PENGEMBANGAN PROGRAM KEMANDIRIAN GURU DALAM PENYUSUNAN SILABUS :Studi pada Pelajaran Matematika SMA di Kota Pontianak.

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 26

C. Tujuan Penelitian ... 27

D. Manfaat ... 28

E. Metode dan Lokasi ... 29

BAB II PROGRAM KEMANDIRIAN DALAM PENYUSUNAN SILABUS MATEMATIKA DI SMA ... 30

A. Kemandirian Guru dalam Penyusunan Silabus Matematika ... 30

B. Penelitian yang Relevan ... 92


(2)

D. Kedudukan Kemandirian dalam Pendidikan Umum ... 101

BAB III METODE PENELITIAN ... 129

A. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 129

B. Prosedur Penelitian ... 131

C. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 133

D. Kehadiran Peneliti di Lapangan ... 136

E. Tahap-tahap Penelitian ... 137

F. Strategi Pengumpul Data ... 138

G. Teknik Analisis Data ... 139

H. Validitas dan Objektivitas Data ... 141

I. Definisi Konseptual ... 142

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 143

A. Data Penelitian ... 143

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 177

C. Temuan Penelitian ... 238

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 239

A. Simpulan ... 239

B. Saran ... 241

DAFTAR PUSTAKA ... 243


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Kelas (Rombongan Belajar) dan Siswa menurut Tingkat tiap


(4)

DAFTAR GAMBAR


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Dokumen yang Ditelaah ... 249

Lampiran 2. Daftar Pertanyaan ... 251

Lampiran 3. Langkah-langkah Pengembangan Silabus ... 254

Lampiran 4. Silabus Matematika kelas XI IPA ... 256

Lampiran 5. SK Pembimbing ... 292

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian ... 293


(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemandirian guru sudah menjadi pembahasan dunia pendidikan internasional, diawali dari berbagai konferensi tingkat dunia mulai dari Nottingham tahun 1998 (Sinclair, McGrath dan Lamb, 2000:1), Hong Kong tahun 2000 (Benson, 2000:1), Shizuoka tahun 2001 (Barfield et al.) dan Edinburgh tahun 2001. Selain itu kemandirian guru menjadi perhatian utama pada tahun 1999 dalam Simposium AILA Scientific Commission on Learner Autonomy di Tokyo (Dam, 2002), dan simposium ‘Relationships between Learner and Teacher

Autonomy’ di Singapura pada Desember 2002.

Little (1995) dan Tort-Moloney (1997) mendefinisikan kemandirian guru sebagai “the teachers” capacity to engage in self-directed teaching. Smith (2000) dan Savage (2000) mendefinisikan kemandirian guru sebagai teachers’ autonomy

as learners. Selanjutnya Richard Smith (2000), mendefinisikannya sebagai “the

ability to develop appropriate skills, knowledge and attitudes for oneself as a

teacher, in cooperation with others.” Benson (2000) memberikan pemikiran

bahwa kemandirian guru dapat dilihat sebagai “a right to freedom from control

(or an ability to exercise this right) as well as actual freedom from control”.

McGrath’s (2000) berupaya mengidentifikasi dimensi-dimensi perbedaan dari kemandirian guru. Dan Aoki (2000) mendefinisikan kemandirian guru sebagai


(7)

the capacity, freedom, and/or responsibility to make choices concerning one’s

own teaching’.

Dari berbagai definisi tentang kemandirian guru tersebut dapat diambil simpulan bahwa kemandirian guru adalah kebebasan guru untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kapasitas dan tanggungjawabnya. Berarti dalam kemandirian, kapasitas dan tanggung jawab guru merupakan bagian yang sangat menentukan.

Selanjutnya berbagai penelitian tentang kemandirian guru juga dikaji oleh Sherry Ann Lepine (2007:1) yang membahas tentang “The ruler and the ruled:

Complicating a theory of teaching autonomy”. Lawrence Rudolph, (2006:1)

membahas tentang kemandirian guru dan kaitannya dengan kepuasan kerja. Su-Yun Wang (2000:1) mengkaji kemandirian guru berkaitan dengan kurikulum, yaitu studi tentang kemandirian guru dalam membuat keputusan kurikulum di Taiwan. Perbedaan (gap) antara kemandirian guru dalam situasi nyata dengan situasi “yang seharusnya” dalam mengambil keputusan tentang kurikulum disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah pengetahuan dan

skill guru, dan kesadaran dan aspirasi guru. Faktor eksternal adalah situasi

sosial-lokal, aturan hukum, materi pembelajaran dan sikap dan kemampuan siswa. Kemandirian guru dalam pendidikan di Indonesia menjadi pembahasan setelah terjadi reformasi yaitu dengan lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu kewenangan Pemerintah Pusat dalam menentukan sistem pendidikan nasional adalah menetapkan kebijakan nasional dan norma serta standar pendidikan. Berarti pemerintah pusat tidak memiliki


(8)

kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun perlu dipertegas wewenang pemerintah daerah dalam wewenang operasional pendidikan, karena bila satuan pendidikan/sekolah bekerja secara profesional, maka akan tercipta sekolah yang mandiri.

Kemandirian sekolah menjadi faktor penting sehingga tanggung jawab keberhasilan atau kegagalan pendidikan terletak pada pelaksana pendidikan, seperti guru, tenaga teknis dan kepala sekolah. Untuk itu maka guru dan pengelola sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan profesional mereka agar semakin berhasil. Guru dituntut untuk berinovasi dalam proses pembelajaran atas dasar pemahaman mereka terhadap permasalahan pendidikan sesungguhnya.

Berkaitan dengan kemandirian sekolah dan profesional, kemandirian guru menjadi faktor penting pula. Karena sekolah yang mandiri diselenggarakan oleh pengelola sekolah dan guru yang mandiri dan profesional. Tanpa pengelola dan guru yang mandiri sekolah akan berjalan mengikuti aturan-aturan yang ada dari pusat dan daerah. Padahal guru merupakan penyelenggara pendidikan yang mengetahui berbagai hal dalam penyelenggaraan di sekolah atau satuan pendidikannnya. Bila guru tidak mandiri, maka sekolah juga tidak akan mandiri.

Dalam penyelenggaraan pendidikan di negara kita, kemandirian guru semakin menonjol setelah tahun 2004 diberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang dilanjutkan pada 2006 dengan diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun tidak berarti dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah berhak mengatur sekolah begitu saja, karena sesuai dengan namanya KTSP adalah


(9)

kurikulum yang disusun oleh sekolah, sebagai wujud dari otonomi pendidikan di sekolah (kemandirian sekolah). Sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, setiap sekolah/madrasah mengembangkan kurikulumnya sendiri berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) dan berpedoman kepada panduan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Itu berarti dalam dunia pendidikan, sekolah diberikan otonomi yang sangat luas. Dalam hal ini, sekolah memiliki peran yang besar dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum. Untuk itu otonomi/kemandirian guru sebagai ujung tombak pengemban tugas pelaksana kurikulum yang harus berhadapan langsung dengan peserta didik dan orang tua memiliki peran yang sangat sentral.

Selama ini kurikulum yang diberlakukan di Indonesia sejak awal kemerdekaan (kurikulum tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994) bersifat sentralisasi, sehingga guru di sekolah mutlak hanya pelaksana dari kurikulum yang diberlakukan. Semua aturan yang telah dibuat pusat harus dilaksanakan dengan cara yang sama di semua daerah. Berarti guru tidak perlu mandiri dalam melaksanakan pendidikan, semua sudah diatur dari pusat.

Sebelum diberlakukannya KTSP, saat masih diberlakukan KBK, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, yang berisikan tentang keprofesian guru, profesionalitas guru dan sertifikasi guru. Undang-undang tersebut memperkuat bahwa guru adalah suatu profesi sehingga harus dijalani secara profesional, yang berarti diberikan kemandirian guru untuk mengembangkan diri.


(10)

Dengan diberlakukannya KTSP, yang terdiri dari dua dokumen (Supinah, 2008: 1 - 2), yaitu dokumen I merupakan tanggung jawab sekolah, berarti bagian dari kemandirian sekolah. Dan dokumen II merupakan tanggung jawab guru, berarti bagian dari kemandirian guru.

Dari dokumen tersebut tampak bahwa silabus merupakan salah satu kelengkapan dari KTSP (Supinah, 2008: 1-2). Hal ini sesuai dengan ungkapan dari Djahiri (2007:21) bahwa silabus ialah rancangan pembelajaran atau operasionalisai kurikulum secara rinci yang dapat dikerjakan oleh guru untuk suatu unit sekolah/kelas tertentu. Silabus ini merupakan tanggung jawab guru di sekolah dan pengembangannya dapat dilakukan sendiri oleh guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, atau pada Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Dinas Pendidikan.

Perbedaan isi kurikulum dan silabus, adalah kurikulum memuat tujuan umum program, tujuan umum mata pelajaran, dan silabus memuat deskripsi operasional dari tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, kegiatan pembelajaran, alokasi waktu, dan asesmen (Susanto, 2008: 16). Sejalan dengan hal tersebut menurut Djahiri (2007,19) isi kurikulum amat tergantung kepada sifat/jenis dan peringkat atau jenjangnya (kementerian/pemerintah/lembaga pusat atau nasional, daerah atau pelaksana/sekolah), sedangkan silabus meliputi M3SE atau Materi (Bahan Pelajaran), Metode (Cara Pembelajaran), Media (Alat Bantu Pembelajaran), Sumber (Sumber Belajar) dan Evaluasi (Asesmen).

