MENCIPTAKAN MEMORI KOLEKTIF MONUMEN DAN

MUSEUM DAN MASYARAKAT

MENCIPTAKAN MEMORI KOLEKTIF:
MONUMEN DAN MUSEUM PEMBELA TANAH AIR
(PETA) KOTA BOGOR

NPM : 1306426021

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
ARKEOLOGI
2013

Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi memori pengunjung terutama secara
luas bagi masyarakat Indonesia, melalui berbagai tampilan koleksi, informasi
yang diperoleh dari sumber-sumber saksi mata baik pelaku sejarah maupun saksi
hidup di masa pra kemerdekaan khususnya masa pendudukan Jepang yang
memusatkan pelatihan dan perekrutan tenaga militer Jepang bagi pemuda
Indonesia di Jawa (Bogor) dikenal dengan Pembela Tanah Air (PETA) saat
berlangsungnya perang pasifik tahun 1942-1945 yang kemudian dalam

perkembangan sejarahnya terjadi pemberontakan yang dipimpin Supriyadi yang
kala itu berpangkat Shodanco. Bangunan Monumen dan Museum bergaya Eropa
ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 35, Bogor, Jawa Barat, merupakan
bekas kompleks atau Markas Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) yang
dibangun tahun 1745. Melalui pertimbangan konsep New Museology dalam
menciptakan memori kolektif pengunjung dan masyarakat diperlukan kecermatan
perumusan. Pertama, bangunan dan koleksi Monumen dan Museum PETA
merupakan bangunan peninggalan bersejarah yang telah di data dan di kelola
Dinas Sejarah Angkatan Darat ini, memiliki landasan penting bagi proses
penanaman patriotisme dari generasi ke generasi. Warisan sejarah ini pun akan
menjadi landasan untuk membangun wacana khusus memori dan sejarah
perjuangan dan menjadi bagian pembentukan keprajuritan yang begitu heroik
dalam berbagai peristiwa penting untuk merebut kemerdekaan Indonesia kala itu,
sehingga akan membangkitkan potensi untuk pengembangan diri dan
memperkuat nasionalisme bangsa ini. Kedua, seiring dengan perkembangan
konsep museum yang mulanya menampilkan koleksi secara object oriented, kini
akan ditawarkan pada pelayanan Monumen dan Museum PETA Bogor untuk
menerapkan people oriented dan mengembangkan site oriented sebagai bagian
dalam pelayanan dan tampilan koleksinya.


Kata Kunci: Memori Kolektif, Warisan Sejarah, New Museology, Object
Oriented, People Oriented, dan Site Oriented.

Pengantar
Dalam penulisan Lubar (2007) menyatakan memori adalah “bagaimana
sebuah sejarah memiliki hubungan dengan masa lalu terkait individu seseorang
dan pendapat itu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan sendiri. Disebutkan pula,
oleh seorang penulis Stefan Zweig, memori merupakan kekuatan yang diatur
secara sengaja namun tetap bijaksana dan tanpa pengecualian. Sejarah juga dapat
mengambil bagian dari penataan ulang (merekonstruksi) dari masa lalu, tetapi
harus bertujuan melalui sudut pandang pribadi yang terlihat memiliki kekurangan.
Eric Hobsbawn menulis: “the professional remembrances of what their fellowcitizens wish to forget.” (Lubar, 2007, p. 397).
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana kita akan
menggabungkan memori dan sejarah? dan bagaimana cara mengenali dan
menghargai sebuah memori sementara pada saat bersamaan semua itu dapat
bergerak diluar kendali pengelola dan kurator museum? Ini merupakan masalah
yang dihadapi pihak pengelola dan kurator museum dalam memberikan memori
yang terdapat di Monumen dan Museum PETA Bogor. Sementara ini menjadi
bagian yang sangat penting dalam memberikan dan memaknai sebuah informasi
dan display koleksi sejarah serta objek untuk pengunjung terutama di kalangan

pelajar sebagai generasi muda bangsa Indonesia.

