KRISIS LINGKUNGAN DAN MORAL AGAMA (1)
KRISIS LINGKUNGAN DAN MORAL AGAMA 1
Oleh : Subair
A. Pengantar
Cukup lama agama dipandang sebagai sumber moral yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam.
Weber (1990) misalnya membuktikan bahwa etika Protestan merupakan landasan kapitalisme dan
materialisme yang cenderung materialistik dan hedonistik sangat berpengaruh terhadap terjadinya
kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Sementara masalah lingkungan hampir tidak mendapatkan
tempat dalam agama selain Protestan, termasuk Islam. Sehingga sungguh suatu ironi manusia Indonesia yang
dikenal beragama justru dikenal pula sebagai perusak lingkungan kelas wahid. Tidak hanya hutan yang
gundul akibat ulah serakah manusia, sungai dan laut pun tercemari sedemikian hebat.
Artikel ini mengupas hubungan antara moral agama dan krisis lingkungan masa kini meliputi
pembahasan tentang etika-etika lingkungan, spiritual ecology: kembali ke spiritualitas agama, dan pandangan
Islam tentang krisis lingkungan.
B. Etika-etika Lingkungan
Mengapa terhadap lingkungan diperlukan etika? Apa gunanya? Dan apa relevansinya? Bagaimanapun
pertanyaan ini harus dipahami dengan benar. Karena lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis.
Krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Manusia
dapat mengarahkan teknologi ke arah mana saja, baik atau buruk, benar atau salah. Di sinilah letak peran
etika, yang dapat mengarahkan perilaku manusia, baik atau buruk, benar atau salah.
Perhatian terhadap lingkungan hidup semakin besar, dan seringkali diwujudkan dalam organisasiorganisasi masyarakat. Di mana perhatian utama mereka lebih kepada pentingnya etika ekologi baru. Secara
teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics,
Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai
antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme (Keraf, 2002)
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat,
yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa
etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan
satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam
istilah Frankena -sebagai satu-satunya moral patient.
Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies
manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam
pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal). Cara
pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi
biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertamatama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objekobjek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung
satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang
manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan" (Capra, 2004).
1
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Ushuluddin dan Dakwah: Kontekstualisasi Keilmuan Ushuluddin
dan Dakwah menghadapi Krisis Moral Bangsa, Ambon 3 Desember 2013.
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang
hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru
memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis,
makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang
sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai
Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf
Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas
ekologis. Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip
moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini menyangkut suatu
gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis
sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih
tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang
selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.
Jika gerakan Ekologi Dangkal hanya mempunyai satu prinsip dan tujuan, maka gerakan Ekologi Dalam
memiliki tujuh prinsip. Prinsip gerakan Ekologi Dangkal adalah "menentang polusi dan pengurasan sumber
daya" dengan tujuan sentral: kesehatan dan kesejahteraan rakyat di negara-negara tnaju. Sedangkan tujuh
prinsip gerakan Ekologi Dalam adalah: (1) Relasi intrinsik antar spesies-spesies dalam jaringan biosfer; (2)
Egalitarianisme biosferis; (3) Keaneka-ragaman dan simbiosis; (4) Sikap anti-kelas; (5) Penentangan
terhadap polusi dan pengurasan sumber daya; (6) Kompleksitas, bukan komplikasi; dan (7) Otonomi lokal
dan desentralisasi."
Akar gerakan Deep Ecology telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan kritik sosial
dari Henry David Thoureau, John Muir, DH Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme,
Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep
Ecology.
Apa yang membedakan antara Ekologi Dalam dengan Ekologi Dangkal? Sedikitnya ada tiga. Pertama,
dari segi kerangka dasarnya. Kedua, dari segi model hubungan antara manusia dan lingkungan alam
sekitarnya. Ketiga, dari aspek tujuan jangka panjangnya.
Dalam perbedaan yang pertama, Ekologi Dangkal banyak dibentuk oleh pemikiran-pemikiran modern
yang positivistik dan antroposentrik, yang ber-implikasi pada penguasaan manusia atas alam. Sedangkan
Ekologi Dalam, karena basisnya filsafat dan agama, maka kesatuan ekologis menjadi pandangan yang paling
utama dengan menempatkan hak asasi manusia dan alam. Manusia diakui hak asasinya atas alam, karena
potensi dan kedudukannya sebagai pengelola alam sebagai khalifah fi al-ardl dalam doktrin spiritualisme
Islam. Alam pun diakui hak asasinya, karena berlakunya hukum keseimbangan dalam alam semesta.
Pandangan dasar tersebut mempunyai pengaruh terhadap hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Jika
Ekologi Dangkal lebih memusatkan pada manusia (antroposentrik), sehingga memunculkan hubungan yang
sepihak, yang dapat dilihat pada eksploitasi yang sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia. Maka, dalam
Ekologi Dalam, model hubungan yang diciptakan adalah keseimbangan. Dalam konteks keseimbangan ini,
eksploitasi terhadap alam tetap dilakukan, namun harus berdasar pada prinsip keseimbangan ekologi. Jika
Eekologi Dangkal lebih berorientasi pada produksi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka Ekologi
Dalam lebih diorientasikan pada terpeliharanya moralitas manusia yang tetap menjaga keseimbangan alam.
Dalam konteks kontemporer, etika antroposentris oleh Duarte (2001) disebut sebagai visi Managing
the Planet , yang berupaya memproteksi alam agar terus berkemampuan mereproduksi masyarakat
industrial modern via pembangunan ekonomi. Pandangan ini berkembang menjadi kesadaran moral
berlabelkan Instrumental Globality yang belakangan berkembang menjadi gerakan Ecological
Modernization , dimana gerakan ini berkeyakinan bahwa dengan dukungan perangkat institusi, maka
masyarakat industrial modern mampu menghadapi krisis ekologi.
Dengan memelihara dan mengembangkan lingkungan alam sekitarnya, alam dan lingkungan itu sendiri
pun dapat berada dan berkembang an sich. Artinya, alam itu terus ada dan berkembang, baik untuk dirinya
maupun untuk lingkungan semesta. Inilah yang mendesak manusia berpikir tentang perlunya sebuah etika
baru yang berlandasan kuat dalam kosmos. Etika yang mengharus-kan manusia berpikir dengan bertolak dari
alam, bukan dari dirinya sendiri, yakni sebuah etika yang disebut etika ekosentris. Menurut Duarte (2001),
etika ini pada konteks selanjutnya berkembang menjadi kesadaran moral yang dilabel sebagai Ecocentric
Globality sesuai dengan pandangan filosofis dari Naess tentang Deep-Ecology. Visi gerakan ini adalah Saving
the Planet yaitu mencoba mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut.
Dalam diskursus lingkungan selanjutnya, etika antroposentris dan ekosentris saling berlomba untuk
menguasai paradigma pengelolaan sumber-daya dan pembangunan masyarakat manusia. Paradigma ini
adalah dua paradigma dalam oposisi biner. Dalam peradaban yang sangat berorientasi pada kebutuhan
ekonomi saat ini, tampaknya paradigma antroposentris memenang-kan perlombaan itu. Ia lebih realistis
daripada paradigma ekosentris yang cenderung kontra peradaban dengan seruan moralnya Saving the
Planet . Memang benar bahwa etika ini telah mengesahkan sikap eksploitasi terhadap alam selama ini, yang
secara langsung atau tidak melahirkan watak kapitalisme materialisme tetapi bukan berarti bahwa ia tidak
dapat dirombak dan dibalik menjadi sebuah etika lingkungan yang bisa mengayomi dan melayani seluruh
makhluk hidup, dengan tidak merombak filsofi dasarnya bahwa manusia adalah tujuan dari segalanya.
Meskipun dalam iklim peradaban dunia yang berdasar pada liberalisme/neoliberalisme kapitalistik
paradigma ini mungkin dapat dituduh sebagai biang filosofis degradasi ekosistem bumi, tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa faktanya manusialah yang menguasai bumi dan baginya bumi ini diciptakan. Hanya
beberapa kesalahan-kesalahan yang merupakan bawaan dari kapitalisme memang harus diperbaharui.
Managing the Planet harus dilakukan perumusan pola-pola pembangunan yang berwawasan lingkungan dan
berorientasi selain kepada kesejahteraan umat manusia juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan
alam. Hubungan emansipatif, cinta dan saling menghormati di antara manusia pun harus diperpan-jang
sampai ke alam lingkungan secara keseluruhan. Sehingga, keharmonisan dan kedamaian di alam semesta
dapat tercipta di bumi ini.
Satu dasawarsa kemudian muncul gerakan Ekologi Sosial (Social Ecology), yang dirintis oleh Murray
Bookchin. Penggagas Ekologi Sosial berpan-dangan bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah
produk dari kerangka pikir antroposentris, melainkan manifestasi dari dorongan-dorongan yang bertanggung jawab terhadap praktek penindasan manusia oleh manusia. Ekologi Sosial memandang penindasan
manusia, yang secara luas dipahami sebagai penge-kangan kebebasan individu dan perkembangan diri,
sebagai sebuah problem struktural dalam sistem sosial yang didasarkan atas relasi kuasa dan dominasi. Oleh
karena itu, aktivis Ekologi Sosial berpandangan bahwa kunci membangun relasi yang lestari dengan alam
adalah perwujudan desentralisasi lingkungan politik dengan kehadiran komunitas-komunitas semi-otonom
yang mengkons-truksi cara-cara hidup yang merefleksikan keragaman nilai-nilai keotentikan manusia dan
keragaman konteks bioregional.
Pemikiran Ekologi Sosial dibangun atas dasar filsafat dialektika Hegelian, teori evolusi sosial Peter
Kropotkin, dan teori sosial Lewis Mumford. Ekologi Sosial menganggap gagasan-gagasan ekosentrisme
Ekologi Dalam seperti holistik, interkoneksi, interrelasi, dan interkoneksi sebagai hal-hal yang irasional,
antihumanis, dan dogmatis yang hanya bersandarkan pada sentimen, intuisi subjektif serta kepercayaan
supranatural dan mistik yang anti-intelektual. Bookchin nampaknya juga tidak berkenan terhadap usulan
pergeseran paradigma yang diusung Ekologi Dalam, yang cenderung menuju pemikiran Timur, karena
dianggapnya tidak sesuai dengan era kemajuan zaman modern. Oleh karena itu, ia lebih melihat faktor-faktor
sosial sebagai penyebab krisis ekologis global seperti ketidakadilan, kapitalisme, atau dominasi kelas sosial.
