Manejemen konflik sosial budaya global

MANAJEMEN KONFLIK GLOBAL KONTEMPORER

“Dinamika Konflik Perbatasan di Asia Tenggara”
Dosen Pengampu :
Dr. Surwandono. M.Si.

Disusun Oleh:
CILIK TRIPAMUNGKAS
20141060025

MAGISTER POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

Pendahuluan
Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara. K. J.
Holsti (1983: 170) mendefinisikan konflik perbatasan sebagai konflik yang terjadi
akibat ketidakseuaian pandangan negara dengan pihak negara lain terhadap
kepemilikan suatu wilayah atau pada hak-hak yang diperoleh di dekat wilayah
negara lain. Konflik perbatasan juga dapat dipahami sebagai perselisihan yang
menyangkut hak-hak perbatasan suatu pihak dan sering kali direaksikan dengan

konflik bersenjata atau reaksi yang mengarah pada penggunaan hardpower (Malik
et al., 2003). Konflik perbatasan bermula sejak diberlakukannya sistem kedaulatan
Westphalia. Sistem tersebut menekankan pada sistem kedaulatan yang bebas dari
campur tangan pihak asing dengan melalui pembuatan sistem perbatasan regional
yang nyata. Dari sistem Westphalia itulah, akhirnya seluruh negara di dunia mulai
memberlakukan pembatasan wilayah negara secara tegas. Kendati demikian,
konflik antarnegara karena perebutan wilayah masih kerap terjadi. Adapun di Asia
Tenggara juga tidak jauh dari yang namanya konflik perbatasan, yang di dalam
hal penyelesaian dan resolusinya melibatkan institusi-institusi tinggi seperti PBB.
Sebagai sebuah kawasan yang letaknya cukup strategis, negara-negara Asia
Tenggara dinilai sangat rentan terhadap berbagai pengaruh baik maupun buruk
dari luar. Beberapa negara berbentuk kepulauan sedangkan lainnya terletak di
daratan utama dengan sebagian besar wilayah berupa laut menjadikan kawasan ini
rentan akan adanya konflik perbatasan karena tidak adaya ‘garis batas yang jelas
di lautan’. Konflik yang terjadi antar negara meliputi isu perbatasan, perebutan
wilayah atau pulau di teritori suatu negara hingga cagar budaya yang terletak di
perbatasan. Beberapa permasalahan yang ada berhasil diselesaikan dan sebagian
masih tetap menjadi isu diantara negara-negara. Meskipun peraturan akan batas
teritori negara sudah ditetapkan namun isu-isu mengenai perbatasan akan tetap
ada karena itulah peran organisasi internasional seperti Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dan ICJ (International Court Justice) menjadi sangat penting. Posisi

kawasan yang cukup strategis juga menjadi lokasi yang tepat untuk transit dan
menjadi target dalam kejahatan transnasional sehingga dibutuhkan solusi-solusi
yang efektif dalam menangani masalah ini. Berikut akan dijelaskan lebih jauh
mengenai dinamika isu yang terjadi dan kejahatan transnasional di kawasan Asia
Tenggara.

Pembahasan
Perbatasan negara merupakan garis vertikal imajiner yang berada di sepanjang
garis perbatasan diatas bumi, yang memisahkan wilayah teritori suatu negara
mulai dari tanah, air, udara, dan bagian bawah tanah dari teritori negara lain
(Anon, 2008:3). Perbatasan wilayah atau negara ini menjadi suatu hal yang
penting bagi suatu negara karena itu berarti menandai batasan wilayah teritori dan
kedaulatan negara tersebut. Perbatasan menjadi daerah pertahanan paling luar
suatu negara dalam menghadapi tantangan yang datang dari luar, baik secara fisik
maupun ideologis sehingga dibutuhkan sebuah sistem yang bagus dalam wilayah
perbatasan suatu negara untuk melindungi negara tersebut. Selain itu, kontrol akan
wilayah perbatasan menjadi perlu karena untuk menghindari tindakan kejahatan
transnasional, perlindungan akan hidup, kesehatan, dan lingkungan bagi rakyat,
serta menghindari masuknya imigran ilegal (Anon, 2008:3).
Perbatasan antara satu negara dengan negara lain ditentukan berdasarkan hukum

