PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MURDER TERHA

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP
PEMAHAMAN KONSEP IPA SISWA KELAS V SD
DI GUGUS I KECAMATAN BULELENG
1

Kadek Herdianto, 2I Wayan Romi Sudhita, 3Gede Sedanayasa
1

Jurusan PGSD, 2TP, 3BK, FIP
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail: [email protected], [email protected],
3
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pemahaman konsep IPA antara
kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran MURDER dan
kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional pada

siswa kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng. Jenis penelitian ini adalah
eksperimen semu dengan rancangan nonequivalent posttest only control group design.
Populasi penelitian ini adalah kelas V SD di gugus I Kecamatan Buleleng yang
berjumlah 11 kelas. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik simple random
sampling. Pengumpulan data pemahaman konsep IPA siswa menggunakan tes uraian
yang dianalisis dengan teknik analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial yaitu
uji-t. Berdasarkan hasil perhitungan uji-t, diperoleh nilai thitung sebesar 11,14 dan ttabel
sebesar 2,000, pada taraf signifikansi 5% dan db=57. Hal ini berarti t hitung lebih besar
daripada ttabel. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman
konsep IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran MURDER dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran MURDER berpengaruh terhadap pemahaman konsep IPA siswa kelas V
di SD gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng tahun ajaran 2014/2015.
Kata-kata kunci: Model MURDER, Pemahaman Konsep IPA
Abstract
The purpose of this research was to know the difference of the concept undertanding in
natural science between the group of student who was taught by using MURDER
teaching model and the group of student who was taught by using the conventional
teaching model in the fifth grade students of elementary school in cluster one of

Buleleng district. This was a quasi experimental research with nonequivalent posttest
only control group design. The population of this research was fifth grade of elementary
school in cluster one of Buleleng district which consisted of 11 classes. The sample was
choosen by the use of simple random sampling technique. The data of concept
undertanding in natural science were collected by using essay test which was analyzed
by using descriptive statistics analysis and inferential statistics that was t-test. Based on
the t-test calculation, the research result showed that tcount value was 11,14 and ttable was
2,000, on significance standard 5% and db=57. That meant that tcount is bigger than that
of ttable. The result showed that there was difference of concept undertanding in natural
science between group of students who were taught by using MURDER teaching model
and group of students who were taught by using conventional teaching model. Thus,
can concluded that MURDER teaching model influenced the concept undertanding in
natural science of fifth grade students of elementary school in cluster one of Buleleng
district, Buleleng regency in academic year 2014/2015.
Keywords: MURDER Model , the concept undertanding in natural science

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
PENDAHULUAN
Pendidikan

pada
dasarnya
merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan dirinya untuk
memiliki kemampuan pengendalian diri,
kecerdasan,
akhlak
mulia
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dalam
bermasyarakat (Undang-Undang No.20
Tahun 2003). Tujuan pendidikan akan
terwujud apabila proses pembelajaran
berjalan dengan baik. Pembelajaran yang
baik dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti faktor guru, siswa, lingkungan,
kurikulum, sarana pra sarana dan lain
sebagainya. Salah satu faktor yang

memegang peranan penting dan vital dalam
proses pembelajaran adalah faktor guru,
yaitu bagaimana cara guru mengajar.
Karena peran guru sangat penting dan vital
dalam proses pembelajaran siswa, maka
sangat diperlukan guru yang kompeten
agar pembelajaran berjalan dengan baik.
Tugas guru sekarang ini bukan hanya
menyampaikan
informasi
atau
pengetahuan, tapi guru juga harus bisa
memupuk pengetahuan serta membimbing
siswa untuk belajar sendiri, karena
keberhasilan
siswa
sebagian
besar
bergantung pada kemampuannya untuk
belajar

secara
mandiri
(Karli
&
Yuliariatiningsih, 2002).
Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas
tenaga pendidik di antaranya melalui
sertifikasi guru, program Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) dan peningkatan
kualitas pendidikan guru. Selain itu
pemerintah
juga
melakukan
upaya
penyediaan
sarana
dan
prasarana
pendidikan

