ETIKA DAN PROFESIONALISME SAKSI AHLI FOR

TUGAS MANAJEMEN INVESTIGASI TINDAK KRIMINAL
Dosen : dr. Handayani Dwi Utami, M.Sc.,Sp.F

ETIKA DAN PROFESIONALISME SAKSI AHLI (FORENSIK)

Missi Hikmatyar
13917219

PROGRAM MAGISTER TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014

1. PENDAHULUAN
Di dunia ini tidak akan terlepas dari namanya kejahatan, begitu banyak ragam
kejahatan yang terjadi. Sebagian kasus kejahatan dapat terungkap dan sebagian lagi tidak
terungkap. Ini disebabkan karena terbatasnya bukti kejahatan yang menjadi senjata untuk
menjerat penjahat pada hukum. Seiring dengan banyaknya tindak kejahatan dan
berkembangnya ilmu pengentahuan maka tercipta suatu ilmu yang membantu dalam
pemecahan kasus, ilmu ini disebut ilmu Forensik. Forensik mempunyai suatu stackholder

yang cukup luas cakupannya yaitu korban, pelaku, penyidik, pengacara, hakim, sesama
ahli dan masyarakat. melihat stackholder forensika yang begitu banyak berelasi dengan
orang banyak, maka diperlukan etika dan profesionalisme ahli dalam pekerjaanya sebagai
ahli forensik. Ini bermaksud agar seorang ahli tidak menyalahi tanggung jawab dan moral
dalam pekerjaan yang diembannya.
Ilmu forensik bermaksud untuk membantu penyidik dalam memecahkan kasus secara
ilmiah. Namun ketetapan keputusan tidak berada pada ahli forensik. Ahli forensik hanya
membantu sesuai dengan keilmuan seorang ahli. Tidak semua ahli forensik bisa menjadi
ahli, tapi harus melihat nilai-nilai etika dan profesionalisme yang dipegang oleh seorang
ahli.
2. DEFINISI ETIKA DAN PROFESIONALISME
Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” atau “ta etha” yang berarti adat kebiasaan,
istiadat atau akhlak yang baik (sutiyoso bambang 2014). Etika sangat dengan kata moral
yang artinya adat kebiasaan, ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau tentang ilmu
tentang adat istiadat berkaitan dengan filsafat moral. Menurut kamus besar bahas
Indonesia, etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak
dan kewajiban moral. Serta kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika menurut Bertens yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika

sebagai system nilai dalam hidup perseorangan atau masyarakat.

Professionalisme merupakan perpaduan antara kompetensi dan karakter yang
menunjukan adanya tanggung jawab moral. Seorang yang profesional adalah seseorang
yang menjalankan profesinya secara benar dan melakukannya menurut etika dan sikapsikap profesional.
3. PENGERTIAN FORENSIK
Forensik adalah suatu ilmu yang digunakan untuk penyelidikan atau suatu ilmu sains
yang dijadikan bukti untuk sebuah kasus tertentu. Forensik adalah proses penggunaan
pengetahuan ilmiah dalam mengumpulkan, menganalisa, dan mempresentasikan barang
bukti ke pengadilan. Forensik secara inti berhubungan dengan penyelamatan dan analisis
barang bukti laten. Dalam hal ini, barang bukti laten dapat berbentuk banyak format,
mulai dari sidik jari di jendela, DNA yang diperoleh dari noda darah sampai file-file di
dalam hard disk komputer. Ada banyak ilmu forensik di Indonesia, seperti forensik
kedokteran, forensika digital, forensik kimia, dan lain-lain. Untuk terwujudnya suatu ilmu
forensik, maka dibutuhkan seorang ahli dalam bidang forensik itu sendiri. Karena ini
terkait dengan masalah kejujuran dan ilmu pengetahuan. Setiap ilmu forensik mempunyai
etika dan profesionalisme ahli dalam bidang forensik dan menjadi sebuah tanggung
jawab moral bagi setiap ahli.
4. ETIKA DAN PROFESIONALISME FORENSIK
Dalam suatu pekerjaan mutlak diperlukan etika dan profesionalisme untuk menunjang

kelancaran dalam pekerjaan, serta menimbulkan kepercayaan yang tinggi. Etika dan
profesionalisme merupakan “roh” suatu pekerjaan yang dibungkus oleh jiwa yang disebut
ahli. Setiap pekerjaan mempunyai etika tersendiri dan dituntut profesionalisme. Jika
seorang ahli tidak mentaati etika dan profesionalisme, maka pekerjaannya tidak bernilai.
Seperti ahli forensik, setiap ahli forensik harus memegang teguh etika profesinya dan
bekerja secara profesional.
Tujuan dari forensik adalah untuk melakukan penyelidikan terstruktur sambil
mempertahankan rantai didokumentasikan bukti untuk mencaritahu persis apa yang
terjadi pada bukti dan siapa yang bertanggung jawab untuk itu. Seorang Peneliti forensik
harus mengikuti suatu standar prosedur untuk menganalisa suatu bukti.

