POLITIK KEKUASAAN PENDIDIKAN id. odc

1

POLITIK, KEKUASAAN, PENDIDIKAN
Oleh
Fridiyanto

A. Konsep Politik dan Kekuasaan
1. Kekuasan Menurut Pemikir Barat
Jika merujuk filsuf Barat, konsep kekuasaan akan menjadi sangat berbeda dari
ulasan para filsuf Islam klasik. Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya konsep
kekuasaan telah dipikirkan para Filsuf Yunani. Plato pernah mengemukakan
pemikirannya mengenai seorang penguasa haruslah seorang filsuf, karena filsuf
dengan kekuatan akal dan pikirannya akan mampu menyelesaikan masalah
masyarakat.
Pada perkembangan filsafat kekuasaan dan politik di dunia Barat banyak
memunculkan pemikir politik. Misalnya filsuf dari Italia, Nicollo Machiavelli
yang

konsep

pemikirannya


mengenai

kekuasaan

dan

politik

banyak

mempengaruhi dunia. Machiaveli banyak menyarankan kepada para penguasa
mengenai kekuasaan dan politik dalam bukunya Il Principe dan Prince. Begitu
besarnya pengaruh filsafat Machiavelli dalam perpolitikan dunia, sehingga para
pemimpin yang otoriter, culas, dan licik sering disebut sosok pemimpin
Machiavelis. Sebutan ini bermakna negatif, sesuai yang disarankan Machiavelli
mengenai pemimpin bisa melakukan apa saja demi kekuasaannya.
Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua hal yang
terpisah. Moral hanya merupakan strategi kekuasaan dan demi mempertahankan
legitimasi kekuasaan. Kekuasaan merupakan praktek berbagai upaya yang

dilakukan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.1 Prinsip utama Machiavelli

1 Corina Tambunan “Moralitas dan Kekuasaan: Studi atas Pemikiran Nicollo Machiavelli (14691527).”
Perpustakaan
Universitas
Indonesia.
UI
Thesis.
Diakses
di
http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp? Id=1164197lokasi=lokal tanggal 15 Oktober
2014.

2

hal terpenting dari tindak tanduk seorang pemimpin adalah lakukan apa saja untuk
merebut, memperluas, dan mempertahankan kekuasaannya.
Selanjutnya filsuf asal Perancis Michel Foucault banyak menyumbangkan
pemikirannya dalam filsafat kekuasaan, terutama relasi kekuasaan dengan
pengetahuan. Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan yaitu dapat menentukan

dan menetapkan pengetahuan dan tipe-tipe diskursus, serta menentukan benar dan
salah.2 Michel Foucault melihat kekuasaan sebagai wacana, dimana penguasa
harus mampu memaksa untuk mengetahui dan menggunakan wacana, maka
wacana tersebut menerapkan kekuasaan. Maka seorang penguasa harus
memproduksi wacana yang mengarahkan apa yang dipikirkan oleh sub ordinan.3
Foucault melihat kekuasaan dengan menekankan pada wacana sebagai alat
kekuasaan. Kekuasaan atau sebuah kelompok dominan didirikan melalui wacana,
dan

kekuasaan

memiliki

pengaruh.

Melalui

wacana,

kekuasaan


bisa

mempengaruhi pemikiran masyarakat dalam sebuah upaya melestarikan sebuah
kekuasaan. Wacana yang disebarkan sebuah kekuasaan akan membangun sebuah
ketidakadilan dan ketidaksetaraan
Bagi Foucault kekuasaan hanya bisa dipertahankan dengan penguasaan
wacana yang bersifat revolution from above,4 seorang penguasa harus mampu
menghegemoni, dan mendominasi publik. Selanjutnya kekuasaan mempunyai
hubungan

dekat

dengan

pengetahuan,

karena

kekuasaan


menghasilkan

pengetahuan. Maka dengan pengetahuan tersebut penguasa bisa membentuk
sebuah dominasi rezim yang berdasarkan pengetahuan.
Foucault menyebutnya sebagai serious speech act, dimana setiap wacana yang
disampaikan kepada publik sesungguhnya telah dirancang sedemikian rupa oleh
2 M. Abdul Hamid. Konstruk Nahwu dalam Konteks Politik: Perdebatan Madrasah Basrah dan
Kufah. (Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

3 Pip Jones, Introducing Social Theory, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Pengantar Teori-teori
Fungsionalisme Hingga Post Modernisme. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 202-203.
4 Mengacu pada konsep diskursus Foucault, menurut Sarra Mills, selain kekuasaan, pengetahuan,
seksualitas, subjektifitas, dan kegilaan, Foucault menggunakan konsep diskursus untuk mengacu
domain umum pasif (passive revolution), revolusi dari atas (revolution from above), pemanfaatan
institusi untuk menciptakan perubahan struktur dalam upaya membentuk blok historis baru.

3

kelompok ahli untuk kepentingan penguasa. Sehingga publik akan mengikuti apa

yang diberikan oleh penguasa. Foucault menjelaskan konsep kekuasaannya ini
dalam buku Discipline and Punish5 . Foucault mengibaratkan sebuah organisasi
sebagai rumah sakit jiwa, disini publik diibaratkan sebagai pasien dan penguasa
diibaratkan seorang dokter. Artinya seorang penguasa selalu benar atas
tindakannya kepada rakyat.
Posisi publik sebagai pasien harus mematuhi wacana atau apa saja yang
diberikan oleh dokter. Benar sekali pun yang dilakukan oleh pasien tetap saja
dokter memiliki kewenangan untuk menyatakan itu salah. Dengan kesadaran dan
pengetahuan maka dokter dapat mengendalikan pasien sakit jiwa. Maka apa yang
terjadi di rumah sakit jiwa yang terjadi adalah relasi antara dokter dan pasien.
Dalam konteks organisasi, seorang penguasa harus mampu mengendalikan
anggotanya dengan pengetahuan yang dimilikinya dan di dukung oleh rezim
pengetahuan.
Sedangkan Anthony Gramsci menawarkan bahwa supremasi wacana bisa
dalam bentuk dua cara berbeda; Dominasi (dominio) atau Paksaan dengan cara
militeristik, dan Kepemimpinan Moral Inteletual (direzione intelletule morale).
Dalam konsep “kuasa pengetahuan” Gramsci dan Foucault memiliki kesamaan,
bahwa dengan pengetahuan seorang penguasa akan mampu menguasai publik.
Gramsci juga memiliki kesamaan dalam memandang bahwa wacana melalui
media adalah alat kekuasaan. Gramsci mengatakan bahwa media merupakan arena

pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for
competing ideologies). Konsep ini disebut Gramsci sebagai hegemoni, yaitu yang
kuat mendominasi yang lemah atau pemaksaan cara pandang melalui ideologi,
hegemoni ini berlangsung secara sadar maupun tidak sadar
Jika dilihat dalam perspektif Marxisme yang pernah (dan masih) menjadi
landasan perjuangan komunisme internasional mau pun komunisme nasional .
5 Buku yang ditulis Foucault pada tahun 1976 ini memperlihatkan bagaimana zaman klasik
maupun modern telah menampakkan penjara sebagai tampilan kedaulatan negara memonopoli
kekerasan atas rakyatnya untuk memonopoli kekuasaan ilmu pengetahuan juga merupakan sebagai
alat untuk membentuk individu dan sebagai alat untuk control mereka.

