PENGARUH SERBUK LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP PATOGENITAS IKAN JELAWAT (Leptobarbus hoevenii)YANG DIUJI TANTANG BAKTERI Aeromonas hydrophila

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

ISSN 2541 - 3155

PENGARUH SERBUK LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP PATOGENITAS
IKAN JELAWAT (Leptobarbus hoevenii)YANG DIUJI TANTANG BAKTERI
Aeromonas hydrophila
THE EFFECT OF Aloe vera POWDER ON PATHOGENICITY JELAWAT (Leptobarbus
hoevenii) TESTED THE CHALLENGE Aeromonas hydrophila
Eko prasetio1, Hastiadi Hasan1, Wahyu Nopi Chana2

1. Staff pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muhammadiyah Pontianak
2. Alumni FakultasPerikanandanIlmuKelautan, UniversitasMuhammadiyah Pontianak
Email:eko.prasetio@unmuhpnk.ac.id
ABSTRAK
Infeksi bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu penyebab Motile Aeromonad Septicemia
(MAS). Pada penelitian ini, pakan yang mengandung serbuk lidah buaya diaplikasikan sebagai imunostimulan
untuk mengobati penyakit MAS pada ikan jelawat (Lebtobarbus hoevenii). Metode penelitian ini adalah
eksperimen dengan 5 perlakuan 3 ulangan yaitu perlakuan A (KN 0 g/kg pakan serbuk), B (KP 0 g/kg pakan
serbuk), C (10 g/kg pakan serbuk), D (20 g/kg pakan serbuk) dan E (40 g/kg pakan serbuk).Ikan uji diberikan

pakan perlakuan selama 7 hari sebelum uji tantang dan 14 hari setelah uji tantang. Uji tantang tantang
dilakukan dengan menyuntikan suspensi bakteri Aeromonas hydrophila dengan dosis 108 sel/cfu sebanyak 0,1
ml secara intramuscular. Sedangkan variabel pengamatan meliputi patogenitas (gejala klinis), respon makan,
pertambahan bobot, organ dalam dan kelangsungan hidup. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gejala
klinis ikan pasca infeksi diantaranya radang, radang dan hemoragi, tukak, dan sembuh. Sedangkan pakan
yang mengandung serbuk lidah buaya sebanyak 10, 20, dan 40 g/kg dapat mengurangi tingkat mortalitas
dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Pemberian serbuk lidah buaya melalui pakan
memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan jelawat pasca infeksi. Dosis serbuk lidah
buaya 40 g/kg menunjukkan hasil terbaik dan berbeda sangat nyata dengan dosis yang lain.
Kata kunci:Lidah buaya, Ikan Jelawat , Aeromonas hydrophila,Patogenita, Organ Dalam

ABSTRACT
Aeromonas hydrophila infection is one of problem causes Motile Aeromonas Septicemia (MAS).In
this study, diets containing crude aloe vera extract as immunostimulant was applied to treat MAS disease in
Carpfish. The method in this research was experimental with 5 treatments 3 replicatons. The treatment were
A (KN 0 g/kg powder feed), B (KP 0 g/kg powder feed), C (10 ppt 10 g/kg powder feed), D (20 g/kg powder
feed) dan E (40 g/kg powder feed).Experimental fish were fed daily for 7 days prior to challenge tests and 14
days after challenge tests. Challenge test was done by injection a suspension of A. hydrophila at a dose of 108
cfu/ml as mus as 0,1 ml. Intramuscularly. While observed variables is pathogenicity (clinical symptoms),
response to eating, weight gain, internal organsand survival rate. The results showed that the clinical

symptoms including inflammation of fish post-infection, inflammation and hemorrhage, ulcers and heal.
While that diets containing 10, 20, and 40 g/kg of aloe extract reduced the mortality and clinical signs of
wounds compared to those of control fish. Dosages aloe vera powder 40 g/kg showed best effect and highly
significant effect another dosages.

Keywords: Aloe vera, Carp Fish, Aeromonas hydrophila, Pathogenicity, Internal Organs
PENDAHULUAN

35

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

Ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni)
merupakan ikan asli Indonesia yang terutama
terdapat di sungai, danau dan perairan umum lainnya
di Kalimantan dan Sumatera. Jelawat termasuk ikan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi dibandingkan
dengan ikan-ikan air tawar lainnya yang sudah
populer dimasyarakat, berdasarkan hasil pengamatan

di Kota Pontianak, harga ikan jelawat mencapai Rp.
50.000 – 70.000/kg. Harga jelawat yang tinggi dan
pasar yang terbuka menjadikan ikan ini sebagai
komoditas bisnis yang prospektif, baik usaha
produksi benih maupun ikan konsumsi. Saat ini
sebagian besar kegiatan budidaya ikan dilakukan
dengan menggunakan sistem budidaya intensif,
begitu pula dengan budidaya ikan jelawat. Sistem
budidaya intensif yang menerapkan padat penebaran
tinggi menyebabkan ikan lebih rentan terserang
penyakit. Pemeliharaan ikan jelawat sebagai ikan
komoditas budidaya seringkali terkendala oleh
penyakit Motile Aeromonad Septicemia (MAS) yang
disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian massal,
baik pada ukuran benih maupun induk dalam waktu
yang relatif singkat sehingga mengakibatkan
kerugian yang cukup besar.
Upaya pengendalian penyakit MAS pada
budidaya ikan, sampai saat ini masih menggunakan