internasional yang berlaku untuk menghindari adanya konflik perbatasan antar
negara. Seperti yang tertera dalam UNCLOS (1982:5) dijelaskan bahwa setiap
negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu
batas yang tidak melebihi 12 mil yang diukur dari garis pangkal sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Konvensi. Peraturan internasional yang tertera
dalam UNCLOS ini menjadi acuan bagi negara-negara dalam menentukan batas
teritorinya khususnya wilayah perairan. Negara kepulauan juga memiliki Zona
Ekonomi Eksklusif yang diatur dalam ketentuan UNCLOS dan wilayah perairan
diluar yurisdiksi nasional negara manapun akan menjadi wilayah bebas dan
menjadi perairan umum masyarakat dunia (UNCLOS, 1982:18).
Meskipun beberapa ketentuan mengenai perbatasan negara baik darat, laut, dan
udara telah ditetapkan oleh UNCLOS, konflik mengenai perbatasan antar negara
tidak dapat dihindari, tidak terkeculi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Beberapa isu perbatasan yang berhasil diselesaikan antara lain konflik antara
Indonesia dan Malaysia dalam limitasi batasan utara dan selatan masing-masing
negara di Selat Malaka serta batasan barat dan timur di Kepulauan Natuna yang
terletak di Laut Cina Selatan dalam sebuah perjanjian bilateral, Laos dan Vietnam
yang berhasil menyetujui kesepakatan atas batas masing-masing negara serta

kesepakatan antara Myanmar dan Thailand dalam menyelesaikan isu limitasi

perbatasan di Laut Andaman (Amer, 2000:32). Namun selain itu, ada beberapa isu
yang hingga saat ini tidak bisa diselesaikan melalui perjanjian bilateral dan masih
menjadi konflik yang berkelanjutan.
Peran pihak ketiga menjadi penting ketika isu perbatasan wilayah antara satu
negara dengan negara lain tidak bisa diselesaikan secara damai. Beberapa negara
Asia Tenggara memutuskan untuk melakukan arbitrasi dalam menyelesaikan
sengketa wilayah yang terjadi di kawasan dan disinilah peran ICJ menjadi
penting. Isu yang mungkin paling kontroversial adalah sengketa Pulau Sipadan
dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang akhirnya berusaha diselesaikan
melalui ICJ pada 1998 (Strachan, 2009:1). Meskipun akhirnya pada 2002
sengketa berakhir dengan berpindahnya kedua pulau ke dalam wilayah Malaysia,
isu ini dianggap belum selesai karena ICJ tidak menentukan batasan maritim
antara Indonesia dan Malaysia disekitar kedua pulau tersebut. Selain melalui
upaya arbitrasi internasional, negara-negara ASEAN juga berusaha menyelesaikan
isu perbatasan melalui kesepakatan bilateral atau melalui organisasi regional,
khususnya setelah terbentuknya ZOPFAN atau Zone of Peace, Freedom and
Neutrality untuk menciptakan stabilitas kawasan (Amer, 2000:36).
Selain adanya isu permasalahan didalam kawasan yang berkaitan dengan sengketa
wilayah perbatasan, negara-negara ASEAN juga menghadapi permasalahan baru
yaitu kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional tidak hanya bersumber dari

sesama negara ASEAN namun juga terkadang melibatkan pihak diluar ASEAN
yang memberikan dampak yang merugikan bagi negara-negara di kawasan.
Kejahatan transnasional dapat dikaitkan dengan fenomena gray area yang berarti
ancaman pada stabilitas negara yang berdaulat oleh aktor non-negara dan
organisasi non-pemerintah (Chalk, 1998:67). Pihak yang terlibat dalam kejahatan
transnasional ini sering menggunakan kekerasan dan beberapa diantaranya adalah
sindikat kejahatan internasional, organisasi perdagangan obat terlarang, dan
kelompok teroris (Chalk, 1998:67). Posisi kawasan Asia Tenggara yang strategis
mendukung kelompok-kelompok kejahatan non-negara ini untuk melakukan
modus operandinya di negara-negara sehingga mengancam kedaulatan negara.

