GAYA KEPEMIMPINAN BERPENGARUH TERHADAP M

GAYA KEPEMIMPINAN BERPENGARUH TERHADAP MOTIVASI
DAN KEDISIPLINAN DALAM PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN
Dra. Nathalia Nursiti, MA, MM, Ph.D*)
ABSTRAK
Dalam Dunia kerja, gaya kepemimpinan mempengaruhi terhadap motivasi
dan kedisiplinan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Pemimpin yang disiplin
akan mempengaruhi bawahannya untuk berdisiplin. Disiplin merupakan tanda dan
penggerak hidup suatu organisasi, karena disiplin merupakan tanda dan penggerak
karyawan untuk termotivasi dan disiplin dalam menjalankan tugasnya. Disiplin
harus ditegakkan dan dijalankan dalam kepemimpinan apabila suatu organisasi
berkehendak untuk tetap tegak dan lebih maju.
Dalam upaya peningkatan kinerja, Pemimpin mampu mengembangkan
motivasi kepada diri sendiri yang tentunya akan diikuti oleh para bawahannya,
karena motivasi merupakan “kekuatan” yang mendorong untuk bertindak
melakukan sesuatu yaitu pekerjaan sehingga kelancaran kerja dan kinerja dapat
berlangsung secara berkesinambungan dan menghasilkan produktifitas yang
tinggi.
Dari

beberapa


macam

gaya

kepemimpinan,

salah

satu

gaya

kepemimpinan demokratik adalah gaya kepemimpinan yang paling disukai oleh
seseorang atau kelompok dan yang paling produktif untuk hampir segala situasi,
gaya kepemimpinan yang paling efektif, dimana menggambarkan suatu kriteria
keberhasilan kepemimpinan, tercapainya pelaksanaan tugas-tugas organisasi yang
didukung keterikatan diantara bawahan melalui adanya saling kepercayaan dan
saling hormat menghormati. Gaya ini dalam setiap situasi mendorong para
karyawan termotivasi untuk bertindak dengan disiplin sehingga menghasilkan
peningkatan prestasi kerja yang tinggi,

produktivitas kerja yang tinggi.
Keywords : Pemimpin, Motivasi, Disiplin

PENDAHULUAN

kepuasan kerja karyawan dan

Seorang pemimpin yang bijak dapat mengembangkan motivasi dan
kedisiplinan para bawahannya yang didasarkan pada sasaran atau target
pencapaian kerja yaitu produktivitas. Menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif, memberikan dorongan serta mendukung semangat dan moral kepada
diri sendiri maupun kepada para bawahannya untuk berorientasi pada suatu
prestasi yaitu keberhasilan kerja untuk meraih suatu kesuksesan, mencapai suatu
hasil yang maksimal atau “hasil lebih”. Motivasi sukses dapat dilakukan dengan
bijak memberi dorongan yang kuat, disiplin bekerja lebih giat dan bersemangat
serta membangun tekad untuk maju meraih suatu kesuksesan, sebagai suatu
prestasi . Jadi motivasi dapat dikembangkan untuk menciptakan suatu keinginan
untuk bekerja dengan giat serta berprestasi dan sukses dapat didorong dengan
memberikan tantangan sugestif yang memberi motivasi untuk bertindak.
A.


KEPEMIMPINAN
1. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Pemimpimpin atau leader adalah seseorang yang menduduki
suatu posisi pemimpin dalam mengemban tugas kepemimpinan baik
dalam suatu organisasi maupun perusahaan. Seorang pemimpin adalah
seorang manajer yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
kegiatan menggerakkan orang lain dengan mempengaruhi dan
pengarahkan perasaan, pikiran dan tingkah lakunya untuk tercapainya
suatu tujuan yang diharapkan.
Ada banyak pendapat yang mengemukakan batasan mengenai
kepemimpinan, yaitu antara lain :
Veithzal Rivai,(2006), Kepemimpinan adalah sebagai sebuah
alat, sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia
melakukan sesuatu secara sukarela.
Yayat

M.

Herujito,


(2001)

mengemukakan

bahwa

kepemimpinan adalah seni kemampuan mempengarhui perilaku
manusia dan kemampuan untuk mengendalikan orang-orang dalam
organisasi agar perilaku mereka sesuai dengan perilaku yang
diinginkan oleh pimpinan.
Dari kedua batasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Kepemimpinan adalah suatu kemampuan untuk mempengaruhi
orang-orang dalam organisasi agar bersedia melakukan sesuatu secara
sukarela sesuai dengan perilaku yang diinginkan oleh pimpinannya.

2. FUNGSI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan yang efektif akan dapat terwujud apabila
dijalankan sesuai dengan fungsinya dan kepemimpinan tersebut
berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan

kelompok atau organisasi, masing-masing yang mengisyaratkan
bahwa setiap pemimpin berada didalam bukan diluar situasi itu, fungsi
kepemimpinan biasanya terdiri dari dua dimensi, yaitu :
Dimensi pertama, berkenaan dengan tingkat kemampuan untuk
mengarahkan dalam tindakan atau aktivitas yang terlihat pada
tanggapan orang-orang yang dipimpinnya.
Dimensi kedua, berkenaan dengan dukungan atau keterlibatan
orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok
kelompok atau organisasi yang dijabarkan dan dimanifestasikan
melalui

keputusan-keputusan

dan

kebijaksanaan-kebijaksanaan

pemimpin.
Dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya, maka seorang
pemimpin harus mampu memimpin, mempengaruhi tindakan, pikiran

dan tingkah laku orang yang dipimpinnya, memiliki wewenang agar
perintahnya dapat dianggap legal oleh para bawahannya.
Menurut Malayu S.P Hasibuan, (2001) Wewenang adalah
kekuatan resmi yang dimiliki seseorang untuk bertindak dan
memerintahkan orang lain. Tanda ada

wewenang terhadap suatu

pekerjaan, jangan mengerjakan pekerjaan tersebut, karena tidak
mempunyai dasar hukum untuk melakukannya. Soekarso, (2003)
memberikan konstribusi tentang batasan mengenai wewenang adalah
hak untuk bertindak melaklukan suatu kegiatan tertentu kearah
pencapaian tujuan.
3. BENTUK-BENTUK KEWENANGAN PIMPINAN
Gibson (1982) menyebutkan bahwa French dan Raven
menunjukkan bentuk-bentuk kewenangan seorang pemimpin adalah
sebagai berikut:
1. Kewenangan Memaksa (Coercive Power)
Dengan memiliki kekepalaan, seorang kepala berdasarkan
wewenang yang dimilikinya, ia mempunyai kewenangan