antibiotik. Namun, pemakaian antibiotik untuk
jangka panjang, tidak terkontrol dan tidak tepat dosis
dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak ini
bukan saja dikhawatirkan dengan munculnya strain
bakteri resisten terhadap antibiotik yang dapat
membayakan manusia, tetapi juga dapat mencemari
lingkungan perairan, bahkan berdampak pada
kesehatan dengan adanya residu kimia dari
antibiotik pada produk perikanan yang dikonsumsi.
Menghindari
dampak
negatif
dari
penggunaan antibiotik, perlu dicari alternatif
pengobatan yang efektif, murah, aman terhadap
manusia dan ramah lingkungan. Upaya pencegahan
dan pengobatan terhadap serangan bakteri
Aeromonas hydrophila dapat menggunakan bahan
herbal. Salah satu bahan herbal yang dapat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan tidak

menimbulkan residu pada ikan adalah lidah buaya
(Aloe vera). Menurut Jatnika dan Saptoningsih
(2009), lidah buaya mampu menstimulasi kekebalan
tubuh. Hal ini dikarenakan lidah buaya mengandung
senyawa aktif flavonoid yang mampu mengaktifkan
sel imun (Wahyuningrum et al., 2013). Lidah buaya
juga mengandung saponin berfungsi sebagai
antiseptik selain itu senyawa quinon pada lidah

ISSN 2541 - 3155

buaya digunakan sebagai antibakteri. Senyawa
alkaloid dalam lidah buaya mampu meningkatkan
daya tahan tubuh (Gusviputri et al., 2012).
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan
penelitian mengenai penggunaan serbuk lidah buaya
yang dapat ditambahkan kedalam pakan dalam
mengobati ikan jelawat yang di uji tantang dengan
menggunakan bakteri Aeromonas hydrophila.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis

serbuk lidah yang efektif, yang diaplikasikan melalui
pencampuran pakan sebagai upaya pengobatan ikan
jelawat yang diuji tantang dengan bakteri
Aeromonas hydrophila.
METODEPENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama ± 30
hari, 7 hari persiapan dan 14 hari pengamatan
bertempat di Laboratorium Basah (Wed lab)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Muhammadiyah Pontianak yang terletak di
Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu
Raya Provinsi Kalimantan Barat. Alat dan bahan
yang akan digunakan dalam penelitianyaitu
Aquarium berukuran 60x30x40 jarum suntik, jarum
ose, mikropipet, mikroskop, mortar, pisau dan alat
tulis. Alat sterilisasi meliputi Autoclave, bunsen,
beker glass, cawan petri, eppendorf, tabung reaksi,
pipet tetes, labu erlenmayer dan oven. Sedangkan
alat untuk mengkur kualitas air meliputi,
Termometer DO meter, pH meter, dan DO meter.

Sedangkan bahan yang digunakan yaitu daun lidah
buaya, Aeromonas hydrophila, benih jelawat nila 812 cm yang diperoleh dari BBI Kota Pontianak,Putih
telur, pellet, NaCl, TSA, TSB dan akuades yang
steril.
Metode penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan 5 perlakuandan 3 ulangan yang
mengacu pada penelitian Prasetio (2015). Adapun
perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut:
-

A : 0 g Serbuk lidah buaya per kg pakan (KN)
+ diinjeksi PBS
B : 0 g Serbuk lidah buaya per kg pakan (KP) +
diinjeksi A. hydrophila
C : 10 g Serbuk lidah buaya per kg pakan (10
ppt) + diinjeksi A. hydrophila
D : 20 g serbuk lidah buaya per kg pakan (20
ppt) + diinjeksi A. hydrophila
E : 40 g Serbuk lidah buaya per kg pakan (40
ppt) + diinjeksi A. hydrophila


36

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

Pelaksaan penelitian ini dimulai dengan
menyiapkan wadah penelitianya itu berupa wadah
akuarium. Sebelum digunakan akuarium harus
dalam keadaan bersih dan steril, selanjutnya dapat
di isi air dan dilengkapi dengan aerasi agar
kebutuhan oksigen terlarut dapat tercukupi. Untuk
setiap akuarium harus diberi no plot sesuai dengan
perlakuan yang telah ditentukan. Setelah itu
masukan benih ikan jelawat sesuai dengan
perlakuan masing-masing. Ikan Uji benih ikan
jelawat ukuran 8-12 cm dan bobot sekitar 10-15 g
sebanyak 150 ekor.
Ikan dipelihara selama 7 hari sampai
kondisinya benar-benar stabil dengan nafsu makan

yang tinggi dan tidak terjadi kematian. Selama
proses aklimatisasi, pada hari pertama ikan diberi
pakan komersil tanpa penambahan serbuk lidah
buaya. Selanjutnya hari kedua sampai dengan tujuh
hari, ikan diberi pakan perlakuan yang dicampur
dengan serbuk lidah buaya sebagai immunostimulant
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan
jelawat. Pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot
tubuh dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali
sehari yaitu pada pagi, siang dan sore hari. Untuk
menjaga kualitas air, dilakukan penyiponan setiap 2
hari sekali dan pergantian air setiap 3 hari sekali.
Isolat bakteri Aeromonas hydrophila
berasal dari koleksi Laboratorium Karantina Ikan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
Kelas I Pontianak, Kalimantan Barat. Inokulum dari
agar miring dipindahkan secara aseptik ke media
Tripticase Soy Agar (TSA) selanjutnya diinkubasi
didalam inkubator dengan suhu 24-28⁰C selama 1824 jam. Setelah diinkubasi selama 24 jam, dari
media TSA dilihat koloni berwarna putih

kekuningan. Koloni tersebut diinokulasi kembali
kedalam media Tripticase Soy Broth (TSB) 10 ml
dalam tabung reaksi, diinkubasikan di dalam
inkubator selama 18-24 jam. Kemudian untuk
memperoleh dosis 108 cfu/ml maka dilakukan
pengenceran
berseri
dengan
menggunakan
eppendorf dan mikropipet secara aseptik (Utami,
2009).
Untuk menentukan kepadatan bakteri dapat
dilakukan dengan menggunakan alat berupa
spektrofotometer yang berfungsi untuk mengukur
konsentrasi beberapa molekul seperti DNA/ RNA
(UV light, 260 nm), protein (UV, 280 nm), kultur sel
bakteri, ragi/ yeast (Vis light, 600 nm), dan lain-lain.
Lidah buaya didapat dari kecamatan siantan
Kabupaten Pontianak. Lidah buaya masih segar
dikupas, sehingga tertinggal gelnya. Gel lidah buaya


