MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS MATA PELAJARAN IPA DENGAN MODEL INKUIRI

  

MAKALAH

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES

SAINS DAN KETERAMPILAN BERPIKIR

KRITIS MATA PELAJARAN IPA

DENGAN MODEL INKUIRI

DISUSUN OLEH RAHMAT RASMAWAN (SEBAGAI BAHAN REFERENSI

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia-Nya untuk kami berpikir, menyusun dan menulis untaian pemikiran dalam kata dan kalimat. Makalah ini merupakan suatu referensi kepada pendidik khususnya mata pelajaran IPA dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk memberikan sekilas tentang khakekat pembelajaran IPA, Keterampilan Proses Sains, Keterampilan Berpikir Kritis yang dapat dikembangkan melalui model pembelajaran Inkuiri.

  Demikian makalah ini disusun dengan harapan memberikan informasi tentang pembelajaran model inkuiri yang dapat membantu pengembangan keterampilan proses sains dan berpikir kritis. Dalam menyusun, kami sadar akan adanya kekurangan dalam beberapa hal. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sungguh kami hargai guna menyempurnakan makalah ini. Terima Kasih.

  Pontianak, November 2009 Penyusun

DAFTAR ISI

  KATA PENGANTAR

  2 DAFTAR ISI

  3 BAB I. PENDAHULUAN

  4 A. LATAR BELAKANG

  3 B. TUJUAN

  6 BAB II. MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL

  INKUIRI

  7 A. PEMBELAJARAN IPA

  7 B. KETERAMPILAN PROSES SAINS

  9 C. KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

  11 D. MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI

  15 BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

  18 A. KESIMPULAN

  18 B. SARAN

  18 DAFTAR PUSTAKA

  20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang pokok bahasannya

  adalah alam dengan segala isinya. Carin dan Sund (dalam Depdiknas,2003) mendefinisikan sains sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Dengan demikian, sains bukan hanya sekedar kumpulan pengetahuan tentang alam, tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Sains timbul karena sikap manusia yang selalu ingin tahu tentang alam sehingga memunculkan permasalahan-permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan prosedur yang benar. Prosedur tersebut adalah metode ilmiah yang mencakup perumusan hipotesis, perancangan percobaan, evaluasi atau pengukuran, dan akhirnya menghasilkan produk berupa fakta-fakta, prinsip, teori, hulum, dan sebagainya.

  Sekarang dalam pembelajaran sains di Indonesia lebih menekankan pada

  abstract conceptualization dan kurang mengembangkan active experimentation . Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas rill di

  lapangan kegiatan belajar mengajar sains di sekolah lebih menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan hafalan dalam upaya menguasai ilmu pengetahuan, bukan mengembangkan keterampilan berpikir siswa, aktualisasi konsep dengan diimbangi pengalaman konkret dan aktivitas bereksperimen (Depdiknas,2003). Akibatnya para siswa hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan berpikirnya sehingga menjadi malas untuk berpikir mandiri. Bfaktor penyebabnya adalah guru hanya mengejar target ujian akhir yang hanya mengukur kemampuan kognitif saja (Hadiat,1994). Pada pembelajaran ini, guru berperan sebagai sumber dan siswa bejana kosong yang siap diisi ilmu (Sujarwo,2007). Akibatnya para siswa hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan berpikirnya sehingga menjadi malas untuk berpikir mandiri.

  Paradigma lama tersebut perlu diganti dengan paradigma baru yang lebih menitikberatkan pada pembelajaran bermakna. Belajar akan lebih bermakna apabila siswa terlibat langsung dalam pengalaman sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang diajarkan dan aktif melakukan eksperimen, pengolahan data, serta membuat kesimpulan (Depdinas,2003). Disini siswa didorong untuk memperoleh informasi, cara sains dan teknologi kerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

  Salah satu model pembelajaran yang dapat memancing siswa melakukan prosedur ilmiah adalah inkuiri. Model inkuiri menitikberatkan pada suatu proses memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis (Ibrahim,M:2007)). Model inkuiri sangat dianjurkan karena dapat mengembangkan kecakapan hidup siswa antara lain kemampuan berpikir, bekerja atau bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya (Depdiknas,2006). Dengan demikian model inkuiri memberikan pengalaman belajar langsung melalui pengembangan keterampilan proses sains dan berpikir kritis. Joyce dan Weil (1992) menunjukan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktifitas dalam berpikir krearif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi.

