PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SISWA AKTIF (STUDEN ACTIVE LEARNING) BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INDONESIA.

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah ... 7

2. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Identifikasi Variabel ... 11

F. Definisi Operasional ... 11

G. Asumsi ... 13

H. Hipotesis ... 13

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Teori Model Pembelajaran ... 14

B. Pembelajaran Siswa Aktif (PSA) 1. Konsep Dasar Pembelajaran Siswa Aktif ... 20

2. Pembelajaran Siswa Aktifsebagai Model Pembelajaran ... 27

C. Konsep Berbicara 1. Pengertian Berbicara ... 34

2. Tujuan Berbicara... 39

3. Ragam Berbicara ... 42

4. Prinsip Berbicara... 44

5. Hambatan Berbicara ... 46

6. Hubungan berbicara dengan Keterampilan Berbahasa lainnya ... 51


(2)

D. Pembelajaran Berbicara dengan Model PSA

1. Materi Berbicara dalam Kurikulum Bahasa Indonesia ... 62

2. Tahapan Pembelajaran Berbicara ... 63

3. Bentuk-bentuk Tugas Kemampuan Berbicara Anak ... 70

4. Karakteristik Perkembangan Berbicara anak SD/MI ... 73

E. PSA dalam Pembelajaran berbicara di SD ... 77

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 84

B. Desain Penelitian ... 85

C. Validitas Internal dan Eksternal... 85

D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 88

E. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 89

F. Prosedur Penelitian ... 90

G. Variabel Penelitian ... 104

H. Instumen Penelitian 1. Desain Model Pembelajaran ... 104

2. Tes ... 118

3. Observasi ... 122

4. Wawancara ... 123

I. Prosedur Pengolahan Data... 124

1. Analisis Data Proses ... 125

2. Analisis Data Hasil ... 125

BAB IV DATA, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN A. Pembelajaran Berbicara Prapenelitian 1. Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran ... 127

2. Analisis Pembelajaran ... 129

B. Pelaksanaan Model PSA dalam Pembelajaran Berbicara di Kelas V SD Tunas Unggul ... 131

1. Deskripsi Data Komponen Pembelajaran ... 131

a. Kegiatan Guru dan Siswa ... 131

b. Materi Pembelajaran ... 141

c. Metode Pembelajaran ... 143

d. Evaluasi ... 144

2. Deskripsi Data dan Analisis Data Pembelajaran ... 144

a. Deskripsi dan Analisis Pertemuan Kesatu ... 145

1) Deskripsi Data Pertemuan Kesatu ... 145

2) Analisis Data Pertemuan Kesatu ... 154

b. Deskripsi dan Analisis Pertemuan Kedua ... 158

1. Deskripsi Data Pertemuan Kedua ... 158

2. Analisis Data Pertemuan Kedua ... 166

c. Deskripsi dan Analisis Pertemuan Ketiga ... 169

1. Deskripsi Data Pertemuan Ketiga ... 169

2. Analisis Data Pertemuan Ketiga ... 178

d. Deskripsi dan Analisis Pertemuan Keempat ... 179

1. Deskripsi Data Pertemuan Keempat ... 179


(3)

C. Sistem Sosial Kelas ... 196

D. Prinsip-prinsip Reaksi ... 197

E. Sistem Penunjang ... 198

F. Deskripsi dan Analisis Tanggapan Guru terhadap Model PSA .. 199

G. Deskripsi dan Analisis Data Keterampilan Berbicara Murid ... 201

1. Deskripsi dan Analisis Data Aspek Pengucapan ... 202

a. Deskripsi Data Aspek Pengucapan ... 202

b. Analisis Data Aspek Pengucapan ... 210

2. Deskripsi dan Analisis Aspek Parabahasa ... 211

a. Deskripsi Data Aspek Parabahasa ... 211

b. Analisis Data Aspek Parabahasa ... 229

3. Deskripsi dan Analisis Aspek Kebahasaan ... 231

a. Deskripsi Data Aspek Kebahasaan ... 231

b. Analisis Data Aspek Kebahasaan ... 252

4. Deskripsi dan Analisis Aspek Isi Pembicaraan ... 254

a. Deskripsi Data Aspek Isi Pembicaraan ... 254

b. Analisis Data Aspek Isi Pembicaraan ... 267

5. Deskripsi dan Analisis Aspek Kelancaran ... 268

a. Deskripsi Data Aspek Kelancaran ... 268

b. Analisis Data Aspek Kelancaran ... 272

6. Deskripsi dan Analisis Aspek Bahasa Tubuh ... 274

a. Deskripsi Data Aspek Bahasa Tubuh ... 274

b. Analisis Data Aspek Bahasa Tubuh ... 276

H. Uji Hipotesis ... 278

1. Peningkatan Keterampilan Berbicara Kelas Eksperimen ... 278

2. Peningkatan Keterampilan Berbicara Kelas Kontrol ... 280

3. Perbandingan Peningkatan Keterampilan Berbicara Murid Kelas Eksperimen dan Kelas Konrtol ... 281

I. Pembahasan 1. Proses Pembelajaran Model PSA ……… 284

2. Hasil Penilaian Berbicara ... 295

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 305

B. Saran ... 313

DAFTAR PUSTAKA ... 315

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 321


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Salah satu tugas yang diemban manusia sebagai makhluk sosial adalah ta'arafu artinya saling mengenal dan berinteraksi dengan sesamanya. Melalui Al-Quran Allah memfirmankan-Nya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal" (Al-Hujuraat: 13). Untuk dapat melakukannya, manusia dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan media yang efektif yakni bahasa. Keberhasilan berkomunikasi sangat ditentukan oleh keterampilan seseorang dalam menggunakan bahasa. Salah satunya adalah kemampuan berbicara sebagai sarana komunikasi lisan.

Dalam kenyataan sehari-hari, setiap orang selalu dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara, dialog di lingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat, dan di lingkungan pendidikan. Di samping tuntutan tersebut, bagi bangsa Indonesia, tradisi dengar-ucap lebih dominan daripada tradisi baca-tulis. Kondisi tersebut digambarkan oleh hasil penelitian Dale Carnagie dalam Rakhmat (1992: 2) bahwa 75% waktu bangun kita berada dalam kegiatan komunikasi dan dapat dipastikan sebagian besar kegiatan komunikasi itu dilakukan secara lisan. Laporan penelitian Rankin (dalam Burhan, 1981: 82 dan Fisher dan Terry,


(5)

1977: 126) masih cukup relevan dijadikan acuan. la menunjukkan bahwa kegiatan berbicara menduduki posisi kedua. Dalam berbahasa setiap harinya, orang menghabiskan waktu rata-rata 45 % untuk menyimak, 30 %

berbicara, 16 % membaca, dan 9 % menulis.

Selain itu, perkembangan teknologi pun mendukung masyarakat untuk membiasakan berbahasa lisan. Munculnya media elektronik dan alat perhubungan jarak jauh seperti telepon sangat memengaruhi aktivitas berbahasa masyarakat. Dalam berkomunikasi jarak jauh, orang lebih cenderung menggunakan telepon daripada menulis surat.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan berbicara merupakan aktivitas dominan dalam kehidupan manusia dan menjadi sangat penting kedudukannya. Oleh karena itu, penguasaannya menjadi sesuatu yang wajib dimiliki. Terdapat pepatah yang menunjukkan pentingnya berbicara, yakni “Ucapan lebih tajam daripada pedang”. Pernyatan seorang Sahabat Rasul tersebut menunjukkan berbicara merupakan kegiatan penting dan memiliki dampak dari apa yang disampaikan. Dengan demikian, berbicara harus memiliki tujuan tertentu, sehingga apa yang disampaikan berdampak positif bagi pembicara maupun pendengar. Untuk itu, perlu ada pembinaan khusus untuk mengembangkan keterampilan berbicara seseorang.

Keterampilan berbicara seseorang dapat dibina melalui lembaga pendidikan formal dan melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia. Jika kita mencermati kurikulum Bahasa Indonesia saat ini, peluang untuk mengembangkan keterampilan tersebut sangat besar. Kurikulum Bahasa mencantumkan hakikat pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi (Puskur, 2003). Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan


(6)

untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik berbicara maupun menulis.

Saat ini, pembelajaran berbicara belum mendapat perhatian yang serius. Perhatian guru masih terfokus pada penumbuhan kemampuan membaca dan menulis. Kurangnya perhatian terhadap pembelajaran berbicara terlihat sampai saat ini guru masih beranggapan bahwa keterampilan berbicara mudah dan alami dalam perolehannya. Padahal jika kita sadari, pembelajaran berbicara sangatlah penting. Ketidakterampilan berbicara berarti kemunduran dalam berbahasa lisan. Kemunduran dalam berbahasa lisan dapat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa tulis (Tarigan, 1986: 24).

Persoalan mendasar lainnya yang memicu lemahnya pengajaran bahasa termasuk berbicara adalah penggunaan metode. Cara penyampaian guru cenderung kurang bervariasi (Tarigan, 1986: 39). Padahal, cara guru mengajar sangat mempengaruhi cara siswa belajar. Jika guru mengajar dengan metode ceramah, siswa pun belajar dengan cara menghafal. Jika guru mengajar dengan banyak memberikan latihan, siswa pun akan memperoleh pengalaman.

