BAB I PENDAHULUAN - Peranan Lembaga Adat Pakpak Dairi Sulang Silima Marga Angkat Dalam Pemilihan Kepala Desa Belang Malum Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 18, ayat 1 dikatakan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah –daerah provinsi, dari daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Dari pengertian Undang-undang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa desa merupakan bagian dari pemerintahan daerah.

  Peraturan perundang-undangan terakhir yang mengatur mengenai desa adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa memang tidak diatur dalam suatu undang-undang tersendiri, karena sesuai amanat UUD 1945 secara eksplisit tidak disebutkan kedudukan pemerintahan desa dalam susunan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, perlu dicermati bahwa dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi desa menjadi terdesentralisasi dan memiliki hak otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat untuk

   mengatur rumah tangganya sendiri dan bertanggungjawab terhadap Bupati atau Walikota.

  Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara – bangsa ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan

   entitas kekuasaan dari luar .

  Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Desa juga memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dalam

  

  ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Penyelenggaraan pemerintahan desa harus sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 202 tentang pemerintahan daerah.

  Pemerintahan desa, dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa,

  pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa ada 2 institusi yang mengendalikannya, yaitu Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

  Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

  Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala Desa adalah seorang 2 tokoh di desa yang memenuhi berbagai persyaratan dan berhasil memenangkan Pemilihan Kepala Desa. Kepala Desa dipilih oleh rakyat desa yang telah memiliki hak memilih dan dipilih secara langsung. Syarat dan tata cara pemilihannya diatur dalam peraturan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pasal 51 ayat 1 Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/Walikota.

  Pemilihan kepala desa merupakan pesta rakyat, dimana pemilihan kepala desa dapat diartikan sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan orang-orang yang dapat melindungi

  

  kepentingan masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki kesempatan untuk memilih secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpin di desanya. Pemilihan Kepala Desa tidak lepas dari partisipasi politik masyarakat desa. Partisipasi politik pada hakikatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkah- langkahnya) ke dalam simbol-simbol pribadi. Atau dengan perkataan lain, partisipasi politik adalah proses memformulasikan ulang simbol-simbol komunikasi berdasarkan tingkat rujukan yang dimiliki baik secara pribadi maupun secara kelompok (individual reference,

   social references ) yang berwujud dalam aktivitas sikap dan perilaku .

  Pemilihan Kepala Desa pada umumnya mendapat campur tangan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Demikian halnya dengan pemilihan Kepala Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi yang berlangsung pada bulan April tahun 2011. Salah satu pihak yang berperan dalam pemilihan kepala desa di Desa Belang Malum adalah Lembaga Adat Pakpak Dairi, dalam hal ini Sulang Silima Marga Angkat.

  Lembaga adat dapat diartikan sebagai suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar. Atau dalam pengertian lain lembaga adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan

   mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat .

  Sulang Silima Marga Angkat adalah salah satu dari tiga Lembaga Adat Pakpak yang ada di Kecamatan Sidikalang bersama Sulang Silima Marga Ujung, dan Sulang Silima Marga Bintang. Ketiga lembaga adat tersebut merupakan pemegang hak ulayat di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi. Desa Belang Malum merupakan daerah kekuasaan Marga Angkat. Desa Belang Malum menjadi tempat berdirinya Tugu Sulang Silima Marga Angkat dan merupakan tempat sekretariat Sulang Silima Marga Angkat. Sebagian besar masyarakat di Desa Belang Malum diluar Marga Angkat hanya berhak memakai dan mengolah tanah dan tanah tersebut sewaktu-waktu bisa dicabut hak pakainya oleh Lembaga Adat Sulang Silima Marga Angkat.

  Sulang Silima Marga Angkat sebagai pemangku adat dan pemegang hak ulayat di Desa Belang Malum menjadi modal yang kuat untuk memainkan peran dalam proses pemilihan Kepala Desa Belang Malum. Pada Pemilihan Kepala Desa Belang Malum tahun 2011 terdapat ada dua calon Kepala Desa yakni Sahat Hutauruk dan St. Elom Simanungkalit. Sehat Hutauruk merupakan Kepala desa Belang Malum periode 2006-2011 yang mencalonkan diri kembali menjadi kepala desa untuk yang kedua kalinya. St. Esrom Simanungkalit merupakan Sekertaris Desa Belang Malum periode 2006-2011. St. Esrom Simanungkalit merupakan calon kepala desa yang didukung oleh Sulang Silima Marga Angkat.

