Fenomena Golongan Putih di Kalangan masyarakat.

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

FENOMENA GOLONGAN PUTIH DI KALANGAN MASYARAKAT

(Studi Deskriptif di Kota Medan)

SKRIPSI

Disusun Oleh: IRENE BUTAR-BUTAR

050901053

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan

2009


(2)

ABSTRAK

Fenomena adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa, akan tetapi nyata ada terjadi. Golongan putih adalah orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum. Golongan putih atau disebut juga ‘No Voting

Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang

menggunakan sistem pemilihan langsung “direct voting”. Para pemilih dikatakan golput atau ‘No Voting Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara.

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Berifat deskriptif yaitu memberi gambaran atas apa yang dilihat dari situasi, kejadian dan perilaku. Lokasi penelitian berada di kota Medan dengan unit analisis adalah masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum yaitu orang-orang berwarganegara Indonesia yang berusia 17 tahun keatas dan mempunyai kartu tanda penduduk.

Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada informan diketahui ada 3 alasan mengapa warganegara tidak menggunakan hak pilih suaranya yaitu: pertama, karena alasan politis yaitu menganggap pemilihan umum tidak ada gunanya dalam meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat melihat fakta yang ada sekarang ini semakin meningkatnya penggangguran dan masih banyak masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan. Realita ini membuat masyarakat bersikap apatis, cuek dan tidak peduli karena berkaitan dengan kinerja partai politik dan juga pemerintahan sendiri yang dianggap tidak mampu membuat perubahan sebagaimana yang dijanjikan ketika kampaye. Dengan realita yang ada saat ini pemilih cenderung rasional dalam menentukan pilihannya dengan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang di dapat dari pemerintah.

Prilaku sosial adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannnya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Salah satu perilaku politik masyarakat dapat dilihat dari keikutsertaan atau partisipasi dalam pemilihan umum. Rasionalitas terhadap fakta yang ada membuat pemilih memilih sikap atau tindakan yang akan mereka pilih. Kedua, alasan administratif dan sosialisasi yang kurang. Alasan administratif, seperti tidak mendapat surat undangan, atau belum mendapat kartu pemilih. Alasan ini berkaitan dengan kinerja KPU dan pihak yang berkaitan sebagai penyelenggara pemilihan umum termasuk partai politik, sedangkan alasan kurangnya sosialisasi yang menyebabkan calon pemilih tidak mengetahui jadwal, teknis memilih, dan calon wakil rakyat yang akan dipilih. Ketiga, alasan individual, seperti sedang bekerja, ada keperluan pribadi disaat hari pemilihan.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugerah dan kasih setia-Nya yang selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan juga penyusunan skripsi yang berjudul “ Fenomena Golongan di Kalangan masyarakat”. Bukan kuat dan gagah tetapi oleh roh-Nya yang memberi kekuatan dan kemurahan karena Dia adalah Bapa yang sangat baik bagi setiap anak-anak-Nya.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Selama penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran, motivasi, serta dukungan dari berbagai pihak yang telah membantui dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis seperti: Bapak Prof.Dr.Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP USU, Bapak Prof.Dr.Badaruddin,M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi, FISIP USU, Bapak Drs. Junjungan Simanjuntak.M.Si selaku dosen pembimbing penulis terima kasih buat waktu dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi, Ibu Dra.Linda Elida.M.Si selaku dosen wali, Ibu Dra. Rosmiani, MA dan Bapak Drs.Hendri Sitorus.M.Si sebagai penguji sidang saya terima kasih buat masukannya. Kepada seluruh dosen Sosiologi dan dosen FISIP USU yang telah memberikan berbagai materi selama penulis menjalani perkulihan di FISIP USU.


(4)

Secara khusus dan teristimewa untuk kedua orang tuaku yang memberi dukungan moril dan keuangan kepada penulis yaitu W.Butar-Butar dan R.Lumban Tobing. Terima kasih buat cinta dan kasih sayang yang selalu ada untuk penulis Tuhan selalu menyertai dan memberkati kalian berdua. Buat kelima saudaraku Bona Pangihutan Butar-Butar, Ir.Parulian Butar-Butar, Briptu Eben Ezer Butar-Butar, Imanuel Butar-Butar dan Imelda Butar-Butar.S.Sos. terima kasih buat perhatiannya. Buat teman-teman seperjuangan Helna Rismawati.S.Sos, Yenni Suryani.S.Sos, kalian adalah sahabat terbaik bagi penulis terima kasih buat motivasi yang kalian berikan buat penulis Tuhan selalu beri yang terbaik buat kalian berdua dan teman-teman stambuk 2005 Sosiologi Hernita Lumban Gaol dan Verawaty Nababan semangat terus. Serta buat Bapak Maskuri Siregar selaku anggota KPU, Bapak Budi Darmo.SH selaku anggota partai politik, Bapak Gazali Usman selaku kepala bidang politik dalam negeri dan kepada seluruh informan penelitian terima kasih buat saran dan masukannya sehingga penulis dapat menyusun laporan penelitian yang berbentuk skripsi ini.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran serta waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan untuk itu engan segala kerendahan hati sebagai manusia biasa penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari para pembaca. Besar harapan penulisagar skripsi ini dapat memiliki faedah bagi pembaca.

Medan, November 2009


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 8

1.4.Manfaat Penelitian ... 8

1.5.Defenisi Konsep ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Demokrasi di Indonesia... 10

2.2. Fakta Sosial ... 13

2.3. Pilihan Rasional ... 15

2.4. Prilaku Sosial ... 17

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 20

3.2. Lokasi Penelitian ... 21

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 21

3.3.1. Unit Analisis ... 21

3.3.2. Informan ... 21

3.4. Teknik pengumpulan Data ... 22

3.4.1. Data Primer ... 22

3.4.2. Data Sekunder ... 23


(6)

3.6. Jadwal Penelitian ... 24

3.7. Keterbatasan penelitian ... 24

BAB IV. DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Sejarah Singkat Kota Medan ... 25

4.1.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah ... 26

4.1.2. Gambaran Penduduk Kota Medan ... 28

4.2. Profil Informan ... 31

4.3. Sejarah Pemilu di Indonesia ... 43

4.4. Fenomena Golongan Putih ... 46

4.4.1. Fakta Sosial Mempengaruhi Tingkat Partisipasi... 50

4.4.2. Rasionalitas Masyarakat dalam Menentukan Pilihan ... 53

4.4.3. Prilaku Sosial Masyarakat dalam Pemilihan Umum ... 56

4.4.4. Pengaruh Sistem Terhadap Tingkat Golongan Putih ... 62

4.4.4.1. Komisi Pemilihan Umum ... 64

4.4.4.2. Peran Komisi Pemilihan Umum ... 65

BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 74

5.2. Saran ... 75


(7)

LAMPIRAN

- Foto Hasil Penelitian

- Daftar Wawancara ( Masyarakat, Anggota Komisi Pemilihan Umum, Anggota Partai Politik dan Perwakilan dari Pemerintah di Bidang Politik dalam Negeri

- Pengajuan Usulan Judul Proposal Skripsi

- Surat Keputusan Ketua Departemen Sosiologi Fisip USU Tentang

Pengangkatan Dosen Pembimbing Penulisan Proposal Skripsi dan Skripsi - Izin Penelitian ke Pemko Medan

- Surat Keterangan dari Komisi Pemilihan Umum

-DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Kenaikan Angka Golongan Putih dari Tahun 1991-2004 ... 6

Tabel 1.2. Data Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilihan Umum 2004 ... 7

Tabel 4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan ... 27

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2007 ... 28

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2007 ... 29

Tabel 4.4. Jumlah Tempat Ibadah Menurut Kecamatan Tahun 2007 ... 30

Tabel 4.5. Rekapitulasi Perhitungan Hasil Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR ... 49

Tabel 4.6. Garis Kemiskinan Sumatera Utara dan Nasional Tahun 2007-2008 .... 51


(8)

ABSTRAK

Fenomena adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa, akan tetapi nyata ada terjadi. Golongan putih adalah orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum. Golongan putih atau disebut juga ‘No Voting

Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang

menggunakan sistem pemilihan langsung “direct voting”. Para pemilih dikatakan golput atau ‘No Voting Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara.

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Berifat deskriptif yaitu memberi gambaran atas apa yang dilihat dari situasi, kejadian dan perilaku. Lokasi penelitian berada di kota Medan dengan unit analisis adalah masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan umum yaitu orang-orang berwarganegara Indonesia yang berusia 17 tahun keatas dan mempunyai kartu tanda penduduk.

Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada informan diketahui ada 3 alasan mengapa warganegara tidak menggunakan hak pilih suaranya yaitu: pertama, karena alasan politis yaitu menganggap pemilihan umum tidak ada gunanya dalam meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat melihat fakta yang ada sekarang ini semakin meningkatnya penggangguran dan masih banyak masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan. Realita ini membuat masyarakat bersikap apatis, cuek dan tidak peduli karena berkaitan dengan kinerja partai politik dan juga pemerintahan sendiri yang dianggap tidak mampu membuat perubahan sebagaimana yang dijanjikan ketika kampaye. Dengan realita yang ada saat ini pemilih cenderung rasional dalam menentukan pilihannya dengan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang di dapat dari pemerintah.

Prilaku sosial adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannnya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Salah satu perilaku politik masyarakat dapat dilihat dari keikutsertaan atau partisipasi dalam pemilihan umum. Rasionalitas terhadap fakta yang ada membuat pemilih memilih sikap atau tindakan yang akan mereka pilih. Kedua, alasan administratif dan sosialisasi yang kurang. Alasan administratif, seperti tidak mendapat surat undangan, atau belum mendapat kartu pemilih. Alasan ini berkaitan dengan kinerja KPU dan pihak yang berkaitan sebagai penyelenggara pemilihan umum termasuk partai politik, sedangkan alasan kurangnya sosialisasi yang menyebabkan calon pemilih tidak mengetahui jadwal, teknis memilih, dan calon wakil rakyat yang akan dipilih. Ketiga, alasan individual, seperti sedang bekerja, ada keperluan pribadi disaat hari pemilihan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebut yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat.

Pemilihan umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan adanya pemilihan umum maka masyarakat dapat mewujudkan aspirasinya yang disalurkan melalui partai politik. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah: untuk memungkinkan peralihan pemerintahan secara tertib dan aman, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan dalam rangka melaksanakan hak azasi warga negara.


(10)

Dalam pemilihan umum diperlukan partisipasi politik. Dimana pengertian partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalan memilih pemimpin negara dan kebijakan pemerintah. Menurut Mc Closky dalam Sitepu (2006:125) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara untuk mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembuatan kebijakan umum. Akan tetapi dalam konteks pemilihan umum, terdapat sejumlah warga yang memiliki pandangan tersendiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau yang disebut dengan golput. Hal ini menunjukkan tingkat patisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum semakin menurun.

Fenomena adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa akan tetapi nyata ada dan terjadi. Fenomenologi berusaha untuk menyingkapkan fungsi-fungsi laten yang tersembunyi dalam setiap tindakan sosial atau fakta sosial ( Bachtiar, 2006:152 ). Di negara manapun yang menjalankan sistem demokrasi, bahkan di negara yang sudah maju demokrasinya, golongan putih selalu mewarnai pemilihan umum. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat partisipasi pemilih di dalam pemilihan umum hanya pada kisaran 50%. Pada pemilihan presiden 1968, turn out -nya hanya 60,8%. Jumlah ini menurun menjadi 49% pada pemilihan presiden 1996, meningkat sedikit menjadi 50,4% pada 2000, dan kembali naik menjadi 56,2% pada pemilihan presiden di 2004. Golongan putih atau disebut juga ‘No Voting Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi dimana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka dikatakan golongan putih atau ‘No Voting


(11)

tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau ‘No Voting Decision’ tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku. Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih ternyata semakin rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri bilik suara atau tempat pemungutan suara pada waktu yang telah ditentukan (jadwal pencoblosan). Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar sebagai pemilih, akan tetapi dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika hari pelaksanaan pemilihan. Sehingga kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah. Bila jumlahnya yang tidak memilih atau golput terlalu besar, maka akan berpengaruh terhadap legalitas partai ataupun kandidat yang memenangi pemilihan (vote result). Dalam perspektif teori politik, jika tingkat golongan putih melebihi 50% maka derajat legitimasi suatu pemerintahan sangat rendah, dan tidak cukup absah menjalankan roda pemerintahan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi).

Istilah golongan putih atau golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI)


(12)

yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah. Ada perbedaan fenomena golput pada masa politik di orde baru dan masa politik di era reformasi. Di masa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menjunjung asas demokrasi. Pada era reformasi yang lebih demokratis, pengertian golongan putih merupakan bentuk dari fenomena dalam demokrasi

(http://Leo4Kusumalogspot.com/tentang-golput). Menurut Louis De Sipio, Natalie

Masuoka dan Christopher Stout, ada beberapa kategori para pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (non-voters) yaitu:

 Registered Not Voted : kalangan warga negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilihnya.

 Citizen-not Registered : kalangan warga negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih.


(13)

 Non-Citizen : mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.

Menurut Arbi Sanit (1992) mengidentifikasi bahwa golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi (Kompas, pemilih Golput 16

Juli 2004). Menurut hasil riset yang dilakukan oleh Lingkaran Suvey Indonesia (LSI),

diketahui bahwa sebenarnya terdapat paling tidak, tiga alasan bagi seorang pemilih yang akhirnya menyebabkan dia memutuskan untuk tidak mempergunakan hak konstitusionalnya sebagai seorang warga negara dalam berbagai proses eleksi kepemimpinan yaitu: Pertama, alasan administratif, seperti tidak mendapat surat undangan, atau belum kartu pemilih. Kedua, alasan individual atau teknis, seperti sedang bekerja, ada keperluan pribadi disaat hari pemilihan. Ketiga, alasan politis, yakni menganggap Pilkada tidak ada gunanya dalam meningkatkan kehidupan lebih baik (http://www.vickyprimandani.co.cc/).

Pemilu dari tahun ke tahun ditandai semakin meningkatnya golongan putih. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum baik pemilihan kepala daerah dan legislatif semakin menurun secara signifikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:


(14)

Tabel 1.1

Kenaikan angka golongan putih dari tahun 1991 sampai 2004

Tahun Pelaksanaan Pemilu Jumlah Golongan Putih

1991 6,64% 1997 8,40% 1982 8,53% 1987 8,39% 1992 9,09% 1997 9,42% 1999 10,21% 2004 23,3%

Sumber (http//simpang lima.wordpress.com/2008/02/17)

Dari perolehan data diatas jumlah golongan putih setiap tahunnya semakin meningkat. Pada tahun 1991 jumlah golongan putih sebesar 6,64%, tahun 1997 jumlah golongan putih sebesar8,40%, tahun 1982 sebesar 8,53%, tahun 1987 sebesar 8,39%, tahun 1992 sebesar 9,09%, tahun 1997 sebesar 9,42%, tahun 1999 sebesar 10,21% dan tahun 2004 meningkat sampai 23,3%.

Pada pemilihan umum kepala daerah yang dilaksanakan pada tahun 2004 golongan putih semakin terlihat nyata. Seperti di Sumatera Utara jumlah golongan putihnya sebesar 43%, Sumatera Barat 37%, Sumatera Selatan 33%, Jambi 34%, Kep.Riau 46%, DKI Jakarta 39%, Jawa Barat 33%, Jawa Timur 39%, Banten 40%, Sulawesi Selatan 33%, Bali 25% dan Nusa Tenggara Timur 20%.

Begitu juga di Kota Medan, fenomena golongan putih ini terus mengikuti pemilihan umum. Hal ini dapat kita lihat dari tabel hasil pemilihan umum calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tahun 1997 dan tahun 2004


(15)

Tabel 1.2

Data perolehan suara partai politik pada pemilu tahun 2004

Daerah Pemilihan (Dapem) Jumlah pemilih 1997 Jumlah Suara Jumlah Suara yang Tidak Terhitung Jumlah Pemilih 2004 Jumlah Suara Jumlah Suara yang Tidak Terhitung Medan I 256.543 215.758 40.785 300.355 214.275 79.804 Medan II 266.913 208.085 58.828 352.313 230.036 122.277 Medan III 171.019 135.708 35.311 199.875 127.413 72.462 Medan IV 206.829 172.636 34.193 245.001 159.457 85.554 Medan V 201.220 169.022 32.198 287.586 217.389 70.197 Total 1.102.524 901.209 201.315 1.385.140 954.846 430.294 Presentase 100% 90% 10% 100% 69% 31%

Sumber KPU Medan 2009

Dari perolehan data diatas, maka jelas terlihat bahwa angka jumlah pemilih golongan putih semakin meningkat dari tahun 1997 sebesar 10% ke 2004 sebesar 31%. Kenaikan jumlah golongan putih tersebut sebesar 21 %.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menyebabkan terjadinya fenomena golongan putih di kalangan masyarakat khususnya di kota Medan.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah yang menyebabkan terjadinya fenomena golongan putih di kalangan masyarakat khususnya di kota Medan?”