4

Bahwa kekuasaan merupakan pertarungan kelas antara kelas proletariat dan kaum
borjuis yang di dalam dua strata sosial ini terdapat ideologi komunisme dan
kapitalisme. Bagi kelompok proletariat yang dikuasai oleh kelompok kapitalis
borjuis maka mereka harus merebut kekuasaannya mau pun sistem pemerintahan
dengan melakukan pertentangan kelas hingga sampai pada tahap revolusi atau
perebutan kekuasaan dan menguasai pemerintahan sehingga dibentuklah sistim
diktator proletariat.

Untuk merebut kekuasaan menurut Marx, dibutuhkan konflik kelas dan
terjadinya transformasi radikal (revolusi).
“Pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan-kekuatan material produksi
di dalam masyarakat mulai mengalami konflik dengan relasi-relasi produksi
yang sudah ada atau-sesuatu yang tak lebih dari ungkapan persoalan yang
sama-berkonflik dengan relasi-relasi kekayaan yang menjadi wahana kerja
bagi kekuatan material tersebut. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan
produksi, relasi tersebut berubah menjadi belenggunya. Kemudian terjadilah
masa revolusi sosial. Seiring dengan perubahan landasan ekonomi, seluruh
suprastruktur raksasa nyaris mengalami transformasi secara pesat.” 6
Anthony Giddens menjelaskan bahwa Marx menghubungkan kekuasaan
dengan perpecahan dan pembagian kepentingan di antara kelas.7 Kekuasaan
berkaitan dengan konflik. Bagi Marx umat manusia yang berada dalam
lingkungan-lingkungan yang didominasi harus mengobarkan perjuangan dan
menciptakan konflik dengan penguasa yang mendominasi.

Pada saat sistem

kekuasaan diktator proletariat berdiri maka kelas pekerja menguasai segala bentuk
sumber daya dan membuat kelompok borjuis dan kapitalis harus patuh dalam

sistem yang mereka bangun, atau bisa dikatakan tidak ada lagi kelas, selain kelas
pekerja yang berkuasa.
Giddens menyebut kekuasaan sebagai Dialektika Kontrol dalam sistem sosial,
yang menyatakan bahwa para aktor sosial mengetahui, dan harus mengetahui,
6 Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy dalam Anthony Giddens,
Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial.
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 289.
7 Anthony Giddens. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat.
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 400.

5

banyak perihal situasi atau lingkungan tindakan mereka, dapat dihubungkan
dengan dominasi dan kekuasaan.8 Giddens coba menjelaskannya dengan konsep
birokrasi nya Max Weber. Weber menjelaskan bahwa dalam birokrasi terjadi
“pengerucutan” menuju puncak sedemikian rupa sehingga terjadi kemajuan
birokratisasi sedikit banyak berarti penurunan progresif dalam hal otonomi
tindakan bagi orang-orang yang menduduki eselon lebih rendah.
2. Kekuasaan dan Politik
Mendikusikan kekuasaan tidak bisa terlepas dari kata politik. Karena melalui

politik lah kekuasaan bisa direbut (diperoleh), diperluas, dan dipertahankan.
Setiap proses kekuasaan tersebut selalu melakukan proses atau pun strategistrategi politik agar orang yang ingin dipengaruhi dapat mengikuti kehendak
penguasa. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh sekali pun atau seorang
diktator, tetap harus melakukan rumusan dan strategi politik.
Kata “politik” sering dimaknai bahkan sudah menjadi citra publik merupakan
sebuah kata yang tendensi negatif. Bahkan di Amerika muncul sebuah ungkapan
“politik adalah kata yang paling kotor.” Politik mengesankan kepada tindakantindakan yang tidak bermoral dan bahkan mengabaikan manusia dan rasa
kemanusiaan. Walau pun sebenarnya ketika dimaknai otensitas politik
sebagaimana yang dikatan seorang Filsuf Jerman, Hannah Arendt bahwa politik
itu semestinya mampu membuat orang berempati, memahami orang lain, dan
sanggup keluar dari kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya untuk
merasakan dan merespon apa yang di inginkan orang di luar dari dirinya. Jadi
sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata politik dan setiap aktifitas politik,
jika itu dimaknai untuk kebaikan bersama dalam sebuah organisasi. Bahkan
dengan aktifitas politik semestinya, individu atau pun kelompok dapat
memperlihatkan kepedulian dan empatinya kepada individu atau kelompok di luar
dirinya.

sebagaimana makna karta politik itu sendiri seperti dalam Kamus


Webster mendefinisikan politik “the art or science concerned with guiding or
influencing...policy....with winning and holding control..(and) competition
8 Giddens, Op.cit. Problematika...hlm. 275.

6

between competing interest groups or individuals for power and leadership”.9
Dapat dilihat bahwa politik adalah seni atau ilmu yang mempelajari dan
mempengaruhi dengan memenangkan dan mengendalikan persaingan antara
individu atau kelompok kepentingan untuk kekuasaan dan kepemimpinan.
Dapat dilihat bahwa hubungan antara politik dan kekuasaan adalah bahwa
aktifitas politik merupakan upaya untuk merebut kekuasaan. Jika dimaknai dalam
organisasi, bahwa politik organisasi adalah upaya individu dan kelompok
kepentingan untuk memperjuangkan kepentingan masing masing dengan berusaha
merebut pengaruh melalui kekuasaan yang para aktor miliki.
Kekuasaan adalah kapasitas untuk merubah sikap dan perilaku orang lain
dalam bentuk yang diinginkan.10 Steven McShane dalam bukunya Organizational
Behavior menggambarkan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau
kelompok orang untuk mempengaruhi lainnya.11 Dalam teori perilaku organisasi
dipandu oleh rasional, alasan rasional untuk tujuan kepentingan organisasi lebih
lanjut. Dalam praktiknya perilaku organisas dimotivasi dan dipandu oleh politik
organisasi sebagai individu dan kelompok yang berusaha untuk memiliki jalan
sendiri untuk tujuan dan kepentingannya.12
Menurut Max Weber kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka
hubungan-hubungan sosial untuk melaksankan keinginan seseorang. Sungguhpun
terdapat tantangan dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinankemungkinan tersebut.13 Menurut Marx dan Engel kelas yang berkuasa disetiap
9 Webster’s ninth New Collegiate Dictionary. Springfield, MA: Merrriam Webster,1985
10 Jerald Greenberg, dan Robert A. Baron. Behavior Organizations. (Sixth Edition, London:
Prentice Hall, 1995), hlm. 402.

