T2 752011042 BAB III
Gerald J. Tampi 752011042 | 30
BAB III
Konsep Nasionalime Sukarno dan Hatta
A. Sukarno
A.1. Pembentukan Pemikiran Sukarno
A.1.1. Masa Kecil Sukarno
Putra Sang Fajar, merupakan salah satu julukan yang dimiliki oleh Sukarno. Hal ini
sangat beralasan sekali, karena Sukarno lahir pada pukul setengah enam pagi,1 tanggal 6
Juni 1901, di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Semula Sukarno lahir dengan nama Kusno Sosrodihardjo, namun karena sering sakit-sakitan, ayahnya yaitu Raden Soekemi
Sosrodihardjo mengganti nama Kusno menjadi nama Karna.2karena kegemaran Raden
Sukemi terhadap wayang menyebabkan dia mengganti nama Kusno menjadi Karna, sebagaimana penuturan Sukarno:
... Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada mahabarata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabrata. ... kalau begitu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar, aku berteriak kegirangan. Oh, ia nak, jawab bapak setuju. Juga setia pada kawan-kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya.Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya.Karna
adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”3
Dari penyataan diatas, perubahan nama Kusno menjadi Karna, harus dipahami dalam kaitan dengan pemaknaan wayang bagi kehidupan orang Jawa. Pemberian nama Karna oleh
1Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, cetakan kelima, terjemahan Abdul Bar Salim, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), 23.
2Taufik & Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, (Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2008), 13. 3Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 35-36.
(2)
Gerald J. Tampi 752011042 | 31 Raden Sukemi, haruslah dimengerti sebagai suatu refleksi penghargaan dan kepercayaannya yang mendalam sebagai orang Jawa terhadap tokoh pewayangan. Terdapat sebuah pengharapan dari Sukemi, bahwa pemberian nama Karna kepada Kusno akan membawa serta kharisma dan kesatriaan Karna di dalam diri Sukarno.
Terdapat beberapa hal menarik, yang terjadi pada saat Sukarno lahir, yaitu tanpa terencana, Soekarno lahir pada angka yang serba enam (tanggal dan bulannya). Di bawah naungan bintang Gemini yang berlambangkan kekembaran, Soekarno menganggap bahwa dirinya memiliki dua sifat yang berlawanan, hal tersebut terlihat dari ucapannya yang mengatakan:
Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksanabaja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaranperasaan.
Aku seorang yang suka mema'afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala.
Akumenjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku
tidak sampai hatimembiarkan burung terkurung di dalam sangkar.4
Latar belakang keluarga Sukarno merupakan perpaduan dua budaya berbeda dan kepercayaan. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, berlatar-belakang kasta Brahma dan tergolong bangsawan di Banjar Bali Agung Singaraja. Kakek Moyang Sukarno merupakan pejuang kemerdekaan yang gugur dalam perang Puputan. Akibat peperangan ini keluarga ibu Soekarno jatuh melarat dan mempunyai rasa benci yang mendalam terhadap penjajah
Belanda.5 Ayah Soekarno, yaitu Raden Sukemi Sasrodiharjo, berlatar-belakang Islam dan
termasuk golongan bangsawan rendah Jawa, hal tersebut menurut Dahm terlihat dari gelar Raden yang di sandang oleh Sukemi.Jabatan pertama dari Raden Sukemi adalah menjabat
4Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 24.
(3)
Gerald J. Tampi 752011042 | 32
sebagai guru.6 Soekarno juga memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Soekarmini,
ia berucap:
… Hanya Karno dan akulah anak-anak yang dilahirkan oleh suami istri Sosrodihardjo.Sebagai puteri tunggal dan putera tunggal, ayah dan ibu kami berdua
saling sayang menyayangi.7
Selain itu, Kusno juga dekat dengan Sarinah yang menjadi pembantu rumah tangga Sukemi. Menurut Sukarno, dari Sarinah ia memperoleh pengetahuan tentang humanisme, “Karno yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi kemudian engkau harus
pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai manusia umumnya”, demikian
diajarkan Sarinah kepada Sukarno.8
Sukarno kecil melewatkan sebagian masa kecilnyadi rumah kakeknya, yaitu Raden Hardjodikrono. Selama menetap di rumah kakeknya di Tulung Agung (Kediri) inilah, Sukarno kecil mulai berkenalan dengan mistisisme Jawa dan kisah-kisah pewayangan. Malam demi malam di Tulung Agung banyak diisi dengan menonton wayang semalam suntuk. Menurut Dahm, sementara Sukarno menikmati kisah demi kisah pewayangan,
bersamaan dengan itu, hasrat akan kemerdekaan mulai bergelora dalam dirinya.9
Dari semua kisah pewayangan yang Sukarno kecil ikuti, kisah Mahabaratalah yang paling membekas dalam dirinya. Mahabarata merupakan kisah tentang perjuangan Pandawa untuk merebut kembali kerajaan Ngastina yang telah direbut Kurawa. Begitu besar pengaruh kisah Mahabarata terhadap diri Sukarno kecil, sehingga ketika ia mulai mengikuti pendididkan formal di sekolah desa di Tulung Agung, ia lebih senang menggambar satu
6Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Terjemahan Hasan Basari, cetakan pertama, (Jakarta: LP3ES, 1987), 29.
7Husni Lain, Mengenang Proklamator RI Soekarno-Hatta, (Jakarta: PT Kreasi Jaya Utama, 1980), 71. 8 S. Syaiful Rahim, Bung Karno Masa Muda (Jakarta: Pustaka Yayasan Antar Kota, 1978), 17. 9 Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan , 29.
(4)
Gerald J. Tampi 752011042 | 33
tubuh yang tegap dan besar dengan bentuk gelung rambut “Sinutupirang” pakai kuku
“Pancanaka”. Menurut Solichin, gambar tersebut adalah gambar Bima yang menjadi
kesukaan dan kesenangannya.10
Menurut Dahm, kemungkinan besar Sukarno sangat mengidolakan tokoh Bima.Hal tersebut, terlihat dari sikap Sukarno yang tidak kenal kompromi terhadap orang-orang luar dan kesediaannya untuk berkompromi dengan orang-orang seperjuangannya. Selain itu, Dahm menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur lain yang merangsang khayalan dari Soekarno kecil, seperti: nasib kaum kurawa yang dibangkitkan kembali, yang pastinya mendapatkan makna simbolis yang penting setelah “kebangkitan kembali orang-orang jawa dengan didirikannya Budi Utomo (1908), lebih-lebih lagi karena kemenangan mereka dalam
pertempuran-pertempuran yang sudah diramalkan kedepannya.11
Selanjutnya, untuk mewujudkan harapan akan masa depan yang baik bagi Sukarno, Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu memperlengkapi Sukarno dengan pendidikan formal yang bermutu. Awalnya Sukarno mengikuti pendidikan di Sekolah Desa Tulung Agung, kemudian pindah ke Sekolah Angka Dua di Sidorajo, selanjutnya ia pindah ke Sekolah
Angka Satu di Mojokerto sampak kelas lima.12 Selain mengikuti pendidikan formal,
Sukarno juga memperoleh pendidikan yang keras dan ketat dari ayahnya. Hasilnya, meskipun tidak bisa dikatakan brilian, pada taun 1914 Sukarno berhasil menyelesaikan
pendidikan di Mojokerto.13
10 Solichin, Bung Karno Putera Fajar, cetakan kedua (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 24. 11Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 32.
12 Badri Yatim, Sukarno, Islam dan Nasionalisme: Rekonstruksi Pemikiran Islam- Nasionalis, Pengantar Fachry Ali, cetakan pertama, (Jakarta: Saran Aksara, 1985), 7; Solichin Salam, Bung Karno, 25; melaporkan hal yang sama, yakni di sekolah Angka Satu Mojokerto Sukarno duduk di kelas enam. Tetapi menurut Legger, tidak ada satu pun sekolah bumi putera di masa itu yang lebih dari kelas lima. (bdk. John Legger, Sukarno Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 37.
(5)
Gerald J. Tampi 752011042 | 34 Raden Sukemi dan Ibu Ida Ayu Nyoman Ray memasukkan Sukarno ke Sekolah
Dasar Berbahasa Belanda (Eurepese Lagere School) di Mojokerto. ketika Sukarno
didaftarkan ke ELS oleh ayahnya, menurut penuturannya kepada Cindy Adams, kekurangannya yang harus ia penuhi hanyalah meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa Belanda. Berkat usaha keras Raden Sukemi untuk memenuhi semua ketentuan di
sekolah tersebut, di tahun 1916 Sukarno berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.14
A.1.2. Sukarno di asah
Setelah tamat dari ELS (Europese Lagere School), Sukarno mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studinya ke HBS (Hogere Burger School) di Surabaya.
Selama masa studinya, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua Serikat Islam (SI). Menurut Bernhard Dahm, Tjokroaminoto menggunakan dana-dana dari SI untuk menampung orang pribumi yang tidak mampu, terdapat sekitar 30 orang yang menumpang di rumahnya termasuk Sukarno
dan hanya membayar uang pemondokan sekadarnya saja.15 Di rumah Tjokroaminoto,
Sukarno mulai berkenalan dengan banyak tokoh. Diantaranya: tokoh intelektual IslamK.H. Agus Salim yang menurut Sukarno memiliki gaya pidato yang menarik, sehingga ia sangat mengaguminya, tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Sneevliet dan Husni Thamrin. Bahkan Soekarno juga bergaul dengan
Alimin, Muso dan Kartosuwiro.16
14Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 40. 15Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan,34.
(6)
Gerald J. Tampi 752011042 | 35 Dengan tinggal di rumah Tjokroaminoto, Sukarno dapat lebih mengenal wajah perpolitikan saat itu. Dalam otobiografinya Sukarno menceritakan, bahwa dia selalu mengikuti diskusi-diskusi dari para pemimpin Indonesia yang diadakan di rumah Tjokroaminoto. Sukarno tidak hanya menjadi pendengar setia, tetapi ia juga seringmengajukan pertanyaan mengenai perkembangan politik Indonesia di masa itu. Dari penjelasan para pemimpin Indonesia tersebut, Sukarno mengetahui bahwa kegagalan
perjuangan bangsa Indonesia disebabkan tidak ada persatuan diantara para pejuang.17
Sukarno muda banyak belajar dari pak Tjokroaminoto, menurutnya pak Tjokroaminoto sering membimbingnya, walaupun Sukarno sendiri mengaku jarang bertemu, namun menurut Sukarno pak Tjokroaminoto memiliki cara tersendiri dalam membimbingnya. Hal tersebut diakui oleh Sukarno, sebagaimana penuturannya dalam otobiografinya:
“...Umar Said Cokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Cokro mengajarku apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Cok adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku-bukunya, diberikannya
kepadaku miliknya yang berharga.18
Dari Tjokroaminoto pun Sukarno belajar, tentang sikap terhadap pemerintahan kolonial. Tjokroaminoto bukanlah nasionalis yang mengagungkan sikap radikal terhadap pemerintah. Sebaliknya, meskipun Tjokroaminoto menyadari perlunya pemerintahan sendiri, ia tetap menunjukkan sikap loyal dan terima kasih kepada pemerintah kolonial, yang telah
17 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 54. 18Ibid., 52.