Blaselly dkk. melaporkan situasi pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia dewasa ini. Pembelajaran bahasa di sekolah cenderung bersifat sangat teoretis dan tidak terkait dengan lingkungan tempat peserta didik berada. Akibatnya, peserta didik tidak mampu menerapkan materi yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan-akan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga asing dari masyarakatnya sendiri (Dikmenum, 2002: 2).


(7)

Nurhadi (2004) melaporkan hasil penelitian yang sama. Para siswa sekolah dasar dan menengah di Indonesia tidak mampu menghubungkan materi yang dipelajari dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk memecahkan persoalan sehari-hari. Siswa hanya memperoleh hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. la hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sedangkan keterkaitan antara fakta-fakta dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.

Widharyanto (2003) menyatakan temuan lain. Pembelajaran Bahasa Indonesia di banyak Sekolah Dasar di Indonesia cenderung masih berpusat pada guru. Hasil observasi kelas dan wawancara intensif dengan ratusan guru Bahasa Indonesia, siswa, dan orangtua siswa di beberapa kota memperlihatkan fenomena tersebut. Para guru Bahasa Indonesia masih merasa "nyaman" dengan situasi kelas ketika mereka masih mendominasi keseluruhan waktu pembelajaran, sedangkan siswa diam, mendengarkan penjelasan guru, dan mengerjakan latihan. Guru cenderung kurang meminati kelas Bahasa Indonesia yang ditandai oleh tingkat keramaian yang tinggi, dipenuhi dengan interaksi fisik dan interaksi berbahasa multiarah antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, siswa dengan kelompok siswa, siswa dengan kelas.

Suherdi (2004) memperkuat pernyataan Widharyanto. Proses Belajar Mengajar (PBM) Bahasa Indonesia rata-rata ditandai oleh dominasi kegiatan guru menjelaskan-siswa menyimak, atau guru bertanya-siswa menjawab. Tanya jawab semacam itu umumnya hanya menyisakan kesempatan mengungkapkan satu-dua kata kepada para siswa. Jarang sekali ditemukan


(8)

peluang yang cukup besar bagi siswa untuk menyumbangkan gagasannya dalam bentuk wacana terbuka dan ekstensif.

Kenyataan di atas mengundang perhatian dan keprihatinan peneliti, sebab jika masalah tersebut tidak segera direspons, dikhawatirkan benih-benih unggul akan mati di tangan guru dan sekolah. Anak-anak yang pintar dikirim ke sekolah bukannya berkembang malah terjadi sebuah proses pembodohan. Anak-anak didesain untuk diseragamkan menjadi produk masal dan kreativitas mereka disumbat.

Kenyataan yang kurang kondusif tersebut diduga sangat besar kontribusinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang tidak disenangi dan membosankan (Sumardi, 1992). Kenyataan tersebut sesungguhnya dapat diubah. Pelajaran Bahasa Indonesia dapat menempati posisi yang lebih baik. Ia menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, menarik, dan memberi manfaat nyata bagi kehidupan penuturnya.

Proses pembelajaran Bahasa Indonesia menuntut optimalisasi tidak hanya pada aspek materi, tetapi juga aspek penggunaan metode dan teknik pembelajaran di kelas. Hal itu perlu segera dibenahi agar pendidikan menjadi lebih menjanjikan dan bibit-bibit unggul dapat berkembang secara baik. Untuk itu, tentunya diperlukan interaksi yang memadai. Rivers (1987) menyatakan bahwa proses belajar mengajar memerlukan interaksi yang memadai yang merupakan syarat mutlak untuk berkembangnya belajar bahasa yang optimal.

Interaksi diyakini berperan sebagai proses kognitif dalam interaksi siswa dengan masukan dan siswa dengan sesama (teman)nya. Oleh karena


(9)

itu, siswa tidak hanya sekedar menyimak masukan, tetapi berpartisipasi aktif dalam mengolah dan menegosiasikan masukan tersebut (Long, 1983). Dengan kata lain, belajar bahasa yang optimal memerlukan interaksi negosiatif yang menempatkan siswa pada posisi pengolah informasi-informasi yang diperlukan melalui makna dengan guru dan sesama temannya. Di samping itu, pembelajaran yang baik adalah yang menempatkan siswa sebagai gurunya, dan guru yang baik adalah yang juga belajar dari siswanya. Siswa adalah gurunya guru.

Pembelajaran siswa aktif sebagai salah satu pendekatan belajar yang menempatkan siswa sebagai gurunya bagi diri sendiri, dapat dijadikan solusi dalam menyelesaikan persoalan PBM Bahasa Indonesia. Pendekatan ini lebih menekankan pada aktivitas siswa. Siswa menggunakan otaknya untuk mengkaji ide-ide, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari (Silberman, 1996).

Dalam pembelajaran siswa aktif, aktivitas siswa didasarkan pada pengalaman belajar yang diperoleh melalui bentuk keterlibatan kelas baik dalam kerja tim, kerja kelompok kecil, kerja berpasangan, maupun kerja individual. Selain itu, keterlibatan siswa di kelas juga dilakukan melalui aktivitas berbicara, menulis, membaca, debat, role playing, acting,

wawancara, percobaan, ataupun riset kecil. Aktivitas seperti itu diduga dapat memperbaiki keterpurukan pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini.


(10)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Pembahasan penelitian ini adalah pengembangan keterampilan berbicara bahasa Indonesia berdasarkan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Penelitian ini dilaksanakan selama satu semester di SD Tunas Unggul tahun ajaran 2008/2009. Penerapan model ini akan berujung kepada kesimpulan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Indikatornya mengacu pada salah satu indikator yang dikemukakan Reigeluth dan Merrill (1979) yakni kecermatan penguasaan keterampilan. Dalam penelitian ini, keterampilan yang dimaksudkan adalah keterampilan berbicara bahasa Indonesia.

Ruang lingkup berbicara dibatasi pada kegiatan berbicara bahasa Indonesia yang beragam informal. Salah satu ragam informal yang disebutkan Logan (1972) adalah pembelajaran ‘instructional’. Dalam pembelajaran tersebut dikembangkan ragam berbicara yang sesuai dengan salah satu standar kompetensi yang ditetapkan, yakni menceritakan hasil pengamatan. Pengamatan yang dilakukan siswa adalah mengamati gambar berseri kemudian mengekplorasi pesan dari gambar tersebut. Ekplorasi tersebut dilakukan dalam tahapan pembelajaran yang akan dilangsungkan. Salah satu pertimbangan pemilihan ragam di atas adalah bentuk berbicara tersebut merupakan dasar bagi anak untuk dapat mengembangkan keterampilannya dalam mengekspersikan ide-idenya dalam bahasa lisan.


(11)

Sehingga, hal itu menjadi dasar untuk pengembangan kemampuan berbicara yang lebih tinggi.

Pembelajaran siswa aktif adalah pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam mengembangkan model pembelajaran berbicara bahasa Indonesia. Alasannya adalah pendekatan tersebut padu dengan prinsip-prinsip berbicara, salah satu prinsip-prinsip tersebut adalah berbicara itu bersifat interaktif, artinya berbicara tidak hanya mensyaratkan hadirnya partisipan melainkan diperlukan adanya dialog dan saling menanggapi antarkedua belah pihak. Dalam hal ini keaktifan siswa sangat dituntut. Sementara itu, salah satu prinsip pembelajaran siswa aktif adalah siswa terlibat aktif dalam setiap pembelajaran.

Berdasarkan deskripsi singkat di atas, penelitian ini diberi judul “Penerapan Model Pembelajaran Siswa Aktif (Student Active Learning) bagi Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Indonesia” (Penelitian pada Siswa SD Tunas Unggul Bandung). Tujuannya adalah menguji keefektifan model tersebut dan mengkaji perbedaan yang signifikan tentang kemampuan berbicara sebelum dan sesudah penerapan model tersebut dilaksanakan serta mendeskripsikan langkah-langkah pembelajarannya.

2. Rumusan Masalah

Masalah umum yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah apakah model pembelajaran siswa aktif (Student Active Learning) efektif meningkatkan kemampuan berbicara. Secara rinci, permasalahan tersebut dirumukan ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.


(12)

1. Model pembelajaran siswa aktif yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa?

2. Bagaimanakah implementasi model pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SD?

3. Apakah model pembelajaran siswa aktif efektif meningkatkan kualitas peran siswa dan guru dalam interaksi belajar mengajar?

4. Apakah model pembelajaran siswa aktif efektif meningkatkan keterampilan berbicara siswa SD?

5. Apakah terdapat perbedaan peningkatan keterampilan siswa SD antara yang menggunakan model pembelajaran siswa aktif dengan model konvensional?

6. Bagaimana tanggapan guru terhadap model pembelajaran siswa aktif yang diterapkan?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diarahkan pada implementasi model pembelajaran siswa aktif bagi peningkatan keterampilan berbicara siswa SD Tunas Unggul. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menemukan model pembelajaran siswa aktif yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

2. Mendeskripsikan implementasi model pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SD.

3. Mengetahui aktivitas siswa dan guru dalam interaksi belajar mengajar.


(13)

4. Mengetahui keefektifan model pembelajaran siswa aktif dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SD.

5. Mengetahui perbedaan peningkatan keterampilan siswa SD antara yang menggunakan model pembelajaran siswa aktif dengan model konvensional.