1. Sejarah Monumen dan Museum PETA Bogor
Bangunan yang menjadi markas Koninklijk Nederlands Indische Leger
(KNIL) ini dibangun tahun 1745 ini merupakan bangunan arsitektur bergaya
kolonial (indis), kemudian di tahun 1943 di masa pendudukan Jepang, markas ini
digunakan sebagai pusat pelatihan pasukan tanah air yang kala itu masih dikontrol
oleh militer Jepang dengan nama Boei Gyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Markas
Komando Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di
Jawa), pasca kemerdekaan bangunan ini diambil alih oleh pihak militer KODAM
VI Siliwangi sebagai Pusat Pendidikan Zeni (Museum Peta, 2013). 18 Desember
1995 diresmikanlah pendirian Monumen dan Museum oleh Presiden Republik
Indonesia saat itu Sooharto yang sekaligus sebagai mantan perwira PETA
angkatan I dan selanjutnya diserahkan pengelolaanya dibawah Dinas Sejarah
Angkatan Darat KODAM VI Siliwangi, Jawa Barat (Museum Peta, 2013).
Monumen dan Museum PETA memiliki berbagai monumen/patung, relief, dan
diorama yang meronstruksikan peristiwa pembentukan tentara PETA dan berbagai
proses pergerakan untuk mencapai kemerdekaan. Dalam ruang koleksi yang
ditampilkan pun terdiri dari berbagai alat utama sistem pertahanan yang
digunakan mantan tentara PETA pada masa pendudukan Jepang, serta tidak luput


pula ditampilkan berbagai foto, pamflet dan kliping koran di masa itu ikut
ditampilkan dan dipajang di dinding museum. Semakin terlihat dengan jelas,
bahwa apa yang ingin ditampilkan Monumen dan Museum PETA ini merupakan
bagian dari rekonstruksi sejarah dan peristiwa pra kemerdekaan bangsa Indonesia,
dengan menampilkan berbagai kenangan masa lalu di dalam bangunan yang
masih memiliki konteks bangunan sejarah serta peristiwa pembentukan PETA
yang terjadi di dalam kompleks bangunan saat itu. Namun memori peristiwa
tersebut belum tersampaikan seutuhnya, sebab seluruh koleksi yang ditampilkan
masih object oriented.

2. Memori di Monumen dan Museum PETA
Chen mengemukakan (2007), Memori museum dapat diungkapkan melalui
budaya material yang bersifat tangible, dengan kata lain obyek dan konteks fisik
museum dapat dirasakan langsung oleh pengunjung dengan menciptakan ruang
bagi kepada pengunjung untuk mengembalikan dan merangsang ingatan mereka
di masa lalu. Karena itu sebuah memori yang seringkali ditampilkan di museum
seringkali diawali dan dimediasikan melalui gambar atau objek. Pada saat yang
sama, objek merupakan bagian dari cerita museum dan cerita ini akan
memberikan pengaruh melalui tindakan dengan mengenang sesuatu peristiwa

dalam sebuah ruang pameran (p, 174).
Pendapat Chen akan lebih sejalan dengan konsep Monumen dan Museum
PETA, yang sejak awalnya akan menampilkan sebuah tata pameran sejarah para
pejuang pembela tanah air, dengan menciptakan memori dan peristiwa heroik di
masa melalui perekrutan dan menjalani pendidikan perwira sukarelawan Gyugun
Kanbu Kyo Iku di lokasi bangunan museum tersebut. Berbagai diorama-diorama
yang ditampilkan per periodik itu dimulai pada 1943 yang menggambarkan
sebuah kesepakatan tokoh-tokoh bangsa Indonesia dalam mengupayakan
berdirinya tentara PETA, kegiatan latihan di pusat pendidikan perwira PETA di
bogor, 1944 sebuah diorama pembentukan batalyon-batalyon PETA di Jawa,
Madura dan Bali, peristiwa terjadinya pemberontakan PETA di Blitar 14 Februari
1945 oleh Shodanco Supriyadi, penggambaran peristiwa 15 Februari 1945 melalui
muslihat Katagiri Butaicho terhadap Shodanco Muradi, peristiwa heroik 16
Agustus 1945 di Kompi PETA, Rengasdengklok, Proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pembentukan
Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai tonggak awal terbentuknya Tentara
Nasional Indonesia (TNI) 22 Agustus 1945, diorama rapat raksasa di Lapangan
Ikada, Jakarta 19 September 1945, peristiwa heroik di bulan Oktober Osha Butai
Kota Baru oleh pasukan BKR Yogyakarta, pembentukan Kekuatan Bersenjata
Indonesia pada bulan Oktober 1945 oleh BKR malang yang merintis Matra


