PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF DAN R

PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF
DAN REFLEKTIF
Indah Wahyu Puji Utami
Jurusa Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
indahwahyu.p.u@um.ac.id
Abstrak: Mahasiswa sebagai peserta didik perlu dipahami sebagai manusia
yang memiliki pikiran dan emosi. Namun, pembelajaran sejarah seringkali
menepatkan peserta didik sebagai obyek, sekedar sosok raga semata. Oleh
karenanya, sejarah sosial yang mengkaji berbagai aspek kehidupan manusia
di masa lampau memiliki potensi untuk memahami berbagai realitas di masa
lalu secara lebih manusiawi dan membantu peserta didik menjadi lebih humanis. Hal itu dapat dilakukan melalui pembelajaran yang emotif dan reflektif.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembelajaran sejara sosial yang
emotif dan reflektif. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran sejarah yang emotif memandang penting unsur emosi dalam belajar sejarah sehingga melahirkan empati, simpati, dan toleransi. Sementara itu agar tidak terjebak pada pembelajaran sejarah yang terlalu emosional maka diperlukan sikap kritis dan reflektif. Dengan mengambil
jarak dari masa lalu dan mendialogkannya dengan masa kini, maka peserta
didik dapat mengambil hikmah yang berharga dari pembelajaran sejarah bagi
kehidupannya di masa kini maupun masa depan.
Kata-kata kunci: humanis, emosi, refleksi, hikmah sejarah.

Pembelajaran sejarah memiliki potensi untuk menjadikan manusia lebih manusiawi. Sejarah mengajak untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia di masa lalu yang
selanjutnya dijadikan pijakan untuk menjalani kehidupan di masa kini dan masa yang
akan datang. Sejarah juga menyediakan referensi untuk menyelesaikan berbagai masalah

dalam kehidupan manusia. Berbagai potensi tersebut dapat dioptimalkan melalui pembelajaran sejarah yang reflektif.
Refleksi dalam pembelajaran bukanlah sebuah konsep yang baru. Pandangan mengenai pentingnya refleksi dapat dilacak dari pemikiran John Dewey (1933) yang mengungkapkan bahwa manusia tidak akan belajar banyak dari pengalamannya kecuali ia
mau merefleksikan pengalaman tersebut. Lebih lanjut Dewey mengungkapkan bahwa refleksi merupakan proses dialektis yang mengintegrasikan pengalaman dan ide.
Brockbank dan McGill (1998) mengungkapkan bahwa Dewey mendobrak
paradigma pembelajaran pada masanya yang memisahkan antara tubuh dan jiwa. Bagi
Dewey, keduanya merupakan dualitas yang tak terpisahkan. Belajar merupakan proses
yang melibatkan keduanya seperti yang ia ungkapkan sebagai berikut.
“…experience should be the initiating phase of thought for the learner, on the
grounds that, in ordinary life, we need an empirical situation (be it opportunity or
problem) to engage our interest and generate action. The reference to experience has
been dismissed by many as it deals with the body, appetites, the senses, the material
world, while thinking proceeds from the (perceived) higher faculty of reason and
spirit.”

Senada dengan Dewey, Hariyono (2013) mengungkapkan bahwa peserta didik bukan
hanya sekedar sosok raga yang hadir di kelas. Peserta didik yang menepati posisi sebagai
pembelajar adalah sosok raga yang terkait dengan kehidupan jiwa, mental, sosial, dan
1

spiritual. Ia tidak hanya memiliki pikiran tapi juga emosi. Keduanya merupakan bagian

tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Pentingnya refleksi dalam konteks pembelajaran juga diungkapkan oleh Bubnys (2010) sebagai berikut.
“Reflection should be integrated into entire education process by not separating it
from self-education aims. Reconstruction of experience is central, as well as it is a
continuous aim. In order learners to have achieved this aim, they should reflect by
analyzing their values, attitudes and emotions, which in their turn transform the understanding as well as give new meanings for ideas by relating them to previous
knowledge and obtained information. Reflection, when learning from own experience, stimulates taking of responsibility for one’s actions and decisions.”