(7)
Gerald J. Tampi 752011042 | 36 bersedia membentuk dewan-dewan untuk memberikan kepada orang-orang pribumi hal untuk didengar.”19
Pandangan Tjokroaminoto yang positif terhadap pemerintah kolonial, dapat dipastikan, ditanamkan juga kepada Sukarno. Pengaruh pandangan Tjokroaminoto tersebut, jelas dalam satu tulisan awal Sukarno:
...”Terlebih dulu rakyat Indonesia harus belajar.” Untuk itu, rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan kesempatan yang baik sekali: hendaknya dibentuk dewan-dewan yang akan benar-benar mewakili rakyat,
mengingat bahwa dewan-dewan yang sudah ada pada waktu itu – termasuk
Volksraad – tidak mewakili rakyat. Pemerintahan sendiri lalu akan mewujudkan
keadilan politik dan ekonomi bagi rakyat.20
Perlu dikemukakan di sini, bahwa pengaruh pandangan Tjokroaminoto terhadap Sukarno menjadi semakin kuat karena andil tidak langsung dari C. Hartog yang juga
membatasi kritik-kritik Sukarno terhadap pemerintah.21 Hartog mengajar bahasa Jerman di
HBS, ketika Sukarno menjadi murid di sekolah tersebut.22 Hartog merupakan anggota ISDP
(Indische Social Democratiche Partij), organisasi yang lebih moderat dibandingkan dengan
ISDV (Indische Sosial-Democratische Vereeniging). Sikap moderat ISDP tercermin dalam
pernyataan juru bicara partai ini D.M.G. Koch, sebagaimana yang dikutip Dahm:
Oleh sebab itu, maka pandangan Marxis kita pertama-tama menuntut dari kita bukan perjuangan melawan kapitalisme Barat, melainkan kampanye bagi suatu perkembangan yang cepat dan berkelanjutan untuk masyarakat bumiputera... kepentingan mereka menuntut, bersama-sama dengan perundang-undangan sosial
19Bernhard Dahmn, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 39. 20Ibid., 50.
21Ibid., 36.
22 Di samping itu, melalui seminar-seminar tentang Marxisme yang diselenggarakan Hartog, secara formal
Sukarno mulai mengenal teori Marxisme. Demikian diakui Sukarno dalam artikelnya, Sukarno, “Menjadi Pembantu Pemandangan: Sukarno, Oleh... Sukarno Sendiri,”Pemandangan tahun 1941, dalam Dibawah Bendera Revolusi I,
(8)
Gerald J. Tampi 752011042 | 37 yang efektif, perkembangan yang cepat dari kapitalisme bumiputera, yang
merupakan satu-satunya sarana untuk mengakiri dominasi Barat.23
Sebagai anggota ISDP pembinaan-pembinaan yang dilakukan Hartog kepada Sukarno, tentunya tidak terlepas dari sikap moderat ISDP yang diembannya. Hartog
mengajar Sukarno untuk tidak bertindak radikal terhadap pemerintah kolonial.24 Dari
Hartog, Sukarno juga belajar, bahwa kemerdekaan harus dicapai secara bertahap dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial hanya akan menghambat jalan ke arah
kemerdekaan.25
Jika demikian pembinaan yang diterima Sukarno dari Tjokroaminoto dan C. Hartog, mempengaruhi pemikiran awal Sukarno yang belum bercorak radikal. Di samping
itu, masih terbatasnya keterlibatan Sukarno dalam organisasi massa,26 menjadi salah satu
penyebab kuatnya pengaruh pemikiran Tjokroaminoto dan Hartog terhadap Sukarno.
Selain Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam lain yang juga mempunyai andil dalam pembentuka pemikiran Sukarno, yakni Abdul Muis. Pada tahun 1917, menurut pengakuan Sukarno, ia sangat dipengaruhi oleh slogan-slogan komunis. Tetapi kemudian Sukarno berhasil sembuh dari penyakit kosmopolitanisme tersebut dan meyakini pentingnya
semangat kebangsaan, setelah membaca tulisan Sun Yat Sen mengenai Min Chu I.27 Selain
itu, Abdul Muis seorang tokoh Sarekat Islam, pun berperan penting dalam penyembuhan kosmopolitanisme Sukarno. Dalam Kongres Nasional Kedua Sarekat Islam (Oktober 1917), Abdul Muis menyatakan: “Untuk memperbaiki dunia, kita tidak perlu mulai menjadi
23 Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 36. 24 Ibid.
25 Ibid., 37.
26 Selain terlibat dalam Sarekat Islam sebagai pergaulan sehari-hari Sukarno, iapun mulai aktif sebagai anggota Jong Java. Tetapi karena Jong Java lebih berorientasi pada kebudayaan Jawa, dapat dipastikan hampir tidak ada warna radikal yang bisa disumbangkan organisasi tersebut kepada Sukarno.
(9)
Gerald J. Tampi 752011042 | 38 orang internasionalis.” Pernyataan tersebut, memperlihatkan penolakan tegasnya terhadap paham internasional. Selanjutnya Abdul Muis menekankan, bahwa paham kebangsaan sangatlah penting dalam mencapai kemerdekaan; bahkan seharusnya lahir dari orang-orang
yang menamakan dirinya pemimpin rakyat.28 Melihat dekatnya hubungan antara Abdul
Muis dan Tjokroaminoto, juga pengaruhnya yang besar sebagai tokoh Sarekat Islam, sulit untuk tidak memperhitungkan pengaruh pemikirannya dalam diri Sukarno di masa itu.
Tahun 1921 Sukarno bersama Utari, istrinya, berangkat menuju Bandung guna meneruskan pendidikannya ke Sekolah Teknik Tinggi (Techniche Hogeschool). Sukarno menghabiskan waktu selama empat tahun untuk menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi. Keterlambatan tersebut, disebabkan banyaknya waktu yang tersita untuk kegiatan politik, juga kerena ia harus mengambil alih tanggung-jawab Tjokroaminoto
terhadap keluarganya.29
Di Bandung, awalnya Sukarno hanya menjadi peserta pasif dalam berbagai ceramah di malam hari, juga dalam diskusi-diskusi kelompok kecil. Pokok-pokok dalam ceramah-ceramah yang diikutinyapun tidak banyak berbeda dengan apa yang ia terima dari Tjokroaminoto dan Hartogh. Katakanlah, tahun-tahun pertama berada di Bandung, referensi berpikir Sukarno masih mengacu pada pandangan Tjokroaminoto dan C. Hartog.
Warna berpikir Sukarno mulai bercorak radikal, ketika ia berkenalan dan menyerap nasionalisme radikal dari Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantoro. Tjipto tampaknya
28Ibid., 40-41
29 Sukarno baru satu tahun di Bandung, ketika Tjokroaminoto ditangkap dan Sukarno harus mengambil alih tanggung-jawab mengendalikan rumah tangga Tjokroaminoto. Berhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 52.
(10)
Gerald J. Tampi 752011042 | 39 mendapat tempat khusus dalam diri Sukarno, hal tersebut terlihat dari bagaimana Sukarno menyebut Tjipto dengan “saudara Tjipto my chief”.30Cukup beralasan mengapa Sukarno memanggil Tjipto Mangunkusumo dengan istilah tersebut, hal ini dikarenakanTjiptolah memiliki andil yang paling besar dalam membetuk sikap oposisi Sukarno terhadap pemerintahan kolonial. Jika Dekker masih harus mempertimbangkan resiko dari tindakannya yang radikal terhadap pemerintahan kolonial, Tjipto sebaliknya. Iaterkenal sebagai nasionalis yang keras kepala terhadap kolonial, tak mementingkan diri sendiri, berwibawa,
jujur, idealis, dan revolusioner disertai cara-cara yang radikal.31 Sejak kembali dari
pembuangan pada tahun 1914, Tjipto Mangunkusumo tetap aktif dalam kegiatan politik dengan segala resiko yang harus dihadapinya. Sikap Tjipto Mangunkusumo tersebut menimbulkan kekaguman bagi Sukarno sebagaimana jelas dalam tulisnnya, ketika di tahun 1926 Tjipto Mangunkusumo kembali dibuang oleh pemerintah kolonial.
Tjaranja kawan Tjipto mendjalankan pembuangan ini adalah mengadjarkan pada kita, bahwa ichtiar membikin indahnja hari itu ialah bukanja ictiar jang gampang dan ringan, akan tetapi ichtiar jang susah-pajah dan berat; - suatu ichtiar jang tak sudi akan penjerahan diri jang setengah-setengah, suatu ichtiar jang menuntut penjerahanja segenap kita punja diri, segenap kita punja njawa... Tjipto Mangunkusumo telah menundjukkan djalan dalam tjaranja mengabdi pada rakjat dan Bangsa itu... Walaupun ia menderita kesengsaraan-rezeki; walaupun ia merasakan kemelaratan jang terdjadi oleh matinja ia punja perusahaan tabib;.. maka dengan roman muka jang bersenjum ia memikul segenap beban jang ditimbulkan di
atas pundaknja oleh pengabdiannja kepada rakyat dan bangsanja.32
Pemikiran Sukarno mengenai politik memang semakin dipertajam oleh
pengenalannya terhadap pemikiran ketiga tokoh Indische Partij. Harus diakui, ketiga tokoh
tersebutlah yang membekali Sukarno dengan semboyan-semboyan mencapai kemerdekaan yang lebih militan. Ketika Sukarno tampil sebagai pemikir dan politisi nasional, pengaruh
30 B. Hening, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 129.
31 Mohammad Ridwan Lubis, Pemikiran Sukarno Tentang Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), 54. 32Sukarno, “Suluh Indonesia Muda, 1928,” Dibawah Bendera, 42.
