MAKALAH MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESI

MAKALAH MASYARAKAT DAN KESENIAN INDONESIA
SENI TAYUB GROBOGAN
 

Disusun oleh:
Milzam Rifqi

13030114130058

Muhammad Fadhilah Ihsan

13030114140065

Mohammad Nur Faiz

13030114140066

Riyana Damayanti

13030114130062


Suci Fajaryanti

13030114140067

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
 
 

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT , atas Rahmat dan Karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
baginda kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Kedua kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Program Studi
Masyarakat dan Kesenian Indonesia, bapak Rabith Jihan Amaruli, S.S, M.Hum. Karena telah
memberikan ilmu, bimbingan dan arahan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Seni Tayub Grobogan” .
Dengan selesainya makalah ini semoga dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi

yang membaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Serta dapat mengambil nilai-nilai
positif yang ada di dalamnya .
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna karena kami masih dalam
tahap pembelajaran. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran dari rekan
pembaca maupun dari dosen mata kuliah ini agar dapat menjadi pembelajaran kami di lain
hari.
Semarang, 4 Desember 2014

(Tim Penulis)

 
 

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... I
KATA PENGANTAR ............................................................................................. II
DAFTAR ISI .......................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3. Tujuan...................................................................................................... 2
1.4. Manfaat.................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3
2.1. Sejarah Seni Tayub Grobogan dan Pengertiannya .................................. 3
2.2. Pementasan Seni Tayub Grobogan ......................................................... 6
2.3. Perkembangan di Era Sekarang “Penyimpangan” .................................. 8
BAB III
PENUTUP ............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 11

 
 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal

dari bahasa


Sanskerta yaitu buddhayah,

yang

merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur

yang

rumit,

termasuk


sistem agama dan politik,

adat

istiadat, bahasa,

perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dalam makalah ini
akan dijelaskan wujud kebudayaan seni atau kesenian tari tradisional khususnya tari
tayub atau yang disebut ledek.

Tayub merupakan salah satu dari beberapa kesenian yang masih hidup di
masyarakat Indonesia. Tayub merupakan bentuk pertunjukan yang tidak pernah lekang oleh
waktu, dan tidak akan pernah terkikis oleh perkembangan zaman. Tari tayub merupakan
bentuk kesenian rakyat yang masih hidup dan berkembang di daerah Jawa Tengah salah
satunya adalah Kabupaten Grobogan.
 
 

1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang ingin penulis bahas dalam makalah mata kuliah Masyarakat dan
Kesesnian Inodnesia yang berjudul “Seni Tayub Grobogan” adalah sebagai beriku;
1.

Bagaimakah asal-usul dan proses munculnya seni tayub Grobogan?

2.

Bagaimana pementasan seni tayub Grobogan?

3.


Bagaimana perkembangan seni tayub Grobogan di era sekarang “penyimpangan”?

1.3. Tujuan
Penulis mempunyai beberapa tujuan dalam menyususn makalah yang berjudl “Seni
Tayub Grobogan” yang ingin dicapai secara maksimal. Adpun tujuan penulis adalah sebagai
berikut;
1. Menggali lebih dalam tentang seni tayub Grobogan yang masih dipentaskan hingga
sekarang.
2. Untuk mengetahui ciri khas seni tayub Grobogan yang msaih menjadi primadona
hiburan bagi masyarakat (masyarakt Grobogan pada khusunya).
3. Mendeteksi perkembangan seni tayub Grobogan di era sekarang seiring dengan
masuknya budaya-budaya asing yang sangat deras mengalir.
1.4. Manfaat.
Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam menyusun makalah yang
berjudl “Seni Tayub Grobogan”, adalah sebagai berikut;
1. Untuk menambah pengetahuan tentang asal-usul dan sejarah seni tayub Grobogan.
2. Sebagai referensi dalam pembuatandalam mengetahui perkembangan seni tayub
Grobogan.
3. Sebagai bahan analisa bagi penikmat tulisan-tulisan yanng mengandung unsur

budaya.

