Fenomena Pencalegan Di Kalangan Artis.

FENOMENA PENCALEGAN DI KALANGAN ARTIS
Oleh :
Dedet Erawati
e-mail : deblume@gmail.com
Universitas Padjdjaran

Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi oleh semangat
pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi
ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Tidak
terasa sudah 15 tahun sejak rezim Soeharto diruntuhkan, demokrasi di Indonesia benar-benar di
jalankan. Tentunya terdapat perbedaan sistem pemilihan kepala negara, daerah, dan anggota
legislatifnya. Oleh karena itu diperlukannya pendidikan politik yang baik agar pelaku serta
partisipan dari pemilihan tersebut dapat bersikap dewasa Tidak terasa 1 tahun lagi kita akan
menyambut pemilihan umum. Kondisi tersebut bisa kita rasakan dimulai dari tahun 2013 ini.
Tahun 2013 sering disebut sebagai tahun politik. Pernyataan tersebut sangatlah beralasan
mengingat kurang dari satu tahun lagi, Indonesia akan menggelar pesta akbar demokrasi yakni
pemilihan umum 2014.. Tentunya dalam kesempatan tersebut masyarakat Indonesia akan
memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di legislatif baik tingkat kabupaten, provinsi,
hingga pusat selain itu juga berkesempatan untuk memilih langsung kepala negara yang akan
memimpin negara Indonesia lima tahun ke depan. Fenomena yang dapat kita jumpai akhir-akhir
ini, dimana sudah banyak baligho-baligho, spanduk, serta papan iklan yang telah memuat fotofoto dari para calon tersebut. Bukan hanya mengiklankan dirinya saja melalui media-media

tersebut, tetapi para calon tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan kampanye tidak resmi di
lingkungan sekitar mereka. Banyak sekali kegiatan-kegiatan tersebut kita jumpai, seperti :
pengobatan gratis, bagi-bagi uang, hingga hal-hal sosial lainnya.
Kegiatan-kegiatan yang telah dijabarkan di atas, dilakukan para calon tersebut bertujuan
untuk memunculkan citra positif

pada diri mereka. Para calon tersebut, beranggapan jika

masyarakat menilai citra mereka positif maka semakin memudahkan para calon menang dalam
PEMILU 2014. Hal yang penulis amati disini adalah partai politik sudah berbondong-bondong
mendaftakan bakal calon legislatifnya untuk “siap tempur” pada pemilu 2014 mendatang. Para

politisi yang sudah terdaftar sebagai calegpun sudah memulai mempersiapkan diri secara mental
maupun materi untuk bertarung dikancah perpolitikan tanah air. Akhir-akhir ini kita melihat
banyaknya banyak artis yang maju sebagai calon anggota legislatif. Sesungguhnya bukan
keberadaan artisnya yang menjadi masalah, tetapi dijadikannya artis sebagai alat oleh partai
politik untuk memperoleh kursi, hal itulah yang menjadi masalah. Partai politik menjadikan artis
sebagai jawaban atas permintaan masyarakat yang telah bosan dan apatis terhadap politisipolitisi lama dan menginginkan wajah-wajah baru. Sehingga tentunya terlintas di benak pikiran
kita, apakah caleg yang berasal dari kalangan artis itu memiliki kemampuan atau kualitas yang
baik untuk dijadikan perwakilan suara rakyat yang dapat memperjuangkan aspirasi suara rakyat.

Tampaknya, menjelang pemilu 2014, para artis akan lebih banyak jadi incaran partai
politik, apalagi tensi persaingan antar partai dalam meraup suara semakin tinggi. Untuk
memuluskan kompetisi tersebut, ada parpol yang sengaja memperlebar ruang buat artis untuk
dijadikan sebagai calon legislatif. Melihat kegencaran parpol dalam hal rekruitmen kalangan
artis, diperkirakan akan banyak artis mengikuti proses polititasi yang dilakukan parpol, dalam
rangka mentranformasi artis jadi politisi senayan. Dan belakangan ini rekrutman calon legislatif
dari kalangan artis untuk dicalonkan pada pemilu 2014, tampaknya akan lebih besar volumenya.
Sejumlah partai berkompetisi melakukan pantauan terhadap figur-figur artis. Latar belakangnya
dan dasar pemikirannya juga tak berbeda seperti saat pencalonan kalangan artis pada pemilu
2009 lalu. Substansi pertimbangannya adalah tingginya nilai popularitas figur artis untuk bisa
dijual ke publik. Memang tak ada salahnya jika parpol dinilai mempolitisasi artis untuk dijadikan
politisi, dan tak ada pula aturan yang melarang artis jadi politisi, meskipun ada sejumlah
kalangan yang menolak artis sebagai calon legislatif.
Secara konstitusional, setiap warga negara berhak untuk ikut terlibat dalam kegiatan
politik. Demikian halnya dengan kalangan artis yang notabene mereka juga warga negara biasa.
Sehingga tidak ada yang dapat melarang seorang artis untuk ikut terlibat dalam dunia politik.
Pertanyaan yang kemudian mucul adalah layakkah seorang artis menjadi anggota legislatif?.
Pertanyaan itu muncul mengingat seorang artis lebih identik dengan kehidupan yang glamor dan
hura-hura sehingga dirasa tidak memiliki kemampuan untuk menjadi anggota legislatif. Sering
kali juga seorang artis dianggap hanya mengandalkan sisi popularitas yang tinggi dan kadang

