IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT P

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PADA DALAM MENGATASI
PEREDARAN PRODUK TIRUAN CINA
Indra Mahardika
Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
Email : indramahardika@live.com
Abstrak :

Permasalahan produk tiruan Cina telah menciptakan dilema bagi pemerintah maupun
masyarakat Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan maraknya peredaran produk tiruan
Cina terhadap di pasar domestik Amerika Serikat. tingginya produk tiruan Cina akan
mengurangi pendapatan negara dari pajak yang disetorkan oleh pelaku industri serta
dapat menyebabkan
750.000 masyarakat AS kehilangan pekerjaannya
(Blackstone,2013). Namun disisi lain, sejak terpuruknya perekonomian AS
menyebabkan masyarakat AS menjadi tergantung pada penggunaan produk tiruan Cina
yang dianggap lebih terjangkau (Yu,2010). Oleh karena itu pemerintah Amerika Serikat
mengeluaran 2010 Joint Strategic Plan on IPE sebagai arah kebijakan untuk
mengentaskan permasalahan produk tiruan asing khususnya Cina di domestik AS.
Kata Kunci : Amerika Serikat, Cina, Produk Tiruan, Kebijakan

Pendahuluan


Amerika
Serikat
(AS)
merupakan negara penghasil inovasi
terbesar saat ini. Berdasarkan survei
Tomson Routers (2011:11) terkait
inovasi terkemuka hingga tahun 2011
yang termuat dalam Top 100 Global
Innovators, tercatat 40 inovasi AS
masuk dalam jajaran 100 inovasi
terkemuka menggungguli Jepang yang
hanya tercatat 27 inovasi. Tentu saja
inovasi
telah
dianggap
penting
khususnya dalam perdagangan bebas
(free trade) agar mampu bersaing dalam
persaingan internasional. Ini selaras

dengan
tulisan
Ross
Singleton
(2001:212) yang menyatakan bahwa
inovasi sebagai salah satu sumber
kekayaan (wealth) negara untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu setiap inovasi yang diciptakan
perlu dilindungi dalam Hak Kekayaan

Intelektual (HaKI) guna mengantisipasi
pihak lain memanfaatkan inovasi
tersebut untuk kepentingannya. Tidak
terkecuali dengan AS yang berusaha
melindungi inovasinya.
Seiring waktu banyak inovasi
produk AS yang ditiru oleh negara lain
melalui perdagangan internasional.
Permasalahan ini kian kompleks dimana

produk AS tidak hanya berhadapan
dengan produk tiruan dalam pasar
global namun juga dalam pasar
domestiknya. Menurut laporan U.S
Customs and Border Protection (U.S
CBP), pada tahun 2012 kerugian AS
akibatnya tingginya produk tiruan
dalam pasar domestik telah mencapai
US$ 1,262 milliar. Kerugian ini lebih
besar dibandingkan tahun 2011 yang
hanya mencapai US$ 1,110 milliar (U.S
CBP,2013:4). Bagi AS, tingginya
kerugian ini tidak hanya akan

mengganggu
stabilitas
ekonomi,
perkembangan inovasi dikemudian hari,
namun juga berpotensi meningkatnya
pengangguran

akibat
kerugian
perusahaan.
Tahun 2007, AS memperkarakan
masalah pelanggaran ini ke WTO. AS
meminta Cina untuk mematuhi Trade
Related Aspect Intellectual Property
Rights (TRIPs), sebuah aturan yang
mewajibkan anggota WTO untuk
melindungi HaKI serta menindak setiap
pelanggar
melalui
kebijakan
domestiknya
(Margared,2010:68).
Namun tuntutan AS tidak menunjukkan
hasil yang memuaskan terlihat dari
semakin gencarnya produsen lokal Cina
meningkatkan produktivitas produk
tiruan. Ini menandakan bahwa AS tidak

