HUBUNGAN PERIBAHASA ARAB DAN INDONESIA K

HUBUNGAN PERIBAHASA ARAB DAN INDONESIA
(Kajian Semantik dan Sosial)
1.1 Latar Belakang Masalah
Peribahasa merupakan salah satu bentuk kebahasaan yang digunakan untuk
mengungkapkan sesuatu hal yang terlintas dalam alam pikir manusia. Pada hakikatnya,
peribahasa merupakan penggunaan bahasa yang memiliki suatu kekhasan tertentu, yakni
mampu menunjukkan identitas antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Hal tersebut
sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Sibarani 1 yang menyatakan bahwa setiap
pembentukan kata-kata bahkan kalimat dalam suatu bahasa (termasuk bahasa yang dipakai
dalam peribahasa) dapat menentukan sifat atau ciri pikiran dalam kebudayaan suatu bangsa.
Peribahasa sebagai ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas dan padat yang berisi
perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku yang menjadi
salah satu gudang kebijaksanaan lokal (local wisdom) bagi suatu masyarakat. Dan setelah
dilihat dari segi struktur dan makna dari sebuah peribahasa antara peribahasa Arab dan
Indonesia memiliki makna yang sama dan tujuan yang sama yang membedakan hanyalah
pada penggunaan kata peribahasa tersebut dan itu terjadi akibat bedanya kehidupan sosial,
kebudayaan dan geografis antara Indonesia dan Arab. Oleh karena itulah pemakalah tertarik
untuk mengambil judul makalah ini dengan “Hubungan Peribahasa Arab Dan Indonesia
(Kajian Semantik Dan Sosial)
1.2 Rumusan Permasalahan
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang

dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan peribahasa dan perumpamaan ?
2. Bagaimana hubungan makna yang muncul antara peribahasa bahasa Arab dengan bahasa
Indonesia dan mengapa nama benda tersebut yang digunakan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan apa itu peribahasa dan perumpamaan.
2. Menjelaskan interpretasi dan acuan-acuan apa saja yang muncul dari penggunaan nama
benda/kata dalam peribahasa bahasa Arab dan Indonesia serta menjelaskan hal-hal lain yang
1 Sibarani,

Robert. 2004. Antropologi Lingusitik. Medan: Penerbit Poda. Hal. 61
1

menyebabkan penggunaan nama benda/kata tersebut, seperti keadaan geografis serta sosial
budaya antara masyarakat Arab dengan Indonesia.
.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat yang besar, baik dari ranah teoritis maupun
praktis. Dalam ranah teoritis, pertama, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan referensi dalam khazanah kajian semantik kognitif, terlebih dengan data utama
bahasa Arab. Kedua, penelitian ini kiranya bermanfaat untuk membuka cakrawala serta
memotivasi tumbuhnya kajian-kajian yang serupa sehingga mampu digunakan sebagai media
untuk mengembangkan disiplin ilmu linguistik dengan objek bahasa Arab.
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai pegangan hidup atau
pengontrol sikap dan perilaku sehari-hari mengingat peribahasa merupakan suatu fakta
kebahasaan yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal, seperti kedermawaan,
keberanian, kebaikan, persaudaraan, dan sebagainya. Selain itu, penelitian ini juga dapat
membantu masyarakat secara umum untuk lebih mengetahui dan memahami perumpamaan
peribahasa bahasa Arab yang di dalamnya ternyata memiliki keterkaitan dengan peribahasa
indonesia sebagai wahana pembelajaran dan sumber pengetahuan. Hal tersebut sangat
berguna untuk mengatasi atau menghindari kemungkinan adanya salah tafsir dan perbedaan
persepsi saat berkomunikasi atau berinteraksi dengan penutur bahasa Arab.

