TARMAC DELAY DIKAJI BERDASARKAN HUKUM NASIONAL INDONESIA TERHADAP KASUS LION AIR TUJUAN MANADO-JAKARTA DENGAN NOMOR PENERBANGAN JT755.

ABSTRAK
TARMAC DELAY DIKAJI BERDASARKAN HUKUM NASIONAL
INDONESIA TERHADAP KASUS LION AIR TUJUAN MANADO-JAKARTA
DENGAN NOMOR PENERBANGAN JT755.

Dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangan sipil berjadwal (
scheduled flight), masalah keterlambatan tidak dapat dihindari.
Keterlambatan penerbangan dapat terjadi disebabkan oleh kendala teknis,
operasional maupun alam. Keterlambatan menyebabkan terjadinya
perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang
dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan hal
ini merupakan definisi keterlambatan atau delay yang didefinisikan
Undang-undang nasional Indonesia dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
2009 . Kasus keterlambatan yang terjadi pada hari Senin 30 September
2013, pada maskapai penerbangan domestik Lion Air tujuan ManadoJakarta dengan nomor penerbangan JT755 merupakan alat uji apakah
maskapai penerbangan ini diduga telah melakukan keterlambatan sesuai
dengan kriteria Tarmac delay yaitu penundaan pesawat sebelum lepas
landas atau setelah mendarat dengan kondisi penumpang tidak dapat
meninggalkan pesawat karena pesawat sedang berada di area Tarmac
(aspal) Bandara sebagaimana telah diterapkan di banyak negara,
khususnya Amerika Serikat .

Sehubungan dengan kasus Lion Air JT755 yang diduga melakukan
Tarmac delay penulis menkaji dengan mengunakan hukum nasional
Indonesia untuk mengetahui apakah kriteria Tarmac Delay sudah diatur
dan memenuhi rumusan hukum nasional Indonesia sebagai bagian dari
keterlambatan.Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan oleh
penulis adalah menggunakan metode yuridis normatif.
Undang – Undang no 1 tahun 2009 jo Peraturan Mentri
Perhubungan no 77 tahun 2011 jo Peraturan Menteri Perhubungan No 89
tahun 2015
mengatur tentang keterlambatan dan tanggung jawab
pengangkut secara umum. Tarmac delay di Indonesia merupakan bagian
dari keterlambatan dalam hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu
maskapai tetap harus bertanggung jawab apabila mereka melakukan
praktik tarmac delay sesuai dengan beban pertanggungjawaban yang
diatur dalam undang undang tersebut.. Terkait hal ini tanggung jawab
akan praktik tarmac delay harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan
pengaturan tentang dengan pengaturan tentang tanggung jawab akan
keterlambatan yang diatur oleh Undang – Undang no 1 tahun 2009 jo
Peraturan Mentri Perhubungan no 77 tahun 2011 jo Peraturan Menteri
Perhubungan No 89 tahun 2015.


TARMAC DELAY IN THE PRESPECTIVE OF INDONESIAN LAW
IN THE CASE OF LION AIR JT 755 FROM MANADO TO JAKARTA

ABSTRACT

In the operation of a scheduled flight, inconvenience caused by
delay cannot be avoided. Delay can be caused due to operational and
technical maters, as well as natural causes. Delay caused by these
circumstances will make a time difference between scheduled departing
and arriving time, and the realization of the carriage itself. This constitutes
as the definition of delay stipulated in the Indonesian national regulation
regarding air transportation Law No 1 year of 2009. Referring to the case
of Lion Air flight number JT 755 where there was a delay on flight from
Manado to Jakarta, on the 30th of September 2013. The delay had
occured in the tarmac area with no opportunity for its passengers to
deplane. This situation revoke a question whether the delay could be
considered or interpreted as a tarmac delay which have been
acknowledge and regulated in general practices in aviation industries.
This case will be analyzed using Indonesian national law regarding

air transportation as a main tool instrument to determent whether the
tarmac delay could be considered as a delay in the perspective of
Indonesian law. The research methodology used juridical normative
approach, as this metodelogy is the most suitable for this research.
The Indonesian national law regarding air transportation governs
the issue of delay in general terms. Tarmac delay is embedded in the
context of delay under Indonesian law, however, such law does not govern
the issue of tarmac delay specifically. In the case of Flight JT 755, the
disadvantage caused by the tarmac delay should be considered as a
delay in the perspective of Indonesian national law and should be given
compensation as stated in the regulation.