bisa terlalu mengharapkan sistem
internasional
mampu
melindungi
inovasi negaranya dikemudian hari.
Untuk itu perlu upaya memperkuat
kembali peraturan domestik guna
menekan masuknya produk tiruan Cina
ke AS.
Barack
Obama
menggagas
kebijakan 2010 Joint Strategic Plan on
Intellectual
Property
Enforcement
(2010 Joint Strategic Plan on IPE). Ini
menjadi acuan pada Pemerintahan
Barack Obama untuk melindungi HaKI
dan inovasi asli AS. Kebijakan ini

memasukkan 13 daftar negara dalam
kategori prioritas ancaman HaKI AS
seperti Cina, Argentina, Chili, Algeria,
India, Indonesia, Israel, Pakistan, Rusia,
Thailand, Ukraina, dan Venezuela
(Executive Office of the President of the
United States, 2010:15).

Tinjauan Pustaka
1. Teori Implementasi Kebijakan

Kebijakan
penting

menjadi
unsur
bagi
pemangku

kepentingan

(stakeholders)
dalam mencapai sebuah tujuan.
Bahkan
kebijakan
dapat
mengarah pada cara mengatasi
hambatan-hambatan
tertentu
seraya mencari berbagai peluang
dalam mencapai tujuan atau
mewujudkan
sasaran
yang
diinginkan
(Wahab,2001).
Menurut Mustopadidjaja (1988)
dalam
Tachjan
(2006:21)
menyatakan

bahwa
pada
dasarnya
kebijakan
yang
dihasilkan akan melalui tiga
tahap utama yaitu tahap
perumusan kebijakan; tahap
implementasi kebijakan; dan
tahap
pengawasan
serta
penilaian
(evaluasi).
Berdasarkan hal ini terdapat hal
mendasar yang membedakan
antara
tahap
perumusan
kebijakan

dan
tahap
implementasi. Pada perumusan
kebijakan cenderung bersifat
bottom
up,
yaitu
proses
pembuatan kebijakan diawali
dengan penyampaian aspirasi,
permintaan, dan dukungan dari
masyarakat.
Disisi
lain
implementasi
kebijakan
memiliki logika top down
dimana
terjadi
penurunan

alternatif kebijakan yang semula
masih abstrak atau makro
menjadi tindakan konkrit atau
mikro
(Wibawa,1994;
Tarigan,2009:2). Tidak heran
bahwa
tahap
implementasi
kebijakan menjadi titik kunci
penentu berhasil atau tidaknya
suatu kebijakan dikarenakan
pada tahap ini sangat sarat akan
adanya muatan politis dan
intervensi dari para pemilik
kepentingan
(Agustino,2012:138) yang ikut

mempengaruhi
hasil

akhir
kebijakan.
Berbagai
definisi
implementasi kebijakan telah
dicetuskan oleh pakar kebijakan.
Edward III (1980) menjelaskan
bahwa : “Policy implementation,
… is the stage of policy making
between the establishment of a
policy... and the consequences of
the policy for the people whom
it affects”. Merille S. Grindle
(1980)
mendefinisikan
implementasi kebijakan sebagai
“a
general
process
of
administrative action that can
be investigated at specific
program
level”
(Tachjan,2006:25). Disisi lain
Jan Erik Lane (1983:17)
mendefiniskan sebagai “to carry
out something or to accomplish
something
may
sound
intelligible and require little
explication. A formal defition
might be, Implementation =
Intention, Output, Outcome”
Berdasarkan beberapa definisi
tersebut,
penulis
menyederhanakan implementasi
kebijakan sebagai sebuah proses
aplikasi
kebijakan
yang
ditujukan kepada obyek tertentu
sehingga terciptanya niat, luaran
dan hasil. Ini selaras dengan
Agustino
(2012:139)
yang
memaparkan
bahwa
teori
implementasi kebijakan akan
menyangkut pada tiga hal yaitu :
adanya tujuan atau sasaran
kebijakan; adanya aktivitas atau
kegiatan pencapaian tujuan; dan
adanya hasil kegiatan.
2. Proses Implementasi
Proses
implementasi
diartikan sebagai tindakan nyata
mewujudkan
hasil
yang
kongruen antara keinginan asli

