Peningkatan Komunikasi Ilmiah Siswa Kelas X Mia Melalui Model Pembelajaran Sscs (Search, Solve, Create, Share) Pada Materi Alat-Alat Optik JURNAL
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peningkatan Komunikasi Ilmiah Siswa Kelas X MIA
Melalui Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share)
pada Materi Alat-alat Optik
Arum Angger R1, Nonoh Siti A2, Dwi Teguh Rahardjo3, Bambang Mulyono4
1.
2.
3.
Physics Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, 57126,
Indonesia
Physics Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, 57126,
Indonesia
Physics Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, 57126,
Indonesia
[email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran SSCS
(Search, Solve, Create, Share) pada materi Alat-alat Optik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah
siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016. Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Kelas (Classroom Action Research ) dengan model Kemmis dan Mc. Taggart, serta model kolaboratif yang
dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus diawali dengan tahap persiapan dan dilanjutkan dengan tahap
pelaksanaan siklus yang terdiri atas perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek
penelitian adalah siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Ajaran 2015/ 2016 sebanyak 39 siswa. Data
diperoleh melalui observasi dan tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data yang digunakan
adalah uji t 1 ekor. Simpulan dari penelitian tindakan kelas ini adalah model pembelajaran SSCS pada materi Alatalat Optik dapat meningkatkan komunikasi siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo. Hal ini ditunjukkan dari
ketercapaian kemampuan komunikasi ilmiah siswa pada pra siklus sebesar 0%, naik menjadi 51,28% pada siklus I
dan naik menjadi 82,05% pada siklus II. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah kelas X MIA 7 SMA
Negeri 1 Sukoharjo sebelum diterapkannya model pembelajaran SSCS dan sesudah penerapan model pembelajaran
SSCS. Hal ini ditunjukan pada hasil perhitungan analisis uji t (1 ekor) diperoleh bahwa nilai t hitung = 15,90 > ttabel =
1,69, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Empat aspek komunikasi ilmiah dari 5 aspek mengalami peningkatan.
Aspek pertama mengalami peningkatan sebesar 57,2%, aspek kedua mengalami penurunan sebesar 9,94%, aspek
ketiga mengalami peningkatan sebesar 6,08%, aspek keempat mengalami peningkatan sebesar 12,5%, dan aspek
kelima mengalami peningkatan sebesar 25,13%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan
kemampuan komunikasi ilmiah siswa sebelum menggunakan model pembelajaran SSCS dan sesudah menggunakan
model pembelajaran SSCS.
Improving Scientific Communication Students X MIA Through SSCS Model
(Seacrh, Solve, Create, Share) In Optical Instruments
Abstract
This research was intended to know that implementation of SSCS learning model ini Optical Instruments
is able to improve student’s scientific communication of X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo in 2015/2016. This
research was an Classroom Action Research using Kemmis and Mc. Taggart Model, and also colaborative model
that is conducted in two cycles. Each cycle started with preparation step and continued by the implementation
cycle’s step consist of planning of the action, implementing the action, observing the action, and reflecting the
action. The subject of this research were 39 students of X MIA 7 of SMA Negeri 1 Sukoharjo in the academic year
2015/2016. The data is collected by observation and written test. The technique of analyzing data is using
qualitative and quantitative analysis with one-tailed commit
test. Based
the data analysis and the study in researh can be
toonuser
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
concluded that the SSCS learning model are able to improve student’s sc ientific communication. It can be seen from
the percentage of students who have good scientific coomunication in the pre cycle is 0%, in the first cycle is
51,28% and in the second cycle is 82,05%. There is an improvement of student’s scientific communicat ion of X MIA
7 SMA Negeri 1 Sukoharjo before the implementation and after the implementation of SSCS learning model. In the
calculation one-tailed test analysis obtained that the value of ttest = 15,90 > ttable = 1,69, with the significancy level α
= 5%, so H 0 is rejected dan H 1 is accepted. Four categories of student’s scientific communication from five
categories increased. The first category increased 57,2%, second category decreased 9,94%, third category
increased 6,08%, fourth category increased 12,5%, and the fifth category increased 25,13%. So there is an
improvement in student’s scientific communication ability before the implementation and after the implementation of
SSCS learning model.
Keywords: Classroom Action Research; Optical Instruments; scientific communication; SSCS model
Pendahuluan
Pendidikan menjadi perhatian yang utama bagi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
prioritas anggaran yang dialokasikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa
20% APBN dialokasikan untuk pendidikan. Namun, hasil dari kenyataan di lapangan belum
cukup memuaskan. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad, pendidikan di Indonesia memiliki peringkat
yang sejajar dengan Thailand, namun dari segi kualitas mengalami ketertinggalan dari negaranegara lain di Asia Tenggara (wartakota.tribunnews.com 23 September 2015).
Pemerintah telah melakukan usaha-usaha dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran. Salah satunya dengan menerapkan kurikulum 2013. Salah satu kemampuan yang
hendak dicapai dari penerapan kurikulum 2013 ialah kemampuan komunikasi ilmiah siswa, yaitu
kemampuan mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan
menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan,
mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan
secara lisan dan tertulis, salah satunya dalam mata pelajaran Fisika (Karso dkk, 1993). Wrench
dkk (2009: 56) menjelaskan bahwa sekitar 20% siswa di sekolah mungkin menderita ketakutan
dalam komunikasi. Komunikasi verbal siswa cenderung rendah dan hanya muncul ketika siswa
dipaksa. Komunikasi ini merupakan kemampuan dalam aspek kognitif yang dikhususkan pada hal
berkomunikasi dengan orang lain. Padahal, proses pembelajaran kurikulum 2013 dilakukan
melalui pendekatan ilmiah, mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.
Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kemampuan komunikasi pada siswa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Komunikasi ilmiah adalah keterampilan untuk mengkomunikasikan pengetahuan
ilmiah hasil temuannya dan kajiannya kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan”
(Samatowa dalam Nurhayati, 2012: 14). Komunikasi ilmiah merupakan serangkaian kerja
ilmiah. Joyful Learning Journal milik Nurhayati (2012: 16) menyatakan: “kerja ilmiah meliputi
penyelidikan/ penelitian, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreatifitas dan pemecahan
masalah, sikap dan nilai ilmiah”. Berkomunikasi ilmiah adalah siswa mengkomunikasikan
pengetahuan ilmiah hasil temuannya dan kajiannya kepada berbagai kelompok sasaran untuk
berbagai tujuan. Komunikasi ilmiah dapat direalisasikan dalam komunikasi lisan di dalam
pembelajaran. Siswa dapat dibagi menjadi beberapa kelompok dan memecahkan masalah
bersama-sama dalam kelompok tersebut.
Setelah melakukan observasi pada 8 Januari 2016 di kelas X di SMA N 1 Sukoharjo,
kenyataan di kelas X MIA 7 menunjukkan bahwa ketika pembelajaran berlangsung, banyak
siswa yang memperhatikan namun dengan pandangan kosong, gelisah, bertopang dagu, bahkan
menyandarkan kepala pada meja. Ketika diberi pertanyaan oleh guru, siswa cenderung tidak
dapat menjawab dan hanya diam mengikuti instruksi guru. Dua siswa yang diberi pertanyaan
oleh guru hanya mengikuti instruksi guru untuk maju ke depan kelas dan menuliskan jawaban,
namun tidak dapat menjelaskan ataupun mengkomunikasikan kepada teman yang lain di dalam
kelas. Menurut hasil wawancara dengan guru pengampu kelas X MIA 7, permasalahan pokok
adalah ketika siswa di dalam pikirannya mengerti, namun tidak dapat mengkomunikasikan
secara lisan dan berdampak pada sulitnya siswa dalam menerjemahkan setiap persoalan Fisika
yang dihadapi. Hal ini dapat diindikasikan sebagai rendahnya kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan apa yang ada di pikirannya, sehingga siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan guru dengan baik. Hasil nilai ulangan harian di kelas X MIA 7 juga menunjukkan
hanya 5 dari 39 siswa atau 12,8% siswa yang memiliki nilai di atas KKM 75. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Selain itu, ketika siswa diwawancarai
mengenai proses pembelajaran, proses pembelajaran yang dilakukan cenderung ceramah dan
latihan soal, jarang dilakukan diskusi dan praktikum. Pembelajaran yang berlangsung cenderung
ke arah konvensional, yaitu guru ceramah di depan kelas dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat
memancing siswa untuk berkembang seperti adanya kegiatan praktikum, diskusi, tugas
portofolio, jarang dilakukan. Ketika siswa ditanya, siswa masih sedikit kebingungan dalam
mengungkapkan secara lisan. Siswa cenderung mengkomunikasikan dalam bentuk tertulis dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maju ke depan kelas. Banyak siswa mengungkapkan bahwa pembelajaran fisika selama ini
berlangsung kurang menarik dan membosankan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa
gejala, diantaranya : (1) ada siswa yang mengerjakan tugas lain saat pembelajaran fisika, (2) ada
siswa yang tidak membawa buku paket atau LKS fisika, (3) ada beberapa siswa yang melakukan
aktivitas lain diluar aktivitas pembelajaran fisika, seperti berbincang dengan teman, menggambar
dan lainnya, serta (4) siswa banyak yang kurang aktif dalam hal bertanya tentang materi
pembelajaran yang belum mereka pahami, kurang aktif menyampaikan pendapat sehingga
keingintahuan mereka terhadap mata pelajaran Fisika masih rendah. Kemudian, berdasarkan
hasil observasi awal kemampuan komunikasi ilmiah siswa Kelas X MIA 7 SMA Negeri 1
Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016 yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata kemampuan
komunikasi ilmiah siswa sebesar 18,59% dan dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
ilmiah siswa masih rendah.
Untuk mengoptimalkan pembelajaran, akan dilakukan penelitian tindakan. Secara
praktis, penelitian tindakan pada umumnya sangat cocok untuk meningkatkan kualitas subjek
yang hendak diteliti dan subjek penelitian tindakan ini dapat berupa kelas (Sukidin dkk dalam
Sukardi; 2012: 211). Selain itu, penelitian tindakan kelas oleh Santrinitis Yulia Dwi Rahmawati
(2011: 6) mengungkapkan bahwa “penerapan model pembelajaran SSCS yang dilengkapi dengan
kegiatan laboratorium dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa pada materi
pokok sistem koloid kelas XI IPA 1 SMA Negeri Gondangrejo”. Prosentase awal siswa yang
tuntas untuk hasil belajar meningkat dari 41% menjadi 78%, dari aspek afektif meningkat dari
80% menjadi 88% dan dari aspek psikomotorik meningkat dari 70% menjadi 88% pada siklus
akhir. Model pembelajaran ini juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa
seperti yang diungkapkan oleh Awang dalam artikelnya yang menyebutkan bahwa model
Problem Solving pada Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
ilmiah siswa,
“Our goal in this paper was to present PBL as an approach model that could encourage
the communication skill during the learning process. Students who participate in problem
based learning are generally motivated by it and demonstrate good communication skills
among themselves. They have better understanding of the application of their knowledge
in practice and the complexities of other issues involved in the professional practice of
communication. Even though students perceived that learning through PBL was difficult,
they said that they did more thinking by talking than memorizing, understood the lessons
better through discussion and could accept this method of approach.”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, akan dilakukan pembelajaran dengan model SSCS
untuk meningkatkan komunikasi ilmiah siswa SMA Kelas X MIA 7 di SMA Negeri 1 Sukoharjo
ketika di kelas dengan judul skripsi Peningkatan Komunikasi Ilmiah Siswa SMA Kelas X MIA
Melalui Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) Pada Materi Alat-Alat Optik
Tinjauan Teoritis
Model Pembelajaran
Menurut pendapat Joyce dalam Trianto (2009: 22), Model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merancang
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkatperangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan
lain-lain. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran pada
dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang
disajikan secara khas oleh guru. Model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari
penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
SSCS adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem solving.