serta
penyempurnaan
kurikulum. Kurikulum terbaru yang saat ini
masih diberlakukan pada semua jenjang
sekolah di Indonesia adalah kurikulum 2006
atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP
dibuat
dan
diterapkan
untuk
menyempurnakan
Kurikulum
Berbasis
Kompetensi (KBK). Seperti halnya KBK,
KTSP
tetap
menekankan
pada
pengembangan kompetensi siswa. Dalam

hal ini kompetensi yang dimaksud adalah
pengetahuan, keterampilan dan nilai – nilai

dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Namun, mutu dan
kualitas pendidikan di Indonesia tergolong
masih rendah jika dibandingkan dengan
negara – negara tetangga. Karena saat ini
masih banyak guru yang menggunakan
metode konvensional dalam mengajar.
Dalam
pembelajaran
konvensional,
penyampaian materi lebih banyak dilakukan
melalui ceramah, tanya jawab, dan
penugasan
(Rasana,
2009:20).
Pembelajaran
dengan

metode
konvensional, menempatkan guru sebagai
pusat informasi sehingga guru yang lebih
aktif dibandingkan siswa. Dengan lebih
aktifnya guru dibandingkan siswa, maka
akan membuat siswa cepat bosan dalam
belajar dan materi pembelajaran akan sulit
untuk dipahami.
Selain hasil penelitian beberapa
pakar, hasil observasi awal dan wawancara
pada guru bidang studi IPA yang telah
dilakukan di 8 sekolah dasar di gugus I
Kecamatan Buleleng juga menunjukkan hal
yang sama. Pembelajaran di sekolah masih
berorientasi pada pemberian pengetahuan
langsung oleh guru kepada peserta didik
yang masih bersifat konvensional. Prestasi
belajar siswa juga tergolong masih rendah.
Begitu pula dengan hasil tes pemahaman
konsep IPA yang diberikan pada siswa,

hasilnya cukup mengecewakan. Hal ini Hal
ini terlihat dari total 11 kelas yang ada,
hanya 5 kelas yang memenuhi KKM,
diantaranya: SD No. 2 Banyuning (VA)
(rata-rata 73,69; KKM 71), SD No. 4
Banyuning (rata-rata 68,05; KKM 64), SD
No. 7 Banyuning (rata-rata 67,85; KKM 63),
SD No. 8 Banyuning (VA dan VB) (rata-rata
70,17 dan 74,68; KKM 70). Selain kelima
kelas tersebut, terdapat 6 kelas lainnya
yang memiliki rata-rata di bawah KKM,
diantaranya: SD No. 1 Banyuning (VA dan
VB) (rata-rata 61,77 dan 62,66; KKM 63),
SD No. 2 Banyuning (VB) (rata-rata 66,8;
KKM 71), SD No. 3 Banyuning (rata-rata
62,82; KKM 63), SD No. 5 Banyuning (ratarata 67,94; KKM 69), dan SD No. 6
Banyuning (rata-rata 63,75; KKM 65). Hal
tersebut menandakan bahwa pemahaman
konsep IPA siswa masih rendah. Padahal
tujuan pendidikan IPA pada hakikatnya

adalah
untuk
mengantarkan
siswa

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
menguasai konsep – konsep IPA untuk
dapat memecahkan masalah terkait dengan
kehidupan sehari – hari (KTSP,2006:2).
Karena begitu pentingnya pemahaman
konsep IPA sehingga harus ditingkatkan
demi terciptanya SDM yang kompetitif.
Setelah dilakukan observasi dan
wawancara dengan guru mata pelajaran
IPA didapat faktor utama yang menjadi
pemicu rendahnya pemahaman konsep IPA
siswa, yaitu guru cenderung masih
berpatokan pada model pembelajaran
konvensional. Pada model pembelajaran