(16)

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan terjadinya fenomena golongan putih di kalangan masyarakat.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai 2 manfaat penting yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Dalam penelitian ini yang menjadi manfaat teoritis adalah: hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah hasil kajian ilmiah yang akurat, sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan akademis dalam bidang pendidikan dan juga kepada instansi pemerintah dalam melihat perkembangan sistem demokrasi di Indonesia.

Sedangkan yang menjadi manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi program sarjana di universitas Sumatera Utara.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran kepada pemerintah dan partai politik agar dapat bekerjasama untuk mencari solusi dalam menekan tingkat golongan putih.


(17)

3. Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa suara mereka sangat penting dalam menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan.

1.5.Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atua lebih yang

menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide atau gagasan (Iqbal Hasan,2002:17). Batasan-batasan konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Fenomena adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa akan tetapi nyata ada dan terjadi. Pada penelitian ini fenomena yang dimaksud adalah adanya suatu individu atau kelompok dalam masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum.

2. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut).

3. Pemilihan umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya.

4. Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya.

5. Golput adalah Orang-orang yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Demokrasi di Indonesia

Definisi demokrasi menurut Murod (1999:59), sebagai suatu “policy” di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai hak yang sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama yang dipeluknya. Demokrasi berasal dari kata dua kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Indonesia menganut sistem demokrasi berdasarkan pancasila yang berdasarkan pada kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, mengandung unsur-unsur kesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. Dalam Batang Tubuh UUD 1945, prinsip-prinsip yang terkandung dalam sistem pemerintahan demokrasi pancasila adalah sebagai berikut:

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum.

Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan


(19)

hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya

2. Indonesia menganut sistem konstitusional.

Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.

Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu: menetapkan UUD, menetapkan GBHN, memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.


(20)

4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.

5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget. Hak DPR di bidang pengawasan meliputi: hak tanya/bertanya kepada pemerintah, hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah, hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah, hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal, dan hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.

6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.

Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden.


(21)

Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil. Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.

7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.

2.2. Fakta Sosial

Paradigma fakta sosial di ambil dari karya Durkheim The Rules of Sociological

Method (1895) dan Suicide (1897). Fakta sosial bersifat eksternal, umum (general),

dan memaksa (coercion). Paradigma fakta sosial memiliki kajian struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial adalah jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi dan terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sedangkan pranata sosial adalah norma atau pola nilai yang mndukung kelompok. Sistem politik merupakan organisasi melalui masyarakat, merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya, sistem politik mempunyai lembaga-lembaga atau struktur-struktur seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, partai-partai politik yang semuanya menjalankan fungsi-fungsinya. Konsep sistem dalam hubungan ini untuk


(22)

memberikan pemahaman bagaimana politik dipengaruhi oleh lingkungannya (masyarakat) dan bagaimana politik mempengaruhi masyarakat.Struktur yang ada dalam sistem politik yaitu kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik, lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif (badan peradilan). Menurut Gabriel.A.Almond partai politik memiliki fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu (1) sebagai media sosialisasi politik yang membentuk nilai-nilai politik yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Sosialisasi politik merupakan proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku. (2) sebagai artikulasi kepentingan yaitu berkaitan erat dengan masalah kepentingan-kepentingan, aspirasi-aspirasi, kehendak yang terdapat dalam masyarakat. Untuk dapat memenuhi kepentingan tersebut, maka diperlukan suatu tindakan berupa yang harus diartikulasikan ( diungkapkan ) kepada badan-badan politik atau pemerintah yang berwenang untuk membuat keputusan. Kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut diartikulasikan atau dikemukakan oleh berbagai macam lembaga, badan atau kelompok dengan berbagai macam cara. (3) sebagai agregasi kepentingan yaitu berfungsi untuk mengubah atau mengkonversikan tuntutan-tuntutan sampai menjadi alternatif-alternatif kebijakan umum. Jadi dengan melalui tahapan-tahapan yang tertentu di dalam sistem politik kepentingan-kepentingan masyarakat yang telah diartikulasikan ditampung dijadikan alternatif-alternatif atau tuntutan tersebut dirumuskan ke dalam sebutan “agregasi kepentingan”.


(23)

Fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan manusia. Tindakan individu merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial, serta bagaimana orang mendefinisikan situasi. Masalah-masalah realita sosial yang ada dapat mempengaruhi seseorang untuk bertindak. Fakta dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang membuat pernyataan benar atau salah. Pemerintah yang menjadi kepercayaan rakyat selama ini, yaitu sebagai amanat rakyat, aspirasi yang berada pada pihak rakyat, dinilai tidak terwujud secara faktual. Kepercayaan yang dibangun oleh pemerintah sendiri, legitimasi yang berusaha digalang dari rakyat berupa janji-janji politik, menjadi suatu kesalahan ketika tidak ditemukan bukti yang mampu mendukungnya sebagai kebenaran. Pemerintah yang mempunyai otoritas dalam pengaturan urusan publik dinilai tidak mampu mewujudkan apa yang sudah mereka tawarkan kepada rakyat sebagai mekanisme penggalangan dukungan rakyat. Selain itu partai politik yang memiliki fungsi Realita yang ada, berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat pada pemilihan umum. Realita tersebut seperti masih banyak masyarakat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan dan juga banyaknya pengangguran yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak kriminalitas sehingga terciptanya rasa tidak aman di kalangan masyarakat.

2.3. Pilihan Rasional

Tahun 1989 Coleman mendirikan jurnal Rationality and society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif rasional. Coleman menerbitkan buku yang berpengaruh “foundationals of society theory”, dimana buku tersebut berdasarkan perspektif purasional. Teori pilihan rasional Coleman adalah tindakan


(24)

perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan. Coleman sangat dipengaruhi Robert K. Merton (teori struktural fungsional modern) dan dipengaruhi juga oleh durkheim (teori struktural fungsional klasik) dalam faktor sosial sebagai penentu pelaku individu. Coleman dalam teori rasionalnya menerangkan dan menganalisa masalah tingkat mikro dan makro maupun peran yang dimainkan oleh faktor tingkat mikro dalam pembentukan fenomena tingkat makro dipengaruhi oleh faktor individual sedangkan tingkat mikro dipengaruhi oleh perilaku kolektif. Coleman menyatakan teori pilihan rasional dapat menjelaskan semua fenomena makro, tidak hanya yang teratur dan stabil saja. Coleman dalam teorinya memusatkan pada sistem sosial yaitu fenomena makro yang dipengaruhi oleh faktor individual. Fenomena golongan putih merupakan pembentukan fenomena tingkat makro dimana fenomena ini sangat dipengaruhi oleh individual yaitu seseorang memilih tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum dengan berbagai alasan dan cenderung rasional dalam menentukan pilihannya yang dipengaruhi dengan realita sosial yang ada saat ini. Para pemilih cenderung rasional di dalam menentukan pilihan-pilihannya dengan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang di dapatnya dari pemerintah. Ada 2 unsur utama dalam teori Coleman yaitu aktor dan sumber daya. Sumber daya sebagai penarik perhatian dan dapat dikontrol oleh aktor. Pemerintah merupakan sumber daya sebagai penarik perhatian yang dapat membuat masyarakat untuk dapat berpartisipasi pada setiap pemilihan umum yang dilaksanakan 5 tahun sekali. Selama masa kepemimimpinan masyarakat sebagai aktor yang mengkontrol baik tidaknya pemerintahan tersebut. Coleman menjelaskan interaksi antara aktor dan sumber daya


(25)

menuju ke tingkat sosial. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkan pada masalah hubungan mikro ke makro atau dapat dikatakan pula bagaimana cara gabungan tindakan individual menimbulkan perilaku sistem sosial. Dalam hubungan masyarakat dengan pemerintah dimana masyarakat sebagai pengontrol jalannya pemerintahan dapat menentukan pilihan melalui pemilihan umum. Pada pemilihan umum masyarakat dapat menentukan pilihan untuk memilih pemimpin yang layak atau tidak untuk memimpin. Coleman juga memperhatikan hubungan mikro ke makro bagaimana cara sistem memaksa orientasi aktor. Hasil akhir pasti perhatiannya dilihat pada aspek hubungan mikro ke makro dampak tindakan individual terhadap tindakan individu lain. Maka dapat dilihat satu kunci gerakan dari mikro ke makro adalah mengakui wewenang dan hak yang dimiliki oleh seorang individu terhadap individu lain. Perilaku kolektif norma dan aktor korporat merupakan pendekatan yang dilakukan Coleman dalam menganalisis fenomena makro. Jadi ketiga-tiganya merupakan bagian fenomena makro.