kurang memiliki kapasitas maupun kapabilitas yang mumpuni untuk mencalonkan diri sebagai
caleg. Faktor itulah yang yang membuat seorang artis yang ingin mencalonkan diri sebagai calon

anggota legislatif terkesan hanya aji mumpung. Idealnya siapapun anggota dewan legislatif yang
kelak terpilih, orang tersebut haruslah memiliki kapasitas serta kemampuan untuk mengemban
amanah dari rakyat. Tidak hanya mengandalkan faktor terkenal atau popularitas semata. Tetapi
lebih ditekankan kepada kemampuannya membangun negara dengan mewujudkan aspirasi serta
kesejahteraan rakyat.
Partai-partai politik di Indonesia tentunya memiliki alasan dari penunjukkan artis sebagai
caleg tersebut. Beragam alasan yang dikemukakan oleh partai tersebut, seperti : kualitas yang
dimiliki oleh artis yang nyaleg, memberikan kesempatan bagi siapapun warga negara Indonesia
untuk mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif, dan masih banyak alasan lainnya. Tetapi,
apakah hanya alasan itu saja tidak ada alasan terselubung dari penunjukkan tersebut? Banyak
stereotipe masyarakat kita yang menarik kesimpulan bahwa partai-partai politik menunjuk artis
sebagai calon legislatif bertujuan untuk meningkatkan popularitas partai politik tersebut dengan
menjadikan artis tersebut sebagai vote gatter (pengumpul suara). Hal tersebut diamini oleh
pernyataan dari Syamsudin Haris, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menegaskan, meningkatnya jumlah artis yang maju sebagai caleg di berbagai partai politik
menunjukan fenomena kegagalan kaderisasi dan kepemimpinan parpol. "Ini menunjukkan bahwa
parpol tidak siap berdemokrasi dengan sehat, karena gagal melaksanakan kaderisasi," tuturnya.

Sudah bukan rahasia lagi, dia melanjutkan, saat ini hampir seluruh partai Politik berebut
meminang artis sebagai caleg. Tujuannya tentu saja sebagai penarik minat masyarakat untuk
memilih partai yang bersangkutan.
Kegagalan proses kaderisasi di lingkungan partai politik yang membawa dampak negatif
ganda. Rekrutmen para artis menjadi caleg berarti memotong mata rantai proses kaderisasi
internal partai politik. Hal ini akan menutup peluang para kader yang sejak awal merintis dan
menekuni kerja-kerja kepartaian di tingkat akar rumput. Jika kader-kader partai politik terhalang
melakukan mobilitas vertikal, maka akan melemahkan kerja-kerja kepartaian karena mereka
merasa tak mendapat penghargaan semestinya. Dalam jangka panjang hal ini dapat memicu
proses pelapukan internal, mengingat kader-kader partai politik yang jauh lebih menghayati
ideology dan memahami cita-cita perjuangan partai politik justru tersisih atau dikalahkan oleh
para artis yang mendapat privilege menjadi caleg. Dalam konteks ini, partai politik tak bisa lagi
dijadikan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan nasional karena tak mampu melakukan
proses kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur.

Hal yang tidak kalah penting adalah membekalkan caleg dari kalangan artis tersebut
dengan pengetahuan di bidang organisasi, ekonomi, dan hukum agar tidak kalah dengan caleg
dari kalangan masyarakat non-artis. Karena bidang-bidang tersebut merupakan bidang yang
mendasar yang harus dikuasai oleh caleg dari kalangan manapun. Jika, hal itu tidak dikuasai
bagaimana mereka para anggota legislatif yang dapat mewakili kurang lebih suara 189 juta

rakyat Indonesia. Negara bukanlah suatu tempat latihan untuk para caleg tersebut ketika sudah
terpilih, karena negara ini sudah memiliki permasalahan yang kompleks sehingga tentu saja
dibutuhkan anggota-anggota legislatif yang cakap untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Selain kegagalan kaderisasi anggota partai terdapat alasan lain, yaitu sikap pragmatis
ketika partai politik berharap dapat mengumpulkan suara dalam jumlah banyak dengan
menempuh cara termudah. Salah satu fungsi utama partai politik sebagai mesin politik dalam
proses elektoral adalah mobilisasi konstituen dengan membujuk dan meyakinkan pemilih agar
bersedia menyalurkan aspirasi dan memberikan suara ke partai politik bersangkutan atas dasar
visi, agenda, dan program yang cocok dengan aspirasi mereka. Namun, partai politik gagal
menjalankan fungsi elementer ini sehingga mengambil jalan pragmatis dengan merekrut para
artis yang menjadi idola masyarakat.
Kita tak memungkiri, artis nyaleg merupakan hak politik pribadi masing-masing. Meski
begitu, kita pun punya hak untuk mengkritisi penggunaan hak politik tersebut. Hal tersebut
diamini oleh Kalau sejak awal caleg tak punya komitmen kuat bekerja untuk kesejahteraan
rakyat, niscaya takkan membawa kemaslahatan bagi rakyat yang diwakilinya. Contoh kasus yang
masih hangat adalah kasus korupsi yang membelit selebriti Angelina Sondakh alias Angie
menjadi preseden buruk bagi anggota dewan yang mengkhianati amanat rakyat. Semua orang tak
meragukan popularitas Angie, namun tak bisa menjamin kualitasnya untuk mengabdi kepada
rakyat. Bahkan sebaliknya, memanfaatkan popularitas untuk kepentingan pribadi. Diakui,
masyarakat kita makin kritis, sehingga bisa memilih mana caleg yang benar-benar berkualitas