Pada saat yang sama, aliran ekologi ini juga mengenyampingkan Ekologi Dangkal sebagai cara
penyelesaian masalah lingkungan. Alih-alih menerapkan apa yang disebutnya sebagai "nalar konvensional"
(instrumental, analitik, manipulatif) yang merupakan cara berpikir Ekologi Dangkal, Bookchin menawar-kan
cara berpikir yang menggunakan "nalar dialektis" dalam sistem pemikiran naturalisme dialektis, dengan
mengacu kepada pemikiran dialektika Hegel.
Meskipun demikian, George Sessions menyebutkan bahwa penolakan Bookchin terhadap ekosentrisme
dapat dipahami mengingat ia sebetulnya masih menggunakan cara pandang antroposentrisme dan gagasan
tentang "alam kedua" yang dicipta oleh manusia melalui sains dan teknologi. Bookchin pun, kata Sessions,
memandang sains ekologi tidak relevan dengan kemanusiaan dan masyarakat. Jadi, penggunaan term ekologi
bagi pemikiran Bookchin hendaklah dipandang sebagai bentuk pendekatan apa yang disebut Arne Naess
sebagai Ekologi Dangkal.
Masih terdapat dua aliran ekologis lainnya, yaitu Ekologi Sosialis (Socialist Ecology) dan Ekofeminisme,
yang bisa kita kelompokkan sebagai bentuk lain dari Ekologi Sosial. Jika Ekologi Sosialis menuding sistem
kapitalisme yang meniscayakan eksploitasi ekonomis terhadap manusia dan sumber daya alam sebagai
penyebab utama krisis lingkungan, maka Ekofeminisme menuding budaya patriarkal Barat yang
mengeksplotasi wanita dan alam sebagai akar penyebab kerusakan lingkungan.
Ekofeminisme merupakan sintesa dari gerakan femininitas yang tidak memberikan efek peningkatan
status perempuan, malah ada kecenderungan perempuan justru mengikuti tindak tanduk laki-laki secara tak
sadar. Ini yang disebut fenomena male clon. Watak rasionalisme dan tiadanya kaitan spritualitas antara
gerakan feminisme dan ekologi menjadi kritik utama gerakan ekofeminis-me terhadap gerakan feminisme
yang ada. Asumsi dasarnya adalah bagaimana perempuan dengan kualitas femininnya dapat merubah dunia
melalui perannya sebagai ibu, pengasuh, pemelihara dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Istilah ekofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D Eaubonne, namun Maria Mies dan
Vandhana Shiva (1993) yang berhasil melakukan rekonstruksi pandangan ini. Mereka mengawinkan antara
prinsip ekologi dan feminisme dalam melawan ketidakadilan perempuan. Paradigma yang dipakai yang
menjadi dasar perjuangan ekofeminisme adalah pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan
lingkungan.
Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari
pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan teori ekofeminisme adalah
teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Ekofeminisme mempunyai manifesto yang disebut A Declaration of Interdependence. Deklarasi ini
menegaskan bahwa manusia memiliki keterkaitan dengan komponen-komponen kehidupan bumi. Ia harus
berinteraksi satu dengan lain untuk suatu perubahan yang hakiki yakni peningkatan kesejahteraan ummat
manusia. Karena itu, gerakan feminisme yang cenderung ingin memisahkan dirinya dengan prinsip
maskulinitas mendapatkan kritikan. Maskulinitas dipandang sebagai entitas yang hidup untuk berinteraksi di
atas bumi ini.
Dalam paradigma ini, bumi dan alam berada dalam prinsip feminin. Merajalelanya prinsip maskulinitas
yang anti-nature, berakibat tidak saja meningkatkan ketidakadilan bagi kaum miskin dan perempuan, namun
berakibat juga pada penghancuran alam dan lingkungan. Dalam perjalanannya, maskulini-tas berhasil
mendominasi dan hegemonik. Sebaliknya, gagasan ekofeminisme berakar pada kepedulian kaum perempuan
atas proses penghancuran ekologi yang bersandar pada budaya partiarkhi dan kapitalisme.
Dalam peristiwa pengrusakan alam, laki-lakilah yang sebenarnya paling banyak berperan dan kaum
perempuan yang paling merasakan dampak negatifnya. Terjadi ketidakadilan ekologi yang dibangun oleh
sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Memahami peristiwa alam dalam bingkai ekofeminisme berarti memperlakukan alam dalam hubungan
spritualitas, perlu dijaga, dilestarikan, dimuliakan sebagaimana sifat-sifat yang melekat dalam prinsip
feminin. Dengan demikian, pengrusakan, penjarahan, dan bentuk eksploitatif lainnya akan direduksi dengan
kegiatan-kegiatan ekplorasi yang menguntungkan keber-langsungan kehidupan bumi.
C. Spiritual Ecology: Kembali Ke Spiritualitas Agama
Sejalan dengan tumbuhnya kesadaran sejumlah sarjana terkemuka akan pentingnya manusia modern
untuk kembali ke alam, "berpikir sebagaimana alam berpikir", para sarjana yang peduli terhadap isu-isu
lingkungan juga tiba pada kesadaran bahwa manusia modern perlu kembali merengkuh spiritualitas dan
menghormati peran agama dalam kehidupan sosial. Kini makin banyak sarjana pemerhati lingkungan yang
menyadari potensi besar agama untuk ikut berperan aktif dalam proyek global yang amat urgen dan penting
ini, proyek penyelamatan rumah Bumi kita. Martin Palmer (dikutip dalam Dharmawan, 2007) menulis bahwa
selama lebih dari 30 tahun lembaga-lembaga besar dunia, para saintis dan pemerintahan, dan sejumlah besar
NGO telah mengkompilasi dan menganalisis secara rinci tentang proses perusakan planet yang tengah kita
lakukan Tetapi, krisis lingkungan masih bersama kita. Kenyataannya adalah pengetahuan kita tentang krisis
ini belum memadai. Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah sebuah krisis pemikiran. Kita adalah apa yang
kita pikirkan, dan apa yang kita pikirkan dibentuk oleh budaya, keyakinan dan kepercayaan kita. Jika para
pemerhati/aktivis lingkungan (environmentalist) memerlukan sebuah kerangka kerja bagaimana nilai-nilai
dan kepercayaan tersebut berdaya guna, maka adakah yang lebih baik dari kembalinya kita kepada upaya
kerja sama dengan kelompok-kelompok internasional dan jaringan-jaringan masyarakat yang terbesar di
dunia? Mengapa kita tidak menoleh kepada peran agama-agama besar dunia?
Selaras dengan kesadaran Martin Palmer di muka, David E. Cooper dan Joy A. Palmer (Spirit of The
Environment, 1998) mengkompilasi tulisan belasan sarjana internasional -dari pelbagai bidang seperti
filsafat, agama, sains, pendidikan, sastra, antropologi- yang kesemuanya sepakat bahwa wawasan spiritual
terhadap alam menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam upaya kita memelihara lingkungan hidup dan
menyelamatkan planet Bumi. Sementara itu, di kutub yang kritis, Lynn White. Jr. dalam papernya yang
menghebohkan The Historical Roots of Our Ecological Crisis, seraya menuding antroposentrisme YudeoKristiani sebagai akar penyebab krisis lingkungan, menyarankan untuk merengkuh panteisme atau tradisi
agama-agama Timur dalam membangun kosmologi yang berwawasan spiritual.
Gary Gardner (2002, dalam Dharmawan 2007), mendesak para environmentalist (pemerhati dan
aktivis lingkungan) untuk menjalin kerja sama dengan kaum agamawan, yang memiliki pengaruh besar
terhadap masyarakat. Ia berharap agar manusia modern tidak lagi meminggirkan peran agama dalam
kehidupan global dan memulai visi dan sikap baru dengan menggandeng kaum agamawan dalam
menyelamatkan rumah ekologis kita, Bumi yang tercinta. Lebih dari itu, Gardner memandang bahwa
keterlibatan agama merupakan sebuah keharusan ilmiah karena agama memiliki, setidaknya, lima aset yang
sangat berguna dalam upaya memelihara bumi dan membangun dunia yang adil secara sosial dan
berkelanjutan secara ekologis (a socially just and environmentally sustainable world). Kelima aset penting
agama itu adalah: (1) kapasitas membentuk kosmologi (pandangan dunia) yang sejalan dengan visi ekologis;
(2) otoritas moral; (3) basis pengikut yang besar; (4) sumberdaya materi yang signifikan; dan (5) kapasitas
membangun komunitas.
Menurut Gardner, sebuah tantangan besar bagi peradaban kita sekarang adalah bagaimana
mengintegrasikan kembali hati dan akal masyarakat kita, membangun spiritualitas sebagai mitra dialog
dengan sains. Untuk menjawab tantangan ini, tradisi agama-agama dunia perlu mengintensifkan keterlibatan
merelca dalam isu-isu lingkungan dan pembangunan. Pada sisi yang lain, organisasi-organisasi lingkungan
dan pembangunan perlu membuka dirt terhadap dimensi-dimensi spiritual program kelestarian alam,
sebagaimana Sierra Club telah melakukannya. Terakhir, Gardner juga menyerukan diakhirinya kecurigaan
dan kesalahpahaman yang telah berlangsung lama antara dua kelompok tersebut: kaum agamawan dan
aktivis lingkungan.