Dengan demikian kemandirian guru yang akan mendukung kemandirian sekolah dapat dimulai dari penyusunan silabus. Selanjutnya timbul pertanyaan,


(11)

“Apakah pihak sekolah atau pemerintah daerah (dinas pendidikan) melaksanakan suatu program untuk memandirikan guru dalam menyusun silabus?” Kemandirian seorang guru tidak dapat tumbuh begitu saja, apalagi guru-guru yang senior yang sudah biasa menggunakan kurikulum sebelum KBK, dimana mereka tidak perlu repot-repot langsung menggunakan saja silabus yang telah disiapkan oleh pemerintah, tanpa mengubah atau menyesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing.

Berdasarkan hasil kajian dari Puskur tentang Kajian Kebijakan Kurikulum Matematika dalam KTSP (2007) bahwa guru matematika belum mampu menyusun silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah, termasuk keseragaman dengan sekolah lain, banyak guru matematika yang mendapat silabus dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika atau download internet.

Untuk menumbuhkan kemandirian guru matematika dalam menyusun silabus tentu tidak datang begitu saja, dibutuhkan pembinaan dari pihak sekolah. Itu berarti pihak sekolah dalam hal ini didukung oleh komite sekolah, pengawas sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah daerah, selayaknya melaksanakan program-program yang dapat menumbuhkan kemandirian guru. Program tersebut dirancang dengan baik, dilaksanakan dan dievaluasi secara kontinu, karena apabila kemandirian guru dapat tumbuh, maka kualitas pendidikan semakin meningkat.

Seiring dengan upaya penghargaan pemerintah terhadap profesi guru, melalui Undang-undang Guru dan Dosen, program sertifikasi guru dan peningkatan/penyetaraan pendidikan guru, seyogianya guru menyadari tuntutan


(12)

profesi tersebut. Menurut Suryadi dan Budimansyah (2008:130), berdasarkan studi yang dilaksanakan oleh balitbang Dikbud (1992), guru yang berkualitas adalah SDM yang dituntut untuk memiliki status profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengelola pendidikan. Profesionalisme SDM meliputi tiga karakteristik utama, yaitu kemampuan profesional (professional capacity), upaya profesional (professional effort) dan pencurahan perhatian terhadap profesinya (time evotion).

Selanjutnya Suryadi dan Budimansyah (2008:131) membahas bahwa kemampuan profesional (professional capacity) adalah kemampuan SDM dalam intelegensia, sikap, dan prestasi mereka dalam mengelola dan mengajar, hal ini dapat ditunjukkan dengan tinggi rendahnya skor hasil belajar yang mengukur kemampuan penguasaan materi. Upaya profesional (professional effort) adalah upaya guru untuk mentransformasi kemampuan profesional yang dimilikinya ke dalam tindakan nyata dalam mengelola pendidikan serta pembelajaran. Upaya ini ditunjukkan oleh penguasaan dan keahlian mengajar seperti menguasai metodologi dan pendekatan mengajar, dapat menggunakan bahan-bahan pengajaran, dapat mengelola kegiatan belajar siswa, selalu berusaha untuk meneliti dan berinovasi untuk mengembangkan program pengajaran yang efektif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta tahap perkembangan siswa. Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (professional time devotion) adalah banyaknya waktu yang digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesinya. Hal ini ditunjukkan oleh konsep waktu belajar yang idukur dari banyaknya atau intensitas siswa belajar secara perorangan.


(13)

Guru merupakan tenaga profesional, guru adalah faktor penting dalam pendidikan formal, karena itu harus memiliki perilaku dan kemampuan untuk mengembangkan siswanya secara optimal. Guru juga dituntut mampu menyajikan pembelajaran yang bukan semata-mata mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap, tetapi juga memiliki kemampuan meningkatkan kemandirian siswa. Secara umum kemandirian dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan suatu masalah secara bebas, progresif, dan penuh dengan inisiatif. Oleh karena itu guru dituntut sanggup menciptakan kondisi proses pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan berpendapat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, untuk itu guru dituntut meningkatkan kompetensi dirinya (Halimatussadiyah, 2010:1).

Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagaimana tertera pada pasal 10 ayat 1 Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan pada pasal 28 ayat 3 peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.

Berdasarkan penjelasan pasal 28 peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan diperoleh informasi sebagai berikut. Pertama, kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum atau silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan


(14)

pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kedua, kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.

Ketiga, kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

Keempat, kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metode keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.

Untuk meninjau tingkat kecerdasan guru terhadap cara guru mengajar sehingga mampu dikatakan sebagai guru yang mandiri terhadap pembelajaran tidak hanya meningkatkan kompetensi saja yang difokuskan, tetapi guru juga dituntut untuk mampu menguasai peran guru dalam proses pembelajaran. Peran


(15)

guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila (Halimatussadiyah, 2010:1).

Selanjutnya Halimatussadiyah (2010:1) mengatakan bahwa peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.

Sebagai wujud dari kemandirian guru, perlu digali berbagai informasi dari sekolah. Saat ini terdapat beberapa kategori sekolah di Indonesia, antara lain adalah sekolah kategori mandiri (SKM) atau Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Sekolah Kategori Mandiri (SKM)/Sekolah Standar Nasional (SSN) adalah sekolah yang yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional


(16)

Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari delapan standar yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah suatu program pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Sekolah yang dapat mengikuti program RSBI adalah sekolah yang memenuhi berbagai kriteria diantaranya kategori mandiri.

SMA SBI adalah SMA (sebelumnya masuk dalam RSBI) yang sudah memenuhi seluruh standar nasional pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari Negara anggota OECD atau negara maju lainnya.

Dari ketiga jenis sekolah penulis memilih RSBI, karena sebagai sekolah kategori mandiri, berarti kemandirian guru seharusnya sudah dilaksanakan dengan berbagai program untuk RSBI. Di RSBI, terdapat beberapa mata pelajaran yang dilaksanakan menggunakan standar internasional, yaitu Matematika, IPA dan Bahasa Inggris. Berarti kemandirian guru matematika pada RSBI sangat


(17)

diperlukan untuk memenuhi standar internasional. Selain itu kemampuan koginisi guru matematika juga harus berupaya menerapkan banyak nilai, seperti tekun, rajin, cekatan, disiplin, tanggung jawab, mandiri, sungguh-sungguh dan lain-lain.

Dalam melaksanakan pendidikan bertaraf internasional, setiap sekolah harus memperhatikan kurikulum yang dipergunakan. Berdasarkan teori kurikulum terdapat dua acuan pembelajaran yaitu: 1) Kurikulum formal (intended

curriculum); dan 2) Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) (Djahiri, 2010).

Kurikulum formal adalah kurikulum yang harusnya berlaku di sekolah, sedangkan kurikulum tersembunyi adalah kurikulum yang tidak seharusnya berlaku di sekolah. Dalam kurikulum tersembunyi guru mempunyai peran yang sangat vital, maksudnya guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai kurikulum hidup dan perancang serta pelaksana program yang profesional. Kurikulum formal dan tersembunyi membutuhkan kemandirian guru dalam penyusunan dan penerapannya.

Untuk mencapai taraf internasional pada era otonomi ini, kualitas pendidikan selain ditentukan oleh sekolah, akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang (Suyanto; 2001).


(18)

Sebagaimana diungkap di atas kebijakan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yang diawali dengan adanya UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, telah dibentuk suatu Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang salah satu tugasnya mengembangkan standar kompetensi dan standar isi.

Standar kompetensi terdiri atas standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi kelompok mata pelajaran (SK-KMP), standar kompetensi mata pelajaran (SKMP), dan kompetensi dasar (KD). Standar isi terdiri atas kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar, dan kalender pendidikan (BSNP, 2006).

Kedua standar tersebut dijadikan sebagai panduan dalam penyusunan kurikulum operasional pada tingkat satuan pendidikan. Dengan adanya kebijakan baru tersebut, maka pengembangan kurikulum secara operasional sampai dengan penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang lebih spesifik menjadi tanggung jawab sekolah.

Penyusunan silabus didasarkan atas pertimbangan yang matang supaya siswa memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Silabus yang dikembangkan dengan tepat dan efektif akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Komponen-komponen dalam silabus tersebut harus disusun dan dikembangkan secara sistematis dan sistemik, dan dalam pengembangannya harus berorientasi pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah dikembangkan oleh BSNP.

Silabus merupakan produk utama dari pengembangan kurikulum sebagai suatu rencana tertulis pada suatu satuan pendidikan yang harus memiliki


(19)

keterkaitan dengan produk pengembangan kurikulum lainnya, yaitu proses pembelajaran.