Fokus dari penggunaan model pembelajaran SSCS adalah membantu siswa untuk melakukan
pemecahan masalah secara mandiri (Sarastini, 2014: 3). Steinbach (dalam Santyasa, 2009: 4)
mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis pemecahan masalah sangat penting diterapkan karena
peserta didik akan lebih cepat melupakan materi yang hanya dijelaskan secara lisan dalam belajar,
sebaliknya mereka akan lebih lama mengingat jika diberikan contoh, dan memahami jika diberikan
kesempatan mencoba memecahkan masalah. Menurut pengertian Steinbach, model pembelajaran
SSCS merupakan model pembelajaran Problem Based Learning.
Problem-based learning (PBL) is one of the student centered approaches and has
been taken by a number of higher educational institutions in many regions of the
world as a method of deliverance. PBL is a total pedagogical approach to education
that focuses on assisting students develop self directed learning skills. It derives
from the theory that learning is a process in which the learner actively constructs
new knowledge on the foundation of current knowledge. PBL provides students
with the chance to advance theory and content knowledge and comprehension.
PBL helps students develop advanced cognitive abilities such as creative thinking,
problem solving and communication skills (Major dalam Awang, 2015: 482).
Problem Based Learning mendorong siswa untuk bekerja dengan beragam bahan
dan alat, sebagian beralokasi di ruang kelas, sebagian lainnya di perpustakaan sekolah atau
lab komputer, dan sebagian lagi di luar
sekolah.
commit
to userMengorganisasikn sumber daya dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merencanakan logistik untuk investigasi siswa adalah tugas perencanaan utama pada PBL
(Sugiyanto, 2010: 136).
Muhibbin Syah (2009: 127) menyatakan bahwa belajar pemecahan masalah pada
dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis,
logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan
kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu,
kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta
insight (tilikan akal) amat diperlukan. Hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana
belajar pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta,
seperti Matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar
yang berorientasi pada cara pemecahan masalah.
Pengertian Problem Based Learning yang terdapat dalam berbagai sumber tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan seperti berpikir
kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan berkomunikasi siswa. Penelitian tindakan kelas
ini menitik beratkan pada kemampuan komunikasi ilmiah siswa. Kemampuan ini akan
ditingkatkan melalui salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada masalah.
SSCS dikembangkan oleh Pizzini pada tahun 1988. Menurut Pizzini, Model
pembelajaran SSCS melibatkan siswa dalam menyelidiki situasi baru, membangkitkan minat
bertanya siswa dan memecahkan masalah-masalah nyata. SSCS merupakan metode
pembelajaran yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada siswa untuk
mengembangkan kreativitas dan keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh
pemahaman ilmu dengan melakukan penyelidikan dan mencari solusi dari permasalahan yang
ada (Wulanjari, 2007: 3). Berikut ini tabel yang berisi sintaks pelaksanaan Search, Solve,
Create, and Share (SSCS).
Tabel 1. Sintaks Search, Solve, Create, and Share (SSCS)
Fase
Fase 1 : Mendefinisikan masalah (Search)
Fase 2 : Mendesain solusi (Solve)
Perilaku Guru
Guru
menciptakan
situasi
yang
dapat
mempermudah
muncul-nya
pertanyaan,
menciptakan
dan
mengarahkan kegiatan, membantu dalam
pengelompokan
dan
penjelasan
permasalahan yang muncul
Guru menciptakan situasi yang menantang
bagi siswa untuk berpikir, membantu
commitsiswa
to usermengaitkan pengalaman yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fase 3 : Memformulasikan hasil (Create)
Fase 4 : Mempresentasikan hasil (Share)
sedang dikembangkan dengan ide,
pendapat atau gagasan siswa tersebut,
memfasilitasi
siswa
dalam
hal
memperoleh informasi dan data
Guru
mendiskusikan
kemungkinan
penetapan
audien
dan
audiensi,
menyediakan ketentuan dalam analisis
data
dan
teknik
penayangannya,
menyediakan
ketentuan
dalam
menyiapkan presentasi
Guru menciptakan terjadinya interaksi
antara kelompok/ diskusi kelas, membantu
mengembangkan metode atau cara-cara
dalam mengevaluasi hasil penemuan studi
selama persentasi, baik secara lisan
maupun tulisan
(Sumber. Ekantara, 2011: 31)
Komunikasi Ilmiah
Komunikasi berasal dari kata latin “communicare” yang artinya membuat jadi biasa,
berbagi, mengimpor dan mentranmisikan dan selanjutnya dari kata ini muncul kata
communication, communicate, communicator dan sebagainya. Komunikatif merupakan salah satu
karakter yang telah ada dalam diri siswa sejak lahir namun sangat perlu untuk dikembangkan.. Siswa
dengan komunikasi yang baik akan banyak bertanya maupun berpendapat mengenai materi
pembelajaran di kelas maupun informasi yang diperolehnya dari lingkungan sekitarnya. Untuk itu
karakter komunikatif perlu dikembangkan pada diri siswa agar siswa dapat berkomunikasi dengan
baik. Menurut Wrench dkk (2009: 56)
It has been estimated that 20% of the student population in a school may suffer from
communication apprehension. Communication apprehensive students tend to be low
verbalizers and often only speak when forced to do so. If a students feras something, it
is natural to avoid it or withdraw from it, and this is precisely what the communication
apprehension student does. Communication apprehension is a cognitive state that is
centered around the fear of communicating with others.
Wrench dkk menjelaskan bahwa sekitar 20% siswa di sekolah mungkin menderita
ketakutan dalam komunikasi. Komunikasi verbal siswa cenderung rendah dan hanya muncul ketika
siswa dipaksa. Komunikasi ini adalah ranah kognitif yang berpusat pada ketakutan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Padahal, penguatan proses pembelajaran kurikulum 2013
dilakukan melalui pendekatan ilmiah, yaitu pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu
dalam mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.
Salah satu kompetensi yang dituntut pula pada mata pelajaran Fisika sebagai bagian
dari ilmu pengetahuan alam (IPA) adalah kemampuan melakukan kerja ilmiah. Depdiknas (2003:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10) dalam panduan Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaiaan menyatakan bahwa
“kerja ilmiah mempunyai empat kompetensi dasar yaitu merencanakan penelitian ilmiah,
melaksanakan penelitian ilmiah, mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah, dan bersikap
ilmiah”. Oleh karena itu, peningkatan komunikasi dalam diri siswa perlu dilakukan.
Komunikasi ilmiah (scholarlyor scientific communication) adalah komunikasi yang
umumnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan penelitian atau penyelidikan, khususnya di
lingkungan akademik.
Komunikasi ilmiah dijelaskan oleh Depdiknas (2003: 3) sebagai berikut:
Salah satu standar kompetensi dasar kerja ilmiah adalah mengkomunikasikan
hasil penelitian ilmiah. Siswa mampu menyajikan hasil penelitian dan kajiannya
dengan berbagai cara kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan
(komunikasi ilmiah). Kompetensi komunikasi ilmiah (mengkomunikasikan hasil
kerja/penelitian ilmiah) merupakan salah satu kompetensi dasar dari kegiatan ilmiah
yang mempunyai bebarapa indikator didalamnya. Tujuan yang hendak dicapai pada
kompetensi komunikasi ilmiah ini adalah siswa dituntut mampu menyajikan hasil
penelitian/kerja ilmiah dengan berbagai cara (lisan atau tulisan) kepada berbagai
kelompok sasaran untuk berbagai tujuan.
Karso dkk (1993) mengungkapkan bahwa indikator komunikasi ilmiah meliputi : (a)
menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematik dan jelas, (b) menjelaskan hasil
percobaan, (c) mendiskusikan hasil percobaan, (d) mengklasifikasikan data dan menyusun data
serta (e) menggambarkan data dalam grafik, tabel, atau diagram. Sutardi (2008) mengungkapkan
kemampuan siswa berkomunikasi ilmiah meliputi kemampuan membuat tabel perhitungan,
membuat grafik, dan mengintepretasikan grafik. Kemampuan berkomunikasi ilmiah dapat diukur
dengan pengamatan terhadap siswa dalam praktikum.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Sukoharjo kelas X MIA 7 pada semester
genap Tahun Pelajaran 2015/2016. Sekolah ini beralamat di Jalan Pemuda No.38 Sukoharjo.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juni tahun pelajaran 2015/2016.
Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 7 semester genap SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun
ajaran 2015/2016 yang terdiri atas 39 siswa. Objek penelitian ini adalah kemampuan komunikasi
ilmiah siswa kelas X MIA 7 semester genap SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran
2015/2016 yang terdiri atas 39 siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data
tentang keadaan siswa dari aspek kulitatif berupa hasil observasi dan dokumentasi, serta data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kuantitatif yang berupa hasil belajar berupa nilai yang diperoleh dari tes kognitif guna
mendukung ketercapaian kemampuan komunikasi ilmiah siswa.
Instrumen Pembelajaran yang digunakan berupa silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran), dan LKS (Lembar Kerja Siswa). Sedangkan instrumen penelitian berupa
instrumen penilaian kemampuan komunikasi ilmiah dan instrumen pendukung, yaitu instrumen
penilaian kognitif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan uji t (1 ekor). Pengujian hipotesis pertama yaitu
data kuantitatif dianalisis dengan teknik statistik deskriptif komparatif, yaitu membandingkan
hasil hitung statistik deskriptif berupa mean dan persentase ketercapaian kemampuan komunikasi
ilmiah siswa pada pra siklus, siklus I, dan siklus II. Pengujian hipotesis kedua dianalisis uji t (1
ekor) untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah siswa kelas X
MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Indikator kinerja merupakan rumusan kinerja yang akan dijadikan acuan dalam
menentukan keberhasilan atau keefektifan penelitian. Indikator kinerja dikemukakan sebagai
tolak ukur keberhasilan penelitian yang dilakukan. Apabila hasil refleksi siklus telah mencapai
target pada indikator kinerja maka siklus dapat dihentikan namun apabila hasil refleksi belum
mencapai target yang ditetapkan maka dilanjutkan dengan siklus berikutnya dengan melakukan
beberapa perbaikan.
Penelitian dikatakan berhasil apabila target yang telah direncanakan pada penelitian
tercapai. Target penelitian disusun oleh peneliti dan guru dengan memperhatikan kondisi awal
kelas yang dijadikan subjek penelitian dan memperhatikan pembagian waktu dalam silabus
pembelajaran yang telah ditetapkan sekolah. Penelitian ini mengembangkan 5 aspek kemampuan
komunikasi ilmiah siswa dan persentase yang ditargetkan 75 % siswa mencapai kemampuan
komunikasi ilmiah dalam kategori baik.