  Banyak penelitian yang menunjukan bahwa model inkuiri dapat mengembangkan keterampilan proses sains dan keterampilan berpikir kritis. Jatmiko, P (2009) melaporkan bahwa model inkuiri dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa SMA Kota Gajah sebesar 48,64.Siklus II mengalami peningkatan menjadi 50,72, sedangkan pada siklus III kembali meningkat menjadi 57,93 . Tisngatun, R (2008) menginformasikan bahwa dengan model inkuiri dapat meningkatkan dengan signifikan keterampilan siswa dan penguasaan konsep siswa pada materi system pencernaan manusia. Hasil tesis Oktavia, S (2009) menunjukan bahwa model inkuiri meningkatkan kemampuan konstruksi siswa, keterampilan proses serta sikap sains siswa berlangsung dengan kategori baik.

  Sudah menjadi keharusan bagi guru menerapkan model inkuiri karena selain mengembangkan keterampilan proses sains, ternyata inkuiri dapat pula melatih keterampilan berpikir kritis siswa (Garrison dan Archer, dalam Ibrahim:2007). Pembelajaran inkuiri sebagai pembinaan keterampilan proses dan berpikir kritis siswa perlu dikembangkan dan dilaksanakan secara kondusif dan menyenangkan, sehingga siswa memiliki motivasi dan perhatian besar untuk belajar sains.

B. TUJUAN PENULISAN

  Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk :

  1. Memberikan gambaran tentang pembelajaran IPA

  2. Memberikan gambaran tentang keterampilan proses sains

  3. Memberikan gambaran tentang keterampilan berpikir kritis

  4. Memberikan gambaran tentang model pembelajaran inkuiri

BAB II KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN BERPIKIR KRITIS MELALUI MODEL INKUIRI A. PEMBELAJARAN IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu

  tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip- prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang

  .

  alam sekitar Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah mengalami uji kebenaran melalui metode ilmiah, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dan segala isinya. Carin dan Sund (1993) mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum . (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen”

  Merujuk pada pengertian IPA itu, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu: a. Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended; b. Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; c. Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; d. Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

  Kegiatan pembelajaran IPA mencakup pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi. Kegiatan tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah. Metode ilmiah dalam mempelajari IPA meliputi mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesa, memprediksi konsekuensi dari hipotesis, melakukan eksperimen untuk menguji prediksi, dan merumuskan prinsip umum yang sederhana yang diorganisasikan dari hipotesis, prediksi, dan eksperimen.

  Dalam belajar IPA peserta didik diarahkan untuk membandingkan hasil prediksi peserta didik dengan teori melalui eksperimen dengan menggunakan metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang didasarkan pada metode ilmiah. Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses penyelidikan atau “enquiry skills” yang meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menjawab pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah, dan menganalisis data, menerapkan ide pada situasi baru, menggunakan peralatan sederhana serta mengkomunikasikan informasi dalam berbagai cara, yaitu dengan gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain

  Oleh karena itu pembelajaran IPA di sekolah sebaiknya: (1) memberikan pengalaman pada peserta didik sehingga mereka kompeten melakukan pengukuran berbagai besaran fisis, (2) menanamkan pada peserta didik pentingnya pengamatan empiris dalam menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis). Hipotesis ini dapat berasal dari pengamatan terhadap kejadian sehari-hari yang memerlukan pembuktian secara ilmiah, (3) latihan berpikir kuantitatif yang mendukung kegiatan belajar matematika, yaitu sebagai penerapan matematika pada masalah-masalah nyata yang berkaitan dengan peristiwa alam, (4) memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam kegiatan perancangan dan pembuatan alat-alat sederhana maupun penjelasan berbagai gejala dan keampuhan IPA dalam menjawab berbagai masalah.