Refleksi merupakan proses yang melibatkan seluruh potensi diri manusia, baik jiwa
maupun raga. Pengalaman atau sensasi yang baru dialami akan didialogkan dengan
pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Hasilnya bisa berupa perubahan cara pandang atau cara berpikir menjadi lebih baik. Keputusan yang diambil oleh
manusia melalui pertimbangan tententu. Dengan demikian manusia tidak sekedar mengandalkan reflek, tetapi refleksi dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi.
Setiap pembelajaran, termasuk pembelajaran sejarah, seharusnya diarahkan untuk
mengajak peserta didik melakukan refleksi agar pegetahuan sejarah yang baru didapat
menjadi lebih bermakna bagi mereka yang hidup di masa kini (Utami, 2015). Refleksi
dalam pembelajaran sejarah juga penting dilakukan agar peserta didik mampu mengambil
hikmah dari peristiwa yang telah terjadi. Ia juga diajak untuk lebih peka dalam menyikapi
berbagai problematika dalam sejarah manusia, termasuk sejarah sosial.
Sejarah sosial merupakan salah satu cabang sejarah yang mengkaji berbagai aspek
sosial kehidupan manusia. Bidang kajian sejarah ini lahir sebagai reaksi terhadap dominasi sejarah politik yang didominasi oleh orang-orang besar. Sejarah sosial hendak memberikan ruang bagi aspek-aspek lain dari kehidupan manusia yang belum banyak diungkap seperti sejarah orang-orang kecil, kaum marjinal, sejarah kehidupan sehari-hari,

dan sebagainya. Sejarah sosial mengajak kita untuk memahami perjalanan sejarah kehidupan manusia dalam berbagai aspek dengan segala kompleksitasnya. Belajar sejarah sosial
tidak hanya menuntut pemahaman atas data dan fakta sejarah, melainkan mengajak untuk
memahami gerak dan denyut perubahan sejarah yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sosialnya. Oleh karenanya mempertemukan pembelajaran reflektif
dengan sejarah sosial akan sangat bermanfaat bagi peserta didik. Dalam pembelajaran sejarah sosial yang reflektif, manusia tidak hanya direduksi sebagai kata benda apalagi
angka.
Pembelajaran sejarah sosial yang emotif dan reflektif menjadi semakin diperlukan
karena kecenderungan dunia pendidikan kita saat ini yang lebih didominasi oleh company
value daripada academic value maupun humanism value. Pendidikan dewasa ini mengarahkan peserta didik pada kebutuhan praktis, terutama untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak, bukan untuk pengembangan ilmu apalagi pengembangan diri. Pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dunia kerja, terutama industri yang memerlukan
tenaga siap kerja tanpa perlu kemampuan berpkir kritis. Selain itu nilai-nilai kompetitif
dalam company value juga sangat mendominasi sehingga peserta didik cenderung untuk
bersaing daripada bekerja sama. Model pembelajaran seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Jepang 1990-an. Jepang berusaha melakukan perubahan dalam dunia

x
E
p
c
n
e
i

r
o
a
t
m
R
f
C
z
l
u

pendidikan yang oleh Manabu Sato (2013) disebut sebaai silent revolution. Perubahan ini
berjalan secara senyap dari balik dinding ruang-ruang kelas. Lewis (1995) menyebut
bahwa usaha yang dilakukan oleh Jepang membawa dampak yang luar biasa dalam dunia
pendidikan di sana. Ia menyebut bahwa pendidikan di Jepang tidak hanya mendidik pikiran saja, tapi juga menyentuh aspek hati atau emosi peserta didik.
Pembelajaran reflektif merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk
mendidik pikiran dan hati peserta didik. Dalam model ini, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami materi atau bahan kajian tapi juga melakukan perenungan untuk
mengaitkannya dengan pengalaman keseharian mereka serta mengambil hikmah untuk
kehidupannya di masa depan. Tanpa proses refleksi ini, maka pengetahuan dan pengalaman belajar mereka akan menjadi kurang bermakna.

Dalam konteks pembelajaran sejarah sosial, pembelajaran reflektif tidak sekedar
mengaitkan realitas sejarah dengan kehidupan mahasiswa di masa kini, tapi juga untuk
memahami aspek dalam dari manusia yaitu pikiran, hati, dan emosi atau perasaan. Setiap
pelaku sejarah dipahami sebagai subyek dalam sejarah. Mereka adalah manusia yang
tidak hanya punya raga tapi juga jiwa. Mereka memiliki pikiran, hati dan emosi. Memahami sejarah sosial tanpa memperhatikan aspek emosi dan perasaan para pelaku sejarah
sebenarnya juga mengarah pada pembelajaran yang kurang manusiawi karena mereduksi
para pelaku sejarah hanya sebagai nama atau kumpulan manusia yang tidak berjiwa. Oleh
karenanya aspek emosi sebenarnya perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran sejarah sosial. Dengan demikian refleksi yang dilakukan akan benar-benar bermakna dan
tidak hanya menyentuh aspek pemikiran namun juga emosi atau perasaan. Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa mendidik pikiran tanpa mendidik hati sebenarnya bukan pendidikan sama sekali.
Para ahli pendidikan telah mengemukakan beberapa model pembelajaran reflektif
seperti Dewey dan Kolb. Model pembelajaran reflektif John Dewey dapat dilihat dalam
gambar berikut.