(original intention) dan maksud
atau luaran dari suatu kebijakan
(Lane,1983:17). Melalui proses
implementasi inilah, kebijakan
dapat diketahui seberapa besar
tingkat kesesuaian yang dilihat
berdasarkan rumusan kebijakan
awal. Proses implementasi dapat
dinyatakan
sesuai
bila
pelaksanaannya
tidak
jauh
berbeda dengan petunjuk dan
ketentuan pelaksanaan yang
dirancang
oleh
pembuat
kebijakan (formator). Petunjuk
dan ketentuan tersebut meliputi
tata
cara
atau
prosedur
pelaksanaan, kelompok sasaran,
agen pelaksana, dan manfaat
program
(Lane,1983;
Akib,2010:7).
Pada konsep proses
inilah kesesuaian implementasi
dapat ditinjau secara konkret.
Kesesuaian implementasi akan
dilihat melalui tiga unsur utama
yaitu kesatuan administrasi
(unitary
administration),
penerimaan
secara
politik
(political acceptability), dan
sumber
daya
(resources)
(Lane,2000).
Secara
administrasi,
proses
implementasi akan diturunkan
kembali dalam beberapa poin
seperti hubungan kewenangan
berdasarkan hierarki (authority
relation-hierarchy), kepatuhan
pihak pelaksana (obedience);
serta kontrol dan koordinasi
yang sempurna (control and
perfect
coordination)
(Lane,2000:101).
Unit
administratif ini, terdiri dari set
of actors yang harus bertindak
sesuai dengan struktur hingga
prosedur yang telah ditetapkan.

Disisi politik, kebijakan
perlu mendapatkan penerimaan
secara
politik
(political
acceptability). Untuk
itu
implementor akan melakukan
strategi
koalisi
dengan
melibatkan pihak publik maupun
organisasi
privat
(Lane,2000:107)
serta
melibatkan kerjasama antar
pemerintahan
(intergovernmental
bodies)
melalui
jaringan
kebijakan
(policy
networking)
(Lane,2000:113)
untuk
merealisasikan tujuan kebijakan.
Oleh
karena
itu
selama
implementasi, implementor telah
menargetkan stakeholders mana
saja yang perlu dilibatkan. Pada
negara yang menganut sistem
demokrasi seperti AS, proses
implementasi
bukan
hanya
sebagai upaya yang dilakukan
oleh pemerintah semata namun
juga mampu menjembatani
kepentingan masyarakat, politisi,
dan pelaku privat.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Ruang lingkup penelitian
adalah AS dalam level domestik.
Sedangkan ruang lingkup waktu yaitu
periode 2010–Juni 2013 dengan
landasan bahwa 2010 menjadi tahun
berlakunya kebijakan 2010 Joint
Strategic Plan on IPE serta Juni 2013
sebagai penanda berakhirnya kebijakan
tersebut.
Pembahasan
U.S Customs and Border
Protection Protection (U.S CBP) tahun
2012 merilis sepuluh komoditas tiruan
yang beredar di pasar domestik AS.

Adapun sepuluh komoditas tiruan
tersebut antara lain : 1) tas maupun
dompet; 2) Jam tangan maupun
perhiasan; 3) pakaian maupun aksesoris;
4) elektronik maupun komponennya; 5)
alas kaki (sepatu dan sandal); 6) obatobatan maupun alat medis; 7) media
digital;
8)
komputer
maupun
aksesorisnya; 9) Label/Tags; dan 10)
Permainan
(U.S
CBP.2013:6).
Kesepuluh
komoditas
ini
telah
mengancam inovasi di AS karena
produk yang dihasilkan produsen AS
harus bersaing menghadapi produk
tiruan yang dihasilkan negara lain di
pasar AS.
Total kerugian AS tahun 2012 yaitu
sebesar lebih dari US$ 1,262 milliar
mengalami
peningkatan
bila
dibandingkan tahun 2011 yang hanya
mencapai US$ 1,110 milliar (U.S
CBP,2013:4). Peningkatan tertinggi
justru terjadi pada komoditas tas
maupun dompet. Ditahun 2011,
komoditas tas maupun dompet hanya
menimbulkan nilai kerugian sebesar
US$ 211.071.721 namun di tahun 2012
kerugian
telah
mencapai
US$
511.248.074 atau meningkat 142 persen
dari tahun 2011 U.S CBP (2013:19).
Faktor pendukung mengapa permintaan
produk tiruan begitu tinggi dikarenakan
besarnya keinginan masyarakat untuk
memiliki produk dengan merek terkenal
dengan
harga
terjangkau.
Ini
dikarenakan dengan memakai produk
bermerek namun sebenarnya palsu
dapat memunculkan kesan ekslusif bagi
penggunanya
(prestige)
(Soenarjo,2010:3-4). Ini juga terjadi
bagi masyarakat AS.
Hasil Survei yang dilakukan oleh
The American Consumer Institute
(2013) kepada masyarakat AS mengenai
peredaran produk tiruan dan dampaknya
terhadap perkembangan usaha dan
inovasi di AS menyatakan bahwa: 1) 90