Prosedur dan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model
yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart yaitu model spiral. Model Kemmis dan Mc
Taggart pada hakikatnya berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat
terdiri dari empat komponen yaitu: rencana tindakan (planning), tindakan (acting), pengamatan
(observing) dan refleksi (reflecting). Keempat komponen yang berupa untaian tersebut
dipandang sebagai satu siklus. Apabila satu siklus belum menunjukkan tanda-tanda perubahan ke
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
arah perbaikan (peningkatan mutu), kegiatan penelitian dilanjutkan pada Siklus II dan
seterusnya.
Hasil Penelitian
Hasil observasi menunjukkan rata-rata kemampuan komunikasi ilmiah siswa hanya
18,59%, dengan kemampuan komunikasi ilmiah tertinggi memiliki nilai 43,33. Wawancara dan
observasi langsung mengindikasikan rendahnya kemampuan komunikasi ilmiah siswa yang
ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan siswa untuk dapat mengkomunikasikan setiap proses
dalam pembelajaran yang berlangsung baik lisan maupun tertulis. Data kemampuan awal
kemampuan komunikasi ilmiah diambil dari hasil observasi pra siklus yang dilakukan sebelum
masuk pembelajaran Siklus I dengan Kriteria Ketuntasan Minimal 75 sesuai dengan KKM
sekolah.
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Persentase
Sangat
Baik
Baik
0
0
Cukup
Kurang
Sangat
Kurang
33.33% 15.38% 51.28%
Gambar 1. Diagram Hasil Observasi Pra Siklus Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa semua siswa memiliki kemampuan
komunikasi ilmiah dengan kategori cukup, kurang, dan sangat kurang. Siswa yang memiliki
kemampuan komunikasi ilmiah cukup yaitu 13 siswa atau 33,33%, siswa yang memiliki
kemampuan komunikasi ilmiah kurang yaitu 6 siswa atau 15,38%, dan siswa yang memiliki
kemampuan komunikasi ilmiah sangat kurang sebanyak 20 siswa atau 51,28%. Dengan
demikian, setengah dari jumlah siswa memiliki kemampuan komunikasi ilmiah dalam
kategori sangat kurang.
Berdasarkan hasil observasi pra siklus yang disajikan pada Gambar 1, semua siswa
yang berjumlah 39 siswa belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditentukan
dari sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketercapaian Tiap Aspek
80.00%
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
1
2
3
4
5
Persentase 21.00% 74.00% 71.00% 65.00% 58.00%
Gambar 2. Diagram Ketercapaian Tiap Aspek Hasil Observasi Pra Siklus Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa semua aspek dalam observasi pra siklus ini belum
mencapai target 75%. Bahkan, aspek 1 memiliki persentase paling rendah. Hal ini dikarenakan
siswa jarang melakukan diskusi, eksperimen, dan menulis laporan praktikum. Aspek pertama
pada kemampuan komunikasi ilmiah yaitu nenyusun dan menyampaikan laporan secara
sistematik dan jelas. Aspek kedua yaitu menjelaskan hasil percobaan, aspek ketiga yaitu
mendiskusikan hasil percobaan, aspek keempat yaitu mengklasifikasikan data dan menyusun
data, serta aspek kelima yaitu menggambarkan data dalam table.
Berdasarkan hasil tes sebelum tindakan yaitu pada materi Fluida Statis, Pegas, dan
Suhu Kalor jumlah siswa yang dapat mencapai standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)
hanya 8 siswa (20,51%) dari jumlah keseluruhan siswa yang berjumlah 39 siswa. Sejumlah 31
siswa belum mencapai batas KKM yang ditentukan oleh pihak sekolah yaitu 75. Berdasarkan
hasil analisis prasiklus, maka diperlukan adanya tindakan untuk meningkatkan komunikasi
ilmiah kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Tabel 2. Data Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa pada Pembelajaran
Siklus I dan Siklus II
Siklus
KKM
I
II
75
75
Jml Siswa yang
mengikuti
pembelajaran
39
39
Rata-rata
Skor Kelas
41,67
46
Jml Siswa
yang Belum
Tuntas
30
9
commit to user
Persentase
Ketuntasan
(%)
23,08
76,92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada siklus I, siswa yang lulus berjumlah 9 orang dengan Kriteria Ketuntasan
Minimal 75. Pada siklus II, jumlah siswa yang lulus berjumlah 30 orang dengan KKM 75.
Rerata skor hasil observasi kemampuan komunikasi ilmiah siswa pada pembelajaran Siklus I
yaitu 41,67 dan Siklus II yaitu 46. Dilihat dari hasil tersebut, terjadi peningkatan kemampuan
komunikasi ilmiah siswa pada pembelajaran Siklus I dan Siklus II. Data rerata hasil observasi
kemampuan komunikasi ilmiah dapat dilihat pada Gambar 3.
Rerata Skor
Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah
Siswa Kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo
50
45
40
35
Series1
Siklus I
41.67
Siklus II
46
Gambar 3. Rerata Skor Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Kelas X MIA 7 SMA Negeri 1
Sukoharjo
Tabel 3.
Data Hasil Tes Siswa pada Pembelajaran Siklus I dan Siklus II
Siklus
KKM
I
II
75
75
Jml Siswa yang
mengikuti
pembelajaran
39
39
Rata-rata
Nilai Kelas
77,05
84,49
Jml Siswa
yang Belum
Tuntas
11
7
Persentase
Ketuntasan
(%)
71,79
82,05
Pada siklus I, siswa yang lulus berjumlah 28 orang dengan Kriteria Ketuntasan
Minimal 75. Pada siklus II, jumlah siswa yang lulus berjumlah 32 orang dengan KKM 75. Rerata
nilai kognitif siswa pada pembelajaran Siklus I yaitu 77,05 dan Siklus II yaitu 84,49. Dilihat dari
hasil tersebut, terjadi peningkatan kognitif siswa sebagai salah satu indikator meningkatnya
kemampuan komunikasi ilmiah siswa pada pembelajaran Siklus I dan Siklus II. Observasi akhir
digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi ilmiah siswa setelah pembelajaran yang
menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share). Observasi akhir ini
dilaksanakan setelah pelaksanaan pembelajaran Siklus II. Pelaksanaan observasi di akhir ini
bertujuan untuk mengetahui kontribusi pelaksanaan pembelajaran setiap siklusnya terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemampuan komunikasi ilmiah siswa serta untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan
kemampuan komunikasi ilmiah siswa. Hasil observasi akhir ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Hasil Observasi Akhir
Observasi Akhir
KKM
Jml Siswa
Rata-rata
Skor Kelas
Jml Siswa yang
Belum Tuntas
75
39
47
2
Persentase
Ketuntasan
(%)
94,87
Berdasarkan hasil observasi akhir yang disajikan pada Tabel 4, ada 37 siswa yang
sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal.
Pembahasan
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus dilaksanakan
dalam dua kali pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan 3 x 45 menit dan pertemuan kedua
dilaksanakan 2 x 45 menit. Tiap satu pertemuan terdiri atas empat tahapan, yaitu: (1)
perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi.
Tabel 5. Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siklus I
Jumlah
Kriteria
Sangat Baik
0
Persentase
(%)
0
Baik
20
51,28
Cukup
18
46,15
Kurang
1
2,56
Sangat Kurang
0
0
Siswa
Secara total, pada Siklus I siswa yang mencapai tingkat kemampuan komunikasi ilmiah
pada kategori baik yaitu berjumlah 20 siswa dan secara umum skor rata-rata meningkat dari
26,08 ke 41,67 dari seluruh siswa kelas X MIA 7. Hasil observasi kemampuan komunikasi
ilmiah siswa untuk Siklus I ditampilkan pada Tabel 6.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 6.
digilib.uns.ac.id
Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus I Kelas X MIA 7
SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016
Aspek yang dinilai
Kemampuan Komunikasi
Ilmiah Siswa
Kategori
Tuntas
Tidak Tuntas
Jumlah siswa
20
19
Persentase (%)
51,28
48,72
Adapun ketercapaian tiap aspek yaitu:
Ketercapaian Tiap Aspek
80.00%
70.00%
60.00%
1
2
3
4
5
Persentase 76.27%68.58%72.52%65.54%67.57%
Gambar 4. Diagram Ketercapaian Tiap Aspek Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus I
Aspek 1 pada tahap 1 mencapai ketuntasan sebesar 76,27%, aspek 2 mencapai 68,58%,
aspek 3 722,52%, aspek 5 yaitu 65,54%, dan aspek 5 sebesar 67,57%. Pada siklus I, aspek yang
mencapai target yaitu hanya aspek 1, karena siswa mulai dibiasakan untuk membuat laporan di
setiap akhir pembelajaran. Pada siklus I, jumlah siswa yang mencapai ketuntasan (mencapai
KKM 75) yaitu 25 siswa atau 64,10%. Sedangkan pada siklus II ada 14 orang siswa atau 35,90%
siswa yang belum lulus. Duabelas siswa memiliki nilai rentang 61-70, 14 siswa memiliki nilai
antara 71-80, dan 13 siswa memiliki nilai dalam rentang 81-90.
Kemampuan komunikasi ilmiah siswa diukur dengan lembar observasi dengan 5 aspek
dan 15 butir instrumen. Pada siklus II ini instrumen yang digunakan masih sama dengan siklus I.
Tabel 7. Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siklus II
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Sangat Baik
Siswa
2
Baik
30
76.92%
Cukup
7
17.95%
Kurang
0
0.00%
0
commit
to user
0.00%
Sangat Kurang
5.12%
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Sanga
t Baik
Baik
Cukup
Kuran
g
Persentase 5.12% 76.92% 17.95% 0.00%
Sanga
t
Kuran
g
0.00%
Gambar 5. Diagram Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siklus II
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 5, terlihat bahwa sebagian besar siswa
memiliki kemampuan komunikasi ilmiah dengan kategori baik yaitu sebanyak 76,92%.
Sementara kemampuan komunikasi ilmiah dengan kategori sangat baik meningkat dibandingkan
dengan Siklus I yaitu menjadi sebesar 5,12%. Hal ini menunjukkan ada peningkatan kemampuan
komunikasi ilmiah pada Siklus II.
Adapun ketercapaian tiap aspek pada siklus II dapat dilihat pada Gambar 6.
Ketercapaian Tiap Aspek
80.00%
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
1
2
3
4
5
Persentase 78.67% 61.88% 74.79% 75.63% 68.13%
Gambar 6. Diagram Ketercapaian Tiap Aspek Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil perlakuan dengan tindakan Siklus II, didapatkan hasil adanya
peningkatan pada aspek 1, 3, 4, dan 5. Sedangkan pada aspek 2 mengalami penurunan dari siklus
1 sebesar 68,58% menjadi 61,88%. Aspek nomor dua ini adalah aspek Menjelaskan Hasil
Percobaan. Aspek ini turun karena siswa lebih banyak melakukan komunikasi tulisan daripada
lisan. Pada Siklus II KKM yang ditetapkan oleh peneliti yaitu 75. Persentase siswa yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai kemampuan komunikasi ilmiah mencapai KKM adalah 82,05% dari seluruh siswa
kelas X MIA 7. Sedangkan siswa yang belum tuntas atau belum masuk dalam kategori baik
sebanyak 7 siswa atau 17,95%. Hasil observasi kemampuan komunikasi ilmiah siswa untuk
Siklus II ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8.
Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus II Kelas
X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016
Aspek yang dinilai
Kemampuan
Komunikasi Ilmiah
Siswa
Kategori
Jumlah siswa
Persentase (%)
Tuntas
32
82,05
Tidak Tuntas
7
17,95
Berikut ini disajikan diagram lingkaran hasil observasi kemampuan
komunikasi ilmiah siswa Siklus II kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo pada
Gambar 7.
18%
Tuntas
82%
Gambar 7. Diagram Lingkaran Ketercapaian Ketuntasan Kemampuan Komunikasi ilmiah Siswa Siklus II
Ranah kognitif Fisika diukur dengan menggunakan tes tertulis bentuk uraian berjumlah
5 soal yang diberikan kepada siswa. Tes tertulis dilakukan di akhir pembelajaran Siklus II. Dari
hasil tes, dijelaskan bahwa sebanyak 13 siswa mendapat nilai antara 91-100, 9 siswa mendapat
nilai 81-90, 10 siswa mendapat nilai 71-80, 7 siswa mendapat nilai 61-70. Tidak ada siswa yang
mendapat nilai antara 51-60. Siswa yang mendapat nilai di atas 75 (di atas KKM) yaitu sebanyak
33 siswa (84,61%) dan siswa yang belum tuntas (di bawah 75) sebanyak 15,38% atau 6 siswa.
Observasi akhir diberikan kepada siswa dengan tujuan untuk mengetahui besarnya
sumbangan pembelajaran setiap siklusnya dengan penerapan model pembelajaran SSCS (Search,
Solve, Create, Share) terhadap hasil akhir kemampuan komunikasi ilmiah. Observasi Akhir
berlangsung selama 45 menit pada tanggal commit
9 Maretto2015.
user Pada observasi ini, peneliti masuk ke
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam kelas dan mengamati siswa yang diberi tugas untuk dapat membuat teropong, membuat
video, dan laporan pembuatan teropong melalui presentasi di depan kelas. Batas ketuntasan hasil
belajar siswa harus memenuhi KKM yang telah ditentukan yaitu 75.
Diagram batang perbandingan ketercapaian KKM kemampuan komunikasi ilmiah dari
observasi pra siklus, Siklus I, Siklus II dan observasi akhir dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Observas
i Pra
Siklus
Persentase
0%
Siklus I
Siklus II
Observas
i Akhir
51.28%
82.05%
94.87%
Gambar 8. Diagram Ketercapaian KKM Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa
Penelitian ini juga mengukur tiap aspek kemampuan komunikasi ilmiah pada siswa,
adapun hasil pada observasi akhir yaitu :
Grafik Peningkatan pada Setiap Aspek Kemampuan
Komunikasi Ilmiah
58.00%
65.00%
71.00%
74.00%
21.00%
1
67.57%
65.54%
72.52%
68.58%
76.27%
68.13%
75.63%
74.79%
61.88%
78.67%
83.13%
77.50%
77.08%
64.06%
78.20%
2
3
4
Aspek 1
Aspek 2
Aspek 4
Aspek 5
Aspek 3
Gambar 9. Grafik Peningkatan Komunikasi Ilmiah Setiap Aspek
Gambar 9 menjelaskan bahwa empat aspek meningkat dari pra siklus, walaupun pada
aspek kedua mengalami penurunan. Aspek pertama mengalami peningkatan sebesar 57,2%,
aspek kedua mengalami penurunan sebesar 9,94%, aspek ketiga mengalami peningkatan sebesar
6,08%, aspek keempat mengalami peningkatan sebesar 12,5%, dan aspek kelima mengalami
peningkatan sebesar 25,13%. Aspek kedua yaitu menjelaskan hasil percobaan. Pada aspek ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurun dikarenakan komunikasi siswa lebih dinyatakan dalam presentasi dengan beberapa
siswa yang menjelaskan dalam kelompok, anggota dalam kelompok belum maksimal dalam
melakukan presentasi untuk menjelaskan hasil percobaan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama dua siklus
dengan menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) pada materi Alatalat Optik di kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo, analisis data perbandingan nilai antar
siklus dan uji hipotesis menggunakan uji t satu ekor, maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran SSCS pada materi Alat-alat Optik dapat meningkatkan komunikasi siswa kelas X
MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo. Hal ini ditunjukkan dari ketercapaian kemampuan komunikasi
ilmiah siswa pada pra siklus sebesar 0%, naik menjadi 51,28% pada siklus I dan naik menjadi
82,05% pada siklus II. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah kelas X MIA 7
SMA Negeri 1 Sukoharjo sebelum diterapkannya model pembelajaran SSCS dan sesudah
penerapan model pembelajaran SSCS. Hal ini ditunjukan pada hasil perhitungan analisis uji t (1
ekor) diperoleh bahwa nilai thitung = 15,90 > ttabel = 1,69, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah siswa
sebelum menggunakan model pembelajaran SSCS dan sesudah menggunakan model
pembelajaran SSCS. Empat aspek komunikasi ilmiah dari 5 aspek mengalami peningkatan.
Aspek pertama mengalami peningkatan sebesar 57,2%, aspek kedua mengalami penurunan
sebesar 9,94%, aspek ketiga mengalami peningkatan sebesar 6,08%, aspek keempat mengalami
peningkatan sebesar 12,5%, dan aspek kelima mengalami peningkatan sebesar 25,13%.
Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi, maka dapat disampaikan saran-saran yang dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bagi Siswa
a. Siswa harus lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran, khususnya selama
penerapan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share), sehingga dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa.
b. Siswa hendaknya dapat mempergunakan waktu yang diberikan guru dengan sebaikbaiknya untuk belajar dan sungguh-sungguh dalam proses pembelajaran, sehingga hasil
yang didapatkan maksimal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bagi Guru
a. Guru hendaknya mengupayakan tindak lanjut terhadap pembelajaran dengan model
pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) pada pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Selain itu guru juga harus mengenalkan model pembelajaran SSCS
(Search, Solve, Create, Share) terhadap rekan sejawatnya agar dapat mempraktikkan
dalam proses pembelajaran lainnya.
b. Guru hendaknya dapat mengembangkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa dalam
kegiatan pembelajaran, sehingga kemampuan siswa berkembang secara optimal.
c. Guru hendaknya dapat menempatkan diri sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran
dengan memperhatikan setiap karakter siswanya. Guru harus memberikan perhatian
secara merata dan sesuai porsinya masing-masing.
3. Bagi Sekolah
a. Sebaiknya sekolah senantiasa memberikan pembekalan dan evaluasi bagi guru-guru di
sekolah tersebut agar guru dapat meningkatkan kualitas mengajarnya. Pembekalan
tersebut berupa pelatihan penerapan model dan metode inovatif dalam upaya
meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan kualitas siswa, salah satunya dengan
menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share).
b. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya berusaha memberikan kontribusi sarana
dan prasarana kepada guru dan siswa agar dapat mengembangkan potensi dan kualitas
mereka, sehingga akan berpengaruh terhadap citra dan kualitas sekolah.
4. Bagi Peneliti Lain
a. Dalam menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) hendaknya
peneliti menambahkan variasi-variasi dalam tindakan yang dilakukan, sehingga mampu
meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa yang diharapkan.
b. Bagi peneliti yang menggunakan variabel model pembelajaran SSCS (Search, Solve,
Create, Share), hendaknya menambahkan sumber primer yang berasal dari buku asing.
Dengan adanya hal tersebut, dapat digunakan untuk menguatkan kajian teori dan
dijadikan dasar atau pedoman yang kuat dalam menentukan langkah ketika melaksanakan
penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daftar Referensi
Awang, Halizah dan Zawawi daud. (2015). Improving a Communication Skill Through the
Lerning Approach Towards the Environment of Engineering Classroom Jurnal
dipublikasikan Procedia-Social nd Behavioral Sciences 195 (2015) 480-486. Elsevier
Ltd: Istanbul University.
Depdiknas. (2003). Kurikulum SMA 2004 Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan
Penilaian. Jakarta: Depdiknas.
Ekantara. (2011). Implementasi Model Pembelajaran SSCS Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 2 Tegallalang .
Skripsi tidak dipublikasikan. Jurusan Fisika, FMIPA, Undiksha.
Karso, dkk. (1993). Dasar-dasar Pendidikan MIPA. Jakarta : Depdikbud.
Runtut Prih Utami. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Search Solve Create And Share
(SSCS) dan Problem Based Instruction Terhadap Prestasi Belajar dan Kreativitas
Siswa . Jurnal Bioedukasi Vol. 4, No. 2, hal. 57-71.UIN Sunan Kalijaga.
Santoso, Erfan Budi dan Djumaidi. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Search, Solve,
Create,And Share Dan Predict Observe Explain Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa
Kelas Viii Smpn 1 Gondangrejo Karanganyar Tahun Ajaran 2013/2014 . Varia
Pendidikan, Vol. 26. No. 1, Juni 2014. UMS.
Santrinitas Yulia Dwi Rahmawati, dkk. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Problem
Solving Menggunakan Metode SSCS (Search, Solve, Create, Share) Melalui Kegiatan
Laboratorium untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia Materi
Pokok Sistem Koloid Siswa SMA Negeri Gondangrejo Tahun Pelajaran 2011/2012 .
Prosiding dipublikasikan. Surakara: Universitas Sebelas Maret.
Sugiyanto. (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka. ISBN 978602-8580-11-3.
Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA.
Sukardi. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. ISBN 979-526-852X.
Syah, Muhibbin. (2009). Buku Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press PT Raja Grafindo
Persada. ISBN 979-421-933-9.
Wartakota.tribunnews.com 23 september 2015
Widya Nurhayati. (2013). Peningkatan Komunikasi Ilmiah Pembelajaran IPA Melalui Model
Kooperatif Tipe Think Talk Write. Joyful Learning Journal JLJ (1) (2012) ISSN 22529047. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Wrench, dkk. (2009). Communication, Affect, & Learning in the Classroom 3 rd Edition. Creative
Commons Attribution: United States of America.
Wulanjari, Sri. (2007). Pengaruh Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share)
dan Metode Pembelajaran GI (Group investigation) Terhadap Prestasi Belajar dengan
Memperhatikan Kreativitas Siswa pada Materi Kimia Sistem Koloid Semester Genap
Kelas XI Ilmu Alam SMAN 1 Gemolong Tahun Pelajaran 2006/2007 . Skripsi tidak
dipublikasikan. FKIP Universitas Sebelas Maret.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persetujuan Pembimbing
Surakarta,
Agustus 2016
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd.
Dwi Teguh Rahardjo, S.Si, M.Si
NIP. 19510401 197603 2 001
NIP. 19680403 199802 1 001
commit to user
digilib.uns.ac.id
Peningkatan Komunikasi Ilmiah Siswa Kelas X MIA
Melalui Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share)
pada Materi Alat-alat Optik
Arum Angger R1, Nonoh Siti A2, Dwi Teguh Rahardjo3, Bambang Mulyono4
1.