ISSN 2541 - 3155

di potong-potong menjadi beberapa bagian
kemudian dicuci dengan air bersih dan dikeringkan.
Pengeringan dilakukan dalam udara terbuka (kering
udara) diluar pengaruh cahaya matahari langsung
untuk menghindari kerusakan bahan aktif yang
terdapat dalam lidah buaya. Kemudian di oven
selama 15 menit pada suhu 450C sampai kering.
Lidah buaya yang telah kering dihaluskan dengan
menggunakan blender lalu diayak dengan saringan
sampai mendapatkan serbuk halus (Sari et al., 2012).
Pembuatan campuran pakan dengan serbuk
lidah buaya, diawali dengan ditimbangnya lidah
buaya (bobot kering) sesuai dengan dosis yang
diperlukan: 0 g/kg pakan (kontrol), 10 g/kg (dosis 10
ppt), 20 g/kg (dosis 20 ppt), dan 40 g/kg (dosis 40
ppt). Langkah selanjutnya adalah pakan (pellet)
dicampurkan dengan serbuk lidah buaya yang telah
ditimbang kemudian dicampurkan dengan putih telur
sebanyak 2% dari bobot pakan, putih telur diberikan
sedikit demi sedikit dan diaduk hingga merata
dengan menggunakan kedua tangan hingga
homogen. Pakan yang telah tercampur merata
dengan serbuk lidah buaya selanjutnya dikering
udarakan. Setelah itu sejumlah pakan yang sudah
ditimbang sesuai dengan kebutuhan untuk masingmasing perlakuan dimasukan ke dalam toples/wadah
tertutup dan disimpan di kulkas. Pakan tersebut telah
siap digunakan.
Ikan yang telah melalui proses adaptasi
selama 7 selanjutnya diuji tantang. Pada saat uji
tantang, perlakuan kontrol negatif diinjeksi dengan
Posphate Buffered Saline (PBS) sebanyak 0,1 ml,
sedangkan untuk perlakuan kontrol positif dan
perlakuan dosis serbuk lidah buaya (10 ppt, 20 ppt,
dan 40 ppt) diinjeksi dengan bakteri A. hydrophila
hasil pengenceran dengan dosis 108 cfu/ml sebanyak
0,1 ml yang mengacu pada hasil LD 50 oleh Faridah
(2010).
Pemberian pakan sebanyak 3% pada
perlakuan dimulai 1 hari setelah ikan diuji tantang.
Frekuensi pemberian pakan diberikan sebanyak 3
kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari
dengan metode at satiation. Jumlah pakan yang
dikonsumsi dicatat dengan cara menghitung selisih
bobot pakan awal dengan sisa pakan. Pemberian
pakan perlakuan dilakukan sampai 14 hari pasca uji
tantang. Sedangkan pada pengamatan kelangsungan
hidup dilakukan selama 21 hari pasca uji tantang.
Variabel Pengamatan
Respon Makan

37

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

Respons makan pada ikan diukur secara
visual dan dianalisis secaradeskriptif setiap hari,
yaitu 7 hari sebelum dan sesudah ikan diuji tantang.
Pengamatan respons makan dilakukan dengan
pemberian skor sebagaimana yang dilakukan
Faridah (2010) sebagai berikut :
-

=

+

=

++

=

+++

=

X

=

Tidak ada respon makan (Σ pakan
terkonsumsi 0-10%)
Respon makan rendah (Σ pakan terkonsumsi
11-14%)
Respon makan sedang (Σ pakan terkonsumsi
41-70%)
Respon makan sedang (Σ pakan terkonsumsi
71-100%)
Tidak diberi pakan

Pengamatan respon makan pada ikan jelawat
dilakukan dari awal hingga akhir perlakuan. Berikut
ini adalah cara perhitungan respon makan:
-Respon makan (%)
Jumlah pakan yang dikonsumsi
x 100 %
Jumlah Pakan Yang diberikan
Pengukuran bobot tubuh ikan uji dilakukan
pada
awaldanakhirperlakuan
menggunakan
timbangan digital. Ikan pada masing-masing
akuariumditimbang bobot biomassanyadan dihitung
nilairataan bobot tiap perlakuan dan pertambahan
bobotnya. Nilai perubahan bobot diketahui dengan
cara menghitung selisih bobot ikan pada akhir masa
pengamatan dengan bobot awal ikan pada saat di uji
tantang. Menurut Effendi (1997) pertumbuhan berat
mutlak dapat dinyatakan dengan rumus:

ISSN 2541 - 3155

Radang dan Hemoragi
Nekrosis
Radang dan Nekrosis
Hemoragi dan Nekrosis
Radang, Hemoragi dan Nekrosis
Tukak
Ikan Mati
Ikan Normal
Ikan Sembuh
Sumber: (Farida, 2010)

3
4
5
6
7
8
[9]
0
(0)

Pengamatan Organ dalam
Pengamatan organ dalam secara deskriptif.
Organ dalam yang diamati meliputi organ hati,
empedu dan ginjal. Pengamatan organ
dalam
dilakukan secara visual pada akhir masa pengamatan
dengan cara membedah ikan perlakuan. Kelainan
yang diamati berupa perubahan warna dan ukuran
organ dalam.
Kelangsungan Hidup
Perhitungan jumlah ikan yang mati akhir
pengamatan dilakukan setelah ikan jelawat diuji
tantang sampai hari ke-14 pasca uji tantang. Tingkat
kelangsungan hidup ikan dihitung dengan rumus
yang dikemukakan Effendi (1997) sebagai berikut :
Nt
SR =
x 100%
No
Keterangan :
SR: Tingkat kelangsungan hidup %
Nt : Jumlah ikan yang hidup pada akhir
pengamatan (ekor)
No: Jumlah ikan awal yang hidup pada uji tantang
(ekor)