konvensional, siswa cenderung hanya
menghafalkan materi yang akan mudah
terlupakan daripada memahami materi
yang dapat terekam lebih lama di dalam
ingatan siswa.
Salah satu solusi yang dapat dipilih
untuk
mengatasi
permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam
pembelajaran
berkaitan
dengan
pemahaman konsep siswa adalah dengan
menggunakan model pembelajaran inovatif
yang
sesuai
dengan
karakteristik
pembelajaran IPA. Salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan yaitu
model
pembelajaran
kooperatif
tipe
MURDER. Model ini dipilih karena sangat
cocok dengan kondisi siswa yang
heterogen atau berbeda – beda, baik dari
segi jenis kelamin maupun kemampuan
siswa.
Dalam
model
pembelajaran
kooperatif tipe MURDER, guru membentuk
kelompok dengan kemampuan dan jenis
kelamin yang heterogen. Dengan model ini
siswa diharapkan aktif dalam menemukan
konsep – konsep yang didiskusikan dan
guru berperan sebagai mediator, fasilitator
dan motivator yang mengorganisasikan
siswa
untuk
dapat
membangun
pengetahuannya.
Selain
itu,
model
pembelajaran ini juga bisa menjadikan
pembelajaran IPA lebih bermakna, siswa
akan dapat mengajukan ide – ide,
pertanyaan – pertanyaan serta keberanian
mempersoalkan sesuatu yang belum jelas.
Menurut
Jacob
(dalam
Tim
Pengembang
Lembaga
Penelitian
UNDIKSHA, 2009) model pembelajaran
MURDER adalah salah satu model
pembelajaran kolaboratif yang dihasilkan
dari perspektif psikologi kognitif. Model

pembelajaran kooperatif tipe MURDER
merupakan singkatan dari : 1. Mood
(Suasana
Hati),
2.
Understand
(Pemahaman), 3. Recall (Pengulangan), 4.
Detect
(telaah),
5)
Elaborate
(Pengembangan), 6) Review (Meninjau
Kembali). Dengan diterapkannya model
pembelajaran kooperatif tipe MURDER ini,
maka diharapkan akan memberikan
pengaruh positif terhadap pembelajaran
IPA.
Berdasarkan
langkah
model
pembelajaran MURDER, Mood akan
menuntun anggota kelompok dalam
mempersiapkan diri sebaik mungkin dan
guru berusaha mengkondisikan siswa pada
kondisi belajar yang nyaman. Understand
akan mengarahkan anggota kelompok
untuk mecermati poin – poin dalam suatu
masalah. Recall akan menuntun anggota
kelompok untuk memberikan sajian lisan
terhadap materi yang diberikan oleh
anggota kelompok lain. Detect akan
menuntun
anggota
kelompok
untuk
mendeteksi apa yang dilakukan oleh
anggota kelompok lain terhadap munculnya
kesalahan atau kealfaan catatan. Elaborate,
anggota kelompok memberikan contoh atau
aplikasi materi yang telah dibaca. Review
menuntun
anggota
kelompok
untuk
melakukan peninjauan kembali terhadap
langkah Mood, Uderstand, Recall, Detect,
Elaborate, Review. Langkah Review akan
memberikan kesempatan kepada masing –
masing
anggota
kelompok
untuk
memperoleh struktur pengetahuan baru
yang merupakan hasil refleksi pengetahuan
sebelumnya.
Berdasarkan
deskripsi
masingmasing tahap dalam model pembelajaran
MURDER,
terlihat
bahwa
model
pembelajaran MURDER memiliki banyak
keunggulan. Salah satunya adalah dalam
proses pembelajarannya yang membuat
siswa aktif dalam proses pembelajaran,
terlatih untuk memecahkan permasalahan
yang ditemui, bekerja sama dengan siswa
lainnya, menyampaikan pendapat, dan
mengkomunikasikan sesuatu yang ada di
pikirannya kepada guru dan siswa lain. Ilmu
yang diperoleh siswa juga akan lebih lama
diingat karena diperoleh tidak sekedar
hapalan. Model pembelajaran MURDER
efektif karena bersifat student centered

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
yang lebih mengutamakan peran peserta
didik sebagai pusat pembelajaran. Dalam
pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaraan MURDER siswa tidak hanya
berpatokan pada pengetahuan yang ada,
melainkan lebih mengutamakan proses
pemerolehan
pengetahuan
tersebut.
Dengan mengutamakan proses, siswa
diharapkan tidak hanya sekedar menghafal
ilmu, tetapi memahami lebih mendalam
sehingga ilmu yang diperoleh terus melekat
dan diingat siswa. Dengan demikian,
pemahaman konsep siswa khususnya pada
mata pelajaran IPA dapat ditingkatkan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui perbedaan yang signifikan
pemahaman konsep IPA antara kelompok
siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran MURDER dan kelompok
siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional pada siswa
kelas V SD di Gugus I Kecamatan Buleleng
Kabupaten
Buleleng
tahun
ajaran
2014/2015.