Gambar 1. Siklus pembelajaran reflektif Dewey
.

3

Sementara itu David A. Kolb (1984) mengembangkan experiential learning yang sebenarnya merupakan pengembangan dari pembelajaran reflektif. Baginya, belajar merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dan didasarkan pada pengalaman. Belajar
merupakan proses untuk mengonstruksi dan mentransformasikan pengalaman menjadi

pengetahuan.

tn
c
A
v
f
R
E
rim
e
p
x
o
a
O
u
C
s
b

lz

Gambar 2. Siklus pembelajaran reflektif Kolb
Bigge (2004) menambahkan bahwa pembelajaran reflektif selalu melibatakan problem
raising dan problem solving. Model pembelajaran reflektif Dewey dan Kolb tersebut kemudian dipadukan dengan pendapat Bigge yang menyediakan frame untuk diterapkan
dan dikembangkan dalam pembelajaran sejarah sosial.
METODE
Penelitian mengenai pembelajaran sejarah sosial emotif dan reflektif ini dilaksanakan pada mahasiswa Jurusan Sejarah FIS UM Angkatan 2013 Offering C yang menempuh matakuliah Sejarah Sosial. Data yang dikumpulkan meliputi berbagai aktivitas
mahasiswa dalam pembelajaran Sejarah Sosial. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, diskusi terfokus, dan dokumentasi yang dibantu dengan pedoman observasi, kamera, dan perekam video. Sementara analisis data dilakukan dengan menggunakan model
interaktif Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2002) yang terdiri dari penyajian data, reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan.
PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF DAN REFLEKTIF
Sejarah Sosial merupakan salah satu matakuliah wajib pada Prodi S1 Pendidikan
Sejarah FIS UM. Matakuliah ini mengkaji berbagai aspek kehidupan sosial manusia di
masa lampau. Pembelajaran sejarah sosial pada Prodi S1 Pendidikan Sejarah diarahkan
pada pendekatan tematis dan berorientasi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir reflektif di kalangan peserta didik melalui analisis terhadap peristiwa-peristiwa sejarah

(Utami, 2015). Dalam mendorong mahasiswa untuk berpikir reflektif tentu saja perlu
melibatkan berbagai aspek dalam diri mahasiswa termasuk emosi untuk dapat memahami
dan menghayati pemikiran, perasaan atau emosi dari para pelaku sejarah. Dengan
demikian pembelajaran diharapkan bisa lebih hidup dan humanis.

Pembelajaran sejarah sosial yang emotif dapat dengan mudah tergelincir pada pembelajaran yang emosional dan cenderung tidak rasional. Padahal, sejarah merupakan ilmu
yang logis, empiris dan rasioal sehingga diperlukan pula sikap kritis dan reflektif.
Pembelajaran sejarah sosial emotif dan reflektif dikembangkan dari model pembelajaran reflektif Kolb yang merupakan penyempurnaan dari model Dewey. Selain itu juga
dikombinasikan dengan pembelajaran reflektif menurut Bigge seperti pada gambar 3.
Pertama, concrete experience mengacu pada pengalaman-pengalaman yang telah
dimiliki oleh mahasiswa. Pengalaman tersebut kemudian dikaitkan dengan tema atau
topik pembelajaran yang akan dibahas. Hal ini penting untuk dilakukan karena sebagai
sebuah proses sosial, belajar tidak terjadi dalam ruang hampa. Mahasiswa tidak masuk
dalam kelas dalam kondisi kosong, tapi mereka sebenarnya telah memilki pengalaman
yang sangat kaya dan bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran. Dosen menugaskan pada
mahasiswa untuk mencari permasalahan yang terkait dengan topik yang akan dipelajari
dalam kelas berdasarkan pengalaman atau pengetahuan mereka sebelumnya. Sebagai contoh, sebelum membahas tema sejarah masyarakat pendukung kebudayaan Indis, mahasiswa diminta untuk mencari permasalahan yang terkait dengan tema tersebut, misalnya
mahasiswa sering melihat berbagai bangunan Indis di kota Malang, lalu muncul pertanyaan mengapa bentuk bangunannnya berbeda dengan masa sekarang? Mengapa
berbeda dengan bangunan di Belanda? Mengapa berbeda dengan bangunan lokal? Mengapa sampai muncul kebudayaan Indis? Siapa saja yang mendukung kebudayaan Indis?
Mahasiswa diminta untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut melalui
studi literatur. Hal ini merupakan tahap kedua, yaitu reflective observation yang
bermakna tidak sekedar mengamati, membaca atau memanfaatkan sumber belajar semata, namun juga berusaha mengaitkannya dengan pengalaman sebelumnya sehingga terbentuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik. Mahasiswa diajak untuk menjawab
berbagai permasalahan yang muncul (atau dimunculkan) dalam tahap sebelumya melalui
eksplorasi terhadap berbagai sumber belajar baik berupa buku, artikel, maupun pengalaman sebelumnya sehingga terbentuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik.
Pada tahap ketiga, conceptualization writing, mahasiswa diminta untuk melakukan