6. Mengetahui tanggapan guru terhadap model pembelajaran siswa aktif yang diterapkan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini mencoba menerapkan model pembelajaran siswa aktif dalam pembelajaran berbicara. Dengan demikian, secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang didasarkan pada efektivitas implementasi model pembelajaran siswa aktif yang dikembangkan dalam pembelajaran berbicara.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Dinas Pendidikan bidang Dikdasmen, di dalam mengembangkan kurikulum Bahasa Indonesia, model pembelajaran siswa aktif ini dapat dijadikan salah satu model pembelajaran. Untuk itu, model ini terlebih dahulu dilatihkan kepada guru-guru Bahasa Indonesia di SD untuk siap diimplementasikan di kelas.


(14)

b. Bagi LPTK, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam menyediakan guru yang akan mengajarkan bahasa Indonesia, mengembangkan konsep kurikulum, dan mengembangkan model pembelajaran.

c. Bagi guru, penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan wawasan guru dalam mencari solusi dari belajar yang membosankan ke belajar yang menyenangkan.

d. Bagi siswa, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan kreativitas siswa.

E. Identifikasi Variabel

Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah a) Model pembelajaran siswa aktif f dalam pembelajaran berbicara bahasa Indonesia sebagai variabel independen dan b) keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa SD sebagai variabel dependen.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya salah pemahaman tentang konsep-konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan beberapa istilah sebagai berikut.

1) Pembelajaran siswa aktif adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan aktivitas siswa. Kegiatan belajar dipandang sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa. Siswa menggunakan otaknya untuk mengkaji ide-ide, memecahkan masalah, dan menerapkan konsep-konsep yang dipelajarinya


(15)

(Silberman, 1996). Siswa mengintegrasikan informasi, konsep-konsep, atau keterampilan baru ke dalam skema atau struktur kognitif yang sudah mereka miliki melalui berbagai cara seperti merumuskan, memeriksa kembali, serta mempraktikkannya.

2) Kemampuan berbicara adalah kemampuan siswa dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya melalui bahasa lisan. Dalam hal ini, keterampilan yang harus dikuasai siswa adalah keterampilan berbicara dalam bentuk kegiatan menganggapi peristiwa, menceritakan hasil pengamatan gambar.

3) Komponen pembelajaran dalam penelitian ini adalah komponen yang turut menentukan keefektifan pembelajaran, yaitu guru, siswa, materi ajar berbicara, sarana dan prasarana yang secara siginifikan berpengaruh terhadap pelaksanaan model pembelajaran siswa aktif. 4) Pembelajaran berbicara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia yang terfokus pada berbicara sebagai salah satu keterampilan berbahasa. Ragam berbicara yang dipilih adalah ragam informal.

5) Model pembelajaran siswa aktif adalah perekayasaan model pembelajaran berbicara dengan penerapkan prinsip-prinsip PSA yang dijabarkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran, yakni mengkaji ide-ide, memecahkan masalah, dan menerapkan konsep-konsep.


(16)

G. Asumsi

Ada beberapa asumsi yang dijadikan landasan dalam penelitian ini. 1. Berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa yang harus dimiliki

siswa sekolah dasar. Berbagai aktivitas di sekolah menuntut para siswa untuk dapat menyampaikan ide dan gagasannya dalam bahasa lisan. 2. Ketepatan pemilihan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran

sangat menentukan kebehasilan tujuan pembelajaran. Sebagaimana dalam sebuah syair disebutkan: “Al-thariiqah ahammu min al-maaddah”

(Penggunaan metode lebih penting daripada materi).

3. Pembelajaran berbicara akan berhasil dengan baik jika ditunjang oleh penggunaan pendekatan pembelajaran yang mendukung siswa terlibat aktif dalam upaya berkomunikasi.

4. Pembelajaran siswa aktif adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa. Dengan demikian, pendekatan tersebut dapat menunjang keberhasilan proses belajar siswa sehingga kemampuan berbicara dapat berkembangan secara baik.

H. Hipotesis

Rumusan hipotesis penelitian ini sebagai berikut.

Keterampilan berbicara subjek penelitian yang memperoleh

perlakuan model PSA menunjukkan hasil yang lebih tinggi

dibandingkan subjek penelitian yang tidak mendapatkan

pembelajaran model PSA pada taraf signifikansi 0,05

”.


(17)

(18)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan metodologi penelitian. Adapun pembahasannya meliputi 1) metode penelitian, 2) desain penelitian, 3) prosedur penelitian, 4) lokasi dan waktu penelitian, 5) populasi dan sampel penelitian, 6) variabel penelitian, 7) instrumen penelitian, dan 8) analisis data.

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menguji keefektifan model pembelajaran siswa aktif (PSA) dalam pembelajaran berbicara. Alasan pemilihan model ini adalah (1) pada umumnya aktivitas pembelajaran di sekolah saat ini masih cenderung berpusat pada guru, (2) Model PSA dirancang untuk mengoptimalkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran berbicara, (3) PSA memberikan dasar bagi pengembangan kemampuan berbicara siswa.

Berdasarkan pokok masalah penelitian yang tersurat dalam judul, prosedur penelitian yang digunakan adalah prosedur yang memiliki karakteristik adanya prates, pascates, eksperimen, kelas kontrol dan subjek yang dipilih tidak acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya (Nunan, 1992; Ressefendi dan Sanusi, 1998; Cohen dan Manion, 1998). Prosedur yang dimaksud adalah prosedur yang dikenal dengan jenis penelitian kuasi eksperimen. Adapun desain yang ditetapkan adalah non-equivalent control group design (desain kelompok kontrol non-ekuivalen).


(19)

B. Desain Penelitian

Sesuai metode yang ditetapkan, metode ini memuat prates, pascates, kelompok eksperimen, dan kelompok kontrol, subjek tidak dipilih secara acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya. Dengan demikian, desain penelitian ini adalah non-equivalent control group design (desain kelompok kontrol non-ekuivalen). Pada desain ini terdapat prates, perlakuan berbeda antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dan ada pascates (Fraenkel dan Wallen, 1993: 248; Cohen dan Manion, 1997: 167; Van Dalen, 1979: 248; Cook dan Campbell, 1979: 95; Ruseffendi, 1998: 47; Gall and Borg, 2003: 402). Berikut ini diagram rancangan desain yang dimaksud di atas.

Keterangan:

O = Pengukuran awal dan pengukuran akhir X1 = Perlakuan pembelajaran melalui model PSA X2 = Perlakuan pembelajaran tanpa model PSA

C. Validitas Internal dan eksternal

Salah satu karakteristik tes yang baik adalah memiliki tingkat validitas yang baik. Sebuah tes dikatakan valid jika tes tersebut benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Sebaliknya, jika tingkat validitas

Experiment group O X1 O

Control group O X2 O


(20)

tidak teridentifikasi, maka terjadi penyalahgunaan tes sebagaimana pernyataan Alderson, Clapham, dan Wall (1995: 170) sebagai berikut. “One of the commonest problems in test use is test misuse: using a test for a purpose for which it was not intended and for which, therefore its validity is unknown”.

1. Validitas Internal

Sebuah penelitian memiliki validitas internal apabila hubungan dua variabel atau lebih sesuai dengan posisinya, sehingga tidak mungkin muncul suatu kesimpulan akhir selain dari variabel yang sudah ditetapkan (Fraenkel dan Wallen: 1990). Untuk mengujinya diperlukan jawaban yang logis terhadap pertanyaan: “Apakah hasil penelitian merupakan hasil dari eksperimen peneliti?”

Untuk memenuhi tuntutan validitas internal tersebut, dilakukan hal-hal berikut.

1) Model PSA yang akan diterapkan dikonsultasikan dan ditelaah oleh pakar dan teman seprofesi.

2) Instrumen tes (soal prates dan pascates) diperiksa oleh teman seprofesi dan berdasarkan pertimbangan pakar kemudian diujicobakan di beberapa sekolah.

3) Setiap tindakan kelas selalu didampingi lembar pengamatan dan lembar kerja yang termonitor secara terus menerus dan berkelanjutan dari pihak dosen dan pengamat.


(21)

2. Validitas Eksternal

Nunan (1992: 14-17) menyatakan bahwa validitas eksternal merujuk pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan terhadap keseluruhan populasi. Senada dengan pernyataan tersebut, Sevilla, (1993: 100) menyebutkan bahwa validitas eksternal menunjukkan suatu keadaan dimana hasilnya dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada kelompok atau lingkungan lain di luar daerah eksperimen. Tipenya ada dua, yakni validitas populasi dan validitas ekologi. Validitas populasi menunjukkan apakah subjek populasi dapat berkelakuan sama seperti pada subjek sampel eksperimen, sedangkan validitas ekologi menunjukkan pada kondisi-kondisi yang sama (letak, perlakuan, peneliti, variabel terikat, dan lain-lain) hasilnya dapat diharapkan sama. Untuk hal tersebut dilakukan validitas eksternal terhadap instrumen penelitian ini sebagai berikut.

1) Mengadakan uji homogenitas baik terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol (data terlampir).

2) Menstandarkan kondisi penelitian dengan cara menjaga banyaknya sampel penelitian pada waktu prates, pelaksanaan pembelajaran, dan pascates.

3) Untuk menghindari pengaruh psikologis yang muncul dalam eksperimen, subjek tidak mengetahui bahwa mereka sedang berpartisipasi dalam eksperimen.