Seperti yang dinyatakan oleh Emmers (2003:1) bahwa kejahatan transnasional
melibatkan individu, kelompok, organisasi dan komunitas dari negara lain yang
memberikan ancaman bagi suatu negara. Beberapa kasus kejahatan transnasional
yang terjadi di kawasan Asia Tenggara adalah perdagangan obat terlarang,
penyelundupan manusia, serta kasus pembajakan kapal. Kawasan Golden Triangle
atau Segitiga Emas yang terdiri dari Thailand utara, Myanmar timur, dan Laos
barat merupakan penghasil narkotika terbesar dan merupakan sumber produksi
2/3 narkotika dunia. Posisi kawasan yang strategis terkadang menjadi area transit
yang ideal bagi perdagangan narkotika ilegal yang kemudian disalurkan ke

negara-negara di Amerika, Eropa, dan Asia (Emmers, 2003:3). Selain itu,
penyelundupan manusia secara ilegal sering terjadi antara negara-negara Asia
Tenggara seperti banyaknya tenaga kerja ilegal dari Indonesia yang diselundupkan
ke Malaysia serta wanita-wanita muda Vietnam yang diperdagangkan untuk
industri seksual di Kamboja. Namun, masalah yang paling mengkhawatirkan bagi
dunia internasional dan juga kawasan adalah adanya kegiatan pembajakan kapal
oleh para mafia di area sekitar Laut Cina Selatan yang merugikan perusahaan
industri yang kargonya melintasi perairan kawasan.
Isu kejahatan transnasionalisme di kawasan Asia Tenggara disebabkan oleh
beberapa faktor. Permasalahan seperti perdagangan narkotika ilegal dan
penyelundupan manusia disebabkan karena kurangnya kesadaran pemerintah
negara yang bersangkutan dalam menangani kasus tersebut (Emmers, 2003:3).
Elit berkuasa di Yangoon bahkan mengandalkan hasil produksi heroin yang
diekspor

secara

ilegal

ke


negara-negara

sekitar

sebagai

usaha

untuk

mempertahankan kekuasaannya. Selain itu, beberapa negara kawasan tidak
memiliki pihak otoritas yang mumpuni dalam menegakkan hukum khususnya di
wilayah perbatasan dan prosesnya yang panjang membuat kejahatan transnasional
ini tidak dapat dihentikan. Pemerintahan yang korup juga menjadi salah satu
faktor karena mereka mengambil keuntungan dari adanya bisnis ilegal ini.
Konflik Perbatasan dan Kajian Hukum Internasional
Menurut Nadeak (t.t.), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik perbatasan. Pertama, kurangnya pengawasan terhadap wilayah sendiri
merupakan salah satu faktor terjadinya sengketa wilayah teritorial. Perbatasan