11

EEM.
Rawes,
“Power,
Influence&
Politics
in
the
Workplace”,
http://smallbusiness.chron.com/power-influence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal

19 Oktober 2014
12 Randal B. Dunham dan John L, Pierce, Management. (USA: Scott, Foresman and Company,
1989), hlm. 545-546.

13 Tilaar,H.A.R, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan
Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.136.

7

zaman sekaligus adalah ide yang berkuasa. Artinya, kelas yang menguasai
kekuatan intelektual masyarakat yang bersangkutan.14 Sementara Antonio Gramsci
mengatakan bahwa kekuasaan bisa dilakukan dengan kekuatan militer mau pun
intelektual. Jika menggunakan kekuatan militer, maka lebih cendrung kepada
intimidasi, berbeda jika kekuasaan diperoleh dengan kekuatan intelektual, maka
hal itu bisa disebut dengan hegemoni.
Robert Dahl mendefenisikan kekuasaan sebagai A memiliki kekuasaan
meliputi B untuk memperluas yang dia bisa dapat dari B untuk melakukan sesuatu
walau pun B tidak ingin lakukan.15

Istilah kekuasaan menurut Dahl yaitu

mencakup kategori hubungan kemanusiaan yang luas, seperti hubungan yang
berisi pengaruh, otoritas, dorongan, kekerasan, tekanan dan kekuatan fisik. 16
Memahami konsep kekuasaan dari Dahl ini, yaitu kekuasaan adalah antara dua
orang atau lebih. Kekuasaan tidak dimiliki secara mudah. Individu atau kelompok
harus mampu mengatasi individu atau kelompok lain terlebih dahulu untuk
memperoleh kekuasaan. Selain itu Dahl menjelaskan bahwa kekuasaan mengacu
pada kapasitas seseorang individu untuk merubah sikap atau tindakan individu
yang lain. Dalam hubungan kekuasaan satu individu dapat mempengaruhi
pemikiran yang lain, atau mengendalikan perilaku individu lain.
Kekuasaan dapat dilihat ketika individu mempunyai wewenang untuk
menilai, menghargai dalam organisasi, maka dapat dikatakan dia memiliki
kekuasaan. Disisi lain pemiliki kekuasaan juga mampu memberikan sanksi atau
hukuman kepada anggotanya.
Kekuasaan dan politik memainkan peran penting dalam bisnis, dari mengatur
bagaimana keputusan dibuat hingga bagiamana atasan berinteraksi dengan satu
sama lain. Dalam bisnis apakah itu hal besar atau hal kecil, pengaruh kekuasaan
14, hlm. 588.

15 Robert Dahl (1957) dalam Linda K. Stroh et.al, Organizational Behavior: A Management
Challenge. Third Edition. (London: Lawrence Erlbaum Associates, 2002), hlm.193.

16 Robert A. Dahl dalam Adang Taufik Hidayat,Op.cit. Pemikiran...., hlm. 18.

8

bergantung pada apakah atasan menggunakan positif atau negatif kekuasaan untuk
mempengaruhi orang lain di tempat kerja. Politik berpengaruh langsung terhadap
yang memiliki kekuasaan dan membatasi apakah keseluruhan budaya di empat
kerja mendukung produktivitas.17
Kekuasaan yang positif dalam organisasi mampu mendorong produktivitas.
Misalnya dengan memberikan anggota kekuasaan untuk mengambil keputusan,
penghargaan kepada anggota terhadap kinerjanya. Kekuasaan positif akan
memberikan kepercayaan diri dan motivasi kepada anggota untuk bekerja lebih
baik. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun komunikasi yang baik dan
menghargai anggotanya. Ketika seorang pemimpin tidak memiliki penghargaan
kepada anggotanya maka ini merupakan kekuasaan yang negatif. 18 Olehkarena itu
organisasi harus membangun kekuasaan dan politik yang positif di organisasi agar
dapat mendorong produktifitas. Iklim kolaborasi dan sistim perintah yang jelas
akan memperkecil peluang konflik organisasi.
3. Sumber Kekuasaan
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya atas pihak lain, dan sebagai suatu fenomena yang memiliki berbagai
bentuk. Kekuasaan memiliki beberapa sumber, yaitu di samping dimiliki oleh
orang yang memiliki kewenangan resmi dan kekuatan fisik (senjata) mau pun
ekonomi.19 Kejujuran moral yang tinggi dan pengetahuan dapat pula menjadi
sumber timbulnya kekuasaan. Kekuasaan cendrung cendrung membuat orang
yang memilikinya selalu ingin mempertahankannya bahkan memperluasnya.

17Stacy Zeiger. The Impact of Power and Politics in Organizational Productivity.
http://smallbussiness.chron.com/impact-power-politics-organizational-productivity-35942.html
Diakses 16 Oktober 2014
18 Ibid

19 Mochtar Kusumaatmadja dalam Nanik Trihastuti, “Hubungan Antara Hukum dan Keuasaan
dalam Perspektif Filsafat Huku” Makalah disajikan dalam diskusi Bagian Hukum Internasional.
(Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 4.

9

Setiap orang menginginkan posisi atas atau posisi tertinggi

di sebuah

organisasi dimana tempatnya mengaktualisasikan diri. Motif berada pada level
atas ini tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga kepada motif akan kekuasaan
itu sendiri.20 Jennifer M. George membagi dua jenis kekuasaan, yaitu Kekuasaan
Individual Formal dan Kekuasaan Individual Informal. Kekuasaan individual
formal adalah

kekuasaan dalam sebuah organisasi hirarkis yang diperoleh

individu dalam organisasi. Mereka menerima tanggung jawab formal

untuk

menjalankan tugas-tugasnya. Sementara organisasi memberikan otoritas formal
untuk memanfaatkan orang dan sumber daya organisasi agar dapat sukses
menjalankan

kewajibannya.21

Sementara

Kekuasaan

Individual

Informal

merupakan kekuasaan dari karakteristik personal seperti personaliti, keahlian, dan
kapabilitas.22
Kekuasaan Individual formal bersumber dari hal sebagai beikut:
1. Legitimasi kekuasaan. Kekuasaan untuk mengendalikan dan menggunakan
sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Reward power. Kekuasaan diberikan berdasarkan promosi, penghargaan,
proyek-proyek penting.
3. Coercive power. Kekuasaan yang diberikan untuk memberi sanksi
4. Kekuasaan Informasi. Kekuasaan yang diperoleh dari keleluasaan
mengakses dan mengendalikan informasi.23
Sedangkan Kekuasaan Individual Informal bersumberkan dari:
20

EEM.
Rawes,
“Power,
Influence&
Politics
in
the
Workplace”
http://smallbusiness.chron.com/power-influence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19
Oktober 2014.
21 Jennifer, op.cit, hlm, 409
22 Ibid, hlm, 411.