4) Mencari sebanyak mungkin informasi tentang subjek penelitian dengan cara mewawancarai guru mengenai kesulitan dalam


(22)

pembelajaran berbicara, mendeskripsikan proses pembelajaran di kelas eksperimen, dan menelaah dokumen sekolah

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Fraenkel dan Wallen (1993: 80) menjelaskan bahwa dalam penelitian bidang pendidikan, populasi pada umumnya adalah sekelompok orang (para siswa, para guru, atau individu lain) yang memiliki karakteristik tertentu. Bagaimana pun dalam beberapa hal, pupolasi mungkin digambarkan sebagai suatu kelompok kelas, sekolah, atau bahkan fasilitas.

Untuk itu, yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah sekelompok orang yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan permasalahan penelitian yang dihipotesiskan, yakni siswa kelas V SD Tunas Unggul Tahun Ajaran 2008/2009.

2. Sampel Penelitian

Sampel mengacu pada sejumlah anggota dari suatu populasi yang sekaligus dapat dijadikan wakil dari populasi tersebut. Mengenai besaran jumlah sampel yang refresentatif dalam penelitian eksperimen, Fraenkel dan Wallen (1993: 92) menyebutkan bahwa untuk penelitian eksperimental dan kausal-komparatif, kita merekomendasikan sedikitnya 30 individu per kelompok, walaupun kadang-kadang penelitian eksperimental dengan hanya


(23)

15 individu pada setiap kelompok dapat dipertahankan jika mereka dikontrol dengan ketat.

Pendapat di atas dijadikan dasar dalam penentuan sampel penelitian ini. Siswa kelas V seluruhnya berjumlah 60 orang yang terbagi ke dalam dua kelas. Dengan demikian, ditentukan kelas A menjadi kelompok eksperimen dan kelas B menjadi kelompok kontrol.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Tunas Unggul Jl. At-Taqwa Pasir Impun Bandung. Jangka waktu penelitian ini adalah empat bulan mulai Januari s.d. April 2009. Jadwal pertemuan dan pembelajaran tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 3.1

Pelaksanaan Penelitian

N0. WAKTU KEGIATAN POKOK BAHASAN

1. Minggu Pertama Januari 2009

Survey pendahuluan

Menjaring PBM yg berlangsung dan kemampuan berbicara siswa

2. Minggu Keempat Januari 2009

Pertemuan dg guru dan kepala sekolah

Mediskusikan instrumen

3. Minggu kesatu

Pebruari 2009

Prates Menceritakan pesan

gambar berseri dengan tema Kesehatan, Pendidikan, dan Ketertiban 4. Minggu kedua

Pebruari 2009

Pertemuan PBM ke-1

Menceritakan peristiwa dalam gambar

5. Minggu ketiga Pebruari 2009

Pertemuan PBM ke-2

Menyusun peta cerita 7 Minggu Pertemuan PBM Menyusun skenario role


(24)

keempat Pebruari 2009

ke-3 play

8 Minggu

kesatu Maret 2009

Pertemuan PBM ke-4

Role Play

9 Minggu kedua Maret 2009

Pascates Menceritakan pesan gambar berseri dengan tema Kesehatan, Pendidikan, dan Ketertiban

F. Prosedur Penelitian

Seperti yang diuraikan di atas, penelitian ini menggunakan prosedur penelitian kuasi eksperimen. Berikut ini digambarkan prosedur penelitian tersebut.

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian Studi

Pustaka

Survai Lapangan

Interpretasi Desain Model

Ujicoba Model

Analisis

Perlakuan Model Draf

Validasi Desain

Revisi

Desain

Prates Pascates

Simpulan

Sosialisasi, Diseminasi,

dan Implementasi


(25)

Apabila dideskripsikan, penelitian ini mengikuti langkah berikut. 1. Tahap Prapenelitian

Pada tahap ini, penulis melakukan studi lapangan dalam rangka menemukan potensi dan masalah terutama dengan pembelajaran berbicara. Alur proses atau tahapan studi lapangan dalam rangka perancangan model PSA di SD Tunas Unggul, merentang sejak dilakukannya studi lapangan tahap 1 sampai dengan berhasil disusun rancangan model itu sendiri. Keseluruhan alur proses tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Studi Lapangan Tahap I

1) Tujuan

Pada tahap I studi lapangan dilakukan dalam rangka menjajagi kemungkinan dapat dilakukannya kajian terhadap proses pembelajaran berbicara yang selama ini dilaksanakan di SD Tunas Unggul.

2) Fokus kajian

Studi lapangan pada tahap ini dilakukan dengan melakukan eksplorasi secara utuh terhadap semua komponen sistem pendidikan dan pembelajaran di SD Tunas Unggul.

3) Metode dan Teknik

Dalam pelaksanaan penelitian ini, proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik interview secara mendalam (depth


(26)

interview), observasi, dan studi dokumentasi. Data yang diungkapkan lebih merupakan data kualitatif. Setelah melaksanakan analisis terhadap data yang terkumpul, dapat dilakukan analisis komparasi terhadap beberapa hasil penelitian yang relevan, selanjutnya berhasil diungkapkan permasalahan pokok dan fokus sebagai peluang studi dalam bentuk pengembangan model berbicara.

b. Studi Lapangan Tahap II

1) Tujuan

Pada tahap ini, studi lapangan dimaksudkan sebagai upaya melakukan kajian secara umum yang lebih mendalam terhadap sistem pembelajaran Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SD Tunas Unggul dalam konteks makro yaitu kajian terhadap aspek-aspek eksternal proses pembelajaran.

2) Fokus Kajian

Fokus studi pada tahap ini meliputi, pengungkapan variabel internal dan eksternal proses pembelajaran di SD Tunas Unggul dalam pengembangan model PSA yang dipandang memberikan konstribusi dan pengaruh positif. Adapun beberapa aspek yang diungkapkan sebagai fokus pengembangan pada tahap ini terdiri atas: 1) identitas kelembagaan SD Tunas Unggul, 2) sistem pendidikan dan pembelajaran di SD Tunas Unggul, 3) interaksi internal lingkungan SD Tunas Unggul, 4) kondisi daerah asal


(27)

siswa, 5) karakteristik siswa sebagai peserta didik, dan 6) faktor sosial ekonomi lingkungan sekitar SD Tunas Unggul.

3) Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menerapkan teknik

group discussion process (GDP) melalui diskusi secara bebas dengan melibatkan kepala sekolah, guru-guru, staf, dan siswa. Setelah penerapan GDP, untuk lebih menguatkan (triangulasi) data dan melengkapi secara mendalam, dilakukan wawancara secara mendalam (depth interview) kepada sumber-sumber yang relevan dalam mengungkapkan variabel penelitian.

c. Studi Lapangan Tahap III

1) Tujuan

Pada tahap ini studi lapangan dimaksudkan sebagai langkah akhir dalam rangka penyusunan model pembelajaran PSA dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SD Tunas Unggul sehingga dapat diungkapkan peluang pengembangan model PSA yang efektif berdasarkan hasil studi eksplorasi pembelajaran berbicara yang dilaksanakan selama ini.

2) Fokus studi

Fokus studi diorientasikan kepada mengungkapkan penyelenggaraan pembelajaran berbicara di SD Tunas Unggul yang meliputi: 1) penguasaan keterampilan guru (menyusun model, RPP, menentukan alat evaluasi, dan


(28)

sebagainya), 2) potensi yang dapat dikembangkan, 3) permasalahan, dan 4) peluang pengembangan.

3) Metode dan Teknik

Dalam mengungkapkan fokus penelitian mengenai penyelenggaraan pembelajaran berbicara di SD Tunas Unggul digunakan teknik group discussion process (GDP) melalui diskusi secara bebas dengan melibatkan kepala sekolah, guru-guru, staf, dan siswa. Untuk lebih memperdalam dan menguatkan data yang diungkapkan, selanjutnya dilanjutkan dengan wawancara secara mendalam, observasi langsung ke lembaga, penyelengaraan pembelajaran, dan lingkungan sekitar sekolah, serta melakukan studi dokumentasi yang telah tersedia di sekolah.

4) Hasil yang Dicapai

Setelah melakukan analisis terhadap data yang berhasil diungkapkan, selanjutnya dapat disajikan deskripsi penyelenggaraan pembelajaran berbicara di SD Tunas Unggul sebagai data emik. Sebelum mengurai gagasan penyusunan dan penerapan model secara lebih terperinci, pertama-tama perlu ditegaskan bahwa penyusunan model ini dimaksudkan studi atau upaya kajian sistematik dalam menganalisis dan elaborasi membandingkan (komposisi), menetapkan dan menambah atau kompilasi serta mengingatkan fungsi, efektivitas dan efisiensi setiap variabel, komponen atau unsur-unsur bahkan mungkin dimensi program pembelajaran berbicara di SD Tunas Unggul supaya lebih adaptif, inovatif, dan produktif. Gagasan penyusunan model ini dituangkan melalui seluruh kerangka makro


(29)

gagasan pengembangan sebagai payung pengembangan yang selanjutnya dikembangkan ke dalam bagian-bagian penunjang sebagai sebuah pola atau instrumen pembelajaran berbicara, sebagai berikut: a) kriteria keberhasilan penyusunan model PSA; b); b) gagasan pola pembelajaran PSA; c) fokus pengembangan model PSA dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Tunas Unggul; d) Rancangan pengembangan program/kurikulum model PSA; dan e) alur rancangan implementasi model PSA dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Tunas Unggul.

2. Tahap Penyusunan Rancangan Model

a. Rancangan Komponen Pembelajaran

Rancangan model merupakan kerangka utama pelaksanaan pembelajaran yang merupakan hasil refleksi dari konsep pembelajaran PSA dan penyusunan model yang dituangkan dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Berikut ini penulis sajikan rencana pelaksanaan pembelajaran yang dirancang dengan pendekatan PSA mata pelajaran Bahasa Indonesia pada kompetensi dasar berbicara.