memaksa anak buahnya. Berdasarkan rasa takut mendapat

hukuman karena gagal memenuhi harapan kepala, anak buah
akan berusaha keras untuk menyelesaikan tugasnya dengan
sebaik-baiknya seperti yang diharapkan oleh kepala. Hukuman
dapat berupa teguran, penurunan pangkat, pemindahan, dan
lain-lain sesuai wewenang yang dimiliki oleh kepala.
Dalam pengertian manajemen, hal ini termasuk penggerakan,
dengan pendekatan memaksa (coercive). Pengertian memaksa
di sini tidak berarti kepala bertindak memaksa, tetapi karena
kewenangan yang dimiliki oleh kepala, karena sistem yang
berlaku, maka anak buah yang didasari rasa takut mendapat
hukuman berusaha keras untuk berhasil dalam melaksanakan
tugasnya. Seseorang dengan memiliki kekepalaan mempunyai
fasilitas berupa peraturan, prosedur, dan lain-lain ketentuan
untuk membuat anak buah mempunyai rasa takut untuk
mendapat

hukuman.


Apabila

tidak

diperlukan,

dengan

kekepalaannya seseorang tidak perlu mengambil tindakan
memaksa atau memberikan ancaman kepada anak buahnya,
tetapi dengan menjelaskan peraturan yang berlaku sudah dapat
menggerakkan

anak

kepemimpinannya

buah

seseorang


untuk

berprestasi.

dapat

pula

Dengan

menggunakan

pendekatan memaksa, tetapi bukan karena jabatan atau
kedudukannya, tetapi karena pengaruhnya. Anggota tergerak
bukan karena takut mendapat hukuman, tetapi takut merasa
bersalah (guilty), karena tidak berprestasi. Di sini sebenarnya
kekuatan kepemimpinan bukan karena kekuasaa, tetapi karena
kekuatan pribadinya ia dapat mempengaruhi anggota untuk
berprestasi. Anggota kelompok akan berusaha keras untuk

memnuhi harapan pemimpin, bukan karena rasa takut dihukum,
tetapi karena mempunyai rasa takut bersalah apabila mereka
tidak

dapat

memenuhi

harapan

pemimpinnya.

Dengan

pemeragaan kepemimpinan, sentuhan kejiwaan lebih berperan
daripada penggunaan kewenangan. Sebagai contoh seorang
anak buah atau anggota kelompok tidak dapat menyelesaikan
tugasnya tidak merasa takut dihukum, tetapi ia mempunyai ras
bersalah karena tidak merasa takut dihukum, tetapi ia


mempunyai rasa bersalah karena tidak dapat menyelesaikan
tugasnya.
2. Kewenangan Imbalan (Reward Power)
Bentuk kewenangan ini dapat membuat anak buah atau anggota
kelompok berprestasi karena mempunyai harapan untuk
mendapat

imbalan

atau

penghargaan.

Seorang

yang

mempunyai kekepalaan, karena kewenangan dalam jabatannya
ia dapat menyediakan imbalan atau penghargaan kepada anak
buah yang berprestasi. Penghargaan atau imbalan dapat berupa
materi, kenaikan pangkat, dan lain-lain sesuai dengan
kewenangan kepala. Nilai ataupun bentuk imbalan atau
penghargaan ini tergantung pada sumber kewenangan yang
dimilikinya, artinya tergantung pada tingkat kewenangannya
untuk menyediakan imbalan itu berbentuk apa dan bernilai
berapa. Bagi pemimpin, tanpa kewenangan ia dapat pula
membuat anggota kelompok mengharapkan imbalan atau
penghargaan atas prestasinya. Bentuk penghargaannya berupa
pengakuan, pemberian tanggung jawab, memberi kesempatan
berkembang, pujian, dan lain-lain yang lebih bersifat
psikologis.
3. Kewenangan Referensi (Referent Power)
Seseorang yang memiliki kekepalaan, dengan kedudukannya ia
dapat mempunyai kesempatan untuk menunjukkan bagaimana
ia menerapkan kebijakannya sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya sehingga dijadikan referensi atau acuan oleh anak
buahnya. Bagi seorang yang memiliki kepemimpinan tidak
tergantung pada kedudukannya, tetapi karen kepribadiannya ia
dapat

dikagumi

oleh

anggota

kelompoknya.

Karena

kepribadiannya ia mempunyai daya tarik tersendiri, mungkin
karena

kujujurannya,

satunya

kata

dengan

perbuatan,

kesederhanaanya, kecerdasannya, dan lain-lain, sehingga
tindakan dan perilakunya menjadi referensi atau acuan bahkan
menjadi teladan bagi anggota kelompok. Jadi kekuatannya
dalam kewenangan referensi ini semata-mata atas kelebihan
pribadinya yang dijadikan panutan oleh anggota kelompok.

4. Kewenangan Keahlian (Expert Power)
Makin tinggi kedudukan seseorang yang memiliki kekepalaan,
biasanya dianggap mempunyai kelebihan tingkat keahlian yang
lebih tinggi pula. Hal ini mudah dimengerti karena makin
tinggi kedudukan seseorang makin banyak bawahannya,
sehingga sekali ia menunjukkan keahliannya mudah diketahui
oleh orang banyak. Dengan demikian, dengan kewenangan
keahlian ini, makin tinggi kedudukan seseorang makin mudah
mendapatkan peluang memperoleh simpati dan rasa hormat
dari anak buah. Bagi seseorang yang memiliki kepemimpinan,
justru dari keahliannya ini ia akan mendapat simpati dan rasa
hormat dari anggota kelompok, bukan karena kedudukannya ia
mendapat peluang menunjukkan keahliannya. Makin banyak ia
mempunyai keahlian dibandingkan dengan anggota kelompok,
maka ia makin mudah menggunakan pengaruhnya.
5. Kewenangan Legitimasi (Legitimasi Power)
Kewenangan legitimasi ini dengan sendirinya dimiliki oleh
seseorang