  Sulang Silima Marga Angkat menilai bahwa Sehat Hutauruk sebagai kepala desa di Desa Belang Malum periode 2006-2011 banyak melakukan peyimpangan yang melanggar aturan Hukum Adat Pakpak. Penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Sehat Hutauruk selama menjabat sebagai kepala desa dinilai jauh dari apa yang dijanjikannya ketika akan dipilih tahun 2006. Sulang Silima Marga Angkat tidak ingin kalau Sehat Hutauruk kembali menjabat sebagai Kepala Desa Belang Malum. Untuk mencegah Sehat hutauruk terpilih kembali maka Sulang Silima Marga Angkat memainkan peran dalam pemilihan Kepala Desa Belang Malum tahun 2011.

  Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti bagaimana peranan Sulang Silima Marga Angkat dalam proses pemilihan Kepala Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi. Dengan demikian penulis memberi judul penelitian ini dengan

  

Peranan Lembaga Adat Pakpak Dairi Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan Kepala

  Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi tahun 2011.

1.2 Rumusan Masalah

  Pemilihan kepala desa pada umumnya mendapat campur tangan dari beberapa pihak yang memiliki kepentingan. Demikian halnya dengan pemilihan Kepala Desa Belang Malum.

  Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, ada aktivitas politik yang dilakukan Sulang Silima Marga Angkat selaku lembaga adat yang memiliki kuasa atas hak milik tanah ulayat di Desa Belang Malum dalam pemilihan kepala desa tahun 2011. Aktivitas yang dilakukan Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan kepala desa berdampak pada hasil dari pemilihan kepala desa tersebut, dimana pemenang pemilihan merupakan calon yang sesuai dengan harapan lembaga adat tersebut.

  Maka berdasarkan pemaparan diatas, yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Bagaimana peranan Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan Kepala

  Desa Belang Malum tahun 2011?

  Adapun yang menjadi alasan penulis untuk meneliti peranan Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan Kepala Desa Belang Malum tahun 2011 adalah: 1.

  Sulang Silima Marga Angkat selalu mendapat perhatian khusus dari setiap calon kepala desa di Desa Belang Malum.

  2. Peranan Sulang Silima Marga Angkat berdampak pada hasil pemilihan Kepala Desa Belang Malum.

  3. Sulang Silima Marga Angkat selalu berperan dalam setiap pemilihan Kepala Desa Belang Malum.

1.3 Batasan Masalah

  Agar penelitian terfokus pada permasalahan, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalahnya. Adapun batasan masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Sulang Silima Marga Angkat merupakan salah satu dari tiga Lembaga Adat

  Pakpak yang ada di Kecamatan Sidikalang bersama Sulang Silima Marga Ujung, dan Sulang Silima Marga Bintang. Sulang Silima Marga Angkat merupakan pemegang kuasa atas hak milik tanah ulayat yang ada di Desa Belang Malum.

  2. Pemilihan kepala desa merupakan pesta rakyat, dimana pemilihan kepala desa dapat diartikan sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan orang-orang yang

  

  dapat melindungi kepentingan masyarakat desa . Kepala Desa dipilih oleh rakyat desa yang telah memiliki hak memilih dan dipilih secara langsung. Syarat dan tata cara pemilihannya diatur dalam peraturan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pasal 51 ayat 1 Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/Walikota. Penelitian ini terbatas pada pemilihan Kepala Desa Belang Malum tahun 2011.

1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1.

  Mendeskripsikan profil Desa Belang Malum dan Sulang Silima Marga Angkat.

2. Mendeskripsikan peran Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan Kepala Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi tahun 2011.

1.5 Manfaat Penelitian

  Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1.

  Manfaat akademik Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan untuk memperkaya analisis teori di bidang ilmu sosial dan ilmu politik, khususnya dalam studi politik lokal.

  2. Manfaat keilmuan Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang lain untuk memahami politik di tingkat desa.

  3. Manfaat praktis Penelitian ini bermanfaat sebagai masukan yang berguna bagi pengambil kebijakan khususnya tentang desa.

1.6 Kerangka Teori

  Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang penulis perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir umtuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti

  

  masalah yang telah dipilih . Hal ini menjadi penting karena disamping sebagai landasan berfikir, kerangka teori akan digunakan sebagai pisau analisis dalam mengkaji masalah yang telah dipaparkan diatas. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, dan defenisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis

  

  dengan cara merumuskan hubungan antar kosep . Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori kekuasaan, teori budaya politik, dan teori partisipasi poitik

1.6.1 Kekuasaan

  Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi

  

  seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku . Konsep kekuasaan erat sekali hubungnnya dengan konsep kepemimpinan. Dengan kekuasaan pimpinan memperoleh alat untuk mempengaruhi pengikutnya.

  Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah dari yang memerintah. Tidak ada persamaan martabat, hirarki hadir sebagai aturan utama, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Paksaan tidak selalu perlu dipakai secara gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.

  Kekuasaaan merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang 8 yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi lain.

  Legitimasi sebagai dasar berfungsinya kekuasaan bisa bermacam macam, di dalam perspektif lebih teknis rincian dari sumber kekuasaan khususnya secara formal administrartif ada 6 sebagai berikut :

  

1. Kekuasaan balas jasa (reward power) yaitu kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari

  sejumlah balas jasa yang bersifat positif (uang perlindungan, perkembangan karir, janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan perintah ataub persyaratan lain. Faktor ketundukan seseorang pada kekuasaan dimotivisir oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang

  

  

2. Kekuasaan paksaan ( coercive power ) berasal dari perkiraan yang dirasakan orang

  bahwa hukuman (dipecat, ditegur) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan menjadi suatu motivasi yang bersifat refresif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melakukan seperti

  

  

3. Kekuasaan legitimasi (legitimate power ), yaitu kekuasaan yang berkembang atas dasar

  dan berangkat dari nilai nilai intern yang mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan mempunyai hak sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu pada sisi lain seorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi demikian bisa diperoleh 11 atas dasar aturan formal tetapi bisa juga bersumber pada kekuasaan yang muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukkan

   .

  

4. Kekuasaan pengendalian atas informasi, kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan

  atas suatu pengetahuan dimana orang lain tidak mempunyai. Cara ini digunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain yang mau tidak mau tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur segala sesuatu yang berkenaan denga peredaran informasi, atas legitimasi

   kekuasaan yang dimiliki .

  

5. Kekuasaan panutan (referent power ), kekuasaan ini muncul di dasarkan atas pemahaman

  secara kultural dari orang orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin tersebut sebagai panutan atau simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiusitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan

  

  

6. Kekuasaan keahlian (expert power), kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempaan

  yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seorang menjadi winasis dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya itu. Sang pemimpin bisa merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimiliki karena adanya kepentingan terhadap

   keahlian sang pemimpin.

  Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, atau kepercayaan. Cakupan 13 kekuasaan menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang 14 Ibid. Hal. 4

  menjadi objek dari kekuasaan. Istilah wilayah kekuasaan menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelaku, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena kekuasaan.

  Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang atau simetris.

  Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency); dan lebih timpang hubungan ini, lebih besar pula sifat ketergantungannya. Hal ini oleh generasi pemikir dekade

   20-an sering disebut sebagai dominasi, hegemoni, atau penundukan .

  Konsep yang selau dibahas bersama dengan kekuasaan adalah pengaruh. Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan pengaruh.

  Namun dalam forum diskusi ilmiah sering dipertanyakan apakah kekuasaan dan pengaruh merupakan dua konsep yang berbeda, dan apakah satu diantaranya merupakan konsep pokok, dan yang lainnya bentuk khususnya.

  Pengaruh biasanya tidak merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku seseorang, dan sering bersaing dengan faktor lain. Bagi pelaku yang dipengaruhi masih terbuka alternatif lain untuk bertindak. Akan tetapi, sekalipun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan dengan kekuasaan, ia kadang-kadang mengandung unsur psikologis dan

   menyentuh hati, dan karena itu sering kali cukup berhasil .

1.6.2 Budaya Politik

  Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Budaya politik terdiri dari serangkaian keyakinan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang melatar belakangi situasi dimana suatu peristiwa politik terjadi.

  Almond dan Verba

   mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang

  khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan

   simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.

   Kebudayaan politik suatu bangsa adalah merupakan distribusi pola-pola orientasi

  khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Orientasi itu mengacu pada

  

  aspek-aspek dan obyek yang dibakukan serta hubungan antar keduanya, termasuk: 1.

  Orientasi Kognitif : pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input, dan outputnya.

  2. Orientasi afektif : perasaan terhadap sistem politik; peranannya, para aktor dan penampilannya.

  3. Orientasi evaluatif : keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

  Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan, budaya politik terdiri atas 2 jenis yaitu budaya politik yang memiliki sikap mental absolut dan budaya politik yang memiliki sikap mental akomodatif.

  a.

  Budaya politik yang memiliki sikap mental absolut adalah budaya politik yang memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.

  Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak

   memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

  b.

