Kata Kunci: pola resistensi, gugat cerai, perceraian, dominasi A. PENDAHULUAN - View of POLA RESISTENSI PEREMPUAN TERHADAP DOMINASI SUAMI

  

POLA RESISTENSI PEREMPUAN TERHADAP DOMINASI SUAMI

(Studi Kasus Gugat Cerai Perempuan PNS Di Kabupaten Banyuwangi)

Lely Ana Ferawati Ekaningsih Institut Agama Islam Darussalam Banyuwangi Awardee LPDP

  

Abstrak: Penelitiaan ini membahas bagaimana pola resistensi perempuan

  terhadap dominasi suami. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Banyuwangi, karena tingginya tingkat perceraian. Metode penelitian menggunakan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam (indept interview). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan interaktif model, yang terdiri dari tiga komponen yaitu: pengumpulan data (data collection), reduksi data (data

  

reduction) , penyajian data (data display), kesimpulan dan verifikasi data

(conclution drawing and verifying) . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pola

  Resistensi perempuan terhadap dominasi suami jika dilihat dari segi bentuk dominasi suami yang menjadi penyebab istri/perempuan melakukan resistensi yang ditemukan dilapangan adalah Pengambilan Keputusan.

  Kata Kunci: pola resistensi, gugat cerai, perceraian, dominasi A. PENDAHULUAN

  Terjunnya perempuan ke dunia bisnis maupun politik membuktikan bahwa perempuan memiliki keahlian, mobilitas, ambisi, wawasan dan kompensasi yang sama dengan laki-laki, sehingga tidak dapat diremehkan lagi. Namun pada realitasnya, peluang tersebut bukan berarti tanpa hambatan. Ternyata perempuan di dunia kerja tidak selalu mendapat dukungan dari lingkungan terdekat ataupun organisasi tempat kerja. Kondisi seperti ini potensial memunculkan konflik, terutama pada perempuan pekerja/karir yang sudah menikah. Perempuan tersebut akan berperan ganda sebagai ibu rumah tangga (istri dan ibu dari anaknya) dan juga sebagai pekerja. Setiap peran tentu saja menuntut konsekuensi dan tanggung jawab yang berbeda dan terkadang saling bertentangan. Dalam situasi ini sering kali perempuan karir harus menentukan perioritas utama yang akan dipilihnya. Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya tuntutan terhadap perempuan karir/pekerja untuk tetap menampilkan kinerja terbaiknya, sekalipun dia telah menikah dan juga mempunyai peran sebagai ibu/istri di keluarga.

  Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Stoller (dalam Sunaryo,

  1

  dan Zuriah) mengenai wanita pedesaan di Jawa Tengah, menyatakan bahwa:”Bekerjanya wanita bukanlah disebabkan oleh suatu pembagian kerja seksual, tetapi karena memperoleh sumber-sumber strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin. Wanita memperoleh otonomi kebebasannya tidak berdasarkan dengan siapa mereka bekerja, tetapi disebabkan oleh sifat-sifat keluwesan dan sumber- sumber penghasilan yang ada pada mereka”. Budaya patriarki yang masih kental karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah sehingga dapat dimanfaatkan, dieksploitasi dan dipekerjakan dengan tidak manusiawi, sehingga mengakibatkan perempuan/istri mengalami resistensi (perlawanan), baik secara terang-terangan (public transcript) maupun secara sembunyi-sembunyi (hidden trancript). Teori resistensi baik secara terang- terangan maupun resistensi sembunyi-sembunyi, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, diadopsi dari James C. Scott ketika menganalisa perilaku petani di sebuah pedesaan Malaysia dalam menghadapi dominasi para petani kaya dan elite berkuasa. Meskipun analisa hidden transcript dan public transcript digunakan Scott untuk mengalisa sebuah komunitas, dalam hal ini komunitas petani di salah satu pedesaan Malaysia, sementara unit analisa dalam penelitian ini adalah individu atau perempuan/istri, hemat peneliti teori Scott cukup membantu menjelaskan resistensi wantia/istri terhadap dominasi suami. Secara umum bentuk resistensi perempuan/istri secara sembunyi-sembunyi yaitu berupa menggerutu, berkata kasar, menarik diri dari pertemuan dan bersikap acuh tak acuh. Sedangkan bentuk resistensi perempuan/istri secara terang-terangan dapat berupa gugat cerai/cerai gugat.