dan mana yang hanya menjual popularitas, atau artis-artis 'petualang' yang mencoba mencari
peruntungan.
Memang antara partai dan artis tersebut adanya simbiosis mutualisme yang saling
menguntungkan satu dengan lainnya. Partai dapat dengan mudah diuntungkan untuk
memperoleh suara banyak melalui caleg artis tersebut. Sebaliknya bagi artis mendapat ruang
bisnis baru yaitu disamping sebagai artis di media juga bisnis yang berhubungan dengan dunia

politik. Namun idealisme ini bisa tergoyahkan ketika berhadapan dengan permainan uang.
Money politiK inilah yang mengotori demokrasi. Ya, praktik politik tercela ini telah mengotori
kehidupan demokrasi di Indonesia. Kita tentu sepakat politikus yang menggunakan segala cara,
termasuk permainan uang, dalam meraih tujuan, bisa digolongkan sebagai “politikus busuk”.
Kita tak sepenuhnya menentang artis nyaleg. Sebab, meski jumlahnya tak banyak, ada artis yang
punya kapasitas dan kualitas membawa perubahan di negeri.
Pada bulan april 2013, media cetak Kedaulatan Rakyat mengadakan survei mengenai
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap artis yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif. Berikut ini, hasil dari survei tersebut 68,5 persen responden tidak percaya artis nyaleg
membawa aspirasi rakyat. Dari 216 responden itu, hanya 11,1 persen yang menjawab artis
mampu membawa aspirasi rakyat, dan sisanya (20,4 persen) menyatakan abstain. Hasil

survei


yang telah digambarkan di atas memperlihatkan bahwa tak mudah mempercayakan lembaga
legislatif di tangan artis. Banyak faktor jadi penyebab, misalnya gaya hidup artis yang glamor,
kehidupan rumah tangga artis yang berantakan, lebih mementingkan keartisan atau popularitas
pribadi ketimbang rakyat serta kapasitas yang belum teruji. Kita memang harus fair menilai
fenomena artis nyaleg. Pepatah bijak jangan memilih kucing dalam karung, kiranya tepat
diterapkan. Janganlah berspekulasi memilih wakil rakyat kalau belum tahu kapasitasnya.
. Sebenarnya alangkah lebih baiknya lagi kalau artis yang mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif hendaknya terlebuh dahulu mencari nama di mata masyarakat. Memang artisartis tersebut sudah memiliki nama di dunia ke artisannya, tetapi untuk dapat mewakili suara
rakyat diperlukan adanya wujud nyata kepada masyarakat. Sangat baik, bila sebelum
mencalonkan diri mereka terlebih dahulu memberikan prestasi melalui kontribusi membangun
daerah mereka minimal di daerah pemilihan mereka. Banyak cara sebenarnya jika artis-artis
tersebut itu ingin berkontribusi, salah satu contohnya adalah jadilah artis yang dikenal dengan
karyanya bukan karena sensasinya. Sebagai gambaran saja banyak sebenarnya seniman-seniman
yang memperkenalkan budaya daerah mereka untuk ditampilkan pada skala nasional dan
internasional. Hal itu sebenarnya sangat sederhana, tetapi efeknya bisa dirasakan oleh
masyarakat. Tetapi yang sangat disayangkan kontribusi yang mereka lakukan hanya sebatas
kegiatan-kegiatan seremonial saja dan hanya dilakukan mendekati pemilihan umum tersebut
saja.