yang

memiliki

kekepalaan,

karena

dengan

kewenangan yang bersumber pada jabatannya maka telah ada
landasan kekuatan hukum, atau legal. Ia mempunyai hak dan
wewenang yang diperoleh dari jabatannya, oleh karena itu
biasanya makin tinggi kedudukan seseorang yang memiliki
kekepalaan, semakin besar kewenangan legitimasinya untuk
mempengaruhi anak buahnya.
Kewenangan legitimasi secara formal memang tidak dimiliki
oleh sesorang yang tidak menduduki jabatan kepala, tetapi bagi
seseorang yang memiliki kepemimpinan, tindakannya dapat
dianggap sah oleh kelompok yang mengakuinya dan tidak
tergantung pada kepercayaan dan pengakuan para anggota
kelompok. Ia mempunyai kekuatan mempengaruhi perilaku
anggota kelompoknya karena kepribadiannya yang diterima
dan diakui oleh anggota kelompok.
4. GAYA DASAR KEPEMIMPINAN
Gaya kepemimpinan yang akan dibahas paling dulu ini disebut
gaya dasar karena selama bertahun-tahun orang beranggapan ada dua

gaya yang berbeda secara ekstrim, yaitu gaya kepemimpinan
demokratis dan gaya kepemimpinan otokratis. Kemudian Kurt Lewin,
Ronald Lippit dan Ralph K. White dari USA, pada tahun 1938 sampai
1940 perhatiannya terfokuskan pada gaya kepemimpinan. Dalam
pengkajian mereka ditemukan ada tiga gaya kepemimpinan yaitu gaya
otokratik, gaya demokratik, dan gaya laissez faire. Dalam proses
pengambilan keputusan mereka menemukan dua gaya yang berbeda
secara ektrim yaitu gaya otokratik yang memusatkan semua proses
pengambilan keputusan pada manajer dan si lain pihak manajer yang
bergaya laissez faire menyerahkan kepada setiap individu dalam
organisasi untuk mengambil segala keputusan.
Leland P. Bradford dan Ronald Lippit merumuskan tiga gaya
kepemimpinan sebagai berikut:
1.

Manajer yang bergaya otokratik:
a. Ia terlalu menyadari kedudukannya
b. Ia kurang mempercayai anggota atau anak buahnya
c. Ia memberi perintah dan menuntut untuk dilaksanakan.
Tidak ada penjelasan dan tidak memberi kesempatan
kepada anggota atau anak buah untuk bertanya mengapa.
d. Ia berasumsi bahwa anggota atau anak buah tidak
mempunyai

tanggung

jawab.

Mereka

semata-mata

melaksanakan perintah atasan
e. Ia beranggapan bahwa upah adalah satu-satunya faktor
untuk memotivasi
f. Ia beranggapan bahwa prestasi anggota atau anak buah
akan baik kalau diawasi dan akan menurun manakala tidak
diawasi oleh atasan.
2. Manajer yang bergaya laissez faire:
a. Ia tidak mempunyai percaya diri sebagai seorang pemimpin
b. Ia tidak menetapkan tujuan untuk kelompok
c. Ia membiarkan keputusan dibuat oleh siapa saja dalam
kelompok yang menghendakinya
d. Akibat sikapnya, produktivitas pada umumnya rendah
e. Akibat sikapnya, kelompok menjadi tidak berminat pada
tugasnya atau pekerjaannya

f. Akibat sikapnya, semangat kerja dan kerja tim pada
umumnya menjadi rendah
3. Manajer yang bergaya demokratik:
a. Keputusan dibuat bersama antara manajer dan kelompok
b. Ia terbuka terhadap kritik
c. Ia membuat rasa tanggung jawab berkembang dalam
kelompok diterima dengan baik oleh manajer
d. Dalam hal ia membuat keputusan sendiri, selalu memberi
penjelasan alasannya
e. Akibat sikapnya, mutu dan produktivitas pada umumnya
tinggi
f. Pada umumnya kelompok merasa berhasil di bawah
pimpinan manajer yang bergaya demokratik
Hal yang penting dari pengkajian Lewin, Lippit, dan White
adalah bahwa mereka yang pertama kali mengkaji masalah
kepemimpinan secara ilmiah. Penemuan mereka menunjukkan bahwa
perbedaan gaya kepemimpinan akan menimbulkan perbedaan reaksi
kelompok atau perbedaan gaya kepemimpinan akan menimbulkan
akibat yang berbeda terhadap sikap kelompok. Namun, penelitian
ketiga pakar tersebut dilakukan terhadap kelompok bermain remaja
berusia sekitar sepuluh tahunan. Oleh karena itu gaya kepemimpinan
tersebut tidak dikaitkan dengan produktivitas. Sumbangan mereka
yang utama adalah ditemukannya tiga gaya kepemimpinan yang
berbeda yaitu gaya otokratik, gaya laissez faire, dan gaya demokratik.
Kemudian Bradford dan Lippit melangkah lebih lanjut untuk
mengembangkan penemuan itu yang dikaitkan dengan produktivitas
dan dapat merumuskan tiga gaya kepemimpinan seperti tertera di atas.
Dari ketiga gaya kepemimpinan yang dirumuskan itu, ternyata gaya
kepemimpinan demokratik adalah yang paling disukai oleh kelompok
dan yang paling produktif untuk hampir segala situasi. Walaupun
demikian dalam kenyataannya produktivitas masih banyak tergantung
pada situasi di mana manajer memperagakan kepemimpinannya.
Soekarso (2003), mengutif pendapatnya Robert Blake dan Jane
Mouton

yang

mengemukakan

tentang

Gaya

Kepemimpinan

berdasarkan teori Manajerial Grid, bahwa perilaku setiap pemimpin
diukur melalui dua dimensi, yaitu :
1.

Perhatian terhadap hasil atau tugas (T)
Kepedulian akan produksi, sejauh mana seorang pemimpin
perhatiannya pada penyelesaian tugas pekerjaan (prestasi)

2.

Perhatian terhadap bawahan atau hubungan kerja (H)
Kepedulian akan orang, sejauh mana pemimpin perhatiannya
pada hubungan antar pribadi termasuk tingkat kesejahteraan
bawahan.

Dalam teori ini terdapat tipe-tipe kepemimpinan yang terbagi menjadi
lima, yaitu :
Gaya 1.1 (Deserter)

1.

Gaya kepemimpinan dengan perhatian rendah, baik terhadap
produksi (pekerjaan atau hasil) maupun terhadap orang. Gaya
kepemimpinan yang terburuk, disebut manajemen yang
dimiskinkan (improverished management)
Gaya 1.9 (Missionary)

2.

Gaya pemimpin dengan perhatian rendah terhadap produksi
dan

tinggi

terhadap

orang,

gaya

kepemimpinan

yang

berorientasi pada manusia yang biasa disebut manajemen
perkumpulan desa (country clup management)
3.

Gaya 5.5 (Compromiser)
Gaya pemimpin dengan perhatian madya baik terhadap
produksi maupun terhadap orang, gaya kepemimpinan yang
berimbang yang biasa disebut manajemen jalan tengah (middle
of the road management)

4.

