BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoretis - Marhata Dalam Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoretis

  Penelitian ini menyajikan analisis percakapan sebagai wacana lisan untuk dengan topik marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Istilah analisis percakapan digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang disampaikan dari perspektif disiplin ilmu yang sangat luas. Eggin and Slade (1997:23) menyatakan bahwa terdapat beberapa perspektif dalam menganalisis percakapan sebagai interaksi lisan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etnometodology, sociolinguistic,

  logico-philosophic, structural-functional, dan social semiotic.

  Dari perspektif etnometodology, pendekatan analisis percakapan merupakan bagian kajian wacana. Kajian sosiolingusitik merujuk pada tiga pendekatan, yaitu ethnography of Speaking, Interactional Sociolinguistics, dan

  

Variation Theory. Logico-philosophic berhubungan dengan teori tindak tutur

  (Speech Acts) dan pragmatik (Pragmatics). Structural-functional menggambarkan dua pendekatan seperti Birmingham School dan Systemic Functional Linguistics, dan Social-Semiotic mengacu pada Critical Discourse Analysis.

2.1.1 Analisis Percakapan

  Analisis Percakapan merupakan bagian dari ilmu sosiologi, yang juga dinamakan ethnomethodology, yaitu studi terperinci bagaimana manusia mengatur atau mengelola kehidupan mereka sehari-hari. Teori analisis percakapan memfokuskan perhatiannya pada interaksi dalam percakapan seperti berbagai gerakan oleh komunikator dan bagaimana mereka mengelola dan mengatur urutan pembicaraan sebagaimana yang terlihat jelas pada perilakunya. Eggins and Slade (1994:25), dalam Anderson dan Sharrock, 1987) mengatakan bahwa analisis mudah diperoleh untuk kajian budaya.

  Analisis percakapan merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam menganalisis percakapan. Pada umumnya analisis percakapan mengkaji kegiatan-kegiatan sosial, bagaimana kegiatan-kegiatan tersebut dikoordinasikan atau disusun, bertujuan menjelaskan aturan, struktur, dan urutan bentuk interaksi.

  Fokus utama dalam aspek analisis percakapan adalah bagaimana percakapan bekerja, aturan-aturan apa yang dipatuhi, bagaimana struktur percakapannya, dan bagaimana urutan pola interaksi baik dalam percakapan institusi maupun dalam percakapan biasa.

  Analisis percakapan adalah kajian rekaman tentang percakapan dalam interaksi (talk-in-interaction) yang terjadi secara alamiah. Pada prinsipnya, analisis percakapan bertujuan untuk menemukan cara-cara partisipan mengerti dan menanggapi penuturan antara partisipan yang satu dengan yang lain dalam suatu gilir bicara, dengan menitikberatkan pada urutan perilaku. Hal itu berarti analisis percakapan dapat menemukan langkah-langkah yang tidak dapat diduga sebelumnya dan kompetensi sosiolinguistik yang mendasari produksi dan interpretasi percakapan yang urutan interaksinya teratur (Hutchby dan Wooffitt, 2008:12).

2.1.2 Etnography of Speaking

  Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar T. dan Sturtevant, W.,1982; juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya menjadi etnography of communication, karena istilah ini dianggap lebih tepat. Menurut Hymes para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan pola penggunaan tutur (1974:126). Etnografi komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan mengembangkan kajian linguistik. Linguistik yang lebih lengkap akan dikaitkan bagaimana penutur menggunakan struktur tersebut.

  Tradisi etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes (1972) menggunakan pendekatan linguistik konteks budaya yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial (1987:.4), memusatkan perhatian kepada alat-alat penutur tutur (means of speaker) yang mencakup informasi mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam komunitas. Menurut Gumperz (1982), pakar etnografi komunikasi harus menyadari sepenuhnya, bahwa banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tatabahasa, adalah “rule governed” (mengandung kaidah). Di dalam memilah-milah kaidah itu tidak boleh memisahkan bahasa dari kebudayaan, melainkan melihat peristiwa tutur sebagai satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial di mana norma dan nilai (value) merupakan variabel-variabel bebas yang terpisah dari bahasa.

  Menurut Hymes (1974) kemampuan berkomunikasi mencakup bagaimana seseorang melibatkan diri dalam percakapan sehari-hari maupun dalam peristiwa menggunakan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Bentuk bahasa yang digunakan dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya, siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.

2.1.3 Sosiolinguistik Interaksional

  Sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro adalah kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat (Appel 1976:22). Pendekatan sosiolinguistik merupakan bagian kajian dari antropologi, sosiologi, dan linguistik yang memfokuskan perhatian kepada tiga bidang yaitu budaya, masyarakat dan bahasa. Pendekatan ini dipelopori oleh Gumperz (1982) dan Goffman (1959).