1) Penyusunan Tujuan Pembelajaran

Tujuan merupakan rambu-rambu pokok dalam pelaksanaan pembelajaran, sebab tujuanlah yang akan mengarahkan proses tersebut. Berdasarkan kurikulum 2006, tujuan umum pembelajaran Bahasa Indonesia di SD/MI adalah siswa mampu mengulas secara lisan dan tertulis


(30)

pengalaman, gagasan, pendapat, pesan, ungkapan perasaan, dan permasalahan secara sistematis, logis, dan menarik dengan memperhatikan tata cara dan sopan santun berbahasa.

Tujuan pembelajaran berbicara dengan penerapan model PSA merupakan hal yang penting untuk dirumuskan sebelum proses pembelajaran berlangsung. Tujuan yang dimaksud dalam tahapan ini adalah tujuan yang diaktualisikan pada KTSP Mata Pelajaran Bahasa Indonesia melalui standar kompetensi dan kompetensi standar. Merujuk pada KTSP tersebut, standar kompetensi pembelajaran berbicara dengan pendekatan PSA di kelas V SD Tunas Unggul adalah “mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama” dan kompetensi dasarnya adalah ”mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan kata dan santun berbahasa.” Alur peta konsep tujuan pembelajaran tersebut dapat digambarkan seperti berikut.


(31)

TUJUAN PEMBELAJARAN

Gambar 3.2

Alur Tujuan Pembelajaran Berbicara

Siswa mampu mengulas secara lisan dan tertulis pengalaman, gagasan, pendapat, pesan, ungkapan perasaan, dan permasalahan secara sistematis, logis, dan menarik dengan memperhatikan tata cara dan sopan santun berbahasa

PERTEMUAN 1

 Mengidentifikasi peristiwa yang ditampilkan dalam gambar  Mengurutkan peristiwa secara logis yang ditampilkan dalam

gambar

 Menceritakan peristiwa dalam gambar  Menanggapi cerita

STANDAR KOMPETENSI

Mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama

KOMPETENSI DASAR

Mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan kata dan santun berbahasa

PERTEMUAN 2

 Membuat peta cerita berdasarkan gambar berseri

PERTEMUAN 3

 Menentukan tokoh cerita dan sifat tokoh  Membuat skenario drama

PERTEMUAN 4

 Menampilkan peran sesuai dengan tokoh masing-masing  Menanggapi permainan peran yang ditampilkan kelompok


(32)

Berdasarkan peta konsep pembelajaran berbicara tersebut kemudian disinergikan dengan tujuan pembelajaran berbicara seperti yang telah dirumuskan pada rencana pembelajaran.

2) Penyusunan Bahan/Materi Pembelajaran

Bahan atau materi pembelajaran berbicara dalam penerapan model pembelajaran PSA di kelas V SD Tunas Unggul yaitu berupa gambar berseri. Gambar tersebut diterapkan agar keterampilan berbicara siswa yang merupakan dasar atau inti kegiatan berbicara terarah dan tereksplorasi dengan baik.

3) Penyusunan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran

Penyusunan rancangan pelaksanaan pembelajaran dipandu oleh instrumen perlakuan berupa skenario yang disusun dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Proses penyusunan rancangan ini meliputi semua komponen proses pembelajaran yakni tujuan, materi, metode, aktivitas guru dan siswa, serta evaluasi. Adapun tahapan kegiatannya dibagi lima tahap, dengan akronim ICARE (introduce „mengenalkan‟, connect menghubungkan’, apply „menerapkan‟, reflect „merefleksikan‟, dan extend


(33)

4) Penyusunan Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dalam sebuah sistem pembelajaran. Hasil evaluasi akan menggambarkan tercapai tidaknya hasil pembelajaran. Tujuanlah yang akan mengarahkan proses pembelajaran selanjutnya. Kerangka evaluasi dalam pengolahan kinerja hasil pembelajaran dengan model PSA menggunakan sistem analitis deskriptif. Sistem ini diaplikasikan kepada seluruh aspek keterampilan berbicara yang dilatihkan. Analitis deskriptif berupa serangkaian penganalisisan jawaban siswa yang diuraikan dan dikonversi kepada pedoman penilaian (terlampir). Dengan penganalisisan seperti ini diharapkan kinerja siswa dapat diamati berdasarkan kemajuan dan perkembangannya. Oleh karena itu, agar keterampilan berbicara siswa dapat tercermin secara lengkap dan gamblang, peneliti mengemasnya dalam bentuk pedoman dan lembar observasi. Sistem penyekorannya menggunakan skala likert dengan rentang skor antara 1 – 4,99. Semua jawaban siswa akan dikonversikan dengan pendekatan angka-angka tersebut.

3. Uji Kelayakan Model

Untuk menghasilkan model PSA dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Tunas Unggul, dilakukan pengujian terhadap rancangan model yang telah dikembangkan. Pengujian kelayakan model dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu: analisis kualitas model, penilaian ahli, dan uji coba lapangan.


(34)

a. Analisis Kualitas Model

Analasis Kualitas Model dilakukan untuk menguji kelayakan rancangan model PSA dengan cara mengkaji isi setiap komponen serta keterkaitannya dan kesinambungan antara berbagai komponen model. Hal ini dilakukan untuk melihat kembali apakah isi setiap komponen sudah memadai dan apakah hubungan antar komponen itu sudah tepat.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis model hipotetik ini adalah pendekatan sistem yang memandang model PSA sebagai suatu sistem, mengkaji secara utuh semua komponen model yang telah dikembangkan model tersebut adalah rasional, produk model yang dikembangkan, dan kriteria keberhasilannya. Komponen-komponen tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh, saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Analisis kualitas model dilakukan dengan mengkaji ulang model awal yang telah dikembangkan. Analisis kualitas model ini dilakukan oleh peneliti dan didiskusikan dengan teman sejawat pada berbagai kesempatan. Diskusi untuk menganalisis kualitas model adalah diskusi yang tidak terlalu formal, berlangsung ketika peneliti menanyakan beberapa hal kepada teman-teman ahli meliputi: ahli bahasa, ahli pendidikan bahsa Indonesia, ahli kurikulum, ahli teknologi/media pendidikan, dan ahli psikologi pendidikan untuk mendapat tanggapan, masukan, saran-saran, pemecahan seperlunya terhadap proses analisis kualitas model yang sedang dilakukan, dan terhadap model yang telah dikembangkan. Dengan demikian, posisi diskusi dalam kegiatan ini sebagai penunjang terhadap analisis kualitas model, terutama kalau peneliti merasa


(35)

ragu, perlu bantuan, merasa perlu bertanya atau perlu memperoleh masukan dari teman-teman.

Hasil analisis model ini menunjukan bahwa keterkaitan antara komponen-komponen yang dikembangkan sudah menunjukkan adanya konsistensi. Namun, berdasarkan ketepatannya, terdapat komponen yang belum memaparkan apa yang seharusnya dipaparkan. Komponen tersebut adalah komponen tujuan khusus sehingga diadakan perbaikan seperlunya.

b. Penilaian Para Ahli

Rancangan model yang dikembangkan kemudian dinilai oleh para ahli. Penilaian ahli dilakukan secara perorangan oleh beberapa ahli dari berbagai bidang yang berkepentingan. Tenaga ahli yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah sebanyak 6 orang, terdiri masing-masing 1 orang dari: ahli bahasa, ahli pendidikan, ahli teknologi pembelajaran, dan ahli psikologi pendidikan. Kriteria ahli dalam penelitian ini adalah memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan keahlian dimaksud minimal S-2, dan telah bekerja di bidangnya sekurang-kurangnya lima tahun, atau S-1 yang telah bekerja pada bidangnya sekurang-kurangnya 10 tahun pada saat penilaian dilaksanakan. Masing-masing mereka dimintai pendapatnya mengenai kelayakan model PSA dari sudut pandang keahlian masing-masing.

Sistem penilaian dilakukan dengan menggunakan teknik respons terinci. Dengan demikian, para ahli tinggal mengisi pendapatnya pada kolom yang telah disiapkan. Namun demikian, dalam pelaksanaanya penilaian ahli


(36)

tersebut tidak hanya terbatas pada teknik tersebut, penilai juga diberikan kebebasan untuk mencoret-coret lembaran model yang diajukan untuk dinilai.

Hasil penilaian para ahli, dirangkum dalam sajian berikut ini.

a. Secara umum model PSA dinilai oleh para ahli tersebut sudah memadai dan layak diujicobakan.

b. Ruang lingkup dan prosedur model PSA sudah operasional dan mengacu kepada kondisi di lapangan, yakni kondisi nyata peserta belajar.

c. Hasil model konseptual dari pengembangan penelitian yang dilakukan pada kegiatan sebelumnya, setelah divalidasi dan direvisi siap diimplementasikan.

c. Uji Coba Lapangan

Model pembelajaran yang telah disusun dan divalidasi serta disosialisasikan kepada guru, kemudian diujicobakan ke dua sekolah yakni MIN Cicendo dan MI Asih Putra Cimahi.

4. Tahap Perbaikan Rancangan Model

Berdasarkan hasil ujicoba, rancangan model awal pada beberapa bagian dilakukan perbaikan. Rancangan perbaikan divalidasi bersama promotor dan ahli lainnya. Bagian yang diperbaiki berkenaan dengan proses pembelajaran yang diharapkan lebih baik lagi.


