KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP ANAK DALAM P
1
KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP ANAK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM
Oleh : Rina Oktafia Putri
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
rinaoktaviaputri@gmail.com
No. 085267763103
Abstrak
Fenomena yang terjadi sekarang tentang kekerasan terhadap
anak terkhusus dalam bidang pendidikan sungguh sangat
memperihatinkan. Kekerasan terhadap anak, apapun bentuk
alasannya adalah suatu yang dilarang dan bertentangan dengan
hukum dalam perspektif undang-undang perlindungan anak dan
ham. Dalam perspektif ini, tidak ada tolerensi ruang dan waktu
bagi tindak kekerasan terhadap anak seperti kekerasan
simbolik. Adapun kekerasan simbolik yaitu bentuk kekerasan
yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas
tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang
mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh
korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan
sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah,
wajar, dan memang harus terjadi. Sedangkan dalam hukum
islam, kekerasan terhadap anak memiliki kepastian hukum yaitu
haram, kecuali dalam hal pendidikan agama terkhusus dalam
hal ubudiyah. Diluar itu, seperti dalam hal muamalah adalah
tindak kekerasan terhadap anak merupakan sesuatu yang di
haramkan.
Pendahuluan
Kekerasan selalu erat hubungannya dengan peristiwa
yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan
mematikan. Tindakan kekerasan selalu mewarnai segala sendi
2
kehidupan
manusia
dan
banyak
dijumpai
kapanpun,
dimanapun.1 Sebagai contoh kekerasan terhadap anak di
lingkungaan sekolah merupakan persoalan bangsa yang perlu
segera dihentikan dan diputus mata rantainya karena terkait
langsung dengan pemenuhan hak anak untuk dilindungi oleh
negara serta menentukan nasib bangsa di masa mendatang.
Kekerasan
di
sekolah
menjadi
masalah
besar
yang
membutuhkan peran negara untuk menyikapinya secara serius
dan sistemik. Kekerasan yang terjadi di sekolah dapat dilakukan
oleh siapa saja, seperti kepala sekolah, guru, pembina sekolah
dan antar siswa.
Kekerasan di lingkungan sekolah sebenarnya tidak terjadi
baru-baru ini saja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menyebutkan di tahun 2012 saja kekerasan terhadap anak di
sekolah meningkat bahkan lebih dari 10%. Kekerasan ini
meliputi kekerasan yang dilakukan guru ke siswa maupun siswa
ke siswa lainnya. Data ini berdasarkan survey yang diadakan
KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000 siswa dari tingkat
SD sampai SMA. Sebanyak 87,6% siswa mengaku mengalami
tindak kekerasan dari guru, sedangkan 78,3% siswa melakukan
tindak kekerasan tersebut.
1 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1995), hlm. 165
3
Kekerasan yang terjadi pada siswa belakangan ini dengan
dalih untuk mendisiplinkan siswa dan tidak jarang dijadikan
budaya sebagai alasan membungkus kekerasan terhadap anak
tersebut. Adapun bentuk kekerasan yang dilakukan antara lain
dengan cara memukul, melemparkan suatu benda, ataupun
kekerasan seksual. Dalam hal ini kekerasan fisik masih menjadi
kekerasan utama yang terjadi di sekolah, diikuti dengan
kekerasan psikis dan kekerasan simbolik. Munculnya ragam
kekerasan di sekolah tampaknya menimbulkan ketakutan bagi
orangtua.
Selanjutnya kekhawatiran dari para orangtua tersebut
memang cukup beralasan, mengingat banyak kasus terjadi di
lingkungan pendidikan, baik negeri, swasta bahkan sebagian
kasus juga terjadi di sekolah berbasis agama. Adalah kekerasan
simbolik yang menjadi perhatian peneliti untuk melihat lebih
jelas bentuk kekerasan simbolik yang dilakukan oleh guru di
sekolah
dan
bagaimana
perspektif
hukum
islam
dalam
memandang masalah tersebut dan kaitannya dengan hak asasi
manusia.
Tulisan
kepustakaan
menggunakan
(library
research),
metode
yakni
jenis
penelitian
penelitian
yang
pengumpulan datanya melalui bahan-bahan pustaka. Sedangkan
menurut jenis data dan analisisnya, penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Digunakannya jenis penelitian ini dengan
4
pertimbangan bahwa yang menjadi fokus penelitian ini adalah
pemahaman terhadap kekerasan simbolik dalam perspektif
hukum Islam dan sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik.2.
Seperti yang diketahui bahwa kekerasan simbolik merupakan
kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat
dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam
dari
orang
yang
mengalaminya
(korbannya)3.
Selanjutnya
kekerasan simbolik adalah makna logika dan kenyakinan yang
mengandung bias tetapi secara halus dan samar dipaksakan
oleh pihak lain sebagai sesuatu yang benar.4
Bentuk
kekerasan
simbolik
memang
bukan
sebuah
kekerasan yang mudah dilihat wujudnya, namun sebenarnya
bentuk kekerasan simbolik sangat mudah diamati dan sering
banyak terjadi di lingkungan sekolah. Selanjutnya keterkaitan
yang paling mendasar dalam permasalahan kekerasan terhadap
anak yaitu hak asasi manusia untuk hak hidup 5. Dari segi
berbangsa dan bernegara anak adalah tunas, potensi dan
2 Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan untuk menentukan frekuensi
atau penyebaran suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis
adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah
dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti dengan jalan
memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain
untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Lihat Sudarto,
Metode Penelitian Filsafat (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 4759.
3 Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi,
Yogjakarta, Rajagrafindo Persada: 2012. Hlm. 39
4 Ibid
5 Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam,
(Jakarta: Amissco, 2000), hlm. 39.
5
generasi muda penerus cita-cita. Penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai cita dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara di masa yang akan datang. Dalam Undang-undang No.4
Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4)
berbunyi sebagai berikut : ‘ Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan
melahirkan.
baik
Anak
semasa
berhak
kandungan
atas
maupun
sesudah
perlindungan-perlindungan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.6
Anak Dalam Perspektif
Islam
Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah (titipan)
yang Allah berikan kepada setiap orang tua. Oleh karena itu
orang
tua
hendaknya
memperhatikan
kebutuhan
dan
perkembangan anak, agar mereka tumbuh menjadi anak yang
sehat, baik jasmani maupun rohani, dan barakhlaqul karimah
serta memiliki intelegensi yang tinggi. Selanjutnya dalam
hukum islam tindakan kekerasan
terhadap anak merupakan
pelanggaran atas nilai-nilai ajaran Islam. Hak seorang anak
benar-benar dilindungi mulai dari kandungan sampai berusia 18
tahun dan seterusnya. Tetapi disini masih ada toleransi sedikit
kekerasan yang sifatnya memberikan bentuk ketegasan dan
kedisipinan selama hal itu dilakukan dan tidak mempengaruhi
6 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, ( Yogyakarta: Liberti,
1988), hlm. 18
6
terhadap proses perkembangan fisik dan mental anak sebagai
sarana pendidikan. Berikut ini bentuk hak anak dalam perspektif
Islam yaitu
1. Hak memperoleh kehidupan ketika di dalam rahim dan
setelah lahir
Islam benar-benar memberikan hak hidup bagi setiap anak
dengan jaminan yang pasti. Sejarah membuktikan, saat Islam
datang maka kebiasaan orang
Arab yang membunuh anak
perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt
berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).