G = Wt - Wo
Keterangan:
G= Pertumbuhan Mutlak (gr)
Wt = Berat rata-rata akhir ikan (gr)
Wo = Berat rata-rata awal ikan (gr)
Gejala Klinis dan Penyembuhan Luka
Gejala klinis diamati secara visual setiap hari
setelah ikan diuji tantangsampai akhir masa
pemeliharaan selama kurun waktu 21 hari.
Perkembangan dan perubahan dari gejala klinis yang
timbul diamati secara deskriptif dengan modifikasi
dari Kamaludin (2011), yaitu pada tabel 1.
Tabel 1. Gejala Klinis Ikan jelawat
Gejala Klinis
Radang
Hemoragi

Penandaan
1
2

Kualias Air
Sebagai
data
pendukung
penelitian,
pengamatan parameter kualitas air yang diamati
adalah pH, suhu, DO dan NH3. Pengukuran suhu
dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari.
Sedangkan parameter kualitas air lainnya seperti
pengukuran pH, DO dan NH3 dilakukan pada awal,
pertengahan dan akhir penelitian.
HASILDAN PEMBAHASAN
Respon Makan Ikan Jelawat
Respon makan dan banyaknya pakan yang
dikonsumsi oleh ikan selama masa percobaan akan
mempengaruhi efektivitas dalam menunjang upaya
pencegahan dan pengobatan ikan sakit. Semakin
banyak jumlah pakan yang dimakan oleh ikan, akan

38

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

ISSN 2541 - 3155

berpengaruh terhadap jumlah serapan serbuk lidah
buaya yang terkandung pada pakan dan semakin
efektif proses pengobatan
Masing-masing perlakuan memiliki jumlah
konsumsi pakan yang bervariasi. Hal ini didukung
oleh hasil pengamatan respon makan ikan jelawat
ketika diberikan pakan perlakuan selama percobaan
(tabel 2).

Tabel 2. Respon makan ikan jelawat pada perlakuan
pemberian kontrol negatif (KN), kontrol
positif (KP) dan pemberian serbuk lidah
buaya (10 ppt, 20 ppt, 40 ppt) selama masa
percobaan
Hari
ke
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

1
++
+++
+++
++
++
+++
++
x
+++
++
++
+++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+++
+++
+++

KN
2
++
+++
+++
++
++
+++
++
x
+++
++
++
+++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+++
+++
+++

3
++
+++
+++
++
++
+++
++
x
+++
++
++
+++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+++
+++
+++

1
+++
++
++
+++
+++
++
++
x
+
+
+
+
+
+
+
+
++
++
++
++
++
++

KP
2
+++
++
++
+++
+++
++
++
x
+
+
+
+
+
+
+
+
++
++
++
++
++
++

3
+++
++
++
+++
+++
++
++
x
+
+
+
+
+
+
+
+
++
++
++
++
++
++

1
+++
++
++
++
+++
++
+++
x
+
+
++
++
++
++
+++
+++
+++
++
+++
+++
+++
+++

10 ppt
2 3
+++ +++
++ ++
++ ++
++ ++
+++ +++
++ ++
+++ +++
x x
+ +
+ +
++ ++
++ ++
++ ++
++ ++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
++ ++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++

1
+++
+++
++
+++
+++
+++
+++
x
+
+
++
++
+++
++
+++
+++
++
+++
++
+++
+++
+++

20 ppt
2 3
+++ +++
+++ +++
++ ++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
x x
+ +
+ +
++ ++
++ ++
+++ +++
++ ++
+++ +++
+++ +++
++ ++
+++ +++
++ ++
+++ +++
+++ +++
+++ +++

1
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
x
+
+
++
++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
+++

40 ppt
2 3
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
x x
+ +
+ +
++ ++
++ ++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++
+++ +++

Keterangan :x

= Tidak diberi pakan
= Tidak ada respon makan
(Σ pakan terkonsumsi 0-10%)
+
= Respons makan rendah
(Σ pakan terkonsumsi 11-40%)
++
= Respons makan sedang
Pakan perlakuan diberikan
selama 21 hari
masa
(Σ pakan terkonsumsi
41-70%)
penelitian+++
dan dilakukan
pengamatan
respon makan
= Respons
makan tinggi
ikan terhadap pakan
dan sesudah71-100%)
dilakukan
(Σsebelum
pakan terkonsumsi
-

