PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE (SSCS) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN ADVERSITY QUOTIENT SISWA SMA.

(1)

( Studi Kuasi Eksperimen di Salah Satu SMA Negeri Kota Serang )

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh

Dini Oktaviani 1204867

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PASCA SARJANA


(2)

Oleh Dini Oktaviani

S.Pd Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2010

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Megister Pendidikan (M.Pd) pada Fakultas Pendidikan Matematika

 Dini Oktaviani 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2014

Hak cipta dilindungi undang-undang.


(3)

AND SHARE (SSCS) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN ADVERSITY QUOTIENT SIWA SMA

Oleh:

Dini Oktaviani NIM. 1204867 Disetujui Oleh:

Pembimbing 1

Prof. Dr. H. Tatang Herman , M.Ed NIP. 196110111991011001

Pembimbing 2

Dr. H. Tatang Mulyana, M.Pd NIP 195101061976031004

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia


(4)

Pengaruh Model Pembelajaran Search, Solve, Create and Share (SSCS) terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

dan Adversity Quotient Siswa SMA” ABSTRAK

Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa hal ini tercantum dalam kurikulum KTSP 2006. Namun masih banyak didapati kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih rendah dengan respon yang kurang positif masih selalu muncul bila siswa diberi masalah yang non rutin. Tujuan penelitian adalah 1) mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share) lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional; 2) mengetahui apa terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa; 3) mengetahui apakah adversity quotient siswa yang mengikuti pembelajaran model SSCS (Search, Solve, Create, and Share) lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran konvensional; 4) mengetahui terdapat korelasi atau tidak antara kemampuan pemecahan masalah dengan adversity quotient siswa setelah mendapatkan pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share). Metode penelitian dalam penelitaian ini adalah kuasi eksperimen. Kesimpulan penelitian adalah 1) peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share) lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional; 2) tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dengan PAM (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah; 3) adversity quotient siswa yang mengikuti model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share) lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional; 4) terdapat korelasi yang signifikan serta hubungan yang positif antara kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient siswa setelah mendapatkan pembelajaran SSCS (search, solve, create and share).

Kata Kunci: Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Adversity Quotient, Model Search, Solve, Create, and Share (SSCS)


(5)

THE INFLUENCE OF LEARNING MODEL OF SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE (SSCS) TOWARD THE IMPROVEMENT OF MATHEMATICS PROBLEM SOLVING ABILITY AND ADVERSITY

QUOTIENT OF HIGH SCHOOL STUDENTS ABSTRACT

The mathemaics problem solving is one ability a student should get as written in KTSP 2006 curriculum. However, there can be found so many weak mathematics problem solving ability. Less positive response always occurs when students are given non routine mathemaatics problem. This show us that the aability of adversity quotient should be improved. The objectives of this study are; 1.) to know whether the improvement of students mathematics problem solving ability having SSCS (Search, Solve, Create and Share) learning model are better than those having conventional learning model; 2.) to know whether there are interaction between learnimg model (SSCS and conventional) and initial mathematical knoledge of students i.e. low, medium and high with the improvement of student’s mathematics problem solving ability; 3.)to know whether the adversity quotient of students havingSSCS leaarning model are better than those having conventional learning model; 4.) to know whether or not there is any correlation between the ability to solve problem with student’s adversity quotient after having SSCS learning model. The method used in this research is quasi-experiment. The conclusion of this research are 1.) the improvement of students mathematics problem solving ability having SSCS (Search, Solve, Create and Share) learning model are better than those having conventional learning model; 2.) there is no interaction between learnimg model (SSCS and conventional) and initial mathematical knoledge of students i.e. low, medium and high with the improvement of student’s mathematics problem solving ability; 3.) the adversity quotient of students havingSSCS leaarning model are better than those having conventional learning model; 4.) there are a significant correlation and positive relation between the ability to solve problem with student’s adversity quotient after having SSCS learning model.

Keywords: Mathematics problem solving ability, adversity quotient, search, solve, create and share (SSCS) learning model


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian... 13

E. Definisi Operasional ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Pemecahan Masalah ... 16

B. Adversity Quotient ... 21

C. Model Pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) ... 28

D. Penelitian Relevan ... 33

E. Kerangka Berpikir ... 35

F. Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 39


(7)

D. Prosedur Penelitian ... 45 E. Teknik pengumpulan data ... 47 F. Teknik pengolahan data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 58 A.1 Kemampuan Pemecahan Masalah ... 58

A.1.1 Deskripsi Data Hasil Penenlitian Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis ... 59 A.1.1.a Deskripsi Kemampuan Awal Pemecahan Masalah

Matematis Siswa ... 62 A.1.1.b Deskripsi Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

berdasarkan Pembelajaran ... 63 A.1.1.c Deskripsi Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis berdasarkan Pengetahuan Awal Matematis

Siswa ... 65 A.1.2 Analisis Kemampuan Akhir Pemecahan Masalah Matematis.. 66 A.1.3 Analisis Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Berdasarkan Pembelajaran... 70 A.1.4 Analisis Interaksi pembelajaran dan PAM terhadap

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. 74

A.2. Adversity Quoteient Siswa ... 77 A.2.1 Deskripsi Adversity Quotient Matematis Siswa ... 77 A.2.2 Analisis Adversity Quotient Matematis Siswa ... 78 A.2.3 Analisis Hubungan antara Kemampuan Pemecahan Masalah

dan Adversity Quotient Siswa ... 82


(8)

B.2 Interaksi antara Pembelajaran (SSCS dan Konvensional) dengan

PAM ( Tinggi, Sedang, dan Rendah) Siswa ... 87

B.3 Adversity Quotient Matematis Siswa... 88

B.4 Hubungan Adversity Quotient dan Kemampuan Pemecahan Masalah... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA………... 96

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 99


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Keterkaitan antara Variabel Bebas dan PAM Siswa ... 40

Tabel 3.2 Kriteria Pengelompokkan Pengetahuan Awal Matematis Siswa . 43 Tabel 3.3 Deskripsi Banyaknya Siswa dalam Kelompok PAM ... 43

Tabel 3.4 Kriteria Penyekoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis... 44

Tabel 3.5 Interpretasi Validitas Soal ... 48

Tabel 3.6 Hasil Validitas Uji Coba Instrumen ... 49

Tabel 3.7 Interpretasi Reliabilitas Soal ... 49

Tabel 3.8 Interpretasi Daya Pembeda ... 50

Tabel 3.9 Hasil Daya Pembeda Uji Coba Instrumen ... 51

Tabel 3.10 Hasil Indeks Kesukaran Uji Coba Instrumen ... 51

Tabel 3.11 Klasifikasi Gain Ternormalisasi ... 54


(10)

Masalah Matematis Siswa ... 60

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Postes Kelas Kontrol ... 67

Tabel 4.3 Uji Normalitas Data Postes Kelas Eksperimen ... 67

Tabel 4. 4 Uji Homogenitas Postes Kelas Kontrol dan Eksperimen ... . 68

Tabel 4.5 Rerata Nilai Postes Kelas Kontrol dan Eksperimen ... 69

Tabel 4.6 Uji Normalitas N-gain Kelas Kontrol... 70

Tabel 4.7 Uji Normalitas N-gain Kelas Eksperimen ... 71

Tabel 4.8 Uji Homogenitas N-gain Kelas Kontrol dan Eksperimen ... 72

Tabel 4.9 Rerata N-gain Kelas Kontrol dan Eksperimen ... 73

Tabel 4.10 Uji Normalitas N-gain Kemampuan Pemecahan Masalah berdasarkan PAM ... 74

Tabel 4.11 Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Pemecahan Masalah berdasarkan PAM ... 75

Tabel 4.12 Uji Anova Dua Jalur Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah berdasarkan Pembelajaran dan PAM ... 76

Tabel 4.13 Rerata AQ Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 78

Tabel 4.14 Uji Normalitas AQ Kelas Kontrol ... 78

Tabel 4.15 Uji Normalitas AQ Kelas Eksperimen ... 79


(11)

Tabel 4.18 Uji Normalitas Nilai Postes dan AQ Kelas Eksperimen ... 82

Tabel 4.19 Uji Korelasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Adversity Quotient Matematis Siswa ... 84

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Hirarki Kebutuhan Maslow ... 24

Gambar 2.2 AQ, Pembelajaran dan Tanggung Jawab ... 25

Gambar 2.3 Siklus Pelaksanaan Pembelajaran SSCS ... 30

Gambar 2.4 Tahapan-tahapan Pembelajaran SSCS ... 31

Gambar 4.1 Histogram Pretes KPMM Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 63

Gambar 4.2 Histogram N-gain Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen.... . 64

Gambar 4.3 Diagram N-gain KPMM berdasarkan PAM Siswa... 65


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia global yang saat ini begitu pesat menuntut kita untuk bisa bersaing sesuai tuntutan yang ada disekitar kita. Hal yang pasti terjadi dalam kehidupan adalah perubahan, agar bisa bertahan kita harus mengikuti dan melakukan perubahan dalam peningkatan mutu dan kualitas hidup kita.