2. Hak mendapatkan nama yang baik.
Nama
anak
adalah
penting,
karena
nama
dapat
menunjukkan identitas keluarga. Islam menganjurkan agar
orangtua memberikan nama anak yang menunjukkan identitas
Islam,
suatu
identitas
yang
melintasi
batas-batas
rasial,
geografis, etnis, dan kekerabatan. Selain itu nama juga akan
berpengaruh pada konsep diri seseorang.
3. Hak penyusuan dan pengasuhan
7
Selama masa penyusuan anak mendapatkan dua hal yang
sangat berarti bagi pertumbuhan fisik dan nalurinya. Yang
Pertama: anak mendapatkan makanan berkualitas prima yang
tiada bandingannya. ASI mengandung semua zat gizi yang
diperlukan anak untuk pertumbuhannya, sekaligus mengandung
antibodi
penyakit.7
yang
membuat
Yang
Kedua
anak
:
tahan
anak
terhadap
serangan
mendapatkan
dekapan
kehangatan, kasih sayang dan ketentraman yang kelak akan
mempengaruhi
suasana
kejiwaannya
di
masa
mendatang.
Perasaan mesra, hangat, dan penuh cinta kasih yang dialami
anak ketika menyusu pada ibunya akan menumbuhkan rasa
kasih sayang yang tinggi kepada ibunya. Islam pun telah
menetapkkan
bahwa
orang
yang
lebih
berhak
terhadap
pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya
dan paling terampil (ahli) dalam pengasuhan.
4. Hak mendapatkan kasih sayang
Rasulullah
saw
mengajarkan
kepada
kita
untuk
menyanyangi keluarga, termasuk anak di dalamnya. Ini berarti
Beliau saw mengajarkan kepada kita untuk memenuhi hak anak
terhadap kasih sayang.8 Sabda Rasulullah saw: "Orang yang
paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang
kepada keluarganya."
7 ibid
8 Majalah al-Wa’it Januari 24, 2008
8
5. Hak
mendapatkan
perlindungan
dan
nafkah
dalam
keluarga
Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu
bertanggungjawab
atas
keselamatan
anggota
keluarganya,
termasuk anaknya. Ia akan melindungi anaknya dari hal-hal
yang membahayakan anaknya baik fisiknya maupun psikisnya.
Demikian juga ia berkewajiban memberi nafkah berupa pangan,
sandang, dan tempat tinggal kepada anaknya.
6. Hak pendidikan dalam keluarga
Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara ibu
dan ayah, sehingga diperlukan pasangan yang seaqidah, dan
sepemahaman dalam pendidikan anak. Jika tidak demikian
tentunya sulit mencapai tujuan pendidikan anak dalam keluarga.
7. Hak
mendapatkan
kebutuhan
pokok
sebagai
warga
negara.
Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya
akan kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh
negara kepada semua warga negara. Kebutuhan pokok yang
disediakan secara massal oleh negara meliputi: pendidikan di
sekolah, pelayanan kesehatan, dan keamanan.
Definisi kekerasan Simbolik
Kekerasan
sangat akrab dengan kehidupan
sehari-hari
yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun
9
sekolah. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan
terkandang selalu disertai dengan kekerasan. Secara umum
kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat
merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis.
Kekerasan merupakan semua bentuk perilaku verbal dan non
verbal yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
sehingga
menyebabkan
efek
negatif
secara
fisik
maupun
psikologis pada orang yang menjadi sasarannya.9 Kekerasan
adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sejumlah orang yang berposisi kuat ( atau yang tengah
merasa kuat ) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang
berposisi lebih lemah (atau dipandang berada di dalam keadaan
lebih lemah ), bersaranakan kekuatannya, baik fisik maupun non
fisik
yang
superior
dengan
kesengajaan
untuk
dapat
di
anak
berakibat
tumbulkan rasa derita pada pihak korban.10
Kekerasan
yang
ditujukan
pada
kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis yang
terjadi
di
depan
umum
atau
dalam
kehidupan
pribadi. 11
9 Gandik siswono, Kasus-kasus dan Penanganan Anak Korban Kekerasan,
Biro Mintal Spiritual PPT, Surabaya. Hlm. 45
10 Haqqul Yakin, Agama dan Kekerasan dalam Tradisi Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta: eLSAQ Press. Hlm. 148
11 Sebagai kritik atas struktural, Bourdieu mengajukan strukturalisme
konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis: by structuralim or
structuralist, i mean that there exists, within the social world itself and not
only within simbolic system (language, myth, etc), objective struktures
independent of the consciousness and will of the agent, which are capable of
guiding and constraining their representations. Struktur-struktur tersebut
membatasi kemauan-kemauan individu tapi pada saat yang sama ia dapat
10
Selanjutnya adapun kekerasan simbolik menurut Bourdieu
merupakan
sebuah
mekanisme
yang
digunakan
kelompok
dominan dalam struktur masyarakat untuk memaksa secara
halus habitus (ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidup)
terhadap kelompok minoritas12 dalam konteks adanya relasi
komunikasi dengan relasi kekuasaan, muncul konsep kekerasan
simbolik (symbolic violence) yang dipopulerkan oleh Pierre
Bourdieu dalam buku Outline Of Theory Of Practice. Istilah ini
digunakan
untuk
menjelaskan
kekerasan
khusus
dalam
mekanisme bahasa dan kekuasaan, yaitu kekerasan yang halus
dan tidak dampak, yang tidak dikenal atau hanya dikenal
dengan menyembunyikan mekanisme tempatnya bergantung.
Konsep ini menggiring manusia ke arah mekanisme sosial, yang
di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi
kekuasaan. Sistem kekuasaan cenderung untuk melanggengkan
posisinya
yang
dominan
dengan
mendominasi
media
komunikasi, bahasa yang digunakan di dalam komunikasi,
makna-makna yang dipertukaran di dalam komunikasi serta di
interprestasi
terhadap
makna-makna
tersebut.
Di
dalam
menggunakan kapasitasnya untuk berpikir, bertindak, dan berefleksi untuk
mengkonstruk fenomena sosial dan kultural. Individu melakukan tersebut
dalam kerangka parameter struktur-struktur yang ada. Namun, struktur ini
bukan batasan-batasan yang bersifat rigid, tetapi lebih merupakan material
untuk konstruk sosial dan kultural yang beragam. Keterangan lebih lanjut,
lihat Jonathan H. Tumer, The Strukture Of Sociology Theory (The United
States Of America: Woodworth Publishing Company, 1998) hlm. 509-512
12 Ibid
11
dominasi tersebut, sebetulnya terjadi kekerasan simbolik yang
sangat halus tetapi orang yang didominasi secara simbolik
tersebut tidak menyadari adanya pemaksaan dengan menerima
pemaksaan tersebut sebagai sesuatu yang memang seharusnya
begitu (legitimate).13
Kekerasan simbolik terjadi ketika orang yang didominasi
menerima sebuah simbol (konsep, ide, gagasan, kepercayaan,
prinsip) dalam bentuknya, yang disortir memberikan pengakuan
atas sesuatu yang diterima secara distorsif serta menerapkan
kriteria
evaluasi
kelas
dominan
untuk
menilai
diri
dan
kehidupannya. Di dalam proses dominasi tersebut sebenarnya
terjadi pemaksaan simbolik yang sangat halus namun yang
didominasi tidak menyadari adanya pemaksaan atau menerima
pemaksaan tersebut sebagai common sense.14 Prinsip simbolis
ini diketahui dan diterima baik oleh pihak yang menguasai dan
dikuasai. Prinsip ini berupa bahasa, cara berpikir, cara kerja dan
cara bertindak sehingga akan menentukan
cara melihat,
merasakan, berpikir dan dan bertindak individu.15
Manifestasi kekerasan
simbolik ini terjadi pada semua
relasi sosial dalam realitas kehidupan. Dominasi simbolik ini
13 John B. ThomPON, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi Dunia, Terj
Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), Hlm. 94-98
14 ibid
15 Haryatmoko, Etika Komunikasi Media, Kekerasan dan Pornografi,
( Yogyakarta, Kanisius, 2007), hlm. 136-137
12
memiliki efektivitas yang cukup tinggi dan aman karena yang
didominasi
simboliknya,
tidak
menyadari
bahkan
kekerasan
menerima
dominasi
dan
pemaksaan
tersebut
sebagai
kebenaran yang absah sehingga taken for granded. Agar ini
berjalan
secara
efektif,
maka
diperlukan
sosialisasi
dan
normalisasi secara terus menerus sehingga simbol-simbol dan
pemaknaan
dari
kelompok
dominasi
dapat
memperoleh
penerimaan publik.