Tentunya bukan perkara mudah untuk memenangkan artis tersebut dalam pencalonannya,
maka diperlukannya strategi-strategi khusus yang dilakukan partai-partai politik tersebut. Dalam
tulisan ini saya mengangkat dua strategi yang dilakukan partai politik untuk menenangkan caleg
arti tersebut, yaitu : iklan politik dan konsep dramaturgi yang disematkan oleh artis. Untuk
menciptakan kesan yang baik pada diri caleg artis tersebut, maka diperlukannya sebuah iklan
politik yang semakin menunjang mereka agar citra diri caleg tersebut semakin baik. Iklan politik
merupakan suatu bentuk pemasaran politik, yang biasanya disajikan secara berulang-ulang, akan
dapat menarik perhatian orang. Menurut Jalaludin Rakmat, apabila suatu hal disajikan secara
berulang-ulang akan dapat menarik perhatian dan akhirnya mempengaruhi bawah sadar
seseorang. Selain itu, Wells, Burnett & Moriarty (2000) menyatakan bahwa seseorang butuh
untuk mendengar atau melihat sesuatu minimal tiga kali sebelum hal yang didengar atau dilihat
menempel dalam memori seseorang. Informasi yang berasal dari terpaan iklan dan perasaanperasaan yang terbentuk daripadanya dapat mempengaruhi sikap terhadap obyek iklan dan
akhirnya dapat mempengaruhi tindakan khalayak.
Terkait penggunaaan iklan politik peneliti memiliki data biaya iklan politik, data AC
Nielsen menunjukkan bahwa belanja iklan 41 partai politik pada Pemilu tahun 1999 mencapai
Rp. 35,6 milyar dengan total dana kampanye partai politik dalam Pemilu tahun 1999 berdasarkan
iklan yang ditayangkan dari 10 partai politik yang paling besar mengalokasikan dana adalah
Rp.34,0 milyar. Sedangkan pada Pemilu 2004, penggunaan strategi periklanan dalam kampanye
politik makin semarak. Belanja iklan nasional partai politik mengalami peningkatan yang
signifikan. hasil riset Nielsen Media Research (NMR) periode Maret 2004 menunjukkan bahwa

total belanja iklan partai politik mencapai Rp. 112,2 milyar. Untuk Pemilu tahun 2009, total
belanja iklan partai politik peserta Pemilu diperkirakan naik menjadi sekitar Rp 2 triliun.
Semakin ketatnya aturan bagi partai politik yaitu dengan adanya aturan parliamentary threshold
dan electoral threshold berdasarkan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 202
ayat 1, diyakini semakin membuat belanja iklan partai politik melonjak tajam.
Dengan iklan mereka tak hanya dapat melakukan perjumpaan dengan rakyat Indonesia
yang terlampau banyak itu, namun dengan iklan mereka mampu memanipulasi diri agar tampak
baik dan mengagumkan. Agaknya sebab itu pula, dalam penampilan mereka di iklan-iklan, para
politisi itu tak menjual programnya, tapi bagaimana menampilakan citra yang baik, dalam durasi
beberapa menit. Pesan-pesan politiknya dibuat sesingkat mungkin, supaya dapat mempengaruhi

kesadaran para pemilih yang mengambil kesimpulan berdasar low information rationality.
Sementara itu, terkait dengan kebijakan sebagian partai politik yang menetapkan calon legislatif
dari kalangan artis, banyak yang meyakini bahwa hal tersebut adalah upaya partai politik
memanfaatkan popularitas yang bersangkutan untuk mendongkrak perolehan suara partai
tersebut. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa suara terbanyak menjadi dasar
penetapan anggota legislatif, maka tak ayal lagi kalau popularitas dari calon yang diusung
merupakan salah satu modal terbesar untuk meraup suara.
Strategi khusus yang kedua adalah strategi yang dibalut dengan konsep dramaturgi.
Menarik, jika kita amati bahwa strategi tersebut sering dibalut dengan konsep dramaturgi dari

artis tersebut. Dimana artis tersebut sangat piawai memainkan perannya sebagai calon legislatif
sehingga dapat meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka. Dalam tulisan ini, saya akan
mengkaitkan fenomena pencalegan artis dengan konsep pendekatan dramaturgi yang dibahas
oleh Erving Goffman. Mengapa penulis memilih pendekatan dramaturgi Erving Goffman karena
pendekatan ini menggambarkan bagaimana seseorang memainkan peran sosialnya sehingga
menimbulkan citra diri yang dipengaruhi oleh lingkungan luar.
Sebelum terlampau jauh untuk mengetahui apa yang dinamakan konsep dramaturgi,
alangkah lebih baiknya kita membahas mengenai sejarahnya terlebih dahulu. Konsep dramaturgi
dimulai pada tahun 1945 oleh pria bernama Kenneth Duva Burke (Mei 5, 1897 – November 19,
1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai
metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan
kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami
motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox,
2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model
pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa “hidup bukan seperti drama, tapi
hidup itu sendiri adalah drama”. 1959: The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan
teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog
interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya
dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu
sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami

fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas
panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga
penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur
cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater
namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi
dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang
filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih
dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan
penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah
komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani
pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga
Aristoteles menyanjung Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat
diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi,
namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari
segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan
cerita.
Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman
mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan
dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The
Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi

yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita
sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain
dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang

berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman
mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi
kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah
penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat
aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin
mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat
dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi
sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia
berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai
tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis,
yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga
dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau.

Perlu diingat, dramatugis mempelajari

konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil
dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada
“kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari
maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu
kepada tercapainya kesepakatan tersebut.

Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam

kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah
mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosoksosok tertentu.
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan
merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri.
Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah

dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi
sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk
menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan
dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia
akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya
pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata
(dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang
baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan
diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada
perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang
panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton
(yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha
untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita.
Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama
yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back
stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada

penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana
yang harus kita bawakan
Menurut Goffman, Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.
Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah
aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain

melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya
tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus
mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting,
kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan
untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai
tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman
juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front
stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage
adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan.
Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami
tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan
untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management
diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan
kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan
plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.

Konsep yang dikemukakan oleh Erving Goffman ini sebenarnya hampir sama dengan
konsep diri yang dikemukakan oleh Herbert Mead. Meskipun hampir sama, tetap saja ada
perbedaannya. Jika Mead menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, sedangkan menurut
Goffman bukan seperti itu. Bagi Goffman, individu tidak sekadar mengambil peran orang lain,
melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut. Kontras dengan
konsep diri dari Mead, yang stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat
berdasarkan basis jangka panjang, diri dari Goffman jelas bersifat temporer dalam arti bahwa
diri tersebut berjangka pendek, bermain peran karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial

yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat langsung dalam episode-episode pendek.

Orang lain dalam interaksi itulah yang turut mengisi dan terkadang membentuk gambaran
diri melalui perlakuan mereka terhadap individu. Bila kita kaitkan dengan fenomena pencalegan
artis dimana kita bisa melihat bagaimana artis-artis tersebut berlomba-lomba untuk menarik
simpati kepada masyarakat dengan cara merubah tampilan atau cara bertutur kata mereka. Hal itu
sangat sesuai dengan konsep diri yang di bahas Erving Goffman. Karena dengan cara mereka
sering berinteraksi dengan masyarakat, maka masyarakat akan simpati terhadap mereka dan hal
itu tentu saja akan berpengaruh pada sikap masyarakat untuk memilih mereka sebagai anggota
legislative dan menimbulkan citra yang positif. Membangun citra diri yang positif dimata
masyarakat dengan investasi pencitraan sedini mungkin layak dipertimbangkan setiap bakal
calon anggota legislatif sebelum mereka memutuskan ikut berkompetisi di pemilu agar nantinya
tidak membuang-buang duit saat kampanye nanti.
Untuk membangun citra bukanlah hal yang mudah membutuhkan proses lama agar dapat
dikenal masyarakat. Agar dapat dipilih masyarakat bukanlah sekedar jualan pada saat kampanye
saja karena waktunya hanya sebentar, paling penting disini bagaimana membangun citra yang
positif di mata masyarakat. Mengingat pentingnya untuk menjaga citra tersebut, karena bisa saja
citra yang sudah dibangun dengan susah payah, dalam sekejap hancur karena kelakuan kita
sendiri. Hal tersebut seperti, cerai akibat selingkuh atau kedapatan di kamar hotel merupakan
salah satu contoh yang membuat citra positif yang sudah capek-capek dibangun hancur
berantakan. Oleh karena itu pembangunan citra diri melalui interaksi dengan lingkungan sekitar
hendaknya dibangun serta dijaga dengan baik oleh para calon legislatif tersebut dari kalangan
artis
Bagi Goffman, diri bukanlah sesuatu yang dimiliki individu, melainkan yang
dipinjamkan orang lain kepadanya. Pandangan Goffman terhadap realitas kehidupan manusia
jelas menunjukkan kedekatannya dengan interaksionisme simbolik mazhab Chicago daripada
mazhab Iowa. Presentasi diri, seperti yang ditunjukkan Goffman bertujuan memproduksi definisi
situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam
interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Dalam perspektif
dramaturgi, Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin
menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai
pengelolaan kesan (impression management), yakni teknik-teknik yang digunakan oleh caleg

dari kalangan artis khususnya pada tulisan ini untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Goffman, untuk mencapai tujuan tertentu, maka seseorang akan menampilkan
beberapa hal untuk menampilkan dirinya, seperti : cara berpakaian, tempat tinggal, cara berjalan,
cara berbicara, dan hal lainnya yang berhubungan dengan penampilan diri.