Jauh sebelum Gardner, tepatnya 40 tahun lalu, ketika istilah ekologi belum sepopuler sekarang,
Seyyed Hossein Nasr telah mengingatkan kaum sarjana dan manusia modern umumnya tentang perlunya
menghadirkan kembali dimensi spiritualitas ke dalam kehidupan global jika kita memang sungguh-sungguh
berkomitmen mencintai rumah Bumi dan memeliharanya dengan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan
Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan Bumi yang telah berlangsung sejak dua abad lalu herakar
pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern pada umumnya. Melalui pelbagai karyanya, khususnya
Man and Nature (1976) dan Religion and The Order of Nature (1996), Nasr mendedah sebab-sebab utama dan
mendasar munculnya krisis lingkungan pada peradaban modern seraya menekankan pentingnya perumusan
kembali hubungan Manusia, Alam, dan Tuhan yang harmonis berdasarkan wawasan spiritualitas dan kearifan
perennial
Nasr secara tajam dan bernas mengkritik pemikiran dan sains modern yang disebutnya telah
kehilangan sama sekali visi spiritual dalam mernandang kosmos raya. Menurut Nasr, pandangan dunia sains
modern yang berkarakter kuantitatif, sekular, materialistik, dan profan benar-benar telah mengikis maknamakna simbolik dan pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam alam raya.
Menurut Nasr, dalam pandangan modernisme, kosmos telah mati dan ia hanyalah kumpulan onggokan
benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tak bernilai apa-apa, kecuali semata-mata nilai
kegunaan ekonomis. Alam telah diperlakukan seperti layaknya pelacur , yang dieksploitasi tanpa rasa
kewajiban dan tanggung jawab terhadapnya. Krisis lingkungan bisa dikatakan disebabkan oleh penolakan
manusia untuk melihat Tuhan sebagai "Lingkungan" yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara
kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modem untuk memandang
lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan
Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.
Oleh karena itu, bagi Nasr, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan apa yang ia sebut resakralisasi
alam semesta (resacralizadon of nature) sebagai pengganti proyek mekanisasi gambaran dunia
(mechanization of the world picture) yang dicanangkan sejak Renaisans dan Revolusi Ilmiah tiga abad lalu.
Untuk itu, usul Nasr, kita perlu membangun kosmologi baru yang berbasis kepada tradisi spiritualitas agama
yang sarat makna dan kaya kearifan. Agama pun, pada gilirannya, bisa menjadi sumber visi, inspirasi dan
motivasi bagi pemerhati lingkungan untuk mengkonstruksi etika lingkungan sebagaimana juga programprogram konservasi alam. Dalam pandangan Nasr, membangun etika lingkungan tanpa wawasan spiritual
terhadap kosmos adalah tidak mungkin sekaligus tidak berdayaguna.
Dalam konteks diskursus ekologi, kebangkitan spiritualisme ini membawa implikasi pada pergeseran
paradigma ekologi, yaitu suatu pandangan yang mencari dasar-dasar pijakan spiritual untuk mengangkat
ekologi lebih dari sekadar ilmu dan beroperasi lebih dari sekedar dalam konteks politik. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah Ekologi Dalam (deep ecology) sebagai lawan dari paradigma Ekologi Dangkal
(shallow ecology). Ekologi Dalam ini mempunyai pijakan pada filsafat dan agama. Dari sinilah kemudian
paradigma spiritual ecology dibangun.
Spiritual ecology pada dasarnya ingin memberikan wacana baru, bahwa krisis ekologis lebih banyak
berhubungan dengan manusia dalam memandang realitas alam ini. Jika kita tidak ingin tertimpa bencana
alam untuk kali kesekian, maka saatnya bagi kita untuk membangun sekaligus membumikan spiritualitas
ekologi di negeri ini.
D. Islam dan Krisis Lingkungan
Umat Muslim yang berjumlah hampir satu miliar mendiami dunia yang satu dan sama. Di mana pun
mereka berada, tentunya merasakan keprihatinan mendalam atas berbagai macam masalah lingkungan
hidup yang terjadi akhir-akhir ini. Krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk
hal-hal yang berkaitan dengan manusia: udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita
minum, termasuk sistem di dalam tubuh kita. Krisis tersebut membahayakan keharmonisan seluruh materi di
bumi termasuk sistem kehidupannya (Mangunjaya et. al., 2007: 43). Akan tetapi, sebagian besar umat
Muslim, seperti manusia lainya, masih sangat kurang menunjukkan perhatiannya terhadap fakta krisis
tersebut.
Apabila kita boleh berspekulasi, akan ada perubahan yang sangat besar pada lingkungan hidup jika
saja sejumlah besar umat Muslim mau sungguh-sungguh meningkatkan perhatian mereka pada lingkungan
hidup dan krisis yang sedang dihadapi oleh bumi. Misalnya, dengan membangun jaringan kesadaran ekologis
di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mengadakan kerja sama dalam
mengolah sumber-sumber daya alam secara bijak, menentukan bentuk-bentuk regulasi yang berguna untuk
menjaga kelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.
Sebaliknya, jika sebagian besar umat Muslim tetap tidak menunjukkan kepedulian mereka terhadap
lingkungan hidup dan masalah-masalah yang dihadapinya, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan
lingkungan hidup akan terus terjadi dan menimbulkan masalah-masalah baru misalnya bencana alam dan
perubahan iklim yang tidak menguntungkan. Jika hal seperti itu telah terjadi, akan ada kerugian lebih besar
yang harus ditanggung, bukan hanya oleh sejumlah besar umat Muslim itu sendiri, tetapi juga oleh penduduk
bumi yang lain. Oleh karena itu, rasanya perlu ada sebuah cara terntentu untuk membangun kesada-ran di
antara umat Muslim itu sendiri dan selanjutnya untuk masyarakat yang lebih luas.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Islam memandang krisis lingkungan ini?
Apakah ia sejalan dengan pemikiran Ekologi Dangkal atau Ekologi Dalam ataukah Ekologi Sosial? Apakah
pemikiran Islam lebih sesuai dengan Ekologi Dalam yang menekankan perubahan cara pandang, nilai budaya
dan sikap hidup dalam menyelamatkan Bumi ataukah dengan Ekologi Sosial yang memfokuskan kepada
perubahan struktur sosial? Ataukah Islam memiliki karakternya sendiri yang membedakannya dari aliranaliran ekologis itu? Jika demikian halnya, lalu bagaimana kita menjelaskan dan memposisikannya?
Seyyed Hossein Nasr dalam sebuah tulisanya mengungkapkan beberapa masalah lingkungan hidup
yang terjadi pada di dunia Islam kontemporer. Ia sendiri memulai keprihatinannya terhadap lingkungan
hidup sejak tahun 1950 ketika ia belajar di Massachusetes Instutute of Technology Harvard. Dalam salah satu
bagian tulisanya, Nasr mengungkapkan bahwa rintangan dalam merealisasi-kan dan menerapkan sudut
pandang Islam terhadap lingkungan. Ia mengakatan bahwa jika seseorang mempelajari sudut pandang Islam
atau hubungan manusia dengan lingkungan: ada suatu gambaran keharmonisan kehidupan perkotaan
dengan lingkungan yang terdapat dalam peradaban klasik Islam. Dan jika kemudian membandingkan
kenyataan tersebut dengan situasi Islam saat ini, akan menjadi jelas bahwa baik pemerintah maupun orangorang di Negara Islam tidak mengikuti Islam dalam memperlakukan lingkungan hidup (Mangunjaya et. al.,
2007: 46). Sebagai contoh kita dapat memperhatikan gaya hidup orang-orang yang berpindah dari desa ke
kota atau pinggiran kota. Dari banyak pengamatan, entah itu di Jakarta atau kota-kota besar yang lain, terlihat
bahwa sikap kearifan mereka terhadap lingkungan hidup telah hilang. Hal itu dapat dibuktikan dengan
melihat bagaimana sikap mereka memperlakukan sampah. Dengan mudah kita dapat menemukan tumpukan
dan tebaran sampah ketika berada di daerah-daerah yang telah disebutkan tadi.
Mengacu kepada pemikiran Allamah Tabataba i (guru Seyyed Hossein Nasr) dan Murtadha Muthahhari
(murid Tabataba'i), Islam merupakan sebuah pandangan dunia yang realis, dalam pengertian bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang riil (nyata) dan yang nyata adalah tolok ukur kebenaran; bahwa segala yang
ada mengambil peran dan memiliki posisi dalam lautan realitas yang tunggal. Realisme Islam mengakui
semua jenis keberadaan pada keragaman tingkat-tingkat eksistensi, yang mencakup alam fisik, alam mineral,
alam biologis, alam psikologis, alam imajinatif, alam intelektual, dan alam spiritual; mengafirmasi keberadaan
manusia dan pengada-pengada non-manusia; mengakui keber-maknaan intrinsik semua maujud di alam raya
dengan memosisikan manusia yang sesuai dengan potensinyasebagai khalifah Tuhan yang merupakan
sebuah amanat, tanggung jawab kosmos.
Realisme Islam memandang alam raya dengan penuh simpati, cinta, dan tanggung jawab karena alam
adalah sumber belajar dan kearifan, sarat makna simbolik, dan kaya pesan spiritual. Kecuali sebagai ayat-ayat
(tanda-tanda) kehadiran Tuhan dan manifestasi nama-nama Indah Tuhan (Asma ul-Husna), kosmos dalam
pandangan realisme Islam juga merupakan alam primordial bagi kemunculan manusia, sang makhluk cerdas.
Realisme Islam berpandangan bahwa manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang kompleks,
potensial, multidimensi (makhluk fisik sekaligus ruhani; makhluk kultur sekaligus makhluk struktur;
makhluk moral sekaligus makhluk pencari legalitas), dan dinamis (manusia tidak seragam). Menurut
Muthahhari, manusia bukanlah makhluk yang ditakdirkan sebelumnya (predestined). Manusia bukanlah
makhluk yang ditakdirkan atau ditentukan, melainkan makhluk yang menentukan dan mentakdirkan apa
yang dikehendaki dirinya sendiri. Manusia itu sendirilah yang menentukan untuk "menjadi apa" dan "menjadi
bagaimana".
