BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Akses Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Studi Kasus Di Desa Sempung Polding Kecamatan Lae Parira Kabupaten Dairi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pusataka

2.1.1 Konsep Pangan dan Ketahanan Pangan

  Pangan merupakan merupakan komoditas penting dan strategis karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan yakni kecukupan pangan menenetukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa. Oleh karena itu untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, pangan harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, merata, aman, bermutu, bergizi, beragam, dan dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (Sutawi, 2007). Penggolongan pangan yang digunakan oleh FAO dikenal sebagai Desirable

  

Dietary Pattern (Pola Pangan Harapan/PPH). Pola Pangan Harapan/PPH sebagai

  salah satu pendekatan penentuan tingkat pencapaian mutu konsumsi pangan telah mencakup aspek keseimbangan zat gizi dari pola konsumsi pangan rumah tangga.

  Kelompok pangan dalam PPH ada sembilan yaitu : 1)

  Padi-padian adalah pangan yang berasal dari tanaman serelia yang biasa dikonsumsi sebagai pangan pokok seperti padi, jagung, gandum, sorgum, dan produk olahan lainnya.

  Umbi-umbian adalah pangan yang berasal dari akar/umbi yang biasa dikonsumsi sebagai pangan pokok seperti singkong, ubi jalar, kentang, sagu, talas, serta produk turunannya. 3)

  Pangan hewani adalah kelompok pangan yang terdiri daging, telur, susu, dan ikan serta hasil olahannya.

  4) Minyak dan lemak adalah bahan makanan yang berasal dari nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak kedelai, minyak jagung, minyak kapas serta yang berasal dari hewani yaitu minyak ikan.

  5) Buah/biji berminyak adalah pangan yang relatif mengandung minyak baik dari buah atau bijinya seperti kacang mete, kelapa, kemiri maupun wijen.

  6) Kacang-kacangan adalah biji-bijian yang mengandung lemak tinggi seperti kacang tanah, kacang tunggak, kacang hijau, kacang merah, kacang kedelai serta juga olahannya.

  7) Gula terdiri dari gula pasir dan gula merah (gula mangkok, gula aren, gula semut, dan lain-lain) serta produk olahannya.

  8) Sayuran dan buah adalah sumber vitamin dan mineral yang berasal dari bagian tanaman yaitu daun, bunga, batang, umbi atau buah.

  9) Lain-lain adalah bumbu-bumbuan yang berfungsi sebagai penyedap dan penambah cita rasa pangan olahan (Karsin, 2004).

  Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI menyarankan bahwa angka kecukupan konsumsi energi adalah 2.200 kkal/kapita/hari. Komposisi konsumsi pangan yang disarankan adalah energi utama yang berasal dari kelompok padi-padian (50,0%), minyak dan lemak (10,0%), dan pangan hewani (12,0%). Kontribusi kelompok pangan lainnya (umbi-umbian, sayur, dan buah) masing-masing 6,0%, kacang-

  (Rachman dan Ariani, 2002). Ketahanan pangan merupakan suatu wujud dimana masyarakat mempunyai pangan yang cukup di tingkat wilayah dan juga di masing-masing rumah tangga, serta mampu mengakses pangan dengan cukup untuk semua anggota keluarganya, sehingga mereka dapat hidup sehat dan bekerja secara produktif. Ada dua prinsip yang terkandung dalam ketahanan pangan, yaitu tersedianya pangan yang cukup

  a dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan (Anonimus , 2011).

  Menurut Dewan Badan Ketahanan Pangan (Dewan BKP 2001),ketahanan pangan mengandung perspektif makro, yaitu penyediaan panganyang cukup bagi seluruh penduduk di tingkat daerah maupun nasional, sertaperspektif mikro, yaitu kemampuan setiap rumahtangga mengakses pangan yangcukup, aman, dan bergizi, sesuai dengan kebutuhan setiap individu. Ketahananpangan dapat terwujud apabila seluruh penduduk mempunyai akses fisik, sosial danekonomi terhadap pangan untuk pemenuhan kecukupan gizi yang dibutuhkanguna menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya.

  Banyak indikator yang digunakan untuk melihat ketahanan pangan, namun beberapa diantaranya sulit diukur. Indikator yang baik mempunyai ciri cukup sederhana untuk pengumpulan dan penafsiran, objektif, dapat diukur dengan angka, dan responsif terhadap perubahan-perubahan akibat adanya program.