Kedirgantaraan, pemindahan Markas Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur ke
tangan bangsa Indonesia di bulan Oktober 1945, peristiwa Ambarawa pada 15
Desember 1945 sekaligus menjadi momentum hari Infanteri TNI Angkatan Darat,
dan diorama pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 12
November 1945. Seluruh diorama-diorama yang ditampilkan tersebut, sangat
komunikatif dengan memberikan audio mengenai penggambaran peristiwa yang
tampil pada masing-masing diorama.
Sedangkan berbagai koleksi benda lainnya berupa alat utama sistem
pertahanan di masa itu senapan, pistol, meriam, binacular, dan kompas bidik
seakan menjadi “pemanis” ruangan, begitupun dengan pajangan foto dan berbagai
kliping koran yang ditampilkan hanya sekedar menjadi bagian informasi yang
masih bersifat object oriented semata. Bagi pengunjung museum, hal ini hanya
akan menjadi sebuah tampilan yang “berlalu begitu saja” tanpa ada sebuah
memori yang terciptakan dari pengunjung itu sendiri atau kenangan bagi pelaku
sejarah yang masih hidup hingga sekarang ini.
Dalam hal ini Lubar (2007) berpendapat sebagai berikut:
“History museum have a different and, i think, more difficult task. The goal of
a history exhibit is to move people from the ideas and information that they
bring with them to the exhibit to a more complex, problematized, nuanced view

of the past. Exhibits should not be limeted to reminiscence or commemoration;
they should add perspective by aspiring to a greater critical distance and by
putting the artefact in context” (Lubar, 2007. p. 398).

Pernyataan tersebut menjadi bagian dari sebuah persoalan yang dihadapi
Monumen dan Museum PETA sekarang ini. Sebab misi utama dalam
menampilkan sebuah pameran sejarah adalah dengan memindahkan berbagai ideide masyarakat yang mereka miliki kedalam pameran dengan nuansa masa lalu
dan tampilan pameran yang begitu kompleks serta dapat memberikan tambahan
perspektif dengan menempatkan hubungan artefak dan konteksnya di museum
yang masih merupakan situs dan bangunan bersejarah sehingga akan mampu
menjadi bagian objek penting dalam menciptakan memori kolektif di museum
tersebut.
Meskipun seperti itu, bahwa Monumen dan Museum PETA terlihat pasif
dalam menampilkan ruang pamer yang secara formal, namun secara individual
respon bagi pengunjung akan dapat memahaminya dengan sendiri, dengan cara
menafsirkan dan membangun makna di museum tersebut. Dalam hal ini, secara
tidak langsung museum yang telah menjadi profesional akan menyadari bahwa
peran pengunjung cukup penting meskipun hanya terbatas pada sebuah objek
yang dipahaminya dan terdapat didalam tampilan museum. Maka dari itu peranan
museum tidak hanya menjadi sebuah sarana untuk belajar sematan namun juga