Meskipun demikian, pada saat yang sama realisme Islam juga meyakini bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Menurut Muthahhari, bermasyarakat merupakan sesuatu yang fitrah dan bersemayam pada
jati diri manusia. Oleh karena itu, bermasyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara berada
manusia itu sendiri. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang menganggap manusia
terpaksa bermasyarakat guna melayani naluri self-preservation semata-mata; juga berbeda dengan sosialisme
Karl Marx yang memandang kemasyarakatan manusia sebagai takdir-deterministik yang menentukan
manusia berdasarkan kelas semata-mata; berbeda pula dengan individualisme Emile Durkheim atau Max
Weber yang memandang bahwa eksistensi kemasyarakatan manusia hanya sebagai pilihan rasioinstrumental guna keuntungan bersama (masyarakat dianggap kumpulan individu-individu yang tercerai
berai satu sama lain; yang eksis, hanyalah individu manusia, sedang masyarakatnya hanyalah bentukan
epifenomenal).
Dalam masalah pengetahuan, realisme Islam berpijak pada cara-pandang realis-eksistensial yang
sangat kaya dan dinamis dengan makna-makna keilmuan serta mengakui pengalaman empiris, imajinasi,
akal, dan intuisi sebagai sumber dan sarana pengetahuan. Makna mengetahui sesuatu dalam epistemologi
Islam bukan saja memiliki dan menguasai objek tertentu dalam pikiran, namun juga berarti mengada . Bagi
filsuf seperti Mulla Shadra, Murtadha Muthahhari, Hairi Yazdi, tindakan mengetahui itu merupakan sebuah
proses mengada, modus eksistensi (al- ilmu nahwun minal wujud). Epistemologi Islam juga menyelesaikan
problem dualisme dalam struktur pengetahuan (subjek-objek) yang tak pernah terpecahkan dalam
epistemologi Barat, menjembatani rasionalisme dan empirisme, dan mengintegrasikan kecakapan nalar
diskursif dan intelek intuitif, sesuatu yang selalu dianggap berseberangan dalam sistem epistemologi Barat
atau bahkan filsafat Timur.
Implikasi ilmiah dan sosial dari epistemologi Islam seperti itu adalah tumbuhnya etos keilmuan yang
tinggi dalam semua jenis ilmu pengetahuan secara seimbang dan proporsional, mulai matematika, logika,
sains, sejarah, sastra, filsafat hingga tasawuf. Menurut Thabathaba i, Al-Qur an mendorong manusia untuk
mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra, dan semua ilmu pengetahuan yang dapat
dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur an menyeru kita untuk mempelajari ilmu-ilmu ini sebagai jalan untuk
mengetahui Al-Haq dan Realitas, dan sebagai cermin untuk mengetahui alam, di samping juga adanya
manfaat praktis dari ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia. Menurut C.A. Qadir, terdapat 750 ayat
-sekitar seperdelapan isi Kitab Suci Al-Qur an- yang mendorong kaum beriman untuk menelaah alam,
merenungkan, dan menyelidikinya.
Berbeda dengan tiga aliran utama ekologi kontemporer yang cenderung berat sebelah, timpang, dan
terfokus pada satu dimensi, Ekologi Islam bisa merangkul segenap dimensi yang ditekankan oleh masingmasing olch Ekologi Dangkal, Ekologi Dalam, dan Ekologi Sosial. Pemikiran Ekologi Islam sesuai dengan
spiritualitas kosmos yang ditawarkan Ekologi Dalam, tapi pada saat yang sama juga apresiatif terhadap
aktivitas sains dan riset ilmiah yang ditekankan oleh Ekologi Dangkal.
Begitu pula, Ekologi Islam mendukung kuat argumen Ekologi Dalam bahwa kita harus mengubah cara
pandang dan sikap hidup manusia untuk melestarikan lingkungan, tetapi pada saat yang sama Ekologi Islam
juga menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan struktur masyarakat -yang disuarakan oleh Ekologi Sosialdalam menangani krisis dan isu lingkungan. Sebaliknya, ketika Ekologi Islam sangat menaruh perhatian
terhadap aktivitas riset ilmiah dan penegakan keadilan sosial, pada saat yang sama juga berkemampuan
menawarkan dimensi spiritualitas terhadap isu-isu lingkungan.
Itulah karakteristik pertama Ekologi Islam, yaitu berkemampuan menawarkan dan mengakomodasi
dimensi-dimensi lingkungan secara terpadu tanpa saling meniadakan seperti yang terjadi pada mazhabmazhab ekologi lainnya. Karakter ini muncul karena watak Ekologi Islam yang mengacu kepada proposisi
realisme, yaitu "mengafirmasi segala yang nyata , yaitu mengapresiasi semua hal yang memiliki dampak dan
pengaruh terhadap peristiwa alam dan sosial, baik secara kultural maupun struktural, langsung atau tak
langsung, individual atau sosial, profan atau sakral, teknikal maupun spiritual. Inilah asas pertama realisme
Islam, yaitu asas integrasi.
Lalu, asas kedua realisme Islam, yang menjadi pondasi Ekologi Islam yang tengah kita bicarakan,
adalah asas proporsionalitas. Dengan asas proporsiona-litas yang berbunyi segala sesuatu diletakkan pada
tempatnya yang sesuai dengan tingkat eksistensinya , maka Ekologi Islam bisa memberi jalan tengah antara
kaum konservatisme pendukung lingkungan alamiah dengan kaum pembela kemajuan peradaban manusia.
Di satu sisi, Ekologi Islam mendukung program pelestarian biodiversity (keragaman spesies) yang tidak
menghambat keselamatan umat manusia, dan di lain sisi Ekologi Islam memiliki sistem moral dan ekonomi
yang mencegah eksploitasi alam atas nama kemajuan peradaban manusia.
E. Penutup
Ekologi Islam memandang bahwa manusia adalah tujuan evolusi kosmos sehingga menempati hirarki
keberadaan yang lebih tinggi dari spesies-spesies lainnya. Namun, ini sama sekali bukanlah antroposentrisme
model Ekologi Dangkal, karena diletakkan dalam horison pandangan spiritualitas kosmos dan konsep
khalifah Tuhan yang harus bertanggung jawab (memiliki dimensi spiritual dan moral).
Ekologi Islam berpotensi memasukkan pandangan spiritualitas kosmos pada kurikulum studi-studi
keislam dan studi lingkungan secara filosofis dan sufistik seraya secara simultan juga berkemampuan
membangun kesadaran ilmiah dan wawasan saintifik melalui lembaga-lembaga pengajaran yang didukung
oleh institusi-institusi sosial politik, termasuk finansial (Baitul Maal). Realisme Islam, sebagaimana yang
terbukti dalam sejarah emasnya, bisa melahirkan saintis yang peka spiritualitas (seperti Pangeran Dokter Ibn
Sina yang filsuf-sufistik), dan mencetak sufi yang cinta riset keilmuan (seperti sufi Jabir Ibn Hayyan yang
mendirikan laboratorium kimia pertama dalam sejarah).
Pada dimensi lain, Ekologi Islam juga sangat apresiatif terhadap program riset ilmiah, pengembangan
sains dan teknologi serta aktivitas-aktivitas keilmuan lainnya, yang juga sangat berguna dalam membantu
program pemeliharaan lingkungan yang sehat. Dengan demikian, Ekologi Islam menawarkan jalan tengah
antara spiritualitas kosmos dengan sosialitas kosmos; mengintegrasikan pandangan saintifik dengan visi
kearifan lokal. Demikian pula halnya, Ekologi Islam bisa mengintegraskan dimensi sosial ekonomi dan
politik yang diusung oleh Ekologi Sosial- dengan dimensi moral seperti yang diusung oleh Ekologi Dalam,
tanpa harus meremehkan salah satu dimensi tersebut, sebagaimana yang terjadi pada Ekologi Sosial dan
Ekologi Dalam. Bagi Ekologi Islam, sesuai dengan pandangannya tentang manusia sebagai makhuk
multidimensi, pelbagai metode dan pendekatan mesti ditempuh untuk program-program konservasi
lingkungan dan penyelamatan Bumi sejauh metode-metode dan pendekatan-pendekatan itu bermanfaat dan
dapat dipertanggung jawabkan secara etis dan sosial.
Perbedaan seperti itu terkait dengan cara pandang dalam melihat problem dan krisis ekologis yang
tengah kita hadapi. Bagi Ekologi Dangkal, krisis ekologis lebih dilihat sebagai problem teknis; Ekologi Dalam
lebih melihatnya sebagai problem visi dan nilai; Ekologi Sosial memandangnya sebagai bagian dari problem
sosial; dan Ekologi Islam memandang krisis ekologis sebagai bagian dari problem eksistensial manusia
(berdimensi teknisetis-sosial-spiritual). Pada gilirannya, perbedaan cara pandang memahami krisis ekologis
ini terkait dengan aliran filsafat dan pandangan dunia (worldview) yang dianut oleh masing-masing mazhab;
Ekologi Dangkal memeluk antroposentrisme, Ekologi Dalam menganut ekosentrisme, Ekologi Sosial
menganut naturalisme dialektis, dan Ekologi Islam menganut realisme.
REFERENSI
Capra, Fritjop. 2004. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Dharmawan, Arya Hadi, 2007. Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi
Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik, dalam Solidality:Jurnal Transdisiplin, Sosiologi,
Komunikasi dan Ekologi Manusia, Departemen KPM IPB, Volume 1 Nomor 1 April 2007.
Duarte, Fernanda de Paiva, 2001. Save the Earth or Manage the Earth ? The Politics of Environmental
Globality in High Modernity, Current Sociology, January 2001, Vol. 49(1), SAGE Publications, London,
Thousand Oaks, CA and New Delhi.
Engineer, Asghar Ali. 1993. Islam dan Pembebasan, terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Yogyakarta:
LKiS.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan, Jakarta: Buku Kompas.
Mangunjaya, Fahrudin M., Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi,
dan Gerekan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Nasr, Seyyed Hossein. 1985. Ideals and Realities of Islam. London: Allen and Unwin.
Shiva,Vandana, dkk. 1993. Keragaman Hayati : PerspektifSosial dan Ekologi, Jakarta: Konphalindo.
Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama, Terj. Muhammad Yamin, Yogyakarta: IRCiSoD.