Dampak Kekerasan Simbolik Anak
Kekerasan pada anak sudah marak terjadi dan semakin
memprihatinkan. Melihat banyak sekali informasi dan juga
berita-berita melalui media mengenai kekerasan terhadap anak.
Mulai dari kekerasan pada anak yang ringan, hingga yang
sangat berat, bahkan berujung pada pembunuhan. Hal semacam
ini bisa memiliki dampak yang sangat buruk terhadap anak.
Kekerasan pada anak mungkin tidak terlihat dalam waktu dekat.
Namun, dalam kurun waktu tahunan, dampak dari kekerasan
pada anak ini akan terlihat sangat jelas. Adapun bentuk
kekerasan simbolik di institusi pendidikan, dalam wujud yang
lebih halus, selain peraturan tentang pemakaian seragam
sekolah, juga muncul melalui standardisasi kurikulum, melalui
13
buku wajib, dan juga melalui kewajiban menulis artikel ilmiah
terutama bagi para pengajar tingkat sekolah menengah.
Kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi
di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara eduaktif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini
ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Dalam hal ini
kekerasan simbolik terjadi secara tidak kasatmata. Hal ini
berbeda dengan kekerasan fisik dan psikologis, seperti tawuran
pelajar,
hinaan, dan pelecehan melalui kata-kata maupun
tulisan. Mata publik dapat melihat, mendengar, dan merasakan
adanya kekerasan fisik dan psikologis.
Sebaliknya, kekerasan simbolik jarang muncul sebagai
wacana
pendidikan,
diperbincangkan.
apalagi
Padahal,
sebagai
kekerasan
fakta
simbolik
yang
hampir
mendominasi seluruh proses pendidikan yang terjadi selama ini.
Dampak kekerasan simbolik
ini lebih dahsyat. Kekerasan
simbolik menjadi kekuatan laten justru karena ia bermain di
dalam pola pikir dan pembentukan cara memandang dunia yang
mengarahkan nilai, perilaku, dan cara bertindak bagi individu,
yang diterima begitu saja seolah semua itu berjalan secara
normal dan wajar.
14
Kekerasan simbolik
menjebak
dan menjerat individu
dalam sebuah belenggu makna yang tanpa mereka sadari
menindas eksistensi dan membelenggu kebebasannya untuk
bertumbuh menjadi manusia yang utuh. Pierre Bourdieu yang
memahami kekerasan simbolik berkait dengan relasi kekuasaan
yang dimiliki oleh individu dan kaitannya dengan struktur dan
sistem yang melanggengkan kekuasaan tersebut. Kekerasan
simbolik
perlu dipahami dalam kaitannya dengan konsep
tentang modal simbolik yang dimiliki individu.16
Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Kekerasan Simbolik
Pada Anak
Letak urgensi kajian ini adalah generalisasi kata ‘’
kekerasan simbolik’’ dalam pendidikan, sehingga kekerasan
dalam pendidikan tersebut tidak boleh terjadi kekerasan sama
sekali. Ibn Khaldun berkata, sebagaimana di kutip oleh Mahmud
Al-Khal’awi, orang yang mendidik dan menghukum dengan
kekerasan akan membuat anak tertekan dan menghilangkan
semangat anak, membuatnya menjadi malas, mendorong untuk
berbohong karena takut akan siksaan yang bisa menimpanya.
Anak
16 ibid
bukanlah
subjek
hukum
karena
para
ulama
fiqih
15
menyatakan bahwa status anak belum dapat di jadikan subjek
hukum bukan mahkum alaihi.
Dalam Islam, batas usia seseorang anak adalah setelah dia
mendapatkan tanda-tanda baligh ( mumayyiz), jika tanda-tanda
tersebut sudah terlihat pada anak, maka dia beralih ke masa
dewasa, yang mana sudah dibebankan tanggung jawab (dunia
dan akhirat). Anak adalah hadiah terindah bagi orang tua
sekaligus menjadi amanah bagi mereka yang senantiasa harus
dijaga dan dilindungi, diperlukan dan dididik dengan baik sesuai
dengan ajaran islam. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran
surat An-Anfal ayat 28 yang artinya
‘’Sesungguhnya
hartamu
dan
anak-anakmu
hanyalah
cobaan (bagimi) dan disisi Allah-lah pahala yang besar’’
Sementara
hukum
islam
disyariatkan
bukan
dengan
hampa muatan, melainkan penuh himah-hikmah disyariatkannya
suatu hukum. Islam sangat melarang kekerasan, namun dalam
hal-hal tertentu diperbolehkan terhadap anak yang sudah
berusia
sepuluh
tahun.
Islam
secara
tegas
dan
jelas
mengajarkan tentang mengajarkan tentang perlindungan anak
dan melarang adanya kekerasan terhadap anak. Generasi yang
tangguh
dan
pendidikan
berakhlak
yang
mulia
diterapkan
adalah
oleh
islam.
tujuan
akhir
Pendidikan
dari
yang
16
dimaksud oleh agama islam bukanlah pendidikan yang hanya
berdomisili di lingkungan sekolah (formal) saja, melainkan
segala bentuk tingkah laku yang dilihat oleh anak dan memiliki
potensi untuk ditiru oleh anak.
Dari
penjelasan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa,
kekerasan dalam islam sangat tidak dibenarkan sejauh tidak
sesuai dengan ketentuan atau melebihi batas. Kekerasan hanya
digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan hanya
dengan tujuan mendidik, bukan dengan tujuan tanpa landasan.
Dan jauh lebih baik lagi jika anak diperlakukan dengan kasih
sayang tanpa adanya kekerasan.
Tinjauan Ham terhadap kekerasan simbolik pada anak
Hak Asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari
umat manusia. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada
dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang
oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk
menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari.
Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang
tersebut
dapat
memperlakukan
sesuatu
sebagaimana
dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.17
17 Manan, Bagir, 2006. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan
Supremasi Hukum. PT. Alumni. Hlm. 74
17
Dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia
disebutkan,
“Hak
assasi
manusia
(HAM)
adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”. Selanjutnya dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ‘
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi’.
Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa setiap anak berhak hidup, tumbuh dan berkembang
tanpa adanya kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan pada anak
jelas mencoreng HAM
karena hak anak hidup bebas dari
kekerasan dilanggar. Anak menjadi korban kekerasan akan
mendapatkan luka mental yang dapat menyebabkan kejadian
yang menimpanya dilampiaskan pada generasi berikutnya.
Sementara hal yang sama juga ditegaskan dalam undangundang dasar tahun 1945 yaitu pasal 28 ayat (10 Undangundang dasar 1945 ‘’ setiap anak berhak atas pengakuan,
18
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Adapun upaya perlindungan anak dalam bentuk kekerasan
mendapatkan perhatian penguasa
secara lebih komprehensif,
sejak ditetapkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, meski
perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya
guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut. Sebagaimana
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya,
berbagai
upaya
perlindungan anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai
upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna mencapai
tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak
boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak
dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip nondiskriminasi
(non-discrimination);
(2)
Prinsip
Kepentingan
terbaik untuk anak (the best interest of the child;(3) Prinsip hakhak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan (the
right to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati
pandangan anak (respect to the views of the child)18.
Selanjutnya
adapun
uraian
tentang
hak
asasi
menurut undang-undang nomor 39 Tahun 1999, meliputi:19
18 (www.sekitarkita.com,2002)
19 Print, Darwan, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung:2003. hlm 144
anak
19
1. Anak dapat perlindungan orang tua, masyarakat dan
negara (pasal 62 ayat 1)
2. Hak melindungi sejak dari kandungan (pasal 52 ayat 1)
3. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan (pasal 53
ayat 1)
4. Hak mendapatkan nama dan status kewarganegaraan
(pasal 53 ayat 2)
5. Hak mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan
dan bantuan khusus anak cacat fisik atau mental (pasal
54)
6. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekpresi (pasal 55)
7. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang
tuanya (pasal 56 ayat 1)
8. Hak diasuh dan diangkat anak orang lain (pasal 56 ayat
2)
9. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan
dan dibimbing orang tua/ wali (pasal 57 ayat (1)
10. Hak mendapatkan orang tua angkat atau wali (pasal
57 ayat (2)
11. Hak perlindungan hukum (pasal 58 ayat (1)
12. Hak
pemberatan
hukum
bagi
orang
tua,
wali/pengasuh yang menganiaya anak (fisik, mental,
penelantaraan, perlakuan buruk dan pelecehan seksual
dan pembunuhan(pasal 58 ayat (2)
13. Hak tidak dipisahkan dari orang tua (pasal 59 ayat
(1)
14. Hak bertemu dengan orang tua (pasal 59 ayat (2)
15. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal
60 ayat (1)
20
16.
Hak mencari, menerima dan memberikan informasi
(pasal 60 ayat (2)
17. Hak untuk beristirahat,
bergaul
dengan
anak
sebaya, bermain, berkereasi (pasal 62)
18. Hak memperoleh kesehatan dan jaminan sosial
(pasal 62)
19. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa
bersenjata, kerusuhan sosial dan peristiwa kekerasan
(pasal 63)
20. Hak perlindungan hukum dari eksploitasi ekonomi
dan pekerjaan yang membahayakan dirinya (pasal 64)
21. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak dan
dari penyalahgunanaan narkoba, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (pasal 65)
22. Hak
tidak
dijadikan
sasaran
penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi (pasal 66 ayat (1)
23. Hak tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman
seumur hidup (pasal 66 ayat (2)
24. Hak tidak dirampas kemerdekaanya secara melawan
hukum (pasal 66 ayat (3)
25. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara
hanya sebagai upaya terakhir (pasal 66 ayat (4)
26. Hak perlakuan yang manusiawi bagi anak yang
dirampas kemerdekaannya dan dipisahkan dari orang
dewasa (pasal 66 ayat (5)
21
27.
Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara
efektif bagi anak yang dirampas kebebasannya (pasal
66 ayat (6)
28. Hak membela diri dan memperoleh keadilan bagi
anak
yang
dirampas
kebebasannya
di
depan
pengadilan yang objektif, tidak memihak dan sidang
tertutup untuk umum.
A. Kesimpulan
Islam
adalah
agama
ramah
kepada
semua.
Anak
merupakan bagian dari yang dimulyakan Islam. Rasulullah
Saw mengajarkan kepada kita untuk menyayangi keluarga
termasuk
anak
di
dalamnya.
Ini
menandakan
bahwa
Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk ramah terhadap
hak anak. Sabda Rasulullah Saw: "Orang yang paling baik di
antara
kamu
adalah
yang
paling
penyayang
kepada
keluarganya. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan hal
yang
merugikan
terhadap
proses
perkembangan
dan
pertumbuhan seorang anak. Dalam hukum Islam, undangundang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2003 dan hak
asasi manusia tindakan kekerasan terhadap anak adalah
dilarang.
terhadap
Karena
hak
hal
anak,
tersebut
tidak
kemanusiaan dan ajaran agama.
merupakan
sesuai
pelanggaran
dengan
nilai-nilai
22
Daftar Pustaka
Assegaf, Abd. Rahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi
Kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2004
Douglas, Jack D. dan Waksler, Frances Chaput. “Kekerasan”
dalam
Thomas
Santoso
(Ed).
Teori-teori
Kekerasan,
(Jakarta: Ghalia, 2002)
Fauzi Fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbolik,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 119-120 sebagai saduran
dari Pierre Bourdieu, Language and Power, (Cambridge:
Polity Press, 1991).
Haryatmoko,
Etika
Komunikasi
Media,
Kekerasan
dan
Pornografi, ( Yogyakarta, Kanisius, 2007)
Hendarti, Purwoko, Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik,
Birokratif dan Struktural, Jakarta 2008.
Indi Aunullah, Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam Pandangan
Pierre Bourdieu, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 2006),
23
John B. ThomPON, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi
Dunia, Terj Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007)
Joni, Muhammad. 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak
Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak . Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Laporan UNICEF
1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung, PT Citra
Aditya Bakti.
Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide
Sosiologi
Pendidikan
Pierre
Bourdieu
(Depok:
PT
Rajagrafindo Persada, 2012)
Miles Matthew B. Dan Huberman., A. Michael, Analisis Data
Kualitatif, (Terjemahan: Tjeptjep Rohendi Rohidi), Jakarta:
UI-Press, 1992
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.
Rahardjo,
M.
Dawam.
“Pembangunan
dan
Kekerasan
Struktural : Agenda Riset Perdamaian”, dalam Prisma
(Jakarta: LP3ES, 1981)
Richard
Jenkins. Membaca
Pikiran
Bourdieu. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
Pierre
24
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1995)
S.
Nasution,
Metode
Penelitian
Naturalistik
Kualitatif,
Bandung: Tarsito, 1988.
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Hukum Islam, (Jakarta: Amissco, 2000)
Shalaluddin, Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Islam, Jakarta, Aminnco, 2000.