Gaya 9.1 (Autocrat)
Gaya pemimpin dengan perhatian tinggi terhadap produksi dan
rendah terhadap orang; gaya kepemimpinjan berorientasi pada
tugas atau produksi biasa disebut manajemen tugas (task or
authoritarian management)

5.

Gaya 9.9 (Excecutive)
Gaya pemimpin dengan perhatian tinggi terhadap produksi
maupun terhadap orang, gaya kepempimpinan yang terbaik,

disebut manajemen tim atau demokratis (team or democratic
management)
Blake dan Mouton mengemukakan bahwa gaya 9.9 adalah gaya
kepemimpinjan yang paling efektif, dimana menggambarkan suatu
kriteria keberhasilan kepemimpinan, tercapainya pelaksanaan tugastugas organisasi yang didukung keterikatan diantara bawahan melalui
adanya saling kepercayaan dan saling hormat menghormati. Gaya ini
dalam setiap situasi menghasilkan peningkatan prestasi, tingkat
absensi rendah dan perputaran karyawan rendah dan kepuasan kerja
karyawan tinggi.
MANAGERIAL GRID ( Blake dan Mouton)
(1,9)

(9,9)

(H)

6
(5,5)



(1,1)
1

2

3

4

5

(9,1)
6

5.

7

8

9

(T)

PENDEKATAN

ATAU TEORI DALAM STUDI KEPEMIMPINAN
Pada umumnya terdapat empat pendekatan kepemimpinan, yaitu :
1.

Pendekatan sifat atau ciri (Traits Approach)
a.

Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada sifat spesifik
atau ciri kepribadian, sosial, fisik dan intelektual yang
membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.

b.

Filosofi dan pendekatan teori ini menganggap bahwa setiap
orang yang memiliki sifat-sifat tertentu akan muncul dan
berpotensi menjadi pemimpin dalam situasi apapun dimana
berada.

2. Pendekatan Perilaku (Behaviors Approach)
a.

Pendekatan ini mengemukakan perhatian pada karakteristik
perilaku

tindakan

yang

dilakukan

pemimpin

dalam

melaksanakan pekerjaan manajerial.
b.

Filosofi pendekatan teori ini menganggap bahwa setiap orang
yang dapat memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan

muncul dan berpotensi menjadi pemimpin dalam situasi
apapun dimana berada.
3. Pendekatan Kontigensi (contigency Approach)
a.

Pendekatan yang memusatkan perhatian pada hukum situasi
(law of the situation), bahwa setiap situasi yang berbeda-beda
akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang bervariasi.

b.

Filosofi dan pendekatan teori ini menganggap bahwa setiap
organisasi memiliki karakteristik, situasi masing-masing
dalam menghadapai masalah yang berbeda oleh karena itu
setiap organisasi dan situasi yang berbeda harus dihadapi
dengan gaya kepemimpinan yang berbeda.

4. Pendekatan lain (Pendekatan terbaru)
a.

Pendekatan terbaru dan masa depan teori kepemimpinan,
dimana teori ini mencoba memahami suatu situasi (peristiwa)
yang ditingkatkan dengan mengetahui hubungan kausal
(sebab-akibat)

b.

Filosofi pendekatan teori ini merupakan perpaduan dan
modifikasi dari pendekatan-pendekatan terdahulu.

Dalam

prakteknya,

pendekatan-pendekatan

tersebut

sulit

memisahkan antara sifat, perilaku, kontigensi dan pendekatan yang
lainnya

karena

keberhasilan

seorang

pemimpin

dalam

melaksanakan fungsinya tidak hanya ditentukan oleh suatu aspek
saja, melainkan kombinasi antara sifat, perilaku, aspek lain dan
kontigensi (situasional) saling menentukan sesuai dengan situasi
yang mendukung.
6. DISIPLIN KEPEMIMPINAN
Faktor disiplin dalam kepemimpinan adalah sangat penting.
Persoalan utama yang muncul ialah persepsi yang keliru

tentang

disiplin itu, baik dari segi pemimpin maupun dari segi bawahan.
Pemimpin

bisa

terjebak

untuk

menggunakan

disiplin

guna

mempertahankan status quo dalam kepemimpinannya, atau untuk
mengekspresikan sikapnya terhadap bawahan, dimana disiplin seolaholah diartikan sebagai hukuman semata-mata. Dari pihak bawahan,
disiplin telah terlihat sebagai “hukuman yang mengancam nasibnya”,
atau usaha atasan untuk menghalang-halangi kemajuan dirinya.

1.

ARTI KEDISIPLINAN
Dalam kepemimpinan, disiplin harus diartikan sebagai “mendidik
untuk perbaikan dan menjadi lebih baik”. Disini disiplin diartikan
sebagai hukuman untuk orang yang bersalah, tetapi didikan atau
tuntunan untuk bermotivasi, bersikap dan berkinerja baik secara
konsisten. Disiplin tidak hanya diterapkan pada saat kerja normal
untuk meningkatkan komitmen dan kinerja. Seseorang yang
terbukti bersalah dan didisiplin hanyalah merupakan salah satu
aspek saja dari disiplin.

2.

FUNGSI KEDISIPLINAN
Fungsi khusus dari disiplin dapat dijabarkan dalam tiga kisi
penting antara lain:
1.

Meningkatkan Kualitas Karakter
Kualitas karakter akan terlihat pada komitmen kepada
Tuhan, kepada organisasi, diri, orang lain dan kerja. Puncak
komitmen akan terlihat pada integritas diri yang tinggi dan
tangguh.

2.

Mendukung Proses Pengejawantahan Kualitas Karakter,
Sikap dan Kerja.
Disini kualitas sikap (komitmen dan integritas) ditunjang,
didukung,

dikembangkan

dan

diwujudkan

dalam

kenyataan. Komitmen dan intergritas akan terlihat dalam
kinerja yang konsisten.
3.

Memproduksikan Kualitas Karakter dalam Hidup yang
ditandai oleh adanya karakter kuat dari setiap orang,
termasuk pemimpin dan bawahan. Pemimpin terbukti
berdidiplin tinggi dalam sikap hidup dan kerja, dan hal
mana akan mempengaruhi para bawahan untuk berdisiplin
tinggi yang dimodeli oleh bawahannya.