 
 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Seni Tayub Grobogan dan Pengertiannya
Tayub mulai dikenal sejak zaman Kerajaan Singasari. Pertama kali digelar pada
waktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang ke Kerajaan
Kediri dan Majapahit. Kemudian Raja Kediri menjadikan tayub sebagai tarian kerajaan dan
mementaskannya untuk penyambutan tamu agung kerajaan. Pada abad XII, tayub digunakan
untuk penobatan Raja Jenggala. Dia mewajibkan para permaisuri menari tayub saat
menyambut kedatangan raja di pringgitan.
Pada Zaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub jarang dipentaskan. Pada zaman Wali
Sanga, tayub digunakan untuk syiar agama Islam sehingga nilai-nilai agamis pun dimasukkan
dalam tarian. Di masyarakat agraris yang masih kental dengan kultur animisme dinamisme,
tayub adalah bentuk ritual ketika terjadi peristiwa penting, seperti panen dan menyembuhkan
orang sakit. Pada waktu zaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub hanya dapat dijumpai di
daerah pedesaan-pedesan yang jauh dari pusat kota kerajaan. Seiring berjalannya waktu,

sejak berdirinya kerajaan Pajang dan Mataram, kesenian ini mulai digali kembali. Malahan
pada waktu itu Tayub dijadikan Tarian Beksan di Keraton yang digelar hanya pada waktu
acara-acara khusus.
Namun disayangkan, penjajah Belanda memasukkan unsur negatif yang dikenal
dengan 3C, Cium, Ciu dan Colek. Tayub yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah
belanda terus terpelihara hingga pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono III.
Sewaktu pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak berkenan
dengan adanya pengaruh negatif tersebut. Akhirnya Tayub ditetapkan sebagai tari
Pasrawungan di masyarakat. Selanjutnya kesenian tayub mengalami perkembangan di daerah
Sragen, Wonogiri dan Purwodadi.
Di daerah Purwodadi berkembang pesat di Citra kesenian tayub pada waktu itu,
diperburuk ulah para penari pria atau penonton. Dahulu, para penari ini biasa diberi sawer
dengan cara memasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Dengan demikian muncul
 
 

kesan bahwa penayub itu ”murahan”. Tetapi, di era sekarang hal semacam itu sudah amat
jarang terjadi.

Ledhek, konon merupakan jarwa-dhosok dari “Elek ben angger gelem medhek-


medhek” (biar jelek asal mau mendekat). Seperti kebanyak ledhek di daerah kabupaten
Grobogan, modal kecantikan tak begitu penting, meski juga berpengaruh dalam hal
pemasaran. Modalnya cukup dengan dandanan yang seronok dengan vokal yang lancar
selama semalam suntuk ditambah dengan keberanian mendekati kaum lelaki. Dan, agaknya
mereka tampil seperti layaknya menawarkan kodrat profesi, tanpa merasa dihimpit beban
dosa.
Pekerjaan, apa pun bentuk dan macamnya, kalau sudah cocok dengan kehendak
nurani, memang kadang-kadang tak pandang soal etika. Ledhek barangkali bisa disamakan
dengan keberadaan cokek di Sragen, atau tandak di Surabaya yang diterjuni secara wajarwajar saja tanpa adanya perangkat upacara perangkat penobatan. Akan tetapi, berbeda dengan
ronggeng di daerah Banyumas yang mengenal adanya tradisi bukak klambu, yang harus rela
menyerahkan kehormatannya sebelum dinobatkan sebagai ronggeng. Ledhek di Grobogan,
seperti layaknya profesi yang lain, diterjuni secara wajar-wajar saja. Asal ada niat dan
sanggup, meluncurlah mereka ke tengah-tengah masyarakat sebagai ledhek.
Tarian tayub merupakan kesenian gerak tari para penari serta nyanyian diiringi
diatur bersama supaya serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain dengan para
penonton. Sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Tayub berasal dari kata
“Tata dan Guyub” yang artinya bersahabat dengan rasa persaudaraan tanpa persaingan dan
tanpa aturan menari yang dibakukan.
Tayub dalam istilah Jarwo Dhoso yaitu “ditata ben guyub”, yang merupakan sebuah

filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah
kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan jiwa dan bakat seni, baik
penabuh gamelan maupun penarinya. Kesamaan kepentingan ini akan melahirkan keserasian
Tayub sebagai suatu bentuk tarian, mereka menari sesuai dengan kreativitas yang seirama
dengan diiringi musik gamelan.
Di daerah Kabupaten Grobogan tarian tayub menggambarkan ungkapan rasa syukur
atas keberhasilan panen atau perayaan karena terkabulnya doa permohonan masyarakat
Kabupaten Grobogan. Mereka bersuka cita, bercanda, menari bersama, bergandeng tangan,
 
 

dan saling berpasangan. Kegiatan muda-mudi yang terjadi secara spontan, ketika itu sangat
membekas dan berkesan dalam hati mereka. Apa yang mereka alami seakan memiliki arti
tersendiri dan menjadi momen penting dalam kehidupannya. Seiring dengan berjalannya
waktu mereka mengulangi untuk menyenggarakan perayaan panen dan waktu terus berjalan
yang akhirnya tercipta suatu tari pergaulan yang dinamakan Tayub. Tayub sendiri telah
berkembang di beberapa daerah di Jawa Tengah, yaitu Blora dan Pati. Tayub didaerah Pati
dan Blora berbeda dengan Tayub Grobogan.
Di daerah Kabupaten Blora tarian tayub menggambarkan penyambutan para tamu
atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masingmasing. Penyambutan oleh penari wanita dengan menyerahkan selendang yang dipakai
penari atas petunjuk pemimpin. Tamu yang menerima selendang mendapatkan kehormatan
untuk menari bersama-sama dengan penari.
Sedangkan di daerah Kabupaten Pati tari Tayub memberikan spirit kesuburan, yang
dimaknai bersatunya “bapa angkasa (bapak langit) dan Ibu Bumi (ibu pertiwi). Persatuan
keduanya menimbulkan hujan yang mendatangan kesuburan. Bergesernya wajah geografis
Jawa dari yang bernuansa agraris ke era industrialisasi mengubah wajah seni tradisi. Tayub
tidak lagi menjadi perangkat budaya sebagai seni ritual kesuburan, melainkan lebih condong
kearah perangkat komersial. Dengan kata lain, Tayub bergeser dari seni yang berpijak pada
filosofi ke arah fungsional dan pragmatis.
Masyarakat Pati selatan juga merumuskan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
penari Tayub adalah Rupa, Suara, Wiraga, dan Trapsila. Berparas cantik, bersuara merdu,
pandai menari dan bermuka ramah harus dimiliki oleh setiap perempuan yang ingin menjadi
seorang penari Tayub. Sederet persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan
perempuan dimanapun. Kalau pandai menari dan bersuara merdu masih bisa dilakukan
melalui belajar olah gerak tubuh dan gurah, tetapi cantik dan berwatak ramah lebih
merupakan pemberian atau bawaan sejak lahir.
Tatanan yang telah dipakai setiap pementasan tarian tayub adalah satu penari diikuti
dua penari pria dan biasanya setiap pentas minimal dua penari wanita. Sehingga diatas pentas
minimal ada enam penari pria dan wanita. Penari pria yang tampil dipentas adalah para tamu
yang hadir pada setiap hajatan, sehingga dibutuhkan pengatur acara yang dalam hal ini
dinamakan “Pengarih” dan sebagai tanda bahwa seseorang mendapatkan giliran menari
diberikan selendang oleh panitia. Dengan demikian dalam situasi apapun pentas kesenian
 