2.4. Prilaku Sosial

Paradigma prilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara individu dan lingkungannya yang terdiri atas bermacam-macam obyek sosial dan non sosial. Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma prilaku sosial yaitu teori behavior dan teori exchange. Pokok persoalan sosiologi dalam teori behavior (prilaku) ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannnya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. B.F. Skinner


(26)

(1953,1957,1974) membantu fokus prilaku (behavior) melalui percobaan yang dinamakan operant behavior dan reinforcement. Yang dimaksud dengan operant

condition adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara

tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Salah satu perilaku politik masyarakat dapat dilihat dari keikutsertaan atau partisipasi dalam pemilihan umum. Partisipasi politik adalah suatu usaha terorganisasi para warganegara untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum. Partisipasi politik dapat diwujudkan dalam bentuk : dapat berupa pemberian hak suara dalam pemilihan umum, demonstrasi, diskusi politik, kampanye, pemberian usul menyangkut pembuatan keputusan politik, menyusun rancangan kebijakan publik. Partisipasi dapat ditinjau dari 2 tingkat yaitu: tingkat makro dan tingkat mikro. Analisis tingkat makro adalah analisis mencakup unit sosial luas seperti bangsa, sistem politik dan organisasi. Analisis tingkat mikro adalah analisis mencakup individu dan perilakunya. Partisipasi pada dasarnya adalah tindakan politik yang aktif atau menunjuk pada keterlibatan seseorang pada kegiatan politik yang berhubungan dengan banyak faktor ( Rohman, 2002:62-63 ). Menurut Ramlan Surbakti, partisipasi seseorang dalam politik tidak sama. Sebagian memiliki tingkat partisipasi politik tinggi sementara sebagian yang lain memiliki tingkat partisipasi politik rendah.Tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik individu sangat dipengaruhi oleh 2 hal:


(27)

1. Kesadaran politik yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warganegara.

2. Kepercayaan kepada pemerintah atau sistem politik, yaitu penilaian seseorang terhadap pemerintah apakah dianggap dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak.

Jeffry M. Paige26 membagi partisipasi politik menjadi 4 yaitu:

1. Partisipasi politik aktif, apabila seseorang memiliki kesadaran poltik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi.

2. Partisipasi politik apatis, apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang rendah.

3. Partisipasi politik militan-radikal, apabila seseorang memiliki kesadaran politik tinggi akan tetapi kepercayaan kepada pemerintah rendah.

4. Partisipasi politik pasif, apabila seseoran memiliki kesadaran politik rendah akan tetapi kesadaran kepada pemerintah tinggi ( Rohman, 2002:63-64 ).


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud unutk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. (Maleong, 2006)

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan informan dan melakukan studi pada situasi yang alami. Bogdan dan Taylor (Maleong,2007:17) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena ( Prasetyo, 2006:42 ).


(29)

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di kota Medan. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena kota Medan merupakan salah satu daerah yang mempunyai tingkat golongan putih yang tinggi.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Salah satu cara atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut “units of analisis”. Hal ini dimungkinkan, karena setiap objek penelitian memiliki ciri dalam jumlah yang cukup luas seperti karakteristik individu tentunya yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial dan tingkat penghasilan. Ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu individu, kelompok, organisasi, sosial artefak (Danandjaja, 2005:31). Unit analisis data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 199:2). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah orang-orang yang sudah memenuhi syarat untuk memilih yaitu yang berusia 17 tahun keatas.

3.3.2. Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Adapun informan yang menjadi subjek penelitian ini dibedakan atas dua jenis yaitu: informan kunci dan informan biasa yang dapat mendukung penelitian. Yang termasuk kedalam informan kunci dan informan biasa adalah:


(30)

1) Informan Kunci

Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci dalam pengumpulan data adalah orang-orang yang sudah sudah memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilihan umum yaitu yang berusia 17 tahun keatas sebagai warganegara Indonesia.

2) Informan Biasa

Informan biasa adalah informan yang dapat memberikan informasi tambahan. Yang menjadi informan biasa dalam penelitian ini adalah: anggota KPU, partai politik dan pemerintah.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini maka peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut:

3.4.1. Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan cara penelitian lapangan, yaitu:

a) Metode Wawancara

Metode wawancara biasa disebut juga metode interview. Metode wawancara proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka, antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (dept interview).


(31)

Wawancara mendalam (dept interview) adalah proses tanya jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan atau wawancara.

b) Metode Observasi

Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian. Data penelitian tersebut dapat diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapat daya yang mendukung hasil wawancara.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet, yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan informasi yan dibutuhkan dan diharapkan telah terkumpul. Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan diinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam tinjauan pustaka yan telah ditetapkan sampai akhirnya akan disusun sebagai laporan akhir penelitian.


(32)

3.6. Jadwal Penelitian

Jawaban kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan dan Laporan Penelitian

Kegiatan Bln I Bln II Bln III Bln IV Bln V Bln VI Bln VII Bln VIII Bln IX Bln X Pengajuan judul X

Penyusunan

Proposal X X X Seminar

Proposal X

Revisi Proposal X Pengurusan Izin adm.Penelitian ke Lapangan X Membuat

Interview Guide X

Kelapangan

mencari Data X

Penyususnan

Skripsi X X X

Sidang Meja

Hijau X

Revisi Skripsi

X

3.7. Keterbatasan Informan

Keterbatasan dalam penelitian terkait erat dengan instrument wawancara. Dalam hal ini terdapat keraguan akan jawaban yang diberikan informan dan semua jawaban hampir sama , karena apa yang di informasikan tentang situasi, kondisi dan tindakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kendala lain adalah lokasi karena wilayah analisis terlalu besar dan dalam mencari informan harus mewakili masing-masing kecamatan yang ada di kota Medan.


(33)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Sejarah Singkat Kota Medan

Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus pada tahun 1590. Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular. Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan Semenanjung Malaya.

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting. Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua


(34)

Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik. Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

4.1.1. Letak geografis dan Luas Wilayah

Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar ( 265,10 Km2) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak


(35)

pada 2° 27' – 2° 47' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter diatas permukaan laut. Provinsi Sumatera Utara secara administrasi, kota Medan berbatasan dengan: sebelah barat, timur dan selatan dengan Kabupaten Deli Serdang, sedangkan sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka.

Sebagian besar wilayah kota Medan merupakan dataran rendah yang merupakan tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Kota Medan terdiri dari 21 kecamatan yang masing-masing mempunyai luas wilayahnya.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Menurut Kecamatan GF Kecamatan Luas Wilayah Area

(Km2)

% Luas

(1) (2) (3)

001 Medan Tuntungan 20,68 7,80 002 Medan Johor 14,58 5,49 003 Medan Amplas 11,19 4,22 004 Medan Denai 9,05 3,41 005 Medan Area 5,52 2,08 006 Medan Kota 5,57 2,10 007 Medan Maimun 2,98 1,12 008 Medan Polonia 9,01 3,39 009 Medan Baru 5,84 2,20 010 Medan Selayang 12,81 4,83 011 Medan Sunggal 15,44 5,82 012 Medan Helvetia 13,16 4,96 013 Medan Petisah 6,82 2,57 014 Medan Barat 5,33 2,01 015 Medan Timur 7,76 2,92 016 Medan Perjuangan 4,09 1,54 017 Medan Tembung 7,99 3,01 018 Medan Deli 20,84 7,86 019 Medan Labuhan 36,67 13,8 020 Medan Marelan 23,82 8,98 021 Medan Belawan 26,25 9,90

Jumlah 265,10 100,00


(36)

Tabel 4.1. menunjukkan bahwa kota Medan terdiri dari 21 kecamatan yang luas wilayah keseluruhan adalah 265,10 Km2.

4.1.2. Gambaran Penduduk Kota Medan

Gambaran jumlah penduduk menurut kecamatan di kota Medan dapat dilihat pada tabel 4.2. di bawah ini :

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2007 HGF Kecamatan Jumlah Penduduk

(Jiwa)

(1) (2) 001 Medan Tuntungan 68.984

002 Medan Johor 114.143 003 Medan Amplas 113.099 004 Medan Denai 137.443 005 Medan Area 107.300 006 Medan Kota 82.783 007 Medan Maimun 56.821 008 Medan Polonia 52.472 009 Medan Baru 43.419 010 Medan Selayang 84.148 011 Medan Sunggal 108.688 012 Medan Helvetia 142.777 013 Medan Petisah 66.896 014 Medan Barat 77.680 015 Medan Timur 111.839 016 Medan Perjuangan 103.809 017 Medan Tembung 139.256 018 Medan Deli 147.403 019 Medan Labuhan 105.015 020 Medan Marelan 124.369 021 Medan Belawan 94.979

Jumlah 2.083.156


(37)

Tabel 4.2. menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk kota Medan yaitu 2.083.156 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada kecamatan Medan Deli yaitu 147.403 jiwa sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat pada kecamatan Medan Baru yaitu 43.419 jiwa.