populasi sehingga semua subjek dianggap
sama dan mendapat hak yang sama untuk
memperoleh kesempatan dipilih menjadi
anggota sampel (Agung, 2010). Paket kelas
yang terpilih yaitu kelas VA dan kelas VB
yang termasuk ke dalam SD No. 8
Banyuning, kemudian diundi kembali
sehingga diperoleh kelas VA sebagai kelas
eksoerimen yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran MURDER dan kelas
VB sebagai kelas kontrol yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran konvensional.
Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nonequivalent posttest
only control group design. Variabel yang
diteliti yaitu variabel bebas berupa model
pembelajaran MURDER dan variabel terikat
berupa pemahaman konsep IPA. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode tes. Tes yang
digunakan adalh tes pemahaman konsep
IPA berupa soal uraian yang diberikan pada
saat post-test.
Teknik analisis data yang digunakan
adalah teknik analisis statistik deskriptif dan
statistik inferensial. Hasil perhitungan
statistik deskriptif berupa mean, median,
modus, standar deviasi, dan varians
kemudian disajikan dalam bentuk grafik
poligon. Sebelum dilakukan analisis statistik
inferensial, terlebih dahulu dilakukan uji
prasyarat berupa uji normalitas dan uji
homogenitas. Analisis statistik inferensial
dilakukan setelah data yang yang diperoleh
berdistribusi normal dan bersifat homogen.
Pada analisis statistik inferensial, metode
analisis data yang digunakan untuk menguji
hipotesis dalam penelitian ini adalah
independent sample t-test (uji-t) berupa
polled varians.

METODE
Penelitian ini berjenis penelitian
eksperimen semu (quasi eksperimen)
karena bertujuan untuk memperoleh
informasi dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk mengontrol dan
memanipulasi semua variabel yang relevan.
Tempat penelitian dilaksanakan di SD
Gugus I Kecamatan Buleleng, Kabupaten
Buleleng pada rentangan waktu semester
genap pada tahun ajaran 2014/2015.
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh
siswa kelas V SD di gugus I kecamatan
Buleleng yang terdiri dari 11 kelas dengan
jumlah siswa sebanyak 286 orang. Setelah
HASIL DAN PEMBAHASAN
dilakukan uji kesetaraan, kemudian dipilih
Hasil perhitungan analisis statistik
dua kelas yang akan dijadikan sampel.
deskriptif yang diperoleh dalam penelitian
Penentuan sampel menggunakan teknik
ini direkapitulasi seperti pada tabel berikut.
simple random sampling. Teknik ini
mencangkup subjek – subjek dalam
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Pemahaman Konsep IPA Siswa
Statistik
Mean
Median
Modus

Kelompok
Eksperimen
33,38

30,75
33,4

Kelompok
Kontrol

16,9
16,5
15,83

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
Skor minimum
Skor maksimum
Rentangan

21
37
16

Frekuensi

Mean (M), Median (Me), Modus
(Mo) pemahaman konsep IPA siswa
kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol selanjutnya disajikan ke dalam
kurva polygon dengan tujuan untuk
menafsirkan sebaran data pemahaman
konsep IPA pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Adapun kurva
polygon kedua kelompok seperti pada
gambar 1 dan 2.

7
28
21

Interval

M = 16,9

Me = 16,5
Mo = 15,83

Frekuensi

Gambar 2 Kurva Poligon Data Hasil
Pemahaman Konsep IPA
Siswa Kelompok Kontrol

M = 30,38
Me = 30,75

Interval

Mo = 33,4

Gambar 1 Kurva Poligon Data Hasil
Pemahaman Konsep IPA
Siswa Kelompok Eksperimen

Berdasarkan Tabel 1 diketahui
Mo>Me>M
(33,4>30,75>30,38)
menyebabkan kurva pada gambar 1
membentuk kurva juling negatif yang
berarti sebagian besar skor cenderung
tinggi.