bagian dari objek situs sebuah memori dan nostalgia, dengan memberikan peluang

yang tidak terbatas dalam interpretasi melalui individu-individu pengunjung di
Monumen dan Museum PETA.
Begitupun yang dikemukakan Chen (2007), bahwa berbagai hasil penelitianpenelitian yang telah dilakuan berkaitan dengan konsep memori kolektif,
menunjukkan sebagian besar pengunjung memiliki kenangan terkait dengan
lingkungan dan bangunan museum (Falk 1988). Lowenthal (1985: 16) yang telah
menyarankan bahwa sebuah lingkungan sekitar seringkali mampu menciptakan
repository dalam kenangan. Chen mengemukakan pendapat Halbwachs
(1980:140) yang menyatakan bahwa memori kolektif selalu terkait dengan tempat
dan lokasi. Pendapat ini dianalogikan ‘setiap ingatan kolektif yang terungkap
merupakan sebuah kerangka spasial. . . dimana kita dapat memahami bagaimana
cara kita memindahkan masa lalu tersebut yang pada dasarnya menjadi awet
dilingkungan fisik sekitarnya’ (Chen, 2007. p. 178).
Semakin jelas bahwa apa yang telah tampilkan melalui diorama dan pameran
koleksi di Monumen dan Museum PETA merupakan sebuah konsep yang tanpa
disadari telah bergerak dengan sendirinya tanpa sebuah rancangan sedikitpun bagi
pengelola museum untuk menciptakan konsep bertema sejarah dan memori
kolektif sehingga yang diperlukan sekarang ini adalah dengan
mengkolaborasikannya antara memori pelaku sejarah, saksi hidup sejarah dan

objek material baik yang ditampilkan dalam ruang pameran museum beserta
dengan konteks bangunan museum yang menjadi bagian sejarah untuk
menciptakan Monumen dan Museum Pembela Tanah Air.

3. Memori Pengunjung Monumen dan Museum PETA
Dalam banyak cerita sejarah yang ditampilkan melalui diorama dan berbagai
koleksi pameran yang terdapat di Monumen dan Museum PETA. Rata-rata
pengunjung yang pernah mendatangi museum PETA di Bogor ini memberikan
respon dan berbagi pengalaman mereka melalui cerita yang mereka peroleh dari
pengelola museum sampai dengan tampilan museum tersebut di dalam blog yang
dapat diakses melalui website pengunduh google. Seperti dalam postingan blog
Ira Destiana (2011) yang memiliki akun cukuptau.wordpress.com membagikan
sebuah pengalamannya berkunjung ke Monumen dan Museum PETA sebagai
berikut:
Museum PETA
Ternyata prosedur untuk berkunjung ke museum ini cukup sulit. Jadi, calon
pengunjung harus membentuk rombongan dengan jumlah minimal 25 orang.
Kemudian mengajukan surat izin kunjungan kepada pihak administrasi
museum, baru setelah itu akan dihubungi oleh pihak museum tentang jadwal


kunjungan yang tersedia. Selain itu, dibebankan juga biaya administrasi
sebesar Rp 2.500 per-orangnya.
Melihat keterangan tersebut, kami yang jumlahnya hanya ber-7 orang saja
menjadi pesimis. Museum sedang sepi pengunjung, tidak ada jadwal
kunjungan sama sekali hari Jumat ini 11 Februari 2011. Di tengah
kebingungan kami, ada seorang laki-laki dengan pakaian berwarna hijau,
seragam TNI menghampiri kami. Lalu kami pun menjelaskan bahwa kami
mahasiswa dari Depok, sengaja ingin berkunjung ke Bogor dan ingin
berkunjung ke beberapa museum di Kota hujan ini. Tanpa disangka, bapak
tersebut kemudian mengizinkan kami untuk mengunjungi museum lengkap
dengan panduan dari beliau mengenai serajah berdirinya Museum PETA dan
sejarah bangsa ini tentang terbentuknya PETA dan peranan tentara PETA
dalam mencapai kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bangunan museumnya sendiri dibagi menjadi 2 ruangan, dengan total 14
diorama yang terdapat di museum tersebut. Ketika kaki ini memasuki ruangan
yang pertama, suasana ruangan masih gelap, kemudian beliau menyalakan
lampu dan AC yang ada di ruangan tersebut. Saat itulah saya baru benarbenar mengerti mengapa prosedur kunjungan ke museum tersebut menjadi
agak sedikit rumit. Ketika ada kunjungan, museum harus menyalakan lampu
yang berjumlah tak sedikit, ada sekitar 500 buah lampu yang harus dinyalakan
di museum untuk menerangi diorama-diorama dan beberapa properti museum