Salah satu upaya untuk menembus persaingan yang ada saat ini, adalah meningkatkan kualitas SDM, yaitu dengan upaya meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan negara kita. Berdasarkan hal tersebut maka pendidikan dianggap sebagai jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam ekonomi dan sosial. Bukan hal yang baru lagi, bahkan sudah banyak upaya untuk menyadarkan masyarakat, mengenai pentingnya pendidikan. Banyaknya upaya yang dilakukan oleh pemerintah, institusi terkait, lembaga, dan guru untuk meningkatkan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang kompleks, bukan saja karena banyaknya faktor yang mempengaruhi tapi juga dikarenakan pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Banyak hal penting yang menjadi bagian dalam pendidikan yang harus diperhatikan diantaranya yaitu kurikulum, pembelajaran di kelas, sarana prasarana, kualitas pengajar, sampai tahap evaluasi. Upaya nyata kita sebagai pengajar dan peneliti adalah tidak hanya mencari kelemahan yang dimiliki siswa, tapi bagaimana memperbaiki kekurangan tersebut dengan membenahi pengajaran di kelas dengan menggunakan pembelajaran yang inovatif. Teacher center dalam pembelajaran pada masa dewasa ini tidak lagi cukup untuk menjawab tantangan yang ada. Pembelajaran dengan student center dianggap lebih berdampak positif


(13)

untuk perkembangan kognitif dan afektif siswa. Guru harus memberi waktu secukupnya kepada siswa untuk berpikir, maksudnya siswa tidak hanya menelan informasi secara bulat-bulat dari gurunya. Siswa berperan aktif dalam memperoleh pengetahuan, akan memberikan belajar bermakna dan berpeluang banyak untuk disimpan dalam long term memory siswa.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang diberikan kepada siswa sejak pra-taman kanak-kanak sampai kelas dua belas. Dengan penerapannya sebagai mata pelajaran wajib dan menjadi salah satu mata pelajaran yang terdapat pada Ujian Nasional disetiap tingkatan sekolah mulai dari SD, SMP, dan SMA, hal ini menunjukkan bahwa matematika merupakan bagian penting dalam kehidupan siswa kelak sehingga harus dikuasai dengan baik. Matematika merupakan ilmu yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, dan banyak pengaplikasian matematika dalam penyelesaian masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan nyata. Sependapat dengan ini Supatmono (2009:5) menyatakan matematika adalah ilmu yang tidak jauh dari realitas kahidupan manusia, karena tidak jauh dari realitas, aturan-aturan matematika sering diterapkan atau diaplikasikan dalam ilmu pengetahuan lain.

Pentingnya pembelajaran matematika mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, juga tercantum dalam kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) matematika 2006, sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.


(14)

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

Banyak kompetensi kognitif matematis maupun afektif yang harus dimiliki oleh siswa, agar keduanya dapat terpenuhi dan berjalan selaras dengan kebutuhan siswa dan lingkungan, maka pendidikan yang menjadi media yang tepat untuk siswa. Pentingnya kompetensi bagi siswa diungkapkan dalam PP NO.32 TAHUN

2013 “kompetensi adalah seperangkat sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh peserta didik setelah mempelajari suatu muatan pembelajaran, menamatkan suatu program, atau menyelesaikan satuan

pendidikan tertentu.”

Pada lampiran Permendikbud No. 69 th 2013 tentang Kurukulum SMA-MA di dalam kompetensi isi pada mata pelajaran matematika harus terdapat kompetensi sebagai berikut:

“memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan

minatnya untuk memecahkan masalah”.

Dari pernyataan di atas baik KTSP 2006 dan kurikulum 2013 menyebutkan bahwa siswa harus dapat menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi dalam memecahkan masalah adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa SMA. Pentingnya kompetensi pemecahan masalah juga disebutkan dalam dokumen standar pada NCTM yang merekomendasikan kompetensi standar yang harus dimiliki siswa yaitu:


(15)

1.) Kemampuan pemecahan masalah (problem solving); 2.)kemampuan komunikasi (communication); 3.) kemampuan koneksi (connection); 4.) kemampuan penalaran (reasoning); dan 5.) representasi (representation) dalam NCTM Standards (2000).

Seperti yang direkomendasikan oleh NCTM, bahwa kemampuan pemecahan masalah (problem solving) menjadi salah kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa. Hal ini kembali menunjukkan pentingnya kemampuan pemecahan masalah, seperti yang diungkapkan oleh NCTM (2010) “pemecahan masalah memainkan peran penting dalam matematika dan harus memiliki peran penting dalam pendidikan matematika dari siswa tingkat K-12. Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kemampuan pemecahan masalah (problem solving) harus dibiasakan dan dimiliki siswa pra-taman kanak-kanak hingga siswa kelas 12.

Wilson, Fernandez, dan Hadway (1993) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian penting dari matematika yaitu:

1. Pemecahan masalah adalah bagian utama dari matematika

2. Matematika memiliki banyak aplikasi dan sering aplikasi-aplikasi tersebut merupakan masalah penting dalam matematika

3. Pemecahan masalah merupakan motivasi intrinsik tertanam dalam memecahkan masalah matematika

4. Pemecahan masalah bisa menyenangkan

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga dijelaskan oleh NCTM dari (Wilson, Fernandez, dan Hadway, 1993) pembelajaran pemecahan masalah adalah alasan utama untuk mempelajari matematika. Namun berdasarkan hasil pretes oleh beberapa peneliti sebelumnya, menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih rendah, berikut adalah hasil pretes dari kedua peneliti yang mengangkat pemecahan masalah sebagai kemampuan yang harus diteliti:


(16)

 Berdasarkan hasil penelitian disertasi Machmud (2013) dalam tabel statistik deskriptif data kemampuan pemecahana masalah matematis dari dua kelas eksperimennya menunjukkan nilai pretes nya masih rendah yaitu dengan skor minimumnya 5,00 dan skor maksimumnya 25,00 dan 30,00 dengan rata-rata dari masing-masing kelasnya 12,595 dan 11,377 dengan skor maksimum idealnya adalah 50.

 Berdasarkan hasil penelitian tesis Sadat (2013) pada data statistik skor kemampuan pemecahan masalah matematis dari kelas eksperimen nilai minimumnya adalah 4 dan skor maksimumnya adalah 15 dengan rata-ratanya 8,6622. Kemudian pada kelas kontrolnya nilai minimum yang diperoleh adalah 2,5 dan nilai maksimumnya 18 dengan pemerolehan rata-ratanya 7,7763, dari skor ideal pemecahan masalah matematisnya 50.

Dari kedua data pretes hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih perlu ditingkatkan.

Masih kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa juga terlihat dari hasil penelitian TIMMS pada tahun 2011, soal-soal yang diangkat dalam penelitian TIMMS diantaranya penalaran dan pemecahan masalah. Dalam hasil penelitian 2011 menunjukkan bahwa kemampuan siswa masih jauh dari nilai rata-rata pencapaian yang diharapkan. Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 45 negara peserta. Tidak tercapainya skala nilai pusat dari TIMMS ini menindikasikan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia masih belum memenuhi standar TIMMS, dalam pengukurannya banyak kemampuan yang diukur salah satunya adalah pemecahan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam pemecahan masalah harus ditingkatkan lagi dalam segala aspek penunjangnya, salah satunya adalah pembelajaran di kelas.


(17)

Kemampuan pemecahan masalah harus melalui penalaran ilmiah (seperti yang diusulkan oleh John Dewey) karena masalah tetap menjadi tujuan utama pendidikan sains. Untuk membantu siswa menjadi pemecah masalah yang sukses, guru harus menerima kemampuan pemecahan masalah yang berkembang secara lambat, dengan cara yang lama, dan perhatian secara terus-menerus untuk menjadikan pemecahan masalah bagian yang terintegral dangan progam matematika.

Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa tidak hanya untuk sampai tahap siswa menjawab soal rutin yang ada di buku teks. Seperti yang nyatakan oleh NCTM (2000) “Through problem solving, students can experience the power and utility of mathematics”. Pernyataan ini bermakna bahwa pemecahan masalah ini akan memberikan pengalaman pada siswa mengenai penting dan gunanya matematika bagi siswa. Dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah salah satunya adalah dengan menggunakan pembelajaran yang inovatif, sehingga siswa merasa terdorong dan termotivasi untuk meningkatkan kemampuan mereka, dan memiliki rasa antusias yang tinggi dalam belajar, terutama dalam belajar matematika.

Melihat pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis yang telah dibahas, dan berdasarkan hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah masih rendah. Perlunya dilakukan sebuah upaya perbaikan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Namun hal yang perlu diperhatikan dari siswa bukan hanya kemampuan kognitifnya saja, tetapi ada aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu ranah afektifnya. Menurut Ariant (2012) “ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai”. Apabila ranah kognitif dan afektif dikembangkan secara selaras, maka akan terjadi keseimbangan perkembangan pada siswa. Ranah afektif


(18)

mencakup beberapa watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Apabila siswa mengalami perkembangan dalam ranah afektif, siswa akan memiliki ciri-ciri hasil belajar afektifnya yaitu dengan adanya perubahan tingkah laku yang mengarah positif. Ariant (2012) ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu:

1. Receiving atau attending ( menerima atau memperhatikan)

2. Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif” 3. Valuing (menilai atau menghargai)

4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan)

5. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai)

Berbagai macam bentuk afektif yang harus dimiliki, salah satunya adalah Adversity Quotient (AQ) yaitu kecerdasan menghadapi kesulitan atau masalah. Kesuksesan yang ingin dicapai dalam hidup ini ternyata tidak hanya dapat diramalkan dengan memiliki IQ yang tinggi saja, ataupun dengan disertai memiliki EQ yang tinggi pula. Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa orang-orang yang mencapai kesuksesan adalah orang-orang yang memiliki IQ yang pada tingkat sedang-sedang saja. Pertanyaannya adalah, mengapa bisa demikian?. Ternyata tidak hanya dengan mengukur tingkat IQ seseorang kita bisa meramalkan kesuksesan seseorang, karena banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi ternyata dia tidak sanggup menjawab tantangan yang ada di dunia sebenarnya, banyak hal yang melatar belakanginya, seperti kemampuan bersosialisasi yang tidak baik, karena lebih menyukai menyendiri. Ada juga dikarenakan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam kehidupannya.