  Ilmu sosiolinguistk mengacu kepada penggunaan data linguistik dan analisis dalam disiplin ilmu yang lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial atau dengan kata lain ilmu sosiolinguistik merupakan kajian yang menggunakan data-data sosial dan menganalisisnya dalam ilmu linguistik. Para ahli sosiologi dan sosiolinguistik memberi perhatian pada penggunaan bahasa sehari-hari untuk membentuk dan memelihara hubungan sosial. Di dalam studi sosiolinguistik interaksional bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya

  Para pakar sosiolinguistik memfokuskan kajian pada variasi bahasa dan juga perubahan bahasa, misalnya mereka tertarik dalam bagaimana fungsi berbicara dalam menunjukkan kelas sosial, gender, etnik, dan identitas sosial. Disamping itu, beberapa pakar sosiolinguistik tertarik dalam mengkaji percakapan dan monolog; bagaimana penutur menentukan gilir bicara, menentukan topik bicara, tindak tutur seperti perintah dan permintaan, dan juga bagian struktur percakapan seperti permulaan, tengah, dan akhir percakapan.

2.1.4 Pragmatik

  Analisis percakapan tidak dapat terlepas dari kajian pragmatik. Hal ini dipertegas oleh Levinson yang mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang sangat mendasar tentang fenomena pragmatik, seseorang dapat mengkaji percakapan karena percakapan merupakan inti atau jenis prototype penggunaan bahasa yang paling mendasar. Berbagai aspek pragmatik ditunjukkan dengan jelas di dalam percakapan (Levinson, 1983: 284-285). Dengan demikian kajian tentang organisasi percakapan harus mempertimbangakan aspek pragmatik. Begitu pula halnya untuk menginterpretasikan pola-pola mekanisme turn-taking atau bagaimana para partisipan dalam percakapan berbagi giliran berbicara (turn-

  taking) dan pasangan berdekatan dibutuhkan perangkat pragmatik untuk menganalisisnya, terutama yang berhubungan dengan tindak ujar.

  Pragmatik merupakan kajian arti atau makna yang timbul dalam penulis mendeskripsikan secara singkat tentang makna pragmatik yang dibuat oleh Yule (1996:3) sebagai berikut : 1.

  Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara (penulis) dan diinterpretasikan oleh pendengar atau pembaca (Pragmatics is the study of speaker meaning).

  2. Pragmatik adalah upaya pengkajian makna atau upaya penafsiran atas apa yang petutur maksudkan dalam konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkan (Pragmatics of the study of contextual meaning).

  Dengan batasan ini, pragmatik mencakup makna yang dimaksud oleh pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, pragmatik mencakup kajian makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa. Arti atau makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa (pembicara atau pendengar) melebihi dari makna yang terucap dalam ujaran atau dalam tulisan. Ini berarti pragmatik mengkaji makna ucapan dan tulisan yang terdapat dalam unit linguistik yang dapat berupa bunyi, kata, frase, klausa, paragraph, atau kalimat.

  Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa berdasarkan sifatnya sebagai alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech

  event), dan tindak tutur (speech act). Menurut Leech (1993: 8) makna pragmatik lebih luas lagi dengan situasi-situasi ujar.

  Analisis pragmatik mempertimbangkan situasi tutur dan peristiwa tutur. Seperti diuraikan di atas bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Untuk ini Leech (1983:2) mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna berdasarkan situasi tutur. Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan dengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan ilmu linguistik, misalnya upacara adat, pertengkaran, percintaan, dan sebagainya. Situasi tutur dalam penelitian ini adalah situasi upacara adat perkawinan Batak Toba.

  Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat dengan aturan cara bertutur.

  Peristiwa tutur dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur. Misalnya gurauan yang terjadi dalam suatu percakapan (peristiwa tutur) dan terjadi di dalam suatu pesta (situasi tutur). Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah peristiwa tutur marhata dalam situasi tutur marhusip, marpudunsaut, dan marunjuk.

  Tuturan merupakan salah satu yang terpenting yang digunakan orang membuat kesan pribadi untuk dinilai orang lain, baik melalui apa yang dikatakannya dan cara dia mengatakannya. Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif hubungan antara peristiwa tutur dan tindak tutur.

  Pragmatik dalam kajian marhata dapat didefinisikan dengan kajian makna atau interpretasi makna bahasa tutur yang diucapkan oleh penutur bahasa Batak Toba (juru bicara dan penutur-penutur lain baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan) dalam berinteraksi dengan beberapa situasi tutur upacara adat perkawinan Batak Toba untuk melihat cara-cara yang digunakan oleh penutur untuk mencapai tujuan.

2.1.5 Teori Tindak Tutur

  Teori Tindak Tutur dikemukakan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) yang mengatakan bahwa bahasa tidak hanya digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu tetapi untuk melaksanakan serangkaian kegiatan yang ditunjukkan dengan ujaran-ujaran.

  Tindak tutur merupakan salah satu fenomena kajian pragmatik. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur. Tindak tutur merupakan produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur juga dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.

  Searle (1969:23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur ,yaitu: Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of saying

  

something). Tindak tutur ini mengaitkan suatu pemberitahuan dengan satu

  keterangan. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur, tetapi bermaksud untuk memberitahu petutur keadaan sebenarnya. Penutur semata-mata hanya untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. 2) Tindak ilokusi yaitu tindak tutur untuk melakukan sesuatu (the act of doing something) dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak dimaksudkan untuk memberitahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan di balik tuturan tersebut.