23 Jennifer. Op.cit, hlm, 41

10

1. Kekuasaan ahli. Kekuasaan yang bersumberkan dari kekuataan dan
kemampuan dari keahlian yang dimiliki individu.
2. Referent power. Kekuasaan yang diperoleh berdasarkan pengaruh di
kelompok karena disukai, dihargai, dan dihormati.
3. Kekuasaan kharismatik. Kekuasaan berdasarkan persoanlitas, penampilan
fisik, dan kecakapan indiviu yang membuat orang mempercayainya.24
Sementara French dan Raven merumuskan sumber kekuasaan sebagai berikut:
1. Kekuasaan personal. Kemampuan pemimpin untuk mengembangkan
pengikut dari kekuatan personalitas mereka.
2. Kekuasaan ahli. Kemampuan untuk mengendalikan perlaku orang lain
karena memiliki pengetahuan, pengalaman, yang tidak dimiliki orang lain,
namun dibutuhkan.
3. Kekuasaan legitimasi. Pengesahan otoritas hak.
4. Kekuasaan

penghargaan.

Posisi

dimana

seorang

manajer

dapat

menggunakan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik untuk mengendalikan
orang lain.
5. Kekuasaan Koersif. Posisi dimana manajer dapat memberikan hak atau
memberikan hukuman untuk mengendalikan orang lain.25
4. Konsep Politik Pendidikan
Hubungan antara politik dengan pendidikan bukanlah suatu hal yang baru.
Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah
24 Ibid, hlm. 412.

25 Roy E. Belen dalam Dominica R. Lorbes. Influence, Power & Politics in the Organisation.
Organizational Behavior & Development, 1 st Semester SY 2007-2008, hlm.3.

11

memberikan perhatian yang cukup intens dalam politik pendidikan.26 Selanjutnya
Azra mengutip penegasan para filsuf mengenai politik pendidikan “As is the state,
so is the school” (“sebagaimana negara, seperti itulah sekolah”), atau “What you
want in the state, you must put in the school” (“apa yang anda inginkan dalam
negara, harus anda masukkan ke sekolah”)27
Tilaar membuat Tiga Belas Garis Besar peran negara dalam pendidikan: (1)
Pemerataan

pendidikan;(2)Kualitas;(3)

Proses

pendidikan;(4)Manajemen;

(5)Metodologi;(6) Pelaksanaan; (7) Perubahan sosial; (8) Perkembangan
demokrasi; (9) Perkembangan sosial ekonomi masyarakat sekitar; (10)
Perkembangan nilai moral dan agama; (11) Nasionalisme; (13) Pelaksanaan wajib
belajar 9-12 tahun.28
Dapat dilihat bagaimana pentingnya pendidikan bagi pemerintah untuk
mengelola kekuasaanya, sehingga perlu dilakukan intervensi ideologis, agar apa
yang berlangsung di sekolah sesuai dengan ideologi negara atau kehendak seorang
penguasa politik. Olehkarena itu pemerintah atau penguasa politik merasa penting
untuk mengeluarkan kebijakan, terlepas dari apakah kebijakan tersebut baik untuk
sekolah atau bahkan berdampak buruk bagi keberlangsungan lembaga pendidikan
secara khusus atau pendidika umumnya.
a. Pengertian Politik Pendidikan
Kata “politik” pertama kali diperkenalkan oleh Plato dalam bukunya
Republik. Kemudian Aristoteles juga membahas politik dalam bukunya Politeia.29
Dalam kamus Webster politik adalah “the art or science concerned with guiding
or influencing...policy....with winning and holding control..(and) competition
between competing interest groups or individuals for power and leadership”.30
26 Azra, Op.cit. Pendidikan Islam...,hlm.61.
27 Ibid, hlm.61.
28 H.A.R. Tilaar. Op.cit. Kekuasaan dan Pendidikan...hlm.199.
29 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali,1982),hlm.11.

30 Webster’s ninth new collegiate dictionary (Springfield, MA: Merrriam Webster,1985).

12

Politik merupakan seni atau ilmu yang mempelajari pengaruh, kebijakan dengan
memenangkan dan mengendalikan dan persaingan antara kepentingan kelompok
atau individu untuk kekuasaan dan kepemimpinan.
Dalam teori perilaku organisasi adalah alasan rasional untuk tujuan
kepentingan organisasi lebih lanjut. Dalam praktiknya perilaku organisasi
dimotivasi dan dipandu oleh politik organisasi sebagai individu dan kelompok
yang berusaha untuk memiliki jalan sendiri untuk tujuan dan kepentingannya. 31
Menurut Max Weber kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka
hubungan-hubungan sosial untuk melaksankan keinginan seseorang, sungguhpun
terdapat tantangan dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinankemungkinan tersebut.32 Di suatu negara demokratis rakyat adalah pemegang
kedaulatan tertinggi, maka keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
harus dibuat atas namanya. Maka rakyat adalah bagian dari pemerintahan yang
lebih berhak mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah.33

b. Politik dan Kebijakan Pendidikan
Ideologi politik dan Ideologi pendidikan merupakan hal penting dalam proses
kebijakan.34 Kebijakan terkadang dibuat secara aksidentil atau sebagai hasil dari
kebutuhan politik. Dalam kondisi ini ideologi menjadi kurang penting.35

31 Randal B. Dunham dan John L, Pierce, Management,( USA: Scott, Foresman and Company,
1989), hlm. 545-546.

32 H.A.R. Tilaar, op.cit., hlm. 136.
33 Daoed Joesoef.Op.cit. hlm. Xi.
34 Paul Trowler, Education Policy (New York: Routledge. 2003), hlm.119.
35 Ibid, hlm.105.

13

Selanjutnya Tilaar mengatakan bahwa dalam kehidupan bernegara tersangkut
dalam pelestarian kekuasaan negara melalui politik dan kebudayaannya yang
dapat disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikannya. 36 Untuk melestaikan
kekuasaan dalam pendidikan tersebut maka dirumuskan dan dibuatlah kebijakankebijakan yang dilaksanakan secara menyeluruh bagi pendidikan atau pun satuansatuan pendidikan.
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan program dan hasil perumusan
langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi misi pendidikan
dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk kurun waktu tertentu.37 Kebijakan publik dalam pendidikan agar
menjamin

pendidikan

menjadi

kepentingan

publik.38

Selanjutnya

Fatah

menjelaskan bahwa yang ditetapkan oleh pemerintah tidak hanya mengatur
kurikulum, pedagogi, dan penilaian,tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan
sarana fisik sekolah.39
Fungsi kebijakan dalam pendidikan, yaitu:
1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu
ada dalam pendidikan.
2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa
dan guru.40
c. Proses Politik dalam Pembuatan Kebijakan Pendidikan
Dalam pendidikan dua tatanan kekuatan ideologi bekerja: Ideologi politik dan
Ideologi Pendidikan.41 Menurut Hartley, ideologi memiliki peran penting dalam
proses pembuatan kebijakan. Ideologi menjadi kerangka nilai-nilai, ide-ide dan
36 Tilaar. Op.cit. Kebijakan Pendidikan...hlm.198
37 Ibid, hlm.140.
38 Nanang Fatah, Analisis Kebijakan Pendidikan (Bandung: Rineka Cipta. 2013), hlm.132.
39Ibid, hlm.132.
40 Ibid, hlm.132.
41 Paul Trowler. Op.cit. Education Policy.....,hlm.103.