3. TUJUAN DISIPLIN
Tujuan disiplin adalah untuk mendorong karyawan untuk
berperilaku secara bijaksana didefinisikan sebagai taat kepada
peraturan dan keputusan. Menurut Henri Simamora, (1990), bahwa
disiplin adalah prosedur yang mengkoreksi atau menghukum
karena melangar peraturan/prosedur. Disiplin merupakan bentuk

pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur serta
menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja didalam sebuah
organisasi.
Aspek hubungan internal karyawan sangat diperlukan
disiplin walaupun tidak dilaksanakan secara kaku, karena tujuan
disiplin disamping

taat terhadap peraturan tetapi juga untuk

menciptakan atau mempertahankan rasa hormat dan saling percaya
diantara karyawan.
4. BENTUK KEDISIPLINAN
Simamora, (1990), menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk
disiplin, yaitu :
a.

Disiplin manajerial (managerial dicipline) dimana segala
sesuatu tergantung pada pemimpin dari permulaan hingga
akhir.

b.

Disiplin tim (team dicipline), dimana kesempurnaan kinerja
bermuara dari saling ketergantungan satu sama lain, dan
saling ketergantungan ini berasal datri suatu komitmen oleh
setiap karyawan.

c.

Disiplin diri (self dicipline) dimana pelaksana tunggal
sepenuhnya pada pelatihan, ketangkasan dan kendali diri.
Pelaksanaan tindakan disiplin yang benar tidak hanya

memperbaiki perilaku karyawan tetapi juga akan meminimalkan
masalah disiplin dimasa yang akan datang melalui hubungan yang
positif diantara atasan dan bawahan. Tindakan disiplin merupakan
interaksi anatara manusia maka prosesnya kadang kala biasa dan
emosional, oleh karena itu tindakan seperti itu tidak dibenarkan
karena akan menunjukkan ketidakadilan bagi karyawan yang ada,
pada akhirnya dapat menimbulkan reaksi-reaksi dari karyawan baik
secara diam-diam ataupun terang-terangan.
5. PROSES DISIPLIN
Pdt. Yakob Tomatala, (1997) dalam bukunya yang berjudul
Kepemimpinan

yang

Dinamis

menyebutkan

bahwa

dalam

menjalankan disiplin, proses disiplin dapat dilukiskan dari lima sisi
penting, antara lain:

1.

Disiplin bagaikan mercusuar yang membuat nahkoda tetap
siaga akan kondisi yang dihadapi atau alert/peringatan dalam
menghadapi kenyataan hidup dan kerja.

2.

Disiplin bagaikan air sungai yang terus mengalir dari gunung
ke lembah dan terus membawa kesegaran dan membersihkan
bahagian sungai yang keruh.

3.

Disiplin bagaikan dinamo yang menyimpan kekuatan/daya
untuk menghidupkan mesin. Apabila kunci kontak dibuka,
maka daya mengalir dan menghidupkan mesin yang mencipta
daya dorong yang lebih besar lagi, dan yang berjalan secara
konsisten.

4.

Disiplin bagaikan gas, rem dan kemudi pada mobil, yang
mendorong, menghentikan dan memberikan arah yang pasti.

5.

Disiplin bagaikan wasit dan hakim yang mengarahkan
pertandingan dan menetapkan skor benar-salah, untung kalah.

6. CARA PELAKSANAAN DISIPLIN
Disiplin

harus

ditegakkan

dan

dijalankan

dalam

kepemimpinan apabila suatu organisasi berkehendak untuk tetap
tegak dan lebih maju. Pemimpin yang disiplin akan mempengaruhi
bawahannya untuk berdisiplin. Disiplin merupakan tanda dan
penggerak hidup suatu organisasi. Dalam upaya menjalankan
disiplin, Yakob Tomatala, (1997) memberikan beberapa cara-cara
dalam pelaksanaan disiplin seperti di bawah ini dapat ditempuh,
yaitu :
6.1.

Disiplin dalam kondisi normal
Dalam kondisi normal, disiplin harus ditegakkan dengan
secara terus-menerus menjelaskan dan mengkomunikasikan
policy/ketentuan hidup/kerja organisasi yang dilakukan
secara kreatif. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
nasihat

umum,

briefing,

petunjuk

khusus,

serta

nasihat/dorongan on the spot (langsung di tempat kerja).
6.2.

Disiplin dalam kondisi khusus
Dalam

kondisi

khusus

dimana

terdapat

kesalahan/kekeliruan yang dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak, maka hal yang harus diperhatikan oleh
pemimpin ialah:
6.2.1. Bobot dari kesalahan yang diperbuat oleh seseorang
bawahan dimaksud.
6.2.2. Unsur-unsur administrasi, hukum, sosial, ekonomi,
politik,

rohani/moral/etis

yang

terdapat

dala

kekeliruan/kesalahan tersebut.
6.2.3. Kualitas keputusan yang dilakukan dan efeknya
terhadap

organisasi,

pemimpin

dan

bawahan

dimaksud.
6.2.4. Disiplin dapat diwujudkan dengan cara teguran :
6.2.4.1. Teguran (reprimend) dapat dilakukan secara
bertahap, mulai dari teguran lisan sampai
kepada teguran tertulis yang dicatat secara
teratur. Teguran dapat diberikan bagi
kekeliruan yang dinilai ringan.
6.2.4.2. Peringatan atau ancaman keras
6.2.4.3. Peringatan atau ancaman keras perlu
diberikan bagi pelanggaran yang dinilai
besar/berat oleh pemimpin. Peringatan
atau ancaman keras harus selalu diberikan
dalam bentuk tertulis.
6.2.4.4. Pemutusan hubungan kerja
Pemutusan hubungan kerja dapat diberikan
atas

penilaian

pemimpin

terhadap

pelanggaran berat seseorang bawahan
yang sangat merugikan dan tidak dapat
diperbaiki

lagi.

Disini

pemutusan

hubungan kerja diberikan demi kebaikan
organisasi, pemimpin maupun bawahan.
Disiplin yang baik dan benar dalam kepemimpinan akan
selalu membangun serta membawa kemajuan. Pemimpin
yang berhikmat akan selalu menerapkan disiplin dalam
hidup dan kerja sehingga membawa dampak positif bagi
kemajuan hidup dan kerja dalam organisasi.

Pada akhirnya perlulah disadari bahwa disiplin dalam
kehidupan organisasi, kerja, kelompok, dan individu
merupakan adanya gambaran tekad, kemauan serta
komitmen

yang

sedang

diejawantahkan.

Hal

ini

menentukan kohesi tinggi dalam mekanisme sosial yang
memastikan hubungan dan kerja sama yang erat, yang
secara pasti mengarah kepada keberhasilan/kesuksesan
hidup dan kerja kelompok maupun individu.
B.

MOTIVASI
1.

