PRO DAN KONTRA TERHADAP HUKUMAN MATI DI

PRO DAN KONTRA
TERHADAP HUKUMAN MATI DI INDONESIA
David Baniardy Nurrahman
davidbaniardy@students.unnes.ac.id
DATA BUKU
Nama/Judul Buku :
Penulis/Pengarang
Penerbit
:
Tahun Terbit
Kota Penerbit
:
Bahasa Buku
Jumlah halaman :
ISBN Buku
:

Kontroversi Hukuma Mati
: Todung Mulya Lubis & Alexander Lay
Kompas
: 2009

Jakarta
: Bahasa Indonesia
456 Halaman
978-979-709-401-0

PEMBAHASAN BUKU
Kontroversi hukuman mati di Indonesia memang kerap kali menjadi topik
pembahasan yang menarik dikalangan masyarakat. Ada masyarakat yang
setuju maupun tidak setuju atau lebih tepatnya Pro & Kontra. Mulai dari warung
kopi kecil maupun hingga dikalangan pejabat pemerintah pun kadangkala topik
ini menjadi perbincangan yang hangat. Tak lepas dari itu semua, Pro & Kontra
dari peraturan ini datang dari jengahnya masyarakat dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang yang melebihi “batas kewajaran”. Namun disisi
lain pihak Pandngan yang kontra menganggap, bahwa hukuman mati tidak
manusiawi, dan bukan merupakan hukum yang memperbaiki tingkah laku
seseorang. Kelompok ini berpendapat bahwa hak hidup adalah hal dasar yang
melekat pada diri setiap manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai
karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau diganggu-gugat
oleh siapapun. Hal itu tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
(Hak Asasi Manusia) dan TAP MPR No. VXII/MPR/1998, tentang sikap dan

pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, dan juga
terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A. yang menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Maka sebagai Hukum Dasar Tertinggi (Grundnorm), itu
haruslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya.
Disamping itu berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
tentang hak untuk hidup (Right to Life) menyatakan bahwa “Setiap manusia
berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat
mecabut hak itu”. Maka dengan demikian, hukuman mati jelas-jelas
bertentangan dengan Kovenan Internasional tersebut, yang seharusnya segera
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk kewajiban negara dalam

memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi terhadap segenap
warga negara sebagai mana telah diadopsi dalam pasal 28A Amandemen
UUD’45.
Didalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik dalam KUHP Nasional
maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada tercantum
dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah diatur dengan
jelas. Maka dari sudut hukum (legalistik) tidak ada hal yang harus
diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas

dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat.
Memang sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa lampau
mengungkapkan, adanya sikap dan pendapat bahwa pidana mati merupakan
obat yang paling mujarab untuk menghadapi dan menanggulangi kejahatankejahatan berat, dan pada masa sekarang pun pendapat itu masih ada. Dalam
menyikapi tentang hukuman mati, kelompok ini mengaitkannya dengan 3 (tiga)
tujuan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan manfaat atau kegunaan.
Dari aspek manfaat atau kegunaan, hukuman mati akan membuat efek jera
kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat
memelihara wibawa pemerintah serta penegak hukum. Bagi kelompok ini yang
khusus mengacu pada Hukum Islam mengatakan, bahwa “Islam mengajarkan
agar umat Islam memelihara akal, keturunan, harta, nyawa, dan agama,
sebagai prinsip Islam yang wajib dijaga dan jangan sampai dirusak oleh
siapapun.” Tindak kejahatan pembunuhan, narkoba, terorisme adalah
perbuatan yang merusak apa yang harus dan wajib dipelihara. Maka hukuman
yang pas bagi pelakunya adalah hukuman mati.
Berkaitan dengan hak asasi manusia, kelompok ini mengemukakan bahwa hak
asasi juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban,
yaitu hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak. Hak
seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak orang
lain. Apabila seseorang telah dengan sengaja menghilangkan hak hidup

(nyawa) orang lain, maka hak hidup dia bukan sesuatu yang perlu
dipertanyakan dan dibela.
Seseorang yang telah melakukan kejahatan berat membunuh orang lain, tidak
saja telah menimbulkan kematian seseorang, tetapi juga telah mengorbankan,
dan bahkan menyengsarakan begitu banyak anggota keluarga. Lebih-lebih bila
korban yang mati terbunuh adalah seorang kepala keluarga yang selama ini
memikul beban mencari nafkah bagi penghidupan seluruh keluarganya. Bahwa
hukuman adalah upaya untuk memperbaiki tingkah laku, hendaknya jangan
hanya ditinjau dari sudut kepentingan seseorang, melainkan harus pula ditinjau
dari sudut masyarakat secara keseluruhan. Kedua pandangan ini tentu saja
memiliki alasan-alasan yang sama-sama rasional. Tetapi masalahnya, apakah
persolan hidup umat manusia itu sepenuhnya hanya menyangkut dimensi
rasional semata-mata, sementara apa yang dinaggap rasional oleh sebagian
kalangan belum tentu dianggap rasional pula oleh kalangan lainnya. Tapi yang