14

keyakinan mengenai cara masyarakat seharusnya diorganisasi dan bagaimana
sumber daya seharusnya dialokasikan untuk mencapai keinginan. Kerangka
tindakan ini menjadi panduan dan pengesahan perilaku.42
Kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pesan konstitusi kemudian dijabarkan
dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan tersebut kemudian
direncanakan dan dapat dicapai melalui lembaga-lembaga sosial atau organisasi
dalam bentuk lembaga pendidikan formal, non formal dan formal.43
Kebijakan pendidikan sering dipikirkan sebagai sebuah pernyataan yang
biasanya ditulis dalam dokumen kebijakan. Kebijakan pendidikan merupakan
sebuah prinsip-prinsip dan tindakan-tindakan pesifik ang berkenaan dengan isuisu pendidikan yang diikuti mengikuti apa yang seharusnya dan yang telah
dirancang untuk mencapai tujuan.44 Menurut Ball kebijakan ada diantara teks dan
tindakan, kata dan tindakan, inilah yang diwujudkan sebagaimana yang
diinginkan. Kebijakan-kebijakan selalu tidak lengkap sebagaimana dalam
praktiknya.45
Bagaimanapun kebijakan dibuat mulai dari level sekolah, daerah, dan nasional
tiga langkah dasar dalam pembuatan kebijakan penting dilakukan untuk
selanjutnya melakukan proses politik.46
1. Penempatan masalah (atau isu). Memahami masalah sesuai dengan isu
yang beragam.
2. Mobilisasi struktur yang baik dari tindakan pemerintah. Bentuk apa
tergantung pada dimana kebijakan dibahas dan konteks pembuat kebijakan
(pemerintah, sekolah, pemerintah daerah)
42Ibid, hlm.103.

43 H.A.R. Tilaar, op.cit., hlm. .132
44 Ibid, hlm.95.
45 Ibid, hlm.95.
46 Ibid, hlm.95.

15

3. Penempatan capaian (kompromi-kompromi yang membangun sebuah
kerangka bagi kebijakan dan praktik dalam menghadapi dilema dan
menukar nilai-nilai. Kebijakan selalu produk kompromi antara beragam
agenda dan pengaruh-pengaruh.47
Pada awal Abad 21 ada lima isu dalam kebijakan pendidikan, yaitu:
Peningkatan ketersediaan pendidikan; Mengatasi permasalahan sosial dan
peningkatan kesamaan dan kesempatan; Mengangkat profesi pendidikan;
Meningkatkan manajemen pendidikan; dan Membentuk masyarakat belajar.
d. Intervensi Penguasa Politik dalam Pendidikan
Menurut Beckhard pemimpin organisasi harus memiliki visi jelas dan
komitmen kuat untuk membuat investasi personal signifikan dalam membangun
dan mengembangkan komitmen seluruh staf.48 Di United Kingdom intervensi
pemerintah dalam kebijakan dapat dilihat dari Manifesto Partai Buruh tahun 1997,
sebagaimana dalam teks aslinya: “Education will be our number one priority, and
we will increase the share of national income spent on education as we decrease
it on the bills of economic and social failure”. Dalam terjemahannya “Pendidikan
akan menjadi prioritas utama kita, dan kita akan meningkatkan penggunaan
pendapatan nasional untuk pendidikan sebagaimana kita menguranginya untuk
biaya ekonomi dan kegagalan sosial.”
Selanjutnya David Blunket dalam Labour’s Education Manifesto 2001
menyatakan: “We have seen real improvements in the last four years. We have
laid the foundations with increased investment, lower class sizes and rising
primary school standards...Our education manifesto starts with a commitmet
further to increase the share of national income devoted to education...The
challenge for us-and for our nation – in the next four years is to build on those

47 Ibid, hlm.95.
48 Beckhard dan Pritchard dalam Paul Trowler, Op.cit. Education Policy...,hlm.123.

16

foundations to see the investment and reform that our schools, colleges and
universities all need.49
Intervensi pemerintah dalam kebijakan pendidikan juga dapat dilihat d Inggris
ketika pada Pemilihan Mei 1997, dimana Partai pemerintah the New Labour
berjanji bahwa pendidikan akan menjadi prioritas utama pemerintahan.
“Education, education, education, was the key to Britain’s future” demikian kata
Tony

Blair

untuk

meyakinkan

publik

bahwa

pemerintahannya

akan

mengintervensi kebijakan-kebijakan pendidikan.
Jika di lihat kasus kebijakan pendidikan Islam di Malysia pada masa kolonial,
akan sangat nampak bagaimana posisi pendidikan Islam. Sebelum kemerdekaan
Malaya pada 1957 politik kebijakan pendidikan Islam pemerintahan

Inggris

menciptakan skisma dikalangan Melayu.50 Pemerintah kolonial Inggris di Malysia
menerapkan kebijakan pendidikan diferensial, yang oleh Khasnor Johan (1967)
disebut sebagai pendidikan Melayu yang elitis dan eksklusif. 51 Studi-studi
kebijakan pendidikan Inggris yang dilakukan oleh Willer (1975) dan Yegar (1976)
menemukan bahwa mayoritas Melayu didorong untuk menguasai pendidikan
Islam yang lebih difokuskan pada menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. 52 Sedangkan
kaum bangsawan diberikan pendidikan “sekuler” dengan berbahasa Inggris
sampai ke tingkat tertinggi.53 Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial lebih
mengorientasikan masyarakat Melayu dalam masyarakat kolonial.54
3. Politik Pendidikan bagi Pesantren dari Masa ke Masa
49 David Blunkett, Labour’s Education Manifesto, 2001
50 Husin Mutalib, Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu (Jakarta: LP3ES,1995),hlm.24.
Abdul Rashid Ahmad (1966), Winzeler (1975) menjelaskan dalam Mutalib bahwa sebelum
kemerdekaan Malysia, Pemerintah Inggris menyediakan pendikan formal untuk anak-anak Melayu
dimulai dari mesjid-mesjid dan surau-surau kecil di daerah pedesaan. Terkadang pendidikan
keagamaan juga dilaksankan di Pondok atau juga disebut “Sekolah Al-Qur’an”
51 Ibid, hlm. 24.
52 Ibid, hlm.24.
53 Ibid, hlm.24.
54 Menurut catatan Husin Mutalib Pemerintah Kolonial tidak tertarik mendorong masyarakat
Melayu awam keluar dari tradisional mereka. Olehkarena itu George Maxwell, Sekretaris Kepala,
dan Frank Swettenham, Residen Jendral, Gubernur, dan Komisioner Tinggi menjalankan
kebijakan diskriminatif.