B. KETERAMPILAN PROSES SAINS

  Hakikat belajar dan mengajar memiliki dua pola yaitu pola progresif dan pola tradisional. Pada pola tradisional kegiatan mengajar lebih sering diarahkan pada aliran informasi yang dikenal dengan istilah tutur dan kapur. Pola ini guru sebagai pusat pembelajaran, guru menyampaikan informasi dan siswa menuliskan apa yang disampaikan oleh guru. Pada pola progresif makna belajar diartikan sebagai pembangunan gagasan/ pengetahuan oleh siswa sendiri selain peningkatan keterampilan dan pengembangan sikap positif .

  Pembelajaran sains seharusnya mengantarkan siswa untuk membangun sendiri konsepnya dengan keterampilan proses yang terbentuk pada diri siswa melalui proses yang berulang-ulang. Keterampilan proses saling terkait antara satu

  

hal dengan yang lain. Adapun keterampilan proses menurut Wartono (1999)

adalah :

  a. Mengamati Keterampilan siswa dalam : Menggunakan alat-alat indera

    Mengumpulkan fakta-fakta yang relevan Mencari kesamaan dan perbedaan

   b. Menafsirkan pengamatan Keterampilan siswa dalam : Mencatat setiap pengamatan secara terpisah

    Menghubung-hubungkan hasil pengamatan Menemukan suatu pola dalam satu seri pengamatan

   Menarik kesimpulan sementara

   c. Meramalkan Keterampilan siswa dalam : Mengemukakan kemungkinan apa yang akan terjadi.

   d. Menggunakan alat dan bahan Keterampilan siswa dalam :  Terampil menggunakan alat dan alat e. Menerapkan konsep Keterampilan siswa dalam : Menggunakan informasi, kesimpulan, konsep, teori dalam situasi baru

   dan dalam perhitungan.

  f. Merencanakan kegiatan Keterampilan siswa dalam : Menentukan alat, bahan, dan sumber yang digunakan.

   Menentukan variabel, baik variabel tetap dan variabel berubah

   Menentukan apa yang akan diamati.

   Menentukan langkah dan cara kerja.

    Menentukan cara mengelolah hasil pengamatan. g. Berkomunikasi Keterampilan siswa dalam : Menyusun dan menyampaikan laporan.

   Menjelaskan hasil pengamatan.

    Menggambarkan data dalam bentuk grafik, tabel dan sebagainya.

C. KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

  Berpikir kritis atau critical thinking menurut Cotton (1991) juga dikenal dengan tihnking skills, berpikir kreatif, berpikir tingkat tinggi (high-order thinking). Dalam berpikir kritis terdapat dua dimensi penting, yaitu kerangka berpikir dan pekerjaan mental yang spesifik. Michael Seriven dan Richard Paul, seperti yang dikutip oleh Jenicekc (2006) mengatakan bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses intelektual dengan melakukan pembuatan konsep, penerapan, melakukan sintesis dan atau mengevaluasi informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi, pemikiran, atau komunikasi sebagai dasar untuk meyakini dan melakukan suatu tindakan. Digambarkan bahwa berpikir kritis tidak cukup hanya logis, tetapi terdiri atas proses yang lebih luas dalam bidang kedokteran, antara lain melibatkan persepsi, bahasa, emosi, pertimbangan biostatistik dan epidemiologis, bukti ilmiah terbaik, pengetahuan klinis dan kesehatan masyarakat, sikap, dan ketrampilan. Pendapat ini senada dengan yang disampaikan oleh Abraham (2004) yang menerapkan strategi membangun critical thinking mahasiswa melalui pembelajaran fisiologi .