  Tindak tutur ilokusi mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

  3) Tindak perlokusi yaitu tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur (the act of affecting someone). Hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

  Menurut Ibrahim (1993:256), bagian universal teori tindak tutur berhubungan dengan beberapa topik, yaitu 1) struktur umum tindak tutur, 2) struktur umum urutan tindak tutur, 3) dampak institusional umum pada tindak tutur dan urutan tindak tutur, 4) klasifikasi umum tindak tutur, dan 5) kaidah umum untuk melaksanakan interaksi makna non-literal dari makna literal. adalah klasifikasi umum yang terdiri dari 5 jenis yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Pendekatan yang berbeda untuk membedakan tipe tindak tutur tersebut dapat dilakukan pada struktur dasarnya. Menurut Yule (1996:54) dalam bahasa Inggris, struktur dasar kalimat terdiri atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan dilihat dari fungsi komunikasi, kalimat terdiri atas kalimat pernyataan, pernyataan, dan perintah/permintaan. Contoh: 1) a. You wear a seat belt. (Declarative)

  b. Do you wear a seat belt? (Interrogative)

  c. Wear a seat belt. (Imperative) Menurut Yule (1996:55), apabila ada hubungan langsung antara struktur dan fungsi maka disebut dengan tindak tutur langsung, dan apabila ada hubungan tidak langsung antara bentuk dan fungsi maka disebut tindak tutur tidak langsung. Deklaratif untuk membuat statement disebut ujaran langsung namun deklaratif untuk membuat permintaan disebut ujaran tidak langsung.

  2) a.

  It‟s cold outside.

  b. I hereby tell you about the weather.

  c. I hereby request of you that you close the door. Ujaran 2a adalah bentuk deklaratif. Apabila deklaratif tersebut dibuat menjadi pernyataan (statement) seperti yang diparafrasekan dalam kalimat 2b, maka fungsinya adalah sebagai ujaran langsung. Dan apabila digunakan untuk perintah (command)/permintaan (request) seperti kalimat 2c, maka fungsinya berubah menjadi ujaran tidak langsung. tindak tutur yang mengikuti satu sama lain dalam urutan yang arbitrer. Pada umumnya benar bahwa tindak tutur diorganisir dalam pola wacana dengan variabel tertentu, misalnya pertanyaan menghendaki jawaban, usulan menghendaki pertimbangan, dan permintaan maaf menghendaki pengakuan.

  Menurut Ibrahim (1993:260), konsep yang paling penting untuk berhubungan dengan urutan tindak tutur adalah giliran (turn), gerakan (move), pola tindak tutur, tipe unit dan wacana tutur yang kompleks.

  Ketika seorang partisipan berbicara atau membuat kontribusi dalam percakapan, dia dikatakan mengambil giliran. Giliran bisa terdiri dari ujaran minim yang tidak menyusun tindak tutur penuh tetapi bisa juga mengandung serangkaian tindak tutur. Giliran juga bisa tumpang tindih (overlap), tetapi terdapat kecenderungan untuk mengurangi situasi tersebut.

  Kemudian konsep gerakan (move) digunakan untuk mengkarakterisasi fungsi tindak tutur untuk meneruskan wacana. Dalam sebuah percakapan, kita dapat membedakan antara memulai percakapan (initiating), bereaksi (reacting), dan juga melanjutkan (continuing). Pertanyaan, khususnya memiliki kecenderungan berfungsi sebagai memulai gerakan atau memulai percakapan. Sebaliknya, konfirmasi atau jawaban merupakan gerakan reaksi. Tindakan reaksi bisa bersifat menerima topik, menolak topik, dan netral.

  Sebuah tindak tutur merupakan potongan tuturan yang dikeluarkan sebagai bagian dari interaksi sosial. Penelitian ini menganalisis percakapan sebagai wacana lisan untuk kepentingan interaksional yang berupa percakapan dalam Toba. Wacana yang demikian ini bersifat sangat unik.

  Alih tutur juga merupakan bagian dari sebuah percakapan, yang meliputi bagaimana cara mengambil alih gilir bicara dan bagaimana cara memberikan giliran bicara. Pola tindak tutur yang tidak kalah penting adalah pasangan berdekatan dalam pengertian yang dikemukakan oleh Sack, Schegloff dan Jefferson, seperti tanya-jawab, usulan-pertimbangan, pembukaan-penutupan percakapan. Tetapi seringkali juga terdapat pola-tiga-tempat (three-place-pattern) bahkan juga terdapat pola-empat-tempat (four-place-pattern). Berikut ini adalah contoh prosedur minimal pemahaman pola-tiga-tempat dari ujaran referensi, konfirmasi, dan rekonfirmasi yang diambil dari Ibrahim (1993:263). (1) A : Kuliahnya diadakan di ruang 14. (2) B : Ah, di ruang 14. (3) A : Benar, di ruang 14. Pernyataan terima kasih juga terdiri dari tindakan referensi, ucapan terima kasih, dan pengakuan.

  (1) A : menyampaikan bingkisan pada B: Ini hadiahnya. (2) B : terima kasih banyak.