17

Pesantren awalnya merupakan pusat penyebaran Islam oleh para wali yang
merupakan kelanjutan dari sistem zawiyah55 di India56 dan Timur Tengah.57
Sistem pesantren bermula dari pengakuan masyarakat terhadap seorang ulama
(kyai) sehingga banyak masyarakat yang berdatangan pada kyai, selanjutnya
orang yang belajar disebut santri.58
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluasluasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu
sendiri.59 Kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dapat dikategorikan dalam
empat periode: Periode Pra Kemerdekaan, Periode Orde Lama, Periode Orde
Baru, Periode Reformasi. Dalam pembahasan sub bab ini hanya akan difokuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan Islam khususnya yang berkenaan dengan
pesantren yang diterapkan oleh pemerintahan pada setiap fase.
a. Pra Kemerdekaan
Pada

periode

pra

kemerdekaan

kebijakan

pendidikan

Islam

dapat

diklasifikasikan sebagai berikut: Masa Penjajahan Belanda, Masa Penjajahan
Jepang.
1) Masa Penjajahan Belanda

55 Sistem zawiyah merupakan sistem pembelajaran yang awalnya diselenggarakan dalam mesjid
secara berkelompok berdasarkan diversivikasi aliran sehingga pada masa berikutnya menjadi
aliran pemikiran agama.
56 Kacung Marijan,Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah1926 (Jakarta: PT.Gelora Aksara
Pratama, 1992),
hlm.39. mengatakan bahwa kata pesantren bukanlah berasal dari kosa kata
Arab, melainkan dari bahasa India. Mengutip A.H. Johns, istilah santri berasal dari bahasa Tamil
yang artinya guru mengaji. Sedangkan C.C.Berg mengatakan bahwa istilah santri berasal dari
bahasa India “shantri”, yang berarti orang yang tahu buku-buku agama Hindu. Namun menurut
Mahmud Yunus bahwa istilah “pondok” yang sering identik dengan pesantren berasal dari bahasa
Arab “funduq” yang artinya hotel atau sarana.
57 Nurcholish Madjid, Tasawuf dan Pesantren (Jakarta: LP3ES,1995) sebagaimana dikutip dalam
Imam Bawani dkk, Pesantren Buruh Pabrik: Pemberdayaan Buruh Pabrik Berbasis Pendidikan
Pesantren (Yogyakarta: LKIS, 2011), hlm.45.
58 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm,hlm.
165.
59 Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar) dalam
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), hlm. v.

18

Landasan idil pendidikan masa kolonial Belanda hanyalah dalam rangka
memenuhi tenaga buruh untuk kepentingan modal, maka pada masa ini tidak
begitu jelas dasarnya.60 Pemerintah kolonial Belanda menjalankan politik
pendidikan separuh hati, karena mereka tidak menginginkan kaum pribumi
memiliki kecakapan intelektual. Maka pendidikan yang diselenggarakan adalah
mempersiapkan

pekerja-pekerja

teknis

yang

diperuntukkan

kepentingan

kolonialisme Belanda.
Beberapa ciri umum politik pendidikan pemerintah kolonial Belanda adalah:
1. Gradualisme pendidikan bagi anak-anak putra pribumi.
2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan tajam antara
pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
3. Kontrol sentral yang kuat.
4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk
menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan
pendidikan.
5. Prinsip konkordasi yang menyebabkan maka sekolah di Indonesia sama
dengan negeri Belanda.
6. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan
anak pribumi.61
Pada masa kolonial Belanda pesantren dicurigai, ditekan, dan diintimidasi.62
Menurut Dawam Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul “Dunia Pesantren”, hal
ini

dikarenakan pesantren merupakan pusat perlawanan terhadap pemerintah

kolonial.63 Akibat tekanan kolonial Belanda membuat pesantren mengundurkan
diri (uzlah) dan menampakkan perlawananannya dengan berada jauh di pusat
pemerintahan kolonial, sehingga pesantren berada di pedesaan, pelosok kampung
yang sangat sulit untuk dikunjungi orang. Walau pun pesantren mengasingkan diri
dari keramaian, namun pada dasarnya pesantren juga mempersiapkan untuk

60 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit., Pendidikan di Indonesia., hlm. 64.
61 Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),hlm.20.
62 Kraemer, Agama Islam (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952) dalam Imam Bawani, Op.cit.,
Pesantren Buruh., hlm.49.
63 Ibid, hlm. 48.

19

memberontak pemerintah kolonial Belanda dengan memantapkan pelajaran jihad
dan pelatihan fisik (bela diri).
Sikap perlawanan pesantren terhadap pemerintah kolonial Belanda, membuat
dikeluarkannya peraturan yang membatasi ruang gerak pendidikan agama, antara
lain izin dari pemerintah. Langgar, surau, madrasah, dan pesantren diawasi oleh
pemerintah

Belanda

karena

dianggap

sebagai

tempat

kaderisasi

para

pemberontak.64 Pada tahun 1882 M pemerintah kolonial Belanda membentuk
Priesterraden, sebuah lembaga yang bertugas mengawasi kehidupan beragama
dan pendidikan Islam.65 Tahun 1905 Lembaga Priesterraden memberikan
rekomendasi kepada pemerintah kolonial bahwa orang yang memberikan
pengajian agama harus memiliki izin pemerintah kolonial terlebih dahulu. 66 Pada
tahun 1925 M pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan lebih ketat bahwa
tidak semua kyai boleh memberikan pengajian agama. 67 Puncaknya pada tahun
1932 M, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan bahwa pemerintah kolonial
Belanda dapat menutup sekolah, madrasah, pesantren jika memberikan pelajaran
yang tidak disukai pemerintah. Peraturan ini dikenal dengan nama Ordonasi
Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).68
Karena Politik Etis Belanda, maka poin penting kebijakan pemerintah kolonial
Belanda adalah: 1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak
mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera. Untuk itu bahasa Belanda
diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah; 2) pemberian
pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan
mereka.69
Modernisasi pendidikan yang diinginkan Belanda terhadap penduduk pribumi
adalah dengan cara mendirikan volkschoolen, Sekolah Rakyat, atau Sekolah Desa
64 Dirjen Kelembagaan Islam, Op.cit, Sejarah Pendidikan.,hlm. 12.
65 HR.Mubagid, Diktat Kuliah Sejarah Pendidikan Islam dalam Zuhairini (dkk), Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Departemen Agama dan Bumi Aksara, 1997) hlm. 149.
66 Ibid, hlm. 149.
67 Ibid, hlm.149.
68 Ibid, hlm.149-150.
69 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, op.cit., hlm. 63.