Silabus dapat dikatakan sebagai kurikulum ideal (ideal/potential

curriculum), sedangkan proses pembelajaran merupakan kurikulum aktual

(actual/real curriculum). Silabus juga merupakan hasil atau produk

pengembangan disain pembelajaran, seperti Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar (PDKBM) dan Garis-garis Besar Program Pembelajaran (GBPP). Dalam silabus tersebut memuat komponen-komponen minimal dari kurikulum satuan pendidikan. Untuk mengadakan pengkajian terhadap kurikulum yang sedang dilaksanakan pada suatu satuan pendidikan, bisa dilakukan melalui penelaahan silabus yang telah dikembangkan dan diberlakukan. Dari pengkajian terhadap silabus bisa memberikan berbagai informasi, di antaranya dapat dilihat apakah kurikulum sebagai suatu teori telah diterjemahkan dengan baik. Melalui silabus dapat ditelaah standar kompetensi dan kompetensi yang akan dicapai, materi yang akan dikembangkan, proses yang diharapkan terjadi, serta bagaimana cara mengukur keberhasilan belajar. Dari silabus juga akan tampak apakah hubungan antara satu komponen dengan komponen lainnya harmonis atau tidak. Karena itu kedudukan silabus dalam telaah kurikulum tingkat satuan pendidikan sangatlah penting.

Dengan memperhatikan beberapa pengertian di atas, pada dasarnya silabus merupakan acuan utama dalam suatu kegiatan pembelajaran. Beberapa manfaat dari silabus ini (KTSP, 2006), di antaranya:


(20)

1. Sebagai pedoman/acuan bagi pengembangan pembelajaran lebih lanjut, yaitu dalam penyusunan RPP, pengelolaan kegiatan pembelajaran, penyediaan sumber belajar, dan pengembangan sistem penilaian.

2. Memberikan gambaran mengenai pokok-pokok program yang akan dicapai dalam suatu mata pelajaran.

3. Sebagai ukuran dalam melakukan penilaian keberhasilan suatu program pembelajaran.

4. Dokumentasi tertulis (written document) sebagai akuntabilitas suatu program pembelajaran.

Berarti silabus merupakan pedoman, gambaran, ukuran dan dokumen dalam program pembelajaran. Hal itu menunjukkan betapa penting silabus dalam sebuah kurikulum. Selanjutnya menurut pedoman KTSP (BSNP, 2006), secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Silabus dapat disusun secara mandiri oleh guru apabila guru yang bersangkutan mampu mengenali karakteristik siswa, kondisi sekolah dan lingkungannya. Selain itu, guru juga harus sudah memahami dengan benar langkah-langkah mengembangkan silabus.

2. Apabila guru mata pelajaran karena sesuatu hal belum dapat melaksanakan pengembangan silabus secara mandiri, maka pihak sekolah dapat mengusahakan untuk membentuk kelompok guru mata pelajaran untuk mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah tersebut.

3. Sekolah yang belum mampu mengembangkan silabus secara mandiri, sebaiknya bergabung dengan sekolah-sekolah lain melalui forum MGMP


(21)

untuk bersama-sama mengembangkan silabus yang akan digunakan oleh sekolah-sekolah dalam lingkup MGMP setempat.

4. Dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para guru berpengalaman di bidangnya masing-masing. Agar silabus dapat tersusun dengan baik, dibutuhkan tim kerja yang memadai dan memiliki beberapa kapabilitas. Sebaiknya dalam tim kerja tersebut tersedia ahli kurikulum, ahli mata pelajaran, ahli disain pembelajaran, ahli evaluasi, dan ahli lainnya yang diperlukan. Selanjutnya, perlu juga ditetapkan struktur organisasi dan tata-laksana tim pengembang silabus tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas menunjukkan bahwa silabus dapat disusun atau dikembangkan oleh guru secara mandiri atau kelompok dengan dukungan dari berbagai pihak terutama pihak sekolah. Sebaiknya setiap sekolah sudah berupaya melakukan tahapan penyusunan silabus secara perlahan dan pasti, dengan sasaran utama adalah kemandirian guru. Karena guru yang mengetahui dengan baik kondisi kelas dan sekolahnya.

Secara khusus guru mata pelajaran matematika, sebagai salah satu mata pelajaran diajarkan dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah, matematika harus dipelajari siswa-siswa karena kegunaannya yang penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Penerapan matematika akhir-akhir ini telah berubah banyak dan cepat karena kehadiran dan perkembangan teknologi elektronik dalam dunia kerja. Pembelajaran matematika di tingkat satuan pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang


(22)

berlangsung. Kurikulum mata pelajaran matematika harus dirancang tidak hanya untuk siswa melanjutkan ke pendidikan tinggi tetapi juga untuk memasuki dunia pasar kerja. Pengembangan kurikulum matematika yang sedang berlangsung sekarang ini harus dipersiapkan dengan matang, dan dihasilkan dari kerja sama dan pertimbangan stakeholders.

Kebijakan pemerintah mengenai pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah sejalan dan dilandasi paradigma baru pengelolaan pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah. Sekolah sesuai dengan kondisinya, potensi siswa, dan potensi daerah dalam batas-batas tertentu diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri. Sekolah diharapkan dapat melakukan analisis kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari sini mereka bersama-sama dengan stakeholder-nya dapat membuat benchmarking yang tidak harus sama dengan sekolah di tempat lain.

Sayangnya banyak sekolah yang tidak mampu mengimplementasikan kebijakan tersebut. Mereka lebih mengharapkan pemerintah memberikan pedoman, aturan, dan petunjuk teknis yang jelas dan terinci. Sekolah-sekolah selama ini sebagian besar sudah terbiasa “diatur”, sehingga ada yang gagap, malas atau kurang percaya diri ketika diberi kesempatan “mengatur” diri sendiri. Fenomena ini dapat ditemui di banyak sekolah pada awal-awal pemberlakuan KTSP.


(23)

Dalam situasi demikian di sekolah-sekolah harus dikembangkan tradisi baru, yaitu bukan hanya bekerja keras, namun juga berpikir keras untuk menyahuti otonomi dan kewenangan yang telah diberikan pemerintah.

Paling tidak ada dua masalah utama pengembangan mutu guru di sekolah. Pertama, ketidakseimbangan program pembinaan tenaga kependidikan mulai dari SD hingga SLTA. Program-program peningkatan mutu guru selama ini belum dilaksanakan secara merata. Kedua, adanya kesenjangan antara konsep pembinaan dengan apa yang diterapkan guru dalam kelas serta permasalahan lainnya yang berkembang saat ini. Peningkatan kompetensi guru merupakan upaya awal peningkatan mutu tenaga kependidikan agar guru mampu meningkatkan kemampuan mereka seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Jika pemerintah tidak menata program peningkatan profesionalisme guru, praktek pendidikan akan banyak melahirkan proses pengajaran yang berpusat pada guru padahal hendaknya mengacu pada siswa sehingga akan memicu kreativitas mereka. Di lapangan banyak guru menggunakan metode mengajar yang monoton, terlepas siswa suka atau tidak suka, cocok atau tidak dengan metode tersebut. Konsekuensinya, muncul kultur sekolah yang cenderung bersifat otoriter. Kultur yang tidak demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis serta menimbulkan efek destruktif pada “keingintahuan, kepercayaan diri, kreativitas, dan kebebasan berpikir di kalangan peserta didik.

Praktek pendidikan seperti itu tidak akan sanggup menghadapi masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, upaya peningkatan profesionalisme guru perlu segera dilaksanakan. Program peningkatan mutu guru harus dilakukan secara


(24)

serempak dari TK sampai dengan SMA/SMK lewat pelatihan peningkatan kompetensi guru.

Konsep pelatihan pun harus mengacu pada kebutuhan ketika proses pembelajaran seperti bagaimana menyampaikan pembelajaran secara menarik dan bagaimana penggunaan media belajar yang dapat merangsang motivasi siswa untuk belajar. Pemerintah juga perlu mengembangkan kemandirian guru dan memberikan otonomi yang lebih luas pada sekolah dan guru. Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. Instruksi, pengarahan dalam menyajikan pembelajaran.

Jika guru mendapatkan kepercayaan penuh, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Demikian juga, otonomi ini akan memungkinkan guru mempergunakan kemampuan dan pengalaman profesional secara penuh.

Profesionalisme guru perlu ditunjang oleh sikap mandiri, sedangkan kemandirian antara lain dapat diwujudkan dengan cara menunjukkan prakarsa dalam menilai diri sendiri ketika melaksanakan pembelajaran (refleksi) dan berupaya mencari jalan ke luar untuk mengatasi masalah. Namun untuk menghasilkan guru yang profesional dan berkualitas harus ada upaya penyiapan dan pengembangan secara terus menerus, terencana dan berkesinambungan, mengingat tuntutan standar kualitas serta kebutuhan di lapangan juga terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan. Sikap profesional guru perlu ditunjang pula oleh sikap mandiri. Kemandirian merupakan salah satu sikap yang


(25)

seyogianya dimiliki oleh setiap orang, sebab sikap mandiri merupakan implementasi pengaturan potensi diri sendiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain.

Kemandirian guru dapat diwujudkan dengan cara menunjukkan prakarsa dalam menilai diri sendiri ketika melaksanakan pembelajaran (refleksi) dan berupaya mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah. Selain kemandirian, guru juga harus mempunyai etos kerja yang tinggi. Etos kerja guru dapat ditunjukkan dengan cara membangun suasana ilmiah dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dengan berbagai sumber belajar.

Secara filosofis konsep mandiri berarti kekuatan mengatur diri sendiri; tindakan yang mengarahkan sendiri; tidak tergantung pada kehendak orang lain; hal untuk mengikuti kemauan sendiri. Diri yang mandiri adalah diri yang berfungsi secara integratif memilih dan mengarahkan aktivitas-aktivitas sesuai dengan kebutuhannya sendiri.