Oleh : Subair
A. Pengantar
Cukup lama agama dipandang sebagai sumber moral yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam.
Weber (1990) misalnya membuktikan bahwa etika Protestan merupakan landasan kapitalisme dan
materialisme yang cenderung materialistik dan hedonistik sangat berpengaruh terhadap terjadinya
kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Sementara masalah lingkungan hampir tidak mendapatkan
tempat dalam agama selain Protestan, termasuk Islam. Sehingga sungguh suatu ironi manusia Indonesia yang
dikenal beragama justru dikenal pula sebagai perusak lingkungan kelas wahid. Tidak hanya hutan yang
gundul akibat ulah serakah manusia, sungai dan laut pun tercemari sedemikian hebat.
Artikel ini mengupas hubungan antara moral agama dan krisis lingkungan masa kini meliputi
pembahasan tentang etika-etika lingkungan, spiritual ecology: kembali ke spiritualitas agama, dan pandangan
Islam tentang krisis lingkungan.
B. Etika-etika Lingkungan
Mengapa terhadap lingkungan diperlukan etika? Apa gunanya? Dan apa relevansinya? Bagaimanapun
pertanyaan ini harus dipahami dengan benar. Karena lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis.
Krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Manusia
dapat mengarahkan teknologi ke arah mana saja, baik atau buruk, benar atau salah. Di sinilah letak peran
etika, yang dapat mengarahkan perilaku manusia, baik atau buruk, benar atau salah.
Perhatian terhadap lingkungan hidup semakin besar, dan seringkali diwujudkan dalam organisasiorganisasi masyarakat. Di mana perhatian utama mereka lebih kepada pentingnya etika ekologi baru. Secara
teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics,
Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai
antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme (Keraf, 2002)
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat,
yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa
etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan
satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam
istilah Frankena -sebagai satu-satunya moral patient.
Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies
manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam
pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal). Cara
pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi
biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertamatama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objekobjek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung
satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang
manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan" (Capra, 2004).
1
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Ushuluddin dan Dakwah: Kontekstualisasi Keilmuan Ushuluddin
dan Dakwah menghadapi Krisis Moral Bangsa, Ambon 3 Desember 2013.
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang
hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru
memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis,
makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang
sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai
Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf
Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas
ekologis. Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip
moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini menyangkut suatu
gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis
sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih
tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang
selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.
Jika gerakan Ekologi Dangkal hanya mempunyai satu prinsip dan tujuan, maka gerakan Ekologi Dalam
memiliki tujuh prinsip. Prinsip gerakan Ekologi Dangkal adalah "menentang polusi dan pengurasan sumber
daya" dengan tujuan sentral: kesehatan dan kesejahteraan rakyat di negara-negara tnaju. Sedangkan tujuh
prinsip gerakan Ekologi Dalam adalah: (1) Relasi intrinsik antar spesies-spesies dalam jaringan biosfer; (2)
Egalitarianisme biosferis; (3) Keaneka-ragaman dan simbiosis; (4) Sikap anti-kelas; (5) Penentangan
terhadap polusi dan pengurasan sumber daya; (6) Kompleksitas, bukan komplikasi; dan (7) Otonomi lokal
dan desentralisasi."
Akar gerakan Deep Ecology telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan kritik sosial
dari Henry David Thoureau, John Muir, DH Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme,
Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep
Ecology.
Apa yang membedakan antara Ekologi Dalam dengan Ekologi Dangkal? Sedikitnya ada tiga. Pertama,
dari segi kerangka dasarnya. Kedua, dari segi model hubungan antara manusia dan lingkungan alam
sekitarnya. Ketiga, dari aspek tujuan jangka panjangnya.
Dalam perbedaan yang pertama, Ekologi Dangkal banyak dibentuk oleh pemikiran-pemikiran modern
yang positivistik dan antroposentrik, yang ber-implikasi pada penguasaan manusia atas alam. Sedangkan
Ekologi Dalam, karena basisnya filsafat dan agama, maka kesatuan ekologis menjadi pandangan yang paling
utama dengan menempatkan hak asasi manusia dan alam. Manusia diakui hak asasinya atas alam, karena
potensi dan kedudukannya sebagai pengelola alam sebagai khalifah fi al-ardl dalam doktrin spiritualisme
Islam. Alam pun diakui hak asasinya, karena berlakunya hukum keseimbangan dalam alam semesta.
Pandangan dasar tersebut mempunyai pengaruh terhadap hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Jika
Ekologi Dangkal lebih memusatkan pada manusia (antroposentrik), sehingga memunculkan hubungan yang
sepihak, yang dapat dilihat pada eksploitasi yang sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia. Maka, dalam
Ekologi Dalam, model hubungan yang diciptakan adalah keseimbangan. Dalam konteks keseimbangan ini,
eksploitasi terhadap alam tetap dilakukan, namun harus berdasar pada prinsip keseimbangan ekologi. Jika
Eekologi Dangkal lebih berorientasi pada produksi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka Ekologi
Dalam lebih diorientasikan pada terpeliharanya moralitas manusia yang tetap menjaga keseimbangan alam.
Dalam konteks kontemporer, etika antroposentris oleh Duarte (2001) disebut sebagai visi Managing
the Planet , yang berupaya memproteksi alam agar terus berkemampuan mereproduksi masyarakat
industrial modern via pembangunan ekonomi. Pandangan ini berkembang menjadi kesadaran moral
berlabelkan Instrumental Globality yang belakangan berkembang menjadi gerakan Ecological
Modernization , dimana gerakan ini berkeyakinan bahwa dengan dukungan perangkat institusi, maka
masyarakat industrial modern mampu menghadapi krisis ekologi.
Dengan memelihara dan mengembangkan lingkungan alam sekitarnya, alam dan lingkungan itu sendiri
pun dapat berada dan berkembang an sich. Artinya, alam itu terus ada dan berkembang, baik untuk dirinya
maupun untuk lingkungan semesta. Inilah yang mendesak manusia berpikir tentang perlunya sebuah etika
baru yang berlandasan kuat dalam kosmos. Etika yang mengharus-kan manusia berpikir dengan bertolak dari
alam, bukan dari dirinya sendiri, yakni sebuah etika yang disebut etika ekosentris. Menurut Duarte (2001),
etika ini pada konteks selanjutnya berkembang menjadi kesadaran moral yang dilabel sebagai Ecocentric
Globality sesuai dengan pandangan filosofis dari Naess tentang Deep-Ecology. Visi gerakan ini adalah Saving
the Planet yaitu mencoba mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut.
Dalam diskursus lingkungan selanjutnya, etika antroposentris dan ekosentris saling berlomba untuk
menguasai paradigma pengelolaan sumber-daya dan pembangunan masyarakat manusia. Paradigma ini
adalah dua paradigma dalam oposisi biner. Dalam peradaban yang sangat berorientasi pada kebutuhan
ekonomi saat ini, tampaknya paradigma antroposentris memenang-kan perlombaan itu. Ia lebih realistis
daripada paradigma ekosentris yang cenderung kontra peradaban dengan seruan moralnya Saving the
Planet . Memang benar bahwa etika ini telah mengesahkan sikap eksploitasi terhadap alam selama ini, yang
secara langsung atau tidak melahirkan watak kapitalisme materialisme tetapi bukan berarti bahwa ia tidak
dapat dirombak dan dibalik menjadi sebuah etika lingkungan yang bisa mengayomi dan melayani seluruh
makhluk hidup, dengan tidak merombak filsofi dasarnya bahwa manusia adalah tujuan dari segalanya.
Meskipun dalam iklim peradaban dunia yang berdasar pada liberalisme/neoliberalisme kapitalistik
paradigma ini mungkin dapat dituduh sebagai biang filosofis degradasi ekosistem bumi, tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa faktanya manusialah yang menguasai bumi dan baginya bumi ini diciptakan. Hanya
beberapa kesalahan-kesalahan yang merupakan bawaan dari kapitalisme memang harus diperbaharui.
Managing the Planet harus dilakukan perumusan pola-pola pembangunan yang berwawasan lingkungan dan
berorientasi selain kepada kesejahteraan umat manusia juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan
alam. Hubungan emansipatif, cinta dan saling menghormati di antara manusia pun harus diperpan-jang
sampai ke alam lingkungan secara keseluruhan. Sehingga, keharmonisan dan kedamaian di alam semesta
dapat tercipta di bumi ini.
Satu dasawarsa kemudian muncul gerakan Ekologi Sosial (Social Ecology), yang dirintis oleh Murray
Bookchin. Penggagas Ekologi Sosial berpan-dangan bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah
produk dari kerangka pikir antroposentris, melainkan manifestasi dari dorongan-dorongan yang bertanggung jawab terhadap praktek penindasan manusia oleh manusia. Ekologi Sosial memandang penindasan
manusia, yang secara luas dipahami sebagai penge-kangan kebebasan individu dan perkembangan diri,
sebagai sebuah problem struktural dalam sistem sosial yang didasarkan atas relasi kuasa dan dominasi. Oleh
karena itu, aktivis Ekologi Sosial berpandangan bahwa kunci membangun relasi yang lestari dengan alam
adalah perwujudan desentralisasi lingkungan politik dengan kehadiran komunitas-komunitas semi-otonom
yang mengkons-truksi cara-cara hidup yang merefleksikan keragaman nilai-nilai keotentikan manusia dan
keragaman konteks bioregional.
Pemikiran Ekologi Sosial dibangun atas dasar filsafat dialektika Hegelian, teori evolusi sosial Peter
Kropotkin, dan teori sosial Lewis Mumford. Ekologi Sosial menganggap gagasan-gagasan ekosentrisme
Ekologi Dalam seperti holistik, interkoneksi, interrelasi, dan interkoneksi sebagai hal-hal yang irasional,
antihumanis, dan dogmatis yang hanya bersandarkan pada sentimen, intuisi subjektif serta kepercayaan
supranatural dan mistik yang anti-intelektual. Bookchin nampaknya juga tidak berkenan terhadap usulan
pergeseran paradigma yang diusung Ekologi Dalam, yang cenderung menuju pemikiran Timur, karena
dianggapnya tidak sesuai dengan era kemajuan zaman modern. Oleh karena itu, ia lebih melihat faktor-faktor
sosial sebagai penyebab krisis ekologis global seperti ketidakadilan, kapitalisme, atau dominasi kelas sosial.