  (3) A : Kembali. Contoh pertama di atas adalah pola tindak tutur universal, sedangkan contoh kedua dibatasi pada lingkungan kebudayaan tertentu. Pola yang dibatasi pada budaya hanya bisa ditemukan melalui pengkajian fenomena wacana tersebut secara nyata. dengan pola-empat-tempat (four-place-pattern) yang dimulai dengan gerakan ujaran pertanyaan, reaksi dengan konfirmasi, dan gerakan melanjutkan dengan ucapan terima kasih, dan rekonfirmasi yang dapat dilihat dalam lingkungan budaya Batak Toba pada pesta perkawinan saat marhata (berbicara).

  Panise

  : Rajanami!Nunga boi hita manghatai? Pertanyaan (Penanya) Tuan Raja! Sudah bisakah kita bicara? Pangalusi : Dos ma rohanta.

  Konfirmasi (Penjawab) Satu hatilah kita.

  

Panise : Mauliate ma! Ia i do rajanami na liat na lolo. Ba manghatai ma

(Penjawab) hita rajanami.

  Terimakasihlah. Ya itulah Tuan Raja. Bicaralah kita Tuan Raja Terimakasih

  Pangalusi

  : Ima tutu raja ni boru. Rekonfirmasi (Penjawab) Ya raja ni boru.

2.1.6 Linguistik Fungsional Sistemik

  Dalam perspektif Linguistik Fungsional Sistemik (LFS), bahasa merupakan sistem arti dan sistem lain (bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti. LFS ini merupakan suatu pendekatan yang dikemukakan oleh Halliday

  (1973) yang menggambarkan bentuk bahasa sebagai semiotik sosial yang dielaborasi menjadi interpretasi percakapan yang bersifat semantik fungsional.

  Pendekatan sistemik memberikan kontribusi yang besar terhadap analisis percakapan. Pertama, pendekatan sistemik dapat membuat bentuk bahasa yang sistematis, komprehensif, dan menyatu dimana pola/struktur percakapannya dapat ini menghubungkan bahasa dan kehidupan sosial sehingga percakapan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial.

  Halliday (1994) mengemukakan bahwa dalam percakapan sehari-hari terdapat 3 ikatan makna, yakni makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Makna ideasional merujuk kepada topik yang sedang dibicarakan, kapan oleh siapa, dan bagaimana transisi topik dan penutup dibuat. Makna interpersonal berfokus kepada jenis hubungan peranan yang dilakukan melalui percakapan. Selanjutnya, makna tekstual adalah makna kohesi yang berbeda yang digunakan untuk merangkai percakapan.

  Makna interpersonal menunjukkan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Dalam makna tersebut, istilah aksi digunakan untuk melakukan sesuatu perbuatan atau aksi, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, tawaran, dan perintah. Istilah ini setara dengan konsep speech

  

function (Halliday 1994) dan tindak ujar (speech act) yang lazim digunakan dalam

tata bahasa formal.

  Dalam analisis wacana berdasarkan interaksi, yang diuraikan adalah move yaitu ucapan yang dilakukan seseorang, fungsi dan peran apa yang dilakukan seseorang dalam percakapan. Misalnya, seseorang bertanya (k2) kepada orang lain karena orang lain punya informasi (k1). Dalam percakapan 1 (satu) ikatan hanya ada 3 (tiga) move seperti dalam contoh berikut.

  1. k2 Λ k1 k2 A: Did you go to the party?

  2. k2 Λ k1 Λ k2f k2 A: Where did you go last week? k1 B: Bali. k2f A: Thank you.

  3. k2 Λ k1 Λ k2f Λ k1f k2 A: When did you go to Bali? k1 B: Last month. k2f A: Thank you. k1f B:

  My pleasure (You‟re welcome…)

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan

  Hasil penellitian yang relevan mempunyai fungsi bagi peneliti, yaitu digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian sebelumya, juga sebagai pembanding antara yang sedang diteliti dengan penelitian yang sebelumnya agar penelitian yang dihasilkan tidak sama. Di sini hanya akan dipaparkan beberapa penelitian sejenis yang relevan dengan permasalahan analisis percakapan. Penelitian tentang analisis percakapan pernah dilakukan oleh Siagian (2009) yang berjudul ”Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara Jou-

  Jou Tano Batak

  ”. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam penentuan pola gilir bicara. Penelitian ini mengkaji bagaimana cara memulai dan mengakhiri percakapan, cara pengambilan giliran bicara, cara membetulkan ujaran-ujaran Acara „Jou-Jou Tano Batak‟ adalah sebuah acara radio Karisma yang menggunakan BBT. Dalam acara ini terdapat percakapan antara penyiar dan pendengar yang bergabung melalui sambungan telepon. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, teknik rekam dan catat. Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi percakapan BBT dalam acara Jou-Jou Tano Batak ternyata memiliki sejumlah cara dalam mewujudkan percakapan yang lancar dan efektif. Penyiar dan pendengar juga memiliki kerja sama yang baik dalam mewujudkan percakapan yang baik.

  Penelitian lain ialah yang dilakukan oleh Matondang dan Hasibuan (2001) tentang teks dan analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing.