persen masyarakat AS mengganggap
bahwa
penjualan
produk
tiruan
mempengaruhi akan perekonomian AS
(Blackstone,2013:1).
Pendapatan
terbesar negara berasal dari pajak yang
dibayarkan oleh masyarakat ataupun
sektor privat. Adanya produk tiruan
akan keuntungan lebih besar justru
dirasakan oleh produsen pencipta
produk tiruan dibandingkan pemilik
inovasi awal. Sehingga secara langsung,
pajak yang dibayarkan kepada negara
ikut berkurang. 2) 89 persen masyarakat
AS menyatakan bahwa produk tiruan
akan berpengaruh negatif terhadap masa
depan pekerjaan masyarakat AS
(Blackstone,2013:1). Perusahaan yang
berhubungan dengan inovasi di AS telah
menjadi tumpuan bagi 5,5 juta pekerja
di AS (Schlesinger,2011:1). Bahkan
semakin maraknya peredaran produk
tiruan di AS dapat membuat 750.000
masyarakat
AS
kehilangan
pekerjaannya (Blackstone,2013:3).
Dampak negatif pertama yang dirasakan
oleh para konsumen AS terhadap
produk tiruan yaitu dari sisi kesehatan
dan resiko keamanan. Dampak ini
muncul dari produk tiruan yang berasal
dari makanan, minuman, obat-obatan,
komponen elektrik, suku cadang
otomotif, alat permainan, hingga produk
rumah tangga (GAO,2010:10). Produk
tiruan ini umumnya memiliki standar
pengujian atau kelayakan yang rendah
sehingga resiko keamanan tidak
terjamin. Khusus pada produk obatobatan tiruan, ketidakjelasan bahan
baku hingga dosis yang tertera pada
obat tersebut dapat menyebabkan
terjadinya reaksi yang tidak diinginkan
seperti efek samping bahkan dapat
menyebabkan
kematian
pada
penggunannya. Kualitas produk rendah
menjadi dampak negatif lainnya
dikarenakan produk tiruan hanya
mengandalkan harga yang lebih murah

dibandingkan produk asli sehingga
kualitas akan dikesampingkan.
Bagi pelaku industri, adanya
produk tiruan tentu akan menurunkan
penjualan hingga mempengaruhi citra
produk dan pelaku industri itu sendiri.
Produk tiruan telah dianggap sebagai
produk pengganti dari produk asli itu
sendiri terutama bagi masyarakat yang
memiliki keterbatasan ekonomi untuk
membeli produk yang asli. Seiring
waktu, masyarakat AS justru mulai
beralih menggunakan produk tiruan
dibandingkan produk asli mengingat
harga yang ditawarkan lebih murah.
Secara langsung permintaan terhadap
produk asli berkurang sehingga
penjualan mengalami penurunan. Tidak
hanya itu, konsumen yang secara
sengaja atau tidak membeli produk
tiruan dan akhirnya merasa dirugikan
terhadap
produk
tersebut
akan
menciptakan kekecewaan yang akan
berdampak pada citra produk ataupun
pelaku industri asli. Untuk menghindari
adanya peniruan yang dilakukan oleh
produsen lain tentu saja pelaku industri
perlu mengeluarkan uang secara lebih
besar untuk mendapatkan hak paten,
penentuan strategi penjualan, hingga
investasi penelitian dan pengembangan
inovasi produk itu sendiri.
Kerugian yang dirasakan oleh
pemerintah
AS
berasal
dari
berkurangnya pajak yang diterima oleh
negara. Produk tiruan yang beredar di
pasar AS tentu saja bersifat ilegal
sehingga tidak adanya pajak yang
dibayarkan oleh produsen kepada
pemerintahan AS. Oleh karena itu,
semakin tinggi produk tiruan yang
beredar di AS maka semakin tinggi pula
kerugian yang dialami oleh pemerintah
AS
yang
berkorelasi
dengan
menurunnya Gross Domestic Product
(GDP) AS (GAO,2010:14). Saat ini
penciptaan
inovasi
telah
menyumbangkan pendapatan sebesar