negara menjadi tempat yang krusial, sehingga perlu dilakukan penjagaan ketat
agar tidak terjadi pelanggaran antar wilayah perbatasan. Kedua, kurangnya
perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.
Kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang tinggal di daerah yang menjadi
pusat pemerintahan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan begitu
besar. Kemiskinan banyak mewarnai kehidupan masyarakat perbatasan, sebab
rendahnya sumberdaya manusia dan minimnya program-program pembangunan
di wilayah tersebut. Sehingga hal tersebut dapatmelemahkan kekuatan masyarakat
perbatasan dan integrasinya dengan negara. Ketiga, sikap pemerintah yang kurang
tanggap terhadap wilayahnya, terutama pada wilayah perbatasan. Kendala yang
dihadapi pemerintah adalah terlalu luasnya teritori dan kurangnya infrastruktur
yang ada, sehingga membatasi pemerintah untuk mengelola wilayah. Keempat,
faktor perjanjian batas wilayah yang tidak komprehensif. Dalam konsepsi hukum
internasional, cakupan wilayah suatu negara adalah seluruh wilayah yang
diwariskan oleh pihak kolonial. Ambiguitas rezim yang ada menimbulkan
pemahaman yang berbeda-beda oleh setiap negara. Kelima, adanya campur tangan
dari pihak luar dengan kepentingan tertentu yang menyebabkan terjadinya konflik
perbatasan.
Perbatasan dapat dipahami sebagai garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu

negara dengan negara lainnya diatas permukaan bumi (Starke, 1989: 245).
Perbatasan menjadi penanda kedaulatan suatu negara atas wilayah yang
dimilikinya, sehingga negara memberikan perhatian khusus berupa penempatan
petugas penjaga perbatasan di wilayah yang berdekatan dengan perbatasan
wilayah negara lain. Perbatasan wilayah antar negara yang berdekatan cenderung
mengalami konflik, apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap letak
perbatasan wilayah. Penarikan batas darat suatu negara ditetapkan berdasarkan
koordinat titik-titik yang telah disepakati dalam perundingan batas antarnegara
yang terkait. Perbatasan wilayah dapat dipahami dalam dua hal, yaitu perbatasan
alamiah dan buatan (Starke, 1989: 246-7). Perbatasan alamiah berkaitan gunung,
sungai, pesisir pantai, hutan, danau, dan gurun yang membagi wilayah dua negara
atau lebih. Sedangkan, perbatasan buatan berkaitan dengan tanda yang merujuk
pada garis perbatasan imajiner dan tanda yang sejajar dengan garis lintang atau
garis bujur. Tanda tersebut biasanya berupa tugu, kawat berduri, dinding beton,

atau border sign post. Titik koordinat tersebut telah disepakati secara bersama
oleh negara-negara terkait dalam forum perundingan batas.
Selain batas wilayah darat, terdapat juga batas wilayah laut yang diatur oleh
hukum laut internasional. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil
mewujudkan hukum laut internasional melalui United Nations Convention on the

Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 117 negara di
Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. UNCLOS mengatur
kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen) dan juga mengatur tata
cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua
atau lebih negara bertetangga. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang
berdampingan. Hukum laut memberikan hak kepada negara pantai untuk memiliki
laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen
sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya bahkan untuk landas
kontinen jaraknya bisa mencapai 350 mil laut (Starke, 1989: 245). Konvensi ini
juga mengatur sistem penyelesaian sengketa, dimana negara-negara peserta
berkewajiban untuk tunduk pada salah satu daripada lembaga penyelesaian
sengketa sebagai

berikut

:

Mahkamah


Internasional

(ICJ), Pengadilan

Internasional untuk Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi Khusus.Terdapat
beberapa landasan atau prinsip hukum internasional yang digunakan dalam
menyelesaikan

konflik

perbatasan,

diantaranya

adalah

prinsip

uti

possidetis(kepemilikan awal),prinsip keadilan, prinsip tentang sejarah awal
administratif dan persetujuan terkait wilayah yang bersangkutan, serta adanya
naskah peraturan, perintah dan keputusan administratif, dokumentasi peta dan ciri
luar geografis yang menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan sengketa
perbatasan wilayah suatu negara (Starke, 1989: 245).