  Analisis wacana lisan upacara perkawinan Angkola-Mandailing memberikan kontribusi dalam sumber data penelitian yaitu dari Batak Toba. Data dikumpulkan dengan tehnik rekam dan dianalisis dengan menggunakan pasangan berdekatan (adjacency pairs), moves, reciprocal acts, topics, precondition, dan request for

  action. Dari analisis data ditemukan bahwa struktur wacana dalam gilir bicara

  (turn taking) dimulai dari suhut ‟yang punya hajat pesta‟, anak boru suhut

  ‟menantu yang punya hajat‟, pisang raut „ipar dari anak boru‟, paralok-alok

  „pesta musyawarah yang turut hadir‟, hatobangan „raja adat di kampung tersebut,

  raja torbing balok

  „raja adat dari kampong sebelah‟, dan raja panusunan bulung „raja di raja adat/pimpinan sidang‟. Topik percakapan dalam wacana lisan upacara perkawinan tersebut adalah ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan sidang pesta, mengiring mora (pihak mertua), memberikan jawaban atas sidang.

  P enelitian yang dilakukan oleh Yuliastanto (2007) berjudul “Analisis Percakapan Pada Penggunaan Bahasa Pedagang Keturunan Cina di Toko-Toko Sekitar Pasar Kadipolo Surakarta”. Situasi tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan penelitian ini untuk membedakan hasil analisis percakapan dengan situasi tutur yang berbeda. Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa analisis percakapan pada penggunaan bahasa pedagang keturunan Cina di toko-toko sekitar pasar Kadipolo mengemukakan situasi tutur yang digunakan pedagang keturunan Cina dengan pembelinya ada kesamaan untuk analisis. Persamaan tersebut antara lain sebagai berikut: a) lingkungan peristiwa tempat peristiwa tutur terjadi berada di toko yang lokasinya dekat pasar dan dalam pasar Kadipolo Surakarta, b) Dialek-dialek sosial berupa pola-pola dialek sosial yang digunakan sehubungan dengan kedudukan masing-masing penutur, yaitu penjual dan pembeli, c) Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian, yaitu untuk mengetahui unsur-unsur pragmatik yang dapat menjembatani pemahaman percakapan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Pardede (2011) berjudul The Structure of

  

Toba Batak Conversations. Teori utama yang digunakan untuk membedah

  masalah yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Analisis Percakapan alamiah oleh Sacks, Schegloff, dan Jefferson (1974). Data yang dianalisis adalah percakapan sehari-hari dalam bahasa Batak Toba sebagai data pembanding . dikumpulkan dengan merekam secara audio dan video melalui percakapan kasual Data yang dianalisis ada 50 data yang terdiri dari 2 bagian: 40 data digunakan untuk menganalis pasangan berdekatan, dan 10 data digunakan untuk menganalisis gilir bicara. Data dianalisis berdasarkan analisis percakapan, yaitu analisis sekuensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pasangan berdekatan pertanyaan-jawaban dalam PBBT bukan merupakan komponen dasar dalam menentukan pembicara berikutnya, 2) Kealpaan jawaban, disamping berfungsi untuk melakukan perbaikan, ia juga digunakan untuk mengidentifikasi pasangan berdekatan salam-salam, 3) pasangan berdekatan pertanyaan-jawaban berubah menjadi salam-salam apabila jawaban kepada pertanyaan tidak informatif, 4) Pasangan berdekatan salam-salam yang dibangun oleh struktur horas-horas merupakan struktur yang unik dan tipikal karena merupakan komponen yang mendasar yang mampu bertindak sebagai pasangan selamat-selamat, berpisah- berpisah, 5) Pasangan berdekatan panggilan-jawaban berubah menjadi salam- salam apabila panggilan tidak direspon dengan jawaban, 6) Pasangan berdekatan pertanyaan-jawaban, salam-salam, dan panggilan-jawaban adalah berhubungan, 7) Pasangan post-penawaran terjadi dalam percakapan bahasa Batak Toba, 8)

  Pasangan undangan mencakup tiga sekuen: perluasan awal, perluasan akhir, dan sekuen sisipan, 9) Pasangan tawaran dan undangan adalah berhubungan, 10) Pasangan tuduhan memiliki respon penolakan pada pasangan kedua sebagai yang diinginkan, 11 ) Pasangan pujian mempunyai respon penolakan yang dihaluskan pada pasangan kedua, 12) Pasangan keluhan mempunyai respon penolakan pada ketidakberpihakan, 13) Pasangan tuduhan, pujian, dan keluhan adalah berhubungan, 14) Kaidah pertama gilir-bicara (pembicara sekarang memilih pembicara berikut) tidak selalu dapat diaplikasikan dalam percakapan bahasa Batak Toba, 15) Kesenyapan panjang terjadi dalam percakapan yang terhenti sementara, 16) Akhir dari giliran yang diproyeksikan secara gramatikal, intonasional, dan semantikal terjadi dalam percakapan bahasa Batak Toba, 17) Kaidah gilir bicara dan organisasi seperti kesenyapan, percakapan tumpang tindih dan perbaikan dapat diaplikasikan dalam bahasa Batak Toba, 18) Gilir bicara tidak terikat secara kultural.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2010) berjudul Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo. Masalah penelitian ini dibedah dengan teori Linguistik Fungsional Sistemik yang berbeda dengan teori Analisis Percakapan berdasarkan fungsi Pragmatik. Data yang dianalisis adalah ujaran-ujaran yang terdapat dalam (1) kegiatan konteks situasi biasa yang mencakup situasi perkawinan dan situasi sehari-hari dan (2) dalam konteks situasi yang tidak biasa yang mencakup memasuki rumah baru dan kematian. Dalam tataran struktur percakapan sebagai realisasi dari sistem percakapan ditemukan sebagian struktur percakapan yang bermarkah/berbeda dan struktur pengembangan yaitu pengembangan dari struktur yang tidak bermarkah. Lazimnya struktur percakapan memberi dan meminta informasi adalah k1 dan k2, dalam bahasa Karo selain kedua struktur tersebut terdapat struktur percakapan k1(a2) dan k2 (a2) dalam memberi dan meminta informasi.