6,5 persen dari total GDP AS
(Schlesinger,2011:1). Berkaca pada
hasil temuan produk tiruan yang
dilakukan oleh U.S Customs and Border
Protection Protection tahun 2012,
sebanyak 22.848 jenis produk tiruan
mampu menimbulkan kerugian AS
sebesar lebih dari US$ 1,262 milliar. AS
(baik dari pemerintah pusat hingga
lokal) telah kehilangan pajak sebesar
US$ 2,6 milliar baik yang berasal dari
pajak produk, personal, dan produksi
perusahaan
setiap
tahunnya
(Ewek,2007:i). Upaya menekan tingkat
kerugian ini, pemerintah AS perlu
merancang program dan kebijakan
terhadap perlindungan dan pengawasan
produk tiruan. Salah satunya melalui
2010 Joint Strategic Plan on IPE yang
diterapkan sejak pemerintahan Barrack
Obama. Mulai dari perancangan hingga
implementasi, pemerintah AS tentu
mengeluarkan dana yang besar. Inilah
yang menjadi permasalahan lain yang
timbul akibat maraknya produk tiruan di
AS.
Bagi pertumbuhan ekonomi AS,
produk tiruan akan mengancam
keberlangsungan pengembangan inovasi
di AS. Padahal untuk menciptakan
sebuah inovasi dibutuhkan dana
penelitian dan pengembangan yang
besar. Namun akibat adanya produk
tiruan
dapat
berdampak
pada
berkurangnya penciptaan inovasi baru.
Padahal ekonomi AS sangat tergantung
pada perdagangan yang notabane-nya
membutuhkan inovasi baru yang
dibutuhkan oleh konsumen. Disisi lain
semakin banyaknya negara dengan
perlindungan HaKI yang rendah
memunculkan
ketakutan
untuk
melakukan perdagangan dengan negaranegara tersebut (GAO,2010:14).
Ketakutan terbesar AS justru
muncul kepada Cina yang akhirnya
memunculkan dilemma perdagangan
dua negara tersebut. Cina telah

dianggap sebagai negara dengan
pelindung HaKI terburuk (Hodge,2008)
dan produk tiruan yang ada di pasar AS
didominasi dari produk Cina. Disisi
lain, AS sangat tergantung dengan
perdagangan dengan Cina dan semakin
kuat AS setelah adanya krisis ekonomi
tahun 2008. Cina telah menjadi partner
dagang terbesar kedua, pangsa pasar
ketiga bagi ekspor AS dan pengimpor
terbesar
AS
(Morrison,2011:1).
Ironisnya, hubungan dagang ini justru
menjadi pemicu semakin gencarnya
peniruan inovasi AS yang dilakukan
oleh produsen Cina dan tingginya
peredaran produk tiruan tersebut di AS.
Presiden
Obama
bersama
dengan kongres menunjuk Victoria
Espinel sebagai penanggung jawab
Intellectual
Property
Enforcement
Coordinator (IPEC), yaitu sebuah
institusi federal yang bertanggung
jawab terhadap pengawasan produk
tiruan dan implementor 2010 Joint
Strategic Plan on IPE. Espinel
merancang enam kegiatan utama
pelaksanaan 2010 Joint Strategic Plan
on IPE yaitu: (1) leading by example;
(2) increasing transparency; (3)
ensuring efficiency and coordination;
(4) enforcing our rights internationally;
(5) securing our supply chain; dan (6)
building a datadriven government
(Kopel,2013:870). Adapun pelaksanaan
IPEC berdasarkan kegiatan utama
sebagai berikut.
1. Lead by Example
Pemerintah
melarang
keras
seluruh
instansi
pemerintahan untuk membeli
dan atau menggunakan barang
tiruan baik baik yang digunakan
sebagai inventaris, infrastruktur
hingga kebutuhan militer. Ini
dilakukan
untuk
menekan
produk tiruan yang masuk ke AS
dan tetap memanfaatkan inovasi
dalam negeri. Bahkan akhir