salah satu pemicu stres ikan adalah handling
(penanganan) pada saat sampling atau penyuntikan.
Pada hari ke 1 hingga hari ke 2 pasca
penyuntikan terlihat bahwa perlakuan kontrol negatif
memiliki respon makan tinggi dan sedang,
sedangkan pada kontrol positif dan pada perlakuan
serbuk lidah buaya pada perlakuan (10 ppt, 20 ppt
dan 40 ppt) mengalami penurunan nafsu makan
rendah. Pada hari ke 3 pasca penyuntikan respon
makan sedang di tunjukan pada perlakuan kontrol
negatif dan pada perlakuan serbuk lidah buaya (10
ppt, 20 ppt dan 40 ppt). Sedangkan Ikan uji pada
kontrol positif menunjukan respon makan rendah
pada hari ke 3, 4, 5, 6, 7 dan hari ke 8. Hari ke 9
hingga hari ke 14 kondisinya mulai stabil dan respon
makan kembali meningkat hingga akhir pengamatan.
Respon makan pada kontrol negatif dan perlakuan
serbuk lidah buaya (10 ppt, 20 ppt dan 40 ppt) lebih
cepat kembali normal bila dibandingkan dengan
kontrol positif. Terlihat bahwa pada ikan uji kontrol
positif memiliki respon makan rendah sampai akhir
masa perlakuan, sedangkan pada perlakuan
kontrol negatif dan serbuk lidah buaya (10 ppt, 20
ppt dan 40 ppt) menunjukkan respon makan sedang
dan tinggi mulai hari ke 4 hingga hari ke 14. Sedikit
demi sedikit terjadi peningkatan nafsu makan hingga
akhir pengamatan. Menurut Aniputri et al., (2014)
semakin baik respon makan ikan semakin cepat pula
terjadi proses penyembuhan.
Pertambahan Bobot
Pengukuran bobot tubuh ikan uji dilakukan
pada awal dan akhir perlakuan Nilai perubahan
bobot diketahui dengan cara menghitung selisih
bobot ikan pada akhir masa pengamatan dengan
bobot awal ikan pada saat di uji tantang. Grafik
pertambahan bobot dapat dilihat pada gambar 7.

Pakan perlakuan diberikan selama 21 hari
masa penelitian dan dilakukan pengamatan respon
makan ikan terhadap pakan sebelum dan sesudah
dilakukan penyuntikan dengan bakteri A.
hydrophila. Hari ke 0 pasca infeksi ikan tidak
langsung diberi pakan karena ikan tampak stres
akibat penyuntikan. Menurut Kurniawan (2010),

39

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

Gambar1. Pertambahan bobot ikan jelawat pada
perlakuan KN, KP dan perlakuan pemberian serbuk
lidah buaya (10 ppt, 20 ppt, 40 ppt)
Pada gambar 1 menunjukkan selisih
perubahan bobot yang rendahpadaperlakuan Kontrol
positif (KP) sebesar 1,68±0,20(g). Sedangkan pada
perlakuan
kontrol
negatif
(KN)
sebesar
0,73±0,15(g). Untuk perlakuan dosis serbuk 10 ppt,
20 ppt dan 40 ppt mengalami peningkatan sebesar
1,35±0,22 (g), 1,56±0,21 (g) dan 1,77±0,21 (g).
Hasil pengamatan selama 21 hari
Pertambahan bobot akhir terendah pada perlakuan
kontrol positif sebesar 0,73 gram. Sedangkan
pertambahan bobot akhir tertinggi terdapat pada
perlakuan serbuk 40 ppt dengan pertambahan bobot
sebesar 1,77 gram. Pertambahan bobot ikan
dikarenakan oleh adanya pengaruh respon makan
jika pakan yang dimakan oleh ikan lebih banyak
maka laju pertambahan bobot semakin meningkat
sebaliknya jika respon makan menurun laju

KN

KP

ISSN 2541 - 3155

pertambahan bobot lebih sedikit. Penurunan bobot
dikarenakan ikan diinjeksi dengan bakteri A.
hydrophila sehingga ikan lamban merespon pakan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kabata (1985),
Bahwa ikan yang terserang bakteri Aeromonas
hydrophila memperlihatkan gejala berupa nafsu
makan yang menurun. Semakin baik respon makan
ikan semakin cepat pula terjadi proses penyembuhan
(Aniputri, et al.,2014).
Patogenitas
Patogenitas diamati secara visual dengan
Skoring diberikan sesuai dengan tingkat kerusakan
klinis yang terjadi pada permukaan tubuh ikan.
Semakin parah kerusakan klinis, maka skornya
akan semakin tinggi. Gejala klinis yang muncul pada
perlakuan dosis dan kontrol positif berupa hemoragi,
radang, nekrosis, dan tukak dengan panjang yang
berbeda-beda pada setiap ikan dapat dilihat pada
(gambar 2).

10 PPT

20 PPT

40 PPT

40

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

ISSN 2541 - 3155

Gambar 2. Gejala klinis perlakuan kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan serbuk 10 ppt, 20 ppt dan 40 ppt
selama penelitian

Tabel 3. Perubahan gejala klinis pada ikan jelawat disampling sebanyak 15 ekor
P

KN

KP

10
ppt

20
ppt

40
ppt

U

Pengamatan Tingkah Laku hari ke1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

3

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

1

0

1

1

[9]

3

[9]

[9]

3

3

8

8

8

8

8

2

0

[9]

[9]

1

1

[9]

8

8

8

8

8

8

8

[9]

3

1

1

[9]

3

[9]

6

8

8

8

8

8

8

8

8

1

0

[9]

1

1

3

[9]

8

8

8

8

8

8

8

8

2

1

1

[9]

1

1

[9]

8

8

8

8

8

8

8

8

3

1

1

1

1

1

[9]

3

3

3

8

8

8

8

8

1

0

1

1

1

1

[9]

1

1

8

8

8

8

8

8

2

1

1

3

[9]

3

3

3

1

8

[9]

8

8

8

8

3

0

1

1

3

3

[9]

8

8

8

8

8

(0)

(0)

(0)

1

1

1

3

8

8

8

8

8

8

8

(0)

(0)

(0)

2

1

1

1

3

8

8

[9]

8

(0)

(0)

(0)

(0)

(0)

(0)

3

0

1

1

1

3

3

8

8

8

[9]

(0)

(0)

(0)

(0)

8

Sumber: (Farida, 2010)

Perlakuan kontrol positif di hari ke 5 masih
mengalami gejala klinis berupa radang dan
hemoragi.
Snieszko
dan
Axelord
(1971)
menyebutkan bahwa pada daerah suntikan, bakteri
yang berkumpul akan menyebabkan kematian

lokal jaringan sehingga akan terlihat batas yang
jelas pada daerah penyuntikan itu. Selanjutnya, batas
tersebut akan mengalami koagulasi yang ditandai
dengan zona putih ke abu-abuan dan dikelilingi oleh
zona merah yang merupakan jaringan otot yang telah
mati. Hal ini yang biasanya disebut dengan reaksi