BAB II
PEMBAHASAN
2

A. Perumpamaan dan Peribahasa
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi peribahasa merupakan kelompok

kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengkiaskan maksud tertentu seperti
keadaan seseorang atau yang mengenai kelakuan atau perbuatan tentang diri orang lain serta
di dalamnya berisi ungkapan atau kalimat ringkas dan padat yang berupa perbandingan,
perumpamaan, nasehat, prinsip hidup, dan aturan tingkah laku (KBBI, 2008:1055).
Sedangkan dalam bahasa Arab adalah al-Amtsal (‫)ال ثممثثال‬, bentuk tunggalnya adalah al-Matsal
(‫)الثمثثل‬, yang dalam bahasa Indonesia lebih dekat dengan arti peribahasa (kiasan, pepatah,
perumpamaan).
Adapun Kridalaksana, salah satu pakar ahli dalam ilmu bahasa mendefinisikan
peribahasa sebagai kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan
fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun temurun; dipergunakan untuk penghias karangan
atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman
hidup.2
Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun dari maksud
(sesuatu hal yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu hal diungkapkan) yang
dapat menggunakan kata pembanding seperti, ibarat, bagai, macam, dan lainnya atau tidak
menggunakan kata-kata pembanding tersebut. Dicontohkan olehnya perumpamaan misalnya,
seperti katak dalam tempurung, dan ibarat bunga: sedap dipandang, layu dibuang.
Honeck3 mengungkapkan bahwa istilah peribahasa seringkali dikacaukan dengan
idiom. Secara konseptual dua istilah tersebut memiliki perbedaan namun keduanya memiliki
suatu titik kemiripan yang hampir sama, yakni secara semantis keduanya mengalami

penyimpangan makna dari unsur-unsur pembentuknya. Penyimpangan makna pada idiom
tidak dapat secara langsung ditelusur dari makna masing-masing kata yang menjadi unsurunsur pembentuknya. Akan tetapi, penyimpangan makna pada peribahasa dapat ditelusur

2 Harimurti Kridalaksana. 2009. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Hal. 189
3 Richard Honeck, P. 1997. A Proverb in Mind The Cognitive Science of Proverbial

Wit and Wisdom. Lawrence Erlbaum Associates: New Jersey. Hal.71
3

melalui skema metaforikal, yakni dengan menelusur unsur pembanding (vehicle), unsur
pebanding (tenor), dan kesamaan antara unsur pembanding dan unsur pebanding (ground).
Peribahasa dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah proverb, yang merupakan
turunan dari bahasa Latin proverbium yang mengandung arti kata-kata konkrit dan sederhana
yang dikenal secara berulang-ulang untuk mengungkapkan suatu kebenaran berdasarkan
logika umum sebagai metafora yaitu pengungkapan berupa perbandingan analogis untuk
mengungkapkan gambaran tentang perilaku seseorang atau sesuatu yang dianggap kurang
cocok dalam lingkungan masyarakat. Peribahasa menggambarkan hukum dasar dari tingkah
laku dan umumnya berlaku sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Peribahasa

merupakan motto sebagai cambuk atau pengingat bagi manusia yang melakukan perbuatan
yang dianggap melanggar adat ataupun budaya di lingkungannya. Ilmu yang mempelajari
peribahasa disebut paremiology.4
Adapun dalam bahasa Arab dikenal kata maṡal atau al-amṡāl. Kata tersebut
merupakan padanan yang mendekati istilah perumpamaan dan peribahasa dalam istilah
linguistik Arab. Pakar linguistik Arab, Zulhaim memberikan contoh istilah tersebut dalam
beberapa bahasa yang masih tergolong dalam rumpun semitik. Dalam bahasa Arab,
peribahasa disebut maṡal. Dalam bahasa Ibriyah disebut masal. Dalam bahasa Aramiah
disebut matlā. Dalam bahasa Habsyiah disebut mesel dan dalam bahasa Akadiah disebut
meslum. Menurut Zulhaim bahwa maṡal memiliki pengertian al- miṡlu wan naẓīru
(persamaan atau keserupaan). Terkait dengan bentuk kebahasaan, peribahasa Arab dapat
terbentuk dari satuan kebahasaan yang berupa frasa, klausa, dan kalimat.5