  Budaya politik yang memiliki sikap mental akomodatif adalah budaya politik dengan struktur mental yang terbuka dan bersedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali

   tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai sesuatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya dan harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Sedangkan, tipe akomodatif dari budaya politik melihat bahwa perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

  Berdasarkan orientasi politiknya, budaya politik juga memiliki jenis. Dalam realitas yang

  ditemukan, budaya politik memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik kedalam 3 jenis yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula, dan budaya politik partisipan.

  Kebudayaan politik parokial (parochial political culture) yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Menyangkut budaya yang terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat provincial. Karena wilayah yang terbatas acapkali pelaku politik sering memainkan peranannya seiring dengan deferensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri. Yang menonjol dalam budaya politik adalah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan dan kekuasaan politik

   dalam masyarakat .

  Kebudayaan politik kaula (subyak political culture) merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang relatif baik untuk unsur pengetahuan umum mengenai sistem politik dan output politik tetapi rendah dalam pengetahuan mengenai input sistem politik serta partisipasi politik yang pasif. Mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja kepada segala

  

  Kebudayaan politik partisipan, yaitu masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman yang tinggi mengenai semua unsur di atas dan memiliki tingkat partisipasi politik yang aktif.

  Masyarakat dakam tipe budaya ini memiliki sikap yang kritis untuk memberi penilaian

   terhadap sistem politik dan hampir pada semua aspek kekuasaan .

  Mengenai kebudayaan politik dan konstektualitas fungsi analisanya Almond dan Verba menyatakan bahwa hubungan antara sikap-sikap dan motivasi individu yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membentuk sistem-sistem politik dan karakter politik serta penampilan sistem politik dapat dilacak secara sistematis melalui konsep budaya politik. Dengan kata lain budaya politik adalah rantai penghubung antara mikro dan makro politik.

  23

  Pendekatan budaya politik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan politik dalam lingkup komunitas tertentu.

1.6.3 Partisipasi Politik

  Pelaksanaan partisipasi dari warga negara/masyarakat dalam salah satu contoh keputusan yang dibuat oleh pemerintah yakni pemilihan umum di tingkat pusat dan di tingkat desa disebut pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa tidak akan berjalan lancar apabila tidak ada partisipasi politik dari masyarakat desa. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara baik secara langsung atau tidak langsung dan mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau

   anggota perlemen, dan sebagainya.

  Defenisi partisipasi politik menurut Inu Kencana Syafii dalam bukunya yang berjudul Sistem Pemerintahan Indonesia, yaitu partisipasi politik adalah kegiatan warga negara sipil

  

  yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah enurut Soemarsono dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Politik, partisipasi politik pada hakikatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkah-langkahnya) kedalam simbol-simbol pribadi. Atau dengan perkataan lain, partisipasi politik adalah proses memformulasikan ulang simbol-simbol komunikasi berdasarkan tingkat rujukan baik secara pribadi maupun secara kelompok (individual reference, social

   references ) yang berwujud dalam aktivitas sikap dan perilaku .

  Sementara menurut Rafael Raga Maran dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosisologi Politik bahwa partisipasi politik sebagai usaha yang terorganisir oleh para warga negara untuk memilih pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum. Usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara. Dalam hal ini, partisipasi politik berbeda dengan mobilisasi politik, yaitu usaha pengerahan massa oleh

   golongan elite politik untuk mendukung kepentingan-kepentingannya .

  Sedangkan menurut Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrew dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Sistem Politik, paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik ini antara lain: 1.

  Modernisasi, komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media komunikasi massa. Ketika penduduk kota baru yang buruh, pedagang mempengaruhi nasib mereka sendiri, mereka makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan

   politik .

  2. Perubahan-perubahan Struktur Kelas Sosial, begitu bentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama prosesindustrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik

   menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik .

  3. Pengaruh kaum Intelektual dan Komunikasi massa modern; kaum intelektual, sarjana, 28 filsuf, pengarang dan wartawan sering mengemukakan ide-ide seperti egalitarisme dan 29 Soemarsono. Op. Cit. 30 Rafael Raga Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 147 nasioalisame kepeda masyarakat umum untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi

  

  4. Konflik di antara Kelompok-Kelompok pemimpin politik; kalau timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang

   saling berhadapan adalah mencari dukungan rakyat .

  5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial ekonomi dan kebudayaan; perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijaksanaan baru biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintahan menjadi semakin menyusup ke segala segi kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu- individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat dipengaruhi oleh tindakantindakan pemerintah yang mungkin dapat ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk

   ikut serta dalam pembuatan keputusan politik .