41

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

radang dan hemoragi. Gejala klinis berupa tukak
terjadi pada hari 7 panjang tukak 3 cm dan lebar 1,2
cm, hari ke 9 panjang tukak 2,7 cm dan lebar tukak
1,2 cm , hari ke 11 panjang tukak 3,7 cm dan lebar
1,5 cm sedangkan pada hari 14 panjang tukak 3,8 cm
dan lebar 2 cm. Tukak dapat terjadi karena
regenerasi sel- sel yang rusak berjalan lebih lambat
dibandingkan dengan kematian sel yang terjadi
(Runnels et al., 1965 dalam Abdullah, 2008).
Sedangkan pada perlakuan C (10 ppt) gejala klinis
yang tampak pada hari ke 5, 7, 9, 11 dan ke 14
berupa tukak. Ulcer atau kerusakan jaringan tubuh
terbentuk karena aktivitas proteolitik dari bakteri,
dimana keadaan kemungkinan adanya subtansi
ekstraseluler bakteri protease dan sitokin yang
menghidrolisis jaringan inang (Lukistyowati dan
Kurniasih, 2011).Ulcer mulai membesar hingga
mengakibatkan daging rusak menimbulkan tukak,
hari ke 5 diameter tukak 0,5 cm, hari ke 7 dan ke 9
diameter tukak 2 cm, hari ke 11 diameter tukak 1,5
cm sedangkan pada hari 14 diameter tukak 1,2 cm.
Perlakuan D (20 ppt) di hari ke 5 dan ke 7
terjadi peradangan, Gejala klinis berupa tukak
terjadi pada hari ke 9 panjang tukak 1,5 cm dan lebar
1 cm, hari ke 11 panjang tukak 2,6 cm dan lebar
tukak 1,6 cm dan pada hari 14 panjang tukak 2 cm
dan lebar 1,3 cm. Sedangkan pada perlakuan D (40
ppt) gejala klinis berupa tukak terjadi pada hari ke 5
panjang tukak 1,1 cm dan lebar 1,1 cm, hari ke 7
panjang tukak 1,3 cm dan lebar tukak 1 cm, hari ke 9
panjang tukak 0,5 cm dan lebar tukak 0,5 cm, hari ke
11 tukak 0,2 cm dan lebar tukak 0,1 cm dan pada
hari 14 tukak sudah tertutup, ikan terlihat normal
dan sehat. Proses penyembuhan luka pada sebagian
ikan uji mulai terjadi pada hari ke-8 dan mengalami
penyembuhan pada hari ke-12 sampai hari ke-14
untuk perlakuan D (20 ppt) dan E (40 ppt). Diameter
tukak yang berubah dari besar menjadi kecil
merupakan salah satu indikator penyembuhan luka.
Proses pemulihan morfologi ditandai dengan adanya
daging ikan mulai tertutupi jaringan-jaringan
barubekas luka pasca infeksi bakteri A. hydrophila.
Hal tersebut diduga adanya pengaruh penambahan
serbuk lidah buaya didalam pakan. Haryani et al.,
(2012) kandungan flavonoid dapat mengurangi
peradangan dan meningkatkan sistem imun ikan.
Selain mengandung flavonoid didalam lidah buaya
juga terkandung protein yang berperan dalam
membentuk dan memperbaiki jaringan. Hal ini juga
dilaporkan oleh Morsy (1991), kadar protein dalam
lidah buaya secara kualitatif kaya akan asam-asam
amino esensial yang berperan dalam pembentukan

ISSN 2541 - 3155

jaringan baru dan memperbaiki sel-sel tubuh yang
rusak. Menurut Furnawanti ( 2002), Enzim protease
bekerjasama dengan
glukomannan
mampu
memecah dinding sel bakteri yang menyerang luka.
Zat aktif acemannan (acetylated mannose) berfungsi
sebagai immunostimulator yang menyebabkan
respon imun meningkat (Weidosari, 2007).
Kelangsungan Hidup Ikan
Kelangsungan hidup merupakan sejumlah
organisme yang hidup pada akhir pemeliharaan yang
dinyatakan dalam persentase. Nilai kelangsungan
hidup akan tinggi jika faktor kualitas dan kuantitas
pakan serta kualitas lingkungan mendukung.
Kelangsungan hidup ikan jelawat selama
pemeliharaan 21 hari didapatkan databerkisar antara
69,00% - 96,67%. Adapun persentase kelangsungan
hidup ikan jelawat digambarkan dalam bentuk grafik
seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Grafik kelangsungan hidup ikan jelawat
pada perlakuan KN, KP dan perlakuan
pemberian serbuk lidah buaya (10 ppt,
20 ppt, 40 ppt)
Pada gambar 3menunjukkan tingkat SR yang
rendah pada perlakuan Kontrol positif (KP) sebesar
60,00±10,00%. Sedangkan pada perlakuan kontrol
negatif (KN) sebesar 96,67±5,77%. Untuk perlakuan
dosis 10 ppt, 20 ppt dan 40 ppt mengalami
peningkatan sebesar 76,67±11,55%, 86,67±5,77%
dan 93,33±5,77%. Tingginya tingkat kelangsungan
hidup pada perlakuan dosis 40 ppt dikarenakan
adanya bahan aktif yang terdapat dalam serbuk lidah
buaya sehingga kerjanya menstimulasi dan
meningkatkan produksi antibodi tubuh ikan dengan
baik, sehingga daya tahan tubuh ikan saat diinfeksi
dengan bakteri A. hydrophila dalam kondisi kuat dan
dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