Shanty
Dellyana,
Wanita
dan
Anak
di
Mata
Hukum,
( Yogyakarta: Liberti, 1988)
Sindunata (ed.), Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001)
Sudjana,
Nana
dan
Ibrohim,
Penelitian
Pendidikan, Bandung: Algesindo, 2001.
dan
Penilaian
KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP ANAK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM
Oleh : Rina Oktafia Putri
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
rinaoktaviaputri@gmail.com
No. 085267763103
Abstrak
Fenomena yang terjadi sekarang tentang kekerasan terhadap
anak terkhusus dalam bidang pendidikan sungguh sangat
memperihatinkan. Kekerasan terhadap anak, apapun bentuk
alasannya adalah suatu yang dilarang dan bertentangan dengan
hukum dalam perspektif undang-undang perlindungan anak dan
ham. Dalam perspektif ini, tidak ada tolerensi ruang dan waktu
bagi tindak kekerasan terhadap anak seperti kekerasan
simbolik. Adapun kekerasan simbolik yaitu bentuk kekerasan
yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas
tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang
mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh
korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan
sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah,
wajar, dan memang harus terjadi. Sedangkan dalam hukum
islam, kekerasan terhadap anak memiliki kepastian hukum yaitu
haram, kecuali dalam hal pendidikan agama terkhusus dalam
hal ubudiyah. Diluar itu, seperti dalam hal muamalah adalah
tindak kekerasan terhadap anak merupakan sesuatu yang di
haramkan.
Pendahuluan
Kekerasan selalu erat hubungannya dengan peristiwa
yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan
mematikan. Tindakan kekerasan selalu mewarnai segala sendi
2
kehidupan
manusia
dan
banyak
dijumpai
kapanpun,
dimanapun.1 Sebagai contoh kekerasan terhadap anak di
lingkungaan sekolah merupakan persoalan bangsa yang perlu
segera dihentikan dan diputus mata rantainya karena terkait
langsung dengan pemenuhan hak anak untuk dilindungi oleh
negara serta menentukan nasib bangsa di masa mendatang.
Kekerasan
di
sekolah
menjadi
masalah
besar
yang
membutuhkan peran negara untuk menyikapinya secara serius
dan sistemik. Kekerasan yang terjadi di sekolah dapat dilakukan
oleh siapa saja, seperti kepala sekolah, guru, pembina sekolah
dan antar siswa.
Kekerasan di lingkungan sekolah sebenarnya tidak terjadi
baru-baru ini saja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menyebutkan di tahun 2012 saja kekerasan terhadap anak di
sekolah meningkat bahkan lebih dari 10%. Kekerasan ini
meliputi kekerasan yang dilakukan guru ke siswa maupun siswa
ke siswa lainnya. Data ini berdasarkan survey yang diadakan
KPAI di 9 propinsi terhadap lebih dari 1000 siswa dari tingkat
SD sampai SMA. Sebanyak 87,6% siswa mengaku mengalami
tindak kekerasan dari guru, sedangkan 78,3% siswa melakukan
tindak kekerasan tersebut.
1 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1995), hlm. 165
3
Kekerasan yang terjadi pada siswa belakangan ini dengan
dalih untuk mendisiplinkan siswa dan tidak jarang dijadikan
budaya sebagai alasan membungkus kekerasan terhadap anak
tersebut. Adapun bentuk kekerasan yang dilakukan antara lain
dengan cara memukul, melemparkan suatu benda, ataupun
kekerasan seksual. Dalam hal ini kekerasan fisik masih menjadi
kekerasan utama yang terjadi di sekolah, diikuti dengan
kekerasan psikis dan kekerasan simbolik. Munculnya ragam
kekerasan di sekolah tampaknya menimbulkan ketakutan bagi
orangtua.
Selanjutnya kekhawatiran dari para orangtua tersebut
memang cukup beralasan, mengingat banyak kasus terjadi di
lingkungan pendidikan, baik negeri, swasta bahkan sebagian
kasus juga terjadi di sekolah berbasis agama. Adalah kekerasan
simbolik yang menjadi perhatian peneliti untuk melihat lebih
jelas bentuk kekerasan simbolik yang dilakukan oleh guru di
sekolah
dan
bagaimana
perspektif
hukum
islam
dalam
memandang masalah tersebut dan kaitannya dengan hak asasi
manusia.
Tulisan
kepustakaan
menggunakan
(library
research),
metode
yakni
jenis
penelitian
penelitian
yang
pengumpulan datanya melalui bahan-bahan pustaka. Sedangkan
menurut jenis data dan analisisnya, penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Digunakannya jenis penelitian ini dengan
4
pertimbangan bahwa yang menjadi fokus penelitian ini adalah
pemahaman terhadap kekerasan simbolik dalam perspektif
hukum Islam dan sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik.2.
Seperti yang diketahui bahwa kekerasan simbolik merupakan
kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat
dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam
dari
orang
yang
mengalaminya
(korbannya)3.
Selanjutnya
kekerasan simbolik adalah makna logika dan kenyakinan yang
mengandung bias tetapi secara halus dan samar dipaksakan
oleh pihak lain sebagai sesuatu yang benar.4
Bentuk
kekerasan
simbolik
memang
bukan
sebuah
kekerasan yang mudah dilihat wujudnya, namun sebenarnya
bentuk kekerasan simbolik sangat mudah diamati dan sering
banyak terjadi di lingkungan sekolah. Selanjutnya keterkaitan
yang paling mendasar dalam permasalahan kekerasan terhadap
anak yaitu hak asasi manusia untuk hak hidup 5. Dari segi
berbangsa dan bernegara anak adalah tunas, potensi dan
2 Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan untuk menentukan frekuensi
atau penyebaran suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis
adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah
dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti dengan jalan
memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain
untuk sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya. Lihat Sudarto,
Metode Penelitian Filsafat (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 4759.
3 Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi,
Yogjakarta, Rajagrafindo Persada: 2012. Hlm. 39
4 Ibid
5 Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Islam,
(Jakarta: Amissco, 2000), hlm. 39.
5
generasi muda penerus cita-cita. Penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai cita dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara di masa yang akan datang. Dalam Undang-undang No.4
Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4)
berbunyi sebagai berikut : ‘ Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan
melahirkan.
baik
Anak
semasa
berhak
kandungan
atas
maupun
sesudah
perlindungan-perlindungan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.6
Anak Dalam Perspektif
Islam
Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah (titipan)
yang Allah berikan kepada setiap orang tua. Oleh karena itu
orang
tua
hendaknya
memperhatikan
kebutuhan
dan
perkembangan anak, agar mereka tumbuh menjadi anak yang
sehat, baik jasmani maupun rohani, dan barakhlaqul karimah
serta memiliki intelegensi yang tinggi. Selanjutnya dalam
hukum islam tindakan kekerasan
terhadap anak merupakan
pelanggaran atas nilai-nilai ajaran Islam. Hak seorang anak
benar-benar dilindungi mulai dari kandungan sampai berusia 18
tahun dan seterusnya. Tetapi disini masih ada toleransi sedikit
kekerasan yang sifatnya memberikan bentuk ketegasan dan
kedisipinan selama hal itu dilakukan dan tidak mempengaruhi
6 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, ( Yogyakarta: Liberti,
1988), hlm. 18
6
terhadap proses perkembangan fisik dan mental anak sebagai
sarana pendidikan. Berikut ini bentuk hak anak dalam perspektif
Islam yaitu
1. Hak memperoleh kehidupan ketika di dalam rahim dan
setelah lahir
Islam benar-benar memberikan hak hidup bagi setiap anak
dengan jaminan yang pasti. Sejarah membuktikan, saat Islam
datang maka kebiasaan orang
Arab yang membunuh anak
perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt
berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).
2. Hak mendapatkan nama yang baik.
Nama
anak
adalah
penting,
karena
nama
dapat
menunjukkan identitas keluarga. Islam menganjurkan agar
orangtua memberikan nama anak yang menunjukkan identitas
Islam,
suatu
identitas
yang
melintasi
batas-batas
rasial,
geografis, etnis, dan kekerabatan. Selain itu nama juga akan
berpengaruh pada konsep diri seseorang.