abstraksi dan menuliskan pemahaman konseptualnya untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan berdasarkan berbagai sumber. Penulisan itu dapat berupa reading report ataupun esai sesuai dengan tema yang akan dibahas di kelas.
Reading report dan esai yang ditulis oleh mahasiswa tidak hanya berisi abstraksi
atau konsep-konsep yang telah dipahami. Mahasiswa juga diminta untuk menuliskan
pelajaran berharga yang didapatkan dari studi literature yang ia lakukan bagi kehidupannya di masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, studi leiteratur yang dilakukan menjadi lebih bermakna. Kegiatan ini merupakan tahap keempat, yaitu reflective
experimentation writing.

5

Problem
raising

Prblem raising

1. Concerete Experience

2. Reflective

outside classroom

Problem

solving
Observation
Prblem raising

3. Conceptualization
Writing
4. Reflective

Problem
Prblem raising
Experimentation
Writing
raising

5. Reflective
Observation

inside classroom

Problem solving

6. Reflective
Discussion
Prblem raising

7. Abstract
Conceptualization
8. Reflective
Experimentation Writing

Gambar 3. Model Pembelajaran Sejarah Sosial Reflektif

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimunculkan dan dijawab pada tahap kelima yantiu
reflective observation. Mahasiswa mengamati media pembelajaran interaktif yang disajikan oleh dosen. Selanjutnya mahasiswa mengaitkannya dengan reading report atau
esai yang telah ditulis sebelumnya sehingga terbentuk pemahaman yang lebih baik. Pada
tahap ini juga muncul berbagai permasalahan yang selanjutnya dibahas oleh mahasiswa
secara kolaboratif dalam tahap kelima yaitu reflective discussion.