jelas, terlepas dari apakah Anda pro atau kontra hukuman mati, satu prinsip ini
hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang. Yaitu prinsip untuk bersikap tegas
dan non-kompromistis terhadap kejahatan, terhadap ketidak-benaran.
Pengampunan sama sekali tidak berarti memandang ringan kesalahan.
”Pengampunan” adalah sisi lain dari ”pertobatan”. Tidak ada pertobatan, tidak

ada pengampunan. Yang ada ialah hukuman. Hukuman mati, kalau pun
dijalankan, ia tidak dilaksanakan dengan maksud ”membunuh”. Satu-satunya
tujuan hukuman mati yang sah adalah untuk memelihara dan melindungi
kehidupan dari kejahatan yang mengancamnya.
Hukuman mati tampil sebagai jargon yang sangat mengerikan. Betapa
tidak, hak yang paling asasi, yaitu hak hidup, harus dirampas oleh tangan
hukum yang memiliki jerat bagi siapa saja yang berani menantangnya. Kita
masih teringat dengan pidana mati yang dijatuhkan kepada Fabianus Tibo (60),
Dominggus da Silva (39), dan Marianus Riwu (48) berada dalam cengkeraman
kuat hukuman mati ini. Pidana mati tersebut dijatuhkan atas dasar bahwa
mereka terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dan bertanggung jawab
atas terbunuhnya ratusan warga Poso pada tahun 2000 lalu[1]. Pidana mati
yang dijatuhkan kepada ketiga orang tersebut telah dieksekusi dan
meninggalkan luka yang sangat dalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Segala
upaya hukum menjadi sia-sia belaka karena hal tersebut hanyalah sekedar
formalitas yang tidak dapat membantu ketiga orang tersebut keluar dari jerat
pidana mati yang mengerikan tersebut. Dalam beberapa waktu terakhir,
masyarakat masih disuguhkan tentang pidana mati yang telah dijatuhkan
kepada Amrozi cs. Akan tetapi, vonis pidana mati tersebut belum dieksekusi
karena beberapa hal (prosedur) yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ada

sesuatu yang menarik dari vonis pidana mati terhadap Amrozi cs, bahwa
mereka sama sekali tidak takut dengan pidana mati, bahkan dalam beberapa
pertemuan dengan wartawan mereka mengungkapkan agar segera dieksekusi
mati. Suatu fenomena yang menjungkalkan semua argumentasi yang melihat
hukuman mati sebagai sesuatu yang mengerikan. Pidana mati justru dianggap
sebagai jalan menuju kebahagiaan abadi, pidana mati adalah gerbang
kebahagiaan yang telah lama mereka nanti. Cukup banyak pakar yang
mencoba meretas fenomena hukuman mati dari berbagai perspektif, misalnya
perspektif kemanusiaan (HAM), normatif, bahkan perspektif agama (fiqh).
Masing-masing perspektif memiliki aksentuasi berbeda dan pandangan akhir
yang berbeda pula. Perdebatan yang muncul selama ini tidak terlepas dari
ketiga ranah pembahasan tersebut. Masing-masing mencoba mengungkapkan
argumentasinya berdasar analisis dan fakta yang ditemukan. Perdebatan
mengenai pidana mati seakan menjadi fenomena klasik yang pragmatik
mengingat didalamnya tidak terlepas unsur-unsur politis yang merupakan
kamuflase berbagai pihak yang pandai memainkan situasi untuk kepentingankepentingan praktis.
Setiap vonis pidana mati yang dijatuhkan oleh aparat hukum selalu
disambut histeria oleh keluarga maupun pendukung terpidana dengan

berbagai ekspresi, mulai dari yang paling biasa hingga ekspresi yang eksentrik

dan sulit untuk dipahami. Segala upaya ditempuh agar dapat lolos dari jerat
pidana mati, akan tetapi tidak sedikit yang harus menelan pil pahit karena
upaya yang ditempuhnya hasilnya nihil. Seiring waktu berjalan, perdebatan
mengenai hukuman mati akan terus bergulir karena setiap memiliki starting
point yang berbeda. Akan tetapi, dari perdebatan tersebut kita dapat melihat
analisis dari berbagai perspektif yang ada. Makalah ini mencoba meretas
perbedaan yang ada dengan menggunakan berbagai perspektif untuk menarik
suatu benang merah. Perspektif yang coba penulis angkat adalah perspektif
konstitusional (undang-undang), Islam (fiqh), kemanusiaan (HAM). Selain itu,
penulis mencoba mengangkat hukuman mati dalam konteks kenegaraan dan
kemasyarakatan serta urgensinya dalam penciptaan tatanan kehidupan
masyarakat yang berkeadilan dan madani.
Secara umum, di Indonesia terdapat dua paradigma mengenai
implementasi pidana mati. Pertama, paradigma yang menganggap bahwa
implementasi pidana mati sangat bertentangan dengan asas dalam HAM. Hak
hidup adalah hak yang paling asasi dan tidak seorang pun memiliki wewenang
untuk mengganggu atau bahkan menghilangkannya. Hak hidup adalah hak
dasar yang melekat langsung pada setiap manusia dan merupakan anugerah
yang paling dasar yang diberikan oleh sang Pencipta. Kedua, paradigma yang
menganggap bahwa pidana mati memiliki legalitas dan kekuatan hukum yang