TEORI MOTIVASI KERJA
Mc. Clelland mengemukakan bahwa kebutuhan akan
prestasi secara positif berkaitan dengan hasil pekerjaan manajerial,
dan sukses yang dicapainya dapat mengembangkan suatu
kebutuhan akan prestasi pada manajer-manajer yang beraspirasi.
Menurut Abraham Maslow pada hakekatnya manusia melakukan
tindakan dengan tujuan memenuhi kebutuhannya. Maslow
menggolongkan lima tingkat kebutuhan manusia yang dikenal
sebagai hierarchy of needs sebagai berikut :
1.

Physiological : meliputi rasa lapar, haus, perumahan, seks,
dan kebutuhan biologis lainnya.

2.

Safety : meliputi rasa aman dan perlindungan dari ancaman
fisik dan emosional.

3.

Social : meliputi kasih sayang, kepemilikan akan keberadaan
seseorang dan persahabatan.

4.

Esteem : meliputi faktor penghargaan internal (rasa harga
diri, otonomi, prestasi) dan faktor penghargaan eksternal
(status, pengakuan dari orang lain, perhatian)

5.

Self – actualization : dorongan untuk menjadi seseorang yang
mampu untuk berkembang , meraih potensi yang ada didalam
dirinya dan pemenuhan kebutuhan diri sendiri.

Jenjang kebutuhan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
“BEING NEEDS”

5. Aktualisasi Diri
4. Kebutuhan akan harga diri
3. Kebutuhan untuk merasa
dicintai dan mencintai serta
diterima oleh lingkungan.
2. Kebutuhan rasa aman
1. Kebutuhan fisik

Faktor-faktor yang mempengaruhi pada kompleksitas manusia
dan motivasinya menurut Prof. Dr. Sondang Siagian, MPA (1995),
bahwa motivasi yang menjadi dasar utama bagi orang memasuki
berbagai organisasi adalah dalam rangka usaha orang yang
bersangkutan memuaskan berbagai kebutuhan baik yang bersifat
politik, ekonomi, sosial dan berbagai kebutuhan lainnya yang semakin
lama semakin kompleks.
Selanjutnya teori motivasi Claude S. George mengatakan bahwa
seseorang mempunyai kebutuhan yang berhubungan dengan tempat
dan suasana dimana ia bekerja, yaitu :
1.

Upah yang layak.

2.

Kesempatan untuk maju

3.

Keamanan kerja

4.

Tempat kerja yang baik

5.

Perlakuan yang wajar

6.

Pengakuan akan prestasi.
Menurut Harold E. Burt yang dikutip oleh Moh. As’ad (1995),

faktor-faktor yang menimbulkan motivasi kerja adalah :
1.

Faktor hubungan antar karyawan

2.

Faktor individual

3.

Faktor luar (ekstern)
Menurut Sondang P. Siagian (1995) terdapat sembilan faktor

motivasi yang mempengaruhi kepuasan kerja dan harus mendapatkan
perhatian setiap pimpinan dalam organisasi, yaitu :
1.

Kondisi kerja yang baik

2.

Perasaan diikut sertakan

3.

Cara pendisiplinan yang baik

4.

Pemberian penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik

5.

Kesetiaan pimpinan pada para karyawan

6.

Promosi dan perkembangan bersama organisasi

7.

Pengertian yang simpatik terhadap masalah-masalah pribadi
bawahan

8.

Keamanan pekerjaan

9.

Tugas pekerjaan yang sifatnya mendidik.
Karena faktor isis pekerjaan dapat menciptakan kepuasan dengan

demikian juga menciptakan motivasi, Herzberg menyebutnya sebagai
motivator. Faktor-faktor lingkungan kerja yang perlu diupayakan pada
standar tertentu yang masuk akal untuk menghindarkan ketidak puasan
ia sebut sebagai faktor-faktor hygiene atau faktor-faktor pemeliharaan
(maitenence).
Faktor-faktor hegiene atau dissatisfier, menurut Kogan yang
diterjemahkan oleh Wandi, SB (1997), adalah faktor-faktor yang
berkaitan dengan konteks pekerjaan yang meliputi :
1.

Semua segi penggajian, gaji pokok, honor, uang lembur, bonus.

2.

Keamanan kerja

3.

Pengawasan yang kompeten dan adil serta dukungan kerja.

4.

Semua segi dan kondisi kerja

5.

Status dan pengakuanyang diberikan oleh organisasi kepada para
anggotanya.

6.

Hubungan antar pribadi, antara manajer, dan tim kerja maupun
diantara para karyawan sendiri.

7.

Manajemen organisasi dan komunikasi.
Faktor-faktor tersebut penting karena dapat menyebabkan

ketidak puasan apabila tidak memadahi. Juga kalaupun semuanya itu
mencukupi atau memadahi, para karyawan paling-paling hanya
terpuaskan dan belum secara positif termotivasi mencapai kinerja yang
baik. Dalam pandangan Herzberg, motivasi hanya dapat muncul
apabila terdapat faktor-faktor hygiene atau satisfier dan motivator
dalam motovasi kerja.
Sedangkan faktor-faktor satisfier menurut Wandi SB (1997)
adalah faktor isi pekerjaan yang menyebabkan kepuasaan kerja dan
menimbulkan motivasi. Motivator yang ditunjukkan oleh Herzberg

tampaknya muncul dari muatan, isi pekerjaan atau tugas itu sendiri.
Karyawan yang termotivasi apabila pekerjaan mereka memberi
kesempatan untuk mencapai lima hal, yaitu :
1.

Prestasi, yaitu kepuasan

pribadi karena telah mampu

menyelesaikan tugas, memecahkan masalah atau karena melihat
hasil-hasil yang sukses.
2.

Pengakuan, yaitu pengakuan atau pujian atas pekerjaan
yang diselesaikan dengan baik.

3.

Pertumbuhan (perkembangan) yaitu kesempatan uantuk
mengembangkan berbagai keahlian dan kemampuan baru.

4.

Kemajuan,

yaitu

kesempatan

untuk promosi dalam

organisasi.
5.

Tanggung jawab yaitu derajat kontrol terhadap pekerjaan,
variasi kerja, dan kesempatan-kesempatan untuk menggunakan
prakarsa pribadi.
Dari tatanan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi

mempunyai peran penting terhadap kualitas kerja pegawai, selanjutnya
pimpinan juga harus dapat mengetahui pentingnya memberikan
motivasi kepada aparatur bawahannya dan harus dapat memberikan
motivasi pada aparatur bawahannya sehingga pegawai dapat puas
dengan kebutuhannya dan dapat bekerja dengan baik.
2. PRINSIP DALAM MOTIVASI KERJA PEGAWAI
Menurut Mangkunegera (2005), dalam buku Sumber Daya
Manusia Perusahaan bahwa terdapat beberapa prinsip dalam
memotivasi kerja pergawai, yaitu sebagai berikut :
1.