(11)
Gerald J. Tampi 752011042 | 40
pemikiran ketiga tokoh Indische Partij, terutama pengaruh Tjipto Mengunkusumo,
tercermin melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya yang militan dan agitatif. Demikian sukarno menulis, “... hendaklah kita insyaf, bahwa hanja perdjoangan dalam pergerakan rakjat itu sahadjalah jang bisa mengundurkan musuh-musuh kita, dan tidak dalam usaha
dewan-dewanan”33
Kekritisan Sukarno dalam menganalisis kenyataan masyarakat yang dihadapinya, merupakan hasil pergulatan intelektualnya yang sungguh-sungguh dengan pemikiran Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantoro. Kekritisan Sukarno sebagai pemikir dan politisi nasional, semakin dimatangkan oleh keaktifannya dalam gerakan kebangsaan Indonesia.
A.1.3 Sukarno Dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Keaktifan Sukarno dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai dengan
terdaftarnya Sukarno sebagai anggota Jong Java.34Jong Javadidirikan pada tahun 1915
dengan nama Tri Koro Darmo dan merupakan organisasi pelajar, anak organisasi dari Budi
33Ibid., 31.
34 Sukarno dalam wawacara bersama Cindy Adams mengatakan bahwa, Tri Koro Darmo yang kemudian berganti nama menjadi Jong Java adalah organisasi politik pertama yang didirikannya pada saat berumur 16 tahun (1917).Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.,56. Keterangan Sukarno bertentangan dengan kajian yang dilakukan oleh Bernhard Dham dan John Legge, yang memaparkan bahwa keterlibatan Sukarno dalam Jong Java hanya sebagai anggota. Keterangan Bernhard Dham dan John Legge tersebut, ditunjang dengan kajian dalam Ensiklopedia umum terbitan kanisius yang memaparkan, bahwa pada tahun 1915 sebagai tahun didirikannya Tri Koro Darmo. Jika tahun terbentuknya organisasi tersebut (7 Maret 1915) disesuaikan dengan awal kedatangan Sukarno di Surabaya pada tahun 1916, terdapat ketidakcocokkan. Dengan demikian, keterangan Sukarno, bahwa dia adalah pendiri Tri Koro Darmo kepada Cindy Adams diragukan kebenarannya. Yang sebenarnya, Tri Koro Darmo didirikan oleh dr. R. Satiman Wirosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi atas petunjuk Budi Utomo. Lihat, A.g. pringgodigdo& Hasan Shadily Ensiklopedia Umum, (Jogjakarta: Kanisius, 1977), 506; Bernhard Dahm, Sukarno, 47; John Legge, Sukarno, 72.
(12)
Gerald J. Tampi 752011042 | 41
Utomo. Pada tahun 1918, dengan alasan Tri Koro Darmo tidak mencerminkan Jawa secara
umum, nama organisasi tersebut diganti menjadi Jong Java.35
Sumber-sumber kontemporer paling dini, memuat laporan tentang Sukarno yaitu:
dalam rapat pleno tahunan yang diadakan oleh Jong Java, cabang Surabaya pada bulan
Februari 1921, Sukarno mendapat giliran untuk berceramah mengenai sistem pendidikan. Di hadapan perhimpunan yang telah mencantumkan “pelestarian dan pengembangan kebudayaan tradisional Jawa” sebagai tujuannya, Sukarno memulai ceramahnya dalam
bahasa jawa dipa (ngoko), bahasa “kaum pembaru” ketua rapat dengan segera menghentikan
ceramah Sukarno itu dan setelah terjadi perdebatan sebentar, lalu dimintanya Sukarno melanjutkan ceramahnya dalam bahasa Belanda, karena ketua menolak penggunaan bahasa Kromo.Tetapi permintaan itu ditolak dan setelah terjadi perdebatan yang sengit, akhirnya bubar dalam suasana kacau, ditengah-tengah teriakan, sorak-sorai dan musik
gamelan.36Sikap menentang kebijakan organisasi, sebagaimana yang dilakukan Sukarno
terhadap Jong Java, membuat ia dijuluki Bima. Dalam Utusan Hindia dimuat salah satu
sentilan terhadap sikap Sukarno, “dengan Tuhan sekalipun Sukarno berbicara dalam Djawa
Dipa- suatu kelancangan yang hanya diperkenankan bagi Bima yang gagah-perkasa”.37
Tindakan politik Sukarno memang cukup radikal, meskipun demikian Sukarno tidak pernah menjadi anggota partai komunis. Bahkan ketika pada tahun 1921, Sukarno diperhadapkan dengan perpecahan di dalam Sarekat Islam antara orang-orang Islam dan orang-orang komunis, Sukarno lebih memilih Sarekat Islam. Sukarno pun sangat mendukung disiplin partai yang ditegakkan dalam Sarekat Islam, yang merupakan salah satu pemicu perpecahan antara orang-orang Islam dengan orang-orang komunis.Ada banyak
35A.g. pringgodigdo & Hasan Shadily Ensiklopedia Umum, 507. 36Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 48. 37Ibid., 49.
(13)
Gerald J. Tampi 752011042 | 42 faktor yang harus diperhitungkan sebagai alasan keberpihakan Sukarno tersebut, selain karena pengaruh Tjokroaminoto sang guru yang menjadi idolanya. Keberadaan Sukarno sebagai bagian dari Sarekat Islam sekaligus saksi dari rentetan aliran politik yang silih berganti dalam Sarekat Islam, perlu diperhitungkan sebagai faktor penunjang keberpihakan Sukarno. Di samping itu ketertarikan Sukarno terhadap usaha mensintesakan Manifesto komunis dengan Islam yang dijalankan dalam Sarekat Islam, perlu juga diperhitungkan
sebagai alasan keberpihakan Sukarno.38 Jika demikian jelas, bahwa keberpihakan Sukarno
terhadap Sarekat Islam adalah pilihan sadar yang dilakukannya.
Kembali ke keterlibatan Sukarno dengan pergerakan nasional di Bandung, karir politiknya di Bandung, diawalinya dengan menjadi salah satu pendiri sekaligus pengurus
Studi Club Umum (Algemeene Studie Club) yang didirikan pada tanggal 17 Januari 1926. Di
Studi Club Umum tersebut, Sukarno duduk sebagai sekretaris I mendampingi Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo yang saat itu menjabat sebagai ketua. Dibanding dengan Studi Club di Surabaya yang diketuai dr. Sutomo, Studi Club Umum di Bandung lebih radikal. Dengan menetapkan sikap nonkooperasi sebagai senjata perjuangan berhadapan dengan pemerintah kolonial, Studi Club Umum di Bandung telah menarik garis pemisah dengan Studi Club di
Surabaya yang hanya menjadikan sikap nonkooperasi sebagai taktik.39 Melihat sikap
nonkooperasi yang dimutlakkan dalam kelompok Studi Club Umum di Bandung, jelas bahwa pemikiran Douwes Dekker sangat berpengaruh di dalamnya.
Dalam Studi Club Umum tersebutlah, Sukarno berkecimpung dan mengembangkan pemikiran-pemikiran politiknya. Studi Club Umum di Bandung mempunyai majalah sendiri, yang diberi nama “Indonesia Muda”. Untuk pertama kali melalui artikel berjudul
38Ibid.,46-47 39Ibid., 66-67.
(14)
Gerald J. Tampi 752011042 | 43 Nasionalisme, Islam dan Marxisme, Sukarno merumuskan dengan jelas pemikirannya
mengenai Nasionalisme Indonesia.40
Langkah pertama yang dilakukan Sukarno untuk merealisasikan pemikirannya mengenai nasionalisme Indonesia, dimulai dengan keterlibatannya dalam PNI (Partai Nasional Indonesia). PNI dibentuk pada tanggal 4 Juli 1927 dan Sukarno dipercaya sebagai ketua. Selanjutnya, dengan PNI sebagai motor penggerak Sukarno melangkah ke arah pembentukan federasi dari berbagai partai, yang akan bekerjasama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dukungan pertama diperolah Sukarno dari Haji Agus Salim,
seorang tokoh Partai Sarekat Islam yang cukup berpengaruh di masa itu.41 Dukungan lain
datang dari organisasi nasional lokal. Hasilnya, pada 17 Desember 1927, terbentuklah PPPKI (permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang merupakan
gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia42: PNI, Sarekat Islam, Budi Utomo,
Pasundan, Sumantranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya. Pembentukan PPPKI merupakan terobosan baru dalam sejarah pergerakan Indonesia. Setelah beberapa kali usaha ke arah persatuan dan kerjasama diantara partai berbeda, seperti yang dilakukan Sarekat Islam dan Indische Partij, menemui kegagalan. PPPKI merupakan kumpulan dari berbagai organisasi yang berbeda-beda, tetapi secara sepintas lalu sudah kelihatan membawa perkembangan baru yang memberi harapan.Upaya-upaya sebelumnya untuk mencapai persatuan nasional telah ditunjukkan untuk menarik para pengikut
40Ibid.,76. 41Ibid.,97.
42 Dalam otobiografinya Sukarno menyatakan, bahwa PPPKI dibentuk pada bulan Desember 1928. Jelas Sukarno membuat kekeliruan di sini, sebab PPPKI telah dibentuk pada bulan desember 1927, Cindy Adams, Bung Karno, 117; Seoelah Ra’jat Indonesia tahun 1927 pun melaporkan, Soeloeh Ra’jat Indonesia, No. 52 tanggal 28 Desember 1927; selanjutnya pada tanggal 2 Desember 1928 PPPKI mengadakan konggres pertama di Surabaya. Informasi mengenai waktu pelaksanaan konggres pertama PPPKI diperoleh dari tulisan Sukarno dalam Suluh Indonesia Muda tahun 1928. Sukarno, Dibawah Bendera, 63.
(15)
Gerald J. Tampi 752011042 | 44 mendaftarkan diri dibawah panji-panji suatu ideologi yang dominan, mulanya Islam dan
kemudian Marxisme.43
Kerja sama dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk merdeka. Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan di antara partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan. Cuplikan salah satu tulisan Sukarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:
Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soal yang dapat membahayakan pemufakatan kita. Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal kooperasi dan nonkooperasi soal apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-hal yang lebih mendekatkan kita satu
sama lain. marilah kita tonjolkan segala hal yang mempersatukan kita.44
Keberhasilan Sukarno tersebut di atas, mengalami hambatan ketika ia ditangkap pada bulan September tahun 1928. Penangkapan Sukarno disertai dengan penangkapan tiga tokoh PNI lainnya, yakni Gatot Mangkupradja, Maskin dan Supriadinata. Sukarno dan ketiga tokoh PNI ditangkap dan selanjutnya dipenjarakan dengan tuduhan bermaksud melakukan hura-hura dan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial.Tetapi mencermati interogasi yang berlangsung selama pemeriksaan perkara para pemimpin PNI di Landraad Bandung, menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap mereka pun dikaitkan dengan dugaan PNI merupakan kelanjutan PKI. Persidangan terhadap para tokoh yang ditangkap ini, dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Dalam masa pengadilan ini,
Sukarno menulis pidato Indonesia Menggugat dan membacakannya di depan pengadilan
sebagai pledoi. Dalam persidangan tersebut, Sukarno memaparkan ramalannya tentang terjadinya perang pasifik, dalam ramalannya ia berkata:
43John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 133.