(37)

5. Tahap Penelitian Kuasi eksperimen

Eksperimen dilakukan di kelas VA SD Tunas Unggul. Untuk menguji keefektifan model yang digunakan, pelaksanaan penelitian dilakukan empat kali perlakuan. Berikut ini disajikan skenario pembelajaran berbicara yang berlangsung selama empat pertemuan.

PRATES

Pertemuan 1 Pertemuan 2

Menceritakan Peristiwa dalam Gambar 1. Introduce: Menyampaikan tujuan dan

menyajikan informasi kegiatan.

2. Connect: Menghubungkan pemahaman dan pengalaman siswa dengan materi baru

3. Apply: Menceritakan peristiwa dalam gambar dengan tahapan mengajukan pertanyaan, meyampaikan pendapat, menanggapi peristiwa

4. Reflect: Mengidentifikasi hambatan berbicara, menilai sendiri, dan menyampaikan kesan.

5. Extend: menceritakan kembali peristiwa gambar di rumah

Membuat Peta Cerita

2. Introduce Menyampaikan tujuan dan menyajikan informasi kegiatan.

3. Connect: Menghubungkan pemahaman dan pengalaman siswa dengan materi baru

4. Apply: Membuat peta cerita dengan tahapan mengajukan pertanyaan, meyampaikan pendapat, menanggapi peristiwa, dan menganalisis peristiwa dalam kelompok

5. Reflect: Mengidentifikasi hambatan berbicara, menilai sendiri, dan menyampaikan kesan.

6. Extend: menyempurnakan peta cerita di rumah

Memainkan Peran

1. Introduce: Menyampaikan tujuan dan menyajikan informasi kegiatan.

2. Connect: Menghubungkan pemahaman dan pengalaman siswa dengan materi baru

3. Apply: Melakukan permainan peran

4. Reflect: Mengidentifikasi hambatan berbicara, menilai sendiri, dan menyampaikan kesan.

5. Extend: Mengkomunikasi kepada orang tua tentang apa yang sudah diperankan

Menentukan Tokoh dan Sifatnya serta Ucapan Tokoh

1. Introduce: Menyampaikan tujuan dan menyajikan informasi kegiatan.

2. Connect: Menghubungkan pemahaman dan pengalaman siswa dengan materi baru

3. Apply: Menentukan tokoh dan sifatnya serta ucapan tokoh dengan tahapan mengajukan pertanyaan, meyampaikan pendapat, menanggapi peristiwa

4. Reflect: Mengidentifikasi hambatan berbicara, menilai sendiri, dan menyampaikan kesan.

5.Extend: berlatih bermain peran Pertemuan 3 Pertemuan 4


(38)

G. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yakni variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran siswa aktif dalam pembelajaran berbicara. Yang dimaksud dengan PSA adalah pembelajaran yang mengoptimalkan seluruh potensi siswa baik secara fisik maupun mental. Potensi siswa baik pikiran, gagasan, maupun perasaan digali melalui rangsangan gambar berseri.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan berbicara. Yang dimaksud dengan keterampilan berbicara dalam hal ini adalah kemampuan menyampaikan pikiran, ide, gagasan, dan perasaan melalui kegiatan bercerita. Komponen bercerita, seperti tokoh, plot, waktu, amanat dari suatu peristiwa dapat tergali melalui pembelajaran siswa aktif.

H. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan empat instrumen pengumpul data, yakni (3.7.1) desain model pembelajaran siswa aktif (3.7.2) tes, (3.7.3) observasi, (3.7.4) wawancara.

1. Desain Model Pembelajaran

Model pembelajaran yang diujicobakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran siswa aktif (Student Active Learning) untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Model ini tersusun atas tiga


(39)

unsur utama pengembang model, yakni 1) orientasi model, 2) model pembelajaran, dan 3) aplikasi model.

a. Orientasi Model

Model pembelajaran siswa aktif dalam pembelajaran berbicara merupakan model pembelajaran yang didasarkan pada kajian teoretis tentang hakikat berbicara, pembelajaran berbicara, dan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Ketiga aspek tersebut menjadi variabel utama dalam penelitian ini.

Teori-teori yang dipakai dalam pemrosesan model pembelajaran di atas diseleksi secara khusus dengan cara mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang mendukung terwujudnya model pembelajaran yang signifikan dan membantu proses belajar mengajar berbicara. Penyusunan model berdasarkan kajian teori tersebut merupakan salah satu unsur pembangun model. Berikut ini dipaparkan kajian teori yang melandasi model ini.

Dalam perspektif humanisme manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan, dan politik.

Manusia butuh dikembangkan segala potensi dirinya secara berimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya


(40)

saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.

Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah, atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.

Perlu juga diusahakan suatu pengelolaan kelas dengan perspektif baru. Pengelolaan kelas tidak sekedar pada hal-hal teknis atau menyangkut strategi belaka, namun lebih menyangkut faktor pribadi-pribadi peserta didik yang ada di kelas tersebut. Pengelolaan kelas tidak dapat dilepaskan dari aspek manusiawi dari pembelajaran dan pengajaran. Pengelolaan kelas yang ditekankan pada bagaimana mengelola pribadi-pribadi yang ada akan lebih menolong dan mendukung perkembangan pribadi, baik pribadi peserta didik maupun pribadi gurunya. Kelas yang dikelola dengan cara demikian, peserta didik tidak hanya akan berkembang intelektualtasnya saja, namun juga aspek aspek afektif, konatif, dan sosialitasnya. Sebab belajar ternyata tidak hanya terbatas pada aspek intelektual tetapi juga aspek perasaan,


(41)

perhatian, keterampilan, dan kreativitas. Proses belajar hanya efektif jika ada relasi dan komunikasi yang bermutu antara pendidik dan peserta didik dan peserta didik dengan peserta didik. Guru yang tidak menyampaikan kualitas dan makna hidupnya dalam setiap mata pelajaran yang diembannya kepada anak, tidak akan banyak berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Kelas atau kegiatan belajar mengajar hendaknya menjadi suasana yang menggairahkan dan mengasyikkan untuk kegiatan eksplorasi diri dan menemukan identitas diri. Maka, pengajaran secara integral harus berkaitan dengan pendidikan nilai.

Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, aktif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan aktif dan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri). Dengan demikian, pendidik tidak mengambil alih tangung jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap, dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya praksis pendidikan yang berbasis humanisme dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, a)


(42)

siswa hendaknya dijadikan subyek pendidikan dan pusat proses pembelajaran; b) teori aktivitas diri dan aktif-positif merupakan dasar dari proses pembelajaran; c) tujuan pendidikan dirumuskan berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan siswa daripada tekanan pada penguasaan materi pelajaran; d) kurikulum sekolah disusun dalam kerangka kegiatan bersama atau kegiatan yang bersifat “proyek”; e) perlunya secara rutin kontrol informal di kelas dan sosialisasi mengajar dan belajar atau kegiatan bersama di tengah-tengah arus deras individualisme; g) hendaknya banyak diterapkan keaktifan berpikir dan berargumentasi daripada sekedar menghafal atau mengingat-ingat saja; h) pendidikan hendaknya mengembangkan kreativitas siswa.

Oleh karena itu perlu dipersiapkan pendidik yang fleksibel dalam profesinya. Lebih penting mengajarkan bagaimana belajar daripada apa yang dipelajari. Perlu dipertimbangkan juga kaitan antara bangunan sekolah, sistem pendidikan, guru dan tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas pembelajaran dan pendidikan. Guru harus menuntut dirinya untuk dapat menjadi figur teladan atau model bagi para peserta didik. Sistem kerja dari berdasar pada waktu ke penampilan mutu kerja. Guru dipersiapkan dan dilatih sehingga mampu berperan seperti di dalam keluarga. Pentingnya guru belajar mendengarkan, berkomunikasi, dan berelasi dengan seluruh anggota komunitas sekolah. Yang lebih penting guru harus selalu berusaha “memperhitungkan” siswa, dan mengkondisikan bahwa siswa itu penting. Menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri siswa.


(43)

Dalam konteks inilah model PSA menjadi penting. Sebab, model ini akan mengembangkan potensi anak secara aktif terutama dalam kemampuan berbicara.

Teori berbicara yang didefinisiskan oleh. McBuniey, Green&Petty, Bygate, dan Logan adalah “Speech is the communication of ideas and feelings through visible and audible symbols originating in speakers, listeners and observers and the settings in which communication takes place”

(McBuniey, 1975: 7). Berbicara merupakan kegiatan menyampaikan pikiran dan perasaan melalui simbol-simbol yang bisa didengar dan dilihat yang bermula dari pembicara, pendengar, dan peneliti dimana komunikasi berlangsung. Sesuai dengan kajian materi berbicara dalam kurikulum 2006, yang dimaksud mengkomunikasikan bukan hanya kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi, tetapi lebih spesifik pada kegiatan menanggapi, menceritakan, dan melakukan wawancara sebagai bentuk pengungkapan pendapat, perasaan, fakta, persoalan dan hasil pengamatan terhadap sesuatu yang disampaikan secara lisan.