Reflective discussion dilakukan mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil.
Karena mahasiswa sudah memiliki bekal pemahaman sebelumnya, maka kegiatan diskusi
menjadi lebih hidup. Mahasiswa mencoba membagi dan mendiskusikan pemahaman
mereka masing-masing dalam diskusi untuk memecahkan permasalahan yang muncul
(dimunculkan) sebelumnya. Mereka dapat saling belajar dengan teman-temannya dalam
kelompok dan mengkonstruksikan pengalaman dan pemahaman yang lebih baik. Sebagai
hasil dari aktvitas tersebut, mahasiswa dapat melakukan abstract conceptualization yang
merupakan tahap ketujuh.
Tahap kedelapan dalam pembelajaran sejarah sosial reflektif adalah reflective experimentation writing. Mahasiswa diminta untuk melakukan refleksi dan menuliskan
pelajaran berharga yang ia dapatkan dari keseluruhan proses pembelajaran yang dilakukan, baik yang di luar kelas maupun di dalam kelas. Refleksi yang dihasilkan mahasiswa pada tahap ini lebih baik daripada yang dihasilkan pada tahap keempat karena sudah ada proses saling berbagi dan saling belajar dengan sesame mahasiswa mamupun
dosen dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Hasil dari tahap kedelapan ini kemudian menjadi pengalaman dan pengetahuan yang berharga dan bermakna bagi mahasiswa
baik di masa kini maupun masa depan serta dapat dimanfaatkan bagi pembelajaran
berikutnya. Dengan demikian mahasiswa juga terdorong untuk terus belajar dan menjadi
active learner.
Mahasiswa tidak hanya memanfaatkan aspek pengetahuan dalam pembelajaran sejarah sosial tapi juga aspek emosi. Memahami masyarakat dan sejarahnya tentu saja tidak
hanya mengenai aspek luar, namun juga aspek dalam diri manusia, termasuk emosi. Sebagai contoh, saat membahas sejarah masyarakat pendukung kebudayaan Indis, mahasiswa
tidak hanya diajak untuk memahami hasil-hasil budayanya dan masyarakat pendukungnya namun juga diajak untuk memahami alam pikiran dan emosi orang-orang
yang hidup dan terlibat dalam pembentukan lebudayaan Indis. Misalnya, dalam
masyarakat Indis terdapat orang-orang Indo yang merupakan keturunan campuran dari
orang Eropa dengan bumiputera. Orang-orang Indo secara fisik berbeda dengan kedua
orang tuanya, begitu juga secara sosial dan kultural. Sebagian besar orang-orang Indo di lahirkan dari para gundik. Bila sang ayah mau mengakui, maka seorang anak Indo akan
dibaptis dan dicatatkan kelahirannya serta diakui sebagai bagian dari masyarakat Eropa,
namun jika sang ayah tidak menghendaki, maka anak ini beserta ibunya bisa diusir dengan mudah. Hidup tentu saja tidak mudah bagi orang-orang Indo. Walaupun secara
hukum mereka dapat diakui layaknya orang Eropa, namun masyarakat Eropa juga tidak
bisa menerima dan memperlakukan mereka layaknya orang Eropa lainnya karena dalam
darahnya mengalir darah ibunya yang merupakan bumiputera yang dipandang rendah
oleh masyarakat Eropa. Mahasiswa diajak untuk memahami kegalauan yang dialami oleh
orang-orang Indo ini sehingga mereka pun bisa memahami posisi orang-orang Indo
dalam masyarakat pendukung kebudayaan Indis.
Contoh lain, saat membahas mengenai pergundikan yang marak dalam masyarakat
pendukung kebudayaan Indis, mahasiswa diajak untuk masuk dalam alam pikiran para
perempuan yang menjadi gundik. Mereka diajak untuk membayangkan betapa sulitnya
hidup sebagai gundik pada masa itu. Posisi perempuan-perempuan yang menjadi gundik
sangat lemah karena mereka bisa diusir kapan saja oleh tuan Eropa yang hidup dengan nya. Bagi masyarakat Eropa, para perempuan ini dipandang rendah, sementara itu
masyarakat bumiputera juga menganggap mereka rendah karena hidup bersama dengan