2.
3.
Physics Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, 57126,
Indonesia
Physics Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, 57126,
Indonesia
Physics Department, Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, 57126,
Indonesia
[email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran SSCS
(Search, Solve, Create, Share) pada materi Alat-alat Optik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah
siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016. Penelitian ini merupakan Penelitian
Tindakan Kelas (Classroom Action Research ) dengan model Kemmis dan Mc. Taggart, serta model kolaboratif yang
dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus diawali dengan tahap persiapan dan dilanjutkan dengan tahap
pelaksanaan siklus yang terdiri atas perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek
penelitian adalah siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Ajaran 2015/ 2016 sebanyak 39 siswa. Data
diperoleh melalui observasi dan tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data yang digunakan
adalah uji t 1 ekor. Simpulan dari penelitian tindakan kelas ini adalah model pembelajaran SSCS pada materi Alatalat Optik dapat meningkatkan komunikasi siswa kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo. Hal ini ditunjukkan dari
ketercapaian kemampuan komunikasi ilmiah siswa pada pra siklus sebesar 0%, naik menjadi 51,28% pada siklus I
dan naik menjadi 82,05% pada siklus II. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah kelas X MIA 7 SMA
Negeri 1 Sukoharjo sebelum diterapkannya model pembelajaran SSCS dan sesudah penerapan model pembelajaran
SSCS. Hal ini ditunjukan pada hasil perhitungan analisis uji t (1 ekor) diperoleh bahwa nilai t hitung = 15,90 > ttabel =
1,69, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Empat aspek komunikasi ilmiah dari 5 aspek mengalami peningkatan.
Aspek pertama mengalami peningkatan sebesar 57,2%, aspek kedua mengalami penurunan sebesar 9,94%, aspek
ketiga mengalami peningkatan sebesar 6,08%, aspek keempat mengalami peningkatan sebesar 12,5%, dan aspek
kelima mengalami peningkatan sebesar 25,13%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan
kemampuan komunikasi ilmiah siswa sebelum menggunakan model pembelajaran SSCS dan sesudah menggunakan
model pembelajaran SSCS.
Improving Scientific Communication Students X MIA Through SSCS Model
(Seacrh, Solve, Create, Share) In Optical Instruments
Abstract
This research was intended to know that implementation of SSCS learning model ini Optical Instruments
is able to improve student’s scientific communication of X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo in 2015/2016. This
research was an Classroom Action Research using Kemmis and Mc. Taggart Model, and also colaborative model
that is conducted in two cycles. Each cycle started with preparation step and continued by the implementation
cycle’s step consist of planning of the action, implementing the action, observing the action, and reflecting the
action. The subject of this research were 39 students of X MIA 7 of SMA Negeri 1 Sukoharjo in the academic year
2015/2016. The data is collected by observation and written test. The technique of analyzing data is using
qualitative and quantitative analysis with one-tailed commit
test. Based
the data analysis and the study in researh can be
toonuser
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
concluded that the SSCS learning model are able to improve student’s sc ientific communication. It can be seen from
the percentage of students who have good scientific coomunication in the pre cycle is 0%, in the first cycle is
51,28% and in the second cycle is 82,05%. There is an improvement of student’s scientific communicat ion of X MIA
7 SMA Negeri 1 Sukoharjo before the implementation and after the implementation of SSCS learning model. In the
calculation one-tailed test analysis obtained that the value of ttest = 15,90 > ttable = 1,69, with the significancy level α
= 5%, so H 0 is rejected dan H 1 is accepted. Four categories of student’s scientific communication from five
categories increased. The first category increased 57,2%, second category decreased 9,94%, third category
increased 6,08%, fourth category increased 12,5%, and the fifth category increased 25,13%. So there is an
improvement in student’s scientific communication ability before the implementation and after the implementation of
SSCS learning model.
Keywords: Classroom Action Research; Optical Instruments; scientific communication; SSCS model
Pendahuluan
Pendidikan menjadi perhatian yang utama bagi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
prioritas anggaran yang dialokasikan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa
20% APBN dialokasikan untuk pendidikan. Namun, hasil dari kenyataan di lapangan belum
cukup memuaskan. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad, pendidikan di Indonesia memiliki peringkat
yang sejajar dengan Thailand, namun dari segi kualitas mengalami ketertinggalan dari negaranegara lain di Asia Tenggara (wartakota.tribunnews.com 23 September 2015).
Pemerintah telah melakukan usaha-usaha dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran. Salah satunya dengan menerapkan kurikulum 2013. Salah satu kemampuan yang
hendak dicapai dari penerapan kurikulum 2013 ialah kemampuan komunikasi ilmiah siswa, yaitu
kemampuan mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan
menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan,
mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan
secara lisan dan tertulis, salah satunya dalam mata pelajaran Fisika (Karso dkk, 1993). Wrench
dkk (2009: 56) menjelaskan bahwa sekitar 20% siswa di sekolah mungkin menderita ketakutan
dalam komunikasi. Komunikasi verbal siswa cenderung rendah dan hanya muncul ketika siswa
dipaksa. Komunikasi ini merupakan kemampuan dalam aspek kognitif yang dikhususkan pada hal
berkomunikasi dengan orang lain. Padahal, proses pembelajaran kurikulum 2013 dilakukan
melalui pendekatan ilmiah, mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.
Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kemampuan komunikasi pada siswa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Komunikasi ilmiah adalah keterampilan untuk mengkomunikasikan pengetahuan
ilmiah hasil temuannya dan kajiannya kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan”
(Samatowa dalam Nurhayati, 2012: 14). Komunikasi ilmiah merupakan serangkaian kerja
ilmiah. Joyful Learning Journal milik Nurhayati (2012: 16) menyatakan: “kerja ilmiah meliputi
penyelidikan/ penelitian, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreatifitas dan pemecahan
masalah, sikap dan nilai ilmiah”. Berkomunikasi ilmiah adalah siswa mengkomunikasikan
pengetahuan ilmiah hasil temuannya dan kajiannya kepada berbagai kelompok sasaran untuk
berbagai tujuan. Komunikasi ilmiah dapat direalisasikan dalam komunikasi lisan di dalam
pembelajaran. Siswa dapat dibagi menjadi beberapa kelompok dan memecahkan masalah
bersama-sama dalam kelompok tersebut.
Setelah melakukan observasi pada 8 Januari 2016 di kelas X di SMA N 1 Sukoharjo,
kenyataan di kelas X MIA 7 menunjukkan bahwa ketika pembelajaran berlangsung, banyak
siswa yang memperhatikan namun dengan pandangan kosong, gelisah, bertopang dagu, bahkan
menyandarkan kepala pada meja. Ketika diberi pertanyaan oleh guru, siswa cenderung tidak
dapat menjawab dan hanya diam mengikuti instruksi guru. Dua siswa yang diberi pertanyaan
oleh guru hanya mengikuti instruksi guru untuk maju ke depan kelas dan menuliskan jawaban,
namun tidak dapat menjelaskan ataupun mengkomunikasikan kepada teman yang lain di dalam
kelas. Menurut hasil wawancara dengan guru pengampu kelas X MIA 7, permasalahan pokok
adalah ketika siswa di dalam pikirannya mengerti, namun tidak dapat mengkomunikasikan
secara lisan dan berdampak pada sulitnya siswa dalam menerjemahkan setiap persoalan Fisika
yang dihadapi. Hal ini dapat diindikasikan sebagai rendahnya kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan apa yang ada di pikirannya, sehingga siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan guru dengan baik. Hasil nilai ulangan harian di kelas X MIA 7 juga menunjukkan
hanya 5 dari 39 siswa atau 12,8% siswa yang memiliki nilai di atas KKM 75. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Selain itu, ketika siswa diwawancarai
mengenai proses pembelajaran, proses pembelajaran yang dilakukan cenderung ceramah dan
latihan soal, jarang dilakukan diskusi dan praktikum. Pembelajaran yang berlangsung cenderung
ke arah konvensional, yaitu guru ceramah di depan kelas dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat
memancing siswa untuk berkembang seperti adanya kegiatan praktikum, diskusi, tugas
portofolio, jarang dilakukan. Ketika siswa ditanya, siswa masih sedikit kebingungan dalam
mengungkapkan secara lisan. Siswa cenderung mengkomunikasikan dalam bentuk tertulis dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maju ke depan kelas. Banyak siswa mengungkapkan bahwa pembelajaran fisika selama ini
berlangsung kurang menarik dan membosankan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa
gejala, diantaranya : (1) ada siswa yang mengerjakan tugas lain saat pembelajaran fisika, (2) ada
siswa yang tidak membawa buku paket atau LKS fisika, (3) ada beberapa siswa yang melakukan
aktivitas lain diluar aktivitas pembelajaran fisika, seperti berbincang dengan teman, menggambar
dan lainnya, serta (4) siswa banyak yang kurang aktif dalam hal bertanya tentang materi
pembelajaran yang belum mereka pahami, kurang aktif menyampaikan pendapat sehingga
keingintahuan mereka terhadap mata pelajaran Fisika masih rendah. Kemudian, berdasarkan
hasil observasi awal kemampuan komunikasi ilmiah siswa Kelas X MIA 7 SMA Negeri 1
Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016 yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata kemampuan
komunikasi ilmiah siswa sebesar 18,59% dan dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
ilmiah siswa masih rendah.
Untuk mengoptimalkan pembelajaran, akan dilakukan penelitian tindakan. Secara
praktis, penelitian tindakan pada umumnya sangat cocok untuk meningkatkan kualitas subjek
yang hendak diteliti dan subjek penelitian tindakan ini dapat berupa kelas (Sukidin dkk dalam
Sukardi; 2012: 211). Selain itu, penelitian tindakan kelas oleh Santrinitis Yulia Dwi Rahmawati
(2011: 6) mengungkapkan bahwa “penerapan model pembelajaran SSCS yang dilengkapi dengan
kegiatan laboratorium dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa pada materi
pokok sistem koloid kelas XI IPA 1 SMA Negeri Gondangrejo”. Prosentase awal siswa yang
tuntas untuk hasil belajar meningkat dari 41% menjadi 78%, dari aspek afektif meningkat dari
80% menjadi 88% dan dari aspek psikomotorik meningkat dari 70% menjadi 88% pada siklus
akhir. Model pembelajaran ini juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa
seperti yang diungkapkan oleh Awang dalam artikelnya yang menyebutkan bahwa model
Problem Solving pada Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
ilmiah siswa,
“Our goal in this paper was to present PBL as an approach model that could encourage
the communication skill during the learning process. Students who participate in problem
based learning are generally motivated by it and demonstrate good communication skills
among themselves. They have better understanding of the application of their knowledge
in practice and the complexities of other issues involved in the professional practice of
communication. Even though students perceived that learning through PBL was difficult,
they said that they did more thinking by talking than memorizing, understood the lessons
better through discussion and could accept this method of approach.”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, akan dilakukan pembelajaran dengan model SSCS
untuk meningkatkan komunikasi ilmiah siswa SMA Kelas X MIA 7 di SMA Negeri 1 Sukoharjo
ketika di kelas dengan judul skripsi Peningkatan Komunikasi Ilmiah Siswa SMA Kelas X MIA
Melalui Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) Pada Materi Alat-Alat Optik
Tinjauan Teoritis
Model Pembelajaran
Menurut pendapat Joyce dalam Trianto (2009: 22), Model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merancang
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkatperangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan
lain-lain. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran pada
dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang
disajikan secara khas oleh guru. Model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari
penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
SSCS adalah model pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem solving.