Pada dasarnya sebagai manusia dilahirkan dengan dorongan untuk berkembang. Contoh saat dilahirkan, yang awalnya bergerak secara terbatas


(19)

berkembang menjadi berjalan sampai melakukan aktifitas-aktifitas fisik yang mungkin sudah tidak terbatas, berdasarkan hal tersebut kita bisa lihat dorongan

inti manusiawinya adalah untuk terus mendaki. Pengertian “pendakian” dalam

istilah ini adalah lebih luas dari hanya aktifitas pendaki yang menaiki gunung (pendakian gunung), penggunaan istilah pendaki dikarenakan filosofi pendakiannya yang digunakan oleh adversity quotient. Maksud dari pendakian di sini adalah menggerakan tujuan hidup ke depan, apapun tujuan itu. Mereka orang-orang yang sukses adalah mereka yang memiliki dorongan yang kuat untuk terus berjuang, untuk maju, meraih cita-cita dan harapan, dan mewujudkan impian mereka.

Dalam dunia pendidikan, selaku pengembang pendidikan, baik itu guru, staf atau pejabat yang berkenaan dengan dunia pendidikan, hendaknya tidak hanya memperhatikan dan meningkatkan kemampuan kognitif atau intelektual siswanya saja, tetapi perlu diperhatikan juga faktor afektif siswa. Dimana tujuannya adalah siswa memperoleh keseimbangan, yang akan dimiliki siswa sebagai bekal untuk menjawab segala tantangan yang ada di dunia sebenarnya kelak.

Seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya bahwa ada aspek yang mendukung dalam kesuksesan seseorang, yaitu kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan-kesulitan atau kemalangan yang hadir dalam kehidupan mereka, hal tersebut diistilahkan dengan adversity quotient. Adversity quotient atau yang biasa disingkat AQ memiliki tiga buah bentuk menurut Stoltz (2004: 9) yaitu:

1. AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan;


(20)

3. AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon anda terhadap kesulitan.

Hasil riset Stoltz selama 19 tahun dengan penerapannya selama 10 tahun adalah terobosan yang penting dalam upaya mencapai kesuksesan, suksesnya seseorang dalam pekerjaan atau hidupnya ditentukan oleh adversity quotient anda. Stoltz (2004: 8) pentingnya AQ dalam kehidupan adalah:

1. AQ memberi tahu seberapa jauh kita mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan kita untuk mengatasinya;

2. AQ meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur;

3. AQ meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal;

4. AQ meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Berdasarkan keempat hal di atas dapat disimpulkan bahawa AQ ini memegang peran penting dalam melihat dan mengetahui siapa saja yang sukses dalam menghadapi tantangan atau masalah yang diberikan, hal tersebut bersinergi dengan kemampuan yang akan diteliti yaitu kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dimana siswa nanti akan diberikan masalah yang non rutin, kemudian akan terlihat bagaimana siswa menyikapi dan menghadapi masalah tersebut.

Dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan perbaikan adversity quotient, melakukan pembelajaran inovatif merupakan salah satu upaya yang tepat untuk dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan AQ siswa yaitu dengan pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share) adalah pembelajaran yang melalui empat tahap


(21)

dalam pelaksanaannya, yaitu mengidentifikasi masalah, merencanakan penyelesaian, membuat penyelesaian dan mengkomunikasikan hasil penyelesaiannya kepada siswa lain. Seperti yang dinyatakan oleh Utami (2011: 3)

“Model pembelajaran SSCS melibatkan siswa dalam menyelidiki situasi baru, membangkitkan minat bertanya siswa dan memecahkan masalah-masalah yang

nyata”. Hal tersebut didukung dengan sebuah hasil penelitian menurut laporan Laboratory Network Program (Irwan, 2011:4), standar NCTM yang dapat dicapai oleh model pembelajaran SSCS adalah sebagai berikut:

1) mengajukan (pose) soal/masalahmatematika; 2) membangun pengalaman dan pengetahuan siswa; 3) mengembangkan keterampilan berpikir matematika yang meyakinkan tentang keabsahan suatu representasi tertentu, membuat dugaan, memecahan masalah atau membuat jawaban dari mahasiswa; 4) melibatkan intelektual siswa yang berbentuk pengajuan pertanyaan dan tugas-tugas yang melibatkan siswa, dan menantang setiap siswa; 5) mengembangkan pengetahuan dan keterampilan matematika siswa; 6) merangsang siswa untuk membuat koneksi dan mengembangkan kerangka kerja yang koheren untuk ide-ide matematika; 7) berguna untuk perumusan masalah, pemecahan masalah, dan penalaran matematika; dan 8) mempromosikan pengembangan semua

kemampuan siswa untuk melakukan pekerjaan matematika”. Berdasarkan kedelapan pencapaian model SSCS di atas terdapat

pencapaian yang berguna dalam pemecahan masalah. Berdasarkan pencapaian dan melihat dari tahapan pembelajaran dari model SSCS, yaitu menuntut siswa untuk mengidentifikasi kecukupan informasi, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan berdasarkan strategi yang telah dibuat, lalu membagi penemuan solusi dengan teman-teman yang lain, hal tersebut sejalan dengan indikator yang terdapat pada kemampuan pemecahan masalah. Pada pelaksanaannya dalam pembelajaran model SSCS, memungkinkan terjadinya looping ketahap yang sebelumnya jika dalam kondisi tertentu memungkinkan dan mengharuskan siswa


(22)

kembali pada tahap sebelumnya. Pada model ini siswa juga dilihat ketahanannya dalam menghadapi soal yang diberikan, dan menjalani tahapan-tahapannya dalam upaya menemukan solusi. Hal ini diharapkan dapat melatih dan terus memperbaiki AQ siswa.

Dalam melihat pengaruh dan peningkatan yang terjadi pada kemampuan pemecahan, terlebih dahulu akan dilakukan tes pengetahuan awal matematis (PAM) siswa yang kemudian didiskusikan dengan guru matematika kelas agar tidak terjadi bias pada saat pembagian siswa dalam kelompok PAM. PAM siswa diduga juga memiliki pengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa. Berdasarkan hasil tes PAM siswa akan dibagi menjadi ke dalam tiga kelompok yaitu rendah, sedang dan tinggi. Sehingga nanti dalam pengalaman belajar akan disesuaikan dengan PAM siswa. Hal ini sejalan dengan Kurikulum 2013 yang menganut: (1) pembelajaran yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2) pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik.

Berdasarkan hasil penelitian dari Khaerunnisa (2014), bahwa terdapat interaksi antara PAM dan kemampuan pemecahan masalah dengan pembelajaran ekplorasi, artinya PAM memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Sehingga akan diteliti kembali apakah akan terjadi hal yang sama yaitu adanya terjadi interaksi antara PAM dan pemecahan masalah namun menggunakan pembelajaran yang berbeda yaitu model SSCS (search, solve, create and share).

Kemampuan pemecahan masalah matematis berkaitan dengan mengatasi permasalahan matematis yang muncul dengan memulai mengidentifikasi masalah dan kecukupan unsur, membuat model matematis, menentukan strategi memecahkan masalah hingga menginterpretasikan hasil. Dalam mengatasi


(23)

masalah matematis siswa memerlukan ketangguhan dalam menyelesaikannya. Ketangguhan yang dimaksud adalah kecerdasan ketangguhan dalam mengatasi masalah atau adversity quotient (AQ). Dalam hasil wawancara awal pada beberapa siswa SMA di salah satu sekolah di kota Serang ternyata sebagian besar memilih untuk meninggalkan tugas matematika atau mencoba untuk belajar dari hasil jawaban temannya. Hal menunjukkan bahwa siswa-siswa SMA ini adversity quotient yang dimiliki masih dominan dalam kategori quitters, ada beberapa yang termasuk dalam kategori campers dan climbers namun jumlahnya tidak banyak.

Berdasarkan hasil penelitian Khaerunisa (2013) menyatakan bahwa adversity quotient siswa yang mendapatkan pemebelajaran eksplorasi sama dengan adversity quotient siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Dari hasil wawancara dan hasil penelitian sebelumnya maka akan dilakukan penelitian lanjutan terhadap adversity quotient dengan menggunakan pembelajaran model SSCS yang diduga dapat memperbaiki tingkat adversity quotient siswa, dikarenakan pembelajaran model SSCS merupakan pembelajaran yang melatih mental siswa dalam mengatasi masalah melalui tahapan-tahapan pembelajaran search, solve, create and share.

Ketika sedang berupaya menyelesaikan masalah secara tidak sadar berkaitan dengan AQ yang ada pada dalam diri pemecah masalah. Siswa yang memiliki AQ yang kurang ketika diberi masalah yang tidak biasa dicontohkan akan memberikan respon yang negatif, seperti menolak atau memilih untuk lari dari tugas yang diberikan. Menjadi seorang pemecah masalah yang baik akan berhubungan langsung dengan kepemilikan AQ yang baik juga. Sehingga bisa dikatakan terdapat korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah matematis dengan AQ siswa. AQ tersebut berhubungan secara langsung dan kadang tidak disadari terhadap hasil memecahkan masalah matematis yang dihadapi siswa.