(16)
Gerald J. Tampi 752011042 | 45
Perang Pasifik bukan perang kecil-kecilan.Tapi suatu peperangan untuk soal to be
or not tobe.Soal hidup dan mati.45
Ramalan akan meletusnya perang pasifik, menurut Sukarno buka dipungut dari tukang ramal jalanan, melainkan buah analisis sarjana barat terkemuka. Ia memaparkan
teori-teori perang pasifik dari buku seapower in the pacific karya Hektor Baywater, ahli
maritim berkebangsaan Inggris. Baywater meramalkan bahwa perang pasifik akan pecah akibat ulah Jepang yang bermaksud melancarkan revolusi di Asia. Selain itu, Sukarno juga menyodorkan teori perang pasifik yang di paparkan oleh Karl Haushofer dari University of
Munchen, Jerman, dalam buku yang berjudul Geopolitik des pazifischen ozeans.46
Menurut Dahm, pernyataan-pernyataan yang dihubung-hubungkan dengan perang pasifik telah menimbulkan tanggapan yang lebih kuat dalam kesadaran rakyat, dibandingkan dengan tema-tema propaganda lainnya dari partai yang dipimpin oleh Sukarno (PNI). Dari sini hakim menyimpulkan bahwa perang pasifik merupakan salah-satu propaganda yang dipakai oleh PNI.Hal ini menjadikan barang bukti bagi hakim tentang niat jahat Sukarno terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pada sidang hari kedua, tidak kurang dari empat kali Sukarno ditanya, apa yang akan dilakukan oleh PNI seandaimya perang pasifik itu benar-benar pecah. Empat kali juga Sukarno memberikan jawaban yang mengelak, “soal itu belum pernah dipertimbangkan, PNI tidak punya urusan dengan soal itu dan sebagainya.” Namun dalam konteks yang lain, Sukarno menegaskan sikap PNI bahwa: “andaikan ada permusuhan antara suatu rakyat Asia dan katakanlah kaum imperialis Inggris. Maka saya akan mengharapkan bahwa rakyat Asia itu akan
mendapatkan bantuan dari rakyat-rakyat Asia lainnya.47Walaupun Sukarno sudah membela
45Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 21. 46Ibid.,
(17)
Gerald J. Tampi 752011042 | 46 diri melalui Pledoinya, hal itu tidak mempengaruhi keputusan hakim untuk tetap menjatuhkan hukuman terhadap Sukarno.Setelah diadili, Sukarno dan beberapa tokoh PNI
lainnya dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin Bandung.48
Rupanya Perhimpunan Indonesia di Belanda merasa kuatir, keputusan pengadilan terhadap Sukarno dan ketiga tokoh PNI lainnya akan berdampak negatif bagi kehidupan pergerakan di Indonesia. Kekuatiran tersebut cukup beralasan, sebab di masa itu PNI merupakan partai besar dan berpengaruh. Bahkan bisa dikatakan, motor penggerak dari pergerakan kebangsaan Indonesia di era tersebut. Kekuatiran Perhimpunan Indonesia menjadi kenyataan, tanggal 17 April 1931, Mahkamah Agung Hindia Belanda secara resmi memutuskan bersalah kepada keempat pemimpin PNI, yakni Sukarno dijatuhi pidana 4
tahun penjara, Maskun 15 bulan, Gatit 2 tahun pejara, dan Supriadinata 15 bulan.49
Keputusan Mahkamah Agung tersebut oleh sebagian anggota PNI, disambut dengan pembubaran PNI pada rapat pleno 25 April 1931, dipimpin oleh Sartono yang bertindak sebagai pejabat ketua. Disusul kemudian dengan pembentukan Partindo (Partai Indonesia)
sebagai pengganti PNI.50
Pembubaran PNI dan pembentukan Partindo menimbulkan pro dan kontra baik dari anggota PNI, maupun dari tokoh-tokoh di luar PNI. Salah satu nasionalis yang mengkritik pembubaran PNI oleh Sartono adalah Hatta, yang saat itu masih di negeri Belanda. Hatta mengatakan, “bahwa pembubaran partai mencerminkan sebuah kegagalan dalam kepemimpinan partai.” Menurut Hatta, kegagalan tersebut akan terulang lagi, jika kembali berhadapan dengan penekanan-penekanan pemerintah kolonial. Karena itu menurut Hatta,
48Taufik adi Susilo, Taufik Adi Susilo, Soekarno Biografi Singkat 1901-1970, 22. 49 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 143.
(18)
Gerald J. Tampi 752011042 | 47 pembubaran partai bukanlah pemecahan masalah, yang harus dilakukan adalah mendidik kader yang berbobot sebanyak mungkin, agar “penahanan-penahan tidak akan melumpuhkan organisasi secara keseluruhan.”51 Kritik-kritik yang dilontarkan Hatta menurut Legge,
membuat partai-partai lain menjadi kritis teradap Partindo.52
Tindakan Sartono dalam membubarkan PNI terlihat tepat pada situasi politik di masa tersebut, terutama setelah terjadinya penangkapan dan pemeriksaan terhadap keempat pemimpin PNI. Proses pemeriksaan terhadap perkara pemimpin-pemimpin PNI, mencuatkan kecurigaan pemerintahan kolonial bahwa PNI merupakan kelanjutan dari PKI. Jika demikian, pembubaran PNI dan kemudian pembentukan Partindo oleh Sartono dapat dipahami sebagai tindakan penyelamatan PNI. Setidaknya menyelamatkan pengurus yang tersisa dan anggota-anggota PNI dari penangkapan dan pemenjaraan seperti yang dialami PKI di tahun 1926. Meskipun demikian, harus diakui tindakan pembubaran PNI tanpa musyawarah dengan anggota partai, bukanlah tindakan demokratis. Menurut Dahm, tindakan Sartono dan pengurus PNI lainnya hanya memperlihatkan kediktatoran dari para
pengurus partai tersebut.53 Karena itu, kritik Hatta tidak bisa diabaikan, sebab kritik tersebut
merupakan wujud keprihatinan seorang nasionalis terhadap kemerosotan yang terjadi dalam pergerakan di Indonesia.
Kemerosotan juga terjadi dalam federasi PPPKI. Setelah penangkapan Sukarno, PPPKI yang diharapkan menjadi kekuatan tandingan berhadapan dengan pemerintah
kolonial, juga diibaratkan sebagai “negara dalam negara” tidak bereaksi terhadap tindakan
penangkapan tersebut. Ketidak-berdayaan PPPKI hanya membuktikan, bahwa federasi tersebut tidak dapat berfungsi sebagai senjata sebagaimana yang diharapkan Sukarno. Dalam
51 John Legge, Sukarno Sebuah Otobiografi Politik, 148. 52Ibid.
(19)
Gerald J. Tampi 752011042 | 48 tubuh PPPKI sendiri, pertentangan diantara partai-partai dengan ideologi yang selama ini diupayakan untuk diabaikan, kembali menajam. Bahkan dapat dikatakan setelah Sukarno ditangkap PPPKI terancam pecah. Ketika pada awal tahun 1931 Partai Sarekat Islam Indonesia (nama baru dari Sarekat Islam) menarik diri dari federasi tersebut. pertentangan yang menajam dalam PPPKI tersebut, bagi Dahm merupakan bukti kegagalan dari kerjasama yang didasarkan pada permufakatan. “Mufakat merupakan keputusan yang tegas, karena setiap pendapat harus diperhitungkan; padahal perjuangan melawan kaum sana memerlukan keputusan-keputusan yang tegas, yang tidak mungkin dicapai antara kaum
koperator dan non-koperator.54
Kritik tajam Dahm terhadap penempatan mufakat sebagai dasar kerjasama dalam PPPKI, dapat dimengerti. Karena mufakat terlalu menyederhanakan pertentangan yang tidak dapat diakurkan antara kaum kooperator dan non-kooperator; teruatama mengenai keputusan yang berkaitan dengan sikap dan tindakan PPPKI terhadap kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah kolonial di Indonesia.
Dari kalangan nasionalis Indonesia, kritik terhadap perpecahan dalam PPPKI datang dari Hatta. Hatta menilai perpecahan dalam PPPKI menjadi bukti, bahwa persatuan
yang diangung-agungkan oleh Sukarno tidak lebih dari pada persatean. Pandangan rakyat
mengenai konsep aristokrasi tidak dapat dipersatukan.Menyatunya kelompok ini hanya mengakibatkan pengorbanan terhadap prinsip diantara kelompok tersebut, demikian menurut
Hatta.55Penilaian yang dikemukakan Hatta bertolak dari kajian kritisnya terhadap
perbedaan-perbedaan mendasar yang dimiliki anggota PPPKI. Hatta tidak percaya, bahwa partai yang secara prinsipil tidak dapat diakurkan dapat disatukan. Ketidakpercayaan Hatta tersebut
54Ibid.,156-157.
55Mavis Rose,Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohammad Hatta,Terj. Hermawan S. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), 104.
(20)
Gerald J. Tampi 752011042 | 49 dapat dimaklumi, sebab kajian Hatta tersebut dilatarbelakangi oleh pembentukan pemikirannya yang berbeda dengan Sukarno. Pemikiran Hatta terbentu dalam realitas sosial-politik di Eropa, di mana Islam bukanlah kekuatan besar sebagaimana di Indonesia. Selain itu, pendekatan teoritis yang digunakan Hatta terhadap Islam, Marxis-Sosialis dan nasionalis
lokal di Indonesia, menghasilkan pemikiran yang berbeda dengan Sukarno – yang
menggunakan pendekatan praktis terhadap paham-paham tersebut. berbeda dengan Sukarno, meskipun ia mengenal pemikiran-pemikiran Barat, tetapi realitas sosial-politik di Indonesia yang dihadapinya, dimana Islam menjadi salah satu kekuatan besar yang harus diperhitungkan menyajikan wawasan berbeda dengan Hatta. Karena itu, meskipun secara teoritis Sukarno mengalami kesulitan untuk mempersatukan Islam dengan Marxis sosialis dengan nasional lokal, tidak ada pilihan lain baginya. Ditambah lagi dengan kegagalan perjuangan yang dilakukan pergerakan kebangsaan di Indonesia, tidak memberikan pilihan kepada Sukarno selain menuntut kepiawaiannya untuk menghimpun elemen-elemen sosial-politik tersebut, menjadi satu kekuatan nasional berhadapan dengan kolonialisme.