Berdasarkan Tabel 1 diketahui
Mo>Me>M
(15,83 ttabel
H0 ditolak

pembelajaran MURDER dan kelompok
siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran konvensional pada siswa
kelas V SD di gugus I Kecamatan
Buleleng tahun ajaran 2014/2015. Adanya
perbedaan yang signifikan menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan model
pembelajaran MURDER berpengaruh
terhadap pemahaman konsep IPA siswa.
Perbedaan pemahaman konsep
IPA yang ditunjukkan oleh siswa
kelompok
eksperimen
dan
siswa
kelompok kontrol disebabkan karena
adanya perbedaan perlakuan antara
kedua kelompok pada saat proses
pembelajaran. Pembelajaran di kelas
kontrol
yang
menggunakan
model
pembelajaran konvensional cenderung
bersifat pasif. Hal ini disebabkan oleh
proses pembelajaran yang didominasi
dengan kegiatan ceramah, tanya jawab,
dan penugasan. Penyampaian materi oleh
guru dilaksanakan dengan metode
ceramah yang memusatkan guru sebagai
sumber informasi (teacher-centered).
Dalam penyajian materi, guru juga jarang
mengaitkan
kehidupan
nyata
dan
masalah-masalah
siswa
dalam
kehidupannya sehari-hari dengan materi
yang dibahas, melainkan lebih cenderung
berpatokan pada buku sumber. Diselasela kegiatan penyampaian materi, terjadi
tanya jawab antara guru dan siswa.
Namun, kegiatan tanya jawab hanya
didominasi oleh siswa tertentu saja.
Setelah kegiatan tanya jawab, guru
memberikan tugas yang dikerjakan siswa
secara individu maupun berpasangan.
Kegiatan pembelajaran yang demikian

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
dilakukan secara berulang-ulang dalam
jangka waktu yang lama. Dalam kegiatan
pembelajaran
dengan
menggunakan
model pembelajaran konvensional, terlihat
jelas bahwa siswa kurang dilibatkan
secara aktif dalam proses pembelajaran
dan antusiasme siswa dalam belajar juga
rendah, sehingga semakin menambah
kecenderungan siswa untuk menghapal
materi. Temuan tersebut didukung oleh
Suleman (dalam Rasana, 2009:18) yang
mengungkapkan bahwa “pembelajaran
konvensional merupakan metode yang
paling efisien dalam mengajar yang
bersifat hafalan (ingatan)”. Pembelajaran
yang
demikian
berdampak
pada
kurangnya pemerolehan pemahaman
siswa terhadap konsep-konsep dan materi
yang diberikan.
Berbeda
halnya
dengan
pembelajaran pada kelas eksperimen
yang menggunakan model pembelajaran
MURDER. Apabila dilihat dari segi
antusiasme dan keaktifan siswa dalam
belajar, siswa di kelas eksperimen
memiliki antusiasme dan keaktifan yang
tinggi dalam proses pembelajaran. Hal ini
tidak terlepas dari peranan guru dan
aktivitas siswa yang terjadi pada setiap
langkah-langkah
model pembelajaran
MURDER yang meliputi mood (mengatur
suasana hati), understand (membaca
dalam hati), recall (mengulang materi),
detect (menemukan kesalahan), elaborate
(menanggapi pendapat), dan yang
terakhir review (merangkum) (Lembaga
Penelitian UNDIKSHA, 2009:9).
Dalam
pelaksanaannya
pada
tahap mood, guru berusaha mengatur
suasana hati yang tepat dengan cara
mengaitkan
pembelajaran
dengan
fenomena-fenomena dalam kehidupan
sehari-hari sambil menggali sejauh mana
pengetahuan awal siswa mengenai materi
yang akan diberikan. Kegiatan tersebut
dilakukan pada awal pembelajaran
tepatnya pada apersepsi. Setelah mood
siswa
terbentuk,
guru
kemudian
mengarahkan siswa untuk membentuk
kelompok yang terdiri dari empat orang.
Para siswa dalam kelompok empat orang
tersebut kemudian dibagi lagi menjadi dua
pasang dyad, yaitu dyad 1 dan dyad 2.
Dyad adalah pertemuan antara du orang