Fokus dari penggunaan model pembelajaran SSCS adalah membantu siswa untuk melakukan
pemecahan masalah secara mandiri (Sarastini, 2014: 3). Steinbach (dalam Santyasa, 2009: 4)
mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis pemecahan masalah sangat penting diterapkan karena
peserta didik akan lebih cepat melupakan materi yang hanya dijelaskan secara lisan dalam belajar,
sebaliknya mereka akan lebih lama mengingat jika diberikan contoh, dan memahami jika diberikan
kesempatan mencoba memecahkan masalah. Menurut pengertian Steinbach, model pembelajaran
SSCS merupakan model pembelajaran Problem Based Learning.
Problem-based learning (PBL) is one of the student centered approaches and has
been taken by a number of higher educational institutions in many regions of the
world as a method of deliverance. PBL is a total pedagogical approach to education
that focuses on assisting students develop self directed learning skills. It derives
from the theory that learning is a process in which the learner actively constructs
new knowledge on the foundation of current knowledge. PBL provides students
with the chance to advance theory and content knowledge and comprehension.
PBL helps students develop advanced cognitive abilities such as creative thinking,
problem solving and communication skills (Major dalam Awang, 2015: 482).
Problem Based Learning mendorong siswa untuk bekerja dengan beragam bahan
dan alat, sebagian beralokasi di ruang kelas, sebagian lainnya di perpustakaan sekolah atau
lab komputer, dan sebagian lagi di luar
sekolah.
commit
to userMengorganisasikn sumber daya dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merencanakan logistik untuk investigasi siswa adalah tugas perencanaan utama pada PBL
(Sugiyanto, 2010: 136).
Muhibbin Syah (2009: 127) menyatakan bahwa belajar pemecahan masalah pada
dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis,
logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan
kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu,
kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta
insight (tilikan akal) amat diperlukan. Hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana
belajar pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta,
seperti Matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar
yang berorientasi pada cara pemecahan masalah.
Pengertian Problem Based Learning yang terdapat dalam berbagai sumber tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan seperti berpikir
kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan berkomunikasi siswa. Penelitian tindakan kelas
ini menitik beratkan pada kemampuan komunikasi ilmiah siswa. Kemampuan ini akan
ditingkatkan melalui salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada masalah.
SSCS dikembangkan oleh Pizzini pada tahun 1988. Menurut Pizzini, Model
pembelajaran SSCS melibatkan siswa dalam menyelidiki situasi baru, membangkitkan minat
bertanya siswa dan memecahkan masalah-masalah nyata. SSCS merupakan metode
pembelajaran yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada siswa untuk
mengembangkan kreativitas dan keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh
pemahaman ilmu dengan melakukan penyelidikan dan mencari solusi dari permasalahan yang
ada (Wulanjari, 2007: 3). Berikut ini tabel yang berisi sintaks pelaksanaan Search, Solve,
Create, and Share (SSCS).
Tabel 1. Sintaks Search, Solve, Create, and Share (SSCS)
Fase
Fase 1 : Mendefinisikan masalah (Search)
Fase 2 : Mendesain solusi (Solve)
Perilaku Guru
Guru
menciptakan
situasi
yang
dapat
mempermudah
muncul-nya
pertanyaan,
menciptakan
dan
mengarahkan kegiatan, membantu dalam
pengelompokan
dan
penjelasan
permasalahan yang muncul
Guru menciptakan situasi yang menantang
bagi siswa untuk berpikir, membantu
commitsiswa
to usermengaitkan pengalaman yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fase 3 : Memformulasikan hasil (Create)
Fase 4 : Mempresentasikan hasil (Share)
sedang dikembangkan dengan ide,
pendapat atau gagasan siswa tersebut,
memfasilitasi
siswa
dalam
hal
memperoleh informasi dan data
Guru
mendiskusikan
kemungkinan
penetapan
audien
dan
audiensi,
menyediakan ketentuan dalam analisis
data
dan
teknik
penayangannya,
menyediakan
ketentuan
dalam
menyiapkan presentasi
Guru menciptakan terjadinya interaksi
antara kelompok/ diskusi kelas, membantu
mengembangkan metode atau cara-cara
dalam mengevaluasi hasil penemuan studi
selama persentasi, baik secara lisan
maupun tulisan
(Sumber. Ekantara, 2011: 31)
Komunikasi Ilmiah
Komunikasi berasal dari kata latin “communicare” yang artinya membuat jadi biasa,
berbagi, mengimpor dan mentranmisikan dan selanjutnya dari kata ini muncul kata
communication, communicate, communicator dan sebagainya. Komunikatif merupakan salah satu
karakter yang telah ada dalam diri siswa sejak lahir namun sangat perlu untuk dikembangkan.. Siswa
dengan komunikasi yang baik akan banyak bertanya maupun berpendapat mengenai materi
pembelajaran di kelas maupun informasi yang diperolehnya dari lingkungan sekitarnya. Untuk itu
karakter komunikatif perlu dikembangkan pada diri siswa agar siswa dapat berkomunikasi dengan
baik. Menurut Wrench dkk (2009: 56)
It has been estimated that 20% of the student population in a school may suffer from
communication apprehension. Communication apprehensive students tend to be low
verbalizers and often only speak when forced to do so. If a students feras something, it
is natural to avoid it or withdraw from it, and this is precisely what the communication
apprehension student does. Communication apprehension is a cognitive state that is
centered around the fear of communicating with others.
Wrench dkk menjelaskan bahwa sekitar 20% siswa di sekolah mungkin menderita
ketakutan dalam komunikasi. Komunikasi verbal siswa cenderung rendah dan hanya muncul ketika
siswa dipaksa. Komunikasi ini adalah ranah kognitif yang berpusat pada ketakutan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Padahal, penguatan proses pembelajaran kurikulum 2013
dilakukan melalui pendekatan ilmiah, yaitu pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu
dalam mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.
Salah satu kompetensi yang dituntut pula pada mata pelajaran Fisika sebagai bagian
dari ilmu pengetahuan alam (IPA) adalah kemampuan melakukan kerja ilmiah. Depdiknas (2003:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10) dalam panduan Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaiaan menyatakan bahwa
“kerja ilmiah mempunyai empat kompetensi dasar yaitu merencanakan penelitian ilmiah,
melaksanakan penelitian ilmiah, mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah, dan bersikap
ilmiah”. Oleh karena itu, peningkatan komunikasi dalam diri siswa perlu dilakukan.
Komunikasi ilmiah (scholarlyor scientific communication) adalah komunikasi yang
umumnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan penelitian atau penyelidikan, khususnya di
lingkungan akademik.
Komunikasi ilmiah dijelaskan oleh Depdiknas (2003: 3) sebagai berikut:
Salah satu standar kompetensi dasar kerja ilmiah adalah mengkomunikasikan
hasil penelitian ilmiah. Siswa mampu menyajikan hasil penelitian dan kajiannya
dengan berbagai cara kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan
(komunikasi ilmiah). Kompetensi komunikasi ilmiah (mengkomunikasikan hasil
kerja/penelitian ilmiah) merupakan salah satu kompetensi dasar dari kegiatan ilmiah
yang mempunyai bebarapa indikator didalamnya. Tujuan yang hendak dicapai pada
kompetensi komunikasi ilmiah ini adalah siswa dituntut mampu menyajikan hasil
penelitian/kerja ilmiah dengan berbagai cara (lisan atau tulisan) kepada berbagai
kelompok sasaran untuk berbagai tujuan.
Karso dkk (1993) mengungkapkan bahwa indikator komunikasi ilmiah meliputi : (a)
menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematik dan jelas, (b) menjelaskan hasil
percobaan, (c) mendiskusikan hasil percobaan, (d) mengklasifikasikan data dan menyusun data
serta (e) menggambarkan data dalam grafik, tabel, atau diagram. Sutardi (2008) mengungkapkan
kemampuan siswa berkomunikasi ilmiah meliputi kemampuan membuat tabel perhitungan,
membuat grafik, dan mengintepretasikan grafik. Kemampuan berkomunikasi ilmiah dapat diukur
dengan pengamatan terhadap siswa dalam praktikum.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Sukoharjo kelas X MIA 7 pada semester
genap Tahun Pelajaran 2015/2016. Sekolah ini beralamat di Jalan Pemuda No.38 Sukoharjo.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juni tahun pelajaran 2015/2016.
Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 7 semester genap SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun
ajaran 2015/2016 yang terdiri atas 39 siswa. Objek penelitian ini adalah kemampuan komunikasi
ilmiah siswa kelas X MIA 7 semester genap SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran
2015/2016 yang terdiri atas 39 siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data
tentang keadaan siswa dari aspek kulitatif berupa hasil observasi dan dokumentasi, serta data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kuantitatif yang berupa hasil belajar berupa nilai yang diperoleh dari tes kognitif guna
mendukung ketercapaian kemampuan komunikasi ilmiah siswa.
Instrumen Pembelajaran yang digunakan berupa silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran), dan LKS (Lembar Kerja Siswa). Sedangkan instrumen penelitian berupa
instrumen penilaian kemampuan komunikasi ilmiah dan instrumen pendukung, yaitu instrumen
penilaian kognitif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan uji t (1 ekor). Pengujian hipotesis pertama yaitu
data kuantitatif dianalisis dengan teknik statistik deskriptif komparatif, yaitu membandingkan
hasil hitung statistik deskriptif berupa mean dan persentase ketercapaian kemampuan komunikasi
ilmiah siswa pada pra siklus, siklus I, dan siklus II. Pengujian hipotesis kedua dianalisis uji t (1
ekor) untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah siswa kelas X
MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Indikator kinerja merupakan rumusan kinerja yang akan dijadikan acuan dalam
menentukan keberhasilan atau keefektifan penelitian. Indikator kinerja dikemukakan sebagai
tolak ukur keberhasilan penelitian yang dilakukan. Apabila hasil refleksi siklus telah mencapai
target pada indikator kinerja maka siklus dapat dihentikan namun apabila hasil refleksi belum
mencapai target yang ditetapkan maka dilanjutkan dengan siklus berikutnya dengan melakukan
beberapa perbaikan.
Penelitian dikatakan berhasil apabila target yang telah direncanakan pada penelitian
tercapai. Target penelitian disusun oleh peneliti dan guru dengan memperhatikan kondisi awal
kelas yang dijadikan subjek penelitian dan memperhatikan pembagian waktu dalam silabus
pembelajaran yang telah ditetapkan sekolah. Penelitian ini mengembangkan 5 aspek kemampuan
komunikasi ilmiah siswa dan persentase yang ditargetkan 75 % siswa mencapai kemampuan
komunikasi ilmiah dalam kategori baik.