Beberapa Contoh Konflik Antar Negara Asia Tenggara:
Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan(Indonesia-Malaysia)

Secara geografis, Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar. Pulau
Sipadan berada 15 mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut
dari pantai timur Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Sedangkan pulau Ligitan
terletak 12 mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut dari
pantai timur Pulau Sebatik (www.lib.ui.ac.id). Konflik Indonesia dengan Malaysia
ini berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara
kedua negara, kedua negara tersebut secara bersamaan memasukkan pulau
Sipadan dan Ligitan dalam batas-batas wilayahnya.
Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969
menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati,
diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia
(Ratnaningrum, 2010). Diberlakukannya status quo ini ditujukan agar kestabilan
kedua negara maupun negara ASEAN yang berada di sekelilingnya tidak
terganggu.
Namun kedua negara memahami pengertian tersebut berbeda. Malaysia
memahami status quo bahwa kedua pulau tersebut tetap berada dibawah
kepemimpinan Malaysia sampai persengketaan selesai. Sedangkan pihak
Indonesia memahami bahwa adanya status quo berarti kedua pulau tidak boleh
ditempati atau tidak dalam kepemimpinan kedua negara hingga persengketaan
selesei (Puspita, t.t). Berbeda dengan Indonesia yang mentaati hukum
internasional, Malaysia justru memanfaatkan kondisi tersebut dengan mendirikan
fasilitas pariwisata di dua kepulauan tersebut. Mengetahui hal tersebut Indonesia
langsung mengirimkan protes kepada Malaysia bahwa kedua kepulauan tersebut
sedang dalam kondisi sengketa dan tidak diperbolehkan untuk menduduki wilayah
tersebut. Keadaan bertambah parah ketika Malaysia mulai memasukkan kedua
pulau tersebut pada perpetaan wilayahnya pada tahun 1979.
Situasi yang semakin parah ini membuat Presiden Soeharto sebagai wakil dari
Indonesia dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mencari

solusi dari permasalahan ini kepada ICJ. Setelah pertemuan kedua negara melalui
ICJ ini terbentuklah suatu perjanjian atas adanya perdamaian antara Malaysia dan
Indonesia serta sesegera mungkin ICJ memberikan kepemilikan pulau Sipadan
dan Ligitan ini berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dengan dibawanya sengketa
wilayah ini melalui ICJ justru memperlemah posisi Indonesia. Pada tahun 2002,
Indonesia dan Malaysia memberikan argumennya terkait dengan persengketaan
wilayah tersebut berdarkan bukti-bukti yang dimiliki. Pada argumen yang
disampaikan Indonesia, Indonesia menyatakan bahwa bukti kepemilikannya atas
kedua pulau tersebut berdasarkan Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1981 dimana
garis batas kedua negara adalah di pantai timur Pulau Kalimantan yang terus
memotong ke pulau Sebatik yang menempatkan kedua pulau tersebut dibawah
kepemilikan Belanda. Sedangkan argumen yang disampaikan oleh Malaysia
dengan bukti-bukti yang ada bahwa Malaysia sejak tahun 1971 telah
membuktikan pemberian perlindungan terhadap kedua wilayah tersebut seperti
mengeluarkan perlindungan Penyu, adanya pembangunan mercusuar di Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 (Steven, 2009: 45). Pernyataan yang
disampaikan Indonesia dan Malaysia ini membuat Mahkamah Hukum
Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan secara resmi berada
dibawakepemilikan Malaysia terbukti dengan keefektifan Malaysia yang
melakukan perawatan atas kedua pulau tersebut.
Kasus serupa juga terjadi di kawasan perairan Ambalat, di mana Malaysia
melakukan klaim terhadap perairan tersebut. Pemerintah Indonesia merespon
tindakan yang dilakukan oleh Malaysia dengan jalan pengirima pasukan militer.
Pemerintah Malaysia melakukan klaimnya atas perairan tersebut didasarkan pada
peta mereka yang mereka buat sendiri pada tahun 1979. Hal ini pun tidak bisa
deiterima oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2013, masih sering terjadi
pelanggaran perbatasan oleh Malaysia di perairan Republik Indonesia. Sehingga
Konflik ini laksana bom waktu.