Pada saat yang sama, aliran ekologi ini juga mengenyampingkan Ekologi Dangkal sebagai cara
penyelesaian masalah lingkungan. Alih-alih menerapkan apa yang disebutnya sebagai "nalar konvensional"
(instrumental, analitik, manipulatif) yang merupakan cara berpikir Ekologi Dangkal, Bookchin menawar-kan
cara berpikir yang menggunakan "nalar dialektis" dalam sistem pemikiran naturalisme dialektis, dengan
mengacu kepada pemikiran dialektika Hegel.
Meskipun demikian, George Sessions menyebutkan bahwa penolakan Bookchin terhadap ekosentrisme
dapat dipahami mengingat ia sebetulnya masih menggunakan cara pandang antroposentrisme dan gagasan
tentang "alam kedua" yang dicipta oleh manusia melalui sains dan teknologi. Bookchin pun, kata Sessions,
memandang sains ekologi tidak relevan dengan kemanusiaan dan masyarakat. Jadi, penggunaan term ekologi
bagi pemikiran Bookchin hendaklah dipandang sebagai bentuk pendekatan apa yang disebut Arne Naess
sebagai Ekologi Dangkal.
Masih terdapat dua aliran ekologis lainnya, yaitu Ekologi Sosialis (Socialist Ecology) dan Ekofeminisme,
yang bisa kita kelompokkan sebagai bentuk lain dari Ekologi Sosial. Jika Ekologi Sosialis menuding sistem
kapitalisme yang meniscayakan eksploitasi ekonomis terhadap manusia dan sumber daya alam sebagai
penyebab utama krisis lingkungan, maka Ekofeminisme menuding budaya patriarkal Barat yang
mengeksplotasi wanita dan alam sebagai akar penyebab kerusakan lingkungan.
Ekofeminisme merupakan sintesa dari gerakan femininitas yang tidak memberikan efek peningkatan
status perempuan, malah ada kecenderungan perempuan justru mengikuti tindak tanduk laki-laki secara tak
sadar. Ini yang disebut fenomena male clon. Watak rasionalisme dan tiadanya kaitan spritualitas antara
gerakan feminisme dan ekologi menjadi kritik utama gerakan ekofeminis-me terhadap gerakan feminisme
yang ada. Asumsi dasarnya adalah bagaimana perempuan dengan kualitas femininnya dapat merubah dunia
melalui perannya sebagai ibu, pengasuh, pemelihara dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Istilah ekofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D Eaubonne, namun Maria Mies dan
Vandhana Shiva (1993) yang berhasil melakukan rekonstruksi pandangan ini. Mereka mengawinkan antara
prinsip ekologi dan feminisme dalam melawan ketidakadilan perempuan. Paradigma yang dipakai yang
menjadi dasar perjuangan ekofeminisme adalah pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan
lingkungan.
Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari
pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan teori ekofeminisme adalah
teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Ekofeminisme mempunyai manifesto yang disebut A Declaration of Interdependence. Deklarasi ini
menegaskan bahwa manusia memiliki keterkaitan dengan komponen-komponen kehidupan bumi. Ia harus
berinteraksi satu dengan lain untuk suatu perubahan yang hakiki yakni peningkatan kesejahteraan ummat
manusia. Karena itu, gerakan feminisme yang cenderung ingin memisahkan dirinya dengan prinsip
maskulinitas mendapatkan kritikan. Maskulinitas dipandang sebagai entitas yang hidup untuk berinteraksi di
atas bumi ini.
Dalam paradigma ini, bumi dan alam berada dalam prinsip feminin. Merajalelanya prinsip maskulinitas
yang anti-nature, berakibat tidak saja meningkatkan ketidakadilan bagi kaum miskin dan perempuan, namun
berakibat juga pada penghancuran alam dan lingkungan. Dalam perjalanannya, maskulini-tas berhasil
mendominasi dan hegemonik. Sebaliknya, gagasan ekofeminisme berakar pada kepedulian kaum perempuan
atas proses penghancuran ekologi yang bersandar pada budaya partiarkhi dan kapitalisme.
Dalam peristiwa pengrusakan alam, laki-lakilah yang sebenarnya paling banyak berperan dan kaum
perempuan yang paling merasakan dampak negatifnya. Terjadi ketidakadilan ekologi yang dibangun oleh
sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Memahami peristiwa alam dalam bingkai ekofeminisme berarti memperlakukan alam dalam hubungan
spritualitas, perlu dijaga, dilestarikan, dimuliakan sebagaimana sifat-sifat yang melekat dalam prinsip
feminin. Dengan demikian, pengrusakan, penjarahan, dan bentuk eksploitatif lainnya akan direduksi dengan
kegiatan-kegiatan ekplorasi yang menguntungkan keber-langsungan kehidupan bumi.
C. Spiritual Ecology: Kembali Ke Spiritualitas Agama
Sejalan dengan tumbuhnya kesadaran sejumlah sarjana terkemuka akan pentingnya manusia modern
untuk kembali ke alam, "berpikir sebagaimana alam berpikir", para sarjana yang peduli terhadap isu-isu
lingkungan juga tiba pada kesadaran bahwa manusia modern perlu kembali merengkuh spiritualitas dan
menghormati peran agama dalam kehidupan sosial. Kini makin banyak sarjana pemerhati lingkungan yang
menyadari potensi besar agama untuk ikut berperan aktif dalam proyek global yang amat urgen dan penting
ini, proyek penyelamatan rumah Bumi kita. Martin Palmer (dikutip dalam Dharmawan, 2007) menulis bahwa
selama lebih dari 30 tahun lembaga-lembaga besar dunia, para saintis dan pemerintahan, dan sejumlah besar
NGO telah mengkompilasi dan menganalisis secara rinci tentang proses perusakan planet yang tengah kita
lakukan Tetapi, krisis lingkungan masih bersama kita. Kenyataannya adalah pengetahuan kita tentang krisis
ini belum memadai. Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah sebuah krisis pemikiran. Kita adalah apa yang
kita pikirkan, dan apa yang kita pikirkan dibentuk oleh budaya, keyakinan dan kepercayaan kita. Jika para
pemerhati/aktivis lingkungan (environmentalist) memerlukan sebuah kerangka kerja bagaimana nilai-nilai
dan kepercayaan tersebut berdaya guna, maka adakah yang lebih baik dari kembalinya kita kepada upaya
kerja sama dengan kelompok-kelompok internasional dan jaringan-jaringan masyarakat yang terbesar di
dunia? Mengapa kita tidak menoleh kepada peran agama-agama besar dunia?
Selaras dengan kesadaran Martin Palmer di muka, David E. Cooper dan Joy A. Palmer (Spirit of The
Environment, 1998) mengkompilasi tulisan belasan sarjana internasional -dari pelbagai bidang seperti
filsafat, agama, sains, pendidikan, sastra, antropologi- yang kesemuanya sepakat bahwa wawasan spiritual
terhadap alam menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam upaya kita memelihara lingkungan hidup dan
menyelamatkan planet Bumi. Sementara itu, di kutub yang kritis, Lynn White. Jr. dalam papernya yang
menghebohkan The Historical Roots of Our Ecological Crisis, seraya menuding antroposentrisme YudeoKristiani sebagai akar penyebab krisis lingkungan, menyarankan untuk merengkuh panteisme atau tradisi
agama-agama Timur dalam membangun kosmologi yang berwawasan spiritual.
Gary Gardner (2002, dalam Dharmawan 2007), mendesak para environmentalist (pemerhati dan
aktivis lingkungan) untuk menjalin kerja sama dengan kaum agamawan, yang memiliki pengaruh besar
terhadap masyarakat. Ia berharap agar manusia modern tidak lagi meminggirkan peran agama dalam
kehidupan global dan memulai visi dan sikap baru dengan menggandeng kaum agamawan dalam
menyelamatkan rumah ekologis kita, Bumi yang tercinta. Lebih dari itu, Gardner memandang bahwa
keterlibatan agama merupakan sebuah keharusan ilmiah karena agama memiliki, setidaknya, lima aset yang
sangat berguna dalam upaya memelihara bumi dan membangun dunia yang adil secara sosial dan
berkelanjutan secara ekologis (a socially just and environmentally sustainable world). Kelima aset penting
agama itu adalah: (1) kapasitas membentuk kosmologi (pandangan dunia) yang sejalan dengan visi ekologis;
(2) otoritas moral; (3) basis pengikut yang besar; (4) sumberdaya materi yang signifikan; dan (5) kapasitas
membangun komunitas.
Menurut Gardner, sebuah tantangan besar bagi peradaban kita sekarang adalah bagaimana
mengintegrasikan kembali hati dan akal masyarakat kita, membangun spiritualitas sebagai mitra dialog
dengan sains. Untuk menjawab tantangan ini, tradisi agama-agama dunia perlu mengintensifkan keterlibatan
merelca dalam isu-isu lingkungan dan pembangunan. Pada sisi yang lain, organisasi-organisasi lingkungan
dan pembangunan perlu membuka dirt terhadap dimensi-dimensi spiritual program kelestarian alam,
sebagaimana Sierra Club telah melakukannya. Terakhir, Gardner juga menyerukan diakhirinya kecurigaan
dan kesalahpahaman yang telah berlangsung lama antara dua kelompok tersebut: kaum agamawan dan
aktivis lingkungan.