Gambaran jumlah penduduk menurut jenis kelamin tahun 2007 dapat dilihat pada tabel 4.3. dibawah ini

Tabel 4.3

Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2007 HGF Kecamatan Laki-laki perempuan

(1) (2) (3)

001 Medan Tuntungan 34.393 34.591 002 Medan Johor 56.983 56.610 003 Medan Amplas 55.199 56.572 004 Medan Denai 69.017 68.673 005 Medan Area 54.087 53.471 006 Medan Kota 41.434 41.548 007 Medan Maimun 23.138 23.819 008 Medan Polonia 25.752 26.282 009 Medan Baru 20.790 22.734 010 Medan Selayang 42.486 41.722 011 Medan Sunggal 54.411 54.538 012 Medan Helvetia 70.847 71.345 013 Medan Petisah 32.733 34.325 014 Medan Barat 34.325 39.039 015 Medan Timur 56.146 55.962 016 Medan Perjuangan 51.408 52.351 017 Medan Tembung 68.560 70.505 018 Medan Deli 71.604 74.109 019 Medan Labuhan 52.207 52. 623 020 Medan Marelan 52 623 52.623 021 Medan Belawan 48.562 46.173 Jumlah 1.034.696 1.048.460

Sumber BPS: Medan Dalam Angka 2008

Tabel 4.3. menunjukkan bahwa jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin di kota Medan terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan yaitu 1.048.460 jiwa sedangkan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 1.034.696 jiwa.


(38)

Tabel 4.4

Jumlah Tempat Ibadah Menurut Kecamatan Tahun 2007

Jenis Tempat Ibadah

Kecamatan Masjid Musholla Gereja Kuil Wihara (1) (2) (3) (4) (5) (6) 001 Medan Tuntungan 34 10 37 0 1 002 Medan Johor 67 6 12 0 11 003 Medan Amplas 56 23 19 1 0 004 Medan Denai 33 33 41 0 2 005 Medan Area 55 61 49 0 24 006 Medan Kota 22 7 30 0 12 007 Medan Maimun 18 39 4 1 5 008 Medan Polonia 9 11 16 1 13 009 Medan Baru 16 29 15 0 0 010 Medan Selayang 31 15 22 0 0 011 Medan Sunggal 52 35 24 1 17 012 Medan Helvetia 62 32 27 1 2 013 Medan Petisah 16 25 18 4 8 014 Medan Barat 25 32 16 1 0 015 Medan Timur 54 0 13 14 15 016 Medan Perjuangan 79 27 23 0 2 017 Medan Tembung 71 11 61 4 2 018 Medan Deli 40 103 12 3 13 019 Medan Labuhan 32 33 27 8 6 020 Medan Marelan 27 52 24 0 3 021 Medan Belawan 27 91 35 0 4 Jumlah 826 675 525 39 140

Sumber : Departemen Agama Kota Medan

Tabel 4.4. menunjukkan bahwa jumlah tempat ibadah menurut kecamatan di kota Medan yang paling banyak adalah masjid yaitu 826 dimana mesjid digunakan oleh penduduk beragama Islam, sedangkan musholla sebanyak 675, gereja sebanyak 525 digunakan oleh penduduk beragama Kristen, kuil sebanyak 39 digunakan oleh penduduk beragama Hindu, dan wihara sebanyak 140 digunakan oleh penduduk beragama Buddha.


(39)

4.2. Profil Informan

Profil informan dalam penelitian ini terdiri dari penduduk yang berusia diatas 17 tahun yang berdomisili di kota Medan dan yang mempunyai kartu tanda penduduk. Selain masyarakat yang termasuk profil informan dalam penelitian ini juga anggota Komisi Pemilihan Umum dan partai politik dan pemerintah yang diwakilkan oleh lembaga Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat dan Politik (Kesbang-Lin-Mas-Pol).

Profil : Penduduk Kota Medan

1. Ir. Irwan Panjaitan (lk,32 thn)

Irwan adalah seorang bapak berusia 32 tahun, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di Medan. Irwan bertempat tinggal di jalan Sempurna kecamatan Medan Denai. Irwan memiliki 1 orang anak perempuan yang berusia 2 tahun. Latar belakang pendidikan Irwan adalah sarjana pertanian alumni Universitas Sumatera Utara. Irwan masuk universitas tersebut tahun 1996 dan lulus mendapat gelar Insinyur pada tahun 2001. Irwan bekerja di salah satu bank swasta yang ada di Medan yaitu bank Danamon. Dalam wawancara, bapak satu anak ini sangat mengenal dan mengetahui perkembangan perpolitikan di negara ini. Bapak ini setuju bahwa angka golongan putih atau orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemiihan umum sudah menjadi suatu fenomena yang dibahas oleh publik


(40)

sekarang. Menurut bapak ini angka golongan putih dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena jika pemerintah tidak memperhatikan hal ini maka tidak kemungkinan nilai demokrasi di negara ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

2. Rajid Sri ( pr, 35 thn )

Rajid Sri adalah seorang perempuan yang belum menikah berusia 35 tahun, beragama Hindu dan suku bangsa India Selatan. Perempuan berketurunan India ini sudah lama menjadi warganegara Indonesia yaitu sejak lahir. Dia beralamat di jalan Sukaramai kecamatan Medan Area. Pendidikan terakhirnya adalah SMA, dia bekerja sebagai wirausaha. Dia merupakan anak ke 4 dari 6 bersaudara. Menurut perempuan keturunan India bahwa fenomena golongan putih ini terjadi karena masyarakat sudah malas untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum karena tidak ada perubahan yang terjadi pada perekonomian rakyat. Tetap saja masih banyak rakyat yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan. Semua janji-janji partai politik tidak ada yang dilaksanakan untuk kepentingan dan membela rakyat kecil

3. Vivi ( pr, 29 tahun )

Dia adalah seorang ibu berusia 29 tahun beragama Islam, suku bangsa Jawa lahir di Pematang Siantar. Setelah menikah ibu ini pindah ke Medan bersama suami karena alasan pekerjaan. Ibu Vivi dianugerahi satu orang anak laki-laki dan dia bertempat tinggal di jalan Jati kecamatan Medan Kota. Ibu Vivi berlatar belakang pendidikan SMA dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Profesinya sebagai ibu


(41)

rumah tangga membuat ibu satu orang anak ini kurang mengerti tentang dunia politik. Ibu ini mengaku sangat kebingungan untuk memilih calon legislatif yang kan menjadi anggota DPR maupun DPRD, karena hal ini maka ibu satu orang anak ini memilih calon legislatif dari fisik dan suku bangsa. Ibu ini juga mengaku tidak mengenal orang-orang yang ada di kertas pemilihan umum. Sistem pemilihan umum yang sangat sulit dan membingungkan seperti ini menjadi alasan yang mendukung masyarakat terutama kaum perempuan seperti ibu vivi yang sangat sedikit pengetahuan politiknya untuk memilih menjadi kelompok golongan putih.

4. Ester ( pr, 42 tahun )

Ester adalah seorang ibu berusia 42 tahun beragama Islam, suku bangsa Batak Toba lahir di Belawan. Suami ibu dari 4 orang anak ini bersuku bangsa Padang dan bekerja sebagai buruh angkat barang di gudang garam, sedangkan Ester bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ester bertempat tinggal di gang enam PJKA kecamatan Medan Belawan I. Ibu empat orang anak ini mengatakan bahwa wajar masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (golput), apalagi pada kelompok masyarakat yang kurang mampu. Menurut ibu ini hasil pemilihan umum tidak ada berpengaruh kepada masyarakat, yang ada hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja sehingga rakyat memilih atau tidak sama saja.


(42)

5. N. Br. Tobing ( pr,52 thn )

N. Br. Tobing ini adalah seorang ibu berusia 52 tahun, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di Belawan. Ibu yang berusia 52 tahun ini memiliki 4 orang anak yaitu 1 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Diantara 4 anaknya, 2 orang yang sudah menikah dan 2 orang lagi belum menikah dan masih bersekolah. Ibu Tobing ini beralamat di Sicanang kecamatan Medan Belawan, berlatar pendidikan SMA. Suami N.br.Tobing bekerja sebagai penjaga gudang, sedangkan dia sendiri bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ibu ini setiap bulannya mendapat kiriman uang dari kedua anaknya yang sudah menikah untuk membantu biaya hidup dan biaya sekolah adik-adiknya. Berbicara mengenai fenomena golongan putih, ibu ini berpendapat bahwa golongan putih itu merupakan sikap protes masyarakat mengenai pemerintahan kita saat ini khususnya pada kesejahteraan rakyat. Salah satunya banyak pengangguran, yang disebabkan tidak adanya lowongan kerja sehingga angka kemiskinan di negara ini semakin meningkat.