20

(nagari) dengan masa belajar tiga tahun.70 Namun menurut Azyumardi Azra
sekolah umum yang didirikan Belanda ini mendapat resistensi dari masyarakat
pribumi, karena mereka beranggapan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh
pemerintah kolonial tersebut hanyalah untuk “membelandakan” anak mereka.
Sementara di Minangkabau, surau yang merupakan lembaga pendidikan Islam
tradisional ditransformasikan secara formal menjadi sekolah nagari. Namun pada
kenyataannya sekolah nagari yang pada awalnya adalah surau tersebut tidaklah
sepenuhnya mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda.
Sehingga

pemerintah

Belanda

menstandarkan

kurikulum,

dan

metode

pengajarannya.71 Di Bukit Tinggi pada tahun 1850 untuk pertama kali pemerintah
Belanda mendirikan HIS (Hollandsc-Inlandsche School), kemudian dikenal
dengan Sekolah Raja.72 Dari namanya saja dapat dilihat bahwa sekolah yang
didirikan oleh pemerintah Belanda ini adalah sekolah khusus untuk anak-anak
bangsawan.
Sistim pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang diskriminatif membuat
melebarnya jurang antara rakyat yang berorientasi Islam dan elit tradisional,
priyayi yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Indonesia berpendidikan Barat.73
Hasbullah mengatakan dengan adanya Politik Islam dan Politik Pendidikan
pemerintah kolonial Belanda yang menomorsatukan anak-anak pejabat dan
pembesar mengakses pendidikan, disisi lain membatasi putra pribumi dengan
mengarahkannya ke pondok-pondok pesantren justru menjadi kuatnya dasar

70 Menurut Azyumardi Azra, sejak dasawarsa 1870-an , pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah
dasar dengan siswa 16.606, pada tahun 1892 menjadi 515 sekolah dengan 52.685 siswa. Lihat
dalam Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Op.cit.,hlm. xiv.
71 Ibid, hlm.xv.
72 Azyumardi Azra dalam Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Minangkabau,
dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Op.cit., hlm.139, mencatat bahwa kemenangan Kaum
Liberal di parlemen Belanda awal tahun 1900-an membuat pemerintah Belanda harus menjalankan
etsche politiek (politik etis) yang berarti pemerintah kolonial Belanda harus mendirikan banyak
sekolah untuk penduduk pribumi. Awal 1910-an volkschool (sekolah rakyat) mulai didirikan di
nagari-nagari, tahun 1913 jumlahnya mencapai 111 buah dan bertambah 358 buah pada tahun
1915.
73 Nurcholish Madjid dalam Budhy Munawar Rachman (Penyunting), Ensiklopedi Nurcholish
Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Mizan, Paramadina, CSL, 2006)
,hlm.645.

21

agama Islam masyarakat.74Menurut Nurcholish Madjid bahwa Politik Etis
Belanda pada dasarnya hanya merupakan tujuan ekonomi, politik, dan sosial,
sehingga berdampak banyak pribumi yang masuk sekolah umum.

2) Masa Penjajahan Jepang
Jepang yang memiliki misi untuk Asia Timur Raya untuk Asia di Indonesia,
yang tujuan utamanya adalah memenangkan perang, maka berupaya merebut
simpati masyarakat Indonesia dengan melakukan langkah-langkah di antaranya:
1. Kantor Urusan Agama (Kantoor voor Islamistische Saken) pada masa
Belanda dirubah menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam
Indonesia, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari.
2. Pondok-pondok pesantren besar sering mendapat kunjungan dan bantuan
dari pemerintah Jepang.
3. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan
ajaran agama.
4. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hibullah yang
dipimpin K.H. Zainul Arifin, dimana aktifitasnya adalah latihan dasara
kemiliteran.
5. Pemerintah Jepang mengizinkan beridirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan
Muhammad Hatta.
6. Para ulama bekerjasama dan pemimpin nasionali diizinkan mendirikan
barisan Pembela Tanah Air.
7. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut
Majelis A’la Indonesia (MIAI).75
Masa pendudukan Jepang tahun 1940 an, Jepang berencana mendirikan
“Kemakmuran Bersama Asia Raya”. Untuk mewujudkan itu, maka ideologi

74 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995),hlm. 55.
75 Zuhairini, Op.cit., Sejarah Pendidikan.,,hlm.153.

22

pendidikan yang diterapkan adalah Hakko Ichiu.76 Tujuan pendidikan Jepang yang
utamanya adalah memenangkan perang.77 Pelajar yang dipersiapkan untuk perang
tersebut membuat aktifitas di sekolah lebih banyak kepada latihan fisik dan latihan
kemiliteran dan indoktrinasi “Asia untuk Bangsa Asia.”78 Pada masa pendudukan
Jepang ini sisiem pendidikan yang telah dibangun Belanda semuanya dirubah,
termasuk satuan-satuan pendidikannya, hanya beberapa saja yang masih
dipertahankan, misalnya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta,
Sekolah Teknik Tinggi (Kogyo Dai Gakko) di Bandung.79 Akses pendidikan juga
dibuka luas, tidak ada lagi segeregasi sosial sebagaimana yang diterapkan
pemerintah kolonial Belanda. Sekolah-sekolah diseragamkan menjadi negeri,
namun sekolah Muhammadiyah, dan Taman Siswa tetap berkembang dengan
pengawasan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) pemerintah Jepang kurang
perhatian terhadap pendidikan di pondok pesantren dan madrasah. 80 Ma’arif81
tetap dapat bisa bergerak walau terbatas dalam mengelola pondok pesantren dan
madrasah. Menurut Zuhairini ketika sekolah non pesantren dilatih baris berbaris,
romusha, latihan fisik, pesantren terlepas dari kegiatan ini semua, maka proses
belajar berjalan relatif lancar.82
76 Hakko Ichiu mengajak bangsa Indonesia vekerjasama dengan Jepang dalam rangka mencapai
“Kemakmuran Bersama Asia Raya.” Maka penduduk pribumi harus mengucapkan sumpah setia
kepada Kaisar Jepang yang dinampakkan penghormatan para murid kepada Kaisar di setiap pagi
harinya di sekolah.
77 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit., Pendidikan Indonesia., hlm. 88.
78 Ibid, hlm.88.
79 Ibid, hlm. 88.
80 Depdikbud, Op.cit, Pendidikan dari...,hlm. 94.
81 Ma’arif adalah nama sebuah organisasi pendidikan Islam Nahdlathul Ulama. Terbentuk pada
Muktamar NU di Semarang pada tahun 1929. Ma’arif bertugas mengurus pendidikan dengan
ketua pertamanya Abdullah Ubaid. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga terbentuk dalam
Konfrensi NU di Jawa Timur - Malang, 13 Februari 1932 . Ketika NU menjadi parpol maka dalam
Muktamar ke 22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, Ma’arif diberi tugas otonom dengan
nama Lembaga Pendidikan Ma’arif. Peraturan dasar Lembaga Pendidikan Ma’arif diputuskan
dalam Konfrensi Besar LP Maarif, pada tanggal 4-7 Februari 1961 di Tugu Bogor. Ketika NU
tidak lagi menjadi parpol karena fusi ke PPP, dan status NU sebagai Jam’iyah yang menitik
beratkan pada pendidikan, maka Ma’arif menjadi bagian yang lengkapnya disebut “NU bagian
pendidikan Ma’arif”. Prinsip pendidikan Ma’arif: Islam ahli sunnnah wal jama’ah;
Mengutamakan pendidikan agama; Memberikan mata pelajaran umum sesuai dg program
pendidikan yg diselenggarakan pemerintah, hlm. 189-190.
82 Zuhairini, Op.cit., Sejarah Pendidikan.,,hlm.153.