  Para ahli sosiologi politik telah merumuskan berbagai macam tipologi partisipasi politik. Huntington dan Nelson (1994: 16-17) menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang meliputi: 1.

  Kegiatan pemilihan, mencakup suara, juga sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang

   bertujuan memengaruhi hasil proses pemilihan .

  2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud memengaruhi keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Seperti, kegiatan yang

  32 33 Ibid. Hal. 43

  ditujukan untuk menimbulkan dukungan bagi atau oposisi terhadap suatu usul legislatif

   atau keputusan administratif tertentu .

  3. Kegiatan orientasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organiosasi yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah memengaruhhi pengambilan

   keputusan pemerintah .

  4. Mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat pemerintah yang biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu

   orang atau segelintir orang .

  5. Tindak kekerasan (violence) juga dapat merupakan suatu bentuk partisipasi politik, dan untuk analisia ada manfaatnya untuk mendefenisikannya sebagai satu kategori tersendiri; artinya sebagai upaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan

  

  Di negara-negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang- orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan. Masyarakat sedikit banyak dapat memengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan

   kata lain, kegiatan mereka mempunyai efek politik.

  Dalam masyarakat primitif, dimana politik cenderung erat terintegrasi dengan 36 masyarakat pada umumnya, partisipasi condong tinggi dan mungkin sulit untuk 37 Ibid. Hal. 188 38 Prof. Dr. Damsar. Op. Cit. membedakannya dari kegiatan yang lain. Akan tetapi, dalam masyarakat berkembang, karena adanya kombinasi dari institusi dan pengaruh modern dan tradisional, partisipasi mungkin dibatasi oleh faktor-faktor seperti tingkatan melek huruf dan masalah umum dari komunikasi.

1.7 Metodologi Penelitian

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif,

   dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi .

1.7.1 Jenis Penelitian

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Moh. Nasir dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sosial mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran / lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifatserta hubungan antara

  

  Pengertian lain dari penelitian kualitatif deskriptif menurut Soehartono adalah bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau tentang suatu kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua

  

  gejala atau lebih . Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk

  41 memberikan gambaran mengenai peranan Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan Kepala Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi.

  1.7.2 Lokasi Penelitian

  Lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian adalah Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dikarenakan Desa Belang Malum desa selalu mendapat campur tangan dari Lembaga Adat Sulang Silima Marga Angkat ketika mengadakan pemilihan kepala desa. Desa Belang Malum merupakan salah satu desa tertua yang menjadi wilayah kekuasaan Sulang Silima Marga Angkat. Desa Belang Malum juga merupakan desa tempat berdirinya tugu Sulang Silima Marga Angkat sebagai sekretariat Marga Angkat Kabupaten Dairi.

  1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

  Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa data kualitatif sebagai berikut: 1. Data Primer, yang diperoleh melalui wawancara secara langsung kepada narasumber yaitu masyarakat Desa Belang Malum, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan juga pengurus Lembaga Adat Sulang Silima Marga Angkat Kabupaten Dairi, dimana pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka tergantung pada objek lapangan.

  Adapun narasumber yang akan diwawancarai untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain: a.

  Ketua Sulang Silima Marga Angkat se-Indonesia, Abdul Angkat SH.

  b.

  Kepala desa terpilih St. Elom Simanungkalit.

  c.

  Calon Kepala desa tahun 2011, Sahat Hutauruk.

  d.

  Tokoh masyarakat, Tumbur Simorangkir. e.

  Anggota Sulang Silima Marga Angkat sekaligus panitia pemilihan Kepala Desa Belang Malum tahun 2011, Ucok Angkat.

  f.

  Ketua panitia pemilihan Kepala Desa Belang malum tahun 2011, Bangun Samosir 2. Data Sekunder, yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan masalah penelitian seperti melalui buku, koran dan dokumen.

1.7.4 Teknik Analisa Data

  Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Maka teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, ,menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan

   membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami diri sendiri dan orang lain .

1.8 Sistematika Penulisan

  Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan untuk mempermudah isi, maka penelitian ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab, yaitu:

  BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : PROFIL DESA BELANG MALUM DAN SULANG SILIMA MARGA ANGKAT

  Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum tentang deskriptif lokasi penelitian seperti profil Desa Belang Malum, dan gambaran umum Lembaga Adat Sulang Silima Marga Angkat.

  BAB III : PERANAN SULANG SILIMA MARGA ANGKAT DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA BELANG MALUM Bab ini akan memuat hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai peranan lembaga adat Sulang Silima Marga Angkat dalam pemilihan Kepala Desa Belang Malum tahun 2011.

  BAB IV : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan analisis dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.