6. G. Simamora ( lk, 55 thn )

G. Simamora adalah seorang bapak berusia 55 tahun, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di Belawan. Memiliki 4 orang anak yang terdiri dari 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. G. Simamora berlatar pendidikan SMA, bekerja sebagai pegawai di kapal atau sebagai anak kapal yang berngkat ke Singapura. Dia bertempat tinggal di jalan Sumatera kelurahan Belawan Bahari kecamatan Medan Belawan. Pendapat bapak 4 orang anak ini mengenai


(43)

fenomena golongan putih pada pemilihan umum merupakan bagian dari demokrasi. Demokrasi itu adalah suara rakyat dimana rakyat bebas untuk memilih atau tidak. Pilihan untuk tidak memilih atau menjadi golongan putih mungkin itu keputusan yang terbaik dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.

7. Herlina Napitupulu ( pr, 22 thn )

Herlina adalah seorang karyawati di salah satu kantor notaris yang ada di Medan. Herlina beragama Kristen Protestan suku bangsa Batak Toba lahir di Medan. dia beralamat di jalan Turi kecamatan Medan Kota. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya di alamat tersebut diatas, dan merupakan anak tunggal dari pernikahan orang tuanya. Dia sudah mengikuti pemilihan umum secara langsung sebanyak tiga kali, dan mengaku demokrasi sangat nyata dengan adanya pemilihan umum ( pesta demokrasi ) dimana kita sebagai rakyat dapat memilih pemimpin secara langsung dan mempunyai hak yang sama. Pendapat karyawan notaris ini mengenai fenomena golongan putih merupakan sikap jenuh masyarakat terhadap pemerintahan saat ini, mereka mengganggap siapa saja yang memimpin pasti akan begitu saja tidak ada perubahan yang terjadi. Fenomena golongan putih yang terjadi pada masyarakat saat ini merupakan sikap protes kepada pemerintahan agar terjadi perubahan yang baik pada bangsa ini khususnya kesejahteraan rakyat.


(44)

8. Kristin Odor ( pr, 22 thn )

Kristin adalah seorang ibu yang menikah muda, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di Jakarta. Ibu 1 orang anak ini sudah lama menetap di kota Medan tepatnya di jalan Karya Wisata perumahan Graha Johor Blok C No.17 Kecamatan Medan Johor. Kristin berlatar pendidikan D3, dia seorang ibu rumah tangga. Suami ibu 1 orang anak ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pulau Nias. Selama berpartisipasi dalam pemilihan umum, dia merasa bahwa suaranya sangat berarti untuk menentukan pemimpin di negara ini. Menggunakan suara kita dalam pemilihan umum merupakan kewajiban kita sebagai warganegara yang menetap pada suatu bangsa. Dia berpendapat mengenai orang-orang yang tidak menggunakan suaranya dalam pemilihan umum atau golongan putih merupakan orang-orang yang tidak peduli akan masa depan bangsa ini. Satu suara dapat menentukan kehidupan bangsa selama 5 tahun ke depan. Dalam pemilihan umum kandidat yang mencalonkan diri banyak, sebagai warganegara yang baik kita harus respon kepada calon-calon pemimpin.

9. B. Malau ( lk, 34 thn )

B. Malau adalah seorang bapak berusia 34 tahun, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di Medan. Bapak ini berdomisili tepatnya di jalan Pasar VII Tembung kecamatan Medan Tembung. B. Malau bekerja sebagai pegawai swasta dan belum mempunyai anak dari pernikahannya. Istri B. Malau bekerja sebagai wirausaha kecil-kecilan. Bapak ini membaca dan melihat media massa bahwa


(45)

angka golongan putih semakin bertambah. Menurut bapak ini tingkat partisipasi masyarakat semakin menurun dengan berbagai alasan yang berbeda. Salah satu alasannya, karena saat ini sulit untuk menemukan pemimpin yang benar-benar memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Para pemimpin yang terpilih haruslah benar-benar membela kepentingan rakyat bukan kepentingan kelompok atau pribadi.

10. Masli ( pr, 25 thn )

Masli adalah seorang perempuan berusia 25 tahun, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di P. Siantar dan sudah lama menetap di Medan. Latar belakang pendidikannya S1 dari universitas negeri di Medan.

Status pekerjaan, belum mempunyai pekerjaan dan sedang mencari. Masli yang beralamat di jalan Simalingkar kecamatan Medan Tuntungan mempunyai alasan untuk merantau ke Medan adalah untuk menempuh pendidikan. Dia merantau ke Medan sejak usia 15 tahun. Selain untuk menempuh pendidikan alasan pendukung lain yang membuat perempuan ini merantau ke Medan karena dia mempunyai saudara yaitu kakaknya. Berbicara mengenai fenomena golongan putih, dia berpendapat mengapa tingkat golongan putih semakin meningkat disebabkan masyarakat bingung untuk memilih pemimpin yang begitu banyak seperti pada pemilihan calon legislatif, sedangkan sosialisasinya minim. Tidak mungkin rakyat memilih pemimpin yang tidak dikenal, sehingga membuat masyarakat malas untuk memilih.


(46)

11. Dahlan Butar-Butar ( lk, 60 thn )

Dahlan Butar-Butar adalah seorang bapak berusia 60 tahun, beragama Islam dan suku bangsa Batak Toba lahir di Porsea dan sudah lama menetap di Medan. Bapak ini mempunyai 6 orang anak yaitu 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Dia berlatar belakang pendidikan SMA. Bapak 6 orang anak ini bekerja sebagai pengusaha. Selain sebagai pengusaha, bapak ini juga salah seorang ustad. Dahlan Butar-Butar beralamat di jalan Pasar III P. Bulan kecamatan Medan Baru. Pendapat bapak 6 orang anak ini mengenai fenomena golongan putih adalah orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum berarti bukan seorang warganegara yang baik. Hal ini harus mendapat perhatian yang serius dari setiap pihak yang berkaitan.

12. Verawati ( pr, 17 thn )

Verawati adalah seorang perempuan berusia 17 tahun, beragama Kristen Protestan dan suku bangsa Batak Toba lahir di Medan. Verawati beralamat di jalan Asrama Teladan Sisingamangaraja kecamatan Medan Kota. Latar belakang pendidikannya adalah SMA. Dia mengikuti pemilihan umum secara langsung baru pertama kali di tahun ini. Verawati mengatakan semakin meningkatnya golongan putih khususnya pada pemilihan calon legislatif disebabkan rakyat bingung untuk memilih karena banyaknya calon legislatif yang akan menjadi anggota DPR dan DPRD. Rakyat tidak mengenal calon-calon legislatif yang ada pada kertas suara dikarenakan sosialisasi yang kurang dari pihak yang bersangkutan.


(47)

13. Wilson Hutabarat ( lk,60 thn )

Wilson adalah seorang bapak berusia 60 tahun beragama Kristen Protestan, suku bangsa Batak Toba lahir di Sidikalang. Bapak ini sudah lama menetap di Medan tepatnya di jalan Marindal kecamatan Medan Amplas. Wilson mempunyai 6 orang anak yaitu 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, dimana tiga orang anaknya sudah menikah dan tiga orang lagi belum menikah. Saat ini bapak ini sudah mempunyai 2 orang cucu perempuan. Bapak ini tamatan SMU dan bekerja sebagai wartawan di salah satu surat kabar mingguan yang ada di kota Medan. Profesinya sebagai wartawan yang sangat dekat dengan berita-berita yang berkembang saat ini khususnya berita perpolitikan di bangsa ini. Bapak ini mengatakan selama pemilihan umum, wartawan banyak menyoroti berita mengenai golongan putih yaitu orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya saat pemilihan umum. Berbagai alasan yang menyebabkan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena mereka bosan dengan janji-janji para pemimpin sehingga dipilih atau tidak sama saja. Kebanyakan masyarakat yang sudah tidak peduli dengan pemerintahan saat ini, karena mereka melihat tidak ada perubahan yang terjadi pada bangsa ini. Menurut bapak ini, jka pemerintah dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan pemilihan umum yaitu partai politik, komisi pemilihan umum dan penyelenggara pemilu lainnya tidak memperhatikan hal ini, maka angka golongan putih semakin lama semakin meningkat. Beberapa daerah yang memenangkan pemilihan umum adalah golongan putih, hal ini sangat memprihatinkan karena dalam


(48)

menyelenggarakan pemilihan umum atau pesta demokrasi ini bukanlah dengan biaya sedikit melainkan dengan biaya yang banyak.