(24)

Ternyata masih banyak ditemukan siswa memiliki respon positif dan keantusiasan yang tinggi terhadap matematik, tetapi ketika diberikan permasalahan pemecahan masalah matematis siswa tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Diduga kurang mendukungnya pembelajaran di kelas dalam melatih kemampuan pemecahan masalah sehingga tidak munculnya korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan AQ siswa.

Dari hal-hal yang diungkapkan di atas maka diharapkan model pembelajaran SSCS dapat mendukung peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan dalam proses pembelajaran dapat memperbaiki AQ siswa.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah secara umum dalam penelitian ini yaitu “Apakah model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient siswa SMA?”. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa?

3. Apakah adversity quotient siswa yang mengikuti model pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share) lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran konvensional?


(25)

4. Apakah terdapat korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient siswa setelah mendapatkan pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pemecahan masalah matematik siswa dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran SSCS.

1. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

3. Mengetahui apakah adversity quotient siswa yang mengikuti pembelajaran model SSCS (Search, Solve, Create, and Share) lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

4. Mengetahui terdapat korelasi positif atau tidak antara kemampuan pemecahan masalah adversity quotient siswa setelah mendapatkan pembelajaran SSCS (Search, Solve, Create, and Share).

D. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi guru, siswa, dan bagi pemerhati pendidikan. Adapun terdapat dua manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat proses dan hasil penelitian:


(26)

i. Manfaat Ketika Proses Penelitian

Dalam proses yang berlangsung dalam penelitian, siswa memperoleh pengalaman langsung, mengenal adanya kebebasan dalam belajar matematika secara aktif dan konstruktif dan menjadi terlatih dalam memecahkan masalah matematis dan memperbaiki tingkat adversity quotient siswa melalui model pembelajaran SSCS.

ii. Manfaat Hasil Penelitian a) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada guru, sekolah, dan siswa mengenai pengaruh model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) terkait tentang solusi nyata dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient melalui pembelajaran dengan model SSCS.

b) Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat mengembangkan teori-teori yang berkaitan dengan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang berkaitan dengan materi dan adversity quotient dalam kehidupan siswa.

E. Definisi Opereasional

a. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Indikator kemampuan pemecahan masalah matematis dalam penelitian ini: 1.) kemampuan mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah yang meliputi unsur-unsur yang diketahui dan yang ditanyakan; 2.) menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika; 3.) membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan


(27)

menyelesaikannya; 4.) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.

b. Adversity Quotient (AQ)

Merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon, dan ketahanan siswa dalam menghadapi kesulitan yang muncul dalam pembelajaran matematika. Dengan mengukur empat dimensi yang dimiliki yaitu C (control), (origin dan ownership), R (reach), E (endurance). Instrumen diadaptasi dari Stoltz, P. G (2004)

c. Model Pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS)

Merupakan model yang terdiri dari empat fase yaitu 1) Search siswa mencari mengidentifikasi masalah pada pertanyaan penelitian mengenai topik yang akan mereka selidiki; 2) Solve siswa mendisain dan menerapkan rencana dari yang sudah diselidiki untuk menyelesaikan pertanyaan penelitian; 3) Create siswa menganalisis dan interpretasi data kemudian membuat sebuah alat atau cara untuk mengkomunikasikan temuan mereka; 4) Share siswa membagikan hasil temuan mereka dan mengevaluasi penyelidikan mereka.

d. Model Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran yang disesuaikan dengan pembelajaran dipakai di sekolah yang menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan latihan soal.

d. Pengetahuan Awal Matematis (PAM) Siswa

Merupakan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Pengukuran pengetahuan awal matematis siswa dilakukan sebelum


(28)

penelitian, diukur melalui butir soal dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya, dan pertimbangkan penilaian matematika pada semester sebelumnya oleh guru matematika yang bersangkutan.


(29)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Metode Penelitan

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Metode ini dipilih karena dalam proses pengambilan sampel penelitian di sekolah tidak memungkinkan dilakukan pemilihan subjek secara acak. Dalam penelitian ini akan memperlihatkan pengaruh suatu variabel, variabel dalam penelitian ini yaitu kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient dengan model pembelajaran SSCS, terhadap adanya suatu kelompok dalam kondisi yang dikontrol secara ketat. Kesetaraan subjek dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Kuasi eksperimen atau biasa disebut eksperimen semu, karena disainnya tidak mempunyai pembatasan yang ketat terhadap randomisasi, kuasi eksperimen memiliki paling sedikit satu buah perlakuan, adanya pengukuran dampak, dan unit-unit eksperimen namun tidak menggunakan sampel yang acak.

Dalam penelitian ini akan diambil dua kelompok, yaitu yang terdiri dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang dipengaruhi oleh variabel tertentu, variabel tertentu yang dimaksudkan disini adalah kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient dengan model pembelajaran SSCS. Sedangkan kelompok kontrol disini yaitu berfungsi sebagai pembanding, sejauh manakah perubahan kelompok eksperimen yang telah dipengaruhi variabel.

Kedua kelompok tersebut akan diberikan pretes sebelum dilakukan pembelajaran dengan model SSCS dan konvensional, tujuannya untuk mengukur variabel terikat pada kedua kelompok, dengan melihat bahwa kedua kelompok ini tidak memiliki perbedaan kemampuan awal. Kemudian pada kelompok eksperimen diberikan treatment terhadap subjek. Pada akhir penelitian siswa


(30)

diberikan postes untuk mengukur variabel terikat setelah diberikan pengajaran kepada kedua kelompok tersebut.

Menurut Sugiyono (2012: 77) penelitian disain kuasi eksperimen terdapat dua jenis disain yaitu time-series design dan nonequivalent control grup design. Menurut Sugiyono (2012: 78-79) “time-series design adalah desain penelitian yang hanya menggunakan satu kelompok saja, sehingga tidak memerlukan kelompok kontrol, namun nonequivalent control grup design desain yang hampir sama dengan pretest-posttest control grup design , hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random”.

Dalam penelitian ini desain yang dipakai adalah nonequivalent control grup design. Dengan gambaran eksperimennya adalah:

O X O

O O Keterangan :

O : Pretes dan Postes

: Pemilihan subjek secara tidak acak

X : Perlakuan menggunakan model pembelajaran SSCS

Dalam penelitian ini akan melibatkan pengetahuan awal matematis (PAM) siswa yaitu (rendah, sedang, dan tinggi). Tujuannya untuk melihat interaksi antara PAM siswa dengan pengajaran yang belangsung di kelas. Pengelompokkan kelas rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan hasil tes dan pertimbangan penilaian pada kelas dan semester sebelumnya oleh guru yang bersangkutan. Hubungan antara variabel terikat, variabel bebas dan PAM siswa.

Tabel 3.1

Keterkatitan antara Variabel Bebas, Variabel dan (PAM) siswa Pendekatan

PAM

Pembelajaran SSCS (A)

Pembelajaran Konvensional (B)


(31)

Rendah KPMMPAMRA KPMMPAMRB

Sedang KPMMPAMSA KPMMPAMSB

Tinggi KPMMPAMTA KPMMPAMTB

Keseluruhan KPMA KPMB

Keterangan:

(A) : Pendekatan Pembelajaran SSCS

(B) : Pendekatan Pembelajaran Konvensional KPMMPAMRA KPMMPAMRB KPMMPAMSA KPMMPAMSB KPMMPAMTA KPMMPAMTA : : : : : :

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelompok PAM Rendah dengan Model SSCS

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelompok PAM Rendah dengan Pembelajaran konvensional

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelompok PAM Sedang dengan Model SSCS

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelompok PAM Sedang dengan Model Pembelajaran konvensional

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelompok PAM Tinggi dengan Model SSCS

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelompok PAM Tinggi dengan Pembelajaran konvensional

KPMA : Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Keseluruhan Siswa dengan Model SSCS

KPMB : Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Keseluruhan Siswa dengan Pembelajaran Konvensional

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Pemilihan populasi penelitian ini yang diambil adalah salah satu SMA Negeri di Kota Serang dengan sampel siswa kelas XI tahun ajaran 2013/2014. Penerimaan siswa pada sekolah ini dengan menerapkan karakteristik siswa akan diterima bila nilai siswa berada pada minimal batas terendah yang ditetapkan oleh sekolah. Proses penerimaan siswanya yaitu dengan mencari angka rerata dari nilai UN dan tes seleksi masuk. Pada tiga tahun terakhir nilai batas terendah untuk dapat diterima disekolah tersebut yaitu pada tahun 2011 batas terendah


(32)

diterima sebesar 20,00, pada tahun 2012 batas terendah diterima sebesar 20,80, dan pada tahun 2013 batas terendah diterima sebesar 20,60.

Berdasarkan syarat nilai minimum UN selama tiga tahun terakhir ini maka dapat disimpulkan bahwa setiap kelas pada kelas X adalah kelas-kelas yang homogen. Pembagian kelas XI pada sekolah penelitian ini kriterianya adalah dengan membagi siswa kelas XI berdasarkan hasil penilaian rapor pada kelas X. Dari hasil rapor kelas X, setiap siswa pada kelasnya masing-masing akan dikategorikan menjadi siswa yang tinggi, sedang, dan rendah. Pengkategorian berdasarkan nilai rata-rata dari masing-masing kelas. Dari pengelompokan tersebut pada setiap kelas, disusun kelas baru (kelas XI) dari masing-masing kelompok pada kelas X yang berbeda.