yang berkomunikasi secara lisan atau
tertulis (Sujana,2005)
Selanjutnya
pada
tahap
understand, guru menyuruh masingmasing dyad membaca bagian materi
yang di dapat tanpa menghapalkan. Siswa
tidak diharapkan untuk menghapalkan
materi yang diberikan tetapi mehamani,
dengan
memahami
siswa
dapat
memberikan penjelasan atau memberi
uraian yang lebih rinci tentang hal itu
dengan
menggunakan
kata-katanya
sendiri (Sudijono, 2007). Setelah siswa
memahami isi materi yang diberikan, guru
kemudian memberikan siswa LKS yang
nantinya akan didiskusikan oleh masingmasing pasangan dyad.
Tahap ketiga adalah recall, pada
tahap ini masing-masing pasangan dyad
mendiksusikan dan menjawab soal yang
terdapat pada LKS. Masing-masing
pasangan dyad bekerja sama dalam
menjawab soal pada LKS. Salah satu
anggota
dyad
bertugas
untuk
mengemukakan pendapat, sedangkan
pasangannya bertugas menulis jawaban
yang ditemukan sambil ikut mengoreksi
jika terjadi kekeliruan. Selanjutnya,
masing-masing pasangan dyad dalam
kelompok empat orang, saling bertukar
jawaban sehingga terbentuklah laporan
yang lengkap untuk tugas hari itu.
Langkah pembelajaran tersebut sesuai
dengan pendapat Santyasa (2006) yang
menyatakan bahwa, setelah pasangan
dyad-1 dan dyad-2 selesai mengerjakan
tugas masing-masing, selanjutnya antar
pasangan dyad saling bertukar jawaban
agar tercipta laporan yang utuh.
Kesiapan siswa pun diuji ketika
guru menunjuk salah satu anggota dyad
secara acak untuk menyampaikan laporan
yang telah dibuat di depan kelas. Pada
tahap ini guru berperan sebagai fasilitator,
mengamati aktivitas siswa dan membantu
siswa jika mengalami kesulitas.
Langkah
selanjutnya
adalah
detect, pada tahap ini siswa dituntut untuk
tanggap mencermati penyampaian materi
dari kelompok penyaji. Siswa boleh
mengajukan pendapat atau pertanyaan
apabila
ada
ketidakcocokan
atau
ketidaksesuaian terhadap penyampaian
dari kelompok penyaji.

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
Kemudian tahap berikutnya adalah
elaborate, pada tahap ini siswa kelompok
penyaji diberikan kesempatan untuk
menanggai dan memberikan sanggahan
terkait dengan pertanyaan dari anggota
kelompok lain pada tahan detect.
Perdebatan sering kali muncul antara
kelompok penyaji dan kelompok yang
bertanya pada tahap ini. Disinilah guru
berperan
sebagai
fasilitator
yang
menembatani berbagai pendapat yang
muncul
sehingga
tercapai
suatu
kesepakatan. Guru juga memberikan
penguatan baik secara verbal maupun
non verbal kepada kelompok yang
jawabannya keliru tidak patah semangat
dan bagi kelompok yang jawabannya
tepat menjadi semakin termotivasi untuk
belajar. Pada tahap ini, sebagian besar
siswa
sudah
berani
mengajukan
pertanyaan, bersikap kritis, serta mampu
beragumen
untuk
mempertahankan
pendapatnya dengan tetap menghargai
pendapat orang lain.
Tahap terakhir dalam kegiatan
pembelajaran ini adalah tahan review.
pada tahap ini siswa dibawah bimbingan
guru merangkum hasil pembelajaran yang
telah dipelajari. Sebagian besar siswa
sudah
mampu
mengemukakan
kesimpulan dari pelajaran yang didapat
dengan benar. Hal ini membuktikan
bahwa sebagian besar siswa mengerti
dan memahami materi yang telah
dipelajarinya. Temuan tersebut juga
diperkuat oleh hasil evaluasi yang
dilakukan pada akhir pembelajaran yang
sebagian besar siswa memperoleh skor
tinggi. Langkah-langkah pembelajaran
dan cara penyampaian materi inilah yang
menyebabkan tingginya sebagian besar
skor pemahaman konsep IPA pada
kelompok eksperimen.
Perbedaan proses pembelajaran
yang terjadi pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol memberikan
dampak yang berbeda pula pada
pemahaman konsep yang dimiliki siswa.
Pembelajaran dengan model MURDER
menyebabkan siswa aktif dalam proses
pembelajaran. Siswa terlatih untuk
mampu memecahkan permasalahan yang
ditemui, bekerja sama dengan siswa
lainnya, menyampaikan pendapat, dan
mengkomunikasikan sesuatu yang ada di