Jauh sebelum Gardner, tepatnya 40 tahun lalu, ketika istilah ekologi belum sepopuler sekarang,
Seyyed Hossein Nasr telah mengingatkan kaum sarjana dan manusia modern umumnya tentang perlunya
menghadirkan kembali dimensi spiritualitas ke dalam kehidupan global jika kita memang sungguh-sungguh
berkomitmen mencintai rumah Bumi dan memeliharanya dengan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan
Nasr, krisis ekologis dan pelbagai jenis kerusakan Bumi yang telah berlangsung sejak dua abad lalu herakar
pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern pada umumnya. Melalui pelbagai karyanya, khususnya
Man and Nature (1976) dan Religion and The Order of Nature (1996), Nasr mendedah sebab-sebab utama dan
mendasar munculnya krisis lingkungan pada peradaban modern seraya menekankan pentingnya perumusan
kembali hubungan Manusia, Alam, dan Tuhan yang harmonis berdasarkan wawasan spiritualitas dan kearifan
perennial
Nasr secara tajam dan bernas mengkritik pemikiran dan sains modern yang disebutnya telah
kehilangan sama sekali visi spiritual dalam mernandang kosmos raya. Menurut Nasr, pandangan dunia sains
modern yang berkarakter kuantitatif, sekular, materialistik, dan profan benar-benar telah mengikis maknamakna simbolik dan pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam alam raya.
Menurut Nasr, dalam pandangan modernisme, kosmos telah mati dan ia hanyalah kumpulan onggokan
benda mati, materi yang tidak bernyawa, tak berperasaan, tak bernilai apa-apa, kecuali semata-mata nilai
kegunaan ekonomis. Alam telah diperlakukan seperti layaknya pelacur , yang dieksploitasi tanpa rasa
kewajiban dan tanggung jawab terhadapnya. Krisis lingkungan bisa dikatakan disebabkan oleh penolakan
manusia untuk melihat Tuhan sebagai "Lingkungan" yang nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara
kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modem untuk memandang
lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan
Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.
Oleh karena itu, bagi Nasr, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan apa yang ia sebut resakralisasi
alam semesta (resacralizadon of nature) sebagai pengganti proyek mekanisasi gambaran dunia
(mechanization of the world picture) yang dicanangkan sejak Renaisans dan Revolusi Ilmiah tiga abad lalu.
Untuk itu, usul Nasr, kita perlu membangun kosmologi baru yang berbasis kepada tradisi spiritualitas agama
yang sarat makna dan kaya kearifan. Agama pun, pada gilirannya, bisa menjadi sumber visi, inspirasi dan
motivasi bagi pemerhati lingkungan untuk mengkonstruksi etika lingkungan sebagaimana juga programprogram konservasi alam. Dalam pandangan Nasr, membangun etika lingkungan tanpa wawasan spiritual
terhadap kosmos adalah tidak mungkin sekaligus tidak berdayaguna.
Dalam konteks diskursus ekologi, kebangkitan spiritualisme ini membawa implikasi pada pergeseran
paradigma ekologi, yaitu suatu pandangan yang mencari dasar-dasar pijakan spiritual untuk mengangkat
ekologi lebih dari sekadar ilmu dan beroperasi lebih dari sekedar dalam konteks politik. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah Ekologi Dalam (deep ecology) sebagai lawan dari paradigma Ekologi Dangkal
(shallow ecology). Ekologi Dalam ini mempunyai pijakan pada filsafat dan agama. Dari sinilah kemudian
paradigma spiritual ecology dibangun.
Spiritual ecology pada dasarnya ingin memberikan wacana baru, bahwa krisis ekologis lebih banyak
berhubungan dengan manusia dalam memandang realitas alam ini. Jika kita tidak ingin tertimpa bencana
alam untuk kali kesekian, maka saatnya bagi kita untuk membangun sekaligus membumikan spiritualitas
ekologi di negeri ini.
D. Islam dan Krisis Lingkungan
Umat Muslim yang berjumlah hampir satu miliar mendiami dunia yang satu dan sama. Di mana pun
mereka berada, tentunya merasakan keprihatinan mendalam atas berbagai macam masalah lingkungan
hidup yang terjadi akhir-akhir ini. Krisis tersebut meliputi seluruh sistem ekologi alami di bumi, termasuk
hal-hal yang berkaitan dengan manusia: udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, air yang kita
minum, termasuk sistem di dalam tubuh kita. Krisis tersebut membahayakan keharmonisan seluruh materi di
bumi termasuk sistem kehidupannya (Mangunjaya et. al., 2007: 43). Akan tetapi, sebagian besar umat
Muslim, seperti manusia lainya, masih sangat kurang menunjukkan perhatiannya terhadap fakta krisis
tersebut.
Apabila kita boleh berspekulasi, akan ada perubahan yang sangat besar pada lingkungan hidup jika
saja sejumlah besar umat Muslim mau sungguh-sungguh meningkatkan perhatian mereka pada lingkungan
hidup dan krisis yang sedang dihadapi oleh bumi. Misalnya, dengan membangun jaringan kesadaran ekologis
di antara negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mengadakan kerja sama dalam
mengolah sumber-sumber daya alam secara bijak, menentukan bentuk-bentuk regulasi yang berguna untuk
menjaga kelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.
Sebaliknya, jika sebagian besar umat Muslim tetap tidak menunjukkan kepedulian mereka terhadap
lingkungan hidup dan masalah-masalah yang dihadapinya, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan
lingkungan hidup akan terus terjadi dan menimbulkan masalah-masalah baru misalnya bencana alam dan
perubahan iklim yang tidak menguntungkan. Jika hal seperti itu telah terjadi, akan ada kerugian lebih besar
yang harus ditanggung, bukan hanya oleh sejumlah besar umat Muslim itu sendiri, tetapi juga oleh penduduk
bumi yang lain. Oleh karena itu, rasanya perlu ada sebuah cara terntentu untuk membangun kesada-ran di
antara umat Muslim itu sendiri dan selanjutnya untuk masyarakat yang lebih luas.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Islam memandang krisis lingkungan ini?
Apakah ia sejalan dengan pemikiran Ekologi Dangkal atau Ekologi Dalam ataukah Ekologi Sosial? Apakah
pemikiran Islam lebih sesuai dengan Ekologi Dalam yang menekankan perubahan cara pandang, nilai budaya
dan sikap hidup dalam menyelamatkan Bumi ataukah dengan Ekologi Sosial yang memfokuskan kepada
perubahan struktur sosial? Ataukah Islam memiliki karakternya sendiri yang membedakannya dari aliranaliran ekologis itu? Jika demikian halnya, lalu bagaimana kita menjelaskan dan memposisikannya?
Seyyed Hossein Nasr dalam sebuah tulisanya mengungkapkan beberapa masalah lingkungan hidup
yang terjadi pada di dunia Islam kontemporer. Ia sendiri memulai keprihatinannya terhadap lingkungan
hidup sejak tahun 1950 ketika ia belajar di Massachusetes Instutute of Technology Harvard. Dalam salah satu
bagian tulisanya, Nasr mengungkapkan bahwa rintangan dalam merealisasi-kan dan menerapkan sudut
pandang Islam terhadap lingkungan. Ia mengakatan bahwa jika seseorang mempelajari sudut pandang Islam
atau hubungan manusia dengan lingkungan: ada suatu gambaran keharmonisan kehidupan perkotaan
dengan lingkungan yang terdapat dalam peradaban klasik Islam. Dan jika kemudian membandingkan
kenyataan tersebut dengan situasi Islam saat ini, akan menjadi jelas bahwa baik pemerintah maupun orangorang di Negara Islam tidak mengikuti Islam dalam memperlakukan lingkungan hidup (Mangunjaya et. al.,
2007: 46). Sebagai contoh kita dapat memperhatikan gaya hidup orang-orang yang berpindah dari desa ke
kota atau pinggiran kota. Dari banyak pengamatan, entah itu di Jakarta atau kota-kota besar yang lain, terlihat
bahwa sikap kearifan mereka terhadap lingkungan hidup telah hilang. Hal itu dapat dibuktikan dengan
melihat bagaimana sikap mereka memperlakukan sampah. Dengan mudah kita dapat menemukan tumpukan
dan tebaran sampah ketika berada di daerah-daerah yang telah disebutkan tadi.
Mengacu kepada pemikiran Allamah Tabataba i (guru Seyyed Hossein Nasr) dan Murtadha Muthahhari
(murid Tabataba'i), Islam merupakan sebuah pandangan dunia yang realis, dalam pengertian bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang riil (nyata) dan yang nyata adalah tolok ukur kebenaran; bahwa segala yang
ada mengambil peran dan memiliki posisi dalam lautan realitas yang tunggal. Realisme Islam mengakui
semua jenis keberadaan pada keragaman tingkat-tingkat eksistensi, yang mencakup alam fisik, alam mineral,
alam biologis, alam psikologis, alam imajinatif, alam intelektual, dan alam spiritual; mengafirmasi keberadaan
manusia dan pengada-pengada non-manusia; mengakui keber-maknaan intrinsik semua maujud di alam raya
dengan memosisikan manusia yang sesuai dengan potensinyasebagai khalifah Tuhan yang merupakan
sebuah amanat, tanggung jawab kosmos.
Realisme Islam memandang alam raya dengan penuh simpati, cinta, dan tanggung jawab karena alam
adalah sumber belajar dan kearifan, sarat makna simbolik, dan kaya pesan spiritual. Kecuali sebagai ayat-ayat
(tanda-tanda) kehadiran Tuhan dan manifestasi nama-nama Indah Tuhan (Asma ul-Husna), kosmos dalam
pandangan realisme Islam juga merupakan alam primordial bagi kemunculan manusia, sang makhluk cerdas.
Realisme Islam berpandangan bahwa manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang kompleks,
potensial, multidimensi (makhluk fisik sekaligus ruhani; makhluk kultur sekaligus makhluk struktur;
makhluk moral sekaligus makhluk pencari legalitas), dan dinamis (manusia tidak seragam). Menurut
Muthahhari, manusia bukanlah makhluk yang ditakdirkan sebelumnya (predestined). Manusia bukanlah
makhluk yang ditakdirkan atau ditentukan, melainkan makhluk yang menentukan dan mentakdirkan apa
yang dikehendaki dirinya sendiri. Manusia itu sendirilah yang menentukan untuk "menjadi apa" dan "menjadi
bagaimana".