  Seharusnya indikator ketahanan pangan dapat merepresentasikan jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi sesuai norma gizi (Suhardjo, 1989). adalah ketersediaan pangan yaitu tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. Namun, indikator ini masih bersifat makro, karena bisa saja pangan tersedia, tapi tidak dapat diakses oleh masyarakat.Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum cukup.Untuk itu diperlukan pemahaman kinerja konsumsi pangan.Indikator yang dapat digunakan adalah tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi pangan, keduanya menunjukkan tingkat aksesibilitas fisik dan ekonomi tehadap pangan (DKP, 2003).Walaupun pangan tersedia pada suatu wilayah, jika tidak dapat diakses masyarakat maka kinerjanya rendah.Aksesibilitas tersebut menggambarkan aspek pemerataan dan keterjangkauan.Karena menurut PP No.68/2002, pemerataan mengandung makna adanya distribusi pangan keseluruh wilayah sampai tingkat rumah tangga, sedangkan keterjangkauan adalah keadaan dimana rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif. Karena itu ukuran ketahanan pangan yang akan dikemukakan di sini meliputi pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi energi dan protein.

  Secara umum, ketahanan pangan mencukup empat aspek yakni kecukupan (suffiency), akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time). Berdasarkan empat aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang sebagai suatu sistem yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu : a.

  Ketersediaan dan stabilitas pangan (food avaibility and stability) Komponen ini dipengaruhi oleh sumber daya (alam, manusia, dan sosial) dan produksi pangan (on farm and off farm)

  Kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan produksi pangan.Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga yaitu meliputi tenaga kerja dan modal.

  c.

  Pemanfaatan pangan (food utilization). Komponen ini mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya ke dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan.Dimensi pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi (Setiawan, 2004).

  Secara hakiki ketahanan pangan (food security) dapat diartikan sebagai terjaminnya akses pangan untuk segenap rumah tangga dan individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat. Ketahanan pangan ditentukan secara bersama antara ketersediaan pangan dan akses individu atau rumah tangga untuk mendapatkannya, dimana akses yang dimiliki meliputi akses fisik, sosial, dan akses ekonomi dalam memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehatdan produktif dari hari ke hari (Nurmala, 2012).

2.1.2 Akses Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah

  Rumah tangga petani padi merupakan satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi, konsumsi, curahan tenaga kerja dan reproduksi.

  Rumah tangga petani padi dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi konsumsi, maupun tenaga kerja dan mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki (Purwita dkk, 2009).

  Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga petani padi dapat dipandang sekaligus sebagai perusahaan pertanian (produsen), tenaga kerja, dan konsumen. Dengan dihadapkan pada proses pengambilan keputusan baik keputusan produksi, konsumsi, dan tenaga kerja maka tujuan yang ingin dicapai rumah tangga petani dari pengambilan keputusan tersebut masing-masing adalah untuk memaksimumkan profit dan utilitas (Purwita dkk,2009).

  Akses pangan tingkat rumah tangga merupakan kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara terus-menerus melalui berbagai cara seperti produksi pangan rumah tangga, persediaan pangan rumah tangga, jual-beli, tukar-menukar/ barter, pinjam-meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan.

  Rumah tangga petani padi dapat mengakses pangan melalui beberapa cara seperti produksi rumah tangga (hasil panen, hasil beternak atau hasil budidaya perikanan), berburu, mencari ikan atau mengumpulkan pangan yang hidup di alam liar, mendapatkan bantuan/pemberian pangan melalui bantuan sosial, bantuan dari pemerintah, distribusi-distribusi NGO atau food for work project (pangan hasil imbalan pekerjaan), serta barter/tukar-menukar atau membeli dari pasar (World Food Programme, 2005).

  World Food Programme (2005) menjelaskan mengenai pengkajian akandampak

  krisis/tekanan terhadap keluarga dalam berbagai kelompok populasiterhadap akses pangan dan uang yang mereka butuhkan untuk membelipersediaan dan layanan berikut:

  • Matapencaharian. Aset-aset matapencaharian (sumberdaya alam,sumberdaya manusia, secara fisik, sosial, politik dan keuangan) dan sistemyang ada (politik, ekonomi, sosial, struktur kekuasaan/hukum) dapatmempengaruhi aktivitas matapencaharian.
  • Konsumsi pangan. Pola konsumsi pangan yang ditandai olehkeanekaragaman pangan dan frekuensi konsumsi pangan.
  • Sumber pangan. Sumber pangan yang berbeda relatif penting, biasanyaberasal pembelian di pasar, produksi sendiri (hasil panen, ternak, budidayaperikanan), memanen/mengumpulkan pangan dari alam/lingkungan(pertemuan/hajatan, pemburuan, mencari ikan), dan pemberian (termasuk hadiah-hadiah, pinjaman- pinjaman, program-program bantuan pangan)
  • Sumber pendapatan. Sumber pendapatan yang berbeda relatif penting, biasanya berasal dari penjualan hasil panen (pangan atau hasil panen yangdiperdagangkan), penjualan ternak atau produk-produk ternak,ketenagakerjaan, penjualan dari produk-produk/sumberdaya alam (sepertiikan, pangan yang hidup liar di alam, kayu bakar), penjualan lainnya sepertiproduk-produk nonagrikultur hasil kerajinan rumahtangga, perdagangan, uangpemberian (hadiah, kiriman, pinjaman.
  • Pengeluaran. Pola dan tingkat pangeluaran pangan maupun nonpangan rumah tangga. Pengeluaran nonpangan yang penting termasuk sewa rumah, air, pelayanankesehatan, pendidikan anak, bahan bakar untuk memasak, dan pembayaran hutang.

2.1.3 Pengeluaran Rumah Tangga

  memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk.Tingkat pengeluaran rumah tangga terdiri atas dua kelompok yaitu pengeluaran untuk makanan (pangan) dan bukan makanan (nonpangan).Tingkat kebutuhan/permintaan terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda-beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BKP Kota Medan, 2010).

  Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan elastisitas terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi.Keadaaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan (saving) atau diinvestasikan (BKP Kota Medan, 2010).

  Dengan demikian, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan penduduk (BKP Kota Medan,2010).

2.1.4 Pangsa Pengeluaran Pangan

  dalam pangsa pengeluaran rumah tangga untuk membeli makanan atau disebut Pangsa Pengeluaran Pangan ( Rachman, dkk, 1996).

  Yang dimaksud dengan pangsa pengeluaran pangan pada tingkat rumah tangga adalah rasio pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga.

  Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada tingkat rumah tangga menggunakan rumus sebagai berikut : %

  = Dimana : PF = Pangsa Pengeluaran Pangan (%) PP = Pengeluaran untuk pangan rumah tangga (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan) (Sinaga dan Nyak Ilham, 2002).

  Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator pangan, makin besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin berkurang.Makin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya (Deaton dan Muelbauer, 1980).

2.2.1 Pola Konsumsi Rumah Tangga

  Teori Engel’s menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga maka semakin rendah persentase pengeluaran konsumsi makanan.Berdasarkan teori klasik ini, maka suatu rumha tangga bisa dikategorikan sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil daripada persentase pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan rumah tangga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan nonpangan. Jadi jelas bahwa pendapatan seseorang sangat menentukan ketahanan pangan (Sjirat, 2004). Dalam teori kesejahteraan, kurva indeferen individu dapat diangkat menjadi kurva indeferen masyarakat, sehingga jika kesejahteraan individu meningkat maka kesejahteraan masyarakat (lokal, regional, dan nasional) juga meningkat. Dengan demikian ada hubungan antara pangsa pengeluaran dengan ketahanan pangan.

  Perhitungan pangsa pengeluaran pangan rumah tangga adalah sebagai berikut : %

  = Dimana : PF = Pangsa pengeluaran pangan (%) PP = Pengeluaran untuk belanja pangan rumah tangga (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran rumah tangga (Rp/bulan) pengeluaran pangan tinggi ( ≥ 60% pengeluaran total), maka kelompok/rumah tangga tersebut merupakan golongan yang relatif kurang sejahtera atau keluarga yang rawan pangan. Sementara itu, apabila pangsa pengeluaran pangan rendah (< 60% pengeluaran total), maka kelompok/rumah tangga tersebut golongan yang sejahtera atau keluarga yang tahan pangan (Rachman, 2005).

2.2.2 Indikator Analisis Akses Pangan Pedesaan

  a. Akses Fisik Akses pangan menunjukkan adanya jaminan bahwa setiap individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mengakses kebutuhan pangansesuai norma gizi.