 

Tayub selalu berjalan dengan lancar dan aman dan etika pun terjaga dengan bai karena jarak
antara penari pri dan wanita diatur yaitu dengan jarak satu meter.
Didalam kelompok seni pertunjukan, tarian tayub dapat digolongkan dari tari
masyarakat tradisional, sifat masyarakat yang menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa
masyarakat pendukungnya. Karena kesenian Tayub sudah memasyarakat dan juga merupakan
hiburan segar dan murah bagi semua kalangan maka tari Tayub dipentaskan pada setiap acara
perkawinan, khitanan, memenuhi nadar, diterima kerja, upacara adat dan sebagainya.
2.2 Pementasan Seni Tayub Grobogan
Tari Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa yang
mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Unsur keindahan diiikuti dengan
kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan
tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah. Tarian ini biasa digelar pada
acara pernikahan, khitan, sedekah bumi serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan
Republik

Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara

bersih desa.
Penari tarian tayub ini lebih dikenal dengan sebutan ledek. Anggota yang ikut dalam
kesenian

ini

terdiri

dari sinden,

penata gamelan (niyaga) serta

penari

khususnya wanita (ledek). Penari Tayub mengenakan kostum yang realistis yaitu rambut di
sanggul gaya Jawa, kain biasa dan kain selendang sebagai penutup dada (kemben). Penari
tersebut masih memakai selendang (sampur) untuk menari. Seiring perkembangan zaman
sekarang para ledek menggunakan kostum kebaya yang modern, tidak selalu memekai
kemben (dapat disebut juga dengan basahan). Tampil dengan kostum yang kontras sebatas
dada dihiasi make up yang medhok-merok dan bau parfum yang menyengat hidung,
kemudian berlenggang-lenggok di atas gelaran tikar merupakan ciri khas sripanggung
pertunjukan tayub.
Dengan iringan gamelan yang mengalun, sang ledhek mulai mengucapkan matra
dalam bentuk tembang. Ada suasana sakral di sana. Di tengah asap dupa yang membubung
dengan segenap uba rapenya semacam ayam panggang, keris, onggokan pisang, ketupat, dan
beras putih, sang ledhek tak henti-hentinya mengucapkan mantra sambil menyebar beras
putih ke segala penjuru sebagai tulak balak: “…ana sengkala saka kulon tinulak bali
mangulon. Sing nulak balak Raja Iman Slamet …” (ada musibah dari barat ditolak kembali
ke barat. Yang menolak Raja Iman Selamat) ….” Byur! Beras putih disebar ke arah barat.
 
 