Profil : Komisi Pemilihan Umum

1. Maskuri Siregar ( lk, 51 thn )

Maskuri Siregar adalah laki-laki berusia 51 tahun beragama Islam suku bangsa Batak Toba. Pendidikan terakhir Maskuri adalah sarjana, telah menikah dan mempunyai 3 orang anak. Bapak ini bekerja sebagai anggota KPU tepatnya di bagian hukum dan humas. Fenomena golongan putih terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu: pertama, orang-orang memilih untuk golongan putih karena apatis, cuek dan tidak peduli siapa pun yang akan menjadi pemimpin sama saja. Kedua, golongan putih karena lokasi atau domisili, pekerjaan dan mahasiswa. Ketiga, golongan putih karena administrasi atau pendataan yang rangkap. Hal ini disebabkan penduduk yang sudah pindah tidak mengurus surat pindah sehingga namanya tetap ada di daftar pemilihan tetap di daerah yang lama dan dia juga terdaftar pada pemilihan tetap di daerah yang baru. Keempat, golongan putih karena anggota TNI dan POLRI senhingga mereka tidak mempunyai hak pilih suara. Hal diatas harus perlu diperhatikan oleh semua pihak yang berkaitan. Semua pihak harus bekerja sama dalam menekan tingkat golongan putih tersebut. Mulai dari penyelenggara yaitu kpu, ppk, pps, kpps, ppdp, peserta pemilihan umum dan peranan pemerintah dan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh agama.


(49)

Profil : Partai Politik

1. Budi Darmo. SH ( lk, 35 thn )

Budi darmo adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun, beragama Islam Jawa. Dia beralamat di Helvetia kecamatan Medan Helvetia. Budi adalah seorang aktifis sebagai kepala bidang pemberdayaan tenaga kerja dan jaringan intelektual muda Indonesia. Menurut laki-laki berusia 35 tahun ini, golongan putih itu disebabkan karena adanya konspirasi yang erat hubungannya denga DPT atau kesalahan pendataan dari pihak yang berhubungan dengan proses pendataan penduduk khususnya di kota Medan. Selain pihak yang melakukan pendataan kesalahan juga ada pada pihak pelaksanaan pemilihan umum (KPPS). Solusi untuk masalah tersebut menurut dia berada pada individunya, yaitu setiap individu harus mempunyai jiwa patriot atau pahlawan sehingga seseorang melakukan tugas dan tanggung jawab dengan baik.

Profil : Pemerintah

1. Gazali Usman ( lk, 49 thn )

Gazali Usman adalah seorang laki-laki berusia 49 tahun beragama Islam. Dia mempunyai 3 orang anak dan beralamat di jalan Raya Menteng. Bapak ini bekerja di Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat sebagai kepala bidang politik dalam


(50)

negeri. Bapak ini mengamati tingkat golongan putih semakin tinggi saat pemilihan calon legislatif yaitu berkisar 40 % sedangkan pada pemilihan presiden tingkat golongan putih menurun karena sudah ada peluang KTP dan kartu keluarga sehingga orang yang tidak terdaftar dalam pemilihan tetap dapat menggunakan hak pilih suaranya jika dia memang terdaftar di kartu tanda penduduk pada kelurahan masing-masing. Fenomena golongan putih ini terjadi karena krisis kepercayaan dengan janji-janji yang diberikan oleh para pemimpin, orang yang diidealkan tidak maju sebagai calon pemimpin, dan juga pada saat pemilihan umum calon legislatif pendataan dan administrasinya terburu-buru. Persiapan pada pemilihan calon legislatif hanya 3 bulan, seharusnya persiapan pemilihan umum itu 1 tahun sehingga semuanya sudah dipersiapkan dengan baik.

Mengenai daftar pemilihan tetap yang ganda dan pemilih yang terdaftar adalah tidak memenuhi syarat (anak-anak), menurut bapak 3 orang anak ini dalam pendataan harus ada pengawasan yang melekat atau berdampingan dari KPU, Statistik (BPS), Dinas Kependudukan dan Kelurahan. Selain adanya pengawasan yang berdampingan dari pihak yang berkaitan, juga harus mempunyai persiapan yang lama yaitu 2 tahun sehingga datanya benar-benar bagus. Menurut bapak ini tingkat golongan putih dapat berkurang bila sosialisasi yang merata ke seluruh lapisan masyarakat dan juga adanya kerjasama antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat yang peduli atau sadar akan politik.


(51)

4.3. Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan adanya pemilihan umum maka masyarakat dapat mewujudkan aspirasinya yang disalurkan melalui partai politik. Secara umum tujuan pemilihan umum adalah: untuk memungkinkan peralihan pemerintahan secara tertib dan aman, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan dalam rangka melaksanakan hak azasi warga negara.

Di Indonesia pemilihan umum pertama sekali diselenggarakan pada tahun 1955, saat itu Indonesia masih berusia 10 tahun setelah merdeka. Tetapi sebenarnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilihan umum pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat wakil presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Pemilihan umum 1955 dilakukan dua kali, yang pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilihan umum yang kedua diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilihan umum tahun 1971 ( pemilihan umum pertama masa orde baru ) yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971.


(52)

Pemilihan umum tahun 1955 dan pemilihan umum tahun 1971 memiliki perbedaan karakteristik dalam banyak aspek kehidupan ketatanegaraan. Pemilihan umu tahun 1971 diselenggarakan dibawah UUD 1945 setelah berlaku lagi berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959. Sistem pemerintahan kembali ke pemerintahan presidensial setelah 14 tahun (14 November 1945- 10 Juli 1959) demokrasi parlementer. Setelah 1971, pelaksanaan pemilihan umum yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilihan umum ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilihan umum 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilihan umum teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan pemilihan umum sebelumnya adalah bahwa sejak pemilihan umum 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua partai politik dan satu Golongan Karya. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali pemilihan umum, yaitu Pemilihan umum 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Hasilnya pun sama, Golongan Karya selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golongan Karya bahkan sudah menjadi pemenang sejak pemilihan umum 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golongan Karya. Pendukung utama Golongan Karya adalah birokrasi sipil dan militer. Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden


(53)

digantikan oleh wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, pemilihan umum yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang partai politik, RUU tentang pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draftar UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta pemilu kali ini adalah 48 partai, ini sudah jauh lebih sedikit


(54)

dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

4.4. Fenomena Golongan Putih

Istilah golongan putih atau golput di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak pemilihan umum di masa orde baru. Istilah golongan putih atau golongan putih pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan TNI yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah. Golongan putih sudah menjadi suatu fenomena dalam demokrasi. Golongan putih atau disebut juga No Voting Decision selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka dikatakan golongsn putih atau No Voting Decision


(55)

apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang sediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau No Voting Decision tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih ternyata semakin rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri bilik suara atau TPS pada waktu yang telah ditentukan (jadwal pencoblosan). Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar sebagai pemilih, akan tetapi dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika hari pelaksanaan pemilihan. Tentu saja kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah. Mereka akan menolak untuk dicatatkan atau didaftarkan namanya sebagai calon pemilih. Caranya bisa dengan menolak untuk dilakukan pendataan ulang atau tidak mengisi formulir calon pemilih. Status sikap mereka yang tidak memilih dengan cara seperti ini tentunya tidak berbeda dengan mereka calon pemilih yang tidak mengetahui proses pendataan ulang sehingga namanya menjadi tidak tercantum dalam daftar pemilih resmi.


(56)

Golongan putih dalam terminologi ilmu politik seringkali disebut dengan

non-voter. Terminologi ini menunjukan besaran angka yang dihasilkan dari event pemilu

diluar voter turn out. Louis Desipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout (2007) mengkategorikan Non Voter tersebut menjadi tiga ketegori yakni ;

a. Registered Not Voted ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih

dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih,

b. Citizen not Registered ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih

namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih dan

c. Non Citizen ; mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.