Desember
2011,
Presiden
Obama telah menandatangani
National Defense Authorization
Act of 2012 yaitu sebuah
kesepahaman untuk : 1)
meningkatkan denda dan hukum
bagi instansi pemerintahan dan
militer AS yang ditemukan
menggunakan dan atau menjual
produk tiruan, 2) memberikan
kewenangan bagi siapapun
untuk mendapatkan informasi
mengenali produk tiruan yang
akan diimpor apakah produk
tersebut
asli
atau
tidak
(Espinel,2012:2).
2. Transparency
Dalam pelaksanaannya,
IPEC berusaha menerapkan
keterbukaan kepada seluruh
pemangku
kepentingan
(stakeholders) untuk mengetahui
pelaksanaan implementasi 2010
Joint Strategic Plan on IPE
yang dikenal dengan open door
policy. Langkah ini dibuktikan
dengan menerbitkan Intellectual
Property
Spotlight
untuk
memaparkan
pelaksanaan
penegakkan HaKI di tataran
pemerintahan pusat hingga lokal
serta upaya penegakkan bersama
dengan beberapa partner hukum
negara
lain.
IPEC
juga
memandatkan The Department
of Justice dan FBI untuk
menerbitkan laporan tahunan
PRO IP Act yang berisikan
segala
bentuk
penegakkan
hukum terhadap pelanggaran
hak cipta serta secara berkala
mengadakan pertemuan dengan
para korban ataupun pemangku
kebijakan yang dirugikan akibat
peredaran
produk
tiruan
(Espinel,2012:3).
3. Improving Coordination

IPEC
membawahi
berbagai instansi pemerintah
yang berfokus pada pengentasan
produk tiruan di dalam negeri
dan 20 agensi partisipan dimana
didalamnya terdapat instansi
internasional
seperti
INTERPOL,
the
Royal
Canadian Mounted, Police,
Mexican Customs, EUROPOL,
dan
lainnya.
Untuk
itu,
mempermudah garis koordinasi
maka
IPEC
membentuk
National Intellectual Property
Rights Coordination Center
sebagai
sarana
penguatan
koordinasi antar lembaga di
domestik AS maupun secara
internasional. Melalui National
Intellectual Property Rights
Coordination Center, semua
instansi pemerintahan baik di
tataran pusat hingga lokal
maupun
agensi
partisipan
diarahkan
untuk
menjaga
koordinasi dinaungi langsung
oleh IPEC (Espinel,2012:3-4).
4. Enforcing
Our
Rights
Internationally
IPEC melalui USTR
setiap
tahun
melakukan
investigasi dan evaluasi terhadap
negara-negara yang menjadi
rekan dagang (trading partners)
yang dilaporkan melalui Special
301 Report. Tujuan investigasi
dan evaluasi ini untuk memantau
negara rekan dagang mana saja
yang memberikan perlindungan
terhadap HaKI AS maupun yang
melakukan pelanggaran HaKI.
Special 301 Report memuat
daftar rekan dagang yang
dianggap mengancam HaKI AS
dalam tiga kategori yaitu,
Priority Watch List, watch list,
dan Section 306 Monitoring.
Negara yang masuk dalam