Sehingga terbentuk kelas XI sebanyak delapan kelas dengan bentuk kelas yang homogen namun terdiri dari siswa-siswa yang heterogen yaitu yang memiliki kemampuan beragam tinggi, sedang, dan rendah. Sehingga untuk pemilihan sampel dari keseluruhan siswa kelas XI dapat diambil dua kelas secara acak, untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam penelitian. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012: 85), dengan pertimbangan bahwa siswa telah dibentuk dalam kelompok-kelompok kelas berdasarkan kiteria sekolah tersebut.

C. Instrumen Penelitian

Dalam upaya mendapatkan data dan informasi yang lengkap mengenai hal-hal yang ingin dilihat dan diteliti, maka dibuatlah seperangkat instrumen. Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tes Pengetahuan Awal Matematis Siswa (PAM)

Tes ini dilakukan sebelum dilakukannya penelitian. Tes ini akan mengukur kemampuan awal siswa dalam pelajaran matematika. Tujuannya untuk


(33)

mengetahui sejauh mana kemampuan awal matematis siswa sebelum dilaksanakan penelitian dan sebagai upaya pengklasifikasian penempatan pada tingkatan kemampuan awalnya (rendah, sedang, dan tinggi). Seperangkat tes diberikan dengan materi matematika yang sudah dipelajari sebelumnya. Dalam tes PAM siswa diberikan 10 soal pilihan ganda, dengan skor 1 jika benar dan 0 jika menjawab salah atau tidak ada jawaban. Adapun kriteria yang dibuat berdasarkan rata-rata hasil tes PAM yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil perhitungan dari data tes PAM yang diberikan pada kelas pembelajaran model SSCS dan pembelajaran konvensional, didapatkan bahwa rerata gabungan dari kelas pembelajaran model SSCS dan pembelajaran konvensional yaitu 5,51 dan Simpangan bakunya (s) = 2,08.

Tabel 3.2

Kriteria Pengelompokkan Pengetahuan Awal Matematis Siswa (PAM)

Skor PAM Kategori Siswa

PAM +s Siswa kelompok tinggi

PAM Siswa kelompok sedang

PAM -s Siswa kelompok rendah

Berikut adalah desktipsi banyaknya siswa yang masuk kedalam kelompok PAM tinggi, sedang, dan rendah.

Tabel 3.3

Deskripsi Banyaknya Siswa dalam Kelompok PAM Pembelajaran

Pengetahuan Awal Matematis PAM

Tinggi Sedang Rendah

Model SSCS 6 14 13

Konvensional 5 19 12

2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes awal dan tes akhir. Tes awal digunakan untuk mengukur kemampuan awal siswa dalam pemecahan


(34)

masalah matematis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berada pada kondisi tidak memiliki perbedaan kemampuan pemecahan masalah. Tes yang dilakukan dalam bentuk uraian karena untuk menjawab soal tersebut, siswa dituntut untuk menyusun jawaban secara terurai. Selain harus menguasai meteri tes, siswa dituntut untuk bisa mengungkapnya dalam bahasa tulisan dengan baik. (Suherman dalam Mubarrokah, 2006:32). Soal uraian juga dapat menggambarkan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Tes akhir digunakan untuk mengukur kemampuan siswa setelah diberi pembelajaran SSCS dan konvensional. Tujuannya untuk melihat apakah terjadi perbedaan kemampuan pemecahan masalah setelah diberi pembelajaran yang berbeda. Tes yang berikan sama dengan tes pada saat tes awal (pretes) yang berbentuk uraian. Pengambilan data berupa tes awal dan tes akhir berkenaan dengan tujuan penelitian untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Tabel 3.4

Kriteria Penyekoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Indikator Bentuk operasional Skor

Mengidentifik asi unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur

1. Dapat mengidentifikasi soal, dan menggunakan informasi-informasi yang sesuai untuk menjawab masalah

6

2. Mengidentifikasi soal kurang lengkap, informasi-informasi yang digunakan hanya sebagian yang sesuai 4 3. Salah mengidentifikasi soal, dan salah menggunakan

informasi untuk menyelesaikan masalah 2

4. Tidak ada jawaban sama sekali 0

Membuat model matematika

1. Membuat model matematika yang benar dan mengarah penyelesaian yang benar, dengan menggunakan model persamaan matematik

8

2. Membuat model matematika yang benar, dalam bentuk semi persamaan matematik, dan mengarah penyelesaian yang benar


(35)

3. Membuat model matematika sederhana, dan mengarah

penyelesaian yang benar 4

4. Membuat model matematika sederhana, tetapi tidak tepat/ tidak relevan dan mengarah penyelesaian yang salah

2

5. Tidak ada jawaban sama sekali 0

Menerapkan strategi menyelesaika n masalah dalam di luar matematika

1. Menggunakan strategi yang benar dan mengarah ke

penyelesaian yang benar 8

2. Menggunakan strategi yang benar tetapi mengarah ke penyelesaian yang salah, atau menggunakan strategi yang kurang relevan tetapi mengarah pada penyelesaian yang benar

6

3. Menggunakan strategi yang tidak relevan 4

4. Menggunakan strategi yang salah 2

5. Tidak ada strategi sama sekali 0

Menjelaskan/ menginterpret asikan hasil, dan

mengevaluasi

1. Pemeriksaan dilaksanakan untuk melihat kebenaran hasil dan proses, dan dapat menggunakan penyelesaian dengan bentuk soal yang berbeda

6

2. Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas/lengkap, dan dapat menggunakan sebagian prosedur penyelesaian dengan bentuk soal yang bebeda

4

3. Ada pemeriksaan tetapi salah, tidak bisa menggunakan prosedur penyelesaian dalam bentuk soal berbeda 2 4. Tidak ada pemeriksaan atau tidak ada keterangan apapun 0

3. Lembar Kerja Siswa

Digunakan saat proses pembelajaran berlangsung, yang fungsinya untuk mengetahui sejauhmana pemahaman siswa dalam pemecahan masalah dari masalah yang diberikan

4. Skala Adversity quotient

Merupakan cara mengumpulkan data melalui sejumlah pernyataan yang disampaikan kepada siswa, untuk mengetahui respon siswa terhadap kesulitan


(36)

yang dialami dalam belajar matematika di kelas. Aspek-Aspek dan indikator adversity quotient yang pakai dalam penelitian ini diadaptasi dari aspek dan indikator adversity quotient yang dikembangkan oleh Stoltz. Kemudian dilakukan modifikasi dalam pertanyaan-pertanyaan yang diadaptasi dari Stolt.

5. Lembar Observasi

Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran langsung mengenai aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi ini bermanfaat untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat teramati oleh peneliti saat penelitian berlangsung. Mengobservasi guru dalam kegiatan pembelajaran apakah sudah sesuai dengan perannya sebagai guru dalam model pembelajaran SSCS. Mengobservasi aktivitas siswa yang diamati berkenaan dengan keberadaan siswa dalam kelompok, menyelesaikan tugas kelompok, bertanya dan menjawab pertanyaan, percaya diri terhadap jawaban yang ditemukan, daya juang siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan serta mau membantu siswa lain sebagai implikasi dari adanya sikap saling bergantung positif.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA menggunakan model pembelajaran SSCS. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak tiga tahap yang masing-masing dilakukan pada kelas yang diteliti. Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Tahap Persiapan

Studi pendahuluan hingga identifikasi awal permasalahan

Melaksanakan kegiatan orientasi yaitu studi pendahuluan sebelum tindakan dilakukan, serta mengobservasi kelas yang akan dijadikan penelitian. Hal


(37)

ini dilakukan untuk mengetahui kondisi kemampuan pemecahan masalah siswa dan menciptakan kedekatan peneliti dengan siswa dan guru. Mengidentifikasi prioritas masalah dan sejumlah masalah yang dihadapi berdasarkan hasil orientasi dan observasi.

Persiapan pra-tindakan

a) Penetapan kelas yang menjadi objek penelitian.

b) Penetapan satuan pembelajaran dan rencana pembelajaran. c) Pembuatan pretest, lembar kerja siswa, dan postest.

d) Pembuatan format skala sikap dan lembar observasi. 2. Tahap Tindakan

a) Mengukur pengetahuan awal matematis (PAM) siswa sebelum pembelajaran dimulai, untuk melakukan penempatan kemampuan awal siswa.

b) Melakukan pretes sebelum pembelajaran dimulai.

c) Melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model SSCS (search, solve, creating, and share)

d) Memberikan LKS pada saat pembelajaran.

e) Melakukan observasi disetiap pembelajaran berlangsung

f) Melakukan postes setelah selesai semua pembelajaran berlangsung. g) Menyebarkan skala AQ setelah dilakukan tes akhir.

3. Tahap Evaluasi

Data yang telah diperoleh selama kegiatan pembelajaran dianalisis segera mungkin berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Setelah dianalisis kemudian lakukan refleksi sebagai bahan evaluasi dan perbaikan tahap pembelajaran.


(38)

Pengumpulan data untuk (PAM) dilakukan sebelum penelitian dilaksanakan, pretes dilakukan pada saat awal pembelajaran, sedangkan pengumpulan data postes dilakukan saat akhir penelitian, tes skala AQ diberikan akhir penelitan, observasi dilakukan pada setiap akhir dari tahap pembelajaran.