  Jumlah pangan yang cukup dapat berasal dari kegiatan fisikmelalui produksi sendiri atau pun dengan membeli.Persediaan pangan wilayah yang mencukupi kecukupan pemenuhan kebutuhan pangan setiap individu dalam wilayah tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin akses panganwilayah tersebut.Pangan harus dapat tersedia secara fisik untuk seluruh anggotakeluarga.Pangan juga harus tersedia secara terus-menerus dalam suatupasar/warung dimana rumahtangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkannya (Sharma 1992). Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsiakan dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan.Kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh sarana fisik seperti tersedianya sarana pasar yang cukup dalam mempermudah memperoleh pangan (Penny 1990). tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok.Wilayah/daerah tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabilatidak memiliki pasar dalam wilayah/daerah tersebut, namun jarak terdekatwilayah/daerah tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokokkurang dari dan atau sama dengan 3 km. Dikatakan akses pangannya rendahapabila jarak terdekat dengan pasar lebih dari 3 km (Deptan, 2007).

  2.Akses Ekonomi Akses ekonomi terkait dengan daya beli masyarakat terhadap pangan.Meskipun secara fisik pangan tersedia namun jika daya beli masyarakatnya rendah maka kemampuan masyarakat tersebut untuk memperoleh pangan juga rendah (akses masyarakat terhadap pangan rendah) (BKP Kota Medan, 2010).

  Akses pangan bergantung pada daya beli rumah tangga yang merupakan fungsi dari akses terhadap mata pencaharian. Ini berarti akses pangan terjamin seiring terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang. Dengan kata lain, keterjangkauan pangan bergantung pada kesinambungan mata pencaharian. Mereka yang tidak menikmati kesinambungan dan kecukupan pendapatan akan tetap miskin. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak mempunyai akses yang cukup terhadap sumber nafkah yang produktif. Semakin besar jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan di wilayah tersebut. Indikator ini menunjukkan kemampuan untuk mendapatkan cukup pangan karena rendahnya kemampuan daya beli atau hal ini menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dll (BKP Kota Medan, 2010). pangan. Pengukuran operasional atas permintaan akan pangann tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk memonitor aksesekonomi rumahtangga akan pangan, yaitu pendapatan/pengeluaran dan harga(Sharma 1992).

  3. Akses Sosial Akses sosial rumahtangga terhadap pangan merupakan suatu akses/cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui berbagai dukungan sosial, seperti bantuan/dukungan sosial dari keluarga/kerabat, tetangga, serta teman. Bantuan/dukungan dari saudara/kerabat, tetangga, atau teman dapat berupa bantuan pinjaman uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain sebagainya. Selain dari dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya.

  Pendidikan merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi akses pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kesempatannya untuk memperoleh pekerjaan/pendapatan yang lebih baik sehingga semakin tinggi pula kemampuan daya belinya (semakin tinggi aksesnya terhadap pangan) (BKP Sumut, 2010).

2.2.3 Pendapatan Rumah Tangga Petani

  Pendapatan petani diharapkan mencerminkan tingkat kekayaan dan besarnya modal yang dimiliki petani. Pendapatan yang besar mencerminkan tersedianya menurunnya investasi dan upaya pemupukan modal (Soekartawi, 1995). Penerimaan atau pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode diperhitungkan dari hasil penjualan atau jumlah produksi dikalikan dengan harga jual (rupiah). Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

  TR = Yx Py Dimana : TR = Total Penerimaan (Rp)

  Y = Produksi yang diperoleh dalam usahatani Py = Harga Y (Rp)

  (Rahim dn Hastuti, 2008) Dalam menjalankan suatu usahatani dibutuhkan biaya. Biaya adalah pengorbanan- pengorbanan yang mutlak harus diadakan atau dikeluarkan agar dapat diperoleh suatu hasil. Untuk menghasilkan suatu baranag dan jasa tentu ada bahan baku, tenaga kerja dan jenis pengorbanan lain yang tidak dapat dihindarkan. Tanpa adanya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak akan dapat diperoleh hasil (Wasis, 1992).

  Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani. Biaya usahatani biasanya dibedakan menjadi dua yakni biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap ini umumnya didefinisikan sebagai baiaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya baiaya tetap tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (Soekartawi, 1995).

  Cara menghitung biaya tetap adalah : FC =

  � Xi. PXi

  

=1

  Dimana : FC = Biaya tetap (Rp) X i = Jumlah fisik input yang membentuk biaya tetap PX i = Harga input (Rp) n = jenis input

  Rumus diatas juga dapat dipakai untuk menghitung biaya variabel. Karena total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), maka : TC = FC + VC (Soekartawi, 1995).

  Dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost) dapat diperoleh penerimaan dan pendapatan suatu usaha. Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikali dengan harga jual. Sedangkan pendapatan adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi satu kali periode produksi.