Setelah Sukarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 193156, Sukarno berusaha
menghidupkan kembali PPPKI yang sedang di ambang kehancuran. Disamping itu, Sukarno pun harus berhadapan dengan suatu partai yang sama besar pengaruhnya dan yang saling bertentangan, yakni PNI-baru dipimpin Syarir-Hatta yang telah kembali dari Belanda, berhadapan dengan Partindo. Perbedaan mendasar yang terbentang antara Partindo dan PNI-Baru, mendorong Sukarno untuk memilih salah satu dari kedua partai tersebut. Sukarno akhirnya memilih Partindo, sebab sebagian besar pengurus dan anggota Partindo merupakan
(21)
Gerald J. Tampi 752011042 | 50 mantan anggota PNI. Selain itu, Sukarno memang membutuhkan partai yang biasa sejalan
dengan gaya kepemimpinan politik Sukarno.57
Masuknya Sukarno dalam Partindo, menimbulkan pro dan kontra dari kalangan nasionalis Indonesia. Sukarno dinilai tidak konsekuen terhadap sumpahnya, bahwa ia akan mengupayakan persatuan antara PNI-Baru dengan Partindo dan tidak akan memihak salah satu dari kedua partai tersebut. kritikan-kritikan tersebut ditanggapi Sukarno, sebagai berikut:
Enam bulan lebih saja bekerdja buat persatuan itu. Enam bulan lebih saja sengadja tak duduk dalam salah satu parrtai, tak lain tak bukan hanja supaja usaha persatuan lebih gampang bisa berhasil... Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja ikut menjusun kekuasaan Marhaen. Kini sudah temponja saja kembali ikut menjusun kekuasaan Marhaen, machtsvorming
Marhaen.58
Sukarno memang telah memihak, tetapi itu merupakan konsekuensi logis dari seorang politisi. Seorang politisi membutuhkan partai yang dapat menampung dan menyalurkan ide-idenya, karena itu, Sukarno tidak dapat dipersalahkan karena pilihannya tersebut. Gerakan politis Sukarno terhenti, ketika pada tanggal 1 Agustus 1932 dia kembali ditangkap oleh pemerintah kolonial. Alasan penangkapan terhadap Sukarno adalah karena Sukarno dinilai provokatif dalam menjalankan kegiatan politik. Karena itu Sukarno harus dihentikan agar dia sadar bahwa selama dia masih menjalankan tindakan demikian, dia tetap
akan dihambat oleh pemerintah kolonial.59Beberapa bulan kemudian terbentik berita dari
dalam penjara, bahwa Sukarno menulis surat kepada pemerintah kolonial, yang berisi pernyataan pengundurannya dari Partindo dan juga dari kegiatan politik. Berita mengenai
57Ibid.,153; alasan lain Sukarno memilih Partindo adalah ia sering mendapat kritikan dari pihak PNI baru (termasuk Bung Hatta & Syahrir) Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 62.
58Sukarno, “Maklumat Dari Bung Karno Kepada Kaum Marhaen Indonesia, dalam Dibawah bendera, 165. 59Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 201.
(22)
Gerald J. Tampi 752011042 | 51 pengunduran Sukarno tersebut, menimbulkan kegemparan dikalangan nasionalis Indonesia. Menurut Legge motif pengunduran diri Sukarno tidak Jelas.Apakah ini tindakan putus asa atas penahanannya yang baru, atau suatu usaha untuk mendapatkan perlakuan yang
dihadapinya, sehingga tindakan ini merupakan tindakan revolusionernya yang pertama?60
A.2 Nasionalisme Menurut Sukarno
A.2.1 Pemikiran awal Nasionalisme
Ketika Sukarno dilahirkan, masyarakat Jawa sedang mengalami proses perubahan mendalam. Selama seperempat abad, bersama-sama dengan negara-negara lain di Asia dan Afrika, Indonesia mulai merasakan dampak kuat tenaga ekspansif industri Eropa.Ekspansi besar-besaran ekonomi ekspor Hindia sebagai akibat penanaman modal Belanda secara tidak langsung, telah disertai perluasan penguasaan teritorial yang cepat.Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat lokal, sehingga mendapatkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Seperti yang terjadi pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro melawan kekuasaan Belanda di Jawa Tengah selama lima tahun, hal ini dapat dipandang sebagai suatu gerakan setempat yang mencerminkan ketidakpuasan lokal, dan sangat berbeda sifatnya dari arus perlawanan baru yang muncul pada awal abad ke-20. Nasionalisme baru itu adalah hasil imperialisme baru yang harus dipandang sebagai bagian dari suatu gerakan lebih besar yang melibatkan banyak bagian dari suatu gerakan lebih besar yang melibatkan banyak bagian tanah jajahan baru yang diciptakan Eropa di Asia dan Afrika pada penghujung abad ke-19.
(23)
Gerald J. Tampi 752011042 | 52 Dan gerakan itu tidak hanya berjuang menentang kekuasaan kolonial, tetapi juga
memikirkan dan mengembangkan pandangan baru, yang sadar akan kepribadian nasional.61
Pada masa 1926, perpolitikan di Indonesia mengalami kekacauan. Terdapat beberapa kekuatan politik, yang diwakili oleh partai-partai besar, diantaranya: PKI (partai yang masih aktif pada saat itu) Sarekat Islam yang masih bertumpu kepada kepopulerannya yang besar pada tahun-tahun kejayaannya, NIP (National-Indische Partij) yang walaupun sudah dibubarkan, masih memiliki pengaruh yang besar. Selain itu, terdapat pula kelompok-kelompok kecil yang memiliki kecenderungan nasionalistik, namun dalam waktu yang bersamaan memperlihatkan kecenderungan-kecenderungan yang berbahaya kearah separatism, bahkan berapa pulau-pulau lain membentuk perkumpulan sendiri seperti: Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon, Jong Sumatera dan Jong Batak. Sudah menjadi rahasia umum pada waktu itu, walaupun perkumpulan-perkumpulan ini berkantor pusat di pulau Jawa, tetapi mereka memiliki warna anti Jawa, serta lebih mengejar suatu otonomi bagi daerah mereka masing-masing dari pada tujuan yang mungkin saja akan melahirkan satu
ketergantungan baru terhadap pulau Jawa.62Pendek kata, dari sekian banyak perkumpulan
ini, tidak terjalin persatuan, bahkan banyak yang terlibat pertikaian yang bersifat pribadi. Terdapat beberapa usaha yang dilakukan dalam mempersatukan perkumpulan-perkumpulan ini, seperti yang dilakukan oleh dr.Sutomo yang mengundurkan diri dari Budi
Utomo dan mendirikan Indonesische Studieclub.perkumpulan ini bertujuan mengembangkan
kesadaran akan budaya sendiri di kalangan kaum terpelajar Indonesia dan untuk memahami
masalah-masalah sosial maupun politik.63 Pada bulan Juli 1925 dr. Sutomo mengadakan
pertemuan untuk membahas usaha-usaha untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
61John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 45-48. 62Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 72. 63John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 97.
(24)
Gerald J. Tampi 752011042 | 53 perjuangan. Pada waktu itu, tidak kurang sekitar 6 perkumpulan Indonesia mengutus
perwakilan mereka.64 Menurut Bernard Dahm, dr. Sutomo membuat sebuah kesalahan pada
waktu itu. Dalam salah satu pidatonya, dr. Sutomo mengatakan “setiap Negara yang kuat mesti mencaplok Negara yang lebih lemah”. Dari penyataannya inilah, ia mendapat serangan dari golongan komunis, yang berakibat tergoyangnya kedudukan dr. Sutomo sebagai seorang intelektual yang nonpartisan. Selain dr. Sutomo, mantan anggota-anggota Perhimpunan Indonesia yang berada di negeri Belanda, berusaha untuk menyatukan perhimpunan-perhimpunan ini, namun terdapat beberapa kendala yang menghalangi mereka, yaitu: karena tinggal lama di Eropa, mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kondisi kolonial. Kemudian banyak dari mereka yang sekembali dari Eropa, menjadi
pegawai negeri yang mengakibatkan kegiatan politik mereka harus dihentikan.65
Sebagai seorang nasionalis muda Indonesia, Sukarno yang tidak pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, sadar akan hal ini. Latar-belakang pemikiran mengenai massa rakyat yang diperas dan menderita, pengalaman dan pergaulannya, telah membentuk Sukarno, melahirkan pemikiran mengenai perlunya satu wadah bagi nasionalisme, Islam dan Marxis-sosialis untuk bekerjasama mencapai kemerdekaan.
Sebagai titik tolak pemikirannya terhadap nasionalisme, Sukarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882) dengan pendapatnya tentang bangsa. Menurut Renan, bangsa merupakan suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:
1. Rakyat dari awal harus bersama-sama menjalani sejarah/riwayat.
2. bahwa suatu “bangsa” tidak ditentukan oleh rasa atau bahasa atau agama ataupun perbatasan wilayah. Ia adalah jiwa, suatu pandangan yang
64Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 66. 65Ibid.,73-74.
(25)
Gerald J. Tampi 752011042 | 54 fundamental, yang lahir dari kesamaan sejarah dan dari suatu kemauan,
suatu keinginan hidup menjadi satu.66
Dari teori yang disampaikan oleh Renan ini, terlihat bahwa Sukarno ingin menggunakan teori ini untuk mempertemukan fraksi-fraksi yang saling bertentangan.
Pada tahun 1928, Sukarno menulis sebuah artikel yang berjudul Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme di majalah Indonesia Muda terbitan Studi Club Bandung. Artikel ini, merupakan langkah awal dari Sukarno dalam merumuskan pemikiranya mengenai wadah bersama, yang kemudian ia sebut sebagai nasionalisme. Penjelasannya mengenai nasionalisme, diawali dengan uraian mengenai latar-belakang munculnya kolonialisme, seperti yang dijelaskannya:
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan,bahwa yang menyebabkan kolonialisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah keinginan merdeka dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klenn, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki. Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal
hidup dalam tanah-airnya sendiri … itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat
Eropah mencari rezeki di negeri lain!67
Pernyataan dari Sukarno diatas, mengandung makna bahwa rakyat Indonesia harus sadar terhadap kehidupan ekonomi dan politik yang semakin memburuk, akibat dari kolonialisme. Sukarno ingin merubah pola pemikiran yang sudah tertanam dalam benak masyarakat, mengenai pemerintah kolonial yang dianggap sebagai saudara tua yang nantinya, pada suatu saat akan memberikan kemerdekaan. Sukarno beranggapan bahwa
66John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 99.