Keterampilan berbicara tidak akan tercipta dengan sendirinya. Hal itu sesuai pernyataan Green & Petty (1971: 39-40), “Untuk mencapai kemahiran berbicara, seseorang perlu dilatih secara terus menerus dan berkesinambungan, dan perlu pembiasaan”. Senada dengan pernyataan di atas, Bygate dalam Azies (1996: 92) menyebutkan bahwa interaksi lisan ditandai dengan rutinitas yang tidak tercipta dengan sendirinya. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa berbicara perlu dipelajari, seperti yang dikatakan Logan (1972: 104-105) berbicara merupakan prilaku yang dapat dipelajari. Interaksi lisan tersebut akan bermakna jika dilakukan dengan


(44)

cara-cara yang tepat yang melibatkan seluruh aktivitas siswa baik tindakan maupun mental. Artinya, aktivitas siswa mendapat penekanan utama dalam interaksi pembelajaran di kelas. Dengan demikian, pendekatan pembelajaran siswa aktif menjadi penting dalam penelitian ini.

Untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak, selain lingkungan keluarga, anak juga membutuhkan lingkungan sosial yang lebih luas berupa sekolah. Lingkungan sekolah akan memberikan pengaruh yang besar kepada anak. Cara belajar yang baik akan memberikan kesenangan pada anak. Musthofa (tt) menyebutkan beberapa prinsip yang harus dijadikan acuan dalam mengoptimalkan lingkungan belajar bahasa di sekolah, yakni:

1) anak belajar bahasa secara natural;

2) kemampuan berbahasa anak sudah berkembang jauh sebelum masa sekolah;

3) semua anak dapat belajar;

4) anak akan belajar secara optimal jika subjek yang dipelajari utuh, menarik, bermakna, dan fungsional;

5) anak akan belajar secara optimal jika mereka bisa membuat pilihan; 6) anak akan belajar secara optimal dalam lingkungan yang kooperatif.

Suasana belajar akan lebih produktif jika diorkestra secara kolaboratif. Lingkungan yang kolaboratif akan menghasilkan kualitas belajar yang lebih baik dan akan menumbuhkan sense of belonging

dan rasa tanggung jawab terhadap kelompok sosial dimana dia menjadi bagiannya.


(45)

Pembelajaran siswa aktif adalah sebuah pendekatan yang menekankan aktivitas siswa. Aktivitas siswa menjadi ciri utama dalam PSA.

Siswa menggunakan otaknya untuk mengkaji ide-ide, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang dipelajari (Silberman, 1996: ix). Siswa mengintegrasikan informasi, konsep-konsep atau keterampilan-keterampilan baru ke dalam skemata atau struktur kognitif yang sudah mereka miliki melalui berbagai cara seperti merumuskan dan memeriksa kembali serta mempraktikkannya. Hal ini berarti bahwa belajar merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan guru terhadap siswa.

Membelajarkan siswa berarti mengkondisikan lingkungan belajar dengan cara yang lebih efisien, efektif, dan produktif dalam mencapai tujuan pembelajaran. Konsep yang digunakan dalam proses pembelajaran bukan hanya apa yang harus dipelajari siswa, melainkan bagaimana siswa harus mempelajarinya. Dengan kata lain, siswa belajar tentang bagaimana belajar (learning how to learn). Konsep di atas mengisyaratkan bahwa belajar tidak hanya melibatkan indera pendengaran saja, melainkan membutuhkan seluruh indera. Belajar tidak hanya melibatkan seluruh tindakan, melainkan membutuhkan keterlibatan mental. Oleh karena itu, Sudjana (1991: 4) menyebutkan empat cakupan aktivitas siswa dalam belajar, yakni aktivitas sosial, emosional, intelektual dan motorik. Keempat aktivitas ini yang akan menjadi dasar aktivitas siswa dalam model pembelajaran siswa aktif.

Pada akhirnya, model pembelajaran siswa aktif yang diujicobakan keefektifannya pada siswa SD kelas V diharapkan dapat menghasilkan pembelajaran yang efektif dan efisien dan meningkatkan kualitas


(46)

pembelajaran berbicara. Pengembangannya dimaksudkan sebagai bentuk inovasi agar siswa memiliki kompetensi dasar tentang berbicara sehingga menjadi bekal pengembangan kemampuan berbicara pada jenjang yang lebih tinggi.

b. Model Pembelajaran

Menurut Joyce dan Weil (2000: 135) unsur yang terkandung dalam model belajar adalah (1) rangkaian kegiatan (syntax), (2) sistem sosial (social system), (3) prinsip reaksi (principle of reaction), (4) sistem penunjang (support system), dan (5) dampak instruksional dan penyerta (instuctional and nurturant effect). Model pembelajaran siswa aktif mencakup kelima unsur di atas.

1) Tahapan Kegiatan

Pelaksanaan model pembelajaran berbicara berdasarkan pendekatan pembelajaran siswa aktif ini dirancang berdasarkan model siklus belajar (Meyers, 1986), pendekatan komunikatif (Jhonson dan Morrow, 1981; Arnold: 1985). Berikut ini, penulis sajikan tahapan pembelajaran sebagai bentuk modifikasi dari kedua model di atas. Tahapan tersebut merupakan akronim ICARE yakni kepanjangan introduce ‘mengenalkan‟, connect menghubungkan‟, apply „menerapkan‟, reflect „merefleksikan‟, dan extend


(47)

Tahap ke-1: Mengenalkan

Tahap mengenalkan yaitu tahapan penanaman pemahaman tentang isi pembelajaran. Bagian ini diisi dengan penentuan tujuan (setting the objectives). Dalam pengajaran berbicara berdasarkan pendekatan komunikatif, tugas guru adalah menguraikan kegiatan praktis yang akan dipelajari siswa.

Tahap ke-2: Menghubungkan

Pembelajaran merupakan rangkaian satu kompetensi dengan kompetensi lain. Oleh karena itu, semua pengalaman pembelajaran dimulai dari apa yang sudah dketahui, apa yang dapat dilakukan siswa, serta bagaimana mengembangkannya.

Tahap ini berisi menghubungkan bahan ajar baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada sebelumnya. Guru dapat melakukan brainstorming sederhana untuk memahami apa yang telah diketahui, dialami, dan dilakukan siswa sebelumnya. Setelah itu, guru menghubungkannya dengan informasi baru. Tahapan ini dapat dilakukan dengan presentasi atau penjelasan sederhana, tetapi presentasi ini hanya dilakukan sepuluh menit.

Selain tujuan di atas, tahapan ini juga bertujuan untuk menjajagi ide-ide yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berbicara. Hal ini bertujuan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dan siswa diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari. Pengembangan topik dapat


(48)

diperoleh dari pengalaman belajar bidang studi yang lain dan lingkungan sekitar.

Siswa secara langsung diberi kesempatan menggunakan pengetahuan awalnya dalam mengobservasi, memahami fenomena alam, dan mengkomunikasikannya pada orang lain. Aspek penting dalam fase ini adalah menciptakan lingkungan belajar yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menantang struktur mental siswa atau daya pikirnya.

Tahap menghubungkan berlangsung antara 10 sampai 15 menit. Hal itu tergantung topik yang disampaikan.

Tahap ke-3: Menerapkan

Setelah siswa memperoleh informasi atau kecakapan baru, mereka mempraktikannya. Tahapan menerapkan memerlukan durasi waktu paling lama dari seluruh rangkaian pembelajaran, antara 45 s.d. 50 menit. Dalam kegiatan ini, siswa melakukan diskusi, bekerja kelompok untuk menyelesaikan kegiatan nyata dan memecahkan masalah nyata dengan menggunakan informasi dan kecakapan baru yang telah mereka peroleh.

Pada tahap ini siswa diarahkan untuk mampu menggali kemampuan berbahasa lisan melalui kegiatan menceritakan kembali, mengajukan pertanyaan, menyampaikan pendapat, merespons pertanyaan, menanggapi peristiwa/persoalan, menganalisis peristiwa/persoalan, memecahkan masalah, dan memainkan peran. Berikut ini diuraikan contoh tahapan kegiatan diskusi.


(49)

1) Siswa berkelompok mendiskusikan hasil pemahamannya terhadap gambar atau benda. Langkah-langkah diskusi: mengenali, memahami, dan menyimpulkan.

2) Mempresentasikan hasil diskusi.

3) Setelah satu kelompok tampil, siswa lain agar memberi komentar, pendapat, saran mengenai isi dan cara penyampaian.

4) Sesi akhir diskusi diarahkan pada pemecahaman masalah hambatan berbicara yang muncul pada setiap penampilan siswa.

Tahap ke-4: Merefleksikan

Pada tahap ini siswa diajak untuk melakukan refleksi. Manfaatnya, siswa mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Kegiatan refleksi diisi dengan mengidentifikasi hambatan berbicara yang muncul, menilai diri sendiri, dan menyampaikan kesan atas sesuatu yang sudah dilakukan.

Tahap ke-5: Mengembangkan

Kegiatan ini dilakukan siswa setelah menyelesaikan pembejaran di kelas/tatap muka. Tujuannya untuk memperkuat atau memperluas wawasan dan pengalaman siswa. Biasanya, kegiatan ini diisi dengan pekerjaan rumah yang meliputi penyediaan bahan bacaan tambahan atau tugas-tugas.

Secara singkat, tahapan pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut.