yang dipajang di ruangan tersebut. Selain itu, beberapa pendingin ruangan
juga harus dinyalakan demi kenyamanan pengunjung museum. Dan tentu saja
biaya kebersihan dan perawatan gedung, sehingga ada biaya administrasi
yang harus ditanggung oleh pengunjung museum. Di dalam museum juga
terdapat beberapa koleksi senjata yang dimiliki oleh pasukan PETA dulu
dalam melawan tentara Jepang.
Luas monumen dan museum PETA sendiri sekitar 1 hektar. Berdiri di
sekelilingnya adalah pusat pelatihan ZENI untuk mendapatkan pendidikan dan
pelatihan mengenai kemiliteran. Bangunannya telah ada sejak penjajahan
Belanda sekitar tahun 1700-an, sehingga tidak heran jika ciri-ciri
bangunannya mirip dengan bangunan jaman dulu peninggalan sejarah.
Di halaman belakang museum, terdapat patung Jend. Sudirman berdiri tegak.
Demikian juga di bagian depan gedung, terdapat patung Jend. Sudirman,
Supriyadi, dan beberapa kendaraan atau tank perang PETA. Mendengarkan
penjelasan langsung dari pemandu museum yang berasal dari TNI ini, kami
seperti kembali ke jaman sekolah dulu, saat membuka buku sejarah yang
pastinya kini sudah menjadi sejarah di atas meja belajar kita. Perjuangan
para pejuang dan pendahulu kita dalam mencapai cita-cita untuk
membebaskan negeri ini dari penjajahan bangsa asing.
Di bagian terakhir penjelasan beliau, beliau menunjukkan replika bangku
yang digunakan oleh Jend. Sudirman ketika sedang sakit. Sebuah kursi rotan
dengan bilah-bilah bambu untuk memanggul bangku tersebut. Bapak itu
kemudian berkata, “Walaupun badan sedang sakit, namun semangat untuk
berjuang tetap harus ada.” Sungguh, saya sendiri jika sedang tidak enak
badan, bawaannya ingin istirahat di tempat tidur terus! Tidak ada daya upaya
untuk mengerjakan sesuatu yang lainnya selain TIDUR.
Ada satu hal lagi yang membuat jiwa pemuda dalam hati saya tersulut. Di
dalam museum, ada beberapa artikel dan poster yang berupa ajakan bagi
para pemuda untuk bergabung dalam tentara PETA, salah satu yang menarik

hati saya adalah judul artikel yang dimuat di Majalah DJAWA BAROE di
tahun 1944, yang bertuliskan “Bangkitlah oentoek Membela Tanah Air!”
Sudahkah saya melakukannya? #SEmangat SKRIPSI! (Destiana, 2011, p. 1-8).