3. Hak penyusuan dan pengasuhan
7
Selama masa penyusuan anak mendapatkan dua hal yang
sangat berarti bagi pertumbuhan fisik dan nalurinya. Yang
Pertama: anak mendapatkan makanan berkualitas prima yang
tiada bandingannya. ASI mengandung semua zat gizi yang
diperlukan anak untuk pertumbuhannya, sekaligus mengandung
antibodi
penyakit.7
yang
membuat
Yang
Kedua
anak
:
tahan
anak
terhadap
serangan
mendapatkan
dekapan
kehangatan, kasih sayang dan ketentraman yang kelak akan
mempengaruhi
suasana
kejiwaannya
di
masa
mendatang.
Perasaan mesra, hangat, dan penuh cinta kasih yang dialami
anak ketika menyusu pada ibunya akan menumbuhkan rasa
kasih sayang yang tinggi kepada ibunya. Islam pun telah
menetapkkan
bahwa
orang
yang
lebih
berhak
terhadap
pengasuhan ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya
dan paling terampil (ahli) dalam pengasuhan.
4. Hak mendapatkan kasih sayang
Rasulullah
saw
mengajarkan
kepada
kita
untuk
menyanyangi keluarga, termasuk anak di dalamnya. Ini berarti
Beliau saw mengajarkan kepada kita untuk memenuhi hak anak
terhadap kasih sayang.8 Sabda Rasulullah saw: "Orang yang
paling baik di antara kamu adalah yang paling penyayang
kepada keluarganya."
7 ibid
8 Majalah al-Wa’it Januari 24, 2008
8
5. Hak
mendapatkan
perlindungan
dan
nafkah
dalam
keluarga
Sebagai pemimpin dalam keluarga, seorang ayah tentu
bertanggungjawab
atas
keselamatan
anggota
keluarganya,
termasuk anaknya. Ia akan melindungi anaknya dari hal-hal
yang membahayakan anaknya baik fisiknya maupun psikisnya.
Demikian juga ia berkewajiban memberi nafkah berupa pangan,
sandang, dan tempat tinggal kepada anaknya.
6. Hak pendidikan dalam keluarga
Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara ibu
dan ayah, sehingga diperlukan pasangan yang seaqidah, dan
sepemahaman dalam pendidikan anak. Jika tidak demikian
tentunya sulit mencapai tujuan pendidikan anak dalam keluarga.
7. Hak
mendapatkan
kebutuhan
pokok
sebagai
warga
negara.
Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya
akan kebutuhan pokok yang disediakan secara massal oleh
negara kepada semua warga negara. Kebutuhan pokok yang
disediakan secara massal oleh negara meliputi: pendidikan di
sekolah, pelayanan kesehatan, dan keamanan.
Definisi kekerasan Simbolik
Kekerasan
sangat akrab dengan kehidupan
sehari-hari
yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun
9
sekolah. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan
terkandang selalu disertai dengan kekerasan. Secara umum
kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat
merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis.
Kekerasan merupakan semua bentuk perilaku verbal dan non
verbal yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
sehingga
menyebabkan
efek
negatif
secara
fisik
maupun
psikologis pada orang yang menjadi sasarannya.9 Kekerasan
adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sejumlah orang yang berposisi kuat ( atau yang tengah
merasa kuat ) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang
berposisi lebih lemah (atau dipandang berada di dalam keadaan
lebih lemah ), bersaranakan kekuatannya, baik fisik maupun non
fisik
yang
superior
dengan
kesengajaan
untuk
dapat
di
anak
berakibat
tumbulkan rasa derita pada pihak korban.10
Kekerasan
yang
ditujukan
pada
kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis yang
terjadi
di
depan
umum
atau
dalam
kehidupan
pribadi. 11
9 Gandik siswono, Kasus-kasus dan Penanganan Anak Korban Kekerasan,
Biro Mintal Spiritual PPT, Surabaya. Hlm. 45
10 Haqqul Yakin, Agama dan Kekerasan dalam Tradisi Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta: eLSAQ Press. Hlm. 148
11 Sebagai kritik atas struktural, Bourdieu mengajukan strukturalisme
konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis: by structuralim or
structuralist, i mean that there exists, within the social world itself and not
only within simbolic system (language, myth, etc), objective struktures
independent of the consciousness and will of the agent, which are capable of
guiding and constraining their representations. Struktur-struktur tersebut
membatasi kemauan-kemauan individu tapi pada saat yang sama ia dapat
10
Selanjutnya adapun kekerasan simbolik menurut Bourdieu
merupakan
sebuah
mekanisme
yang
digunakan
kelompok
dominan dalam struktur masyarakat untuk memaksa secara
halus habitus (ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidup)
terhadap kelompok minoritas12 dalam konteks adanya relasi
komunikasi dengan relasi kekuasaan, muncul konsep kekerasan
simbolik (symbolic violence) yang dipopulerkan oleh Pierre
Bourdieu dalam buku Outline Of Theory Of Practice. Istilah ini
digunakan
untuk
menjelaskan
kekerasan
khusus
dalam
mekanisme bahasa dan kekuasaan, yaitu kekerasan yang halus
dan tidak dampak, yang tidak dikenal atau hanya dikenal
dengan menyembunyikan mekanisme tempatnya bergantung.
Konsep ini menggiring manusia ke arah mekanisme sosial, yang
di dalamnya relasi komunikasi saling bertautan dengan relasi
kekuasaan. Sistem kekuasaan cenderung untuk melanggengkan
posisinya
yang
dominan
dengan
mendominasi
media
komunikasi, bahasa yang digunakan di dalam komunikasi,
makna-makna yang dipertukaran di dalam komunikasi serta di
interprestasi
terhadap
makna-makna
tersebut.
Di
dalam
menggunakan kapasitasnya untuk berpikir, bertindak, dan berefleksi untuk
mengkonstruk fenomena sosial dan kultural. Individu melakukan tersebut
dalam kerangka parameter struktur-struktur yang ada. Namun, struktur ini
bukan batasan-batasan yang bersifat rigid, tetapi lebih merupakan material
untuk konstruk sosial dan kultural yang beragam. Keterangan lebih lanjut,
lihat Jonathan H. Tumer, The Strukture Of Sociology Theory (The United
States Of America: Woodworth Publishing Company, 1998) hlm. 509-512
12 Ibid
11
dominasi tersebut, sebetulnya terjadi kekerasan simbolik yang
sangat halus tetapi orang yang didominasi secara simbolik
tersebut tidak menyadari adanya pemaksaan dengan menerima
pemaksaan tersebut sebagai sesuatu yang memang seharusnya
begitu (legitimate).13
Kekerasan simbolik terjadi ketika orang yang didominasi
menerima sebuah simbol (konsep, ide, gagasan, kepercayaan,
prinsip) dalam bentuknya, yang disortir memberikan pengakuan
atas sesuatu yang diterima secara distorsif serta menerapkan
kriteria
evaluasi
kelas
dominan
untuk
menilai
diri
dan
kehidupannya. Di dalam proses dominasi tersebut sebenarnya
terjadi pemaksaan simbolik yang sangat halus namun yang
didominasi tidak menyadari adanya pemaksaan atau menerima
pemaksaan tersebut sebagai common sense.14 Prinsip simbolis
ini diketahui dan diterima baik oleh pihak yang menguasai dan
dikuasai. Prinsip ini berupa bahasa, cara berpikir, cara kerja dan
cara bertindak sehingga akan menentukan
cara melihat,
merasakan, berpikir dan dan bertindak individu.15
Manifestasi kekerasan
simbolik ini terjadi pada semua
relasi sosial dalam realitas kehidupan. Dominasi simbolik ini
13 John B. ThomPON, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi Dunia, Terj
Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), Hlm. 94-98
14 ibid
15 Haryatmoko, Etika Komunikasi Media, Kekerasan dan Pornografi,
( Yogyakarta, Kanisius, 2007), hlm. 136-137
12
memiliki efektivitas yang cukup tinggi dan aman karena yang
didominasi
simboliknya,
tidak
menyadari
bahkan
kekerasan
menerima
dominasi
dan
pemaksaan
tersebut
sebagai
kebenaran yang absah sehingga taken for granded. Agar ini
berjalan
secara
efektif,
maka
diperlukan
sosialisasi
dan
normalisasi secara terus menerus sehingga simbol-simbol dan
pemaknaan
dari
kelompok
dominasi
dapat
memperoleh
penerimaan publik.