Untuk barang bukti kejahatan memerlukan ahli forensik yang profesionalisme yaitu
memiliki ilmu forensik yang didapatkan baik dari pendidikan formal maupun informal
serta memiliki jam terbang yang tinggi dalam menangani kasus forensik. Selain harus
professional seorang ahli forensik harus mengetahui dan memiliki kode etik supaya
kesaksian tidak menimbulkan kontroversi.
Pada suatu kasus ahli forensik berfungsi sebagai saksi ahli. Saksi ahli merupakan
orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu dan sudah disertifikasi oleh lembaga
atau instansi baik lokal maupun internasional. Saksi ahli yang memiliki jam terbang lebih
banyak akan sering digunakan oleh jaksa atau pengacara untuk diminta keterangan suatu

kasus yang ada hubungannya dengan keahlian mereka.
Profesionalisme saksi ahli Profesionalisme saksi ahli dapat diukur terhadap
keberhasilan mereka dalam memberikan penjelasan terhadap barang bukti yang dimintain
keterangan. Temuan-temuan dan keterangan mereka yang akurat sangat membantu hakim
dalam mengambil keputusan. Syarat saksi ahli dikatakan profesionalisme meliputi antara
lain :
1. Syarat akademis
Syarat akademis berkaitan dengan background pendidikan yang dimiliki oleh saksi ahli
baik secara formal (S1,S2, S3) maupun secara informal (Kursus dan Pelatihan).
2. Syarat praktis
Syarat praktis berhubungan dengan kompetensi saksi ahli dalam mempraktekan atau
mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki. Syarat praktis biasanya berhubungan
dengan kualitas (seberapa besar keberhasilan saksi ahli memberikan bukti yang
membantu hakim dalam mengambil keputusan), kuantitas kasus (seberapa banyak kasus
yang ditangani) dan waktu (sudah berapa lama sudah menjadi saksi).

Kode etik saksi ahli

Seorang saksi ahli hanya bisa memberikan keterangan terhadap kasus yang mereka
tangani di depan pengadilan saja. Mereka tidak berhak meberikan keterangan tersebut ke

pers tanpa ada konfirmasi dari lembaga atau instansi yang meminta bantuan kepada saksi
ahli tersebut.
Seorang saksi ahli harus mengetahui dan memiliki kode etik supaya kesaksiaanya
bisa diterima oleh hakim, dan seorang saksi ahli dilarang menceritakan hasil temuannya
kepada pihak yang menjadi lawan di pengadilan baik jaksa atau pengacara lawan.
Dengan memegang kode etik seorang saksi ahli akan sering dipake kesaksiannya dari
pada saksi ahli yang tidak memiliki kode etik.

5. ETIKA DAN PROFESIONALISME FORENSIK DIGITAL/IT FORENSIK
Mengingat semakin banyak kasus-kasus yang terindikasi sebagai cybercrime, maka
selain aspek hukum maka secara teknis juga perlu disiapkan berbagai upaya preventif
terhadap penangulangan kasus cybercrime. Digital/Komputer forensik, sebagai sebuah
bidang ilmu baru kiranya dapat dijadikan sebagai dukungan dari aspek ilmiah dan teknis
dalam penanganan kasus-kasus cybercrime. Kedepan profesi sebagai investigator
komputer forensik adalah sebuah profesi baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung
implementasi hukum pada penanganan cybercrime. Berbagai produk hukum yang
disiapkan untuk mengantisipasi aktivitas kejahatan berbantuan komputer tidak akan dapat
berjalan kecuali didukung pula dengan komponen hukum yang lain. Dalam hal ini
komputer forensik memiliki peran yang sangat penting sebagai bagian dari upaya
penyiapan bukti-bukti digital di persidangan. Sebagai sebuah bidang ilmu, pengetahuan

tentang digital / computer forensik tidak hanya untuk kepentingan pemecahan kasuskasus cybercrime saja namun juga sangat berguna untuk meningkatkan integritas dan
ketahanan infrastruktur jaringan komputer. Kemampuan terhadap digital / komputer
forensic akan menjadi elemen penting bagi upaya individu untuk membantu keamanan
infrastruktur digital dan penangulangan terhadap incident response yang dihadapinya.
Untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli pada bidang digital / computer forensik, maka
setidaknya terdapat 3 sumber utama sebagai mana pada Tabel
No

Sumber Keahlian

Fokus

1

2

3

Kurikulum Pendidikan Sarjana


Menguatkan pondasi bidang ilmu dan

dan Pasca Sarjana dgn

menyiapkan tenaga yang memiliki fondasi

minat/konsentrasi Digital

ilmiah untuk melakukan berbagai

Forensik

penelitian terkait dengan perkembangan

Program Sertifikasi Khusus

digital forensik.
Menyiapkan ahli yang siap terjun sebagai

Digital Forensic (CHFI


praktisi dalam bidang digital forensik

ECCouncil)
Otodidak : peneliti, praktisisi,

Menguatkan forum dan jejaring untuk

gabung milis, langganan jurnal,

meningkatkan sosialisasi implementasi
digital forensik pada berbagai bidang.