  Schafersman (1991) mengatakan berpikir kritis adalah berpikir berdasarkan pengetahuan yang sesuai dan dapat dipercaya, atau cara berpikir yang beralasan, dapat digambarkan, bertanggung jawab dan mahir. Dalam pengertian ini seorang dikatakan berpikir kritis bila menanyakan suatu hal dan mencari informasi dengan tepat. Kemudian informasi tersebut digunakan untuk menyelesaikan masalah dan mengelolanya secara logis, efisien, dan kreatif, sehingga dapat membuat kesimpulan yang dapat diterima akal. Selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan tepat berdasarkan analisis informasi dan pengetahuan yang dimilikinya

  Fisher (2001) mengutip pendapat John Dewey, menjelaskan bahwa critical thinking adalah pertimbangan aktif dan tepat serta berhati-hati atas keyakinan dan keilmuan untuk mendukung kesimpulan. Pendapat lain yang dikutip oleh Fisher adalah menurut Ennis, critical thinking adalah kegiatan berifkir yang beralasan dan reflektif yang menitikberatkan pada apa yang dipercaya dan apa yang akan dikerjakan. Kedua pendapat ini tampaknya menempatkan critical thinking pada satu proses berpikir yang dilakukan secara hati-hati dengan alasan yang dapat diterima dengan akal.

  Mendefinisikan higher-order thinking secara pasti memang agak sulit, mskipun tidak sesulit untuk memiliki atau menerapkannya. Resnick (1990) mempertimbangkan beberapa hal tentang hal tersebut dalam beberapa uraian berikut ini. Berpikir kritis adalah non-algorithmic yang merupakan bagian dari kegiatan

   yang sangat spesifik dalam tingkatan lanjut dalam berpikir. Berpikir kritis cenderung menjadi kompleks.

   Berpikir kritis sering berupa pemecahan berbagai solusi, yang masing-

   masing mempertimbangkan cost-benefit. Berpikir kritis melibatkan perbedaan pendapat dan interpretasi

    kritis melibatkan penerapan berbagai macam kriteria yang Berpikir seringkali menimbulkan konflik dengan yang lain Berpikir kritis sering melibatkan ketidakpastian.

    Berpikir kritis berarti pengaturan sendiri dalam proses berpikir

  Facione (1996) berdasarkan The APA Concensus Definition, menyatakan berpikir kritis sebagai keputusan yang disertai tujuan dan dikerjakan sendiri, merupakan hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual. Proses tersebut melandasi keputusan yang akan diambil oleh seseorang. Selanjutnya Facione (2004) menjelaskan bahwa berpikir kritis sebagai cognitive skill, didalamnya terdapat kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, penjelasan, serta pengelolaan diri.  adalah kemampuan untuk memahami dan menjelaskan Interpretasi pengertian dari situasi, pengalaman, kejadian, data, keputusa, konvensi, kepercayaan, aturan, prosedur dan kriteria.

   adalah mengidentifikasi hubungan dari beberapa pernyataan Analisis pertanyaan, konsep, deskripsi, dan berbagai model yang dipergunakan untuk merefleksikan pemikiran, pandangan, kepercayaan, keputusan, alasan, informasi dan opini. Mengevaluasi ide dan pendapat orang lain, mendeteksi argumen dan menganalisis argumen merupakan bagian dari analisis.

   Evaluasi adalah kemampuan untuk menguji kebenaran pernyataan yang digunakan untuk menyampaikan pemikiran, persepsi, pandangan, keputusan, alasan, serta opini. Evaluasi juga merupakan kemampuan untuk menguji hubungan berbagai pernyataan, deskripsi, pertanyaan, dan bentuk lain yang dipakai dalam merefleksikan pemikiran. Inferensi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih elem

   yang dibutuhkan untuk menyusun simpulan yang memiliki alasan, untuk menduka dan menegakkan diagnosis, untuk mempertimbangkan informasi apa sajakan yang dibutuhkan dan untuk memutuskan konsekuensi yang harus diambil dari data, informasi, pernyataan, kejadian, prinsip, opini, konsep dan lain sebagainya. Kemampuan menjelaskan adalah kemampuan menyatakan hasil pemikiran,

   penjelaskan alasan berdasarkan pertimbangan bukti, konsep metodologi, kriteriologi dan konteks. Termasuk dalam ketrampilan ini adalah kemampuan menyampaikan hasil, menjelaskan prosedur, dan mempresentasikan argumen. Self regulation adalah kemampuan seseorang untuk mengatur sendiri dalam

   berpikir. Dengan kemampuan ini seseorang akan selalu memeriksa ulang hasil berpikirnya untuk kemudian diperbaiki sehingga menghasilkan keputusan yang lebih baik.