Kemandirian dapat dilihat dari segi psikologi berarti kedewasaan, kematangan (maturity) atau pribadi yang dewasa. Dewasa memiliki dimensi yang luas, terutama yang berkenaan dengan kemampuan kognitif, moral dan sosialnya. Jadi, dari perspektif psikologis, kemandirian dapat diartikan sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Kematangan (kemandirian) mengandung unsur kemampuan dan kemauan. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan, latihan, atau pengalaman.


(26)

Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai kemandirian adalah kepercayaan yang melekat untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-hari, karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan. Thomas Lickona (1994: 14) menyatakan bahwa kemandirian ditandai dengan tanggung jawab pribadi dan diterima kesadaran diri.

Kemandirian merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas pasal 4, bahwa pendidikan di Indonesia berfungsi:

“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuah yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Salah satu aspek yang tercakup dalam tujuan pendidikan nasional tersebut di atas adalah berkepribadian, yang di dalamnya terdapat sikap mandiri. Oleh karena itu kemandirian merupakan salah satu sikap yang ingin dilahirkan dari pendidikan. Kemandirian merupakan salah satu ciri manusia yang mampu mengisi dan mewarnai masa depan yang penuh dengan kompetisi, dan menuntut adanya profesionalisme.

Kemandirian sebagai nilai secara fitriyah telah menjadi potensi manusia, memerlukan pengembangan dan pembinaan. Karena itu kemandirian merupakan nilai yang perlu dikembangkan melalui aktivitas belajar yang melibatkan berbagai komponen pendidikan.


(27)

Untuk mencapai kemandirian dalam hal ini, adalah kemandirian guru dalam menyusun silabus diperlukan berbagai upaya, baik guru secara pribadi, pihak sekolah, dinas pendidikan, pemerintah daerah dan masyarakat. Kemandirian pada dasarnya merupakan kemampuan untuk berani dalam mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya dengan dasar keahlian, kemandirian akan menjadi dasar yang memungkinkan seseorang mampu mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu kemandirian menjadi amat penting dalam konteks pengembangan profesi guru. Dengan kemandirian guru dapat lebih berani melakukan hal-hal yang inovatif dan kreatif sehingga proses pendidikan/pembelajaran akan lebih mendorong siswa untuk makin menyukai dan rajin belajar sehingga hal ini akan mendorong pada peningkatan kualitas pendidikan.

Namun untuk memantapkan kemandirian guru dalam menyusun silabus dibutuhkan berbagai kegiatan yang menjadi bagian dari program kemandirian guru. Program ini dapat dilaksanakan oleh pihak sekolah, dinas pendidikan, kelompok kerja guru, dan pihak-pihak lain. Dalam penelitian ini akan dikaji program kemandirian guru dalam menyusun silabus pada pelajaran matematika. Dan yang termasuk kegiatan dalam program kemandirian guru adalah semua kegiatan yang berkaitan dalam mempersiapkan guru dalam menyusun silabus, termasuk kegiatan lain.

Dari uraian di atas alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti merasa resah, sekiranya masalah tersebut tidak diteliti:

a. Globalisasi mendorong agar SDM siap bersaing secara terbuka;


(28)

c. Pemberlakuan KTSP mendorong pelaksanaan otonomi/kemandirian sekolah, dan penyusunan silabus sebagai bagian dari KTSP mendorong kemandirian guru.

Dari ketiga hal tersebut guru sebagai profesi harus profesional dan mampu mandiri, untuk mandiri, maka sekolah diharapkan merancang dan melaksanakan program-program kemandirian guru.

Gejala-gejala kesenjangan yang terdapat di lapangan sebagai dasar pemikiran untuk memunculkan permasalah:

a. Guru-guru menggunakan silabus dari MGMP atau download internet;

b. Tuntutan di akhir sekolah siswa harus mengikuti Ujian Nasional, sehingga untuk aman dan mudahnya sekolah menggunakan silabus yang dibuat oleh pemerintah, yang tidak sesuai dengan sekolah;

c. Guru menggunakan silabus lama yang tidak relevan dengan kondisi sekolah; d. Sekolah menuntut guru membuat silabus tetapi tidak memberikan pembinaan.

Kerugian-kerugian yang mungkin timbul seandainya tidak diteliti:

a. profesi guru yang sudah diberikan penghargaan tidak akan terlaksana sebagaimana mestinya;

b. Guru tidak peduli bahwa silabus harus disusun sesuai dengan visi, keadaan dan kondisi sekolah;

c. Siswa akan diberikan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kondisi sekolah; d. Guru tetap tidak profesional dan tidak berupaya menanamkan nilai kemandirian pada peserta didik sebagai salah satu tujuan nasional pendidikan.


(29)

e. Kesalahan pemahaman masyarakat, termasuk masyarakat pendidikan bahwa kurikulum adalah silabus. Penelitian ini mempertegas bahwa kurikulum dan silabus adalah hal yang berbeda.

Keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh seandainya masalah tersebut diteliti:

a. Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah akan menghargai profesi guru dan merespons dengan memfasilitasi berbagai program pembinaan kemandirian guru;

b. Kepala Sekolah memberi perhatian dan melaksanakan pembinaan kemandirian guru di sekolahnya;

c. Kepala Sekolah dan guru menyadari bahwa kemandirian sekolah diawali dengan kemandirian guru;

d. Guru menyadari bahwa kemandirian guru dapat diawali dari penyusunan silabus;

e. Guru dapat menyusun silabus sesuai dengan kondisi dan keadaan sekolah yang mengarah pada pencapaian hasil akhir berupa ujian nasional;

Masalah kemandirian guru merupakan masalah tentang nilai, atau pendidikan nilai yang merupakan bagian dari pendidikan umum / nilai. Masalah kemandirian guru dalam menyusun silabus merupakan masalah dalam pendidikan umum/nilai, karena seorang guru yang mandiri dalam menyusun silabus akan mendorong siswa menjadi siswa yang mandiri pula. Mandiri merupakan salah satu nilai dalam pendidikan umum/nilai/karakter.


(30)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat ditarik suatu pemikiran bahwa dalam pengembangan KTSP dibutuhkan kemandirian guru dalam menyusun dan mengembangkan silabus sebagai kurikulum operasional yang merupakan bentuk dari perwujudan otonomi pendidikan di sekolah, walaupun pada tahap awal penyusunan dan pengembangan silabus dapat dilakukan bersama kelompok guru atau bimbingan ahli, tetapi untuk pengembangan tahap selanjutnya kemandirian guru menjadi mutlak.

Oleh karena itu perlu diupayakan suatu program yang dapat mendorong agar guru dengan penuh percaya diri dan mandiri mampu menyusun sendiri silabus yang dibutuhkan di sekolah mereka masing-masing. Program yang dirancang dan disiapkan agar guru mampu memunculkan semua potensi yang ada dalam dirinya dengan memperhatikan dan mengembangkan hal-hal yang berada di sekelilingnya, dan mampu melepaskan diri dari ketergantungan untuk meniru dan mencontoh silabus yang ada, yang tidak cocok dengan kondisi sekolah mereka.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan fokus masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana kemandirian guru matematika dalam penyusunan silabus? Untuk menjawab masalah tersebut diperlukan langkah-langkah yang dapat dijadikan solusi dalam pengembangan kemandirian guru matematika di sekolah. Untuk itu diperlukan program pengembangan kemandirian guru dalam menyusun silabus matematika di sekolah.

Permasalahan tersebut selanjutnya dirumuskan dalam beberapa pertanyaan di bawah ini.


(31)

1. Seperti apakah program kemandirian guru yang dilakukan sekolah dalam penyusunan silabus?

2. Seperti apakah proses yang dilakukan sekolah pada program kemandirian guru dalam penyusunan silabus?

3. Bagaimanakah model pengembangan program kemandirian guru dalam penyusunan silabus?

4. Bagaimanakah tingkat kemandirian guru dalam penyusunan silabus?

5. Apakah faktor-faktor determinan kemandirian guru dalam penyusunan silabus? 6. Apakah faktor-faktor penghambat kemandirian guru dalam penyusunan

silabus?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil rancangan program pengembangan kemandirian guru dalam penyusunan silabus matematika di SMA di Kota Pontianak.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan, menganalisis dan menemukan:

1. program kemandirian guru yang dilakukan sekolah dalam penyusunan silabus matematika di sekolah.

2. proses yang dilakukan sekolah pada program kemandirian guru dalam penyusunan silabus.

3. rancangan program pengembangan kemandirian guru dalam penyusunan silabus matematika di sekolah.


(32)

4. tingkat kemandirian guru dalam penyusunan silabus.

5. faktor-faktor determinan kemandirian guru dalam penyusunan silabus. 6. faktor-faktor penghambat kemandirian guru dalam penyusunan silabus.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi penemuan teori, pemecahan masalah dan manfaat praktis bagi sekolah dan masyarakat.

1. Manfaat teoretik

Hasil penelitian ini berupa konsep program pengembangan kemandirian guru dalam menyusun silabus. Dari hasil ini dapat dirancang suatu program pelatihan atau pendidikan yang mempersiapkan kemandirian guru dalam menyusun silabus merupakan hal pokok jika kita ingin berperan serta dalam dunia pendidikan nasional dan internasional.