  Gugat cerai/cerai gugat merupakan salah satu bentuk resistensi terang- 1 terangan seorang perempuan/istri terhadap dominasi suami. Hal ini banyak

  

Sunaryo, Heri dan Zuriah, Nurul. 2003. Pola Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga Wanita Karier di Kota Malang. Jurnal Pemberdayaan Perempuan . Vol.3 No. 2 Desember. Di akses tanggal 22 dilakukan baik dikalangan perempuan/istri yang berkarier (Pegawai Negeri Sipil/PNS) maupun perempuan/istri yang bekerja (TKW) dan perempuan/istri ibu rumah tangga biasa. Resistensi perempuan/istri secara terang-terangan yang berupa gugat cerai di Kabupaten Banyuwangi sangat banyak. Hal ini di tunjukkan dari jumlah kasus perceraian di Kantor Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi pasca lebaran meningkat 27 persen, yang biasanya hanya 30 sampai 37 pasangan per hari yang mengajukan gugat cerai, tapi kini bisa mencapai 47 gugatan cerai per hari. Wakil Panitera PA Banyuwangi, Abdul Hamid meyakini jumlah itu akan terus meningkat seiring banyaknya perkara gugatan cerai yang masuk. Tingginya angka perceraian juga melanda kalangan pegawai negeri sipil (PNS) tahun 2008 tercatat 55 PNS mengajukan gugatan cerai, tahun 2009 tercatat 20 PNS sudah mendaftarkan perceraian. Pemicunya juga beragam yang salah satunya karena orang ketiga. Rata-rata para PNS mengajukan cerai karena kasus perselingkuhan.

  Angka perceraian di kalangan PNS Banyuwangi juga tergolong tinggi dibanding

2 Kabupaten lain di Jawa Timur .

B. PERMASALAHAN PENELITIAN

  Resistensi perempuan/istri karier dalam hal ini adalah gugat cerai Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap dominasi suami menarik untuk diteliti, karena asumsi adanya gap/kesenjangan dalam hal-hal tertentu yang tidak bisa lagi dikompromikan oleh istri. Kesenjangan ini membuat tidak nyaman dan tidak ada kecocokan lagi dengan suaminya. Untuk itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana proses resistensi itu berlangsung.

C. METODE PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian ini di Kabupaten Banyuwangi. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah studi kasus pada perempuan/istri yang berkarier (Pegawai Negeri Sipil/PNS) dan melakukan resistensi terhadap dominasi suami.

  2. Teknik pengumpulan data

  Guna menjaring data, penelitian dilakukan dengan menggunakan cara yaitu: wawancara mendalam (indept interview). Wawancara merupakan proses interaksi antara peneliti dengan responden atau informan untuk memperoleh data atau informasi untuk kepentingan tertentu. Wawancara mendalam merupakan suatu cara memperoleh data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang di teliti

  3

  . Wawancara ini digunakan karena untuk mengetahui secara mendalam tentang berbagai macam informasi yang berkaitan dengan persoalan yang diteliti, dalam hal ini.

  3. Teknik Analisa Data

  Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan interaktif model, yang terdiri dari tiga komponen yaitu: pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data

  display) , kesimpulan dan verifikasi data (conclution drawing and verifying)

  4 .

D. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Resistensi Perempuan Terhadap Dominasi Suami a. Bentuk-bentuk dominasi suami

  Bentuk dominasi suami yang menjadi penyebab istri/perempuan melakukan resistensi yang ditemukan dilapangan adalah Pengambilan Keputusan. Dalam pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk dominasi suami. Dimana saat ada permasalahan di dalam keluarga, suami melaksanakan pengambilan keputusan secara mendominasi dengan berdasarkan pemikiran dan kamauan serta harapan suami tanpa meminta pertimbangan atau menghiraukan pendapat orang lain dalam hal ini anggota keluargaataupun istrinya. Hal ini tentu saja berpengaruh pada kemampuan pemecahan masalah dalam keluarga. Hal ini terjadi pada kondisi 3 Bungin (Ed), Burhan. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian

  Kontemporer . Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal 57 Ibu E dan ibu A yang setiap keputusan di dalam keluarga, suami selalu mendominasi tanpa adanya masukan ataupun pertimbangan dan pendapat dari