  Berpikir kritis sebernarnya merupakan proses melibatkan integrasi pengalaman pribadi, pelatihan, dan skill disertai dengan alasan dalam mengambil keputusan untuk menjelaskan kebenaran sebuah informasi. Atau dengan kata lain merupakan aktivitas mengidentifikasi suatu permasalahan dengan menggunakan pengalaman sebelumnya dan mencari hubungan antara permasalahan tersebut dan memecahkannya pada situasi yang berbeda. Dari sudut pedagogik menurut Philips (2004) secara umum terdapat empat konsep yang berbeda dalam hal berpikir kritis: berpikir kritis sebagai ketrampilan generik, berpikir kritis sebagai ketrampilan yang melekat (embeded), berpikir kritis sebagai komponen dari ketrampilan belajar sepanjang hayat, dan berpikir kritis untuk menjadi kritis.

  Seseorang yang berpikiran kritis memiliki karakter khusus yang dapat diidentifikasi dengan melihat bagaimana seseorang tersebut dalam menyikapi sebuah masalah, informasi atau argumen. Nickerson (1987) berpendapat bahwa otoritas pada berpikir kritis, menandai seorang pemikir kritis dalam pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kebiasaan dalam bertindak. Seorang pemikir kritis memiliki karakteristik berikut : Menggunakan bukti ilmiah dengan baik dan berimbang

   Mengelola pikiran dan menyampaikannya secara konsiten dan jelas

   Membedakan sesuatu secara logis dan inferens

   Menangguhkan keputusan bila terdapat kurang bukti yang mendukung

   

  Mengerti perbedaan antara memberi alasan dan mencari alasan

  

 Berusaha mengantisipasi kemungkinan konsekuensi alterntaif pilihan

  Memahami pendapat berdasarkan derajat kepercayaan

   Mencari kemiripan dan analogi pada keadaan yang tidak jelas

   Mampu belajar secara mandiri dan tidak mudah putus asa dalam

  mengerjakan sesuatu

   Menerapkan teknik problem-solving

   Dapat menyampaikan struktur informal dengan jalan pikiran formal  Dapat memberi argumen secara lisan bila terdapat ketidaksesuaian

 Membiasakan meragukan pendapat sendiri dan berusaha memahaminya

 Peka terhadap perbedaan antara kebenaran dan intensitas  Menyadari bahwa kemampuan memahami sesuatu adalah terbatas  Mengakui kemungkinan pendapatnya sendiri keliru D.

MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI

  Suatu pembelaran pada umumnya akan efektif bila diselenggarakan melalui model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi (Indrawati, 1999). Hal ini disebabkan model-model pemprosesan informasi menekankan bagaimana seorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengelolah informasi.

  Berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam proses berfikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar untuk menyusun suatu konsep, penerapan, melakukan sintesis dan atau mengevaluasi informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi, pemikiran, atau komunikasi sebagai dasar untuk meyakini dan melakukan suatu tindakan dengan langkah-langkah yang sistematis. Salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memproses informasi dan tindakan adalah model pembelajaran inkuiri.

  Inkuiri sebagai suatu model berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri (Gulo, 2002). Sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri adalah keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses pembelajaran, keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran, serta mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Pemelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke proses ilmiah dalam waktu yang relative singkat.

  Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri menurut Trianto (2009) adalah: a. sosial di kelas dan suasana terbuka yang menundang siswa Aspek berdiskusi.

  b. Inkuiri berfokus pada inkuiri c. Penggunaan fakta sebagai evidensi (informasi, fakta) Untuk mencipkatakan kondisi tersebut, peranan guru adalah sebagai berikut: a. Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berfikir.

  b. Fasilitator, menunjukan jalan keluar bila siswa mengalami kesulitan.

  c. Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat.

  d. Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas.

  e. memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang Pengarah, diharapkan.

  f. Manajer, mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.

  g. Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.

  Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri

  Gulo (2002) menyatakan bahwa inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional. Model pembelajaran inkuri merupak suatu proses yang bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.

  a. Mengajukan pertanyaan atau permasalahan

  Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan. Untuk meyakinkan bahwa pertanyaan sudah jelas, pertanyaan tersebut dituliskan pada papan tulis, siswa diminta untuk merumuskan hipotesis.

  b. Merumuskan hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan atau solusi permasalahan yang dapat diuji dengan data. Untuk memudahkan proses ini, guru menanyakan kepada siswa gagasan mengenai hipotesis yang mungkin. Dari semua gagasan yang ada, dipilih salah satu hipotesis yang relevan dengan permasalahan yang diberikan.

  c. Mengumpulkan data Hipotesis digunakan untuk menuntun proses pengumpulan data. Data yang dihasilkan dapat berupa tabel, matrik, atau grafik.

  d. Analisis data Siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh. Faktor penting dalam menguji hipotesis adalah ”benar” atau ”salah”. Setelah memperoleh kesimpulan dari data percobaan, siswa dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Bila ternyata hipotesis itu salah atau ditolak, siswa dapat menjelaskan sesuai dengan proses kerja yang telah dilakukan.

  e. Membuat kesimpulan langkah penutup dari pembelajaran inkuiri adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa.

  Berdasarkan uraian pembelajaran inkuiri diatas, dapat dilihat bahwa waktu dan sumber belajar yang tersedia merupakan permasalahan dalam pembelajaran. Menanggapi masalah tersebut, Richard Suchman (dalam Dahlan, 1990) mengembangkan suatu pembelajaran inkuiri yan telah dimodifikasi. Hasil penelitian yang dilakukannya tentang metode inkuiri ini menunjukan bahwa keterampilan inkuiri siswa dan motivasi belajar meningkat. Suchman berkeyakinan bahwa siswa akan lebih menyadari tentang proses penyelidikannya dan mereka dapat diajarkan tentang prosedur ilmiah secara langsung. Selanjutnya siswa dibawa pada sikap bahwa semua pengetahuan bersifat tentatif. Joyce (1992) menyatakan bahwa teori Suchman dapat dijabarkan sebagai berikut: a. siswa membayangkan seakan-akan dalam kondisi yang Mengajak sebenarnya.

  b. mengidentifikasi komponen-komponen yang berada disekeliling kondisi tersebut.

  c. Merumuskan permasalahan dan membuat hipotesis pada kondisi tersebut.

  d. Memperoleh data dari kondisi tersebut dengan membuat pertanyaan dan jawaban ”ya” atau ”tidak” e. membuat kesimpulan dari data-data yang diperolehnya.

  Pembelajaran inkuiri dengan metode Suchman menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa sebagai alternatif untuk proses pengumpulan data. Model ini mempunyai dua kelebihan utama, yaitu: a. Penelitian dapat diselesaikan dengan waktu yang singkat. Waktu yang singkat ini memungkinkan siswa dapat mengalami siklus inkuiri dengan cepat, dan dengan pelatihan mereka akan terampil melakukan inkuiri.

  b. lebih efektif dalam semua bidang di dalam kurikulum

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

  adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Kegiatan pembelajaran IPA mencakup pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi.

  2. Keterampilan proses saling terkait antara satu hal dengan yang lain. Adapun

  keterampilan proses antara lain adalah kemampuan mengamati,

  Menafsirkan pengamatan, Meramalkan apa yang akan terjadi, Menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, merancang kegiatan, serta mengkomunikasikan hasil temuan.