67Sukarno,dibawah bendera revolusi cetakan V; nasionalisme,islamisme dan marxisme, ( Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005), 1.
(26)
Gerald J. Tampi 752011042 | 55 tidak ada satu-pun Negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber rezekinya, hal ini terlihat dari pernyataannya yaitu “orang tak akan gampang-gampang
melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!”.68
Kesadaran mengenai tragedi penjajahan, menurut Sukarno telah menimbulkan protes di seluruh Asia. Karena “Roh Asia” tidak akan mengalah kepada penindasan. Bahkan di Indonesia sudah muncul suatu pergerakan rakyat, yang dimanifestasikan dalam tiga aliran politik, walaupun tujuannya sama, yakni satu aliran nasionalis, satu aliran islamis, dan satu aliran marxis. Menurut Sukarno adalah kewajiban semua orang untuk berupaya menyatukan ketiga aliran tersebut dan membuktikan bahwa di daerah jajahan mereka tidak perlu bermusuhan satu sama lain. Sukarno menyatakan bahwa tujuan dari semua aliran ini adalah sama. Untuk itu menurut Sukarno aliran-aliran ini harus menjauhi pertengkaran diantara sesama.Setelah Negara kolonial dibuka kedoknya, motif dari penjajahan dijelaskan dan setelah ada pengidentifikasian yang sadar dengan protes-protes di seluruh Asia, maka ditemukanlah lawan mereka, yaitu bangsa Eropa.Mereka adalah lawan kaum nasionalis, karena mereka menguasai wilayah-wilayah Asia; mereka musuh golongan Islam karena kegiatan-kegiatan misi Kristen mereka; dan mereka, lawan kaum Marxis, karena mereka
pendukung sistem kapitalis, yang merintangi meluasnya sosialisme.69 Dalam arus
pemikirannya, Sukarno menyatakan bahwa ketiga aliran ini bukan hanya ragam-ragam yang memiliki status sama dan saling melengkapi, namun diperlukan pandangan yang implisit yang mengandung pengertian bahwa nasionalisme merupakan arus sentral. Maksud dari Sukarno adalah pada waktu itu Islam merupakan agama yang tertindas, maka pemeluk Islam harus nasionalis.Kemudian, modal Indonesia pada waktu itu merupakan modal asing, maka
68Ibid.,2.
(27)
Gerald J. Tampi 752011042 | 56 kaum marxis yang berjuang melawan kapitalisme haruslah pejuang nasionalis. Tujuannya adalah persatuan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme, tetapi isi nasionalisme dalam islam dan marxislah yang memungkinkan persatuan ini. Sehingga dari penjelasnya tentang nasionalisme ini, Sukarno menyimpulkan Nasionalisme merupakan ideologi yang
merangkum, yang dapat menyalurkan aliran-aliran yang berbeda itu kedalam satu arus.70
Pada akhir rangkaian tulisannya dalam artikel Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,
Sukarno sekali lagi memberikan nasihat kepada ketiga pergerakan (Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme) yaitu:
Kita harus bisa menerima, tetapi kita juga harus memberi.Inilah rahasiannya persatuan itu.Persatuan tak bisa terjadi kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. Dan, jikalau kita semua insaf bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insaf, dalam perceraiberaian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf
bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa”; jikalau kita
insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang ada di tengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi
kita ini, pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga.71
Jika membaca penyataan Sukarno diatas, terlihat bahwa ia telah mengambil materialisme filosofis dari marxisme dan memberikannya Tuhan; ia mengambil dari Islam “beban masa lampaunya” dan memberikan gagasan marxis tentang kemajuan; dari kaum nasionalis ia mengambil “pandangan mereka yang sempit’ dan memberikan kepada mereka “nasionalisme luas”, dari hal ini, maka semua ideologi dapat dengan mudah dimasukkan
dalam kerangka bersama, untuk berjuang bahu-membahu menuju tujuan tunggal.72
Dalam menguraikan pendiriannya, Sukarno memperlihatkan pemahamannya yang sederhana atas bermacam-macam pemikiran dan gagasan yang diserapnya selagi masih
70John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 101. 71Sukarno,dibawah bendera revolusi, 22.
(28)
Gerald J. Tampi 752011042 | 57 menjadi mahasiswa. Ia mengambil perbandingan-perbandingan dari Ernest Renan dan H.G. Wells, Marx dan Engels, Kautsky dan Radek, Sun Yat-sen dan Gandhi, Sismondi dan Blanqui, dari quran dan Mohammad Abduh. Ia menyimpangkan uraian teori buruh tentang nilai dan menunjukkan ketertarikannya pada marxisme sebagai suatu ajaran yang dapat menyajikan suatu penjelasan yang sistematis, bagaimana terjadinya sesuatu sebagai yang kita temukan di dunia. Sementara itu, hakikat Jawaismenya Nampak dengan jelas. Petunjuk
yang mudah untuk hal ini ialah kalimat pertama dari artikel Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme, yang berisikan suatu ibarat wayang yang menunjuk Bima, yang dipakainya sebagai contoh perjuangan melawan musuh-musuh yang sangat kuat. Lebih jelas lagi, asumsi-asumsi dasar karangan itu adalah jawa dalam semangatnya.Bukan saja terdapat tekanan tradisional tentang harmoni dan saling penyesuaian antara pandangan-pandangan yang saling berlawanan, tetapi juga terdapat sentuhan-sentuhan tentang pemikiran-pemikiran khas Jawa, bahwa seorang pemimpin besar ialah yang mampu menyelaraskan pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan. Sukarno mampu menganjurkan kemungkinan pemersatuan semua aliran nasionalisme karena ia merasa dirinya sendiri sekaligus adalah seorang Marxis dan seorang Muslim. Daya mampu ini, dalam pengertian
Jawa, dapat menunjang suatu tuntunan untuk mencapai kekuasaan.73
(29)
Gerald J. Tampi 752011042 | 58
A.2.2. Marhaenisme cerminan rakyat kecil Indonesia
Istilah marhaenisme ditemukan oleh Sukarno ketika ia sedang berjalan-jalan di
sebuah desa yang bernama desa Cigereleng, sebelah selatan kota bandung.74 Ketika Sukarno
berjalan-jalan di sawah,Ia bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Sukarno melihat petani itu sedang menggarap sawahnya, lalu ia memikatnya ke dalam suatu percakapan yang memiliki nilai.
“Siapa yang punya semua yangengkau kerjakan sekarangini?".Dia berkata
kepadaku, "Saya, juragan."Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini
bersama‐sama dengan orang lain?"."o, tidak, gan. Saya sendiri yang
punya.""Tanah ini kaubeli?"."Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun."Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ... "Kau
mempekerjakan orang lain?""Tidak, juragan. Saya tidak dapat
membayarnya.""Apakah engkau pernah memburuh?""Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?""Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.""Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkaupunya?""Ya, gan."Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya. "Marhaen." Marhaen adalahnama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakainama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti
itu! Semenjak itu kunamakanrakyatku rakyat Marhaen.75
Marhaen yang berkomunikasi dengan Sukarno, merupakan gambaran “rakyat
kecil” yang banyak di Indonesia. Mereka mempunyai rumah, tanah pertanian, alat cangkul dan hasil dari pertaniannya hanya untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. Walaupun Marhaen mempunyai hal-hal yang disebut tadi, ia tetap miskin dan tidak sejahtera. Kemiskinan ini Nampak pada realitas kehidupan sehari-hari, seperti mendiami rumah yang tidak layak dan kebutuhan hidup sehari-hari tidak tercukupi untuk keluarganya. Bagi
Sukarno, Marhaen tersebut tidak bisa disebut proletar dalam pengertian Karl Marx, karena
74 Sukarno, Revolusi Indonesia; Nasionalisme, Marhaenisme dan Pancasila,( Yogyakarta: Galangpress, 2007), 85.
(30)
Gerald J. Tampi 752011042 | 59 ia mempunyai alat produksi sendiri dan tidak semata-mata menjual tenaganya kepada
pemilik modal, namun demikian ia tetap miskin.76
Istilah Marhaen tidak hanya dikenakan untuk rakyat kecil, seperti petani, tukang gerobak, dll, namun Sukarno juga menggunakan istilah Marhaen bagi semua rakyat
Indonesia yaitu semua orang yang menjalankan Marhaenisme.77 menurut Sukarno Marhaen
merupakan cerminan rakyat Indonesia secara keseluruhan dan modal dasar untuk melakukan perjuangan revolusi, agar imperialisme barat hilang dari tanah air Indonesia. Menghapus kapitalisme merupakan sebuah wujud dalam bidang pendidikan, perkebunan milik swasta dan pemerintah. Marhaen-marhaen inilah yang harus bersatu dan bergotong-royong dalam melaksanakan perjuangan revolusi. Dengan cara demikian kemerdekaan dapat dicapai oleh rakyat Indonesia. Marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional. Kepribadian yang senantiasa memperhatikan persatuan dan gotong royong dalam perjuangan revolusi. Marhaenisme adalah suatu gerakan massa yang bersatu untuk kepentingan massa, dan di dalamnya Sukarno mewakili segenap rakyat Indonesia. Persatuan menjadi isu penting yang diangkat dalam Marhaenisme dan Sukarno menginginkan memasukkan sebanyak mungkin golongan-golongan politik, agar kekuatan revolusioner semakin bertambah banyak, serta kuat guna mencapai Indonesia merdeka.
Menurut Sukarno, kapitalisme dan Sosialisme barat hanya memberikan hak-hak politik, sedangkan dalam bidang ekonomi rakyat selalu kekurangan dan menghasilkan kelas-kelas sosial. Hal tersebut tidak bisa terjadi dalam kehidupan sosialisme Indonesia, karena keinginan rakyat ialah tatanan sosial yang lebih adil. Sosialisme Indonesia adalah
76John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 89. 77Sukarno, Di bawah bendera revolusi, 253.