2. Manfaat praktis a. Untuk guru

Sebagai variasi program pengembangan dalam menyiapkan calon guru agar mampu menyusun silabus secara mandiri setelah menjadi guru di sekolah nanti. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan bagi upaya kemandirian bagi guru. Sebagai bahan masukan dalam pembuatan format silabus dan penggalakan pembuatan silabus secara mandiri oleh guru.


(33)

b. untuk masyarakat

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan masyarakat untuk menilai atau memberi masukan bagi implementasi kurikulum di sekolah yang berada di lingkungannya.

c. Untuk pemerintah daerah

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menyelenggarakan dan menentukan sebuah sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan standar nasional atau internasional.

d. Untuk pemerintah pusat

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan kelayakan sebuah sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional.

E.Metode dan Lokasi Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian Pengembangan program kemandirian guru dalam penyusunan silabus (studi pada pelajaran matematika SMA di Kota Pontianak), ini memerlukan pendalaman serta kajian yang mendalam dan terfokus, maka paradigma yang digunakan adalah naturalistik dengan pendekatan kualitatif dan multi metode (Dahlan, 2002: 8).

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut: a. Orientasi, yaitu peneliti mengadakan persiapan-persiapan.


(34)

b. Eksploitasi, yaitu peneliti sudah mendapatkan gambaran tentang permasalahan yang ada di sekolah, data ini diperoleh melalui dokumentasi dan wawancara.

c. Member check, yaitu peneliti mengadakan pengamatan hasil wawancara

untuk dianalisis dan diluangkan dalam bentuk laporan, diperbanyak dan dibaca dan dinilai kesesuaiannya.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Pontianak yang berlokasi di jalan R.E. Martadinata, Desa Sungai Jawi Luar, Kecamatan Pontianak Barat. SMA Negeri 2 sejak tahun 2007 merupakan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), yaitu sebuah sekolah di Kalimantan Barat yang dipersiapkan untuk menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).


(35)

129 BAB III

METODE PENELITIAN A. Metode dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan naturalistik. Sifat deskriptif mengacu kepada: (1) data yang dikumpulkan berupa kata-kata atau dokumen; dan (2) laporan hasil penelitian berisi kutipan-kutipan dari data sebagai ilustrasi dalam memberikan dukungan terhadap apa yang disajikan. Untuk pendekatan naturalistik dipilih dengan alasan sebagai berikut. Pertama, masalah yang peneliti kaji menyangkut hal-hal yang sedang berlangsung di sekolah, dengan harapan data dapat dikumpulkan sebanyak mungkin, dengan tetap memperhatikan kualitas data.

Kedua, sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985: 37) bahwa: (1) realitas yang ada pada dasarnya bersifat ganda, terkonstruksi dan holistik; (2) antara orang mengetahui dan orang yang diketahui bersifat interaktif dan tak terpisahkan; (3) hanya waktu dan konteks yang memungkinkan berkaitan dengan hipotesis kerja; (4) semua entitas yang ada dalam kondisi saling simultan sehingga hampir tidak mungkin membedakan antara sebab dengan akibat; dan (5) peneliti pada dasarnya tidak bebas nilai.

Ketiga, gejala-gejala yang diperoleh dari lapangan lebih banyak menyangkut perbuatan dan kata-kata dari responden yang sedapat mungkin tidak diperngaruhi dari luar, sehingga bersifat alami, apa adanya.


(36)

Keempat, pendekatan kualitatif lebih bersifat natural, induktif dan menemukan makna dari suatu fenomena sebagaimana diungkapkan Bogdan dan Biklen (1992, 1992:29-31; Moleong, 1996:4-8; Muhajir, 1990:28; Nasution, 1988:12).

Kelima, jika berhadapan dengan kenyataan ganda, pendekatan kualitatif lebih uda disesuaikan, dapat menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan subyek penelitian, lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1996:4).

Pendekatan naturalistik berbeda dengan positivistik, penggunaan data dan perhitungan statistik tidak digunakan dalam penelitian naturalistik, karena yang diperlihatkan di sini adalah kedalaman pengkajian sebuah fenomena, bukan pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersifat artifisial.

Sebelum penelitian dilangsungkan terlebih dahulu peneliti menyiapkan desain sementara sebagai pemandu awal penelitian sambil menetapkan fokus yang diinginkan. Penyiapan desain disebut sementara, karena tidak tertutup kemungkinan untuk diadakan perbaikan, perubahan, dan penyesuaian, dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Hal tersebut dibenarkan Moleong (1996: 5) yang menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif lebih mudah disesuaikan, dapat menyajikan hakikat hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian secara langsung. Selain itu, metode tersebut lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.


(37)

Dalam menyusun desain penelitian ini, peneliti melakukan langkah-langkah berdasarkan pandangan Bogdan dan Biklen dalam Nasution (1992:31) dan pendekatan studi kasus Yin (1983:26) yaitu: (1) menentukan fokus penelitian, yaitu kemandirian guru matematika dalam penyusunan silabus, (2) menentukan paradigma penelitian kualitatif-naturalistik, (3) mencari teori-teori yang akan membimbing dan mengarahkan penelitian seperti teori-teori kurikulum, kemandirian, kemandirian guru, dan teori-teori pendidikan yang relevan serta teori pendidikan umum, (4) menentukan sumber data dan lokasi para responden, (5) menentukan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara, rencana wawancara dan dokumen-dokumen, (6) menyiapkan rencana pengumpulan data dan pencatatannya, rencana analisis data, rencana logistik, rencana mencapai tingkat kepercayaan akan kebenaran penelitian, dan rencana penulisan serta penyelesaian penelitian.

B. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan alur berpikir penelitian, yakni langkah-langkah berpikir yang dilakukan peneliti mengkaji masalah yang telah ditentukan pada bagian yang lalu. Berangkat dari masalah peneliti memasuki subjek penelitian dengan menerapkan kualitatif berbekal rambu-rambu pengumpul data yang akan dikembangkan lebih lanjut di lapangan. Selanjutnya peneliti terlibat dengan subjek penelitian, mencatat peristiwa-peristiwa yang dilihat dan melakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang menjadi subjek penelitian.


(38)

Catatan yang terkumpul dipilih dan dipilah, kemudian ditetapkan sebagai data penelitian. Selanjutnya data yang telah terkumpul diolah dengan pemisahan dan penggabungan berdasarkan kesamaan dan perbedaan karakter data yang terkumpul (kategorisasi) kemudian dianalisis dan ditafsirkan dengan menerapkan teori-teori yang telah ditetapkan pada bab II sebagai pisau analisis.

Alur metode penelitian secara singkat dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Proses Penelitian MASALAH PENELITIAN

SUBYEK PENELITIAN (GURU, WAKAKUR, KEPSEK,

PENGAWAS)

DATA ALAT PENGUMPUL

DATA (PENELITIAN

DENGAN WAWANCARA,

OBSERVASI PARTISIPASI) PENDEKATAN PENELITIAN (KUALITATIF)

TEKNIK PENGOLAHAN


(39)

C. Lokasi dan subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 2 Pontianak yang berlokasi di jalan R.E. Martadinata, Desa Sungai Jawi Luar, Kecamatan Pontianak Barat. SMA Negeri 2 Pontianak merupakan sekolah dengan kategori RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).

Pada awalnya penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Negeri di Kota Pontianak, yaitu sebanyak 9 (sembilan) sekolah. Setelah peneliti mencermati isu-isu yang berkembang di masyarakat, khususnya isu yang berkaitan dengan otonomi dan desentralisasi pendidikan, otonomi sekolah dan kemandirian guru. Ternyata isu kemandirian dimunculkan pada semua jenis sekolah, yaitu Sekolah Standar Nasional (SSN)/Sekolah Kategori Mandiri (SKM), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Dari isu tersebut, peneliti berupaya menggali informasi lapangan tentang kemandirian sekolah dan guru, khususnya kemandirian guru dalam menyusun silabus. Dari berbagai informasi yang peneliti dapatkan, di Kalimantan Barat belum ada sekolah dengan kategori SBI, tapi sejak tahun 2007 terdapat satu sekolah yang sudah termasuk kategori RSBI, yaitu SMA Negeri 2 Pontianak. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat 3, yang menyatakan bahwa minimal dalam satu provinsi terdapat satu sekolah yang bertaraf internasional. Untuk mencapai SBI sekolah tersebut disiapkan terlebih dahulu dan dikategorikan sebagai RSBI.


(40)

Dalam penentuan sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI, SMA Negeri 2 Pontianak harus bersaing dengan beberapa sekolah yang sudah memenuhi kriteria sebagai RSBI. Hal itu menunjukkan bahwa SMA Negeri 2 Pontianak memiliki keunggulan dalam kemandirian dibandingkan sekolah-sekolah lain di Kalimantan Barat. Hal tersebut ditunjang dengan berbagai informasi di media massa bahwa RSBI mendapat berbagai reaksi di masyarakat.

Berdasarkan masukan-masukan tersebut akhirnya peneliti memutuskan penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 2 Pontianak. Untuk memastikan kondisi lapangan peneliti langsung menghadap kepala SMA Negeri 2 Pontianak dengan berbekal surat ijin penelitian dari SPs UPI Bandung, dan mendapat restu dari pihak sekolah.