  5

  sang istri. Dalam penelitian yang sudah dilakukan oleh Adhini (2005) ditemukan bahwa dari hasil analisisnya menunjukan adanya hubungan yang sangat signifikan antara dominasi suami dalam pengambilan keputusan dengan kemampuan pemecahan masalah dalam keluarga artinya semakin tinggi dominasi suami dalam pengambilan keputusan maka semakin rendah kemampuan pemecahan masalah dalam keluarga.

b. Bentuk-bentuk resistensi

  Resistensi (pelawanan) sebenarnya merupakan tindakan dilakukan oleh masyarakat lemah yang berada pada struktur bawah terhadap pihak kuat yang berada pada struktur atas/penguasa. Hubungan di antara satu pihak yang lemah (masyarakat) dan pihak lain yang kuat (penguasa) menurut Bernand dan Jonathan

  6 sesungguhnya berada pada suatu hubungan kekuasaan yang tidak seimbang .

  Karena hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bawah berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentuk-bentuk resistensi tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal resistensi yang seri dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk:

  1) Resistensi tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap katagori-katagori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak peguasa. Menurut Scott, bentuk resistensi ini muncul karena masyarakat petani (di desa) tidak 5 berpretensi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem

  Adhini, Retno. 2005. Hubungan Dominasi Suami Dalam Pengambilan Keputusan Dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Dalam Keluarga . 6 Diakses tanggal 7 Oktober 2012 Bernand, Alan dan Jonathan Spencer. 1997. Encylopdia of Social and Cultural Anthopology. London.

  7

  yang berlaku yang bersifat eksploitatif dan tidal adil . Tujuan bentuk resistensi tertutup ini menurut Bloch adalah untuk mengurangi eksploitasi

  8 atas diri mereka .

  2) Semi-terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaim

  9

  kepada pihak yang berwenang. James Scott diwujudkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Bentuk resistensi ini juga dapat dilakukan secara legal melalui pengadilan seperti temuan Cai di

10 Cina . Menurut Bloch, resistensi semi-terbuka pada dasarnya merupakan

  kelanjutan atau peningkatan dari resistensi tertutup dan sudah mengarah

  11 pada terjadi huru-hara .

  3) Resitensi terbuka (sungguhan) merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi, sistematis, dan berprinsip. Menurut James Scott, resistensi terbuka ini mempunyai dapak-dampak yang revolusioner. Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent)

  12 seperti pemberontakan .

  Teori resistensi dari James Scott (1976) yaitu sebuah bentuk perlawanan sehari-hari yang dilakukan oleh kelompok lemah (everyday forms of resistance). Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan istri terhadap suami yang sudah mendominasi, mendiskriminasi ataupun mengeksplotasinya.

  Terjadinya resistensi masyarakat dapat diakibatkan oleh beberapa faktor: 1)

  Faktor sosio-psikologis yakni masyarakat mengalami deprivasi relatif yang menurut Gurr terjadi karena adanya kesenjangan antara harapan dan

  13 7 kemampuan/kenyataan yang dialami oleh masyarakat . 8 Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal 302 9 Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hal 323 Ibid Hal 303

  10 Cai, Yongshun, 2005. “China’s Moderate Middle Class: The Case of Homeowers Resisteance” dalam Jurnal Asian Survey. Vol. 45. The Regent of The University of Calofornia. Diakses dari , tanggal 8 Agustus 2012 11 . 12 Ibid Hal 232 13 Ibid Hal 306

Robert, Gurr Ted. 2002 “Deprive Relatif dan Kekerasan” dalam Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan.

  Jakarta. Ghalia Indonesia bekerja sama Universitas Kristen Petra. Hal 80

  2) Faktor sistem budaya yang menurut Bluth sudah tidak sesuai lagi tatanan nilai dan norma yang telah terinternalisasi dalam tatanan kehidupan

  14 masyarakat .

  3) Faktor struktural yakni adanya kondisi struktural (sosial politik) yang menurut Smelser memungkinkan masyarakat mempunyai ruang gerak

  15 dalam memanifestasikan aspirasinya .

c. Dampak kesadaran gender terhadap keutuhan keluarga

  Perempuan yang bekerja sering dituntut untuk tetap memiliki tanggungjawab pada keluarga sepenuhnya, dan apabila keluarga tidak berkembang dengan baik, perempuan akan dianggap sebagai penyebabnya dan diminta untuk kembali ke rumah. Sejauh manakah pembagian kerja di dalam keluarga dibebankan kepada perempuan?