Pengalaman kedua diceritakan oleh Ahmad Ibo melalui akun website yang
diberi nama www.indonesiakaya.com dengan memberikan judul postingannya
“Rumah Pembela Tanah Air” sebagai berikut:
Bogor tidak hanya kaya akan kuliner, tapi juga kaya akan sejarah panjang
pergerakan kebangsaan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Peran
Bogor sebagai tempat dilahirkannya prajurit garda terdepan yang gagah
berani tak perlu dielakkan lagi. Berdasarkan sejarah, Jepang pernah
mengeluarkan dekrit membentuk Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA)
di Bogor. Alih-alih dibentuk untuk membantu Jepang melawan sekutu, PETA
kemudian dijadikan sebagai korps tentara yang disiapkan untuk mencapai
Indonesia merdeka oleh para pemimpin pergerakan kebangsaan.
Peran tentara PETA tidak lepas dari tanah Bogor, karena di daerah inilah
untuk pertama kali pendidikan perwira PETA didirikan. Untuk mengenang
Bogor sebagai kota pembela tanah air, dibangunlah monumen yang berdiri
berdampingan dengan museum yang diberi nama Museum PETA. Museum
PETA terletak di Jalan Jenderal Sudirman No 35, Bogor, menempati lokasi
yang dahulu dijadikan tempat pendidikan kemiliteran para perwira PETA.
Konon, pemilihan lokasi ini atas berbagai pertimbangan. Antara lain karena
lokasinya strategis, udara yang sejuk, dukungan fasilitas, dan yang terpenting
masyarakat sekitar pada saat itu juga mendukung didirikannya pusat
pendidikan militer dalam usaha mencapai kemerdekaan Indonesia.
Pembangunan Museum PETA diprakarsai oleh Yayasan Pembela Tanah Air,
sebuah yayasan yang menjadi tempat bersatunya mantan Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air. Pembangunan dimulai pada 14 November 1993 dan
memerlukan waktu sekitar 2 tahun sebelum bangunan selesai. Pada 18
Desember 1995, Museum PETA diresmikan oleh Presiden Soeharto – yang
juga merupakan mantan perwira PETA angkatan I.
Memasuki kawasan museum, pengunjung akan disambut sebuah prasasti yang
dituliskan pada dinding marmer. Tulisan bernada nasionalisme tersebut berisi
sebuah pernyataan: “Bumi Pembela Tanah Air Ini Merupakan Kawah
Candradimuka Keprajuritan Indonesia, Kami Datang dan Berkumpul di Bogor
Tidak Saling Mengenal, Kami Berpisah sebagai Kawan Seperjuangan untuk
Membela Tanah Air.”
Masuk lebih ke dalam, pengunjung akan menjumpai berbagai diorama yang
menjelaskan sejarah dan perkembangan tentara PETA dalam meraih cita-cita
kemerdekaan Indonesia. Selain diorama, terdapat juga koleksi pakaian dan
berbagai jenis senjata yang pernah digunakan tentara PETA. Koleksi lainnya
berupa foto dokumentasi sepak terjang tentara PETA hasil guntingan dari
media masa pada saat itu.

Terdapat sebuah monumen di bagian belakang Museum PETA. Monumen
tersebut berupa patung Daidancho Soedirman. Daidancho merupakan pangkat
kemiliteran buatan Jepang. Daidancho setara dengan Komandan Batalyon
(Letkol/Mayor). Di bagian yang lain, terdapat patung Supriyadi dengan gestur
yang heroik, tangan kanan mengepal ke atas sementara tangan kiri
menggenggam sebilah samurai.
Pahlawan Nasional yang bernama lengkap Fransiskus Xaverius Supriyadi ini
mempunyai pangkat Shodancho atau setara dengan Komandan Pleton
(Letnan). Beliau berperan memimpin pemberontakan tentara PETA terhadap
pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Sementara, pada dinding
monumen yang berbentuk setengah lingkaran terdapat nama-nama perwira
tentara PETA yang berasal dari seluruh Jawa, Bali, Madura, dan Sumatera –
lengkap dengan informasi yang menerangkan fungsi dan jabatannya.
Museum dan Monumen PETA dibuka untuk umum setiap hari kecuali Sabtu,
Minggu, dan hari besar nasional. Jam operasional museum dibuka mulai
pukul 08.00 hingga pukul 14.00 WIB.
Berkunjung ke Museum PETA, pengunjung akan diajak kembali ke masa
pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia – masa ketika sikap
nasionalisme menjadi panglima melebihi sikap individualisme kelompok dan
golongan. Di museum ini, pengunjung juga diajak untuk mengetahui sejarah
panjang cikal bakal berdirinya TNI di Indonesia, sambil mengenang jasa para
perwira tentara PETA yang telah gugur mempertaruhkan jiwa dan raganya
untuk cita-cita kemerdakaan Indonesia (Ibo, 2011. p. 1-9).