Meskipun demikian, pada saat yang sama realisme Islam juga meyakini bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Menurut Muthahhari, bermasyarakat merupakan sesuatu yang fitrah dan bersemayam pada
jati diri manusia. Oleh karena itu, bermasyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara berada
manusia itu sendiri. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Thomas Hobbes yang menganggap manusia
terpaksa bermasyarakat guna melayani naluri self-preservation semata-mata; juga berbeda dengan sosialisme
Karl Marx yang memandang kemasyarakatan manusia sebagai takdir-deterministik yang menentukan
manusia berdasarkan kelas semata-mata; berbeda pula dengan individualisme Emile Durkheim atau Max
Weber yang memandang bahwa eksistensi kemasyarakatan manusia hanya sebagai pilihan rasioinstrumental guna keuntungan bersama (masyarakat dianggap kumpulan individu-individu yang tercerai
berai satu sama lain; yang eksis, hanyalah individu manusia, sedang masyarakatnya hanyalah bentukan
epifenomenal).
Dalam masalah pengetahuan, realisme Islam berpijak pada cara-pandang realis-eksistensial yang
sangat kaya dan dinamis dengan makna-makna keilmuan serta mengakui pengalaman empiris, imajinasi,
akal, dan intuisi sebagai sumber dan sarana pengetahuan. Makna mengetahui sesuatu dalam epistemologi
Islam bukan saja memiliki dan menguasai objek tertentu dalam pikiran, namun juga berarti mengada . Bagi
filsuf seperti Mulla Shadra, Murtadha Muthahhari, Hairi Yazdi, tindakan mengetahui itu merupakan sebuah
proses mengada, modus eksistensi (al- ilmu nahwun minal wujud). Epistemologi Islam juga menyelesaikan
problem dualisme dalam struktur pengetahuan (subjek-objek) yang tak pernah terpecahkan dalam
epistemologi Barat, menjembatani rasionalisme dan empirisme, dan mengintegrasikan kecakapan nalar
diskursif dan intelek intuitif, sesuatu yang selalu dianggap berseberangan dalam sistem epistemologi Barat
atau bahkan filsafat Timur.
Implikasi ilmiah dan sosial dari epistemologi Islam seperti itu adalah tumbuhnya etos keilmuan yang
tinggi dalam semua jenis ilmu pengetahuan secara seimbang dan proporsional, mulai matematika, logika,
sains, sejarah, sastra, filsafat hingga tasawuf. Menurut Thabathaba i, Al-Qur an mendorong manusia untuk
mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra, dan semua ilmu pengetahuan yang dapat
dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur an menyeru kita untuk mempelajari ilmu-ilmu ini sebagai jalan untuk
mengetahui Al-Haq dan Realitas, dan sebagai cermin untuk mengetahui alam, di samping juga adanya
manfaat praktis dari ilmu-ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia. Menurut C.A. Qadir, terdapat 750 ayat
-sekitar seperdelapan isi Kitab Suci Al-Qur an- yang mendorong kaum beriman untuk menelaah alam,
merenungkan, dan menyelidikinya.
Berbeda dengan tiga aliran utama ekologi kontemporer yang cenderung berat sebelah, timpang, dan
terfokus pada satu dimensi, Ekologi Islam bisa merangkul segenap dimensi yang ditekankan oleh masingmasing olch Ekologi Dangkal, Ekologi Dalam, dan Ekologi Sosial. Pemikiran Ekologi Islam sesuai dengan
spiritualitas kosmos yang ditawarkan Ekologi Dalam, tapi pada saat yang sama juga apresiatif terhadap
aktivitas sains dan riset ilmiah yang ditekankan oleh Ekologi Dangkal.
Begitu pula, Ekologi Islam mendukung kuat argumen Ekologi Dalam bahwa kita harus mengubah cara
pandang dan sikap hidup manusia untuk melestarikan lingkungan, tetapi pada saat yang sama Ekologi Islam
juga menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan struktur masyarakat -yang disuarakan oleh Ekologi Sosialdalam menangani krisis dan isu lingkungan. Sebaliknya, ketika Ekologi Islam sangat menaruh perhatian
terhadap aktivitas riset ilmiah dan penegakan keadilan sosial, pada saat yang sama juga berkemampuan
menawarkan dimensi spiritualitas terhadap isu-isu lingkungan.
Itulah karakteristik pertama Ekologi Islam, yaitu berkemampuan menawarkan dan mengakomodasi
dimensi-dimensi lingkungan secara terpadu tanpa saling meniadakan seperti yang terjadi pada mazhabmazhab ekologi lainnya. Karakter ini muncul karena watak Ekologi Islam yang mengacu kepada proposisi
realisme, yaitu "mengafirmasi segala yang nyata , yaitu mengapresiasi semua hal yang memiliki dampak dan
pengaruh terhadap peristiwa alam dan sosial, baik secara kultural maupun struktural, langsung atau tak
langsung, individual atau sosial, profan atau sakral, teknikal maupun spiritual. Inilah asas pertama realisme
Islam, yaitu asas integrasi.
Lalu, asas kedua realisme Islam, yang menjadi pondasi Ekologi Islam yang tengah kita bicarakan,
adalah asas proporsionalitas. Dengan asas proporsiona-litas yang berbunyi segala sesuatu diletakkan pada
tempatnya yang sesuai dengan tingkat eksistensinya , maka Ekologi Islam bisa memberi jalan tengah antara
kaum konservatisme pendukung lingkungan alamiah dengan kaum pembela kemajuan peradaban manusia.
Di satu sisi, Ekologi Islam mendukung program pelestarian biodiversity (keragaman spesies) yang tidak
menghambat keselamatan umat manusia, dan di lain sisi Ekologi Islam memiliki sistem moral dan ekonomi
yang mencegah eksploitasi alam atas nama kemajuan peradaban manusia.
E. Penutup
Ekologi Islam memandang bahwa manusia adalah tujuan evolusi kosmos sehingga menempati hirarki
keberadaan yang lebih tinggi dari spesies-spesies lainnya. Namun, ini sama sekali bukanlah antroposentrisme
model Ekologi Dangkal, karena diletakkan dalam horison pandangan spiritualitas kosmos dan konsep
khalifah Tuhan yang harus bertanggung jawab (memiliki dimensi spiritual dan moral).
Ekologi Islam berpotensi memasukkan pandangan spiritualitas kosmos pada kurikulum studi-studi
keislam dan studi lingkungan secara filosofis dan sufistik seraya secara simultan juga berkemampuan
membangun kesadaran ilmiah dan wawasan saintifik melalui lembaga-lembaga pengajaran yang didukung
oleh institusi-institusi sosial politik, termasuk finansial (Baitul Maal). Realisme Islam, sebagaimana yang
terbukti dalam sejarah emasnya, bisa melahirkan saintis yang peka spiritualitas (seperti Pangeran Dokter Ibn
Sina yang filsuf-sufistik), dan mencetak sufi yang cinta riset keilmuan (seperti sufi Jabir Ibn Hayyan yang
mendirikan laboratorium kimia pertama dalam sejarah).
Pada dimensi lain, Ekologi Islam juga sangat apresiatif terhadap program riset ilmiah, pengembangan
sains dan teknologi serta aktivitas-aktivitas keilmuan lainnya, yang juga sangat berguna dalam membantu
program pemeliharaan lingkungan yang sehat. Dengan demikian, Ekologi Islam menawarkan jalan tengah
antara spiritualitas kosmos dengan sosialitas kosmos; mengintegrasikan pandangan saintifik dengan visi
kearifan lokal. Demikian pula halnya, Ekologi Islam bisa mengintegraskan dimensi sosial ekonomi dan
politik yang diusung oleh Ekologi Sosial- dengan dimensi moral seperti yang diusung oleh Ekologi Dalam,
tanpa harus meremehkan salah satu dimensi tersebut, sebagaimana yang terjadi pada Ekologi Sosial dan
Ekologi Dalam. Bagi Ekologi Islam, sesuai dengan pandangannya tentang manusia sebagai makhuk
multidimensi, pelbagai metode dan pendekatan mesti ditempuh untuk program-program konservasi
lingkungan dan penyelamatan Bumi sejauh metode-metode dan pendekatan-pendekatan itu bermanfaat dan
dapat dipertanggung jawabkan secara etis dan sosial.
Perbedaan seperti itu terkait dengan cara pandang dalam melihat problem dan krisis ekologis yang
tengah kita hadapi. Bagi Ekologi Dangkal, krisis ekologis lebih dilihat sebagai problem teknis; Ekologi Dalam
lebih melihatnya sebagai problem visi dan nilai; Ekologi Sosial memandangnya sebagai bagian dari problem
sosial; dan Ekologi Islam memandang krisis ekologis sebagai bagian dari problem eksistensial manusia
(berdimensi teknisetis-sosial-spiritual). Pada gilirannya, perbedaan cara pandang memahami krisis ekologis
ini terkait dengan aliran filsafat dan pandangan dunia (worldview) yang dianut oleh masing-masing mazhab;
Ekologi Dangkal memeluk antroposentrisme, Ekologi Dalam menganut ekosentrisme, Ekologi Sosial
menganut naturalisme dialektis, dan Ekologi Islam menganut realisme.
REFERENSI
Capra, Fritjop. 2004. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Dharmawan, Arya Hadi, 2007. Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi
Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik, dalam Solidality:Jurnal Transdisiplin, Sosiologi,
Komunikasi dan Ekologi Manusia, Departemen KPM IPB, Volume 1 Nomor 1 April 2007.
Duarte, Fernanda de Paiva, 2001. Save the Earth or Manage the Earth ? The Politics of Environmental
Globality in High Modernity, Current Sociology, January 2001, Vol. 49(1), SAGE Publications, London,
Thousand Oaks, CA and New Delhi.
Engineer, Asghar Ali. 1993. Islam dan Pembebasan, terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Yogyakarta:
LKiS.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan, Jakarta: Buku Kompas.
Mangunjaya, Fahrudin M., Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi,
dan Gerekan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Nasr, Seyyed Hossein. 1985. Ideals and Realities of Islam. London: Allen and Unwin.
Shiva,Vandana, dkk. 1993. Keragaman Hayati : PerspektifSosial dan Ekologi, Jakarta: Konphalindo.
Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama, Terj. Muhammad Yamin, Yogyakarta: IRCiSoD.