  Pada suami melekat kedudukan sebagai pelindung keluarga (qawwamuuna

  ala an- nisa’) karena itu kesetiaan isteri tetap terjaga manakala suami dapat

  memerankan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Hilangnya status

  qawwamuuna ala an- nisa’ dari suami memaksa isteri bekerja, dengan itu dia

  dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan merasa dapat hidup mandiri tanpa bantuan suami, bahkan karena itu kesetiaannya pada suami hilang dan meng- gugatnya. Keinginan untuk lepas dari ikatan perkawinan dengan suami makin menguat ketika menemukan suami sudah tidak lagi jujur dalam memegang janjinya, suami bermain api di belakang isteri dengan berselingkuh bersama wanita lain. Hadirnya pihak ketiga ini menjadi sebab terjadinya perceraian. Permainan api ini melukai hati isteri dan mengecewakannya sehingga isteri terdorong melakukan gugatan cerai karena dia melihat hilangnya kejujuran suami pada janji setianya yang diikrarkan pada waktu menikah, kenyataan ini dapat di- lihat pada kasus ibu E.

14 Bluth, B.J. 1982. Parson’s General Theory of Action:A Summary of the Basic Theory. California. Granada

  Hill. Hal 37

  Rapuhnya perkawinan yang berakhir dengan cerai karena hadirnya pihak ketiga tidak saja dialami oleh suami tetapi terjadi pula pada isteri sehingga suami terpaksa menceraikannya, seperti yang terjadi pada Bapak L, Istrinya tergoda oleh laki-laki lain karena dia melihatnya lebih keren dari pada suaminya, terlebih jika laki-laki itu berharta. Istri melihat laki-laki itu dapat memenuhi kebahagiaan yang diimpikannya karena dia dipandang “lebih” dari pada suaminya karena itu isteri rela menggugat agar suaminya menceraikannya. Godaan ini sangat mempengaruhi langgengnya perkawinan sehingga agama Islam meminta setiap suami atau isteri untuk menahan pandangannya dan menutup mata serta me- melihara kemaluannya (Al-

  Qur‟an Surat An-Nur; 30-31). Perceraian bukanlah keinginan dasar para isteri, meski mereka menjalani hidup yang sulit mereka rela menerimanya selama suami yang mendampinginya dapat mengayomi mereka sebagai kepala rumah tangga yang dapat memberikan perlindungan (al-wilayah), bimbingan (ar-

  ri’ayah) dan mencukupi (al-kifayah)

  kebutuhan mereka, sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu E, ibu A. laki-laki yang ideal adalah bapaknya dia mengidolakan bapaknya sebagai suami yang baik. Di bawah suami yang seperti itu cita-cita keluarga sakinah dapat terwujud, keluarga yang di pimpin oleh suami bertanggung jawab, saling mengerti, dan berwibawa.

  Kewibawaan suami diapresiasi oleh isteri manakala suami mempunyai al-

  

ba’ah (kemampuan) sebagaimana dituntun oleh agama yaitu kemampuan lahiriah

  batiniah, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abdullah bin Mas ‟ud. Di sini perlunya suami istri se-kufu, yaitu keseimbangan antara keduanya baik dalam hal agama maupun status sosial, misalnya; pekerjaan, kecantikan, pendidikan dan keturunan.

  Kufu ini menumbuhkan kebanggaan isteri untuk berjalan bersama suaminya,

  seperti yang terjadi pada ibu E. Perbedaan pendidikan yang jauh antara isteri dengan suami misalnya menjadi masalah yang susah ditoleransi dalam menjembatani perbedaan pendidikan antara isteri dengan suami agar tidak menjadi potensi konflik, apalagi jika isteri berasal dari keluarga yang mempunyai keluarga di mana seseorang dibesarkan secara tidak sadar akan diserap (absorbs) dalam dirinya. Suami tidak dapat nyambung bila diajak ngobrol dan sering minder. Ini yang terjadi pada ibu E sehingga tidak dapat menemukan keluarga sakinah. Ketika terjadi konflik yang keluar dari suami adalah ucapan-ucapan yang tidak layak, kotor dan menista, konflik antara suami isteri tidak dapat menemukan titik kesamaan karena tidak se-kufu.