Contoh cara

berpakaian bisa kita lihat dari contoh yang nyata yaitu, belum lama ini Angel Lelga caleg wanita
dari partai PKB ini merubah cara berpakaiannya sekarang ia menggunakan hijab. Terdapat suara
sumbang mengenai perubahan cara berpakaian tersebut, ada yang berkomentar kalau apa yang
dilakukan oleh Angel Lelga tersebut adalah sebuah pencitraan belaka agar masyarakat simpatik
untuk memilih dia. Tetapi terlepas dari masalah pencitraan atau tidaknya bila kita kaitkan dengan
konsep dramaturgi ini, apa yang dilakukan oleh Angel Lelga ini bisa dikatakan sebagai sarana
untuk menampilkan dirinya dengan kesan yang positif. Karena kita lihat anggapan masyarakat
bila wanita yang berhijab memiliki kepribadian serta ketaatan pada agama yang baik.
Selain itu ada contoh lagi yang menggambarkan pemakaian konsep dramaturgi dalam
kegiatan kampanye. Seperti, konsep dramaturgi diatas sangat cocok untuk mencitrakan Indonesia
pada saat ini tepatnya setelah selesainya pemilu legislatif dan menjelang berlangsungnya pemilu
presiden pada juni mendatang atau lebih tepatnya ketika bangsa ini sedang berada pada masa
kampanye. Fenomena permainan peran di musim kampanye bergulir kian kencang sejak Jusuf
Kalla (JK) dan Partai Golkar melakukan serangkaian manuver. Sebuah pola bermain drama yang
mencoba memalingkan perhatian khalayak pada sosok JK dan partai beringin sebagai
representasi “kekuatan penting” yang siap menggandeng atau digandeng oleh kekuatan politik
mana pun. Kita masih ingat di Pemilu 1999, Golkar babak belur di serang habis-habisan oleh
berbagai pihak. Tak lama berselang, Golkar pun kembali ke jalur kemenangan di Pemilu 2004
dan bisa jadi akan kian kokoh di Pemilu kali ini. Terutama, jika pola bermain “dari kaki ke kaki
“yang diterapkan JK tak mampu dibaca dan dihentikan oleh kekuatan politik lain. Inilah yang
menurut kami contoh paling menarik dan paling aktual dari sebuah peran di panggung depan
(front stage) pentas drama politik kita. Sebuah ranah bermain peran yang menuntut aktor
melakukan serangkaian tindakan yang telah diskenariokan. Artinya, tindakan yang telah diatur
guna memalingkan perhatian khalayak akan peran yang sedang dipentaskan. Berbeda dengan
back stage yang memungkinkan orang bebas dan semaunya berbuat, panggung depan menuntut
konsistensi dan penghayatan yang terukur serta matang.

Beda lagi dengan apa yang dilakukan oleh Fauzi Bowo atau yang di akarab disapa Foke.
perubahan karakter Foke yang sebelumnya ceplas-ceplos, emosional, terkesan arogan, elitis, dan
kawan-kawan. Justru di pilgub kali inilah karakteristik Foke mengalami perubahan yang sangat
drastis 180 derajat yaitu sosok Foke yang terlihat kalem, sabar, santun, dan sifat-sifat baik yang
selama ini kesannya jauh dari seorang Foke. Perubahan ini memang belum bisa
memenangkannya namun jika dianalisis perubahan-perubahan karakter ini sangat menarik untuk
dicermati karena kebanyakan para kandidat pemimpin di Indonesia dan mungkin di dunia ketika
membutuhkan dukungan dari rakyat terutama ketika pemilu seolah-olah mereka menjadi pribadi
yang sangat baik dan dekat dengan rakyat bahkan bisa dikatakan pada waktu kampanye mereka
bisa berubah bagaikan seorang malaikat yang mendengarkan keluh kesah masyarakat dan begitu
banyak mengumbar janji-janji manis pada masyarakat. Mungkin inilah yang disebut konsep
dramaturgi Erving Gofmann yaitu antara front stage dan Back Stage bisa selaras dan bahkan
justru keduanya saling bertolak belakang.
Perlu dicermati, semenjak pilgub DKI Jakarta berakhir dan menghasilkan sosok JokowiAhok sebagai pemenang. Pemberitaan mengenai Foke di media massa, baik cetak, televisi
maupun online justru semakin banyak dan semakin membawa simpati dan pencitraan yang baik
bagi Foke. Bahkan beberapa komentar dari tokoh-tokoh elit dan masyarakat menyebutkan bahwa
Foke adalah sosok yang Gentlemen dan Negarawan. Hal ini muncul karena sikap Foke yang
secara legowo menerima hasil keputusan KPUD DKI Jakarta yang memutuskan bahwa Foke
kalah dalam pilgub DKI Jakarta. Padahal kebanyakan fenomena yang berkembang di berbagai
daerah Indonesia adalah setelah pilkada berakhir selalu muncul gugatan-gugatan ke MK ataupun
lembaga hukum lainnya. Namun hal yang berbeda justru terjadi pada Foke, ia justru secara
gentleman mengucapkan selamat kepada Jokowi bahkan Foke mau membantu Jokowi untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di Ibukota ini.
Fenomena ini tak pelak menimbulkan kegemparan di masyarakat dan dunia pers maka
tak mengherankan nama Foke-pun sempat menjadi headline news di beberapa media massa.
Sebenarnya jika fenomena ini dianalisis dengan pendekatan yang berbeda. Bisa jadi ini bukan
murni dari hati Foke dan bisa jadi merupakan bentuk strategi Foke atau bahkan partai di mana
Foke bernaung (Partai Demokrat) untuk membentuk dan mengubah citra Foke di publik.
Memang langkah Foke tersebut terbukti lumayan ampuh dan berhasil untuk membentuk opini
publik mengenai citra Foke yang saat ini identik dengan sosok yang Gentleman dan Negarawan.