Pada blog ketiga pengunjung bernama Faisal Pratama (2013), memposting hasil
kunjungannya di Monumen dan Museum PETA melalui akun blognya yang
bernama www.hitung-mundur.blogspot.com dengan judul postingan “Museum
Traveling (part 1: Museum PETA)” sebagai berikut:
Lanjut ya?
Nah, pada hari ini juga, masih ada satu meseum lagi yang ingin aku kunjungi.
Masih seputar museum yang bertema perjuangan bangsa, kali ini aku memacu
motor ku menuju monumen dan museum PETA.
Destinasi ke-2: Museum dan Monumen Pembela Tanah Air (PETA). Jalan
Jendral Soedirman no.35
PETA atau pembela tanah air adalah pasukan yang dibentuk di bawah
imperum kekaisaran jepang. Atas usul para petinggi bangsa dan ulma pada
saat itu seperti Raden Gatot Mangkoepradja, Soekarno, Hatta, Ki Hajar
Dewantara, KH Mas Mansyur, Buya Hamka dan kawan – kawan maka
disetujilah pembentukan pasukan ini. Para pemuda sukarela yang masuk ke
dalam akademi militer pertama bangsa ini langsung disuguhi ilmu – ilmu
peperangan modern dengan segala peralatan dan persenjataan mesin yang
ssudah cukup mumpuni pada waktu itu. Namun melihat rakyat yang semakin
sengsara akibat pendudukan jepang di bumi pertiwi dengan sistem romushanya yang bahkan lebih keji dari pada bangsa belanda dengan tanam paksanya,
para prajurit PETA itu tersulut kobaran emosi. Maka terjadilah

pemberontakan dimana – mana dari segala macam organisasi bentukan
jepang yang dulunya bertujuan untuk membungkam rakyat indonesia sendiri.
Khususnya pemberontakan PETA di Blitar yang dipmpin oleh Supriadi.
Singkat cerita setelah Hiroshima dan Nagasaki di luluh-lantakkan bom atom
Amerika, tentara PETA dan para pemuda terus mengawal persiapan
kemerdekaan hingga dikibarkannya sang saka Merah Putih tanggal 17
Agustus 1945. Setelah itu, PETA pun dibubarkan demi menghapus jejak jepang
di Indonesia dan dibentuklah BKR atau Badan Keamanan Rakyat yang
menjaga kedaulatan negara yang masih muda ini dari nafsu negara belanda
yang ingin merebut kembali tanah jajahannya.
Itulah cerita singkat yang bisa aku sampaikan melalui perspektifku dari relief
yang terpahat pada monumen PETA ini. Ditengah monumen terdapat Patung
Panglima Besar Jendral Soedirman berdiri kokoh nan gagah. Singkat saja
kunjungan ku disini, sebenranya saat itu para tentara sedang ada hajatan
pernikahan salah seorang kerabatnya di aula. Kondisi monumen sendiri masih
sangat baik dan terawat. Yah memang karena tempat ini masih sering
dipergunakan para anggota TNI tentunya.
Ada kata – kata yang sangat bagus dituliskan pada monumen ini :
"Kami datang berkumpul di Bogor tidak saling mengenal, kami berpisah
sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air"
Dalam perjalanan pulang, aku sempatkan diriku mampir ke Taman Makam
Pahlawan, Dreded, Bogor. Di depan monumennya aku berdoa, semoga arwah
mereka diterima disi-Nya sebagai pahlawan yang mati syahid demi
kemerdekaan bangsanya, terbebas dari penjajahan.
Sekian perjalanan ku hari ini.
30 Mei 2013
Bogor
(Pratama, 2013. p. 1-8).

Berbagai postingan melalui media elektronik dalam bentuk blog dan website
yang menjadi salah satu bagian dari apresiasi pengunjung saat melihat secara
langsung Monumen dan Museum PETA, meskipun dengan berbagai ekspresi yang
dituangkan dalam cerita dan pengalaman mereka, namun dapat kita pahami makna
dan memori kolektif yang mereka peroleh berdasarkan pada sebuah objek
oriented semata dan menuangkannya atas interpretasi individu yang telah mereka
peroleh dari pelajaran-pelajaran sejarah di bangku sekolah.
Dalam masalah ini dapat dikaitkan dengan pendapat Chen (2007), yang
menguraikannya dalam 5 (lima) pendekatan metodologi untuk menciptakan
memori kolektif, yaitu:
1. Memories stimulated by historical buildings,