Pemilu dari tahun ke tahun ditandai semakin meningkatnya golongan putih. Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum baik pemilihan kepala daerah dan legislatif semakin menurun secara signifikan. Kita lihat saja pada hasil pemilihan umum calon legislatif tahun 2009 yang telah selesai bahwa pemenang pemilihan umum di berbagai daerah adalah golongan putih. Pernyataan diatas dapat kita lihat pada tabel rekapitulasi perhitungan hasil perolehan suara pemilihan calon legislatif tahun 2009 dibawah ini:


(57)

Tabel 4.5

Rekapitulasi Perhitungan Hasil Perolehan Suara Partai Politik dan Calon Anggota DPR

No Wilayah Jumlah Pemilih Terdaftar dalam Daftar Pemilih

Tetap Jumlah Pemilih Terdaftar dalam DPT Menggunakan Hak Pilih Jumlah Pemilih Terdaftar dalam DPT yang Tidak Menggunakan

Hak Pilih 001 Medan Tuntungan 64.091 29.782 34.309 002 Medan Johor 103.086 49.358 53.728 003 Medan Amplas 101.957 46.402 55.555 004 Medan Denai 135.997 59.463 76.534 005 Medan Area 100.292 49.603 50.689 006 Medan Kota 89.811 39.707 50.104 007 Medan Maimun 42.531 19.994 22.537 008 Medan Polonia 39.323 26.474 12.849 009 Medan Baru 44.345 16.344 28.001 010 Medan Selayang 76.907 35.232 41.675 011 Medan Sunggal 99.353 42.904 56.449 012 Medan Helvetia 121.253 58.896 62.357 013 Medan Petisah 64.440 29.595 34.845 014 Medan Barat 74.226 42.904 38.563 015 Medan Timur 92.922 48.094 44.828 016 Medan Perjuangan 101.885 44.639 57.246 017 Medan Tembung 124.093 56.564 67529 018 Medan Deli 116.161 58.134 58.027 019 Medan Labuhan 83.555 41.424 42.131 020 Medan Marelan 90.858 44.156 46.702 021 Medan Belawan 82.448 38.487 43.961

Jumlah 1.849.534 870.915 978.619

Sumber KPU Kota Medan 2009

Tabel 4.6. menunjukkan bahwa jumlah pemilih menurut kecamatan di kota Medan yang terdaftar dalam pemilih tetap adalah 1.849.534 jiwa. Pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap yang menggunakan hak pilih suaranya adalah sebanyak 870.915 jiwa sedangkan pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilihan tetap yang tidak menggunakan hak pilih suaranya adalah sebanyak 978.619 jiwa.


(1)

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Golongan putih adalah orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya dalam pemilihan umum. Menurut Arbi Sanit (1992) mengidentifikasi bahwa golongan putih adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi (Kompas, pemilih Golput 16 Juli 2004). Ada 3 hal yang menyebabkan terjadinya fenomena golongan putih di kalangan masyarakat saat ini yaitu: pertama, karena alasan politis yaitu menganggap pemilihan umum tidak ada gunanya dalam meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat melihat fakta yang ada sekarang ini semakin meningkatnya penggangguran dan masih banyak masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan. Realita ini membuat masyarakat bersikap apatis, cuek dan tidak peduli karena berkaitan dengan kinerja partai politik dan juga pemerintahan sendiri yang dianggap tidak mampu membuat perubahan sebagaimana yang dijanjikan ketika kampaye. Kedua, alasan administratif dan sosialisasi yang kurang. Alasan administratif, seperti tidak mendapat surat undangan, atau belum mendapat kartu pemilih. Alasan ini berkaitan dengan kinerja KPU dan pihak yang berkaitan sebagai penyelenggara pemilihan umum termasuk partai politik, sedangkan


(2)

jadwal, teknis memilih, dan calon wakil rakyat yang akan dipilih. Ketiga, alasan individual atau teknis, seperti sedang bekerja, ada keperluan pribadi disaat hari pemilihan.

5.2. Saran

Untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, pemerintah haruslah memperbaiki kinerja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Pemerintah haruslah dapat meningkatkan kualitas masyarakat di segala bidang khususnya memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam meningkatkan kinerjanya, wakil rakyat dan aparatur pemerintah hendaklah memiliki jiwa patriot seperti yang dimiliki oleh pahlawan kemerdekaan yang mana para pahlawan berjuang sepenuhnya untuk rakyat untuk membela kepentingan rakyat. Pemerintah harus berpihak sepenuhnya kepada rakyat dan bukan untuk kepentingan sepihak atau kelompok karena mereka dapat berkuasa karena rakyatlah yang memilihnya. Selain itu partai politik dan pemerintah, kpu juga harus meningkatkan kinerjanya sebagai pihak yang diberikan tugas sebagai penyelenggaraan pemilihan umum. Partai politik sebagai calon yang akan dipilih oleh rakyat haruslah melakukan pendekatan kepada para pemilih melalui sosialisasi di daerah-daerah bukan hanya daerah-daerah besar saja tetapi juga harus merata ke daerah yang kecil juga.. Dengan demikian, di dalam melakukan penilaian para pemilih tidak hanya mengandalkan informasi yang didapat dari media massa dan elektronika, melainkan dari pengamatannya secara lebih dekat.


(3)

Dalam masalah administratif, komisi pemilihan umum dan semua pihak yang berkaitan dalam penyelenggaraan pemilihan umum seperti: ppk, pps, kpps, ppdp (petugas pemutahiran data pemilih) haruslah bekerjasama agar pendataan penduduk dapat akurat sehingga setiap warga yang memenuhi syarat terdaftar dalam pemilihan tetap sehingga semua rakyat dapat berpartisipasi dalam menentukan siapa yang akan memimpin bangsa lima tahun ke depan. Dan juga waktu untuk pendataan yang dilakukan jangan terburu-buru, harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang hendak di data, sehingga tidak terjadi pendataan yang tidak valid atau tidak sesuai dengan jumlah penduduk yang akan menggunakan hak pilih suaranya dalam setiap daerah pemilihan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo.2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Budiyono, Zaenal. 2008. Demokrasi Bukan Basa-Basi. Jakarta: DCSC Publishing Bungin, Burhan.2001. Metode penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University

Press.

Hasan, Iqbal M.2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Henslin,M, James.2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga. Faisal,Sanafiah.1998. Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-Dasar dan Aplikasi.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Jurnal Dialog Kebijakan Publik.2008. Fenomena Golput dari Tahun ke Tahun. http//blogs.depkominfo.go.id.co

Kirbiantoro, S.2009. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Golden Terayon Press.

Komisi Pemilihan Umum (KPU).2004. Medan

Komisi Pemilihan Umum (KPU).2004. Laporan Penyelengaraan Pemilihan Umum


(5)

Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rincian Perolehan Suara Parpol dan Calon Anggota DPR,DPD,DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Medan

Lexy, J. Maleong.2006. Metode Penelitian Kualitatif, edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, Arif dkk.2008. Metode Penelitian. Medan: FISIP USU Press.

Mas’oed,Mochtar.2001. Perbandingan Sistem Politik.Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.

Rahmat, A.2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahmat,Sofyardi.2008. Jurnal Mengenai Partai Politik.

http//gagasanardi.wordpress.com

Ritzer,George.2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rohman, Arif. 2002. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama

Rush, Michael & Phillip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press.

Sarwono, Jonathan.2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif: Yokyakarta. Graha Ilmu.

Sharma, P. 2004. Sistem Demokrasi yang Hakiki. Jakarta : Yayasan Menara Ilmu Sitepu, Anthonius.2006. Sistem Politik Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press. Soekanto, Soejono.2000. Kamus Besar Sosiologi. Jakarta: Rajawali.


(6)

Sukarna,DRS.1990. Perbandingan Sistem Politik. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Koran:

Erix Hutasoit, Orang Bijak Tidak Golput(?), Harian Analisa, Kamis, 6 Sepertember 2007.

SITUS INTERNET

(http://patriotproklamasi.blogspot.com/2008/11/golput. Kriteria Golput.Diakses pada tanggal 04 februari 2009 pukul 12.10 Wib).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. Diakses pada tanggal 04 Februari 2009 pukul. 12.20 Wib).

(http://pemilu.okezone.com/geopolitik/2004/Pemilu-menurut-propinsi. Diakses pada tanggal 03 Februari 2009 pukul.14.30 Wib).

(http://simpanglima.wordpress.com/2008/02/17/Mengembalikan fungsi partai. Diakses pada tanggal 18 Maret 2009 pukul.14.30 Wib).

(http://alinur.worpress.com/2008/11/08/Golput-pada-pemilu-2009. Diakses pada tanggal 23 Februari 2009, pukul 10.20 Wib).

(http://klikpemilu.blogspot.com/2009/01/Golput-dan-alienasi-politik.html. Diakses pada tanggal16 februari 2009 pukul 12.10 Wib).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi. Diakses pada tanggal 11 Juni 2009 pukul 15.00 Wib).