B. Makna Figuratif
Makna figuratif merupakan kandungan makna yang terdapat dalam suatu ungkapan
figuratif (figurative expression), seperti halnya dalam peribahasa. Makna kiasan (figurative
meaning, transferred meaning) merupakan pemakaian satuan kebahasaan dengan makna
yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh adalah mahkota wanita. Satuan kebahasaan yang
berupa frasa tersebut tidak dimaknai sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di


4 (www.aip-iap.org/en)

5 Zulhaim. 1982. Amṡāl al-Arabiyyah al-Qadīmah (Peribahasa Arab Kuno). Cetakan

Kedua. Beirut: Muasatur Risālah. Hal. 21
4

atas kepalanya yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas
atau permata namun frasa tersebut dimaknai sebagai rambut wanita.
Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan
sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan
penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna
khusus. Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams dapat muncul dalam bentuk simile
(perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi.6 Wahab mendefinisikan
bahwa metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung
dari lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh lambang
maupun makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan tersebut.7
Adapun Kridalaksana dalam Kamus Linguistik menjelaskan bahwa metafora adalah
pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kiasan atau
persamaan, misalnya kaki gunung dan catatan kaki yang dianalogikan dengan kaki manusia.

Oleh karena itu, dari etimologi dan defnisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
metafora memiliki suatu peran untuk menjadikan sebuah kata memiliki makna di luar dari
makna aslinya dengan cara menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada sesuatu hal yang
lain (transfer makna).8
Konsep metafora di atas sering disandingkan dengan simile karena adanya konsep
perbandingan antara satu hal dengan hal lain. Metafora dan simile merupakan dua bentuk
gaya bahasa kiasan perbandingan atau perumpamaan namun keduanya memiliki perbedaan.
Simile berasal dari bahasa Latin simili yang berarti like atau seperti. Simile didefinisikan
sebagai bahasa kiasan yang membandingkan suatu hal dengan hal lain (suatu benda dengan
benda lain) dengan mempergunakan kata-kata pembanding, di antaranya seperti, sebagai,
bagai, bak, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya.
Adapun kaitannya dengan metonimi, metonimi merupakan suatu gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian
makna yang sangat dekat. Kata metonimia diturunkan dari bahasa Yunani meta yang berarti
6 Abrams, M. H. 2009. A. Glossary of Literary Terms. Ninth Edition. USA:

Wadsworth Cengage Learning. Hal. 118-121
7 Abdul Wahab. 1990. Metafora Sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Yogyakarta:

Kanisius. Hal. 11

8 Harimurti Kridalaksana. 2009. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. Hal. 152
5

menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dalam lingkup yang lebih luas,
sinekdoke merupakan bagian dari metonimi. Sinekdoke didefinisikan sebagai penyebutan
sebagian dengan maksud untuk keseluruhan. Sinekdoke sendiri dibagi menjadi dua, yaitu
pars prototo dan totum proparte. Pars prototo merupakan pengungkapan sebagian dari objek
untuk menunjukkan keseluruhan objek. Adapun totum proparte merupakan pengungkapan
keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. 9
Parera mengatakan bahwa dalam metonimia terdapat suatu hubungan kedekatan
antarmakna. Hal tersebut berbeda dengan metafora yang mengungkapkan adanya hubungan
kesamaan antarmakna. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metonimia digunakan untuk
melihat makna dari segi kedekatan antarmakna sedangkan metafora digunakan untuk melihat
makna dari segi kesamaan antarmakna.10
Lebih