  

Conversation Analysis. Teori utama yang digunakan untuk membedah masalah

  yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Gilir Bicara oleh Sacks, Schegloff, dan Jefferson (1974). Data yang dianalisis adalah ujaran-ujaran penutur bahasa Batak Toba di percakapan di rumah-rumah, kedai kopi dengan menggunakan pendekatan analisis percakapan sebagai unit dasar dalam percakapan. Data dianalisis dengan urutan (sequence) untuk menemukan pola percakapan. Temuan menunjukkan bahwa ketiga kaidah gilir bicara dalam Bahasa Inggris yaitu Current Speaker Selects Next, 2) Self-select, dan 3) Speaker

  Continuation dapat diaplikasikan dalam percakapan Batak Toba tetapi masih

  dalam kasus negatif yang merupakan perolehan yang masih harus dipertimbangkan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Napitupulu (2012) yang berjudul

  

Adjacency Pairs of Marhusip in Toba Batak Pre-Wedding. Data percakapan

  dalam penelitian ini (marhusip) sebagai langkah pra-nikah dalam budaya Batak Toba memberikan kontribusi kepada peneliti untuk melanjutkannya ke pengambilan data percakapan pada acara nikah penuh. Pola percakapan menunjukkan pola pasangan berdekatan yang kompleks yang mengandung duapuluh empat (24) pasangan berdekatan. Urutan awal (konfirmasi, peribahasa, dan pertanyaan) selalu digunakan sebagai awal percakapan untuk mendapatkan informasi yang menunjukkan bagaimana respon berikutnya dijawab atau diberikan. Urutan awal yang paling dominan adalah konfirmasi. Terimakasih digunakan untuk peribahasa) biasanya digunakan sebelum memberikan respon. Hasil analisis data menunjukkan bahwa bagian pertama pasangan berdekatan memiliki bagian kedua yang kompleks, seperti pertanyaan-konfirmasi, terimakasih-terimakasih, permintaan-saran, permintaan-penerimaan, konfirmasi-penerimaan, peribahasa- penerimaan, pertanyaan-jawaban, pertanyaan-konfirmasi, pertanyaan-pertanyaan.

  Respon yang tidak berdekatan adalah lebih dominan digunakan dalam percakapan acara marhusip.

  Penelitian yang dilakukan oleh Gan (2009) yang berjudul Topic

  Negotiation in Peer Group Oral Assessment Situations: A Conversation Analytic Approach. Teori utama yang digunakan untuk membedah masalah yang relevan

  dengan peralihan topik adalah pendekatan analisis percakapan yang digunakan untuk peralihan topik percakapan yang satu ke topik percakapan yang lainnya.

  Data penelitian ini adalah percakapan siswa teman sebaya. Kajian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa untuk beralih dari satu topik percakapan ke topic percakapan lainnya dan untuk mengenalkan topik baru yang menunjukkan kemampuan komunikatif siswa.

2.3 Kerangka Pikir dan Konstruk Analisis

  Penelitian ini mengikuti dan menerapkan kerangka pikir pragmatik dengan menggunakan model analisis percakapan yang mengkaji urutan, struktur dan pola interaksi dalam berbagai situasi percakapan yang dikembangkan oleh Sacks dan teman-temannya seperti Schegloff dan Jefferson (1974), dan Yule (1996). pada upacara adat perkawinan Batak Toba adalah analisis percakapan yang mengkaji tentang topik-topik marhata yang terdapat dalam situasi tutur marhusip,

  marpudunsaut, dan marunjuk. Analisis topik percakapan berfokus pada

  pengenalan topik-topik marhata yang dibedah dengan menggunakan analisis tipe kalimat berdasarkan wacana percakapan oleh Sibarani (1997). Di samping itu ketika terjadi perpindahan topik terdapat perpindahan gilir bicara dan penutur memberikan respon ujaran-ujaran yang bervariasi yang disebut dengan pasangan berdekatan. Kedua fenomena ini dianalisis berdasarkan sekuensi oleh Sacks, dkk (1974), dan Yule (1996)

2.3.1 Percakapan

  Percakapan tidak hanya sekadar memproduksi tuturan yang mengacu kepada rangkaian kalimat, tetapi terdapat proses internal untuk dapat menggunakan rangkaian kalimat itu dalam sebuah tuturan yang sesuai (language

  appropriateness). Tuturan yang disampaikan dan bagaimana menyampaikan tuturan merupakan upaya kecakapan (kemampuan) yang dimiliki seseorang.