(31)
Gerald J. Tampi 752011042 | 60 nasionalsime marhaen. Nasionalisme yang dapat menciptakan masyarakat Indonesia mandiri, yaitu mampu berdiri diatas kakinya untuk kepentingan diri sendiri. Nasionalisme marhaen menolak adanya kaum borjuis atau nigrat di Indonesia, karena pada dasarnya mereka sangat menyengsarakan rakyat. Pengertian nasionalisme marhaen disini bukan dalam pengertian perjuangan kelas proletar melawan kelas kapitalis yang menguasai Negara, seperti yang dikatakan karl marx. Bagi Sukarno, untuk mencapai suatu masyarakat tanpa kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen, yang akan memperjuangkannya, untuk menjadi “kaum revolusioner borjuis” dengan kemerdekaan sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi “orang-orang revolusioner sosial,” dan tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua orang, bagi semua komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Sukarno memberi nama yang baru saja ia
ciptakan yaitu Sosionasionalisme atau nasionalisme Marhaen.78Sukarno melihat keadaan
rakyat kecil yang tertindas, tidak berpendidikan, hanya dijadikan “sapi perah” dari kebijakan imperialism barat dan diwujudkan dalam bentuk kolonialisme. Dengan sendirinya menjadi alat pemicu untuk lahirnya suatu gerakan revolusi marhaen. Analisa ini dilihat dalam kerangka dialektika Karl Marx. Segala perubahan harus terjadi, yaitu kapitalisme akan menghasilkan Marhaen-Marhaen yang menginginkan perubahan secara revolusioner dalam masyarakat Indonesia. Keadaan Sosio-Ekonomi dan Sosio-Politik dan Kapitalisme sebenarnya menciptakan secara langsung marhaen-marhaen yang revolusioner dan mengakibatkan akan terjadi perubahan dramatis.
Dalam konferensi PARTINDO pada tahun 1933 di kota mataram, Sukarno merumuskan ajarannya dalam Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme yaitu:
78
(32)
Gerald J. Tampi 752011042 | 61
1. Marhaenisme, yaitu Sosio-nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.
2. Marhaen yaitu kaum ploletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum
melarat Indonesia lainnya.
3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak ploletar, oleh karena perkataan
ploletar sudah termaktub dalam perkataan marhaen dan oleh karena perkataan ploletar itu juga bisa diartikan bahwa kaum petani dan lain-lain kaun yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan kaum melarat Indonesia
lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemen, maka Partindo memakai perkataan Marhaen.
5. Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum proletar
mengambil bagian yang besar sekali.
6. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri
yang didalamnya segala hal menyelamatkan.
7. Marhaenisme adalah pula cara-perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan
susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenannya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya
tiap-tiap kapitalisme dan imperialism.
9. Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan
marhaenisme.79
(33)
Gerald J. Tampi 752011042 | 62 Dalam Sembilan tesis tersebut, sukarno menekankan bahwa masyarakat Indonesia mesti menerapkan Marhaenisme secara tepat. Walaupun pada kenyataan kemerdekaan yang didambakan belum juga terwujud. Keadaan ini disebabkan orang Indonesia “sakit berkepanjangan”, akibat tindakan imperialisme-imperialisme kuno dalam bentuk kerajaan-kerajaan di Indonesia, sampai dengan imperialisme modern yang berwujud dalam bentuk kolonialisme barat. Semua Imperialisme-imperialisme tersebut menghasilkan keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi kapitalis. Namun rakyat menerima penderitaan yang berkepanjangan. Penderitaan ini disebabkan oleh aturan pemerintah imperialisme yang dibuat sedemikian rupa sehingga tercipta proyek kerja paksa, penindasan, penjarahan,
diskriminasi ekonomi, diskriminasi pendidikan dan bentuk lainnya.80
Kesemuanya menghasilkan rakyat yang selalu menghambakan diri kepada kaum kapitalis, tidak mempunyai mental untuk berjuang memperbaiki nasibnya sendiri sebagai manusia dan selalu merasa diri bodoh. Dahulu rakyat Indonesia terkenal sebagai pelaut pemberani dan mampu mengarungi lautan guna meluaskan perdagangannya namun hal tersebut tidak Nampak lagi. Sekarang yang terjadi rakyat menjadi penakut. Sebaliknya, imperialisme-kapitalisme mendapatkan hal terbaik dalam segala bidang kehidupan, sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan yang bermanfaat bagi dirinya. Kecuali golongan bangsawan, memperoleh hak-hak istimewa. Untuk itu harus ada perubahan, agar merubah kesakitan yang berkepanjangan dan menjadikan rakyat Indonesia bisa mandiri, yaitu dengan melakukan gerakan revolusioner guna menghancurkan imperialisme-kapitalisme. Dengan cara demikian rakyat Indonesia bisa menjadi lebih baik memperbaiki nasib diri sendiri. Pergerakan nasional yang revolusioner ini harus terjadi secara besar-besaran. Marhaenisme
(34)
Gerald J. Tampi 752011042 | 63 harus menjadi penggerak yang radikal dalam perjuangan rakyat Indonesia dan tidak ada istilah kerjasama dengan pihak Imperialisme dalam memperjuangkan kemerdekaan. Gerakan revolusioner tersebut harus terus-menerus ada, sampai Imperialisme dan Kapitalisme hilang di Indonesia. Sikap radikal ini muncul oleh karena rakyat menderita
berkepanjangan.81
Sukarno melihat, bahwa diseberang sana ada kemerdekaan yang dicita-citakan rakyat. Apabila kemerdekaan telah dicapai nanti, maka akan berlaku terus sistem Sosio-Ekonomi, Sosio-Demokrasi yang merupakan perwujudan dari Sosio-Nasionalisme. Tidak boleh berlaku sistem ekonomi dan politik borjuis dalam kehidupan Negara Indonesia yang merdeka. Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala sistem yang menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk formalnya sebagai filsafat yaitu Pancasila.
(35)
Gerald J. Tampi 752011042 | 64
A.2.3. Pancasila sebagai kelanjutan Marhaenisme
Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secaradetail dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Sukarnosebagai Pancasila. Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,Sukarno menawarkan gagasan ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan). 3. Mufakat (Demokrasi).
4. Kesejahteraan Sosial.
5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.82
Menurut John Legge Tidak mengherankan, jika Sukarno meletakkan nasionalisme sebagai prinsip dasar pertama. Sukarno menjelaskan nasionalisme (kebangsaan) harus dipahami tidak dalam artiannya yang sempit, bebas dari kekuasaan asing, akan tetapi dalam arti positif membangkitkan rasa kesadaran dari rakyat. Definisi Renan tentang nasionalisme
dalam kata-kata “keinginan bersatu” tidak cukup baginya, karena definisi ini dapat
dipergunakan untuk membenarkan nasionalisme suku, kelompok-kelompok kecil penduduk. Sebaliknya, nasionalisme Indonesia harus menjangkau lebih luas lagi dari kesatuan-kesatuan masyarakat suku dan terdiri dari seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan Tuhan, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara sumatera sampai ke Irian! Sukarno melihat persatuan Indonesia berdasarkan kebesaran
82Saefroedin Bahar, Ananda B Kusuma & Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan
Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945- 22 Agustus 1945, dengan kata pengantar oleh Taufik Abdullah ( Jakarta: Sekretaris Negara R.I., 1995), 101.
(36)
Gerald J. Tampi 752011042 | 65 abad-abad lalu.Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dan jelas untuk mengembalikan rasa berbangsa satu ini memerlukan tindakan positif. Nasionalisme dalam arti kata yang sebenarnya berarti bukan kebangsaan jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan borneo, Sulawesi, bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi satu national staat.83
Nasionalisme juga perlu dipahami bersama dalam prinsip dasar yang kedua, yaitu Internasionalisme.Prinsip nasionalisme ada bahaya menjadi patriotisme sempit dan perlu diimbangi dengan rasa hormat kepada bangsa-bangsa lain, yaitu internasionalisme.Tetapi
internasionalisme itu sendiri perlu dibedakan dari kosmopolitanisme yang tidak mengakui
lagi adanya nasionalisme.Sebaliknya, internasionalisme harus berakar di dalam buminya
nasionalisme. Dengan demikian kedua prinsip dasar itu bergandengan erat satu sama lain.84
Begitu juga dengan demokrasi dan keadilan sosial bergandengan erat dalam pikirannya. Demokrasi (pemerintahan perwakilan atau musyawarah-mufakat) akan memungkinkan berlakunya keadilan bagi berbagai kekuatan untuk dengan jujur bersaing satu sama lain dalam kerangka perwakilan pemerintahan. Tetapi demokrasi politik saja belum menjamin adanya kesejahteraan untuk semua.Pada demokrasi-demokrasi barat, katanya, kaum kapitalis mengontrol segala-galanya dan di situ tidak ada keadilan sosial dan
demokrasi ekonomi.85
Pada gagasan yang terakhir, Sukarno menyatakan bahwa Negara yang akan berdiri ini harus berdasarkan kepercayaan kepada ke-Esaan Tuhan, dan prinsip ini harus terbuka bagi pelaksanaan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Bukan saja
83John Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 215. 84Ibid.,
(37)
Gerald J. Tampi 752011042 | 66 bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam Bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namundalam kesempatan tersebut, Sukarno tidak menawarkan permanen. Konsep inimasih terbuka untuk dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarnomenawarkan konsep Trisila yang secara substansial merupakan kristalisasi darikonsep Pancasila, yakni nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan.Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan internasionalismebisa disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat
dankesejahteraan bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan
prinsipKetuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan
konsepMarhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah
denganKetuhanan Yang Maha Esa.86 Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam
pernyataannya:
“atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan limaitu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja... Dua dasar yang pertama,kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, sayaperas menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme....Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilahyang dahulu saya namakan sosio-demokrasi... Tinggal lagi ketuhanan yangmenghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi
dan ketuhanan.87
86Sukarno, Revolusi Indonesia,51-52. 87Saefroedin Bahar, Risalah, 52.