Secara formal, untuk menjadi tenaga ahli digital / komputer forensik, maka latar
belakang keilmuan yang diperlukan antara lain : teknik informatika/ilmu komputer,
teknik elektro, bidang ilmu MIPA (terutama matematika), Sosiologi, Psikologi. Penelitian
pada bidang digital / komputer forensik dapat dilihat dalam beberapa perspektif. Salah
satu perspektif
penelitian melibatkan 3 aspek, yaitu hukum, keamanan dan bisnis. Digital
komputer forensik senantiasa memberikan berbagai upaya untuk melakukan penelitian

guna menguatkan metodologi dan pembuktian ilmiah agar dapat mendorong bidang
hukum untuk memanfaatkannya dalam persidangan. Pada saat yang sama digital
komputer forensik akan mendukung upaya-upaya pihak keamanan untuk meningkatkan
prosedur keamanannya dan memberikan rekomendasi kepada dunia bisnis dan industry
untuk menyiapkan perangkat-perangkat digital dengan standar keamanan yang lebih
memadai.
Persfektif lain adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh (Brinson, Robinson,
& Rogers, 2006). Brinson et.all (2006) mengemukakan terdapat 4 aspek research pada
bidang digital / komputer forensik, yaitu :
• Technical, melakukan ujicoba penerapan berbagai teknologi digital terbaru
untuk pengungkapan kasus.
• Prosedural, menghasilkan standar- standar / model investigasi terhadap berbagai
varian kasus yang ditemukan.

• Social, terkait dengan solusi-solusi untuk individual privacy serta edukasi
kepada masyarakat luas.
• Legal, menghasilkan metodologi- metodologi terbaru yang dapat diadopsi oleh
persidangan dalam pengungkapan kasus yang melibatkan barang bukti digital.
Forensik digialt hanya bisa dilakukan oleh seorang ahli yang sudah diakui. Menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentan Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal

34 ayat (5) huruf h disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “AHLI” adalah orang yang
memiliki

keahlian

khusus

dipertanggungjawabkan

secara

di

bidang
akademis

teknologi
maupun

informasi

secara

yang

praktis

dapat

mengenai

pengetahuannya tersebut.
Setiap ahli Forensik harus memperhatikan etika dan profesionalisme sebgai ahli
forensik. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektonik, Pasal 43 ayat (2) juga menjelaskan harus memperhatikan perlindungan
terhadap privasi, kerahasian, kelancaran, layanan publik dan menjaga integrasi dan
keutuhan barang bukti.
6. PENUTUP
Seorang ahli Forensik mutlak memiliki etika dan profesionalisme sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukannya. Tujuan ahli forensik melakukan penyelidikan terstruktur
sambil mempertahankan rantai didokumentasikan bukti untuk mencaritahu persis apa
yang terjadi pada bukti dan siapa yang bertanggung jawab untuk itu. Seorang Peneliti
forensik harus mengikuti suatu standar prosedur untuk menganalisa suatu bukti.
forensik berfungsi sebagai saksi ahli. Seorang saksi ahli harus mengetahui dan
memiliki kode etik supaya kesaksiaanya bisa diterima oleh hakim, dan seorang saksi ahli
dilarang menceritakan hasil temuannya kepada pihak yang menjadi lawan di pengadilan
baik jaksa atau pengacara lawan. Dengan memegang kode etik seorang saksi ahli akan
sering dipake kesaksiannya dari pada saksi ahli yang tidak memiliki kode etik.

7. DAFTAR PUSTAKA

[1] iwayan.info/Lecture/EtikaProfesi_S1/04a_ITForensik.pdf 21oktober 2014
[2] http://www.suneducationgroup.com/bidkomputerforensik.html, 22 oktober 2014
[3] Prayudi, Yudi M.Kom, (CHFI), “Pengantar digital/ komputer forensik” SNATI.
Yogyakarta: Teknik Informatika UII. Retrieved from
http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/view/1638, 23 oktober 2014
[4]Prayudi, Yudi M.Kom, (CHFI), juni 2014“Prinsip Menjadi Saksi Ahli”
http://catatanforensikadigital.wordpress.com/2014/06/22/prinsip-menjadi-saksiahli.html, 22 oktober 2014
[5] Afrianto, D. S., & Prayudi, Y. (2007). Antisipasi Cybercrime Menggunakan Teknik
Komputer Forensik. SNATI. Yogyakarta: Teknik Informatika UII. Retrieved from
http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/view/1634, 23 oktober 2014
[6]Sutiyoso, Bambang (2014),” Etika dan Hukum teknologi informasi”
Yogyakarta:Teknik Informatika UII