Dampak Kekerasan Simbolik Anak
Kekerasan pada anak sudah marak terjadi dan semakin
memprihatinkan. Melihat banyak sekali informasi dan juga
berita-berita melalui media mengenai kekerasan terhadap anak.
Mulai dari kekerasan pada anak yang ringan, hingga yang
sangat berat, bahkan berujung pada pembunuhan. Hal semacam
ini bisa memiliki dampak yang sangat buruk terhadap anak.
Kekerasan pada anak mungkin tidak terlihat dalam waktu dekat.
Namun, dalam kurun waktu tahunan, dampak dari kekerasan
pada anak ini akan terlihat sangat jelas. Adapun bentuk
kekerasan simbolik di institusi pendidikan, dalam wujud yang
lebih halus, selain peraturan tentang pemakaian seragam
sekolah, juga muncul melalui standardisasi kurikulum, melalui
13
buku wajib, dan juga melalui kewajiban menulis artikel ilmiah
terutama bagi para pengajar tingkat sekolah menengah.
Kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi
di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara eduaktif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini
ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Dalam hal ini
kekerasan simbolik terjadi secara tidak kasatmata. Hal ini
berbeda dengan kekerasan fisik dan psikologis, seperti tawuran
pelajar,
hinaan, dan pelecehan melalui kata-kata maupun
tulisan. Mata publik dapat melihat, mendengar, dan merasakan
adanya kekerasan fisik dan psikologis.
Sebaliknya, kekerasan simbolik jarang muncul sebagai
wacana
pendidikan,
diperbincangkan.
apalagi
Padahal,
sebagai
kekerasan
fakta
simbolik
yang
hampir
mendominasi seluruh proses pendidikan yang terjadi selama ini.
Dampak kekerasan simbolik
ini lebih dahsyat. Kekerasan
simbolik menjadi kekuatan laten justru karena ia bermain di
dalam pola pikir dan pembentukan cara memandang dunia yang
mengarahkan nilai, perilaku, dan cara bertindak bagi individu,
yang diterima begitu saja seolah semua itu berjalan secara
normal dan wajar.
14
Kekerasan simbolik
menjebak
dan menjerat individu
dalam sebuah belenggu makna yang tanpa mereka sadari
menindas eksistensi dan membelenggu kebebasannya untuk
bertumbuh menjadi manusia yang utuh. Pierre Bourdieu yang
memahami kekerasan simbolik berkait dengan relasi kekuasaan
yang dimiliki oleh individu dan kaitannya dengan struktur dan
sistem yang melanggengkan kekuasaan tersebut. Kekerasan
simbolik
perlu dipahami dalam kaitannya dengan konsep
tentang modal simbolik yang dimiliki individu.16
Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Kekerasan Simbolik
Pada Anak
Letak urgensi kajian ini adalah generalisasi kata ‘’
kekerasan simbolik’’ dalam pendidikan, sehingga kekerasan
dalam pendidikan tersebut tidak boleh terjadi kekerasan sama
sekali. Ibn Khaldun berkata, sebagaimana di kutip oleh Mahmud
Al-Khal’awi, orang yang mendidik dan menghukum dengan
kekerasan akan membuat anak tertekan dan menghilangkan
semangat anak, membuatnya menjadi malas, mendorong untuk
berbohong karena takut akan siksaan yang bisa menimpanya.
Anak
16 ibid
bukanlah
subjek
hukum
karena
para
ulama
fiqih
15
menyatakan bahwa status anak belum dapat di jadikan subjek
hukum bukan mahkum alaihi.
Dalam Islam, batas usia seseorang anak adalah setelah dia
mendapatkan tanda-tanda baligh ( mumayyiz), jika tanda-tanda
tersebut sudah terlihat pada anak, maka dia beralih ke masa
dewasa, yang mana sudah dibebankan tanggung jawab (dunia
dan akhirat). Anak adalah hadiah terindah bagi orang tua
sekaligus menjadi amanah bagi mereka yang senantiasa harus
dijaga dan dilindungi, diperlukan dan dididik dengan baik sesuai
dengan ajaran islam. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran
surat An-Anfal ayat 28 yang artinya
‘’Sesungguhnya
hartamu
dan
anak-anakmu
hanyalah
cobaan (bagimi) dan disisi Allah-lah pahala yang besar’’
Sementara
hukum
islam
disyariatkan
bukan
dengan
hampa muatan, melainkan penuh himah-hikmah disyariatkannya
suatu hukum. Islam sangat melarang kekerasan, namun dalam
hal-hal tertentu diperbolehkan terhadap anak yang sudah
berusia
sepuluh
tahun.
Islam
secara
tegas
dan
jelas
mengajarkan tentang mengajarkan tentang perlindungan anak
dan melarang adanya kekerasan terhadap anak. Generasi yang
tangguh
dan
pendidikan
berakhlak
yang
mulia
diterapkan
adalah
oleh
islam.
tujuan
akhir
Pendidikan
dari
yang
16
dimaksud oleh agama islam bukanlah pendidikan yang hanya
berdomisili di lingkungan sekolah (formal) saja, melainkan
segala bentuk tingkah laku yang dilihat oleh anak dan memiliki
potensi untuk ditiru oleh anak.
Dari
penjelasan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa,
kekerasan dalam islam sangat tidak dibenarkan sejauh tidak
sesuai dengan ketentuan atau melebihi batas. Kekerasan hanya
digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan hanya
dengan tujuan mendidik, bukan dengan tujuan tanpa landasan.
Dan jauh lebih baik lagi jika anak diperlakukan dengan kasih
sayang tanpa adanya kekerasan.
Tinjauan Ham terhadap kekerasan simbolik pada anak
Hak Asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari
umat manusia. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada
dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang
oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk
menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari.
Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang
tersebut
dapat
memperlakukan
sesuatu
sebagaimana
dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.17
17 Manan, Bagir, 2006. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan
Supremasi Hukum. PT. Alumni. Hlm. 74
17
Dalam pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia
disebutkan,
“Hak
assasi
manusia
(HAM)
adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”. Selanjutnya dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ‘
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi’.
Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa setiap anak berhak hidup, tumbuh dan berkembang
tanpa adanya kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan pada anak
jelas mencoreng HAM
karena hak anak hidup bebas dari
kekerasan dilanggar. Anak menjadi korban kekerasan akan
mendapatkan luka mental yang dapat menyebabkan kejadian
yang menimpanya dilampiaskan pada generasi berikutnya.
Sementara hal yang sama juga ditegaskan dalam undangundang dasar tahun 1945 yaitu pasal 28 ayat (10 Undangundang dasar 1945 ‘’ setiap anak berhak atas pengakuan,
18
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Adapun upaya perlindungan anak dalam bentuk kekerasan
mendapatkan perhatian penguasa
secara lebih komprehensif,
sejak ditetapkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, meski
perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya
guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut. Sebagaimana
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya,
berbagai
upaya
perlindungan anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai
upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak. Guna mencapai
tujuan tersebut, maka pelaksanaan perlindungan tersebut tidak
boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar perlindungan anak
dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip nondiskriminasi
(non-discrimination);
(2)
Prinsip
Kepentingan
terbaik untuk anak (the best interest of the child;(3) Prinsip hakhak anak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan (the
right to life, survival and development);(4) Prinsip menghormati
pandangan anak (respect to the views of the child)18.
Selanjutnya
adapun
uraian
tentang
hak
asasi
menurut undang-undang nomor 39 Tahun 1999, meliputi:19
18 (www.sekitarkita.com,2002)
19 Print, Darwan, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung:2003. hlm 144
anak
19
1. Anak dapat perlindungan orang tua, masyarakat dan
negara (pasal 62 ayat 1)
2. Hak melindungi sejak dari kandungan (pasal 52 ayat 1)
3. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan (pasal 53
ayat 1)
4. Hak mendapatkan nama dan status kewarganegaraan
(pasal 53 ayat 2)
5. Hak mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan
dan bantuan khusus anak cacat fisik atau mental (pasal
54)
6. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekpresi (pasal 55)
7. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang
tuanya (pasal 56 ayat 1)
8. Hak diasuh dan diangkat anak orang lain (pasal 56 ayat
2)
9. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan
dan dibimbing orang tua/ wali (pasal 57 ayat (1)
10. Hak mendapatkan orang tua angkat atau wali (pasal
57 ayat (2)
11. Hak perlindungan hukum (pasal 58 ayat (1)
12. Hak
pemberatan
hukum
bagi
orang
tua,
wali/pengasuh yang menganiaya anak (fisik, mental,
penelantaraan, perlakuan buruk dan pelecehan seksual
dan pembunuhan(pasal 58 ayat (2)
13. Hak tidak dipisahkan dari orang tua (pasal 59 ayat
(1)
14. Hak bertemu dengan orang tua (pasal 59 ayat (2)
15. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal
60 ayat (1)
20
16.
Hak mencari, menerima dan memberikan informasi
(pasal 60 ayat (2)
17. Hak untuk beristirahat,
bergaul
dengan
anak
sebaya, bermain, berkereasi (pasal 62)
18. Hak memperoleh kesehatan dan jaminan sosial
(pasal 62)
19. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa
bersenjata, kerusuhan sosial dan peristiwa kekerasan
(pasal 63)
20. Hak perlindungan hukum dari eksploitasi ekonomi
dan pekerjaan yang membahayakan dirinya (pasal 64)
21. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak dan
dari penyalahgunanaan narkoba, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (pasal 65)
22. Hak
tidak
dijadikan
sasaran
penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi (pasal 66 ayat (1)
23. Hak tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman
seumur hidup (pasal 66 ayat (2)
24. Hak tidak dirampas kemerdekaanya secara melawan
hukum (pasal 66 ayat (3)
25. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara
hanya sebagai upaya terakhir (pasal 66 ayat (4)
26. Hak perlakuan yang manusiawi bagi anak yang
dirampas kemerdekaannya dan dipisahkan dari orang
dewasa (pasal 66 ayat (5)
21
27.
Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara
efektif bagi anak yang dirampas kebebasannya (pasal
66 ayat (6)
28. Hak membela diri dan memperoleh keadilan bagi
anak
yang
dirampas
kebebasannya
di
depan
pengadilan yang objektif, tidak memihak dan sidang
tertutup untuk umum.
A. Kesimpulan
Islam
adalah
agama
ramah
kepada
semua.
Anak
merupakan bagian dari yang dimulyakan Islam. Rasulullah
Saw mengajarkan kepada kita untuk menyayangi keluarga
termasuk
anak
di
dalamnya.
Ini
menandakan
bahwa
Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk ramah terhadap
hak anak. Sabda Rasulullah Saw: "Orang yang paling baik di
antara
kamu
adalah
yang
paling
penyayang
kepada
keluarganya. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan hal
yang
merugikan
terhadap
proses
perkembangan
dan
pertumbuhan seorang anak. Dalam hukum Islam, undangundang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2003 dan hak
asasi manusia tindakan kekerasan terhadap anak adalah
dilarang.
terhadap
Karena
hak
hal
anak,
tersebut
tidak
kemanusiaan dan ajaran agama.
merupakan
sesuai
pelanggaran
dengan
nilai-nilai
22
Daftar Pustaka
Assegaf, Abd. Rahman. Pendidikan Tanpa Kekerasan; Tipologi
Kondisi, Kasus dan Konsep, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2004
Douglas, Jack D. dan Waksler, Frances Chaput. “Kekerasan”
dalam
Thomas
Santoso
(Ed).
Teori-teori
Kekerasan,
(Jakarta: Ghalia, 2002)
Fauzi Fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbolik,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 119-120 sebagai saduran
dari Pierre Bourdieu, Language and Power, (Cambridge:
Polity Press, 1991).
Haryatmoko,
Etika
Komunikasi
Media,
Kekerasan
dan
Pornografi, ( Yogyakarta, Kanisius, 2007)
Hendarti, Purwoko, Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik,
Birokratif dan Struktural, Jakarta 2008.
Indi Aunullah, Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam Pandangan
Pierre Bourdieu, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 2006),
23
John B. ThomPON, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi
Dunia, Terj Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007)
Joni, Muhammad. 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak
Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak . Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Laporan UNICEF
1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung, PT Citra
Aditya Bakti.
Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide
Sosiologi
Pendidikan
Pierre
Bourdieu
(Depok:
PT
Rajagrafindo Persada, 2012)
Miles Matthew B. Dan Huberman., A. Michael, Analisis Data
Kualitatif, (Terjemahan: Tjeptjep Rohendi Rohidi), Jakarta:
UI-Press, 1992
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.
Rahardjo,
M.
Dawam.
“Pembangunan
dan
Kekerasan
Struktural : Agenda Riset Perdamaian”, dalam Prisma
(Jakarta: LP3ES, 1981)
Richard
Jenkins. Membaca
Pikiran
Bourdieu. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
Pierre
24
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1995)
S.
Nasution,
Metode
Penelitian
Naturalistik
Kualitatif,
Bandung: Tarsito, 1988.
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Hukum Islam, (Jakarta: Amissco, 2000)
Shalaluddin, Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif
Islam, Jakarta, Aminnco, 2000.
Shanty
Dellyana,
Wanita
dan
Anak
di
Mata
Hukum,
( Yogyakarta: Liberti, 1988)
Sindunata (ed.), Pendidikan; Kegelisahan Sepanjang Zaman,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001)
Sudjana,
Nana
dan
Ibrohim,
Penelitian
Pendidikan, Bandung: Algesindo, 2001.
dan
Penilaian