42

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

Berdasarkan beberapa hasil penelitian, Lidah buaya
mengandung zat aktif manosa, glukomannan, asam
krisofandan
Acetylated
mannose(acemannan).
Acemannan berfungsi sebagai imunostimulator
yang meningkatkan respon imun sebagai pertahanan
terhadap patogen intraseluler seperti virus, bakteri
dan parasit yang berfungsi sebagai antibiotik (Stuart
et al., 1997).
Kematian tertinggi pada perlakuan kontrol
positif (KP) pasca uji tantang bakteri A. hydrophila,
hal ini menujukkan patogenitas bakteri A.
hydrophila dapat membunuh ikan dalam waktu
kurang dari 24 jam dengan gejala klinis berupa
radang dan hemoragi. Bakteri A. hydrophila
merupakan bakteri yang bekerja secara sistemik
atau
melalui
peredaran
darah
sehingga
penyebarannya dapat ke organ-organ dalam. Luka
terparah dialami pada daerah sekitar injeksi karena
merupakan daerah yang pertama kali kontak dengan
bakteri A. hydrophila. Menurut Affandi dan Usman
(2002) Adanya luka pada kulit merupakan jalan
masuk utama (port of entry) untuk beberapa
infeksi bakteri. Proses injeksi merupakan jalan
masuk yang sangat cepat bagi bakteri A. hydrophila
untuk menginfeksi.
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup
ikan jelawat pada perlakuan kontrol positif diduga
karena pakan yang diberikan tidak ditambahkan
dengan serbuk lidah buaya, sehingga manfaat serbuk
lidah buaya yang dapat meningkatkan sistem imun
tidak terjadi pada perlakuan kontrol positif. Pada
perlakuan kontrol positif ikan di injeksi dengan
bakteri A. hydrophila sehingga ikan pada perlakuan
kontrol positif lebih rentan terhadap serangan
penyakit akibatnya ikan mudah stres. Menurut
Ghufron dan Kordi (2004), stres pada ikan akan
mengakibatkan kepekaan ikan tersebut terhadap
penyakit
sehingga
mempengaruhi
pada
kelangsungan hidup ikan.
Pengamatan Organ Dalam
Hasil pengamatan organ dalam ikan jelawat
pada masa akhir penelitian diketahui dan perbedaan
di antara perlakuan baik perlakuan kontrol negatif
(KN), kontrol positif (KP), perlakuan dosis 10 ppt,
20 pptdan 40 ppt yang dapat dilihat pada pada tabel
4 dan gambar 4.
Tabel 4. Pengamatan terhadap organ dalam ikan
jelawat

Perlakuan
Kontrol Negatif (KN) Kontrol Positif (KP)
10 ppt
20 ppt
40 ppt
Hati Merah Kecoklatan Merah Kekuningan Merah Kecoklatan Merah Kecoklatan Merah Kecoklatan
Empedu Hijau Tua
Coklat Kekuningan Hijau Cerah
Hijau Cerah
Hijau Cerah
Ginjal Merah Gelap
Merah Pucat
Merah Kecoklatan Merah Kecoklatan Merah Gelap
Organ

ISSN 2541 - 3155

KP

KN

10 ppt

20 ppt

40 ppt

Gambar 4. Organ dalam ikan jelawat pada perlakuan
KN, KP, dosis serbuk lidah buaya
(10 ppt, 20 ppt dan 40 ppt). Pada
akhir pengamatan (keterangan: A=
hati; B = empedu; C = ginjal).
Organ dalam yang diamati berupa organ
hati, empedu dan ginjal. Hasil pengamatan
menunjukan bahwa organ dalam pada perlakuan
dosis 10 ppt, 20 ppt dan 40 ppt memiliki kondisi
yang sama atau mendekati perlakuan kontrol yang
ada pada perlakuan kontrol negatif (normal), yaitu
hati berwarna merah kecoklatan, empedu berwarna
hijau tua dan ginjal berwarna merah gelap. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Setiaji, (2009) organ
dalam ikan normal yaitu hati berwarna merah coklat,
empedu berwarna hijau dan ginjal bewarna merah
gelap/merah kecoklatan. Sedangkan pada perlakuan
kontrol positif menunjukan perbedaan yaitu kelainan
organ dalam seperti organ hati yang berwarna pucat
dan merah kekuningan, empedu berwarna pucat dan
coklat kekuningan, ginjal berwarna merah pucat.
Menurut penjelasan Affandi dan Tang
(2002) ginjal merupakan suatu organ yang
berperan dalam filtrasi (penyaringan) beberapa
bahan buangan sisa metabolisme. Bahan-bahan
yang dibuang lewat ginjal, antara lain ureum,
air, dan garam mineral. Sel yang bertanggung jawab
pada filtrasi di ginjal adalah sel glomerulus. Bagian
sel glomerulus yang berperan dalam proses filtrasi
ini adalah kapsul bowman. Sedangkan bagian lain
yang berperan dalam proses reabsorbsi ion adalah
tubuli ginjal. Unit terkecil dari ginjal adalah nepron
yang terdiri dari badan malphigi dan tubuli
ginjal. Badan malphigi berfungsi untuk menyaring
hasil buangan metabolik yang terdapat dalam darah.
Darah tidak ikut tersaring dan masuk ke dalam
pembuluh darah balik ginjal (vena renalis). Protein
tertahan
dalam
darah. Cairan ekskresi ini
kemudian masuk ke tubuli ginjal. Karena fungsi
utamanya mensekresikan sebagian besar produk

43

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

ISSN 2541 - 3155

akhir metabolisme tubuh dan mengatur konsentrasi
cairan tubuh (Fujaya, 2004), maka ginjal rentan
untuk terserang bakteri A. hydrophila yang bersifat
sistemik. Seperti yang terlihat pada ikan perlakuan
kontrol positif.