Demikian seterusnya higga tujuh kali sesuai dengan arah yang disebutkan. Setelah sang
ledhek selesai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang, tamatlah pertunjukan sebagai
pertanda bahwa nazar telah dilaksanakan. Mereka yakin, musibah tak mungkin muncul
sekaligus sang empunya nazar terhindari dari segala petaka.
Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 21.00-03.00 pagi.
Dari jam 21.00 sampai jam 24.00 itu waktu diisi dengan klenengan sebagai pra-tontonan
sebelum pertunjukan Tayub yang sebenarnya dimulai. Setelah beberapa gending (lagu)
pemanasan didendangkan, saat yang ditunggu-tunggu para lelaki yang duduk di barisan
depan (biasanya tamu kehormatan lebih dahulu) datang. Sang penari mengajak pria dengan
cara mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria kemudian diajak
untuk menari bersama. Para Tamu pria kemudian menari berpasangan dengan ledhek,
seirama dengan iringan gamelan, sesuai dengan gending (lagu jawa) yang dipesan.
Umumnya mereka cuma mendapat bagian jatah satu lagu karena banyak lelaki lain
yang menunggu untuk mendapat giliran menjadi pengibing, menari bersama ledek. Lenggaklenggok tangan dan pinggul ledek mengikuti irama gamelan membius mereka. Lagu yang
didendangkan tak melulu gending Jawa seperti Caping Gunung, tapi juga lagu-lagu campur
sari dan bahkan lagu dangdut semacam Sinden Panggung. Kendati gendingnya dipungut dari
berbagai jenis musik, pengiringnya tetap gamelan.Tari tayub merupakan tarian pergaulan
yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat.
Beberapa tokoh agama islam menganggap tari tayub melanggar etika agama,
dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan minum minuman keras. Pada mulanya
pelaksanaan Tayuban tidak lebih dari kontes atau pameran keluwesan dan keterampilan
menari berpasangan tanpa meninggalkan unggah-ungguh atau sopan santun ketimuran.
Karena minum-minuman keras ini sering terjadi persaingaan antara para tamu pria,
persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Ledek atau yang lebih dikenal
dengan sawer.
Persaingan ini sering menimbulkan perselisihan antara para tamu pria karena mereka
tidak dapat mengontrol diri mereka. Bahkan tidak jarang ada para tamu yang melakukan
pelecehan seksual kepada si penari dengan menyentuh atau sekedar mencolek anggota tubuh
dari si penari. Tayub tak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat yang agraris. Ketidakpastian
dalam masyarakat agraris menimbulkan kepercayaan sebagai tari kesuburan bernama tayub.
Sebagian orang Jawa percaya kesuburan datang sebagai hasil kerja sama antara langit dan
 
 

bumi, berwujud turunnya hujan. Orang lelaki disimbolkan sebagai langit, dan wanita menjadi
buminya. Itu sebabnya tayub selalu ditarikan laki-laki dan perempuan.
2.3 Perkembangan di Era Sekarang “Penyimpangan”
Tayub pada zaman dahulu, hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar
bagi warga desa yang kebetulan punya uni alaias nazar. Masyarakat Grobogan meyakini
adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya
tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, ada anggota
keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah
fatal yang lain.
Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah ledhek untuk menolak musibah
yang bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada Hyang Widhi atas
niat dan maksudnya yang telah terkabul. Lama pertunjukan cukup singkat sekitar 1-2 jam.
Konon, mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek itulah yang sanggup meredam segala
musibah.
Namun, seirama perkembangan seni hiburan di daerah pelosok pedesaan, seni tayub
kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan seremonial
nazar beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna berganti suasana
hingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang yang
keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar klekar
seperti hiburan lain pada umumnya.
Pertunjukan tayub yang melibatkan ± lima pria sebagai penayub dengan dua atau
tiga ledhek sebagai sripanggungnya, kalau ditata dan diatur nyaris mampu menampilkan
suasana paguyuban yang kuyup akan nilai persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan.
Namun, pada akhirnya makna harfiah yang kuyup nilai itu jadi sirna lantaran dibikin sendiri
oleh ulah penayubnya yang kadang seronok, hampir-hampir menjurus ke tingkah pornografi.
Boleh dibilang bahwa pada tahap ini pertunjukan mencapai puncak ekstasenya.
Nyaris tak ada batas antara penonton dan para penayub. Mereka sama-sama lebur dalam
suasana yang hingar-bingar. Semakin larut malam, penonton kian meruah dengan tepuk sorak
yang membahana. Pada tahap kedua ini, cara menayub terbagi dalam dua teknik, yakni
menari dan ngepos.
 