lanjut


Parera

mengelompokkan

metonimi

bedasarkan

atribut

yang

mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars
prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.
Senada dengan pemaparan makna figuratif di atas, peribahasa dilihat dari sifatnya merupakan
salah satu bentuk kebahasaan yang di dalamnya sarat akan penggunaan makna figuratif,
sebagai contoh peribahasa seperti air jatuh di daun talas. Peribahasa tersebut mengandung
makna kias yang hendak menggambarkan seseorang yang tidak berpendirian teguh. Makna
kias dari peribahasa tersebut dapat ditelusur melalui skema metaforika, yakni menemukan
kesamaan antara unsur pembanding dengan unsur pebandingnya. Peribahasa tersebut

menyerupakan air yang jatuh di atas daun talas seperti halnya seseorang yang tidak
berpendirian teguh. Keadaan air di atas daun talas tersebut tidak ada yang dapat tertahan dan
segera dengan mudah jatuh ke tanah. Begitupun juga dengan seseorang yang berpendirian
tidak teguh akan mempunyai keserupaan keadaan sebagaimana air tersebut, yakni tidak
mempunyai kekuatan yang teguh atau tidak memiliki suatu keyakinan atas sesuatu hal.
Begitupun juga dengan peribahasa ada gula ada semut. Kata gula dan semut dalam
peribahasa tersebut mengambarkan kejadian atau fenomena yang dapat saling melingkapi
antara satu dengan yang lainnya sehingga menghasilkan sesuatu yang sifatnya baik dan
serasi. Oleh karena itu, peribahasa tersebut mengandung kiasan bahwa di mana ada tempat
yang menghasilkan keuntungan, maka akan dihampiri banyak orang.11
9Gorys Keraf, 1992. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hal. 141-142
10Djos Daniel Parera, 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
11 Djos Daniel Parera. Teori Semantik. Hal. 121

Hal. 121
6

C. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya

Dalam kehidupan manusia, baik dalam posisi sebagai makhluk individual maupun
makhluk sosial, keberadaan bahasa merupakan suatu hal yang amat sangat penting dan
bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Mengapa demikian?
Pertama, dalam posisi sebagai makhluk hidup, bahasa ditempatkan sebagai sarana untuk
mengungkapan segala perasaan yang terlintas dalam benak manusia, baik perasaan gembira,
senang, susah, sedih, gelisah, ataupun perasaan-perasaan lainnya yang dialami serta untuk
mengungkapkan kehendak, ide-ide atau gagasan-gagasan yang muncul dalam pikirannya.
Dengan kata lain, melalui sarana bahasa manusia dalam tataran sebagai makhluk hidup
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Kedua, sebagai makhluk sosial, tentu manusia akan melakukan kontak atau hubungan dengan
anggota-anggota

masyarakat

yang

lain.

dan

alat

yang

paling

efektif

untuk

mengkomunikasikan segala perasaan, kehendak, keinginan gagasan ataupun pikiran-pikiran
seseorang kepada anggota masyarakat yang lain adalah bahasa.
Bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan
merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup
kebudayaan. Namun, ini bukanlah satu-satunya konsep yang dibicarakan orang, sebab
disamping itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang keduanya sama tinggi.12
Melalui wadah kebahasaanlah segala bentuk komunikasi sosial maupun aktivitas
kerjasama antaranggota masyarakat dapat terrealisasi dengan baik dan lancar. Dengan
demikian, kehadiran bahasa benar-benar sangat diperlukan dalam kehidupan seseorang baik
kehidupan yang bersifat individu maupun sebagai makhluk sosial. Pateda menyatakan bahwa
bahasa menempati posisi yang fundamental sebagai alat untuk mengadakan interaksi dan
bekerja sama dengan anggota masyarakat yang lain. Tanpa bahasa dapat dipastikan bahwa
segala bentuk komunikasi di dunia ini tidak akan berjalan dengan efektif, bahkan akan
berhenti.13 Manurut Poedjosoedarmo komunikasi adalah proses menyampaikan maksud.
Komunikasi juga bisa diartikan sebagai proses pertukaran informasi antara individu melalui
12 Chaer, Abdul dan Leoni Agustina, 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:

PT Rineka Cipta. Hal. 165
13 Mansoer

Pateda. Semantik Leksikal. Hal. 4
7

simbol, tanda, atau tingkah laku umum. Di samping itu, melalui bahasa, kebudayaan suatu
bangsa dapat diidentifikasi, dibentuk dan dikembangkan serta dapat diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.14 Hal ini seperti yang dituturkan oleh Alisyahbana (1979)
bahwa bahasa termasuk bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, setiap pembentukan katakata bahkan kalimat dalam suatu bahasa menentukan sifat atau ciri-ciri pikiran dalam
kebudayaan suatu bangsa. Dalam kajian sosiolinguistik, kita ketahui bahwa pengenalan
identitas seseorang dapat dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam yang digunakan dalam
percakapan terutama percakapan dengan orang atau kelompok lain15
Franz Boas (1858-1945) mengemukakan bahwa bahasa merupakan cerminan dari
kehidupan mental penuturnya. Pandangan Boaz tersebut kemudian dikuatkan kembali oleh
para generasinya yaitu Edward Sapir (1884-1939) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941)
dengan hipotesisnya yang terkenal yaitu “Sapir-Whorf Hipotesis”. Dan laizim juga disebut
Relativitas Bahasa.16 Relativitas bahasa mengandung pengertian bahwa kenyataan atau
realitas suatu objek dipahami secara kebahasaan berbeda-beda oleh masyarakat penutur.
Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi.
Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Hipotesis Sapir – Whorf
menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya
kita.
Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai
suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah
kenyataan sosial. Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran
dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orangorang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, dan lain sebagainya
cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa
juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau
tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan
dan lain sebagainya.

14 Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah

University Press. Hal. 171
15 Sumarsono. 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: PT. Grasindi. Hal. 146
16 Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Hal. 166

8

D. Contoh Peribahasa Dan Penjelasannya
bahwa makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai
bahasa tertentu. Berikut ini, adalah beberapa amtsâl (peribahasa Arab) yang memiliki
kesamaan makna dengan peribahasa Indonesia:
‫قبل الرماء تمل الكنائن‬
“Sebelum memanah, isi dulu tempat anak panah”
Hal ini sama dengan ungkapan bahasa Indonesia yang berbunyi: "Sedia payung
sebelum hujan". Meskipun terdapat perbedaan lafadz dan kata-kata dalam kedua peribahasa
tersebut, namun, keduanya mengandung persamaan maksud, yaitu: "siapkan segala sesuatu
sebelum beraktivitas". Orang Arab menggunakan kata tempat anak panah dan memanah,
karena dipengaruhi oleh budaya mereka yang memiliki tradisi berperang pada zaman dahulu
dengan menggunakan alat tersebut. Sedangkan dalam bahasa Indonesia digunakan kata hujan
dan payung. Karena di Indonesia sering hujan.

Adapaun contoh yang lain seperti yang terjadi pada peribahasa :
‫إنه لشبه به من التمرة بالتمرة‬
Sesungguhnya ia benar-benar lebih menyerupainya dari pada buah kurma serupa dengan ”
”buah kurma
Adapun dalam bahasa Indonesia kita mengenal sebuah peribahasa yang memiliki
persamaan makna dengan "bagaikan pinang di belah dua". Terdapat dua hal yang mana
menunjukkan kemiripan, orang Arab menggunakan kata kurma (Sejenis buah buahan yang
dominan berwarna hitam dan manis rasanya), karena itulah buah khas dari arab dan banyak
tumbuh disana . Sedangkan dalam bahasa Indonesia digunakan kata pinang (Sejenis buah
buahan yang dominan berwarna kuning dan hijau ketika mentah ) karana buah ini banyak
tumbuh di indonesia.
Fenomena di atas berbanding lurus dengan pernyataan Danandjaja yang menyatakan
bahwa peribahasa merupakan salah satu bentuk faktor yang merupakan intisari dari
pengalaman suatu masyarakat penutur bahasa. Sebagai bagian dari peribahasa, perumpamaan
9