  Suami yang tidak mempunyai pekerjaan (menganggur) bisa menjauhkan tercapainya cita-cita keluarga sakinah, dia akan menggerogoti isterinya apalagi jika isteri telah mapan. Ketergantungan suami kepada isteri menyebabkan pincangnya status dan fungsi suami sebagai seseorang yang harus mencukupi (al-

  kifayah ) keluarganya. Kasus ibu E adalah contohnya, juga kasus ibu A.

  Karena ketergantungan itu pula yang mendorong suami tidak bisa fair (jujur) kepada isteri. Ibu A dan ibu E mengalami hal ini padahal mereka mengharapkan suaminya bisa menjadi teman hidup yang menyenangkan, saling membutuhkan, saling respek, dan membuatnya aman serta nyaman. Suaminya bisa menjadi belahan jiwanya (soulmate) tempat mencurahkan segala rasa dan cinta sepenuh hati.

  Bagi pasangan suami-istri PNS rekomendasi BP4 akan sangat berarti bagi kelangsungan proses perceraian di pengadilan agama. Tanpa rekomendasi dari BP4 pengadilan tidak akan meneruskan sidang perceraian mereka. Selain pasutri PNS, masyarakat secara umum lebih suka menyelesaikan problem keluarganya tanpa melibatkan BP4, mereka langsung menyelesaikannya di pengadilan. Dan kalau sudah di pengadilan agama, biasanya sudah pasti cerai.

  Posisi BP4 yang demikian, khususunya yang ada di kecamatan, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dimana peranan KUA dibatasi pada persolan nikah dan ruju’. Namun, pada saat yang sama, pemerintah tetap memposisikan BP4 masih terikat kuat dengan struktur KUA di kecamatan. Ketua KUA di semua tempat adalah kepala BP4 itu sendiri. Ketika aturan tersebut diberlakukan, maka bisa dipastikan BP4 tidak memiliki peranan lagi. Prosedur perceraian yang diterapkan oleh rekomendasi BP4 terlebih dahulu, setidaknya bisa meredam gejolak mereka untuk meneruskan perceraiannya. Sebagian PNS yang berkonsultasi ke BP4 ada yang kembali rukun, namun ada juga yang tetap bercerai.

  Melihat eksistensi BP4 yang demikian, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Agama dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah selayaknya duduk bersama merumuskan kembali posisi BP4. Sebab apabila BP4 dibiarkan tanpa tugas dan kewenangan yang jelas, maka persoalan perceraian yang menimpa banyak umat Islam akan meningkat. Dan yang demikian pada gilirannya akan memacu peningkatan angka perceraian di masyarakat

  Sebenarnya satu yang sering tidak disadari ketika sebuah perceraian terjadi, adalah bukan hanya hancurnya fungsi yang harus dijalani oleh sebuah lembaga keluarga, seperti pewarisan nilai (education), afeksi (affection), edukasi (education), dan sosialisasi (socialization). Tapi juga lenyapnya fondasi jaringan sosial mendasar yang ada dalam sebuah masyarakat. Hingga bisa dikatakan perceraian sebagai hal yang tidak pernah diimpikan bisa menyumbang terjadinya kebusukan moral (moral decay) yang serius dalam masyarakat. Penerimaan keluarga dan masyarakat dapat berupa dampak Positif dan Negatif terhadap perempuan Karier. Berikut ini dampak positif dan negatif terhadap wanita karier

  16

  menur1) adalah sebagai berikut:

  a) Dampak Positif

  Terhadap kondisi ekonomi keluarga . Dalam kehidupan manusia

  kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan primer yang dapat menunjang kebutuhan yang lainnya. Kesejahteraan manusia dapat tercipta manakala kehidupannya ditunjang dengan perekonomian yang baik pula. Dengan berkarier, seorang wanita tentu saja mendapatkan imbalan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menambah dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pratiwi Sudamona mengatakan bahwa pria dan wanita adalah "Mitra Sejajar" dalam menunjang perekonomian keluarga. Dalam kontek spembicaraan keluarga yang modern, wanita tidak lagi dianggap sebagai mahluk yang

16 Kurniawan. Suprianto, 2012. Lensa Utama. Maraknya Perceraian memilih Cerai atau memperbaiki

  Rumah Tangga . MPA 304. Januari. Di akses dari semata-mata tergantung pada penghasilan suaminya, melainkan ikut membantu berperan dalam meningkatkan penghasilan keluarga untuk satu pemenuhan kebutuhan keluarga yang semakin bervariasi.