pakan.Sebaiknya dalam pengobatan diperlukan
waktu pengamatan lebih lama agar tingkat
kesembuhan lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor yang sangat
penting dan pembatas bagi mahluk hidup dalam air
baik faktor kimia, fisika dan biologipada tabel 5.
Tabel 5. Kualitas Air Ikan Jelawat
Parameter
Perlakuan
Kontrol
Negatif
Kontrol
Positif
10 ppt
20 ppt
40 ppt

Suhu
(0C )

DO (mg/l)

pH

Amonia
(NH3)

27-29

5.80-6.70

6.70-7.70

0.1-0.2

27-29

5.59-6.89

6.40-7.60

0.1-0.2

27-29
27-29
27-29

5.46-6.79
5.30-6.70
5.56-6.70

6.40-7.80
6.60-7.80
6,90-7.80

0.1-0.2
0.1-0.2
0.1-0.2

Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama
penelitian didapat pada setiap perlakuan rata-rata
berkisar antara 27 - 29 o C, Do 5.80-6.70 mg/l, pH
6.70-7.70 dan NH3 berkisar antara 0,1-0,2. Suhu
perlakuan sesuai untuk kelangsungan hidup ikan
jelawat. Menurut pendapat Brotowijoyo (1995),
suhu optimum untuk selera makan ikan adalah 25-27
0
C dan kisaran suhu air optimal untuk budidaya ikan
air tawar adalah 15-29 oC.Brotowijoyo (1995),
kisaran suhu air optimal untuk budidaya ikan air
tawar adalah pH air 6,5-8.Sukadi.,et al (1989) bahwa
oksigen terlarut pada umumnya berkisar antara 5,06,6 mg/l.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian bahwa:
Pemberian
serbuk
lidah
buaya
yang
diaplikasikan
melalui
pencampuran
pakan
memberikan hasil Perubahan bobot ikan jelawat
terbaik pada perlakuan serbuk lidah buaya 40 ppt
dengan nilai 1,77 gramdan kelangsungan hidup
sebesar 93,33 %.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan,
maka disarankan : pencegahan dan pengobatan
bakteri A. hydrophila yang menyerang ikan-ikan
budidaya diperlukan dosis serbuk lidah buaya
melalui percampuran pakan sebanyak 40 g/kg

Brotowijoyo,1995 Pengantar Lingkungan dan
Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta.
Faridah, N., 2010. Efektivitas Ekstrak Lidah Buaya
(Aloe
vera)
dalam
Pakan
sebagai
Imunostimulan untuk Mencegah Infeksi
Aeromonas hydophila
pada Ikan Lele
Dumbo Clarias sp. [Skripsi]. Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Effendie, M. I., 1997. Metode Biologi Perikanan.
Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta. 163
Hal.
Boyd, C.E., 1990. Water Quality in Ponds for
Aquaculture.
Albama
Agricultural.
Experiment Station. Alburm univesity,
Albama. 477pp.
Kamaludin, I.,2011. Efektivitas Ekstrak Lidah
Buaya (Aloe vera) untuk Pengobatan Infeksi
Aeromonas hydophila
pada Ikan Lele
Dumbo (Clarias
sp) Melalui Pakan.
[Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 54 hlm.
Lukistyowati, I dan Kurniasih. 2011. Kelangsungan
Hdup Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) yang
diberi Pakan Ekstak Bawang Putih ( Allium
sativum ) dan diinfeksi Aeromonas
hydrophila. Jurnal Perikanan dan Kelautan,
16 (1): 144-160.
Minggawati, Infa dan Saptono. 2012. Parameter
Kualitas Air untuk Budidaya Ikan Patin
(Pangasius pangasius) di Karamba Sungai
Kahayan, Kota Palangka Raya. Jurnal Ilmu
Hewan Tropika. Vol. 1 (1)
Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit
Ikan.
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prasetio,E., M. Mursin 2015. Pengaruh Serbuk
Lidah Buaya (Aloe Vera) Sebagai
Immunostimulan
Terhadap
Tingkat
Kesembuhan Dan Histopatologi Ikan Nila
(Oreocromis Niloticus) Yang Di Infeksi

44

JURNAL RUAYA VOL. 5. NO .1. TH 2017
FPIK UNMUH-PNK

ISSN 2541 - 3155

Dengan Bakteri Aeromonas Hydrophila.
Buletin Al Ribaat. Vol. 12. No.2
Sari. N.W., I. Lukistyowati dan N. Aryani. 2012.
Pengaruh Pemberian Temulawak ( Curcuma
xanthorriza Roxb) Terhadap Kelulushidupan
Ikan Mas ( Cyprinus carpio L) Setelah Di
Infeksi Aeromonas hydrophila. J. Perikanan
dan Kelautan., 17 (2) : 43-59.
Setiaji, A., 2009. Efektivitas Ekstrak Daun Papaya
Carica papaya L. untuk Pencegahan dan
Pengobatan Ikan Lele Dumbo Clarias sp.
yang diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrohila.
[Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Stuart, R.W., Lefkowitz, D.L., Lincoln, J.A.,
Howard, K., Gelderman, M.P., Lefkowitz,
S.S., 1997. Upregulation of phagocytosis and
candidicidal activity of macrophages exposed
to the immunostimulant acemannan. Int. J.
Immunopharmacol. 19, 75-82.
Suryowidodo, C.W. 1988. Lidah Buaya (Aloe vera)
sebagai Bahan Baku Industri. Warta IHP.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Hasil Pertanian (BBIHP). Bogor.
Wahjuningrum, D., R. Astrini dan M. Setiawati.
2013. Pencegahan Infeksi Aeromonas
hydrophila Pada Benih Ikan Lele Clarias sp
yang Berumur 11 Hari Menggunakan
Bawang putih Allium setivum dan Meniran
Phyllanthus niruri. J. Akuakultur Indonesia.,
12 (1) : 94-104.

45