Konflik Thailand – Kamboja

Thailand dan Kamboja awalnya merupakan dua negara Asia Tenggara yang
memiliki hubungan yang baik dan jarang terlibat pertikaian. Hal ini mungkin
dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan, seperti persamaan
agama dan sistem pemerintahan. Keduanya merupakan negara yang berbatasan
secara langsung, yaitu wilayah Preah Vihear berbatasan dengan wilayah Sisaket di
bagian Timur Laut Thailand. Ketika merdeka tahun 1953, Kamboja mulai
mengangkat permasalahan kepemilikan Kuil Preah Vihear dengan Thailand.
Hubungan kedua negara sempat tegang setelah Thailand mengirim tentaranya ke
kuil tersebut. Thailand bahkan sempat mengamankan sebagian arca dan obyek
kuil ke negerinya. Setelah upaya diplomatik gagal, kedua negara telah sepakat
menyerahkan permasalahan ini ke Mahkamah Internasional (MI), dalam
putusannya tertanggal 15 Juni 1962 (The Hague Judgment of 15 June 1962),
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Kamboja sebagai pemilik Kuil
Preah Vihear dan akibatnya Thailand harus menarik pasukan militernya maupun
para penjaga yang dikerahkan di sekitar kuil atau disekitar wilayah kedaulatan
Kamboja.
Keputusan Mahkamah Internasional tersebut adalah bersifat mengikat dan final
artinya para pihak yang bersengketa di hadapan Mahkamah Internasional tidak
dapat melakukan banding atas putusan yang telah dikeluarkan. Mahkamah
Internasional mendasarkan putusannya pada peta yang dibuat sekelompok ahli
yang dibentuk atas kesepakatan antara Pemerintah Perancis dan Pemerintah Siam,
yaitu the Commission of Delimitation. Dalam putusannya, Mahkamah
Internasional tidak dengan tegas menetapkan garis batas kedua negara. Mahkamah
Internasional hanya menetapkan siapa yang memiliki kedaulatan atas kuil tersebut
(Sari, 2008).
Pada bulan Juli 2008 Kuil Preah Vihear yang diperkirakan yang telah berumur
900 tahun dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia (Word Heritage List)
oleh UNESCO. Hal ini disambut gembira oleh Pemerintah Kamboja, namun
memicu masalah di Thailand (Sinar Harapan, 7 Oktober 2008). Akibatnya,
terjadilah kontak senjata antara tentara militer Kamboja dengan tentara militer
Thailand di perbatasan dekat Kuil Preah Vihear yang menjadi jantung sengketa

antara kedua negara. Baku tembak yang pecah antara tentara militer kedua negara
terjadi pada tanggal 15 Oktober 2008 yang mengakibatkan tewasnya dua orang
tentara Kamboja dan melukai lima orang tentara Thailand, dan kemudian baku
tembak untuk kedua kalinya terjadi pada tanggal 3 April 2009, akibat kontak
senjata tersebut telah menewaskan dua orang tentara militer Thailand dan
mengakibatkan sepuluh orang tentara militer lainnya mengalami luka-luka (Sari,
2008).
Berbagai upaya, baik secara bilateral, regional, maupun internasional dilakukan
dalam rangka menyelesaikan konflik ini, atau setidaknya meredakan ketegangan
an. Perbedaan persepsi kedua negara dalam upaya penyelesaian semakin
menghambat terciptanya resolusi konflik. Mengingat kekalahannya di Mahkamah
Internasional 1962, Thailand hanya mau menyelesaikan konflik dalam level
bilateral (Raharjo, 2011). Sementara itu, Kamboja lebih percaya diri melibatkan
pihak luar, baik PBB maupun ASEAN (Raharjo, 2011).
Hun Sen mengatakan bahwa baku tembak di dekat kuil Preah Vhiear adalah
perang bukan lagi konflik antar tentara, sehingga mekanisme bilateral tidak akan
bekerja. Kamboja kemudian meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk
mengerahkan pasukan pemelihara perdamaian PBB ke perbatasan itu. DK
menyatakan bahwa perannya akan dibatasi dengan cara mendukung usaha-usaha
regional dan usaha-usaha bilateral untuk merundingkan penyelesaian konflik
tersebut. PBB kemudian memutuskan akan mengadakan perundingan di New
York yang akan dihadiri Menlu Thailand Kasit Piromya, Hun Sen, dan Menlu
Marty Natalegawa dari Indonesia sebagai ketua ASEAN pada 14 Februari 2011
(Raharjo, 2011). Piromya mengatakan bahwa pasukan pemelihara keamanan PBB
tak diperlukan dan bahwa pemerintahnya ingin menyelesaikan isu secara bilateral.
Secara formal, Thailand dan Kamboja sebenarnya sudah mau duduk bersama
dalam pertemuan yang difasilitasi ASEAN seperti yang yang dilakukan pada 22
Februari 2011 di Jakarta, dengan hasil sepakat untuk menerima tim pemantau dari
Indonesia (Raharjo, 2011). Hasil pertemuan ini juga menyepakati pertemuanJoint
Border Committee (JBC) di Bogor pada April 2011 yang melibatkan menteri
pertahanan kedua negara (Raharjo, 2011). Kamboja cenderung mendukung
keputusan ini, sedangkan Thailand menunjukkan sikap berbeda. Menteri