Padahal sebelumnya ketika Foke menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sosok Foke identik
dengan sosok yang Arogan dan bahkan sering terlibat konfrontasi dengan media massa.
Perubahan citra Foke ini tak pelak bisa dikaitkan dengan bursa Capres dan Cawapres RI
2014 nanti, walaupun analisis ini terkesan mengada-ada namun sebenarnya beberapa kabar sudah
beredar mengenai isu tentang kursi cawapres bisa jadi merupakan target dari Foke selanjutnya.
Hal ini bisa saja terealisasi, karena toh! Berdasarkan hasil survei berbagai lembaga survei di
Indonesia menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih kebingungan dan belum menemukan
sosok yang tepat untuk mengisi kursi presiden dan wakil presiden. Bisa jadi langkah yang
dilakukan Foke sekarang ini yang dengan mudah ‘mengikhlaskan’ kursi gubernur DKI Jakarta
merupakan bentuk strategi dari Foke untuk mendapatkan posisi yang lebih prestise dari jabatan
gubernur DKI Jakarta. Jika dihitung-hitung posisi wakil presiden merupakan posisi yang sangat
mungkin untuk Foke dapatkan. Karena untuk jabatan presiden rasa-rasanya masih sulit untuk
Foke raih apalagi Foke saat ini bernaung di Partai Demokrat yang notabene tidak menyinggung
nama Foke untuk calon presiden selanjutnya. Namun dunia politik adalah dunia yang dapat
begitu gampang berubah dan sangat mungkin menimbulkan kejutan-kejutan yang tak diduga.
Mungkin saja jika citra dan dukungan bagi Foke terus meningkat di Masyarakat maka tak
mustahil Foke akan dijadikan calon presiden atau calon wakil presiden nanti.
Manusia pada dasarnya merupakan seorang aktor kehidupan dalam menjalani peran
kesehariannya. Mereka selalu bergerak aktif dan dinamis dalam polarisasi ruang hidupnya.
Seperti yang dikatakan seorang sosiolog asal Kanada, Erving Goffman: kehidupan sebenarnya
adalah laksana panggung sandiwara, dan disana memang kita pamerkan serta kita sajikan
kehidupan kita, dan memang itulah seluruh waktu yang kita miliki. Dalam perspektif dramaturgi,
kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi wilayah depan (front region) dan wilayah belakang
(back region). Wilayah depan merujuk pada peristiwa sosial yang memungkinkan individu
bergaya atau menampilkan peran formalnya. Sedangkan wilayah belakang merujuk kepada
tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front)
dan setting, yakni situasi fisik yang harus ketika aktor harus melakukan petunjukkan. Tanpa
setting aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukkan. Front pribadi terdiri dari alat-alat

yang dianggap oleh khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting.
Contohnya, seorang caleg menggunakan kemeja atau jas dalam kampanyenya serta

menggunakan bahasa yang sopan dan mengatur intonasi suara. sehingga dapat meyakinkan
masyarakat melalui penampilannya tersebut. Bukan hanya sebatas itu saja, personal front ini
mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, misalnya berbicara sopan,
pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan
usia, ciri-ciri fisik, dan sebagainya. Hal ini banyak kita jumpai bagaimana ketika si artis
melakukan perubahan dengan gaya berbicara. Mereka berbicara dengan intonasi yang pelan dan
mendadak menjadi sopan dalam pemilihan kata.
Kontras dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan pembicaraan
dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentar-komentar yang terbuka,
merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, dan masih banyak hal lainnya. Panggung
belakang biasanya berbeda dengan panggung depan, tetapi tersembunyi dari pandangan
khalayak. Memang pepatah inggris menyebutkan don’t judge the book from the cover ada
benaranya kita janganlah tertipu oleh apa yang ditunjukkan di depannya, karena bisa saja yang
dilihatkan di depan sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi dibelakang.
Goffman, mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir structural dalam arti
bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan kelompok atau
organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga
tempat ia bernaung. Artinya, panggung depan dipilih alih-alih diciptakan. Ia berpendapat bahwa
karena umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam
pertunjukkan mereka di panggung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan
hal-hal tertentu dalam pertunjukkan mereka.
Penjelasan lebih konkrit ini dapat dijelaskan dalam lima cara. Pertama, seorang caleg
mungkin ingin menyembunyikan kesenagan-kesenangan yang tersebunyi, seperti kawin cerai
atau kehidupan masa lalu. Kedua, seorang caleg mungkin ingin menyembunyikan kesalahan
yang dibuat saat persiapan pertunjukkan, juga langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki
kesalahan tersebut Ketiga, seorang mungkin merasa perlu menunjukkan hasil akhir dan
menyembunyikannya prosesnya. Banyak caleg disini yang baru di briefing oleh partai politik
yang mengusungnya mengenai permasalahan yang terjadi di daerah tempat mereka kampanye.
Tetapi apakah cukup di briefing dengan cara yang instan mererka mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada. Keempat, banyak caleg yang menggunakan cara-cara yang “nakal” agar