F. Teknik Pengolahan Data

Setelah data telah diperoleh maka data-data tersebut diolah dengan cara sebagai berikut:

I. Kategori Data

Data yang telah diperoleh dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Data Kuantitatif adalah data yang berkenaan dengan perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diukur melalui tes kemampuan pemecahan masalah.

2. Data Kualitatif adalah data yang berkenaan dengan respon siswa terhadap masalah yang hadir dalam pembelajaran menggunakan model SSCS (search, solve, creating, and share).

II. Interpretasi Data a) Uji Coba Instrumen

Dalam melaksanakan tes ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu validitas, reliabilitas soal, daya pembeda, dan indeks kesukaran. Berikut adalah keterangan dan cara mengolahnya:

1. Validitas Soal

Suatu alat evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman, 2003:102), dengan kata lain adalah kesyahan suatu soal haruslah dapat mengukur apa yang akan diukur. Perangkat tes dan skala AQ dilakukan ujicoba terlebih dahulu, hal ini bertujuan agar perangkat tes tersebut valid, dan reliabel. Maka langkah-langkah yang akan ditempuh oleh peneliti adalah:


(39)

a. Terlebih dahulu peneliti membuat soal-soal yang akan diberikan pada saat tes.

b. Mengkonsultasikannya dengan dosen pembimbing atau pakar yang berpengalaman mengenai validitas soal yang telah dibuat.

c. Mengkonsultasikan tes skala AQ dengan beberapa pakar yaitu bahasa, dan pendidikan. Hal ini dikarenakan agar tes ini tidak mengukur apa yang tidak harus diukur, dan tidak terjadinya keambiguan bagi siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.

d. Mengukur validitas soal yang dibuat dengan menggunakan rumus menghitung validitas soal yaitu korelasi produk-momen memakai angka kasar (Raw Score).

Dimana:

X: Merupakan nilai pembanding Y: Merupakan nilai tes

N: Merupakan banyaknya testi

(Suherman, 2003:120) Untuk menginterpretasi validitas soal yang telah dibuat, maka disajikan klasifikasi dalam tabel berikut:

Tabel 3.5

Besarnya validitas Interpretasi

Kecil

Rendah

Sedang

Tinggi


(40)

Perhitungan validitas butir item pernyataan menggunakan software Anates. Untuk validitas butir item pernyataan digunakan korelasi product moment dari Karl Pearson, yaitu korelasi setiap butir item pernyataan dengan skor total. Apabila nilai signifikansi korelasi kurang dari α (0,05) maka item pernyataan dikatakan valid dengan nilai 0,59 termasuk dalam kategori signifikansinya sedang. Dengan validitas tiap itemnya yaitu

Tabel 3.6

Hasil Validitas Uji Coba Instrumen Masalah Besarnya Validitas Interpretasi

1 0,853 Sangat Signifikan

2 0,611 Signifikan

3 0,674 Signifikan

4 0,878 Sangat Signifikan

Perhitungan menggunakan software Anates secara lengkap bisa dilihat pada lampiran D

2. Reliabilitas Soal

Reliabilitas instrumen merupakan tingkat keajegran dari instrument tersebut. Dengan kata lain apabila instrumen reliabel maka hasil dari dua atau lebih pengevaluasian akan menghasilkan hal yang serupa. Untuk melihat tingkat reliabilitas soal peneliti menggunakan perhitungan statistik. Rumus statistik yang dipakai untuk menghitung tingkat reliabilitas soal yaitu rumus alpha sebagai berikut:

Keterangan : n = Banyaknya butuir soal = Jumlah varians skor tiap items, dan

= Varians skor total (Suherman, 2003:154)

Untuk menginterpretasi reliabilitas soal yang telah dibuat, maka disajikan klasifikasi dalam tabel berikut:


(41)

Tabel 3.7

Besarnya Reliabilitas Interpretasi

Sangat Jelek

Jelek

Cukup

Baik

Sangat Baik

Untuk mengetahui instrumen yang digunakan reliabel atau tidak maka dilakukan pengujian reliabilitas dengan bantuan software Anates. Pengambilan keputusan yang dilakukan adalah dengan membandingkan hasil perhitungan dengan interpretasi di atas. Berdasarkan hasil perhitungan melalui software Anates didapat realibilitas tesnya sebesar 0,74 ini termasuk dalam kategori baik. Perhitungan menggunakan software Anates secara lengkap bisa dilihat pada lampiran D.

3. Daya Pembeda

Daya pembeda butir soal merupakan tingkat kemampuan tiap butir soal dalam membedakan antara siswa pandai dengan siswa lemah. Untuk melihat daya pembeda tiap soal peneliti menggunakan perhitungaaan statistika dengan bantuan software Anates. Rumus statistik yang dipakai untuk menghitung daya beda tiap soal yaitu sebagai berikut:

Dimana, = Daya pembeda

= Rata-rata kelompok atas

= Rata-rata kelompok bawah SMI = Skor maksimum ideal


(42)

Untuk menginterpretasi daya pembeda tiap butir soal yang telah dibuat, maka disajikan klasifikasi dalam tabel berikut:

Tabel 3.8

Interpretasi Daya Pembeda Besarnya DP Interpretasi

Sangat Jelek

Jelek

Cukup

Baik

Sangat Baik

Hasil perhitungan pada software Anates diperoleh sebagai berikut:

Tabel 3.9

Hasil Daya Pembeda Uji Coba Instrumen Masalah Besarnya DP Interpretasi

1 66,00 % atau 0,66 Baik

2 48,57% atau 0,49 Baik

3 54,29% atau 0,54 Baik

4 56,36% atau 0,56 Baik

Dari keseluruhan interpretasi dari keempat soal maka dapat disimpulkan bahwa keempat soal ini termasuk dalam kategori baik untuk membedakan siswa yang pandai dan siswa yang lemah. Perhitungan menggunakan software Anates secara lengkap bisa dilihat pada lampiran D.

4. Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran setiap butir soal merupakan tingkat kesukaran dari tiap butir soal yang dibuat. Untuk mengukur indeks kesukaran setiap butir soal peneliti menggunakan perhitungan statistik. Rumus statistik yang dipakai untuk menghitung tingkat kesukaran soal yaitu sebagai berikut:


(43)

Dimana:

IK = Merupakan indeks kesukaran = Skor rata-ratatiap butir soal

SMI = Skor maksimum ideal tiap butir soal

(Suherman, 2003:120)

Hasil perhitungan pada software Anates diperoleh sebagai berikut:

Tabel 3.10

Hasil Indeks Kesukaran Uji Coba Instrumen Masalah Besarnya Indeks Kesukaran Interpretasi

1 59,00 % atau 0,59 Sedang

2 75,71% atau 0,76 Mudah

3 64,29% atau 0,64 Sedang

4 30.00% atau 0,3 Sukar

Dari keseluruhan interpretasi dari ke empat soal maka dapat disimpulkan bahwa keempat soal ini memiliki tingkatan soal yang beragam mulai dari mudah, sedang hingga sukar. Perhitungan menggunakan software Anates secara lengkap bisa dilihat pada lampiran D.

b) Pengolahan Data Untuk Pengujian Hipotesis

Setelah melakukan penskoran dan penilaian, kemudian data tersebut diolah untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, dalam pengolahan akan digunakan teknik statistik parametris bekerja berdasarkan asumsi bahwa data setiap varians yang akan dianalisis berdistribusi normal. Untuk itu sebelum menggunakan teknik statistik parametris harus terlebih dahulu diuji kenormalan data yang telah diperoleh, dan ternyata data pretes, postes, dan N-gain baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen berdistribusi normal. Sehingga dalam menguji hipotesis dapat menggunakan teknik statistik parametris dalam menguji hipotesis. 1. Pengujian Normalitas Data


(44)

Menguji normalitas data dengan menggunakan kecocokan Kolmogorov-Smirnov. Tekniknya adalah dengan menghitung perbedaan yang terbesar antara kedua kelompok frekuensi kumulatif. Uji Kolmogorov-Smirnov menitik beratkan kepada perbedaan antara nilai yang terbesar. Dalam pengolahan data peneliti menggunakan Software SPSS 20..0 for windows. Pengambilan keputusan dengan cara membandingkan nilai signifikansi dengan taraf signifikan α = 5%. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka ditolak, berarti data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Jika nilai signifikansi > 0,05 maka diterima, berarti data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

2. Pengujian Homogenitas Data

Dalam menentukan rumus t-tes yang akan digunakan, perlu diuji terlebih dahulu varians kedua sampel homogen atau tidak. Dalam pengolahan data peneliti menggunakan Software SPSS 20.0 for windows. Pengambilan keputusan dengan cara membandingkan nilai signifikansi dibandingkan dengan taraf signifikan α = 5%. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka ditolak, berarti varians tidak homogen. Jika nilai signifikansi > 0,05 maka diterima, berarti varians homogen.

3. Pengujian Perbedaan Rerata

Menguji hipotesis dengan dengan rumus uji t, digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan jika sesuatu karakteristik diberi perlakuan-perlakuan yang berbeda. Pengujian ini dilakukan pada data pretes-postes, gain ternormalisasi dari kelas eksperimen dan kontrol. Untuk melakukan uji terhadap kesamaan dua rerata berdasarkan hasil perhitungan data normal dan homogen, maka menguji hipotesis digunakan rumus t–tes. Dalam pengolahan data peneliti menggunakan Software SPSS 20.0 for windows.