7

lelaki Eropa tanpa ikatan pernikahan. Para gundik dianggap sebagai perempuan-perempuan yang bermoral rendah. Namun bagaimana perasaan para perempuan ini? Tentu saja
menjadi gundik bukanlah cita-cita para perempuan ini. Keadaan memaksa mereka terlibat
dalam hubungan pergundikan. Posisi yang lemah membuat para perempuan tersebut terlibat dalam praktik pergundikan meskipun mereka sebenarnya tidak menginginkannya.
Meskipun demikian, diakui atau tidak, para gundik tersebut memainkan peranan yang
penting dalam pembentukan kebudayaan Indis. Merekalah yang menjadi jembatan
penghubung antara kebudayaan Barat dan Timur.
Pembelajaran yang emotif ternyata mampu melahirkan simpati, empati dan toleransi di kalangan mahasiswa yang tampak baik dalam proses pembelajaran maupun refleksi yang dituliskan dan diungkapkan oleh mahasiswa. Sebagai contoh, salah seorang
mahasiswa mengungkapkan bahwa ia merasa kasihan dengan para gundik yang diperlakukan tidak adil dalam masyarakat Indis. Selain itu ada juga yang mengungkapkan
bahwa fenomena pergundikan tidak dapat dipandang secara hitam dan putih. Perempuan
yang menjadi gundik bukan berarti tidak bermoral atau tidak punya perasaan sebab
banyak di antara mereka menjadi gundik karena keterpaksaan.
Simpati, empati dan toleransi yang muncul dalam pembelajaran sejarah sosial
hanya dimungkinkan jika mahasiswa diajak untuk memahami unsur dalam para pelaku
sejarah. Para pelaku sejarah adalah manusia yang punya pikiran dan perasaan sama
seperti mahasiswa. Pelibatan aspek emosi dalam pembelajaran sejarah sosial didukung
dengan sikap kritis dan reflektif ternyata mampu menarik minat mahasiswa dan membuat
pembelajaran menjadi lebih bermakna. Mahasiswa mampu mengambil pelajaran berharga
dari pembelajaran sejarah sosial yang ia alami. Pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam pembelajaran sejarah sosial selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi kehidupan
mereka di masa kini maupun yang akan datang. Pengetahuan dan pengalaman tersebut
juga menjadi bekal bagi mahasiswa untuk mempelajari topik-topik sejarah lainnya.
Pembelajaran sejarah sosial emotif dan reflektif selalu melibatkan proses problem
raising dan problem solving. Mahasiswa dibiasakan untuk memiliki sensitifitas terhadap
permasalahan yang ada di sekitarnya dan terkait dengan topik sejarah sosial yang sedang
dibahas. Hariyono (2013) mengungkapkan kepekaan terhadap masalah hanya muncul
setelah kita berani dan terbiasa bertanya. Melalui pertanyaan manusia bisa memperbaharui makna sesuatu. Proses tersebut terjadi dalam ruang pikir, rasa, dan batin seseorang
yang akan mempengaruhi proses kesadaran manusia untuk menemukan dirinya sendiri.
Realitas yang terjadi dalam sejarah manusia tidak dipandang sebagai proses yang
alami dan tak terelakkan. Mahasiswa didorong untuk berusaha mencari jawaban dari
masalah yang ia ajukan terkait dengan realitas sejarah. Dalam hal ini mahasiswa diajak
untuk berfikir dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Hal ini penting untuk dibiasakan di kalangan mahasiswa agar mereka mampu menghadapi dan memecahkan berbagai permasalahan yang akan dihadapi dalam kehidupannya sendiri baik di masa kini
maupun yang akan datang. Keterampilan untuk bertanya dan memecahkan permsalahan
merupakan soft skill yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya.
SIMPULAN
Pembelajaran sejarah sosial memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan
mahasiswa. Pembelajaran tersebut juga mengembangkan potensi diri mahasiswa agar
menjadi lebih humanis. Manusia tidak direduksi menjadi kata benda atau deretan angka

yang tidak berarti. Mahasiswa diajak untuk memahami bahwa para pelaku sejarah yang
mereka pelajari dalam sejarah sosial adalah manusia yang punya pemikiran dan perasaan.
Mereka juga diajak untuk memahami alam pikiran dan perasaan para pelaku sejarah sehingga bisa memandang sejarah secara lebih berwarna. Pembelajaran sejarah sosial yang
reflektif tidak hanya terbatas di dalam ruang kelas, tapi juga di luar kelas. Mahasiswa memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya sebagai bekal untuk mengajukan
permasalahan dan memecahkannya dalam proses pembelajaran. Pelibatan aspek emosi
dan kemampuan berpikir kritis serta reflektif membuat pembelajaran sejarah sosial lebih
bermakna.

RUJUKAN
Bigge, M.L. 2004. Learning Theories fo Teachers. New York: Harper & Row.
Brockbank, A. dan Ian McGill. 1998. Facilitating Reflective Learning in Higher Education. Buckingham: SHRE and Open University Press.
Bubnys R., Z. V. (2010). Reflective Learning Models in the Context of Higher Education:
Concept Analysis. Problems of Education in the 21st Century (Issues in Educational Research-2010), Vol. 20, p. 58-70.
Dewey, J. 1933. How We Think. Boston: D. C. Heath & Co., Publishers. Dari Project Guttenberg, (Online), (http://www.gutenberg.org/files/37423/37423-h/37423h.htm), diakses 1 Juli 2015.
Hariyono. 2013. Dialektika Manusia dan Sejarah. Makalah disajikan dalam Workshop
Kesejarahan Guru Sejarah yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah dan
Nilai Budaya Kemdikbud di Surabaya tanggal 25 Oktober 2013.
Kolb, D. A. 1984. Experiential learning: experience as the source of learning and development. New Jersey: Prentice-Hall.
Lewis, C.C. 1995. Educating Hearts and Minds: Reflections on Japanese Preschool and
Elementary Education. Cambridge: Cambridge University Press.
Sato, M. 2013. Mereformasi Sekolah: Konsep dan Praktek Komunitas Belajar. Tokyo: International Development Center of Japan.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Utami, I.W.P. 2015. Kemampuan Mahasiswa melakukan Refleksi dalam Pembelajaran
Sejarah Sosial. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Lesson Study
Fakultas Ilmu Sosial UM yang dilaksanakan di Hotel Atria tanggal 25 Agustus 2015.

9