pikirannya kepada guru dan siswa lain.
Ilmu yang diperoleh siswa juga akan lebih
lama diingat karena diperoleh tidak
sekedar hapalan, sehingga pemahaman
siswa terhadap konsep juga akan
meningkat.
Dengan
demikian,
pemahaman konsep IPA pada kelompok
siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran koperatif tipe MURDER
lebih baik dibandingkan kelompok siswa
yang
dibelajarkan
dengan
model
pembelajaran konvensional.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
hasil penelitian mengenai penggunaan
model pembelajaran MURDER yang
dilakukan oleh Ni Ketut Sri Dewi (2011)
dengan judul “Implementasi Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe MURDER
Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil
Belajar Siswa Mata Pelajaran IPA Kelas
IV SD No. 1 Pulukan Tahun Pelajaran
2010/2011”.
Hasil
penelitian
yang
dilakukan menunjukkan bahwa model
pembeljaaran kooperatif tipe MURDER
dapat meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar siswa. pada siklus I rata-rata skor
aktivitas belajar siswa 8,37. Pada siklus II,
rata-rata skor aktivitas belajar siswa
meningkat sebesar 1,67 menjadi 10,04
dengan kategori aktif. Rata-rata hasil
belajar siswa pada siklus I sebesar 63,33
dengan ketuntasan belajar secara klasikal
52,38%. Pada akhir siklus II, rata-rata
kelas meningkat sebesar 12,86% menjadi
76,19% dengan ketuntasan belajar secara
klasikal meningkat sebesar 47,62%
menjadi 100%.
Penelitian lain juga dilakukan oleh
Ni Wayan Nita (2011) dengan judul
”Implementasi
Model
Pembelajaran
MURDER
Berbantuan
Pertanyaan
Metakognitif untuk Meningkatkan Motivasi
dan Prestasi Belajar Matematika Siswa
Kelas VIII G SMP Negeri 2 Sukawati”.
Penelitian yang dilakukan menunjukkan
peningkatan yang signifikan terhadap
motivasi dan prestasi belajar matematika
siswa. Rata-rata prestasi belajar siswa
mengalami peningkatan sebesar 12,9
poin, yaitu dari 58,3 pada siklus I menjadi
71,2 pada siklus III. Rata-rata skor
prestasi belajar matematika siswa pada
siklus III sebesar 71,2 sudah memenuhi
KKM yang ditetapkan dengan daya serap
71,2%
dengan
ketuntasan
belajar

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
mencapai 78,57%. Rata-rata skor motivasi
belajar matematika siswa meningkat
sebesar 8,94 poin dari 82,14 pada refleksi
awal menjadi 91,07 pada akhir siklus III
tergolong dalam kategori tinggi. Oleh
karena itu, hasil penelitian ini berhasil
memperkuat penelitian-penelitian tentang
penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe MURDER sebelumnya.
Hasil penelitian ini memberikan
implikasi bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe MURDER telah mampu
memberikan kontribusi yang positif
terhadap pemahaman konsep IPA siswa
dibandingkan
dengan
model
pembelajaran konvensional. Maka dari itu,
pemebelajaran kooperatif tipe MURDER
dapat dijadikan alternatif pembelajaran
yang kreatif dan inovatif dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan khususnya
dalam mata pelajaran IPA di Gugus I
Kecamatan Singaraja.
PENUTUP
Berdasarkan
paparan
hasil
penelitian dan pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan pada pemahaman konsep
IPA antara kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe MURDER dan kelompok
siswa
yang
dibelajarkan
dengan
pembelajaran konvensional pada siswa
kelas V Sekolah Dasar di Gugus I
Kecamatan
Buleleng
tahun
ajaran
2014/2015. Hasil tersebut dibuktikan dari
hasil uji-t yang menunjukkan bahwa thitung
= 11,14 lebih besar dari ttabel = 2,000, pada
taraf signifikansi 5% dan db = 57. Selain
itu, perbandingan perhitungan rata-rata
pemahaman konsep IPA siswa kelompok
eksperimen lebih besar dari rata-rata
pemahaman konsep IPA siswa kelompok
kontrol (30,38 > 16,9). Adanya perbedaan
yang signifikan menunjukkan bahwa
pembelajaran
menggunakan
model
pembelajaran kooperatif tipe MURDER
berpengaruh
terhadap
pemahaman
konsep IPA siswa dibandingkan dengan
model konvensional.
Saran yang dapat disampaikan
berdasarkan hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut. 1) Siswa-siswa di sekolah
dasar di Gugus 1 Kecamatan Buleleng