(1)
Gerald J. Tampi 752011042 | 98
Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia. ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia.138Menurut Hatta suatu kombinasi organik antara tiga sumber kekuatan yang bercorak sosio religius inilah yang memberi keyakinan kepada Hatta bahwa demokrasi telah lama berakar di Indonesia tidak terkecuali di desa-desa. Bila di desa yang menjadi tempat tinggal sekitar 70% rakyat Indonesia masih mampu bertahan, maka siapakah yang meragukan hari depan demokrasi di Indonesia.139
Hatta kemudian memperkenalkan Azas Kedaulatan Rakyat yang menurutnya berbeda dengan Volkssouvereiniteit yang berdasar individualisme. Hatta mengakui ada persamaan nama, namun bukan dalam rupanya. Hatta juga mengakui bahwa Timur boleh mengambil yang baik dari Barat, tetapi jangan ditiru melainkan disesuaikan. Dalam mencari bentuk dan sifat demokrasi di Indonesia, Hatta menyetujui musyawarah dan menolak mufakat. Alasannya adalah musyawarah dinilai dapat menolak sikap menang sendiri seperti sikap diktaktor atau otoriter. Sedangkain mufakat, merupakan cara mengambil keputusan tanpa seorang atau beberapa orang menunjukkan perbedaannya, sehingga mufakat mudah dilakukan di desa-desa, tetapi tidak pada pusat-pusat pemerintahan kerajaan kuno. Untuk membangun Negara, Hatta melihat sifat musyawarah perlu diterapkan dalam badan-badan perwakilan. Sistem perwakilan sangat tepat untuk Indonesia yang begitu besar dan luas. Hatta juga menambahkan, dalam masyarakat yang demokratis, seperti di Indonesia, mentalitas orang berlainan dengan masyarakat individualistis,
138
Ahmad Syafii Maarif, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Perpustakaan Yayasan hatta, 1999), 2.
(2)
Gerald J. Tampi 752011042 | 99
sebab dalam segala tindakan dan pernyataan pendapatnya, selalu dikemudiakan oleh kepentingan umum. 140
Menurut Hatta, hak politik harus berada di tangan rakyat agar rakyat dapat mengembangkan hak demokrasinya. Berdasarkan hal ini, Hatta mengemukakan lima pokok gagasan yang dapat menjamin hak demokrasi rakyat, yaitu
1. Adanya kebebasan berserikat dan berorganisasi. Hatta berpendapat bahwa tumbuhnya organisasi perlu sebagai kekuatan pengimbang bagi kelompok bermodal, kelompok bersenjata dan kelompok yang mendominasi masyarakat politik yang cenderung mendominasi sehingga sering kali melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
2. Kebebasan menyatakan pendapat dalam tulisan dan lisan. Menurut Hatta pemaksaan pendapat harus dicegah agar masyarakat tidak tertipu oleh informasi yang cenderung bersifat indoktrinasi, untuk itu Hatta sangat mendukung adanya kebebasan pers.
3. Hak sanggahan secara massal yang sudah dikenal dalam masyarakat desa di Jawa yang dilakukan tanpa kekerasan. Hatta berpendapat, pada masa sekarang sanggahan massal bisa terwujud dalam bentuk surat protes massal, polling publik, guguatan publik, aksi dan wacana publik. Untuk itu penguasa harus dapat memahami dan menanggapi sanggahan publik.
4. Pembangkitan semangat gotong-royong, rasa bersama, kolektivitas untuk bersama-sama menerima atau menolak sesuatu.
140 Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka
(3)
Gerald J. Tampi 752011042 | 100
5. Pemberdayaan kekuatan ekonomi masyarakat dari bawah, bottom-up, dengan membuka aksesibilitas rakyat kecil pada pengelolaan sumber daya alam, juga membuka aksesibilitas rakyat kecil pada sumber pembiayaan berupa modal dan kredit perbankan dan membuka aksesibilitas rakyat kecil pada fasilitas pendidikan, kesehatan, pengembangan teknologi, pemasaran dan modal.141
Dengan mewujudkan kelima pokok diatas, menurut Hatta demokrasi politik akan tumbuh berimbang dengan demokrasi ekonomi yang terjalin dalam demokrasi kerakyatan.
B.2.3. Sebuah warisan: Ekonomi Kerakyatan
Pandangan Hatta tentang masalah-masalah kebangsaan seperti loyalitasnya terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keberpihakannya terhadap nasib rakyat, kemudian dituangkan dalam pemikiran tentang ekonomi kerakyatan. Hatta dikenal sebagai “Bapak Koperasi
Indonesia” karena pemikiran-pemikiran ekonominya yang pro-kerakyatan. Ketika masih belajar
ekonomi di Rotterdam, Hatta banyak mencermati nasib ekonomi modern yang pada saat itu banyak dikendalikan oleh investor-investor Belanda, terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Hatta banyak menulis di Daulat Rakyat, yang bertujuan mempersatukan ekonomi rakyat melalui pengembangan usaha koperasi yang berbasis pada asas kekeluargaan. Pemikiran tersebut, sudah bergema semenjak Hatta terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1926. Pada saat itu Hatta menyampaikan pidato yang berjudul Economische Wereldbouw
en Machtstegenstellingen (Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan). Dari pidato
(4)
Gerald J. Tampi 752011042 | 101
ini, Hatta bermaksud menganalisis struktur ekonomi dunia yang dapat dijadikan bahan pemikiran untuk membangun perekonomian Indonesia yang pro terhadap rakyat.142
Kerangka dasar pikiran Hatta untuk mempertegas bangsa Indonesia sebagai bagian bangsa yang mandiri diilhami oleh keinginan sebagai anak bangsa yang keluar dari cengkaraman penjajahan Belanda. Nurani itu terus mengelana menerobos sekat-sekat imperialisme yang pada akhirnya terfokus pada alur sejarah yang tak mungkin terhapus, yaitu 17 Agustus 1945. Pergolakan intelektual Hatta sebagai pemimpin bagi rakyatnya tercermin dalam pasal 33 UUD 1945.143 Penegasan akan isi pasal tersebut disajikan dalam sebuah tulisan yang sangat monumental, Ekonomi Indonesia di Masa Depan. Tulisan yang merupakan pidato Hatta sebagai wakil presiden yang disampaikan pada Konfrensi Ekonomi Indonesia di Yogyakarta pada 1946. Pidato tersebut merupakan penafsiran asli dari pasal 33 UUD 1945 secara yuridis-historis. Terdapat 3 hal yang ditekankan Hatta dalam pidato tersebut yang menentukan perekonomian suatu Negara, yaitu kekayaan tanah, kedudukan terhadap negeri lain dalam lingkungan internasional dan sifat serta kecakapan rakyat. khusus untuk Indonesia, Hatta menambahkan 1 unsur, yaitu sejarahnya sebagai bekas tanah jajahan.
142Ibid.,118-119.
143 Bunyi Pasal 33 UUD 1945(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (pasal 4 dan 5, merupakan pasal tambahan yang ditetapkan pada tahun 2002)
(5)
Gerald J. Tampi 752011042 | 102
B.3. Kesimpulan
Berbicara tentang Moh. Hatta, dibutuhkan waktu yang cukup panjang, hal ini dikarena, Hatta sangat kaya akan visi, gagasan dan contoh-contoh konkret yang dialami oleh banyak orang. Dalam kehidupannya nilai-nilaibaik yang positif dari timur dan barat telah menyatu sebagaisuatu pedoman yang hampir sempurna. Bung Hatta merupakan konseptor utama tentang kedaulatan rakyat. Rakyatadalah yang utama. Baik semasa pergerakan maupun sesudah kemerdekan, rakyatmenjadi titik sentral perjuangan Hatta. Dengan pendidikan, rakyat harus dibuat sadar akan harga dirinya. Sehingga rakyat bisa berpartisipasi dalam proses politik. Rakyatmerupakan raja atas dirinya sendiri. Dengan berpegang pada prinsipnya tentangkedaulatan rakyat, maka pemikiran-pemikirannya kemudian selalu setuju pada rakyatseperti pada masalah kebangsaan dan perjuangannya kemudian dalam memasukkanhak-hak rakyat dalam UUD 1945.
Hatta yang terlahir dan dibentuk dalam adat Minangkabau, kemudian diperlengkapi dengan kehidupan akademik di negeri Belanda, menjadikan Hatta sebagai sosok yang sangat unik, serta sangat disegani baik kawan maupun lawan. Tak dapat dipungkiri, Hatta memiliki peranan yang sangat penting dalam memperkenalkan Indonesia di kancah Dunia Internasional. Hal tersebut terlihat dengan sangat jelas, bagaimana Hatta semasa ia kuliah di negeri Belanda, berbagai macam hal ia lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. akibat pergerakannya memperjuangkan kemerdekaan, Hatta beserta beberapa temannya sempat di penjarakan oleh pemerintah Belanda. Hal tersebut tidak membuat Hatta mematahkan semangat perjuangannya. Hatta yang lembut hati selalu mencari strategi untuk berjuang tanpa kekerasan. senjata ampuh yang digunakan Hatta adalah otak dan pena. Daripada melawan dengan kekerasan, Hatta lebih memilih untuk menyusun strategi, melakukan negosiasi dan menulis
(6)
Gerald J. Tampi 752011042 | 103
berbagai artikel dan buku untuk perjuangan nasib bangsa. Prinsip ini muncul, karena Hatta memiliki rasa hormat terhadap sesama manusia, tidak memandang itu lawan maupun kawan.
Kerangka pemikiran Hatta tentang nasionalisme, didasari oleh pandangannya terhadap berbagai macam fenomena yang terjadi di Indonesia. sekurang-kurangnya terdapat 3 unsur nasionalisme yang berada di Indonesia pada waktu itu, yaitu ningrat, intelek dan rakyat. Menurut Hatta Nasionalisme rakyatlah yang paling cocok untuk berada di Indonesia. hal tersebut menurut Hatta, rakyat memiliki peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembangnya suatu bangsa atau dengan kata lain, kebangsaan tidak bisa dipisahkan dari kerakyatan. Kedua konsep ini, merupakan butir pemikiran Hatta yang paling mendasar dalam satu tarikan napas dan sekaligus melintasi semua gagasan Hatta tentang persatuan, kemerdekaan, demokrasi, ekonomi dan sejumlah gagasan politiknya yang lain, termasuk kaderisasi. Dalam hal demokrasi, terlihat dengan sangat jelas bahwa bagi Hatta demokrasi barat berhasil diterapkan dinegara-negara maju karena sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat barat yang individualis. Wajar jika demokrasi barat yang diterapkan secara murni dinegara-negara berkembang berujung padakegagalan, karena karakter masyarakat timur yang kolektif. Namun bukan berarti demokrasi secara subtansi tidak baik. Hanya saja demokrasi yang perlu dikembangkan menurut Hatta adalah demokrasi yang digali dari bangsa itu sendiri. Untuk Indonesia Hatta menilai bahwa demokrasi yang cocok adalah demokrasi yang dibangun atas dasar kolektivitas dan kekeluargaan. Dibidang politik demokrasi menjunjung tinggi nilai musyarawah mufakat (kolektivitas) dalam mengambil keputusan sedangkan dalam bidang ekonomi dikembangkan ekonomi berdasarkan kekeluargaan yang terwujud dalam koperasi.