Dengan demikian secara tegas alasan SMA Negeri 2 Pontianak dipilih adalah sebagai berikut:

a) SMA Negeri 2 Pontianak adalah sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sejak tahun 2007, berarti sekolah tersebut termasuk Sekolah Kategori Mandiri;

b) Untuk mendapat prediket sebagai RSBI, SMA Negeri 2 Pontianak telah melalui seleksi dengan beberapa sekolah terbaik di Kalimantan Barat lainnya, berarti untuk meraih prediket tersebut, pihak SMA Negeri 2 Pontianak telah menunjukkan kesiapan dengan baik, termasuk kesiapan kemandirian guru dalam menyusun silabus;


(41)

c) Sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), berarti SMA Negeri 2 Pontianak telah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan baik;

d) Sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), berarti SMA Negeri 2 Pontianak memadukan KTSP dengan kurikulum Cambridge, dan silabus yang digunakan merupakan perpaduan kedua kurikulum;

e) Guru-guru yang mengajar, khususnya guru matematika adalah guru yang sudah berkelayakan dalam hal kemandirian, dalam artian guru matematikanya sudah dilatih khusus untuk mengembangkan kurikulum dan silabus secara mandiri.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut peneliti berkeyakinan bahwa di SMA Negeri 2 Pontianak peneliti dapat menggali informasi tentang kemandirian guru matematika dalam menyusun dan mengembangkan silabus dan kajian tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

2. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah guru matematika di kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), wakil kepala sekolah urusan kurikulum, kepala sekolah dan pengawas pembina. Pemilihan ini sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, dalam hal ini adalah kemandirian guru dalam menyusun silabus dan penerapannya di kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1988; 11) bahwa, “Metode penelitian naturalistik biasanya sampelnya sedikit dan dipilih menurut tujuan (purpose) penelitian, berupa studi kasus atau multikasus”.


(42)

a) Kepala sekolah sebagai pembina guru, termasuk membina kemandirian guru dalam penyusunan dan penerapan kurikulum terutama dalam penyusunan silabus; b) Wakil kepala sekolah urusan kurikulum dalam membimbing dan mengarahkan guru-guru dalam mempersiapkan dan mengimplementasikan kemandirian guru; c) Pengawas pembina adalah pengawas yang ikut mengawasi dan membina guru

dan sekolah dalam melaksanakan rambu-rambu RSBI menuju SBI; d) Guru-guru matematika yang menyusun silabus.

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah dokumentasi dan hasil wawancara, selebihnya adalah data tambahan. Sebagaimana diungkapkan Moleong (1993; 112) data tambahan penelitian dapat diperoleh dari sumber-sumber pada dokumen tertulis, dokumen foto dan data statistik.

D. Kehadiran Peneliti di Lapangan

Salah satu persyaratan pokok dalam penelitian kualitatif adalah keberadaan peneliti di lapangan. Konsekuensi dari peneliti sebagai instrumen utama atau kunci, maka diharuskan terlibat aktif dalam mengamati kegiatan secara langsung seluruh fenomena dan peristiwa selama kegiatan berlangsung. Dalam melakukan wawancara terdapat beberapa hal yang harus peneliti perhatikan, yaitu penampilan diri peneliti agar tidak menyolok (misalnya pakaian), sehingga dapat mempengaruhi responden dalam memberikan informasi, tidak terlalu akrab tetapi tidak terlalu menjaga jarak, cukup serius dan meyakinkan untuk dipercaya.


(43)

E. Tahap-tahap Penelitian 1. Tahap pralapangan

Pada tahap ini penelitian melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Mencari dan menemukan lokasi yang sesuai dengan permasalahan, dalam hal ini adalah SMAN 2 Pontianak yang merupakan sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI);

b. Mengadakan studi awal untuk menyusun desain penelitian; c. Mengusahakan izin penelitian.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Pada awal penelitian ini peneliti berupaya untuk memfokuskan penelitian pada semua SMA negeri di Kota Pontianak, tetapi setelah mendapatkan informasi lapangan, peneliti mendapatkan informasi bahwa SMA Negeri 2 Pontianak sejak tahun 2007 merupakan satu-satunya RSBI di provinsi Kalimantan Barat. Karena RSBI yang dipersiapkan untuk menjadi SBI, berarti kurikulum yang diterapkan merupakan perpaduan kurikulum nasional dan internasional, berarti kurikulum tersebut benar-benar disusun oleh guru-guru di sekolah tersebut.

Dengan alasan tersebut, maka peneliti memfokuskan penelitian di SMA Negeri 2 Pontianak karena pemberlakuan kurikulum yang disusun sendiri oleh sekolah berdampak pada penyusunan silabus secara mandiri oleh para guru.

Selanjutnya pada tahap pekerjaan lapangan, peneliti menggali data dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(44)

b. Mencari data yang berkaitan dengan program kemandirian guru dalam menyusun silabus;

c. Mendokumentasikan data yang telah diperoleh dalam buku catatan dalam bentuk: 1) catatan lapangan, yaitu catatan yang dibuat saat peneliti berada di lapangan; 2) catatan laporan lapangan, yaitu catatan lengkap hasil wawancara dan dokumentasi. Laporan ini dibuat segera setelah pulang dari lapangan dan selanjutnya ditransfer ke dalam laptop kerja sebagai data penelitian, dan 3) buku bahan lapangan, yaitu catatan tentang pengalaman, perasaan, kesalahan, kesulitan, pertimbangan, rencana, dan keputusan yang telah dialami peneliti.

Setelah ditemukan fokus yang jelas, peneliti melakukan wawancara secara mendalam sehingga data-data yang diperoleh sudah spesifik dan mendalam. Yang diamati dan diteliti adalah fenomena yang terjadi dari suatu peristiwa secara nyata (realita).

F. Strategi Pengumpul Data

Sebagaimana umumnya dalam penelitian kualitatif-naturalistik maka dalam penelitian ini yang menjadi alat pengumpul data yang utama adalah peneliti sendiri melalui wawancara langsung dengan subjek penelitian.

Sebelum turun ke lapangan peneliti menyiapkan catatan-catatan rencana wawancara yang terdiri dari strategi pengamatan yang memungkinkan pencatatan data bisa dilakukan secara efektif dan efisien.

Kemudian peneliti menentukan strategi keterlibatan dalam suasana yang terjadi di lapangan dengan cara memperkenalkan diri dengan subjek yang diteliti agar dapat


(45)

diterima kehadirannya di tengah-tengah dan diakui sebagai bagian dari mereka dengan demikian peneliti dapat melakukan wawancara leluasa.

Alat pengumpul data yang disiapkan peneliti terdiri dari pedoman wawancara yang memuat berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang perlu dikumpulkan. Untuk melakukan wawancara secara tepat, baik yang berkaitan dengan peristiwa, waktu, serta situasi yang mengharuskan peneliti hadir di lapangan tanpa mengganggu proses pembelajaran yang sedang dilakukan guru, hingga dapat memperoleh gambaran yang sesungguhnya serta dapat menghayati atmosfer yang terjadi di sekolah.

G. Teknik Analisis Data

Setiap data yang dikumpulkan dari data lapangan ditulis dalam bentuk tabel. Mengingat laporan harian itu begitu banyak dan beragam, maka data yang dikumpulkan dibuat reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi data adalah rangkuman data secara inti. Kemudian dipilih, dan difokuskan pada hal-hal yang penting dan berkaitan dengan kemandirian guru dalam menyusun silabus yang menjadi fokus penelitian ini. Selanjutnya data dipilih dan dikategorisasikan sambil diberikan kode (coding).

Proses kategorisasi dilakukan dengan melakukan pemisahan dan penyatuan dari data yang terkumpul berdasarkan karakter persamaan dan perbedaan karakternya. komunikasi dikategorisasi, berdasarkan pelaku komunikasi yaitu Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan karyawan, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan karyawan. Terdapat pula kategorisasi jenis bahasa


(46)

yang digunakan, yaitu bahasa yang santun dan tidak santun. Setelah data dikategorisasikan berdasarkan, kemudian mulai diadakan penafsiran.

Dalam menafsirkan data, peneliti melakukan langkah-langkah seperti disarankan Hammersley dan Atkinson (Nasution, 1992:139) yaitu:

1. Membaca dan memahami data secara mendalam dituntut oleh teori yang dijadikan acuan penelitian hingga peneliti menemukan kemandirian guru di sekolah;

2. Mencari hubungan antara kemandirian guru yang ditemukan dan membandingkannya dengan teori yang telah ditetapkan.

3. Dengan melakukan deskripsi, analisis dan perbandingan peneliti menemukan program pengembangan kemandirian guru dalam menyusun silabus.

Mengingat tujuan akhir penelitian ini adalah merancang program pengembangan kemandirian guru matematika dalam menyusun silabus, maka peneliti memerlukan data-data konkret mengenai program kemandirian guru di SMAN 2 Pontianak. Untuk hal tersebut peneliti menggunakan SWOT. Dengan analisis ini peneliti menggunakan penjelasan Faktor Strategi Ekstensi dengan menggunakan data EFAS dan Faktor Strategi Internal dengan menggunakan data dalam IFAS sebagai formula awal untuk memahami kondisi yang sebenarnya terjadi di sekolah. Selanjutnya dilakukan analisis SWOT, yaitu analisis berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu tindakan strategi (Rangkuti, 2001: 18). Analisis ini didasarkan kepada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan


(47)

meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang dimiliki atau dihadapi sekolah dalam kaitan dengan kemandirian guru. Berdasarkan analis tersebut dapat dilahirkan program pengembangan kemandirian guru matematika dalam menyusun silabus.

