusak hubungan antara dirinya dengan


(1)

merahasiakan pernikahan keduanya karena takut timbul konflik besar dengan istri pertama dan keluaga istri pertamanya (544-550)

menceraikan istri pertamanya karena kurang mengerti dan menyayanginya jika

dibandingkan SC (224-235) 5. Responden menikah lagi

karena ingin mendapat keturunan maka responden memilih mempertahankan pernikahan pertamanya (235-239)

6. Pernikahan keduanya

dirahasiakan pada istri pertama dan keluarga istri pertama sampai mendapat keturunan dari istri kedua(69-72)

dari istri dan wanitanya sudah mau responden merasa pertimbangannya sudah cukup (300-305)

Mempertimbangkan Komitmen

1. Responden poligami karena ada keinginan yang besar dan merasa ada dukungan (218-221)

2. Responden sholat ketika menghadapi dilema saat

1. Meski awalnya merasa takut namun karena mendapat dukungan akhirnya responden berani untuk poligami (152-158)

2. Faktor utama yang membuat

1. Responden merasa sudah gila wanita dan tidak bisa untuk ditentang, selama dirinya masih mampu menafkahi (283-291) 2. Ketika sudah yakin untuk


(2)

poligami (225-233)

3. Responden pernah disarankan untuk tidak poligami namun responden tidak menghiraukan (130-134)

4. Responden tetap ingin

menikah dan jika ada masalah akan ditanggungnya sendiri (161-167)

5. Pernikahan siri dipilih responden agar tidak ada ancaman dan tuntutan jika bercerai (374-387)

ingin mendapat keturunan (286-289)

3. Responden menikahi SC karena SC menyayangi dan menerima responden apa adanya, dan bangga pada responden (134-136)

4. Responden memilih menikah siri karena tidak meminta persetujuan istri pertamanya (259-262)

mencari modal untuk menikah (311-317)

Bersiap menerima feedback

1. Seringkali istri pertama

mempermasalahkan responden yang telah poligami (345-349) 2. Responden merasa ada respon

negatif dari orang sekitar ketika ada konflik (349-356) 3. Responden merasa semua

1. Responden mengalami konflik ketika istri dan mertuanya tau dirinya poligami (275-285) 2. Responden ingin menutupi

pernikahan keduanya terlebih dahulu agar tidak ada

omongan dari orang lain

(315-1. Responden merasa

lingkungan menjadi sumber konflik keluarganya (446-451)


(3)

masalah yang muncul harus diterimanya (286-297) 4. Saat ini responden merasa

menyesal poligami (235-237) (243-246)

5. Responden seringkali bercerai dengan istri ke 2 agar

hidupnya kembali normal (492-494)

319)

3. Istri kedua membantu

responden menanggapi respon orang sekitar (182-188) 4. Memiliki keturunan akan

menjadi alasan kuat bagi responden responden untuk jujur pada istri pertamanya bahwa dirinya telah poligami (215-222)

C. Setelah Proses Pengambilan Keputusan

Responden 1 (YD) Responden 2 (WR) Responden 3 (TT)

1. Keadaan responden setelah poligami ternyata tidak sesuai dengan harapan (275-283) 2. Saat ini responden merasa

menyesal poligami (235-237) (243-246)

3. Responden merasa poligami

1. Responden mengalami konflik ketika istri dan mertuanya tau dirinya poligami (275-285) 2. Responden merasa dimusuhi

oleh keluarga istri pertama (224-228)

3. Saat mengalami konflik

1. Jika istri kedua dan ketiganya memiliki anak responden akan

meninggalkannya (387-390) 2. Responden hanya ingin

memiliki anak dari istri pertama agar bisa fokus


(4)

Keadaan Setelah Pengambilan Keputusan

disesalinya (500-505)

4. Responden sering ribut dengan kedua istrinya (318-321) 5. Responden bersikap sabar agar

tidak terjadi perceraian dengan istri pertama (287-291)

6. Responden berusaha

meredakan konflik yang terjadi antara istri pertama dan kedua (FW) (297-310)

7. Responden ingin berpisah dengan istri ke duanya karena menuntut banyak hal, salah satunya ekonomi (253-258) 8. Istri kedua responden selalu

ingin ditemani, sehingga responden merasa kesulitan membagi waktu untuk istri pertama dan anaknya (260-269)

justru semakin intens dengan istri kedua (293-296)

4. Dengan berat hati akhirnya istri pertama menerima keputusan responden dan meminta untuk tidak

meninggalkannya (296-305) 5. Responden bangga setelah

memiliki keturunan (84-91) 6. Setelah poligami responden

kesulitan membagi waktu dan keuangan, selain itu

hubungannya dengan istri pertama juga menjadi tidak intens lagi (202-210) 7. Responden dibantu istri

keduanya ketika bingung membagi waktu dan keuangan (162-172)

8. Responden tidak menyesali

386)

3. Responden merasa susah karena beristri tiga terutama karena seringkali terlibat konflik dengan istri ketiganya (404-408)

4. Istri ketiga responden sering cemburu dan menuduh responden berselingkuh ketika responden pulang terlambat (417-425) 5. Responden terhindar dari

masalah keuangan karena responden memiliki kondisi ekonomi yang cukup, (162-170)


(5)

9. Responden seringkali bercerai dengan istri ke 2 agar

hidupnya kembali normal (492-494)

10.Anak seringkali membuat responden merasa berat untuk pergi kerumah istri ke 2 (475-486)

11.Responden menganggap kesulitan membagi waktu antara kedua istri, anak dan pekerjaannya adalah

pengalaman yang berat (468-473)

keputusannya karena berhasil mendapat keturunan (242-245) 9. Responden merasa hidupnya

lebih baik setelah poligami (321-330)

10.Responden merasa lebih banyak konflik sebelum poligami (331-341)


(6)