 

Bagi para pemuda yang terampil menari, mereka memilih cara yang pertama dengan
mengundang teman-temannya –istilahnya sambatan—untuk bersama-sama menari di tengah
pertunjukan. Mereka bebas memilih gending-gending Jawa yang keras dan hingar-bingar
dengan suara hentakan kendang yang cukp dominan, seperti gumbul thek, kijing miring,
godril, celeng mogok, goyang semarang, dan semacamnya. Sambil menari, mereka mulai
bertingkah. Tubuhnya mulai menghimpit, memeluk, bahkan mencium. Penonton dari semua
tingkatan usia pun bersorak tempik. Mereka bergumul tanpa malu-malu, meski dilihat oleh
sanak saudara dan kerabatnya. Barangkali ini sebagai kompensasi bagi para pemuda desa
yang haus hiburan di sela-sela rutinitas kesehariannya yangmaton.tanpa variasi.
Sedangkan, bagi para pemuda yang tak becus menari, cukup dengan ngepos, yakni
duduk di kursi panjang sambil memangku sang ledhek. Mereka mirip benar dnegan insan
manusia yang tengah dimabuk asmara. Dengan diiringi gending-gending Jawa yang rata-rata
halus-romantis, semacam sida asih, lara branta, rujak jeruk, yen ing tawang ana lintang, dan
sebagainya, mereka mulai bertingkah seronok seolah-olah benar-benar ingin melampiaskan
rupa birahinya yang menggelora.
Bisa dipastikan, apabila ada orang yang mempunyai hajat, jauh-jauh hari mereka
mengumpulkan uang. Namun begitu, mengintip pertunjukan tayub Grobogan yang rata-rata
menampilkan adegan seronok, perlu diadakan garis kebijaksanaan yang tegas dari pihak yang
berwenang, mengingat pertunjukan ini ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa
mengenal tingkatan usia. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih runyam jika
tidak segera mendapatkan uluran kebijakan. Apa kata anak-anak jika melihat sanak
saudaranya bergumul bersama ledhek tanpa ada jarak yang memisahkan. Para orang tua
seolah meneladani anak-anaknya dengan petingkah yang seronok.
Beranjak dari sisi ini, haruskah pertunjukan tayub yang nyaris hanya memburu segi
tontonan dan menihilkan unsur tuntunan, mesti diuri-uri?. Mungkin perlu adanya penegasan
yang manusiawi tanpa menyinggung perasaan dan harkat warga desa yang rata-rata lugu dan
polos. Paling tidak, jarak antara ledhek dan penayub perlu dibatasi.
 
 
 
 
 
 

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari uraian-uraian diatas, adalah sebagai
berikut;
1.

Nilai edukasi yang dapat diambil dari tari tayub ini adalah nilai kebersamaan dari
warga desa, kebahagiaan yang tidak hanya dinikmati sendiri tetapi dibagi dengan
warga

sekitar

masyarakat.

Sebagai

ungkapan

rasa

syukur

dengan

mengundang (tanggapan = dalam bahasa jawa) ledek.
2.

Seni tayub grobogan yang merupakan warisan budaya Nusantara, yang seharusnya
dilestarikan, namun memberikan seni yang menghadirkan citra buruk.

3.

Selain itu tari tayub adalah upaya melestarikan budaya dengan cara mengenalkan
kepada generasi muda tentang macam-macam budaya jawa, dengan mengubah citra
tayub Grobogan menjadi seni yang positif.

3.2. Saran
1. Tari Tayub tetap dipertahankan tapi harus sesuai dengan aturan tayub
yangsebenarnya.
2.

Menari berpasangan dengan sewajarnya menari berpasangan, menggunakan gendinggending jawa, menggunakan kebaya yang sopan dan tidak tertbuka, menggunakan
iringan gamelan yang dari dulu tetap dipertahankan. Tidak perlu dengan dibarengi
minum-minuman keras.

 
 

DAFTAR PUSTAKA

http://infopurwodadi.com/2013/10/tayub-grobogan.html
http://sawali.info/2007/12/12/pertunjukan-tayub-di-grobogan-2
http://traditionaljava.wordpress.com/about/perkembangan-musik-iringan-tayub-di-desakunden-kabupaten-grobogan-jawa-tengah/
http://entertainment.kompas.com/read/2010/11/27/04314969/Mengembalikan.Eksistensi.Tay
ub
https://dewiedena.wordpress.com/2014/01/07/132/