H. Validitas dan Objektivitas Data

Untuk memperoleh data yang dapat dipercaya, peneliti melakukan pengecekan data dan informasi ke berbagai pihak sehingga data betul-betul dapat dipercaya kebenarannya sebagai usaha triangulasi (Nasution, 1992: 26). Informasi yang tidak dapat dikonfirmasi dan diverifikasi oleh peneliti. Triangulasi yang peneliti lakukan adalah memverifikasi data pada kepala sekolah, wakil kepala sekolah urusan kurikulum dan pengawas pembimbing sekolah.

Pengumpulan data dilakukan pula dengan menggali dan membaca dokumentasi, rencana-rencana kerja sekolah dan hasil evaluasi diri sekolah. Setelah data terkumpul dan telah diadakan triangulasi, peneliti melakukan pengecekan ulang data atau

member check. Member check adalah mengecek kebenaran data dengan cara

mengembalikan data tersebut kepada sumber data untuk kemudian diperiksa kebenarannya. Member check merupakan uji kritis terhadap data sementara yang telah diperoleh di lapangan.

Tahap akhir dalam pengumpulan data adalah memeriksa kesesuaian data antara temuan penelitian dengan data yang terhimpun melalui pelacakan terhadap catatan-catatan lapangan, teknik pengumpulan data dan analisis data (audit trail). Audit trail


(48)

dalam penelitian ini terbuka bagi siapa saja, seperti promotor, sekolah, kelompok belajar, peneliti dan lain-lain.

I. Definisi Konsepsional

Untuk memudahkan pemahaman dan interpretasi pembaca, peneliti menetapkan beberapa definisi konsepsional sebagai berikut:

1. Program adalah rancangan mengenai asas serta usaha yang akan dijalankan. Dalam penelitian ini program merupakan rancangan yang dapat dijalankan guru yang dirancang oleh pihak sekolah atau pihak yang terkait.

2. Pengembangan berasal dari kata kembang yang berarti menjadi bertambah sempurna, sedangkan pengembangan adalah proses atau cara mengembangkan atau menjadikan sesuatu menjadi bertambah sempurna (http://www.sms-anda.com/indonesia/kamus/indonesia-gratis-lengkap.php). Dengan demikian arti pengembangan di sini adalah suatu upaya untuk mengubah atau menambah sesuatu ke arah yang lebih sempurna.

3. Silabus matematika adalah rencana pembelajaran pada pelajaran matematika yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus matematika merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan panduan penyusunan KTSP, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah


(49)

sekolah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan.

4. Kemandirian guru. Little (1995) mendefinisikan kemandirian guru sebagai “the

teachers capacity to engage in self-directed teaching”. Aoki’s (2000)

mendefinisikan kemandirian guru “suggesting that this involves the capacity,

freedom, and/or responsibility to make choices concerning one’s own teaching”.

Selanjutnya Richard Smith (2000), mendefinisikannya sebagai “the ability to develop appropriate skills, knowledge and attitudes for oneself as a teacher, in

cooperation with others.” Benson (2000) memberikan pemikiran bahwa

kemandirian guru dapat dilihat sebagai “a right to freedom from control (or an

ability to exercise this right) as well as actual freedom from control”.

Secara keseluruhan definisi-definisi di atas berfokus pada kemampuan guru, failing to point out the dynamic relationship between the teacher and learners. The ability of these learners may influence the teacher’s capacity of managing their

knowledge, skills and even attitudes, and vice versa.

Kesimpulannya kemandirian guru dalam penelitian ini adalah kebebasan guru matematika dalam menyusun silabus yang diturunkan dari Standar Isi dan Standar Kelulusan, dan kombinasi dari KTSP dan kurikulum Cambridge.

Saat ini di SMA Negeri 2 Pontianak, guru matematika sebanyak 6 (enam) orang, merupakan kondisi yang sangat memungkinkan untuk membentuk satu tim, apabila secara perorangan guru belum bisa menyusun silabus secara mandiri.


(50)

239 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

1. Umum

Berdasarkan data yang dikumpulkan, dianalisis dan dibahas menunjukkan bahwa sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dalam enam tahun diharapkan dapat berubah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), terdapat berbagai kelemahan di SMA Negeri 2 Pontianak, yaitu peningkatan kualifikasi guru belum menunjukkan kemajuan, guru yang menguasai bahasa Inggris dan ICT tidak bertambah secara signifikan, siswa yang mengikuti kelas Internasional tidak representatif, proses pembelajaran masih belum menggunakan bahasa internasional, fasilitas yang tersedia masih belum mendukung dan lain-lain. Dapat disimpulkan untuk mengejar waktu dua tahun ke depan agar SMA Negeri 2 Pontianak menjadi SBI adalah pekerjaan yang berat.

Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN 2) Pontianak sebagai sekolah yang telah ditetapkan menjadi RSBI telah mempersiapkan guru dengan program

inservice training dan onservice training. Program kerja inservice training

meliputi kegiatan: (1) MGMP guru sejenis di sekolah; (2) Mengikutkan guru dalam kegiatan MGMP di lingkungan sekolah-sekolah di kota Pontianak; (3) Melaksanakan inhouse training (IHT) untuk pembuatan perangkat pembelajaran; (4) Menyertakan guru mengikuti kursus bahasa Inggris; (5) Melaksanakan pelatihan Informasi dan Teknologi (IT) dengan materi: microsoft word, microsoft


(51)

excel, microsoft powerpoint, e-learning, internet; dan (6) Pemberian reward untuk guru berprestasi. Program kerja Onservice training dengan rincian kerja: (1) Supervisi akademik; (2) Supervisi klinis; (3) Melaksanakan raker penyusunan program; dan (4) Mengupayakan peningkatan kesejahteraan guru.

Program in-service training dan on-service training tidak semua terlaksana sebagaimana mestinya. Kegiatan kursus bahasa Inggris tidak berjalan dengan lancar demikian pula dengan pelatihan informasi dan teknologi, hal ini karena padatnya jadwal guru mengajar dan banyak tugas-tugas lain yang harus diselesaikan.

Pengembangan program yang dapat dilakukan untuk kemandirian guru dalam menyusun silabus matematika adalah: (1) pembinaan komitmen; (2) Pemberian pendidikan / pelatihan / seminar / studi banding / diskusi / lomba penyusunan silabus, yang meliputi: program inservice training, program

onservice training dan program workshop; dan (3) Kepedulian pimpinan

(perhatian) atau pemberian reward oleh pimpinan.

Tingkat kemandiria guru dalam penyusunan silabus di SMA Negeri 2 Pontianak tergolong rendah karena dalam langkah-langkah menyusun silabus cukup banyak langkah yang menunjukkan guru tidak melakukannya sesuai dengan keinginan sendiri tetapi mengikuti silabus yang sudah ada.

Faktor-faktor determinan pelaksanaan program kemandirian guru adalah program RSBI merupakan program nasional, dimana peran serta dan partisipasi guru sangat diharapkan. Dalam hal ini pihak sekolah sudah bekerja dengan semangat yang tinggi untuk memenuhi kriteria dan ketentuan yang harus diikuti.


(52)

Faktor-faktor penghambat pelaksanaan program kemandirian guru dalam menyusun silabus adalah kemampuan guru dalam memahami dan menggunakan bahasa Inggris masih lemah, demikian pula dengan kemampuan dalam bidang ICT. Ditambah dengan padatnya jadwal mengajar dan banyaknya tugas-tugas lain menyebabkan guru mengambil jalan paling mudah yaitu menggunakan silabus yang sudah ada tanpa menyesuaikan dengan kondisi siswa, sekolah dan daerah.

2. Khusus

a. Matematika adalah ilmu tentang kemandirian, berarti guru matematika harus mandiri terlebih dahulu.

b. Kemandirian guru matematika merupakan awal dari peningkatan mutu pendidikan matematika.

c. Silabus bukan kurikulum, tetapi silabus merupakan kurikulum.

B. Saran

1. Pimpinan Sekolah hendaknya merancang program-program yang mendorong dan mendukung kemandirian guru dalam menyusun silabus yang sesuai dengan visi sekolah.

2. Pemberian pelatihan khusus kepada guru tentang pendekatan-pendekatan dalam pendidikan nilai, terutama nilai kemandirian yang dikaitkan dengan empat kompetensi utama guru (pedagogik, kepribadian, professional dan sosial).


(53)

3. Pemerintah daerah agar memberikan wewenang dan kemandirian pada sekolah dengan tidak memberikan tekanan secara birokratis kepada sekolah untuk memperoleh hasil.

4. Pemerintah pusat agar memberikan ketegasan kepada pemerintah daerah untuk tidak mencampuri masalah pendidikan dan menyerahkan penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah dengan memberikan bantuan berupa fasilitasi.

5. Dinas pendidikan dan kementerian pendidikan agar membantu dan mengarahkan penyelenggaraan pendidikan yang betul-betul menghargai otonomi dan kemandirian sekolah.


(1)

243

DAFTAR PUSTAKA

Akadum. (1999). Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/01/220199/ OpEd, diakses 7 Juni 2008). Hlm. 1-2.

Allport, G.W. (1963). Pattern and Growthnin Personality. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Aoki, N. (2000). Aspects of Teacher Autonomy: Capacity, Freedom and

Responsibility. Paper. Presented at 2000 Hong Kong University of Science

and Technology Language Centre Conference.