Pertahanan Thailand, Prawit Wongsuwan, menyatakan tidak akan menghadiri
JBC dan menolak kehadiran tim pemantau dari Indonesia di wilayah yang
disengketakan karena dianggap sebagai wujud campur tangan pihak luar (Raharjo,
2011). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pandangan dalam domestik
Thailand, antara kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan.
Penanganan konflik yang diserahkan ke ASEAN akan mengedepankan jalur
diplomasi dalam menyelesaikan konflik. Namun pertempuran antar militer kedua
negara kembali pecah pada akhir April 2011, dan bahkan pertempuran ini meluas
ke Candi Ta Moan dan Ta Krabey (Raharjo, 2011). Walaupun penyelesaian
konflik dengan mendudukkan Thailand dan Kamboja secara bersama belum
menunjukkan hasil, Indonesia melalui kementerian luar negeri terus bergerak
mencari celah dengan mengadakan pertemuan informal secara terpisah dengan
Kamboja dan Thailand.
Sulitnya terciptanya perdamaian di antara kedua negara lebih dikarenakan sikap
Thailand yang masih tidak konsisten terkait dilema internalnya. Indonesia oleh
karenanya harus lebih intensif melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri luar
negerinya tetapi seluruh pihak yang berkepentingan dalam kabinet Thailand,
terutama harus bisa mendekati militer Thailand yang punya pengaruh besar dalam
peta politik Thailand. PM Thailand pun harus melakukan koordinasi internal
kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand sebagai
satu kesatuan sehingga usaha untuk menegosiasikan kepentingan nasional masingmasing negara menjadi keputusan yang win-win solution bisa lebih mudah
diwujudkan. Selain itu, Indonesia juga harus berani mengadakan diplomasi
tingkat tinggi antar kepala negara. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono beserta pemimpin negara ASEAN lainnya seharusnya memberikan
perhatian yang lebih terhadap isu ini tanpa harus terjebak pada ketakutan terhadap
tuduhan intervensi (Raharjo, 2011).
Pertemuan trilateral antara Menlu Indonesia Marty Natalagewa, Menlu Thailand
Kasit Piromya dan Menlu Kamboja Hor Namhong, memastikan bahwa Thailand
dan Kamboja memastikan untuk tetap menyelesaikan masalah konflik mereka
dengan cara damai. Yudhoyono merekomendasikan agar Thailand dan Kamboja
merundingkan tiga hal penting penyelesaian damai konflik dalam satu paket, yaitu