Prinsip Partisipasi
Dalam upaya memotivasi kerja, pegawi perlu diberikan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang
akan dicapai oleh pemimpin.

2.

Prinsip Komunikasi
Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan
dengan usaha pencapaian tugas dengan informasi yang jelas,
pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.

3.

Prinsip mengakui andil bawahan

Pemimpin mengakuai bahwa bawahan/pegawai mempunyai andil
dalam usaha pencapaian tujuan, dengan pengakuan tersebut
pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
4.

Prinsip pendelegasian wewenang
Pemimpin yang memberikan otoritas atau weweng kepada
pegawan bawahan untuk sewaktu-waktu dapat mengambil
keputusan terhadap pekerjaan yang dilakukannya, akan membuat
pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi untuik mencapai
tujuan yang diharapkan oleh pemimpin.

5.

Prinsip Memberi perhatian
Pemimpin memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan
pegawai bawahan, akan memotivasi pegawai bekerja apa yang
diharapkan oleh pemimpin.

3. TEKNIK MOTIVASI KERJA PEGAWAI
Beberapa teknik memotivasi kerja pegawai, antara lain :
1.

Teknik pemenuhan kebutuhan pegawai.
Pemenuhan kebutuhan pegawai merupakan fundamen yang
mendasari perilaku kerja, seperti yang dikemukakan oleh
Maslow tentang lima kebutuhan manusia.

2.

Tenik Komunikasi persuasif.
Teknik ini merupakan salah satu teknik memotivasi kerja
pegawai yang dilakukan dengan cara mempengaruhi pegawai
cara ekstra logis. Teknik ini diakronimkan AIDDAS, yaitu:
A.

Attention (perhatian)

I.

Interes (minat)

D.

Desire (hasrat)

D.

Decision (keputusan)

A.

Action (tindakan)

S.

Satisfaction (kepuasan)
Penggunaannya, pertama kali pemimpin harus memberikan

perhatian kepada pegawai tentang pentingnya tujuan dari suatu
pekerjaan agar timbal minat pegawai terhadap pelaksanaan kerja,
jika telah timbulnya minat maka hasratnya akan menjadi kuat
untuk mengambil keputus dan dan melakukan tindakan kerja
dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemimpin.

4.

DASAR PENGEMBANGAN MOTIVASI
Masih menurut Pdt. Yakob Tomatala, (1997) bahwa
seorang pemimpin yang bijak dapat mengembangkan motivasi para
bawahannya dengan dasar - dasar sebagai berikut:
1.

Perlu ada sasaran (target) pencapaian kerja yang jelas bagi
setiap individu dalam setiap unit kerja.

2.

Doronglah setiap orang untuk mencintai tugas dan dorong
pula mereka untuk mengembangkan keinginan kuat untuk
mencapai sasaran (target) kerja (sukses).

3.

Jelaskanlah secara rinci dan terang tentang kemanfaatan
pencapaian sasaran (target) kerja untuk pribadi, kelompok
dan organisasi, serta imbalan yang akan diperoleh setiap
individu yang bekerja dengan baik.

4.

Doronglah/kembangkanlah

sikap

kebanggaan

akan

pekerjaan dan setiap hasil (kesuksesan) yang dicapai dalam
pengerjaan kerja. Ajarlah setiap bawahan untuk belajar
bersyukur atas hasil kerja yang mereka capai.
5.

Ciptakanlah

kondisi,

peluang

dan

keinginan

untuk

menyenangi serta menikmati lingkungan kerja bagi setiap
individu.
6.

Ciptakan dan gerakkanlah keinginan kuat dari setiap
individu

untuk

berorientasi

kepada

prestasi

serta

keberhasilan kerja.
C.

PRODUKTIVITAS KERJA
1.

PENGERTIAN PRODUKTIVITAS
Bennet Silalahi, (1999) dalam bukunya yang
berjudul “Permance Apprasial, Penilaian Unjuk Kerja“
mengatakan bahwa pada dasarnya Produktivitas adalah
kaitan antara keluaran dan sebagaian keseluruan masukan
terkait diukur dalam bentuk nyata atau volume fisik.
Produktivitas dapat diaplikasikan untuk negara, sektor
industri, organisasi bahkan bagian-bagian dalam satu
organisasi. Teknik pengukuran semua jenis bidang pada
dasarnya sama.
Penilaian Unjuk Kerja (Bennet Silalahi)

Keluaran (output)
PRODUKTIVITAS = ----------------------Masukan (input)
Sedangkan John W. Kendrik, (1999) memberikan
batasan mengenai produktivitas adalah rasio antara output
dan input yaitu catatan mengenai usaha manusia untuk
mengangkat dirinya dan kemiskinan.
Model Umum Sistem Terbuka Input Instrumental
( John W. Kendrik)
Manusia

Metode

INPUT

PROSES

Material

OUTPUT

Gambar diatas menunjukkan bahwa hasil keluaran
tergantung pada input atau masukan serta proses yang
berlangsung, sehingga input diproses derngan dibantu input
instrumental seperti

manusia, metode, material akan

menghasilkan output sebagai hasil keluaran. Hal ini sesuai
dengan produtivitas sebagai rasio antara output dan input.
Apabila dikaitkan dengan produktivitas kerja melalui model
umum sistem terbuka, faktor manusia sebagai input dan
metode yang

digunakan melalui suatu proses akan

menghasilkan suatu keluaran atau output yang sesuai
dengan harapan. Besarnya atau meningkatnya output yang
dihasilan sangat tergantung pada kualitas manusia, melalui
proses yang telah ditetapkan.
Produktivitas kerja manusia meningkat manakala
manusia sebagai input memiliki kualitas pekerjaan berupa
kerapihan,

ketrampilan,

ketelitian,

rendahnya

angka

ketidakhadiran, waktu penyelesaian pekerjaan, mampu
bekerjasama, memiliki kemampuan kerja serta bertanggung
jawab dalam pekerjaannya.
Jadi produktivitas merupakan perbandingan antara
hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang

digunakan. Produktivitas memiliki dua dimensi, yaitu
efektifitas yang mengarah pada pencapaian target yang
berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu., dan
efesiensi selalu berkaitan dengan efektivitas disatu sisi dan
disisi lain efesiensinya belum tentu meningkat. Maka dalam
hal ini produktivitas sama dengan efektivitas untuk
menghasilkan

output

dibandingkan

dengan

efesiensi

penggunaan input.
Antara Efesiensi, Efektivitas, Kualitas dan Produktifitas
INPUT

PROSES

HASIL

PRODUKSI

KUALITAS

KUALITAS DAN
EFESIENSI

PRODUK-

KUALITAS DAN
EFEKTIVITAS

TIVITAS

Dalam bagan tersebut jelas bahwa produktivitas merupakan
hubungan anara efektivitas yang menghasilkan output yang
berkualitas dan memiliki hasil guna dan efesiensi dengan
mendayagunakan sumberdaya berupa input yang berkualitas
secara efektif.
2. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS
KERJA.
Husen Umar, (2000) dalam buknya Riset Sumber Daya
Manusia Dalam Organisasi, menyebutkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan adalah sebagai
berikut :
1.