  Sebagai Pengisi Waktu. Pada zaman sekarang ini hampir semua

  peralatan rumah tangga memakai teknologi yang mutakhir, khususnya di kota- kota besar. Sehingga tugas wanita dalam rumah tangga menjadi lebih mudah dan ringan. Belum lagimereka yang menggunakan jasa pramuwisma (pembantu rumah tangga), tentu saja tugas mereka di rumah akan menjadi sangat berkurang. Hal ini bisa menyebabkan wanita memiliki waktu luang yang sangat banyak dan sering kali membosankan. Maka untuk mengisi kekosongan tersebut diupayakanlah suatu kegiatan yang dapatdijadikan sebagai alat untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka. Diungkapkan oleh Abdullah Wakil bahwa kemudahan-kemudahan yang didapat wanita dalam melakukan tugas rumah tangga, telah menciptakan peluang bagi mereka untuk leluasa mencari kesibukan diluar rumah, sesuai dengan bidang keahliannya supaya dapat mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai wanita yang aktif berkarya.

  Peningkatan sumber daya manusia . Kemajuan teknologi di segala

  bidang kehidupan menuntut sumber daya manusia yang potensial untuk menjalankan teknologi tersebut. Bukan hanya pria bahka wanita pun dituntut untuk bisa dapat mengimbangi perkembangan teknologi yang makin kian pesat. Jenjang pendidikan yang tiada batas bagi wanita telah menjadikan mereka sebagai sumber daya potensial yang diharapkan dapat mampu berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan, serta dapat berguna bagi masyarakat, agama, nusa dan bangsanya.

  Percaya diri dan lebih merawat penampilan. Biasanya seorang wanita

  yang tidak aktif di luar rumah akan malas untuk berhias diri, karena ia merasa tidak diperhatikan dan kurang bermanfaat. Dengan berkarier, maka wanita merasa dibutuhkan dalam masyarakat sehingga timbullah kepercayaan diri. Wanita karier akan berusaha untuk mepercantik diri dan penampilannya agar selalu enak dipandang. Tentu hal ini akan menjadikan kebanggaan tersendiri bagi suaminya, yang melihat istrinya tampil prima di depan para relasinya.

  Dampak kesadaran gender bagi keluarga sangat positif sekali, hal ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunaryo dan Zuriah

  17

  (2003) diperoleh kesimpulan bahwa dengan adanya kesadaran gender, maka di dalam pengambilan keputusan rumah tangga wanita karier yang bekerja di kota Malang ada hal-hal tertentu yang di dominasi oleh istri atau wanita terutama dalam hal-hal yang terkait dengan pendapatan, pemilikan kekayaan keluarga, penentuan kegiatan di luar rumah dan penyaluran aspirasi, maka yang digunakan lebih cenderung pada pola pengambilan keputusan secara bersama setara. Begitu juga dalam aktivitas pengasuhan, pendidikan dan kesehatan relatif dilakukan secara bersama.

  b) Dampak negatif

  Diantara dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain: Terhadap Anak. Seorang wanita karier biasanya pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di luar rumah, hal ini secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkat kesabaran yang dimilikinya, baik dalam menghadapi pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maupun dalam menghadapi anak-anaknya. Jika hal itu terjadi maka sang Ibu akan mudah marah dan berkurang rasa pedulinya terhadap anak. Survey yang dilakukan di negara-negara Barat menunjukkan bahwa banyak anak kecil yang menjadi korban kekerasan orang tua yang seharusnya tidak terjadi apabila mereka memiliki kesabaran yang cukup dalam mendidik anak. Hal lain yang lebih berbahaya adalah terjerumusnya anak-anak kepada hal yang negatif, seperti tindak kriminal yang dilakukans ebagai akibat dari kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua, khususnya Ibu terhadap anak-anaknya.