hendaknya lebih aktif dalam proses
pembelajaran dan terus mengembangkan
daya nalar, kemampuan berpikir kritis,
kreatifitas,
serta
keterampilan
berkomunikasi yang telah dimiliki melalui
kegiatan pemecahan masalah sehingga
dapat meningkatkan pemahaman konsep
IPA siswa. 2) Guru-guru di Gugus 1
Kecamatan
Buleleng
sebaiknya
meminimalisir
pembelajaran
yang
mengutamakan ketercapaian materi dan
cenderung mengabaikan proses yang
berdampak pada pembelajaran yang
terkesan hapalan bagi siswa. Para guru
disarankan untuk menggunakan modelmodel pembelajaran inovatif dengan
beberapa modifikasi agar sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan kondisi
sekolah. Salah satunya yaitu penggunaan
model pembelajaran MURDER, yang
dapat meningkatkan pemahaman konsep
siswa
melalui
tahapan-tahapan
pembelajarannya. Model pembelajaran
MURDER terdiri dari 6 langkah yaitu,
Mood, Understand, Recall, Detect,
Elaborate dan Review. 3) Peneliti yang
ingin melakukan penelitian lebih lanjut
dalam skala luas dan variabel yang
beragam mengenai model pembelajaran
MURDER agar dapat memperhatikan
kendala-kendala yang dihadapi seperti
keterbatasan waktu dan biaya yang
menyebabkan penelitian hanya dilakukan
pada mata pelajaran IPA saja. Dengan
demikian, penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk
menyempurnakan penelitian selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN
Agung, A. A. Gede. 2010. Pengantar
Evaluasi Pendidikan. Singaraja :
Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas
Ilmu
Pendidikan
Universitas Pendidikan Ganesha.
Dewi, Ni Ketut Sri. 2011. Implementasi
Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe
MURDER
Untuk
Meningkatkan Aktivitas dan Hasil
Belajar Siswa Mata Pelajaran IPA
Kelas IV SD No. 1 Pulukan Tahun
Pelajaran
2010/2011.Singaraja.
Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Pendidikan Ganesha.

Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)

Karli,

H dan Yuliariatiningsih. 2002.
Implementasi
Kurikulum
Kompetensi Jilid 2. Jakarta : Bina
Media Informasi.

Kurikulum 2006 Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
(KTSP)
Standar
Kompetensi
Mata
Pelajaran
SAINS.
2006.
Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Nita,

Ni Wayan. 2011. Implementasi
Model Pembelajaran MURDER
Berbantuan
Pertanyaan
Metakognitif untuk Meningkatkan
Motivasi dan Prestasi Belajar
Matematika Siswa Kelas VIII G
SMP Negeri 2 Sukawati.Singaraja.
Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan
Pendidikan
Fisika
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam
Universitas
Pendidikan
Ganesha.

Rasana, I D. P. R. 2009. Model-model
Pembelajaran.
Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.
Santyasa, I Wayan. 2009. Pengembangan
Pemahaman
Konsep
dan
Kemampuan Pemecahan Masalah
Fisika Bagi Siswa SMA Dengan
Pemberdayaan Model Perubahan
Konseptual Berseting Investigasi
Kelompok, (Online) tersedia pada
http://www.freewebs.com/santyasa
/pdf2/PENGEMBANGAN_PEMAH
AMAN_KONSEP.pdf
(diakses
tanggal 12 November 2013).
Sudjana. 2005. Metode dan Teknik
Pembelajaran
Partisipatif.
Bandung: Falah Production.
Tim Pengembang Lembaga Penelitian
UNDIKSHSA. 2009. Model –
Model
Komunitas
Belajar.
Kementrian Pendidikan Nasional
Universitas Pendidikan Ganesha.
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. 2003.
Jakarta