mengikat. Perundang-undangan yang ada telah menyebut dengan tegas bahwa
tindak pidana tertentu akan dijatuhi vonis mati. Jadi, pada dasarnya pidana
mati hanya dijatuhkan pada pelaku kejahatan tertentu dengan tingkat
kriminalitas yang sangat berat. Pidana mati tidaklah bertentangan dengan
HAM, justru pidana mati menjaga eksistensi manusia, karena dengan ancaman
seberat itu, sesorang akan berpikir ulang jika ingin mengganggu bahkan
menghilangkan hak hidup orang lain. Pertentangan paradigma diatas
sejujurnya merupakan sebuah dinamika yang wajar dalam alam demokrasi.
Akan tetapi, pertentangan tersebut harus dilihat sebagai sebuah upaya
pengungkapan wacana dan argumentasi masing-masing atas pidana mati
berdasarkan perspektif masing-masing. Pertentangan tersebut bukanlah upaya
untuk melegalkan pidana mati, namun juga bukan merupakan upaya untuk
menghapus pidana mati, sebab bagaimana pun juga aturan normatif negara ini
melegalkan pidana mati, dan sebagai warga negara yang baik harus taas pada
aturan yang berlaku. Hal terpenting saat ini adalah bagaimana melaksanakan
fungsi kontrol masyarakat atas implementasi pidana mati di Indonesia.
Pidana Mati dalam Perspektif Konstitusional (Undang Undang), Secara
normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya
Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi,
makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Karena itu, menurut

penguasa adalah pantas orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman
mati dengan ini, maka kita berbicara tentang filsafat negara oleh karena orang
yang bersangkutan melakukan perbuatan di luar batas atau bertentangan

dengan kebijaksanaan negara sebagai penguasa. Dalam KUHP pasal 10
ditegaskan bahwa salah satu pidana pokok adalah pidana mati. Pidana mati
sebagai dimaksud dilaksanakan oleh seorang atau beberapa algojo yang
ditunjuk sebagai eksekutor. Pidana mati khususnya lebih banyak dijatuhkan
kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana,
karena tindak pidana ini adalah tindak pidana yang sangat keji dan
menghancurkan sisi-sisi kemanusiaan.

Dalam UU No.15 tahun 2003 disebutkan bahwa setiap tindak pidana
terorisme akan dijatuhi pidana mati. Dalam penjelasan UU No.15 tahun 2003
disebutkan bahwa peraturan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini dapat dilihat dari pembukaan UUD 1945 dengan redaksi ‘....melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencedaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Pemerintah memiliki kewajiban untuk senantiasa menjaga

ketentraman dan integrasi bangsa dari berbagai ancaman, baik dari dalam
maupun dari luar. Karena itu, tindak pidana terorisme harus dihukum seberatberatnya dengan pidana mati dengan berdasar pada tekad untuk menjaga
integrasi bangsa.
Dalam UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika dicantumkan hukuman
mati sebagai salah satu pidana terberat bagi pihak yang menyalahgunakan
narkotika (mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, alat menukar narkotika Golongan I) dan merugikan masyarakat umum.
Pidana mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku mengingat
efek narkotika sangat besar bagi perkembangan mental seseorang dan
mentalitas masyarakat. Meski sempat diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi
(MK), namun pidana mati dalam UU No.22 tahun 1997 dinyatakan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena konstitusi Indonesia tidak menganut
asas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi
kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945,
menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu
pasal 28J, bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai
dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum
dan keadilan sosial.
Senada dengan UU sebelumnya, dalam UU No.31 tahun 1999 juga

mencantumkan pidana mati sebagai pidana atas terdakwa yang terbukti
melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tergambar dalam pasal 2 ayat 2
yang menyebutkan ‘dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’.
Dalam penjelasan undang-undang ini, ‘keadaan tertentu’ dimaksudkan bahwa

pidana mati mati dijatuhkan atas tindak korupsi yang dilakukan saat negara
berada dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana
korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter. Jadi, secara
normatif pidana mati hanya dijatuhkan atas tindak pidana korupsi tertentu,
bukan tindak pidana korupsi secara umum. Hal ini pun semakin menegaskan
bahwa pidana mati tidak merampas hak hidup seseorang; pidana mati
bukanlah pidana yang diterapkan pada semua tindak pidana; pidana mati
adalah pidana yang sifatnya kasuistik dan melalui serangkaian proses panjang
untuk menjatuhkannya. Secara normatif, pidana mati dapat dianggap sebagai
upaya serius untuk menciptakan kepastian hukum dan ketertiban di
masyarakat. Konvensi Internasional tentang Narkotika dan Psikotropika
mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk mengakkan hukum secara
serius dan menjamin ketentraman di masyarakat. Pidana mati adalah senjata
yang saat ini masih ampuh untuk menindak para pelanggar hukum berat dan
pemberi efek jera yang tidak dimiliki oleh jenis pidana lain.