Prosedur dan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model
yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart yaitu model spiral. Model Kemmis dan Mc
Taggart pada hakikatnya berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat
terdiri dari empat komponen yaitu: rencana tindakan (planning), tindakan (acting), pengamatan
(observing) dan refleksi (reflecting). Keempat komponen yang berupa untaian tersebut
dipandang sebagai satu siklus. Apabila satu siklus belum menunjukkan tanda-tanda perubahan ke
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
arah perbaikan (peningkatan mutu), kegiatan penelitian dilanjutkan pada Siklus II dan
seterusnya.
Hasil Penelitian
Hasil observasi menunjukkan rata-rata kemampuan komunikasi ilmiah siswa hanya
18,59%, dengan kemampuan komunikasi ilmiah tertinggi memiliki nilai 43,33. Wawancara dan
observasi langsung mengindikasikan rendahnya kemampuan komunikasi ilmiah siswa yang
ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan siswa untuk dapat mengkomunikasikan setiap proses
dalam pembelajaran yang berlangsung baik lisan maupun tertulis. Data kemampuan awal
kemampuan komunikasi ilmiah diambil dari hasil observasi pra siklus yang dilakukan sebelum
masuk pembelajaran Siklus I dengan Kriteria Ketuntasan Minimal 75 sesuai dengan KKM
sekolah.
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Persentase
Sangat
Baik
Baik
0
0
Cukup
Kurang
Sangat
Kurang
33.33% 15.38% 51.28%
Gambar 1. Diagram Hasil Observasi Pra Siklus Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa semua siswa memiliki kemampuan
komunikasi ilmiah dengan kategori cukup, kurang, dan sangat kurang. Siswa yang memiliki
kemampuan komunikasi ilmiah cukup yaitu 13 siswa atau 33,33%, siswa yang memiliki
kemampuan komunikasi ilmiah kurang yaitu 6 siswa atau 15,38%, dan siswa yang memiliki
kemampuan komunikasi ilmiah sangat kurang sebanyak 20 siswa atau 51,28%. Dengan
demikian, setengah dari jumlah siswa memiliki kemampuan komunikasi ilmiah dalam
kategori sangat kurang.
Berdasarkan hasil observasi pra siklus yang disajikan pada Gambar 1, semua siswa
yang berjumlah 39 siswa belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditentukan
dari sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketercapaian Tiap Aspek
80.00%
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
1
2
3
4
5
Persentase 21.00% 74.00% 71.00% 65.00% 58.00%
Gambar 2. Diagram Ketercapaian Tiap Aspek Hasil Observasi Pra Siklus Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa semua aspek dalam observasi pra siklus ini belum
mencapai target 75%. Bahkan, aspek 1 memiliki persentase paling rendah. Hal ini dikarenakan
siswa jarang melakukan diskusi, eksperimen, dan menulis laporan praktikum. Aspek pertama
pada kemampuan komunikasi ilmiah yaitu nenyusun dan menyampaikan laporan secara
sistematik dan jelas. Aspek kedua yaitu menjelaskan hasil percobaan, aspek ketiga yaitu
mendiskusikan hasil percobaan, aspek keempat yaitu mengklasifikasikan data dan menyusun
data, serta aspek kelima yaitu menggambarkan data dalam table.
Berdasarkan hasil tes sebelum tindakan yaitu pada materi Fluida Statis, Pegas, dan
Suhu Kalor jumlah siswa yang dapat mencapai standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)
hanya 8 siswa (20,51%) dari jumlah keseluruhan siswa yang berjumlah 39 siswa. Sejumlah 31
siswa belum mencapai batas KKM yang ditentukan oleh pihak sekolah yaitu 75. Berdasarkan
hasil analisis prasiklus, maka diperlukan adanya tindakan untuk meningkatkan komunikasi
ilmiah kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Tabel 2. Data Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa pada Pembelajaran
Siklus I dan Siklus II
Siklus
KKM
I
II
75
75
Jml Siswa yang
mengikuti
pembelajaran
39
39
Rata-rata
Skor Kelas
41,67
46
Jml Siswa
yang Belum
Tuntas
30
9
commit to user
Persentase
Ketuntasan
(%)
23,08
76,92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada siklus I, siswa yang lulus berjumlah 9 orang dengan Kriteria Ketuntasan
Minimal 75. Pada siklus II, jumlah siswa yang lulus berjumlah 30 orang dengan KKM 75.
Rerata skor hasil observasi kemampuan komunikasi ilmiah siswa pada pembelajaran Siklus I
yaitu 41,67 dan Siklus II yaitu 46. Dilihat dari hasil tersebut, terjadi peningkatan kemampuan
komunikasi ilmiah siswa pada pembelajaran Siklus I dan Siklus II. Data rerata hasil observasi
kemampuan komunikasi ilmiah dapat dilihat pada Gambar 3.
Rerata Skor
Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah
Siswa Kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo
50
45
40
35
Series1
Siklus I
41.67
Siklus II
46
Gambar 3. Rerata Skor Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Kelas X MIA 7 SMA Negeri 1
Sukoharjo
Tabel 3.
Data Hasil Tes Siswa pada Pembelajaran Siklus I dan Siklus II
Siklus
KKM
I
II
75
75
Jml Siswa yang
mengikuti
pembelajaran
39
39
Rata-rata
Nilai Kelas
77,05
84,49
Jml Siswa
yang Belum
Tuntas
11
7
Persentase
Ketuntasan
(%)
71,79
82,05
Pada siklus I, siswa yang lulus berjumlah 28 orang dengan Kriteria Ketuntasan
Minimal 75. Pada siklus II, jumlah siswa yang lulus berjumlah 32 orang dengan KKM 75. Rerata
nilai kognitif siswa pada pembelajaran Siklus I yaitu 77,05 dan Siklus II yaitu 84,49. Dilihat dari
hasil tersebut, terjadi peningkatan kognitif siswa sebagai salah satu indikator meningkatnya
kemampuan komunikasi ilmiah siswa pada pembelajaran Siklus I dan Siklus II. Observasi akhir
digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi ilmiah siswa setelah pembelajaran yang
menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share). Observasi akhir ini
dilaksanakan setelah pelaksanaan pembelajaran Siklus II. Pelaksanaan observasi di akhir ini
bertujuan untuk mengetahui kontribusi pelaksanaan pembelajaran setiap siklusnya terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemampuan komunikasi ilmiah siswa serta untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan
kemampuan komunikasi ilmiah siswa. Hasil observasi akhir ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Hasil Observasi Akhir
Observasi Akhir
KKM
Jml Siswa
Rata-rata
Skor Kelas
Jml Siswa yang
Belum Tuntas
75
39
47
2
Persentase
Ketuntasan
(%)
94,87
Berdasarkan hasil observasi akhir yang disajikan pada Tabel 4, ada 37 siswa yang
sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal.
Pembahasan
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus dilaksanakan
dalam dua kali pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan 3 x 45 menit dan pertemuan kedua
dilaksanakan 2 x 45 menit. Tiap satu pertemuan terdiri atas empat tahapan, yaitu: (1)
perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi.
Tabel 5. Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siklus I
Jumlah
Kriteria
Sangat Baik
0
Persentase
(%)
0
Baik
20
51,28
Cukup
18
46,15
Kurang
1
2,56
Sangat Kurang
0
0
Siswa
Secara total, pada Siklus I siswa yang mencapai tingkat kemampuan komunikasi ilmiah
pada kategori baik yaitu berjumlah 20 siswa dan secara umum skor rata-rata meningkat dari
26,08 ke 41,67 dari seluruh siswa kelas X MIA 7. Hasil observasi kemampuan komunikasi
ilmiah siswa untuk Siklus I ditampilkan pada Tabel 6.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 6.
digilib.uns.ac.id
Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus I Kelas X MIA 7
SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016
Aspek yang dinilai
Kemampuan Komunikasi
Ilmiah Siswa
Kategori
Tuntas
Tidak Tuntas
Jumlah siswa
20
19
Persentase (%)
51,28
48,72
Adapun ketercapaian tiap aspek yaitu:
Ketercapaian Tiap Aspek
80.00%
70.00%
60.00%
1
2
3
4
5
Persentase 76.27%68.58%72.52%65.54%67.57%
Gambar 4. Diagram Ketercapaian Tiap Aspek Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus I
Aspek 1 pada tahap 1 mencapai ketuntasan sebesar 76,27%, aspek 2 mencapai 68,58%,
aspek 3 722,52%, aspek 5 yaitu 65,54%, dan aspek 5 sebesar 67,57%. Pada siklus I, aspek yang
mencapai target yaitu hanya aspek 1, karena siswa mulai dibiasakan untuk membuat laporan di
setiap akhir pembelajaran. Pada siklus I, jumlah siswa yang mencapai ketuntasan (mencapai
KKM 75) yaitu 25 siswa atau 64,10%. Sedangkan pada siklus II ada 14 orang siswa atau 35,90%
siswa yang belum lulus. Duabelas siswa memiliki nilai rentang 61-70, 14 siswa memiliki nilai
antara 71-80, dan 13 siswa memiliki nilai dalam rentang 81-90.
Kemampuan komunikasi ilmiah siswa diukur dengan lembar observasi dengan 5 aspek
dan 15 butir instrumen. Pada siklus II ini instrumen yang digunakan masih sama dengan siklus I.
Tabel 7. Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siklus II
Kategori
Jumlah
Persentase (%)
Sangat Baik
Siswa
2
Baik
30
76.92%
Cukup
7
17.95%
Kurang
0
0.00%
0
commit
to user
0.00%
Sangat Kurang
5.12%
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Sanga
t Baik
Baik
Cukup
Kuran
g
Persentase 5.12% 76.92% 17.95% 0.00%
Sanga
t
Kuran
g
0.00%
Gambar 5. Diagram Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siklus II
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 5, terlihat bahwa sebagian besar siswa
memiliki kemampuan komunikasi ilmiah dengan kategori baik yaitu sebanyak 76,92%.
Sementara kemampuan komunikasi ilmiah dengan kategori sangat baik meningkat dibandingkan
dengan Siklus I yaitu menjadi sebesar 5,12%. Hal ini menunjukkan ada peningkatan kemampuan
komunikasi ilmiah pada Siklus II.
Adapun ketercapaian tiap aspek pada siklus II dapat dilihat pada Gambar 6.
Ketercapaian Tiap Aspek
80.00%
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
1
2
3
4
5
Persentase 78.67% 61.88% 74.79% 75.63% 68.13%
Gambar 6. Diagram Ketercapaian Tiap Aspek Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus II
Berdasarkan hasil perlakuan dengan tindakan Siklus II, didapatkan hasil adanya
peningkatan pada aspek 1, 3, 4, dan 5. Sedangkan pada aspek 2 mengalami penurunan dari siklus
1 sebesar 68,58% menjadi 61,88%. Aspek nomor dua ini adalah aspek Menjelaskan Hasil
Percobaan. Aspek ini turun karena siswa lebih banyak melakukan komunikasi tulisan daripada
lisan. Pada Siklus II KKM yang ditetapkan oleh peneliti yaitu 75. Persentase siswa yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai kemampuan komunikasi ilmiah mencapai KKM adalah 82,05% dari seluruh siswa
kelas X MIA 7. Sedangkan siswa yang belum tuntas atau belum masuk dalam kategori baik
sebanyak 7 siswa atau 17,95%. Hasil observasi kemampuan komunikasi ilmiah siswa untuk
Siklus II ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8.
Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa Siklus II Kelas
X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016
Aspek yang dinilai
Kemampuan
Komunikasi Ilmiah
Siswa
Kategori
Jumlah siswa
Persentase (%)
Tuntas
32
82,05
Tidak Tuntas
7
17,95
Berikut ini disajikan diagram lingkaran hasil observasi kemampuan
komunikasi ilmiah siswa Siklus II kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo pada
Gambar 7.
18%
Tuntas
82%
Gambar 7. Diagram Lingkaran Ketercapaian Ketuntasan Kemampuan Komunikasi ilmiah Siswa Siklus II
Ranah kognitif Fisika diukur dengan menggunakan tes tertulis bentuk uraian berjumlah
5 soal yang diberikan kepada siswa. Tes tertulis dilakukan di akhir pembelajaran Siklus II. Dari
hasil tes, dijelaskan bahwa sebanyak 13 siswa mendapat nilai antara 91-100, 9 siswa mendapat
nilai 81-90, 10 siswa mendapat nilai 71-80, 7 siswa mendapat nilai 61-70. Tidak ada siswa yang
mendapat nilai antara 51-60. Siswa yang mendapat nilai di atas 75 (di atas KKM) yaitu sebanyak
33 siswa (84,61%) dan siswa yang belum tuntas (di bawah 75) sebanyak 15,38% atau 6 siswa.
Observasi akhir diberikan kepada siswa dengan tujuan untuk mengetahui besarnya
sumbangan pembelajaran setiap siklusnya dengan penerapan model pembelajaran SSCS (Search,
Solve, Create, Share) terhadap hasil akhir kemampuan komunikasi ilmiah. Observasi Akhir
berlangsung selama 45 menit pada tanggal commit
9 Maretto2015.
user Pada observasi ini, peneliti masuk ke
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam kelas dan mengamati siswa yang diberi tugas untuk dapat membuat teropong, membuat
video, dan laporan pembuatan teropong melalui presentasi di depan kelas. Batas ketuntasan hasil
belajar siswa harus memenuhi KKM yang telah ditentukan yaitu 75.
Diagram batang perbandingan ketercapaian KKM kemampuan komunikasi ilmiah dari
observasi pra siklus, Siklus I, Siklus II dan observasi akhir dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Observas
i Pra
Siklus
Persentase
0%
Siklus I
Siklus II
Observas
i Akhir
51.28%
82.05%
94.87%
Gambar 8. Diagram Ketercapaian KKM Kemampuan Komunikasi Ilmiah Siswa
Penelitian ini juga mengukur tiap aspek kemampuan komunikasi ilmiah pada siswa,
adapun hasil pada observasi akhir yaitu :
Grafik Peningkatan pada Setiap Aspek Kemampuan
Komunikasi Ilmiah
58.00%
65.00%
71.00%
74.00%
21.00%
1
67.57%
65.54%
72.52%
68.58%
76.27%
68.13%
75.63%
74.79%
61.88%
78.67%
83.13%
77.50%
77.08%
64.06%
78.20%
2
3
4
Aspek 1
Aspek 2
Aspek 4
Aspek 5
Aspek 3
Gambar 9. Grafik Peningkatan Komunikasi Ilmiah Setiap Aspek
Gambar 9 menjelaskan bahwa empat aspek meningkat dari pra siklus, walaupun pada
aspek kedua mengalami penurunan. Aspek pertama mengalami peningkatan sebesar 57,2%,
aspek kedua mengalami penurunan sebesar 9,94%, aspek ketiga mengalami peningkatan sebesar
6,08%, aspek keempat mengalami peningkatan sebesar 12,5%, dan aspek kelima mengalami
peningkatan sebesar 25,13%. Aspek kedua yaitu menjelaskan hasil percobaan. Pada aspek ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurun dikarenakan komunikasi siswa lebih dinyatakan dalam presentasi dengan beberapa
siswa yang menjelaskan dalam kelompok, anggota dalam kelompok belum maksimal dalam
melakukan presentasi untuk menjelaskan hasil percobaan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama dua siklus
dengan menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) pada materi Alatalat Optik di kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo, analisis data perbandingan nilai antar
siklus dan uji hipotesis menggunakan uji t satu ekor, maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran SSCS pada materi Alat-alat Optik dapat meningkatkan komunikasi siswa kelas X
MIA 7 SMA Negeri 1 Sukoharjo. Hal ini ditunjukkan dari ketercapaian kemampuan komunikasi
ilmiah siswa pada pra siklus sebesar 0%, naik menjadi 51,28% pada siklus I dan naik menjadi
82,05% pada siklus II. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah kelas X MIA 7
SMA Negeri 1 Sukoharjo sebelum diterapkannya model pembelajaran SSCS dan sesudah
penerapan model pembelajaran SSCS. Hal ini ditunjukan pada hasil perhitungan analisis uji t (1
ekor) diperoleh bahwa nilai thitung = 15,90 > ttabel = 1,69, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan komunikasi ilmiah siswa
sebelum menggunakan model pembelajaran SSCS dan sesudah menggunakan model
pembelajaran SSCS. Empat aspek komunikasi ilmiah dari 5 aspek mengalami peningkatan.
Aspek pertama mengalami peningkatan sebesar 57,2%, aspek kedua mengalami penurunan
sebesar 9,94%, aspek ketiga mengalami peningkatan sebesar 6,08%, aspek keempat mengalami
peningkatan sebesar 12,5%, dan aspek kelima mengalami peningkatan sebesar 25,13%.
Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi, maka dapat disampaikan saran-saran yang dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bagi Siswa
a. Siswa harus lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran, khususnya selama
penerapan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share), sehingga dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa.
b. Siswa hendaknya dapat mempergunakan waktu yang diberikan guru dengan sebaikbaiknya untuk belajar dan sungguh-sungguh dalam proses pembelajaran, sehingga hasil
yang didapatkan maksimal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bagi Guru
a. Guru hendaknya mengupayakan tindak lanjut terhadap pembelajaran dengan model
pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) pada pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Selain itu guru juga harus mengenalkan model pembelajaran SSCS
(Search, Solve, Create, Share) terhadap rekan sejawatnya agar dapat mempraktikkan
dalam proses pembelajaran lainnya.
b. Guru hendaknya dapat mengembangkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa dalam
kegiatan pembelajaran, sehingga kemampuan siswa berkembang secara optimal.
c. Guru hendaknya dapat menempatkan diri sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran
dengan memperhatikan setiap karakter siswanya. Guru harus memberikan perhatian
secara merata dan sesuai porsinya masing-masing.
3. Bagi Sekolah
a. Sebaiknya sekolah senantiasa memberikan pembekalan dan evaluasi bagi guru-guru di
sekolah tersebut agar guru dapat meningkatkan kualitas mengajarnya. Pembekalan
tersebut berupa pelatihan penerapan model dan metode inovatif dalam upaya
meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan kualitas siswa, salah satunya dengan
menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share).
b. Sekolah sebagai lembaga pendidikan hendaknya berusaha memberikan kontribusi sarana
dan prasarana kepada guru dan siswa agar dapat mengembangkan potensi dan kualitas
mereka, sehingga akan berpengaruh terhadap citra dan kualitas sekolah.
4. Bagi Peneliti Lain
a. Dalam menerapkan model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, Share) hendaknya
peneliti menambahkan variasi-variasi dalam tindakan yang dilakukan, sehingga mampu
meningkatkan kemampuan komunikasi ilmiah siswa yang diharapkan.
b. Bagi peneliti yang menggunakan variabel model pembelajaran SSCS (Search, Solve,
Create, Share), hendaknya menambahkan sumber primer yang berasal dari buku asing.
Dengan adanya hal tersebut, dapat digunakan untuk menguatkan kajian teori dan
dijadikan dasar atau pedoman yang kuat dalam menentukan langkah ketika melaksanakan
penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daftar Referensi
Awang, Halizah dan Zawawi daud. (2015). Improving a Communication Skill Through the
Lerning Approach Towards the Environment of Engineering Classroom Jurnal
dipublikasikan Procedia-Social nd Behavioral Sciences 195 (2015) 480-486. Elsevier
Ltd: Istanbul University.
Depdiknas. (2003). Kurikulum SMA 2004 Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan
Penilaian. Jakarta: Depdiknas.
Ekantara. (2011). Implementasi Model Pembelajaran SSCS Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 2 Tegallalang .
Skripsi tidak dipublikasikan. Jurusan Fisika, FMIPA, Undiksha.
Karso, dkk. (1993). Dasar-dasar Pendidikan MIPA. Jakarta : Depdikbud.
Runtut Prih Utami. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Search Solve Create And Share
(SSCS) dan Problem Based Instruction Terhadap Prestasi Belajar dan Kreativitas
Siswa . Jurnal Bioedukasi Vol. 4, No. 2, hal. 57-71.UIN Sunan Kalijaga.
Santoso, Erfan Budi dan Djumaidi. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Search, Solve,
Create,And Share Dan Predict Observe Explain Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa
Kelas Viii Smpn 1 Gondangrejo Karanganyar Tahun Ajaran 2013/2014 . Varia
Pendidikan, Vol. 26. No. 1, Juni 2014. UMS.
Santrinitas Yulia Dwi Rahmawati, dkk. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Problem
Solving Menggunakan Metode SSCS (Search, Solve, Create, Share) Melalui Kegiatan
Laboratorium untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia Materi
Pokok Sistem Koloid Siswa SMA Negeri Gondangrejo Tahun Pelajaran 2011/2012 .
Prosiding dipublikasikan. Surakara: Universitas Sebelas Maret.
Sugiyanto. (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka. ISBN 978602-8580-11-3.
Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA.
Sukardi. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. ISBN 979-526-852X.
Syah, Muhibbin. (2009). Buku Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Press PT Raja Grafindo
Persada. ISBN 979-421-933-9.
Wartakota.tribunnews.com 23 september 2015
Widya Nurhayati. (2013). Peningkatan Komunikasi Ilmiah Pembelajaran IPA Melalui Model
Kooperatif Tipe Think Talk Write. Joyful Learning Journal JLJ (1) (2012) ISSN 22529047. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Wrench, dkk. (2009). Communication, Affect, & Learning in the Classroom 3 rd Edition. Creative
Commons Attribution: United States of America.
Wulanjari, Sri. (2007). Pengaruh Model Pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share)
dan Metode Pembelajaran GI (Group investigation) Terhadap Prestasi Belajar dengan
Memperhatikan Kreativitas Siswa pada Materi Kimia Sistem Koloid Semester Genap
Kelas XI Ilmu Alam SMAN 1 Gemolong Tahun Pelajaran 2006/2007 . Skripsi tidak
dipublikasikan. FKIP Universitas Sebelas Maret.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persetujuan Pembimbing
Surakarta,
Agustus 2016
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd.
Dwi Teguh Rahardjo, S.Si, M.Si
NIP. 19510401 197603 2 001
NIP. 19680403 199802 1 001
commit to user