kategori Priority Watch List
antara lain : Algeria, Argentina,
Kanada, Chili, Cina, India,
Indonesia, Israel,
Pakistan,
Rusia, Thailand, Ukraina, dan
Venezuela. Negara yang masuk
kategori Watch List antara lain :
Belarus, Bolivia, Brazil, Brunei,
Kolumbia, Kosta Rica, Republik
Dominika, Ekuador, Mesir,
Finlandia, Yunani, Guatemala,
Italia,
Jamaika,
Kuwait,
Lebanon, Meksiko, Norwegia,
Peru,
Filipina,
Romania,
Tajikistan, Turki, Turkmenistan,
Uzbekistan,
dan
Vietnam.
Sedangkan Paraguai masuk
dalam Section 306 Monitoring
(USTR,2011).
Disisi
lain
melalui 2010 Joint Strategic
Plan on IPE, pemerintah AS
secara aktif melakukan proses
pendekatan
bilateral
untuk
mengajak
negara
lain
mendukung perlindungan HaKI
serta menjadikan isu HaKI
dalam
berbagai
pertemuan
internasional (Espinel,2012:5-6).
5. Securing Our Supply Chain
Mata rantai perdagangan
memiliki peran penting dalam
mengurangi
atau
justru
meningkatkan produk tiruan di
AS. IPEC melakukan langkah
strategis seperti pada Juni 2011,
IPEC membuat kesepakatan
kepada
stakeholders
yang
menerapkan sistem pembayaran
melalui American Express,
Discover, MasterCard, PayPal
dan Visa dalam perdagangan
agar membatalkan transaksi
yang
diketahui
memperdagangkan
produk
tiruan. Selain itu IPEC juga
meminta the Association of
National
Advertisers
dan

American
Association
of
Advertising Agencies sebagai
sektor swasta yang menaungi
periklanan di AS untuk terlibat
dalam pengawasan iklan produk
tiruan baik secara online,
elektronik, maupun media cetak
(Espinel,2012:13).
6. Building
A
Datadriven
Government
Pada poin ini, IPEC
dituntut
secara
intensif
memperbaharui
data
yang
diperlukan oleh pemerintah
pusat
dalam
menganalisa
perkembangan
perekonomian
AS berdasarkan pengembangan
HaKI, penciptaan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat AS
sekaligus yang mendukung
ekspor AS, bentuk promosi
sekaligus upaya pertahanan
keuntungan komparatif inovasi
AS dalam perdagangan global,
tingkat
perlindungan
keselamatan konsumen terhadap
produk tiruan, maupun berbagai
data lainnya. Data yang berhasil
dikumpul
akan
menjadi
rekomendasi bagi pemerintah
AS untuk menentukan langkah
kebijakan
selanjutnya
(Espinel,2012:14).
Kesimpulan
Permasalahan produk tiruan
Cina telah menciptakan dilema bagi
pemerintah maupun masyarakat AS.
Disatu sisi, maraknya produk tiruan
Cina di pasar domestik AS akan
mengancam perekonomian dan inovasi
AS. Ini dikarenakan ekonomi AS
tergantung
pada
perdagangan
internasional
dimana
dalam
perdagangan itu inovasi memegang
peranan penting. Oleh karena itu,
tingginya produk tiruan Cina akan
mengurangi pendapatan negara dari

pajak yang disetorkan oleh pelaku
industri serta dapat menyebabkan
750.000 masyarakat AS kehilangan
pekerjaannya
(Blackstone,2013).
Namun disisi lain, sejak terpuruknya

perekonomian
AS
menyebabkan
masyarakat AS menjadi tergantung pada
penggunaan produk tiruan Cina yang
dianggap lebih terjangkau (Yu,2010).