  Terhadap Suami. Di kalangan para suami wanita karier, tidaklah

  mustahil menjadi suatu kebanggaan bila mereka memiliki istri yang pandai, 17 aktif, kreatif, dan maju serta dibutuhkan masyarakat, Namun dilain sisi

  

Sunaryo, Heri dan Zuriah, Nurul. 2003. Pola Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga Wanita Karier di Kota Malang. Jurnal Pemberdayaan Perempuan . Vol.3 No. 2 Desember. Di akses tanggal 22 merekamempunyai problem yang rumit dengan istrinya. Mereka juga akan merasa tersaingidan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai suami. Sebagai contoh, apabila suatu saat seorang suami memiliki masalah di kantor, tentunya ia mengharapkan seseorang yang dapat berbagi masalah dengannya, atau setidaknya ia berharap istrinya akan menyambutnya dengan wajah berseri sehingga berkuranglah beban yang ada. Hal ini tak akan terwujud apabila sang istri pun mengalami hal yang sama. Jangankan untuk mengatasi masalah suaminya, sedangkan masalahnya sendiripun belum tentu dapat diselesaikannya. Apabila seorang istri tenggelam dalam kariernya, pulang sangat letih, sementara suaminya di kantor tengah menghadapi masalah dan ingin menemukan istri di dalam rumah dalam keadaan segar dan memancarkan senyuman kemesraan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah istri yang cemberut karena kelelahan. Ini akan menjadi masalah yang runyam dalam keluarga. Kebanyakan suami yang istrinya berkarier merasa sedih dan sakit hati apabila istrinya yang berkarier tidak ada di tengah-tengah keluarganya pada saat keluarganya membutuhkan kehadiran mereka. Juga ada keresahan pada diri suami, khususnya pasangan-pasangan usia muda karena mereka selalu menunda kehamilan dan menolak untuk memiliki anak dengan alasan takut mengganggu karier yang tengah dirintis olehnya.

  Terhadap Rumah Tangga . Kemungkinan negatif lainnya yang perlu

  mendapat perhatian dari wanita karier yaitu rumah tangga. Kegagalan rumah tanggaseringkali dikaitkan dengan kelalaian seorang istri dalam rumah tangga. Hal ini bisa terjadi apabila istri tidak memiliki keterampilan dalam mengurus rumah tangga, atau juga terlalu sibuk dalam berkarier, sehingga segala urusan rumah tangga terbeng kalai. Untuk mencapai keberhasilan kariernya, seringkali wanita menomor duakan tugas sebagai ibu dan istri. Dengan demikian pertengkaran bahkan perpecahan dalam rumah tangga tidak bisa dihindarkan lagi.

  Terhadap Masyarakat. Hal negatif yang ditimbulkan oleh adanya

  wanita karier tidak hanya berdampak terhadap keluarga dan rumah tangga,

  1) Dengan bertambahnya jumlah wanita yang mementingkan kariernya di berbagai sektor lapangan pekerjaan, secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran di kalangan pria, karena lapangan pekerjaan yagn ada telah diisioleh wanita.

  Sebagai contoh, yang sering kita lihat di pabrik-pabrik. Perusahaan lebih memilih pekerja dari kalangan wanita ketimbang pria, karena selain upah yang relatif minim dan murah dari pria, juga karena wanita tidak terlalu banyak menuntut dan mudah diatur. 2)

  Kepercayaan diri yang berlebihan dari seorang wanita karier seringkali menyebabkan mereka terlalu memilih-milih dalam urusan perjodohan.

  Maka seringkali kita lihat seorang wanita karier masih hidup melajang pada usia yang seharusnya dia telah layak untuk berumah tangga bahkan memiliki keturunan. Selain itu banyak pria yang minder atau enggan untuk menjadikan wanita karier sebagai istri mereka karena beberapa faktor; Seperti pendidikan wanita karier dan penghasilannya yang seringkali membuat pria berpikir dua kali untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Sementara itu dilain sisi pria-pria yang menjadi dambaan para wanita karier ini kemungkinan karena terlalu tinggi kriterianya telah lebih dulu berkeluarga dan membina rumah tangga dengan wanita lain. Hal inilah mungkin yang menyebabkan timbulnya anggapan dalam masyarakat bahwa "Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dapat diraih oleh wanita maka semakin sulit pula baginya untuk mendapatkan pendamping hidup."