  3. Berpikir kritis merupakan keputusan yang disertai tujuan dan dikerjakan sendiri, merupakan hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, kriteriologi dan kontekstual.

  4. Model pembelajaran inkuri merupakan suatu proses yang bermula dar i merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan.

B. Saran

  Adapun saran yang dapat penulis ungkapkan adalah sebagai berikut: 1. Hendaknya dalam pembelajaran IPA guru lebih menekankan proses kerja ilmiah daripada hanya menghafal suatu konsep.

  2. Hendaknya dalam pembelajaran IPA guru menerapkan model inkuiri karena apabila sering dilakukan dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan keterampilan berpikir kritis.

DAFTAR PUSTAKA

  Abraham, R.R, Sharmila Torke, S. U., and Ramnarayan K. (2004). Cliniclly

  oriented physiology teach: strategy for developing critical-thinking skills in undergraduate medical students. Adv. Physiol. Educ. 28: 3

  Cotton, K. 1991. "Teaching Thinking Skills." Retrieved December, 27th 2005,

  2005, from

  Dahniar, D. 2006. Science Project Sebagai Salah Satu Alternatif Dalam

  Meningkatkan Ketermapilan Proses Sains di SMP. Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 2 Nomor 1.

  Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

  . 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Yang Efektif. Jakarta: DEPDIKNAS. . 2006. Standar Kompetensi Dan Kompetensi

  Dasar Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Untuk Sekolah Dasar. Jakarta: DEPDIKNAS.

  Facione NC. 2004. Critical thinking, what it is and why it counts. California Academic Press

  Fisher, Alec, 2001. Critical thinking and introduction, UK: Cambridge University Press. Ibrahim, M. 2007 .Pembelajaran Inkuiri. Online :http/ www. kpicenter.web.id/neo diakses tanggal 13 April 2008.

  . 2007. Kecakapan Hidup:Keterampilan Berpikir Kritis. Online : http/ www. kpicenter.web.id/neo diakses tanggal 13 April 2008.

  Jatmiko, P. 2009. Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA N1

  Kotagajah Melalui Metode Inkuiri (PTK Di Kelas XI IPA SMA Negeri Kotagajah).

  http://pustakailmiah.unila.ac.id/wp- content/uploads/2009/07/ABSTRAK15.pdf Jenicek, M. 2006. A Physician's self-paced Guide to Critical Thinking. United States of America, American Medical Association

  Nickerson, R. S., Perkins, D. N., & Smith, E. E. 1985. The Teaching of

  Thinking. Erlbaum

  Oktavia, S. 2009. Keefektifan Penggunaan Metoda Pembelajaran Inkuiri

  Terbuka dan Inkuiri Terbimbing dalam Meningkatkan Proses Pembelajaran dan Hasil Belajar Kimia Siswa SMA Laboratorium Malang Kelas X. (Tesis). .um.ac.id/index.php

  /disertasi/article/view/1079 Philips V. and Bond C., 2004. Undergraduates’ experiences of critical

  

thinking, Higher Education Research & Development, 23:3

  Resnick, L. 1990. Instsruction and the cultivation of thinking In. N. Entwistle (Ed.), Handbook of educational ideas and practices (pp. 694-707).

  London: Routledge Tisngatun, N. 2008. Pengaruh Pendekatan Inkuiri Terhadap Peningkatan

  Keterampilan Proses Sains Siswa Dalam Proses Pembelajaran Ipa Biologi Pada Materi Pokok Sistem Pencernaan Pada Manusia (Studi Kasus Pada Siswa Smp N 2 Temon Kulon Progo Kelas Viii Semester

  I Tahun Ajaran 2007/2008). http://digilib.uin-

  suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka-- tisngatunn-189 Schafersman, Steven D. 1991. An introduction to critical thinking. Sujarwo. 2006. Reorientasi Pengembangan Pendidikan Di Era Globalisasi.

  Online http/www.pakguruonline.pendidikan.net diakses tanggal 13 April 2008. Wartono. 2003. Strategi Belajar Mengajar Fisika. Malang : Universitas Negeri Malang.