  Percakapan adalah interaksi antar individu dalam masyarakat secara timbal balik yang dinyatakan dengan pertukaran dalam pemakaian bahasa. Pelaku percakapan adalah anggota dari suatu komunitas sosial, berbagai ketentuan dan kebiasaan dari komunitas tersebut. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Pridham (2001:2) yang mengungkapkan bahwa conversation is any interactive

  spoken exchange between two or more people

  , yang berarti‟ percakapan adalah pertukaran bicara secara aktif antara dua orang atau lebih‟.

  Sacks (1974) menguraikan percakapan sebagai rangkaian percakapan yang sedikitnya terdiri atas dua gilir bicara. Dengan kata lain, percakapan merupakan rangkaian ujaran di antara dua interlokutor. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa percakapan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk berkomunikasi. Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup tanpa orang lain yang harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam menjalin hubungan sosial. Sebagai aktivitas sosial, Rees (1992:11) mengatakan bahwa Conversations are seen first and foremost as a social activitiy, yang artinya „percakapan pada hakikatnya dianggap sebagai suatu kegiatan sosial‟.

  Pengertian perbincangan sering disamakan dengan percakapan. Ada beberapa kriteria yang dipakai agar suatu perbicangan dapat dikatakan percakapan ataupun bukan perbincangan. Cook (1989:51) mengatakan perbincangan dapat dikatakan percakapan apabila perbincangan itu dilakukan tidak hanya ketika pelaku perbincangan itu mempunyai kepentingan saja. Pelaku percakapan tidak terlalu banyak pihak di dalamnya. Pembicaraan diperuntukkan untuk mitra tutur saja, tidak untuk orang lain di luar percakapan.

  Dalam penelitian ini percakapan dimaknai dengan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh manusia untuk berinteraksi menjalin hubungan antara yang satu dengan yang lain. Interaksi dalam percakapan mampu menggambarkan hubungan sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. Yule (1996:71) mengatakan istilah interaksi merupakan manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi verbal pembicara, seperti interaksi guru dan murid di dalam kelas, dokter dan pasien di klinik, hakim dan terdakwa di pengadilan, dan sebagainya. Seorang pembicara dalam satu interaksi pada gilirannya akan menjadi pendengar dalam suatu peristiwa tutur. Chaer dan Agustina (1995:62) mengatakan bahwa percakapan dapat disebut dengan peristiwa tutur apabila pokok percakapannya tertentu, ada tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang sengaja hendak bercakap- cakap. Sebuah percakapan baru dapat disebut peristiwa tutur kalau memenuhi syarat tersebut. Atau seperti yang dikatakan oleh Hymes dalam Chaer dan Agustina (1995:62-64) mengatakan bahwa sebuah percakapan harus memenuhi 16 (enambelas) komponen dan kalau diringkas dapat menjadi 8 (delapan) komponen tutur atau bila huruf-huruf awalnya dirangkai maka menjadi akronim SPEAKING.

  Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai peristiwa tutur kalau memenuhi delapan komponen tersebut. Kedelapan komponen tersebut adalah S (Setting: berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan Scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, misalnya situasi formal atau santai (informal), P (Participants: penutur yang terlibat dalam percakapan), E (Ends :yaitu tujuan), A (Act Sequences yaitu bentuk dan isi ujaran), K (Key: tone or Spirit of act: nada, cara pesan disampaikan), I (Instrumentalities: jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran seperti bahasa, dialek ragam atau register), N (Norms of Interaction and

  

Interpretation yaitu mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan norma

  penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara, dan G (Genre) kategori komunikasi

2.3.2 Topik

  Pengertian topik dalam penelitian ini dimaknai dengan konsep topik dalam wacana percakapan bukan dengan topik dalam struktur kalimat. Alwi (2000: 435) menjelaskan bahwa topik merupakan proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Pendapat lain dikemukakan oleh Rani, dkk, (2004: 144) yang menyatakan bahwa topik merupakan bagian yang difokuskan dan yang diterangkan oleh bagian lain (komentar). Dalam konteks wacana, topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membentuk sebuah wacana percakapan.

  Topik merupakan pokok permasalahan yang muncul dalam setiap percakapan dan untuk menganalisis topik wacana percakapan diperlukan setidak- tidaknya satu penggal wacana. Berbagai macam topik percakapan menjadi bahan percakapan. Bahkan dalam satu peristiwa percakapan bisa muncul dua atau lebih topik percakapan. Seperti yang terjadi dalam acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba dalam situasi yang resmi, misalnya pada situasi marhusip,

  

marpudunsaut, dan marunjuk. Dalam masing-masing situasi tersebut terdapat

lebih dari dua topik percakapan.