2. Remembering life episodes,
3. Memories of domestic life in the past,
4. Reconstruction of a history event,
5. Reflection, association and creation of memories.
(Chen, 2007. p. 175-181).
4. Penutup
Melalui hasil kajian Monumen dan Museum PETA ini, dapat dilihat peranan
museum sejarah untuk menciptakan memori kolektif dengan melibatkan
masyarakat, melalui pengalaman pengunjung dan identitas dari saksi sejarah serta
pelaku sejarah dalam peristiwa perekrutan dan pendidikan militer, yang masa itu
di pusatkan di lokasi Monumen dan Museum PETA sekarang. Secara tidak
langsung informasi dari pengalaman para pejuang veteran yang hingga kini masih
hidup dapat menjadi sebuah acuan, dalam mewujudkan dan menciptakan memori
kolektif mereka yang dituangkan kedalam museum ini. Sehingga mereka pun
dapat merasakan nuansa nostalgia di masa lalu di tempat tersebut sekaligus dapat
menjadi ruang bagi mereka untuk menceritakan sejarah bangunan dan fungsi
bangunan di masa itu, dimana mereka pernah menjadi bagian dan merasakan serta
melihat secara langsung proses dari berbagai peristiwa yang pernah mereka alami
di masa tersebut. Hal ini dapat juga menjadi bagian dari cerita mengenai
kehidupan mereka di masa sekarang melalui pengalaman pribadi mereka masingmasing di pasca kemerdekaan.
Selain itu pameran koleksi dan diorama yang ditampilkan Monumen dan
Museum PETA tidak memiliki kesan pasif terutama bagi pihak pengelola
museum, sebab cara ini dapat menjadi salah satu solusi bagi pengunjung untuk
dapat melakukan rekonstruksi sejarah melalui pencapaian objek material moderen
antara arsitektur bangunan museum dan artefak (koleksi) dari masa lalu. Di sisi
lain dalam menciptakan memori kolektif akan menjadi salah satu kekuatan
melakukan terapi psikologi dari para pelaku sejarah untuk mengungkapkan sebuah
pengalaman dan perasaan tertekan di masa itu, meskipun hal ini akan
menimbulkan permasalahan baru yang terkadang akan menimbulkan bentuk
perasaan penderitaan dan simpati terhadap pelaku sejarah dalam peristiwaperistiwa tertentu. Namun hal tersebut masih perlu dilakukan kajian dan dialog
lebih mendalam dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu antropologi, arkeologi
sosiologi, sejarah dan psikologi.

Daftar Pustaka
Chen, Chia-Li. (2007). “Museums and the Shaping of Cultural Identities. Visitors’
Recollections in local museums in Taiwan”. dalam Simon J. Knell et.al.
(eds.). Museum Revolution. (pp. 173-188). Routledge: London & New
York.
Johan, Irmawati and Arainikasih, Ajeng Ayu. “Jakarta Historical Museum:
Whose History?”, International Journal of the Inclusive Museum Volume
3: 1, 163-178.
Lubar, Steven. (2007). “Exhibitng Memories”. dalam Sheila Watson (ed.).
Museum and Their Communities. (pp. 397-405). Routledge: London &
New York.
Purbo, Suwondo.S. (ed.). (1996). “PETA Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (di
Jawa dan Sumatera 1942-1945)”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Thompson, C.G. (1980). “Romusha (Kisah Seorang Tawanan Jepang)”. Jakarta :
Penerbit Sinar Harapan.

Daftar Publikasi Elektronik
Destiana, Ira. (2011, Februari 11). Museum PETA. diakses Desember 15, 2013.
http://cukuptau.wordpress.com/2011/02/11/museum-peta/
Ibo, Ahmad. (2011, Agustus 22). Indonesia Kaya Eksplorasi Budaya Di Zamrud
Khatulistiwa. Museum PETA. diakses Desember 15, 2013.
www.indonesiakaya.com/kanal/detail/rumah-para-pembela-tanah-air
Pratama, Faisal. (2013, Mei 30). Hitung Mundur look again what I’ve done.
Museum Traveling (Part 1: Museum PETA). diakses Desember 16, 2013.
http://hitung-mundur.blogspot.com/2013/07/lanjut-ya-nah-pada-hari-inijuga-masih.html
WRPKB (2011, Mei 19). Museum PETA. diakses Desember 15, 2013.
http://www.kotabogor.go.id/component/content/article/134-objekwisata/4166-museum-peta