E. KESIMPULAN

  Gugat cerai merupakan salah satu bentuk dari Resistensi (perlawanan) yang dilakukan oleh istri terhadap dominasi yang sudah dilakukan oleh suami. Bentuk dominasi suami yang menjadi penyebab istri/perempuan melakukan resistensi yang ditemukan dilapangan adalah Pengambilan Keputusan. Bentuk resistensi tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dengan banyaknya gugat cerai tersebut menunjukkan bahwa perempuan dengan kemampuan rasionalnya tidak lagi sebagai the second creature, mereka juga adalah „hasil akhir‟ penciptaan itu sendiri, seorang agen rasional yang mempunyai kemampuan dan kehendak sendiri. Jika perkawinan tak berjalan sebagaimana yang diharapkan, seperti tidak bahagia atau terjadi ketidak cocokan yang tak lagi bisa didamaikan maka, mereka menjadi lebih berani untuk meminta talak. Perempuan tak lagi bersedia hidup dalam kemunafikan falsafah lama agar supaya selalu „jogo projo‟ (menjaga ‘kerajaan’) yaitu, meredam persoalan dengan diam demi tetap utuhnya bangunan rumah tangga walaupun itu hanya sekedar kepura-puraan. Kematangan jatidiri perempuan mapan membuat mereka, kelihatannya, seminimal mungkin memasukkan faktor penimbang, seperti keberadaan anak dalam urusan perceraian. Mereka lebih terfokus pada kepuasan dirinya terlebih dulu. atau, mereka berpendapat tuntutan cerai yang mereka upayakan adalah demi kebaikan semua orang yang mereka cintai, termasuk anak- anak hasil dari perkawinan tersebut. Jadi mencintai pihak lain tanpa lepas dari mencintai dan memperhatikan keutamaan diri pribadi perempuan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

  Adhini, Retno. 2005. Hubungan Dominasi Suami Dalam Pengambilan Keputusan Dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Dalam Keluarga . kses tanggal 7 Oktober 2012

  Bernand, Alan dan Jonathan Spencer. 1997. Encylopdia of Social and Cultural Anthopology . London. Routlege. Bluth, B.J. 1982.

  Parson’s General Theory of Action:A Summary of the Basic Theory . California. Granada Hill.

  Bungin (Ed), Burhan. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer . Jakarta. Raja Grafindo Persada. Cai, Yongshun, 2005. “China’s Moderate Middle Class: The Case of Homeowers

  Resisteance

  ” dalam Jurnal Asian Survey. Vol. 45. The Regent of The University of Calofornia. Diakses dari , tanggal 8 Agustus 2012. Robert, Gurr Ted.

  2002 “Deprive Relatif dan Kekerasan” dalam Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan. Jakarta. Ghalia Indonesia bekerja sama Universitas Kristen Petra.

  Hasbi MA, Ustadz Dr. H. Rusli. 2009. Hukum Gugat Cerai:Merajut Golbun

  Salim . Blog pada WordPress.com. Di akses tanggal 22 September 2012.

  Herper, Charles L. 1989. Exploring Social Chauge. New Jersey. Prenticc-Hall Inc.

  • – Pawito, Ph.D., 2008. Penelitian Komunikasi Kwalitatif, Jogjakarta. Lki. Cet. Ke Pertama.

  Pelita Edisi Jum‟at 15 Juni 2012 Di akses da tanggal 8 Agustusi 2012. Robert, Gurr Ted.

  2002 “Deprive Relatif dan Kekerasan” dalam Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan. Jakarta. Ghalia Indonesia bekerja sama Universitas Kristen Petra Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

  Subiantoro, Eko Bambang. 2002. Memikirkan Perkawinan, Jakarta, Yayasan Perempuan. Sunaryo, Heri dan Zuriah, Nurul. 2003. Pola Pengambilan Keputusan Dalam

  Keluarga Wanita Karier di Kota Malang. Jurnal Pemberdayaan Perempuan . Vol.3 No. 2 Desember. Di akses tanggal 22 September 2012.

  Suparjo. 2009. Sikap Wanita Karir Terhadap Tanggung Jawab Pendidikan Anak

  Dalam Keluarga Di Kabupaten Banyumas. Jurnal Penelitian

  Pendidikan Agama dan Keagamaan. Vol. VII No. 1 Januari- Maret 2009. Di akses tanggal 22 September 2012.