Pengambilan keputusan dengan cara membandingkan nilai signifikansi dengan taraf signifikan α = 5%. Jika nilai Sig. < 0,05 maka ditolak, berarti


(45)

terdapat perbedaan kemampuan dari dua kelas tersebut. Jika nilai Sig. >0,05 maka diterima, berarti tidak terdapat perbedaan kemampuan dari dua kelas tersebut.

Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa data pretes berdistribusi normal, homogen dan tidak terdapat perbedaaan rerata. Artinya siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak memiliki perbedaan kemampuan awal. Untuk data postes diperoleh data berdistribusi normal dan homogen serta memiliki perbedaan rerata yang artinya siswa kelas kontrol memiliki perbedaan kemampuan akhir dengan kelas eksperimen.

Hal yang sama juga terjadi pada data N-gain yaitu data berdistribusi normal dan homogen serta dari uji rerata menunjukkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah pembelajaran SSCS lebih baik daripada dengan pembelajaran konvensional. Untuk penjelasan lebih lengkap akan dibahas pada BAB IV.

4. Analisis data Pretes dan Postes

Dalam pelaksanaan tes terdapat dua macam tes yaitu tes awal, dan tes akhir. Dimana tujuan dari tes awal adalah untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan awal siswa terhadap materi sebelum diberikan perlakuan dan tes akhir dilakukan pada akhir perlakuan setelah keseluruhan pembelajaran telah selesai. Mengolah data hasil tes berupa jawaban-jawaban siswa terhadap soal tipe uraian diolah dengan berpatokan pada sistem skor ini adalah 0, 2, 4, 6, dan 8. Setelah data pretes dan postes didapat kemudian cari juga N-gain dari setiap siswa, tujuannya untuk mendapatkan data peningkatan dari setiap siswa setelah mendapatkan pembelajaran.

Setelah data terlebih dahulu diubah menjadi skor, kemudian data diolah untuk dilihat apakah data berdistribusi normal, dan homogen. Kemudian untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan atau tidak antara dua rerata kelas kontrol dan kelas eksperimen, gunakan uji t.


(46)

4. Analisis Data Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Data peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

diperoleh dari skor gain normal (indeks gain).

Indeksgain (IG) =

Langkah-langkah yang digunakan dalam mengolah data skor gain normal adalah sebagai berikut:

1. Menghitung rata-rata hitung skor gain normal kelas eksperimen dan kelas kontrol.

2. Melakukan uji normalitas data skor gain normal kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

3. Melakukan uji homogenitas data skor gain normal kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan uji Levene.

4. Menguji dua rerata data skor gain normal.

Data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji t yaitu independent sample t-test. Berikut adalah klasifikasi dari gain ternormalisasi:

Tabel 3.11

Klasifikasi Gain Ternormalisasi Besarnya N-Gain (g) Klasifikasi

g > 0,70 Tinggi

0,30 ≤ g ≤ 0,70 Sedang

g < 0,30 Rendah

Sumber : (Hake, 1998) 5. Pengujian interaksi

Melakukan uji interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Uji statistik yang digunakan


(47)

adalah analysis of variance (ANOVA) dua jalur dengan interaksi, sebelumnya akan dilihat . Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

: Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

: Terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dan pengetahuan awal matematis (rendah, sedang, tinggi) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Kriteria pengujian adalah jika nilai probabilitas (sig.) > α = 0,05, maka diterima, dan jika nilai probabilitas (sig.) < α = 0,05, maka ditolak.

6. Pengujian Data Skala Adversity Quotient

Analisis data adversity quotient, dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang adversity quotient siswa dalam matematika yang mendapat pembelajaran SSCS. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

Keterangan:

: Rerata adversity quotient kelompok eksperimen : Rerata adversity quotient kelompok kontrol

Untuk melihat perbedaan adversity quotient siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, dilakukan uji statistik yaitu uji perbedaan rerata adversity quotient siswa.Data yang awalnya merupakan data ordinal ditransformasi menjadi data interval. Merubah data dari skala ordinal menjadi skala interval dinamakan transformasi data. Transformasi data dilakukan dengan menggunakan Method Successive Interval (MSI). Pada umumnya jawaban responden yang diukur dengan diadakan scoring yakni pemberian nilai numerik 1, 2, 3, 4, dan 5 setiap skor yang diperoleh akan memiliki tingkat pengukuran ordinal. Nilai numerik


(48)

tersebut dianggap sebagai objek dan selanjutnya melalui proses transformasi ditempatkan ke dalam interval. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan software Method Successive Interval (MSI).

Setelah data adversity quotient ditransformasi menjadi data interval, maka untuk melihat perbedaan rerata adversity quotient antara kelas yang memperoleh model pembelajaran SSCS dengan kelas yang memperoleh pembelajaran konvensional terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan uji Kolmogorov Smirnov dan uji homogenitas dengan uji Levene menggunakan software SPSS 20.0 for windows. Ternyata dalam hasil analisis menunjukkan populasi berdistribusi normal dan homogen maka dilanjutkan dengan uji t menggunakan independent samples T-Test.

7. Pengujian Korelasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Adversity Quotient

Data hasil pengamatan terdiri dari banyak variabel, ialah berapa kuat hubungan antara kemampuan pemecahan masalah matematis dengan Adversity Quotient itu terjadi. Tujuan pengujian korelasi adalah untuk melihat kebergantungan antar variabel yaitu kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient untuk itu akan ditentukan derajat hubungan anatara variabel-variabel terebut. Setelah data skala adversity quotient matematis ditransformasikan dengan MSI sehingga data adversity quotient matematis berubah menjadi data interval. Dalam menguji korelasi terlebih dahulu dilihat kenormalan dari data kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient.

Berdasarkan hasil analisis data kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient berdistibusi normal yang kemudian diuji linearitas sehingga bisa dilakukan uji korelasi Pearson antara adversity quotient dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran SSCS.


(49)

Kriteria penafsiran mengenai angka korelasinya (r) dapat dilihat pada Tabel 3.12 berikut.

Tabel 3.12

Makna Koefisien Korelasi Angka Korelasi Interpretasi 0,90 ≤ rxy≤ 1,00 Sangat tinggi

0,70 ≤ rxy< 0,90 Tinggi 0,40 ≤ rxy< 0,70 Cukup

0,20 ≤ rxy<0,40 Rendah 0,00 ≤rxy< 0,20 Sangat rendah

Sumber: (Suherman, 2003: 113) Adapun hipotesis yang dujikan adalah sebagai berikut:

H0 : : Tidak terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dengan adversity quotient siswa dalam matematika.

H1 : : Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah

matematis dengan adversity quotient siswa dalam matematika. Bila korelasi signifikan, untuk mengetahui seberapa besar peran salah satu variabel terhadap variabel yang lain akan dilajutkan dengan menghitung koefisien determinasi (determinant coefficient) dengan menggunakan rumus:

d = r2 x 100% keterangan:

d: koefisien determinasi r : koefisien korelasi


(50)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share) terhadap penigkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient (AQ) siswa SMA diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMA yang memperoleh model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 1. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional)

dengan PAM (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah.

2. Adversity Quotient siswa yang mengikuti model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share) lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

3. Terdapat korelasi yang signifikan serta hubungan yang positif antara kemampuan pemecahan masalah dan adversity quotient siswa setelah mendapatkan pembelajaran SSCS (search, solve, create and share).

A. SARAN

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, maka perlu dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat ditingkatkan melalui pemberian masalah pada pembelajaran sehingga melatih siswa dalam mengidentifikasi, menyelesaikan masalah dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh, hal ini bisa didapat dengan menggunakan model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share) dalam pembelajaran di kelas.


(51)

Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian maka untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis disarankan menggunakan pembelajaran model SSCS sebagai pembelajaran alternatif di kelas.

2. PAM siswa yang terdiri dari siswa yang berkemampuan (tinggi, sedang, dan rendah) memiliki hubungan dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah, hal yang sama juga terdapat pada pembelajaran model SSCS memiliki pengaruh yang positif pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Pada penelitian ini hasilnya adalah tidak terdapat interaksi antara pembelajaran (SSCS dan konvensional) dengan PAM (tinggi, sedang, dan rendah). Disarankan agar PAM memiliki interaksi yang kuat dengan pembelajaran dalam kelas, yaitu dengan melatih siswa lebih sering lagi dengan masalah yang diberikan dalam kelompok belajarnya. Sehingga siswa akan terbiasa dan terlatih untuk menjadi pemecah masalah yang baik akibat dari interaksi yang terjadi selama pembelajaran kepada siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Kemudian melakukan pengontrolan yang ketat pada kelompok-kelompok belajar, agar siswa selalu berada pada kelompoknya dan selalu mengikuti pembelajaran di kelas.

3. Pengendalian diri, mengetahui penyebab masalah, pengakuan akibat dari masalah, jangkauan masalah dan daya tahan terhadap masalah yang dihadapi merupakan hal-hal yang penting ketika dihadapkan dalam masalah. Semua hal yang disebutkan bisa dilatih, salah satu alternatif upaya melatihnya dengan menggunakan model pembelajaran SSCS (search, solve, create and share). Ini dikarenakan model pembelajaran SSCS mendukung aktifitas mental siswa dalam mengatasi permasalahan yang diberikan dalam memahami materi pembelajaran. Dalam memperbaiki adversity quotient siswa disarankan untuk menggunakan pembelajaran alternatif dengan pembelajaran SSCS.