Sikap kerja

2.

Tingkat Pendidikan dan Latihan yang ditentukan oleh
pendidikan

3.

Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi

4.

Manajemen produktifitas

5.

Efesiensi tenaga kerja

6.

Kewiraswastaan.
Sedangkan AF. James Stoner, (1994) menyebutkan

bahwa faktor lain yang dapat mempengaruhi produktivitas
kerja adalah :
1.

Sikap mental

2.

Ketrampilan

3.

Pendidikan

4.

Manajemen yang baik

5.

Gisi dan kesehatan

6.

Tingkat penghasilan

7.

Lingkungan sosial

8.

Lingkungan dan iklim kerja

9.

Sasaran produksi

10.

Teknologi

11.

Hubungan industri Pancasila

12.

Kesempatan berprestasi.

3. UNSUR-UNSUR

EFEKTIVITAS

DAN

EFESIENSI

KARYAWAN
Unsur-unsur efektivitas kerja karyawan atau hasil guna terdiri
dari :
1.

Kualitas pekerjaan, meliputi kerapihan dan ketelitihan

2.

Jumlah pekerjaan meliputi pekerjaan pokok dan pekerjaan
tambahan

3.

Pengetahuan tugas pekerjaan meliputi pengalaman, latihan
dan pendidikan

4.

Kemampuan dan kepandaian meliputi kecepatan, mengerti
kebiasaan baru, daya tangkap dan penguasaan pengetahuan

5.

Inisiatif seperti ide-ide baru, cara yang tepat dalam
melakukan pekerjaan

6.

Kerjasama dengan teman sekerja dan dengan atasan.

7.

Tanggung jawab seperti tugas mendesak dan tepat waktu,
berani mengambil resiko.

Sedangkan unsur-unsur efisiensi kerja karyawan atau hasil guna
terdiri dari :

1.

Tingkat kehadiran seperti jumlah hari yang absen,
keterlambatan, pulang lebih awal.

2.

Waktu penyelesaian pekerjaan seperti rata-rata dalam satu
minggu.

3.

Perbandingan beban kerja.

4. HUBUNGAN

ANTARA

MOTIVASI

DAN

PRODUKTIVITAS KERA
Motivasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang terdapat
dalam diri manusia yang mendorongnya untuk melakukan suatu
aktivitas guna

pencapaian suatu tujuan. Sesuai dengan teori

motivasi Calude S. George yang mengatakan bahwa seseorang
mempunyai kebutuhan yang berhubungan dengan tempat dan
suasana dimana ia bekerja yaitu : upah yang layak, kesempatan
untuk maju, keamaman kerja, tempat kerja yang baik, perlakuan
yang wajar dan pengakuan akan prestasi. Dengan motivasi yang
baik maka seseorang akan mencapai produktivitas yang
maksimal dalam kerja.
PENUTUP
Setiap pemimpin organisasi/perusahaan bahkan setiap karwawan selalu
mendambakan suatu keberhasilan atau kesuksesan., karena kesuksesan merupakan
bagian tujuan yang menjadi suatu harapan dan tujuan yang ingin dicapai.
Dari pengalaman dalam dunia kerja dan pengamatan serta interview dari
beberapa responden secara non formal bahwa Gaya Dasar Kepemimpinan
demokratis sangat berpengaruh positif terhadap motivasi dan kedisiplinan dalam
produktivitas kerja karyawan. Hubungan antara pimpinan dan karyawan dapat
terjalin erat karena gaya kepemimpinan yang demokratis sehingga karyawan
termotivasi dan memiliki kesadaran moral dalam menjalankan tugasnya dengan
penuh kedisiplinan sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Boeree, C. George, 1998, Personalist Psychology : Abraham Maslow, diunduh
dari http://webspace.ship.edu/cgboer/maslow.html, tgl 28 Januari 2010.
Hasibuan, Melayu, S.P, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit CV.
Haji Mas Agung, Jakarta.
Hasibuan, Melayu, S.P, 1999, Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan
Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta.
Herujito, Yayat M, 2001, Dasar-dasar Manajemen, PT. Grasindo, Jakarta.
Kogan, Wandi, S.B, 199, Manajemen Organisasi dan Komunikasi, PT. Bumi
Aksara, Jakarta.
Mangkunegara, A.A Anwar Prabu, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mintorogo, A, 2001, Kepemimpinan Dalam Organisasi, STIA LAN Press, Jakarta
Nawari, Hadari, 2004, Kepemimpinan Yang Efektif, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Rivai, Veithzal, 2006, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Robert L. Malthis, John H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia
Jilid 1. Salemba empat, Jakarta.
Soekarso, 2003, Kepemimpinan, Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Siagian, Sondang P, 1995, Bunga Rampai Manajemen Modern, Gunung Agung,
Jakarta.
Siagian, Sondang P, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta,
Jakarta.
Shermerhorn, S.R, 1992, Motivasi dalam Perusahaan, Rineka Cipta, Jakarta
Soehardi, Sigit, 1983, Teori Kepemimpinan Dalam Manajemen, Penerbit
Armurrita, Yogjakarta.
Stoner, AF. James, 1994 Manajemen, Jakarta
Silalahi, Bennet, 1999, Permance Apprasial, Penilaian Unjuk Kerja, Jakarta
Tampubolon, Daulat Purnama, 2001, Perguruan Tinggi Bermutu, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Tomatala, Yakob, 1997, Kepemimpinan yang Dinamis, YT Leadership
Foundation, Jakarta.
Umar, Husen, 2000, Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Zainun, Buchori, 2004, Manajemen dan Motivasi, Balai Pustaka, Jakarta