23

Sebagai lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari NU, Ma’arif masa
pendudukan Jepang telah memiliki Madrasah Menengah (Madrasah Mu’allimin
Mustha), Madrasah Guru Atas (Madrasah Mu’allimin Ulya), Madrasaut Tijarah
(Sekolah Ekonomi Dagang), Sekolah Pertukangan (Madrasatus Shina’ah),
Sekolah Pertanian (Madratus Zira’ah).83 Uniknya pendidikan kejuruan yang
dikelola oleh Ma’arif ini sebenarnya tidak boleh didirikan, namun karena Jepang
tidak begitu peduli dengan lembaga pendidikan Islam, maka madarah Ma’arif
tetap berjalan.
b. Orde Lama
Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada
Kementrian Pendidikan,Pengajaran, dan Kebudayaan agar segera malakukan
reformasi pendidikan dan pengajaran. Pokok-pokok yang direkomendasikan
Badan Pekerja KNIP ada sembilan poin, terdapat satu poin nomor 4.
“Madarasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat
dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat
berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat
perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan
materiil pemerintah.”84
Atas saran BPKNIP di atas, Pemerintah melalui Panitia Penyelidik Pengajaran
yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara menegaskan,”bahwa pengajaran yang
bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu untuk dipertinggi dan
dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain.”85 Perhatian
pemerintah terhadap pondok pesantren dan madrasah direalisasikan dengan
menjadikan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sebagai bagian penting
dalam tugas Departemen Agama yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946. 86
Sejak penyelenggaraan pendidikan diatur negara melalui UU Nomor.4 tahun 1950

83 Depdikbud, Op.cit, Pendidikan dari...,hlm. 94
84Ibid,hlm. 94.
85 Dirjen Kelembagaan Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan
Perkembangannya (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm.13.
86 Ibid, hlm. 13.

24

tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran maka pesantren mulai melakukan
adaptasi dengan menyelenggarakan pendidikan satuan pendidikan.87
Walau pun Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 namun
pihak Belanda dan Sekutu masih berupaya masuk kembali ke Indonesia. Melihat
kondisi ini membuat ulama-ulama di Jawa pada tanggal 20 Oktober 1945
mengeluarkan Fatwa Jihad Fisabilillah88 terhadap Belanda dan sekutu.
Konsekwensi dari Resolusi Jihad tersebut membuat para ulama dan santrinya
dapat mempraktikkan ajaran jihad fi sabilillah yang sudah menjadi tradisi sebagai
bahan kajian di pondok pesantren dan madrasah.89
c. Orde Baru
Salah satu prioritas Orde Baru adalah pembangunan sistem pendidikan
modern. Dengan sejumlah besar anak-anak sekolah dan terbatasnya sumbersumber nasional, kebijakan pemerintah berusaha mengkoordinasikan aktivitasaktivitas

pemerintah

berusaha

mengkoordinasikan

aktivitas-aktivitas

pemerintahan dengan sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah-sekolah Islam.90
Posisi pesantren pada masa Orde Baru tidak bisa terlepas dari kerangka besar
yang membingkainya, yaitu hubungan Islam dan negara di Indonesia yang
mengalami Fase Ketegangan, Fase Pencarian, dan Fase Hubungan Islam dan
negara.91 Pada masa Orde Baru hegemoni negara sangat mempengaruhi
perkembangan pondok pesantren di Indonesia. Soeharto dengan tafsir tunggal
Pancasila nya menginginkan pondok -pesantren tetap harus berlandaskan pada
Pancasila.
87 Ibid, hlm. 78.
88 Isi Fatwa Jihad Fisabilillah: 1) Kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) wajib dipertahankan; 2)
Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan; 3) Musuh-musuh
RI (Belanda/Sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu wajib mengangkat
senjata menghadapi mereka; 4) Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah fi sabilillah.
89 Ibid,hlm.348.
90Andre Feillard, Islam Tradisionalis dan Negara di Indonesia: Jalan Menuju Legitimasi dan
Kebangkitan, dalam Robert W.Hefner dan Patricia Horvatich (Ed), Islam di Era Negara Bangsa:
Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia Tenggara (Yogyakarta: Tiara Wacana,2001) ,hlm.
185-186.
91 Mahmud Suyuthi, Hubungan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang dengan
Pemerintahan Orde Baru. Ibid, hlm. 560.

25

Pada masa Orde Baru Pondok Pesantren Persatuan Islam (Persis) melawan
mainstream seperti yang dilakukan Nahdlataul Ulama dan Muhammadiyah untuk
konsiliasi dengan pemerintah, Persis dengan pesantrennya memilih sikap
kesadaran yang bertentangan (contradictory consciousness).92 Andre Feillard
dalam penelitiannya di Jawa Timur menemukan terdapat dua pesantren yang
melawan mainstream untuk menerapkan Penatara P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila), yaitu Pondok Pesantren Nurud Dlolam pimpinan Kyai
Siraji dan Pesantren Salafiyahal-Fatah, Malang.93 Kasus di tiga pondok pesantren
ini mencerminkan bagaimana pemerintah Orde Baru memandang pondok
pesantren sebagai ancaman bagi keberlangsungan ideologi Pancasila.
Secara alamiah, dengan dana pemerintah yang lebih besar, berpotensi adanya
intervensi pemerintah dalam masalah-masalah pendidikan.94 Andre Feillard
mencatat bahwa meningkatnya peran pemerintah Orde Baru membuat banyak
madrasah dan pesantren yang tidak berafiliasi dengan NU. 95 Analisis Feillard
bahwa menurunnya peran NU dalam pendidikan ini dikarenakan adanya tekanan
92 Toto Suharto. Kesadaran yang Bertentangan sebagai Bentuk Resolusi Konflik dalam
Pendidikan: Pengalama

Dokumen yang terkait

AGENSI DAN KEKUASAAN DALAM RELASI KERJA PERKEBUNAN KALIKLATAK KABUPATEN BANYUWANGI

24 462 54

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI KANTOR KESATUAN BANGSA DAN POLITIK KOTA METRO

15 107 59

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59