Aqib, Zainal. (2010). Menjadi Guru Profesional Berstandar Nasional. Bandung: Margarahayu Permai.

Arifin, I. (2000). Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan

dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas

Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli 2001.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2009). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Awandi Nofyan Sugiarta. (2007). Pengembangan Model Pengelolaan Program

Pembelajaran Kolaboratif Untuk Kemandirian Anak Jalanan Di Rumah

Singgah. Disertasi. Bandung: SPS UPI.

Aunurahman. (2007). Memperkokoh Substansi Pendidikan Nilai di Perguruan

Tinggi. Jurnal Edukasi. Vol. 4 No. 1 Oktober 2007. Pontianak: UP3M

STKIP PGRI Pontianak.

Benson, P. (2000). Autonomy as a learners’ and teachers’ right. In B. Sinclair, I. McGrath and T. Lamb (eds.) Learner autonomy, teacher autonomy: Future

directions. London: Longman. 111-117.

Bogdan, Robert C. & sari Knop Biklen, (1982). Qualitative Research for

Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon,

Inc.

Budiningsih, C. A. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.

Creswell, John W. (2005). Educational Research: Planning, Conducting, and

Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson

Education Inc.

David N. Aspin, Judith D. Chapman. (2007). Values Education and Lifelong


(2)

Degeng, N.S. (1999). Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi

dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.

Djahiri, A. K. (1995/1996). Dasar-Dasar Umum Metodelogi dan Pengajaran

Nilai-Moral PVCT. Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP Bandung.

Djahiri, A. K. (1996). Teknik Pengembangan Program Pengajaran Pendidikan

Nilai-Moral. Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP Bandung.

Djahiri, A. K. (2007). Pembaharuan Paradigma PKN – PIPS - PAI. Bandung: SPs UPI Bandung.

Djahiri, Kosasih. (1985). Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral dan Pendidikan

Nilai Moral. Bandung: Laboratorium Pengajaran PMP-KN IKIP Bandung.

Djahiri, A. K. (2009/2010). Kurikulum – PBM Khusus IPS dan Politik Kenegaraan Program Pkn. Seri Kumpulan Perkuliahan Pemantapan dan

Pembekalan Guru IPS – PKn.. Bandung: Lab Pengajaran PMP IKIP

Bandung.

Elias, J. L. (1989). Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

Emilia, Emi. (2008). Menulis Tesis dan Disertasi. Bandung: alfabeta.

Galbreath, J. (1999). Preparing the 21st Century Worker: The Link Between

Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology

Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.

Hamalik, O. (2008). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hamalik, O. (2008). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Herry, Asep Hernawan dan Rudi Susilana. (2008). Konsep Dasar Kurikulum. www.upi.ac.id.

Hitchock, Graham and David Hughes, (1992). Research and The Teacher: A

Qualitative Introduction to School based Research, London: Routledge,

Chapman and Hall, Inc.

Journal PAT. (2001). Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html, diakses 7 Juni 2008.

Kartadinata, Sunaryo. (1988). Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa serta kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi

Rujukan. Disertasi. Bandung: FPS IKIP Bandung.

Kay A. Norlander-Case, Timothy G. Reagen, & Charles W. Case. (2009). Guru


(3)

Lepine, Sherry Ann. (2007). The Ruler and The Ruled: Complicating a Theory of

Teaching Autonomy. The Dissertation. Faculty of the Graduate School of

The University of Texas at Austin.

Lickona, Thomas. (1994). Educating For Character. New York: Bantam Books. Lincoln, Yvonna S., & Egon, G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills:

Sage Publication.

Little, D. (1995). Learning as dialogue: The dependence of learner autonomy on

teacher autonomy. System 23/2. 175-182.

Lovat. Terence. (2006). Value Education the Missing Link in Quality Teaching. Canberra:University of Newcastle.

Lovat. Terence. tt. Values Education all About. University of Newcastle.

Lovell, Philipa. (2006). Assessing Value Education – is it Possible?. Independet Education. Vol. 36 No 3 November 2006.

Lubis, Mawardi., Zubaedi. (2008). Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maister, DH. (1997). True Professionalism. New York: The Free Press.

Maufur. (2005). Efektivitas Pola Pendidikan Kemandirian bagi Masyarakat

Golongan Ekonomi Lemah. Disertasi. Bandung: PPS UPI Bandung.

Makagiansar, M. (1996). Shift in Global paradigma and The Teacher of

Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8

Desember, 1996, Republic of Singapore.

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhaimin, Sutiah, Sugeng Listyo Prabowo. (2009). Pengembangan Model KTSP

Pada Sekolah & Madrasah, Jakarta: Rajawali Press.

Muhajir, Noeng. (1990). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Karasin.

Mulyana, Rohmat. (2001). Profil Kepribadian guru Dalam Dimensi Psikologis,

Sosial, dan Spiritual. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Bandung: UPI.

Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Mulyasa, E. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. (2009). Implementasi KTSP, Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.


(4)

Naisbitt, J. (1995). Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah

Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta:

Gramedia.

Nasution. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Ngainun Naim. (2009). Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. NRC. (1996). Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm.

59-70.

Paltridge, Brian. Sue Starfield. (2007). Thesis and Disseration Writing in a second

Language. New York: Rouledge.

Rest, J.R. (1992). Komponen-komponen utama moralitas. Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, perilaku moral, dan perkembangan moral: 37-60. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Rosyada, D. (2007). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana.

Rudolph, Lawrence. (2006). Decomposing Teacher Autonomy: A Study Investigating Types Of Teacher Autonomy and How It Relates to Job

Satisfaction. (January 1, 2006). University of Pennsylvania.

http://repository.upenn.edu/dissertations.

Sanjaya, Wina. (2008). Pembelajaran Dalam Implementasi KBK. Jakarta: Kencana.

Sanusi, Ahmad. (1998). Pendidikan Alternatif. PPS IKIP Bandung: PT Grafindo Media Pratama.

Sauri, Sofyan. (2006). Membangun Komunikasi dalam Keluarga (kajian Nilai Religi, Sosial dan Edukatif). Bandung: P.T. Genesindo.

Sauri, Sofyan. (2006). Pengembangan Kepribadian – PAI untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Media Hidayah Publisher.

Sauri, Sofyan. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: P.T. Genesindo. Sauri, Sofyan. dan Herlan Firmansyah. (2010). Meretas Pendidikan Nilai.

Bandung: CV Arfino Raya.

Sauri, Sofyan. (2008). Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Nilai. Bandung: CV Yasindo Multi Aspek.

Savage, W. (2000) A Dimension Of Teacher (and Learner) Autonomy. Paper presented at 2000 Hong Kong University of Science and Technology Language Centre Conference.

Semiawan, C.R. (1991). Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional


(5)

Smith, Richard C. (2008). Teacher Education For Teacher-Learner Autonomy. Centre for English Language Teacher Education (CELTE) University of Warwick, UK.

Soetjipto, Raflis Kosasi. (2007). Profesi Keguruan. Jakarta : Rineka Cipta.

Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. (1998). Professional Development Strategies:

Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The

Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).

Sudarwan, Danim. (2010). Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2006). Metode Penelitian Pendidikan Bandung: Remaja Rosda Karya.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. (1976).

Values education sourcebook. Colorado: Social Science Education

Consortium, Inc.

Supinah. (2008). Penyusunan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) Matematika SD dalam Rangka Pengembangan KTSP. Yogyakarta:

Ditjen PMPTK Depdiknas.

Supriadi, D. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud. Surya, H.M. (1998). Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan

Abad ke-21.; Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.

Suryadi, Ace. (2009). Mewujudkan Masyarakat Pembelajar. Bandung: Widya Aksara Press.

Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. (2003). Pendidikan Nasional Menuju

Masyarakat Indonesia Baru. Bandung: PT Genesindo.

Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. (2009). Paradigma Pembangunan

Pendidikan Nasional. Bandung: Widya Aksara Press.

Susanto. (2008). Penyusunan Silabus dan RPP Berbasis Visi KTSP. Surabaya: Mata Pena.

Tort-Moloney, D. (1997). Teacher Autonomy: A Vygotskian Theoretical

Framework. CLCS Occasional Paper No. 48. Dublin: Trinity College,

CLCS.

Trilling, B. dan Hood, P. (1999). Learning, Technology, and Education Reform in The Knowledge Age or We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What?

Educational Technology May-June 1999. Hlm. 5-18.

Tim Pustaka Yustisia. (2008). Panduan Penyusunan KTSP Lengkap (Kurikulum


(6)

UPI. (2008). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI. UPI. (2010). Re-Desain PPG. Bandung: UPI Press.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung: UPI.

Wang, Su-Yun. (2000). A Study of Teachers’ Autonomy in Curriculum

Decision-Making. Journal of Education and Psychology. Vol. 23 No. 2 , Pages 235 -

253 , 2000.

Winecoff, Herbert Larry. (1988). Values Education: Concepts and Models. Bandung: FPS IKIP Bandung.

Yamin, M. (2009). Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Yan, Hui. (2010). A Brief Analysis of Teacher Autonomy in Second Language

Acquisition. Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 2, pp.

175-176, March 2010. Academy Publisher Manufactured in Finland. Peraturan Pemerintah Nomor19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.

Peraturan Menteri Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Peraturan Menteri Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan

Standar Kompetensi Lulusan.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.