memuluskan mereka untuk terpilih menjadi anggota legislative. Kelima, seorang caleg terkadang
harus mengabaikan standar lain
Aspek lain dalam konsep dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor atau caleg
dalam konteks ini sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan yang
khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya.
Contohnya sekarang lagi musim sekali istilah “blusukan” yang dipopulerkan oleh Gubernu
Jakarta Jokowi, kita bisa lihat bagaimana cara tersebut juga dicontoh oleh para caleg artis dengan
mengunjungi daerah-daerah kecil kemudian menawarkan janji-janji untuk memberikan bantuan
atau menyelesaikan masalah yang ada. Padahal kenyataannya banyak juga yang berawal pada
janji dan berujung pada omong kosong belaka.
Drama politik pasca pemilihan legislatif belumlah berakhir bahkan hal tersebut adalah
awal pertunjukan untuk menuju ke pentas drama yang sesungguhnya. Prosesi menuju Pilpres
pada bulan Juli mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus
memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan
para elit. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan lobi politik dengan
mengembangkan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elit hingga menembus jauh ke
simpul-simpul. Dramaturgi melihat fenomena diatas manipulasi penonton semata dimana Bila
seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin
diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk
mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari
komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam
komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal
dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan
kita.
Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana
kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat,
dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan
untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi
antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada
tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang
dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Maka dari itu konsep ini berpandangan

bahwa untuk melihat seorang aktor maka penonton tidak hanya melihat sang aktor dalam front
stage semata, namun penonton juga harus melihat bagaiman sang aktor meaminkan perannya
didalam back stage agar penonton tidak salh dalm melihat sang aktor.
Ada beberapa tahapa jika kita mau mengkolaborasikan antara kampanye politik yang
efektif dengan konsep dramaturgi tersebut. Berikut ini tahapannya :
1 Image Buikdins (membangun citra)
Menciptakan identitas atau image dari politisi merupakan unsur yang sangat penting dari
kampanye politik dimana image ini nantinnya akan membuat dia lebih "terlihat" atau lebih
diperhatikan di publik. Munculnya sosial media juga membawa perubahan bagi para politisi
tentang bagaimana harus berkomunikasi dengan publik. Untuk mengambil hati dan pikiran
masyarakat/voters, setiap politisi harus mengadopsi pendekatan yang lebih personal. Dimana
cara berkomunikasi yang digunakan adalah komunikasi yang menyoroti kondisi masyarakat
dan komunikasi yang bertujuan untuk mengembangkan personal image yang menarik bagi
masyarakat.
2 Komunikasi internal
Komunikasi yang baik dalam partai adalah faktor yang penting yang bisa mempengaruhi
jumlah suara pemilu. Komunikasi yang buruk antar anggota partai dapat membahayakan
kredibilitas partai dan menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap partai tersebut.
3 Message management
Pesan kampanye harus berkaitan dengan harapan rakyat untuk kehidupan yang lebih baik di
masa depan. Contohnya : Obama dengan slogan "Yes We Can" dan poster kampanye yang
memiliki

unsur

gagasan

perdamaian

berhubungan

dengan

pemilih

membutuhkan

perubahan.Pesan dari kampanye nya juga dirancang untuk menarik hati para pemilih yang
masih tidak tahu akan memilih siapa, untuk memilih Obama sehingga bisa menambah jumlah
suara Obama.
4 Community engagement
Efek yang istimewa dan luar biasa dari sebuah kampanye adalah penggunaan sosial media.
Sosial media platform yang digunakan tidak hanya untuk mengkomunikasikan pesan, tapi
untuk menghubungkan para voters satu sama lain sehingga bisa membantu mereka
mengorganisir saat diadakan aksi lokal di dalam suatu komunitas – komunitas yang ada.

Disini

melalui sosial media kita mampu untuk mengukur bagaimana efektifnya konsep

dramaturgi yang dipakai.
5 Information and media management

Media di era sekarang, sulit rasanya untuk mengendalikan pesan, tetapi di sisi lain teknologi
yang ada sekarang membuat kita semakin mudah untuk tetap terhubung dengan komunitas
online para praktisi PR sehingga dapat memberikan kekuatan untuk membangun hubungan
yang solid dengan para voters dan tentunya dapat terhubung langsung dengan voters pada
tingkat yang lebih personal.
Sebenarnya jika kita mengabungkan antara konsep dramaturgi yang dikemukakan oleh
Erving Goffman dengan konsep pencitraan yang dibalut oleh strategi kampanye yang baik oleh
bakal calon kepala daerah atau anggota legislatif. Lebih sempurna lagi jika pengkaderan anggota
partai yang merupakan tanggung jawab dari partai politik hendaknya lebih diperhatikan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 1999
Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.
1996.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT DIAN RAKYAT. 2002.
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi; Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjadjaran.

Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi; Meneropong Politik dan Budaya
Komunikasi Masyarakat Kontemporer . Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_____________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya . Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy., dkk. 2006. Jurnal Komunikasi dan Informasi; Dunia Komunikasi Dunia Kita;
Edisi Khusus. Jatinangor: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

Morissan, Z. 1990. Jurnalistik Televisi Mutakhir . Tangerang : Ramdina Prakarsa. 2005.
Nimmo, D. 2001. Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Rachbini, D.J. 2006. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Bogor : Ghalia Indonesia
Rahman, H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia . Jakarta : Graha Ilmu
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi; Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo. 1992.