(52)

4. Melihat hasil analisis korelasi yang telah dibahas, menunjukkan bahwa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dipengaruhi oleh tingkatan adversity quotient siswa. Dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah disarankan untuk memperhatikan dan memperbaiki adversity quotient siswa terlebih dahulu. Hal ini dapa dilakukan dengan menerapkan pembelajaran SSCS yang berdasarkan hasil analisis dapat meningkatkan dan memperbaiki adversity quotient siswa.

5. Bagi siswa, dalam mempelajari matematika siswa tidak harus terpaku pada teori dan latihan yang diberikan oleh guru saja. Mengkonstruksi pengetahuan sendiri dengan terus melatih dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah serta AQ merupakan hal yang harus dilakukan. Dalam aktivitas belajar siswa harus mempunyai keahlian dalam mengidentifikasi masalah, membuat model matematis, memiliki strategi untuk memecahkan masalah dan mampu menginterpretasikan hasil.

6. Bagi guru, dalam pembelajaran matematika tidak harus selalu menyampaikan informasi secara langsung dan lengkap kepada siswa. Namun dengan memberikan kesempatan kedapa siswa untuk aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, salah satu caranya yaitu dengan menggunakan model search, solve, create and share (SSCS) dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan pembelajaran yang inovatif yaitu siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kemampuan siswa meningkat dan khususnya pada kemampuan pemecahan masalah matematis akan menjadi lebih baik.

7. Bagi pemerhati pendidikan, seperti yang diketahui pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis bagi siswa, maka diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang lebih baik lagi.


(53)

(1)

4. Melihat hasil analisis korelasi yang telah dibahas, menunjukkan bahwa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dipengaruhi oleh tingkatan adversity quotient siswa. Dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah disarankan untuk memperhatikan dan memperbaiki adversity quotient siswa terlebih dahulu. Hal ini dapa dilakukan dengan menerapkan pembelajaran SSCS yang berdasarkan hasil analisis dapat meningkatkan dan memperbaiki adversity quotient siswa.

5. Bagi siswa, dalam mempelajari matematika siswa tidak harus terpaku pada teori dan latihan yang diberikan oleh guru saja. Mengkonstruksi pengetahuan sendiri dengan terus melatih dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah serta AQ merupakan hal yang harus dilakukan. Dalam aktivitas belajar siswa harus mempunyai keahlian dalam mengidentifikasi masalah, membuat model matematis, memiliki strategi untuk memecahkan masalah dan mampu menginterpretasikan hasil.

6. Bagi guru, dalam pembelajaran matematika tidak harus selalu menyampaikan informasi secara langsung dan lengkap kepada siswa. Namun dengan memberikan kesempatan kedapa siswa untuk aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, salah satu caranya yaitu dengan menggunakan model search, solve, create and share (SSCS) dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan pembelajaran yang inovatif yaitu siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kemampuan siswa meningkat dan khususnya pada kemampuan pemecahan masalah matematis akan menjadi lebih baik.

7. Bagi pemerhati pendidikan, seperti yang diketahui pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematis bagi siswa, maka diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang lebih baik lagi.


(2)

(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ariant, A. (2012). Definisi kognitif, afektif, dan psikomotor. [Online]. Tersedia:

http://abazariant.blogspot.com/2012/10/definisi-kognitif-afektif-dan-psikomotor.html. [ 14 September 2013]

Arniati & Dewi, A.Y. (2010). Kemampuan pemecahan masalah matematik. [Online]. Tersedia: http://rian.hilman.web.id/?p=52. [14 September 2013] Irwan. (2011). Pengaruh pendekatan problem posing model Seach, Solve, Create,

and Share (SSCS) dalam upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematis mahasiswa matematika. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1 ISSN 1412-565X, April 2011. Terdapat: jurnal.upi.edu/file/irwan.pdf

Khaerunnisa, E. (2013). Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dan adversity quotient siswa MTs dengan pendekatan Eksploratif. Tesis Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Krulik, S, & Reys, R.E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. 1980 Yearbook: NCTM

Lartson, C.A. ( 2013). Effects of Design-Based Science Introduction on science problem-solving competency among different groups of high-school traditional chemistry student: PDF Disertasi Doktor pada University of Colorado

Laterell, C.M. (2003). What is problem-solving ability?. Journal The Mathematics Educator 2003, Vol. 13, No. 1, 5–14

Machmud, T. (2013). Peningkatan kemampuan komunikasi, pemecahan masalah matematis dan self-efficacy siswa SMP melalui pendekatan


(4)

Problem-Centered Learning dengan strategi Scaffolding. Disertasi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Mubarrokah, N. (2006). Pengaruh model pembelajaran Siklus Belajar Empiris Induktif terhadap kemampuan representasi matematik siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Hake, R. R. (1998). Interactive-engagement versus traditional methodds: A six-thousand-sstudent survey of mechanics. test data for introductory Physics Course. American Association of Pysic Teachers. 66(1) 64-67. Pdf

Hudoyo. (1997). Pendidikan matematika I. Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas. Marsound, D. (2005). Improving math education in elementary school: A short for

teachers. Oregon: Universuty of Oregon. [Online]. Tersedia http://darkwing.uoregon.edu/.../EIMath.Pdf

Nhi, P.T. (1997). A study of chemistry teaching with environmental issues at nhatrang university of fisheries: PDF tesis megister pada University of Hue.

NCTM. (2000). Using the NCTM 2000 principles and standards with the learning from assessment materials. [Online]. Tersedia: www.nctm.org/.../12752_exec_pssm.pdf. [13 januari 2014].

NCTM. Using NCTM’s content and process standard. [Online]. Tersedia: www.math.vt.edu/.../teaching_activity2.pdf. [2 januari 2014].

NCTM. (2010). Why is teaching with problem solving important to student learning. [Online]. Tersedia: www.nctm.org/.../research_brief_14_-_pdf. [14 januari 2014]


(5)

Pizzini, E. L. (1991). SSCS: Implementation handbook. Edisi keempat, 455 van, the university of IOWA.

Reys, R. E. (1998). Helping children learn mathematic. (5th ed). Needham Hwight: Allyn and Bacon.

Risnanosanti. (2008). Melatih kemampuan metakognitif siswa dalam pembelajaran matematika. Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika.

Roosilawati, E. (2012). Karakteristik kemampuan bernalar dan memecahkan masalah peserta diklat peningkatan kompetensi guru. [Online]. Tersedia:

http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/artikel/802- karakteristik-kemampuan-bernalar-dan-memecahkan-masalah-peserta-diklat-peningkatan-kompetensi-guru. [14 September 2013]

Sadat, A. (2013). Implementasi model pembelajaran Missouri mathematics project dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-comfidence siswa madrasah tsanawiyah. Tesis Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: Tidak Diterbitkan

Sickfakus, E.d. (2004). Heurstics for solving technical problem: Theory, Derivation, Application. Grosse Lle: Ntelleck LLC.

Slavin, R. E. (1997). Educational psychology. Theory and practice. Fourth edition. Boston Allyn and Bacon.

Sudarman. (2012). Adversity quotient; Kajian kemungkinan pengintergrasiannya dalam pembelajaran matematika. Jurnal AKSIOMA, Volume 01, Nomor 01 Maret 2012


(6)

Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuatitatif, kualitatif, dan R&D. Cetakan keenambelas, Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. (2003). Evaluasi pembelajaran matematika. Bandung: JICA.

Sumarmo, U. (2013). Analisis kurikulum, problema, dan kasus pengajaran matematika di sekolah. Handbook perkuliahan. Universitas Pendidikan Indonesia

Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta:Kanisius.

Supatmono, C. (2009). Matematika Asik. Jakarta: Grasindo.

Stoltz, P.G. (2004). Adversity quotient: Mengubah hambatan menjadi peluang. Edisi kelima, Jakarta: Grasindo.

Utami, R.P. (2011). “Pengaruh model pembelajaran Search Solve Create And Share (SSCS) dan Problem Based Instruction (PBI) terhadap prestasi belajar dan kreativitas Siswa”. Jurnal BIOEDUKASI Volume 4, Nomor 2 Halaman 57-71.

Wilson, J.W, Fernandez, M.L, & Hadaway, N. (1993). Matehematical problem solving. Jwilson.coe.uga.edu/emt/725Pssyn/PSsyn.html


Dokumen yang terkait

Penerapan Model Pembelajaran Sscs (Search, Solve, Create And Share) Untuk Meningkatkan Disposisi Matematik Siswa

21 139 156

Pengaruh model pmbelajaran Search, Solve, Create and Share (SSCS) terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

3 13 162

Pengaruh model search, solve, create and share terhadap hasil belajar siswa pada konsep fluida statis

1 18 214

PENGEMBANGAN MEDIA SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA PADA MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE AND SHARE

5 23 101

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE (SSCS) BERBANTUAN KARTU MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA KELAS VIII

0 40 387

Pengaruh Model Pembelajaran Search Solve Create And Share (SSCS) dan Problem Based Instruction (PBI) Terhadap Prestasi Belajar dan Kreativitas Siswa

0 5 15

Penerapan Model Pemecahan Masalah Matematis Tipe Search, Solve, Create and Share (SSCS) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Sekolah Dasar.

1 2 16

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH TIPE SEARCH, SOLVE, CREATE AND SHARE (SSCS) TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF BERDASARKAN KEMAMPUAN AWAL PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN EKONOMI.

0 4 45

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE AND SHARE (SSCS) TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS DAN PROFIL KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.

0 0 43

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN SEARCH, SOLVE, CREATE, AND SHARE (SSCS) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN ADVERSITY QUOTIENT SISWA SMA - repository UPI T MTK 1204867 Title

0 1 3