  Pemilihan topik yang dikembangkan dalam percakapan dapat dipengaruh oleh norma atau budaya yang berlaku dalam masyarakat. Selain ditentukan oleh norma atau budaya, topik percakapan yang dipilih juga ditentukan oleh faktor peranan penting dalam pemilihan topik. Oleh karena itu, seorang analis harus memperhatikan hal-hal disekitar peristiwa percakapan (konteks) dan koteks (Brown danYule, 1983: 69). Seperti yang terjadi dalam acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba dalam situasi yang resmi, misalnya pada situasi marpudunsaut. Pemilihan topik percakapan seperti patortor parumaen, dalam beberapa daerah, topik ini tidak dibicarakan dan tidak dilaksanakan, namun dalam beberapa daerah yang lain topik ini dibicarakan dan dilaksanakan.

2.3.2.1 Jenis-Jenis Topik

  Dalam percakapan, pembicara dapat berbicara tentang sebuah topik, masing-masing berbicara tentang topiknya sendiri, atau mereka sama-sama berbicara topik yang sama. Penutur yang tetap pada topik yang sama dapat menganggap benar sebagian besar informasinya. Menetap pada topik yang sama akan membuat ujaran menjadi lebih mudah, baik bagi penutur maupun bagi pendengar. Sebaliknya dalam satu peristiwa percakapan bisa muncul dua atau lebih topik percakapan.

  Dengan mengikuti pendapat Syamsudin (1992: 55) dalam penggolongan topik yang membedakan adanya dua topik dalam percakapan, yaitu pertama, topik umum, yaitu pokok pangkal pembicaraan yang berperan sebagai judul atau tema. Topik ini mengarahkan seluruh percakapan sehingga tujuan percakapan tercapai. Kedua, topik-topik kecil yaitu aspek-aspek tertentu yang timbul dalam

  Berdasarkan acuan yang dirujuknya, topik percakapan dibedakan atas: 1) Topik lama dan baru

  Dalam percakapan penutur biasanya memperhatikan masalah urutan lama dan urutan baru. Informasi atau topik yang telah dibicarakan merupakan topik yang dikelompokkan sebagai lama. 2) Topik nyata

  Merupakan topik yang referensinya seperti yang dirujuk dengan kata-kata yang digunakan dalam ujaran. Berdasarkan referensi, topik nyata itu dibedakan menjadi beberapa kelompok. Salah satu di antaranya adalah topik yang referensinya berupa kegiatan atau tindakan

  Berdasarkan acuan kegiatan atau tindakan kegiatan, jenis topik yang diangkat dalam penelitian ini adalah topik pembicaraan yang dapat dibedakan atas topik dengan kegiatan yang hendak dilakukan, sedang dilakukan, dan telah dilakukan. Pemilihan topik yang dibicarakan dalam sebuah percakapan mempunyai hubungan erat dengan koherensi wacana, Richards dan Schmidt (1983). Topik yang sesuai dengan topik sebelumnya merupakan salah satu upaya untuk menciptakan koherensi wacana.

2.3.2.2 Peralihan Topik ( Topical Moves)

  Dalam sebuah percakapan yang sedang berlangsung, percakapan dapat beralih topik dari satu topik ke topik yang lain (Sacks, 1971). Topik yang dipilih oleh penutur yang lain bukanlah merupakan topik yang sama. Seorang pembicara dapat memiliki urutan dimana pembicara berikutnya mengemukakan topik yang topik yang berbeda.

  Analisis peralihan topik dan analisis percakapan merupakan suatu analisis yang sejalan. Dalam memperkenalkan topik baru, ada beberapa prosedur yang harus diikuti untuk menutup topik lama. Serangkaian ujaran penutur biasanya muncul dalam menutup sebuah topik lama/topik sebelumnya. Peralihan topik ditandai dengan ujaran-ujaran penutup topik lama atau adanya transisi yang jelas dari satu topik ke topik lainnya. Howe (1991:5) mengatakan transisi peralihan topik mencakup beberapa indikator, yaitu:

  (1) penilaian kesimpulan (summary assessments), (2) tanda pengakuan/penerimaan (acknowledgement tokens); (3) pengulangan (repetition); (4) komentar (laughter), dan (5) waktu istirahat/jedah (pauses).

  Menurut Howe, dari kelima indikator ini, ringkasan penilaian sebagai pemula topik dan waktu istirahat/jedah sebelum memulai topik adalah indikator yang paling umum digunakan. Kedua indikator tersebut muncul pada waktu bersamaan. Penggunaan beberapa indikator lainnya untuk mengakhiri sebuah topik menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur memahami akhir percakapan suatu topik.

2.3.2.3 Pengenalan Topik

  Topik percakapan disampaikan atau dikenalkan dengan berbagai bentuk beberapa sudut pandang. Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat interogatif, dan (3) kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak melakukan sesuatu, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan sesuatu. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.

  Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat secara terlepas. Kalau dilihat dari tataran yang lebih tinggi, yakni dari tingkat wacana, maka kalimat-kalimat tersebut dapat tidak sama antara bentuk formalnya dan bentuk isinya. Misalnya, bentuk formalnya adalah deklaratif, namun isinya tidak pernyataan tetapi menjadi berisi perintah.

  Sibarani (1997:183), mengatakan kalimat berdasarkan wacana percakapan dapat dibagi atas 6 bagian yaitu 1) kalimat awal, 2) kalimat tumpuan,

  3) kalimat tambahan, 4) kalimat sambungan, 5) kalimat jawaban, dan 6) kalimat ujung.