Daftar Pustaka
Bloomberg.(2013). “Joint Strategic Plan on Intellectual Property Enforcement”,
Enforcement Strategy Action Items Comparison of 2010 and 2013 Plans.
Chaudhry,P, dan A. Zimmerman.(2013).Protecting Your Intellectual Property Rights,
Management for Professionals.New York:Springer Science + Business Media
Chow,Daniel C.K.(2004).Counterfeiting in China and Its Effect on U.S
Manufacturing.Ohio:The Ohio States University College of Law Publication
Department of Justice (DOJ).(2012).Pro IP Act Annual Report FY 2012.Washington DC
: DOJ
Ernst,Dieter.(2011).China’s Innovation Policy is a Wake-Up Call for
America.Honolulu:East-West Center
Ernst,Dieter.(2011).Indigenous Innovation and Globalization : The Challenge for
China’s Standardization Strategy.Honolulu:Institute Global Conflict and
Copperation (IGCC) and East-West Center
Espinel, Victoria A.(2012).Executive Office of the President Office of Management and
Budget. Testimony before U.S Senate Committee on Judiciary.Washington DC :
IPEC
Espinel,Victoria A.(2012).Development of the Joint Strategic Plan on Intellectual
Property Enforcement.Washington DC : Copyright Alliance
Executive Office of the President of the United States.(2010).2010 Joint Strategic Plan
on Intellectual Property Enforcement.Washington DC: Executive Office of the
President of the United States.
Executive Office of the President of the United States.(2013).Patent Assertation and U.S
Innovation.Washington DC: Executive Office of the President
Government Accountability Office (GAO).(2006).Intellectual Property : Strategy for
Targeting Organized Piracy (STOP) Requires Changes for Long-Term
Success.Washington DC:GAO
Government Accountability Office (GAO).(2008).Federal IP Enforcement : Clear
Leadership and Accountability Needed.Washington DC:GAO
Government Accountability Office (GAO).(2010).Intellectual Property : Observation on
Efforts to Quantify the Economic Effects of Counterfeit and Pirated
Goods.Washington DC : GAO
Homeland Security.(2012).What Every Member of the Trade Community Should Know
About : CBP Enforcement of Intellectual Property Rights.Washington
DC:Homeland Security

Hood,Jim.(2012).Respone to the Request of the Intellectual Property Enforcement
Coordinator for the Public Comments Regarding the Joint Strategic Plan to
the Shape an Effective Intellectual Property Enforcement Strategy
Hunter Jr, Richard J., Lindsey Puliti.(2012).Counterfeit Products Within China – A New
Twist to an Old Problem : Imitation Apple Retailers. International Journal of
Academic Research in Business and Social Sciences, Vol.2, No.9 September
2012
Kopel, Karen.(2013).Operation Sezuring Our Sites : How the Federal Government is
Taking Domain Name Without Prior Notice.California:University of California
Publication
Lane,

Jan Erik.(2000).The Public
Approaches.London:SAGE

Sector

:

Concept,

Models,

and

Morrison, Wayne M.(2011).China-US Trade Issues.Congressional Research Service
Tachjan,H.(2006).Implementasi Kebijakan Publik.Bandung:AIPI Bandung
Thomson Reuters.(2011).Top 100 Global Innovators : Honoring the World Leaders in
Innovation, Finding and Methodology.New York: Thomson Reuters
U.S Customs and Border Protection (U.S CBP).(2011).2011 U.S. Intellectual Property
Enforcement Coordinator Joint Strategic Plan : One Year
Anniversary.Washington DC : Executive Office of the President Publication
U.S Customs and Border Protection (U.S CBP).(2012).2012 U.S. Intellectual Property
Enforcement Coordinator Joint Strategic Plan : Two Year
Anniversary.Washington DC : Executive Office of the President Publication
U.S Customs and Border Protection (U.S CBP).(2012).Intellectual Property Rights
Fiscal Year 2011 Seizure Statistics.Washington DC:Homeland Security
Publication
U.S Customs and Border Protection (U.S CBP).(2013).Intellectual Property Rights
Fiscal Year 2012 Seizure Statistics.Washington DC:Homeland Security
Publication
USTR.(2005).2005 Special 301 Report, dapat dilihat di
http://www.ustr.gov/assets/Document_Library/Reports_Publications/2005/2005
_Special_301/asset_upload_file195_7636.pdf [23 Mei 2013]
Wolff, Alan Wm, dkk.(2011).China’s Indigenous Innovation Policy. Testimoni pada USChina Economic and Security Review Commission tanggal 4 Mei
2011.Washington DC, hal 4-6 (pdf)