mengaktifkan General Border Committee (perundingan perbatasan pertahanan
kedua negara), melihat kembali nokta kesepakatan tahun 2000, dan penempatan
tim peninjau Indonesia di perbatasan sesuai kesepakatan yang disetujui pada bulan
Februari 2011. Hun Sen menambahkan bahwa penyelesaian konflik di sekitar kuil
Preah Vihear diserahkan kepada ASEAN, sedangkan konflik di Candi Ta Moan
dan Ta Krabey akan diselesaikan secara bilateral.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perbatasan wilayah merupakan
daerah pertahanan paling luar suatu negara dalam menghadapi tantangan yang
datang dari luar, baik secara fisik maupun ideologis sehingga dibutuhkan sebuah
sistem yang bagus dalam wilayah perbatasan suatu negara untuk melindungi
negara tersebut. Meskipun ketentuan akan pembagian wilayah suatu negara sudah
diatur dalam UNCLOS, konflik perbatasan antar negara tidak dapat dihindari. Jika
konflik terjadi dan tidak dapat diselesaikan melalui perjanjian bilateral maka
arbitrasi internasional melalui ICJ dapat dilakukan. Selain isu sengketa
perbatasan, negara kawasan ASEAN juga menghadapi ancaman dari luar yaitu
kejahatan transnasional seperti perdagangan narkotika ilegal, penyelundupan
manusia secara ilegal dan pembajakan kapal laut oleh mafia disekitar perairan
kawasan. Permasalahan ini muncul karena berbagai faktor yang kemudian
berusaha diselesaikan secara internal oleh negara-negara kawasan dan
bekerjasama dengan lembaga internasional seperti Interpol.
Konflik perbatasan adalah konflik yang terjadi akibat ketidaksesuaian pandangan
negara dengan pihak negara lain terhadap kepemilikan suatu wilayah atau pada
hak-hak yang diperoleh di dekat wilayah negara lain.Secara geo-politikkawasan
Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari
adanya berbagai konflik perbatasan yang di kawasan Asia Tenggara yang
melibatkan kepentingan negara-negara dalam perluasan power yang mereka
miliki. Konflik perbatasan yang terjadi di Asia Tenggara diantaranya adalah
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, sengketa antara Kamboja dan Thailand
mengenai Kuil Preah Vihear, Konflik Laut Bengal antara Myanmar dan
Bangladesh, dan konflik perbatasan Kamboja dan Vietnam, dll.

Daftar Pustaka


Anon. 2008. Law on Protection of State Border. Belgrade: Ministry of



Interior, Republic of Serbia. pp. 1-25.



Sweden: Uppsala University. pp. 30-60.



Southeast Asia. Queensland: University of Queensland.

Amer, Ramses. 2000. Managing Border Disputes in Southeast Asia.

Chalk, Peter. 1998. Cross-Border Crime and Grey Area Phenomena in

Emmers, Ralf. 2003. The Threat of Transnational Crime in Southeast
Asia: Drug Trafficking, Human Smuggling and Trafficking, and Sea



Piracy. Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies. pp. 1-11.
Strachan, Anna Louise. 2009. Resolving Southeast Asian Territorial
Disputes: A Role for the ICJ. New Delhi: Insititute of Peace and Conflict



Studies. pp. 1-4.



Montego Bay: United Nations. pp. 1-175.



4. Diterjemahkan oleh: M. Tahir Azhary. Jakarta: Penerbit Erlangga.

UNCLOS. 1982. United Nations Convention on the Law of the Sea.

Holsti, K. J., 1983 Politik Internasional; Kerangka untuk Analisis.Edisi ke

Malik, Ichsan et al., 2003. Buku Sumber Menyeimbangkan Kekuatan
Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik Atas Sumber Daya Alam.



Yayasan Kemala: Jakarta.
Anon.

2011.

Sengketa

kepemilikan

Laut

Cina

Selatan.

Dalam

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyc


onflict. [diakses pada 27 maret 2015].
Anonim.

n,d.

Sipadan-Ligitan.



dapat

www.lib.ui.ac.id[diakses pada tanggal 27 Maret 2015].

diakses

di