juga di dalamnya keduanya mengandung persamaan maksud, yaitu: "siapkan segala sesuatu
sebelum beraktivitas".17 Orang Arab menggunakan kata tempat anak panah dan memanah,
karena dipengaruhi oleh budaya mereka yang memiliki tradisi berperang pada zaman dahulu
dengan menggunakan alat tersebut. Sedangkan dalam bahasa Indonesia digunakan kata hujan
dan payung. Karena merupakan intisari dari pengalaman hidup masyarakatnya yang
tercermin dalam perbandingan-perbandingan antara satu hal dengan hal yang lain. begitupun
dengan makna kurma dan pinang yang memiliki kekahasan masing-masing. Oleh karena itu,
hal yang hendak ditunjukkan dari pernyataan tersebut adalah adanya hubungan atau relasi
antara bahasa dengan latar belakang pengalaman masyarakat penutur suatu bahasa.
Dalam kaitannya dengan aspek makna, peribahasa merupakan representasi dari
penggunaan makna figuratif.18 Abrams mengungkapkan bahwa makna figuratif dapat terdiri
atas, simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Bahasa
figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari,
penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan
susunan (rangkaian) kata-kata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus.
Penyimpangan makna dalam kaitannya dengan makna figuratif tersebut dapat menggunakan
berbagai macam hal, dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah dengan kebudayaan yang
ada diindonesia dan arab.19

BAB III
PEMNUTUP
A. Kesimpulan
17 Danandjaja, James. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Foklor”

dalam Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra”. Malang:
Hiski. Hal. 21
18 Pateda,

Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hal. 108
19 Abrams, M. H. A. Glossary of Literary Terms. Hal.118.121
10

 Peribahasa sebagai kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk
makna, dan fungsinya dalam masyarakat; bersifat turun temurun; dipergunakan untuk
penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran
atau pedoman hidup.
Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan yang tersusun dari maksud
(sesuatu hal yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (sesuatu hal diungkapkan) yang
dapat menggunakan kata pembanding seperti, ibarat, bagai, macam, dan lainnya atau tidak
menggunakan kata-kata pembanding tersebut.
”Sebelum memanah, isi dulu tempat anak panah “ ‫ قبل الرماء تمل الكنائن‬
Hal ini sama dengan ungkapan bahasa Indonesia yang berbunyi: "Sedia payung sebelum
hujan". Meskipun terdapat perbedaan lafadz dan kata-kata dalam kedua peribahasa tersebut,
namun, keduanya mengandung persamaan maksud, yaitu: "siapkan segala sesuatu sebelum
beraktivitas". Orang Arab menggunakan kata tempat anak panah dan memanah, karena
dipengaruhi oleh budaya mereka yang memiliki tradisi berperang pada zaman dahulu dengan
menggunakan alat tersebut. Sedangkan dalam bahasa Indonesia digunakan kata hujan dan
payung. Karena di Indonesia sering hujan.

B. Daftar Pustaka :
Abrams, M. H. 2009. A. Glossary of Literary Terms. Ninth Edition. USA: Wadsworth
Cengage Learning
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina, 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Danandjaja, James. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Foklor”
dalam Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra”. Malang:
Hiski
Honeck, Richard P. 1997. A Proverb in Mind The Cognitive Science of Proverbial Wit
and Wisdom. Lawrence Erlbaum Associates: New Jersey
Keraf, Gorys. 1992. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Parera, Djos Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta

11

Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah
University Press
Sibarani, Robert. 2004. Antropologi Lingusitik. Medan: Penerbit Poda
Sumarsono. 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: PT. Grasindi
Wahab, Abdul. 1990. Metafora Sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Yogyakarta:
Kanisius
Zulhaim, Rodlef . 1982. Amṡāl al-Arabiyyah al-Qadīmah (Peribahasa Arab Kuno).
Cetakan Kedua. Beirut: Muasatur Risālah
www.aip-iap.org/en

12