  Pendapatan petani adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya per usahatani dengn satuan (Rp). Rumus menghitung pendapatan petani adalah sebagai berikut : Pendapatan (I) = Peneriman (R) – Biaya Total (TC) Penerimaan (R) = P y .Y

  Y = Jumlah Produksi (Kg) Biaya Total (TC) = Biaya Tetap (FC) + Biaya Tidak Tetap (VC) (Suratiyah, 2006).

  Khusus rumah tangga petani yang biasanya terdapat di pedesaan untuk pemenuhan kebutuhan diperlukan pendapatan, baik dari pekerjaan pokok sebagai petani maupun pekerjaan sampingan dari anggota keluarga yang bekerja (Rahim dan Diah, 2008) Pendapatan rumah tangga petani dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

  n m

  Y = i j ∑ (P) ∑ (NP)

  • i=1 j=1

  Dimana : Y = total pendapatan rumah tangga P = pendapatan rumah tangga dari kegiatan usahatani NP = pendapatan rumah tangga dari kegiatan non usahatani i = 1 ... n = usahatani di beberapa sub sektor dari anggota rumah tangga j = 1 ...n = non usahatani dari berbagai kegiatan anggota rumah tangga (Rahim dan Diah, 2008).

  Dengan ketentuan : Pendapatan rumah tanggapetani dikatakan tinggi apabila pendapatan rumah tangga petani per bulan lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) dan sebaliknya dikatakan rendah apabila pendapatan rumah tangga petani per bulan lebih rendah dari Upah Minimum Regional (UMR).

  Akses pangan rumah tangga petani dapat dilihat dari akses fisik, akses sosial, dan akses ekonomi.Akses fisik dari rumah tangga petani dilihat dari adanya jarak ke pasar dan ketersediaan pangan di pasar tempat tinggal petani.Akses sosial dari rumah tangga petani dapat dilihat dari tingkat pendidikan petani, dan akses ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan petani padi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar pula kesempatannya untuk memperoleh pekerjaan/pendapatan yang lebih baik sehingga semakin tinggi pula daya belinya (semakin tinggi aksesnya terhadap pangan).Secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pendapatannya. Dari pendapatan petani dapat dilihat besar total pengeluaran rumah tangga yang dipakai untuk membeli kebutuhan akan pangan maupun nonpangan. Tingkat pendapatan petani yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi rumah tangga petani untuk memilih pangan dalam jumlah maupun jenisnya. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan akan terpenuhi. Pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua yakni pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk nonpangan. Besar pangsa pengeluaran untuk pangan maupun nonpangan dapat dianalisis dari total pengeluaran rumah tangga tersebut.

  Akses Pangan Akses Fisik Akses Sosial Akses

  Ekonomi Pendapatan

  Tingkat

  • Jarak Pasar

  Rumah Tangga Pendidikan

  • Ketersediaan Pangan di Pasar

  Total Pengeluaran Rumah Tangga

  Pengeluaran Pengeluaran

  Pangan Nonpangan

  Pangsa Pengeluaran Pangan

  Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan gambar :

  : Menyatakan hubungan : Menyatakan pengaruh

1. Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah di daerah penelitian lebih tinggi dari Upah Minimum Kabupaten Dairi.

  2. Pangsa pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah petani di daerah penelitian dikatakan rendah karena pangsa pengeluaran < 60% dari pengeluaran total.

  3. Akses pangan rumah tangga petani padi sawah secara fisik di daerah penelitian dikategorikan sedang, akses ekonomi dikategorikan tinggi dan akses sosial dapat dikategorikan sedang.

Dokumen yang terkait

Akses Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Studi Kasus Di Desa Sempung Polding Kecamatan Lae Parira Kabupaten Dairi

2 48 112

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Hubungan Antara Karakteristik Petani Peternak Sapi Dengan Kinerja Penyuluh (Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat)

0 3 11

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang Kedelai

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Finansial Dan Pemasaran Stroberi Di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo

0 0 18

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Pencapaian Swasembada Pangan Beras dan Upaya-Upaya yang Dilakukan Di Kabupaten Samosir

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Studi Mengenai Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Hortikultura Kabupaten Karo

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Strategi Pengembangan Kud Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Usaha Tani Padi Organik (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang B

1 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Tataniaga Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 22

Akses Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Studi Kasus Di Desa Sempung Polding Kecamatan Lae Parira Kabupaten Dairi

0 0 31