(50)

Tabel 3.2

Tahapan Pembelajaran

NO. TAHAPAN INDIKATOR

1. Mengenalkan 1. Menyampaikan tujuan

2. Mengkondisikan pembelajaran 3. Melakukan ice breaker

2. Menghubungkan 1. Menghubungkan materi/pemahaman 2. Mengamati gambar/benda

3. Menerapkan 1. Menceritakan kembali 2. Mengajukan pertanyaan 3. Menyampaikan pendapat 4. Merespons pertanyaan

5. Menanggapi peristiwa/persoalan 6. Menganalisis peristiwa/persoalan 7. Memecahkan masalah

8. Memetakan ide 9. Menyusun skenario 10. Memainkan peran

4. Merefleksikan 1. Mengidentifikasi hambatan berbicara 2. Menilai kemampuan sendiri

3. Menyampaikan kesan 5 Mengembangkan Penugasan

2) Sistem Sosial

Sistem sosial yang dikembangkan adalah terjalinnya hubungan yang kooperatif antara guru dan siswa. Guru menjalankan fungsinya sebagai sumber informasi, pembimbing, dan fasilitator. Sebagai sumber informasi, guru menjelaskan konsep-konsep dasar tentang tahapan berbicara dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif, sebagai pembimbing dan fasilitator,


(51)

guru mengarahkan dan memberi kemudahan dalam berlatih menerapkan pemahaman konsep-konsep dasar berbicara dalam berbagai jenis kegiatan berbicara.

3) Prinsip Reaksi

Prinsip reaksi bermakna sikap dan perilaku guru untuk menanggapi dan merespons bagaimana siswa memproses informasi dan menggunakannya sesuai dengan pertanyaan yang diajukan oleh guru. Prinsip yang dikembangkan oleh guru dalam mereaksi kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut. (1) Memberi pujian terhadap siswa yang menguasai kompetensi yang dipelajari dengan baik. (2) Memberi arahan dalam bentuk penjelasan ulang dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan penuntun bagi siswa yang belum dapat menguasai kompetensi dengan baik. (3) Menanggapi pertanyaan, keluhan, dan kesulitan yang disampaikan oleh siswa dan berupaya mencari pemecahannya.

4) Sistem Penunjang

Sistem penunjang yang optimal dalam pelaksanaan model ini adalah keterampilan guru dalam mengelola kelas. Guru harus memiliki pengetahuan luas dan memiliki tugas-tugas yang tepat pada setiap tahapan model. Lingkungan belajar yang kondusif juga menjadi pendukung pelaksanaannya model ini.


(52)

5) Dampak Instruksional

Pengembangan model pembelajaran berbicara berdasarkan pendekatan pembelajaran siswa aktif ini diharapkan memunculkan dampak instruksional dan dampak penyerta. Dampak instruksional dari model ini adalah tercapainya tujuan pembelajaran yang ditetapkan yaitu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan berbicara.

6) Dampak Penyerta

Dampak penyertanya adalah terbangunnya sikap positif siswa yang berguna bagi kehidupannya.

2. Tes

Tes dalam penelitian ini digunakan untuk menjaring data awal dan akhir tentang keterampilan siswa dalam berbicara bahasa Indonesia. Kemampuan berbicara tampak pada aspek seperti yang digambarkan Jones (1989: 14), yakni clearity‟kejelasan‟, variety‟keragaman‟, audience and tone

‟pendengar dan nada‟; serta Hughes (1992: 111-113), yakni accent, grammar, vocabulary, fluency, and comprehension. Aspek tersebut penulis adaptasi menjadi enam kelompok untuk dijadikan pedoman pernilaian keterampilan berbicara siswa. Keenam kelompok tersebut adalah pengucapan, parabahasa, struktur bahasa, kelancaran, dan bahasa tubuh. Berikut ini kisi-kisi tes kemampuan berbicara.


(53)

Tabel 3.3

Kisi-kisi Tes Berbicara

KOMPONEN INDIKATOR

Pengucapan 1. Artikulasi dalam bercerita Parabahasa 2. Nada dalam bercerita

3. Jeda dalam berbicara Struktur

Kebahasaan

4. Pemilihan diksi dalam bercerita 5. Penggunaan kalimat dalam bercerita Isi Pembicaraan 6. Kesesuaian isi cerita dengan gambar Kelancaran 7. Tidak terjadi penundaan pembicaraan

untuk memikirkan isi

8. Tidak terjadi pengulangan suku kata, kata, atau frase yang sama

Bahasa Tubuh 9. Kontak mata ketika bercerita 10. Mimik ketika bercerita

Perangkat soal tes awal sama dengan tes akhir. Yakni, tes berbicara berdasarkan gambar berseri. Instrumen tes tersebut digunakan setelah memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas.

Untuk mendapatkan validitas isi dan tampilan, alat tes ini dikonsultasikan kepada pakar desain gambar dan pembelajaran bahasa Indonesia untuk SD/MI serta tiga pakar yang bertindak selaku promotor. Untuk mendapatkan tingkat reliabilitas dan validitas yang memenuhi standar, alat tes diujicobakan pada siswa kelas V A MIN I Cicendo kelas V dan siswa kelas V A MIN Asih Putra Bandung.

Penilain terhadap kemampuan berbicara didasarkan pada skala lima, yaitu mulai bilangan 1, 2, 3, 4, dan 5. Skor 1 berarti sangat tidak tepat; 2 berarti tidak tepat; 3 berarti kurang tepat; 4 berarti tepat; dan 5 berarti sangat tepat. Untuk mempertahankan objektivitas dan konsistensi dalam penilaian


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abernathy, Rob dan Mark Reardon. 2004. 25 Kiat Dahsyat Menjadi Pembicara Hebat. Bandung: Mizan Pustaka.

Alderson, J.C.,C. Clapham, dan D. Wall. 1995. Language Test Construction and Evaluation. NY: Cambridge University Press.

Alen, Edward David dan Rebecca M. Valette. 1977. Classroom Languages and English a Second Languages. London: Horacourt Brace Publisher. Anderson, Paul S. 1972. Language Skills in Elementary Education. New

York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Armstrong, T. 1995. Multiple Intelligences in the Classroom. Alexandria: Arnold, Edward. 1985. At the Chalkface; Practical Techniques in Language

Teaching. London: Edward Arnold Ltd.

Bean, R. 1993. Cara Mengembangkan Kreativitas Anak. Terjemahan Meitasari

Brigance, William Norwood. 1953. Speech Composition. New York: Appleton-Century-Crofts.

Brook, Nelson. 1964. Language and Language Learning. New York: Harcourt Brace & World, Inc.

Burns, A. 1999. Focus on Speaking. Sydney: National Centre for English Byrne, Donn. 1976. Teaching Oral English. London: Longman.

Cameron, Lynne. 2001. Teaching Languages to Young Learners. Cambridge University Press.

Carnegie, Dale. 1981. Cara yang Paling Tepat dan Mudah untuk Berbicara dan Berpidato. Terjemahan buku The Quick and Easy Way to Effective Speaking. Bandung: Pionir.

Carter, Ronald dan David Nunan. 2001. The Cambridge Guide to Teaching English to Speakers of Other Languages. Cambridge University Press. Carpio, Rustica C. dan Anacleta M. Encarnacion. 2005. Pivate and Public

Speaking. dialihbahasakan oleh A. Rahman Zainudin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(2)

Chamot, Anna Uhl dkk. 1999. The Learning Strategies Handbook. Addison Wesley Longman, Inc.

Chickering, Arthur W., dan Zelda F. Gamson. March 1987. "Seven Principles for Good Practice." AAHE Bulletin 39: 3-7. ED 282 491. 6 pp. MF-01; PC-01.

Clark, H.H. dan E.V. Clark. 1997. Psychology and Language. London: Harcourt Brace.

Cook, D. Thomas dan Campbell T. Donald. 1979. Quasi-Eksperimentation. Design&Analysis Issues for Field Settings. Chicago. Rand McNally College Publishing Company.

Cochran, Leslie H. 1989. Administrative Commitment to Teaching. Cape Girardeau, Mo.: Step Up, Inc.

Corson, David. 1988. Oral Language Across the Curicculum. Philadelphia. Clevedon.

Csikszentmihalyi, M. 1996. Creativity. New York: Harper Collins Publishers. Devito, Joseph A. alihbahasa Agus Maulana MSM. 1997. Komunikasi

Antarmanusia. Jakarta: Profesional Books.

Djajasudarma, F. 1994. Wacana. Bandung: Rosda Karya.

Earl R, Babbi. 1979. Sociology: Introduction, New York: Mc. Graw Hill.

Finocchiaro, Mary dan Michael Bonono. 1983. The Foreign Language Learner: A Guide for Teachers. New York: Regents Publishing Co.Inc. Fraenkel, J. R dan Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate

Research. New York: McGraw-Hill Inc.

Friederich, Willard J. dan Ruth A. Wilcox. 1953. Teaching Speech in High School. New York: The McMillan Company.

Furqanul Azies dan Chaedar Al Wasilah. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktik. Bandung: Rosdakarya.

Gelb, Michael J. 2005. Present Ourself. Melakukan Prersentasi Berdasarkan Cara Kerja Otak. Bandung: Mizan Pustaka.

Glasgow. 1996. “Doing Science” dalam What is Active Learning.

[email protected]

Greene, Harry A. dan Walter T. Petty. 1971. Developing Language Skills in the Elementary Schools. Boston: Allyn and Bacom, Inc.


(3)

Grolier International. 2001. Encyclopedia Americana. Republic of China: Grolier International, Inc.

Harris, R. 1998. Introduction to Creative Thinking, (Online), (http://www.Virtualsalt com/crebook 1.html. diakses 3 Desember 2004). Hassoubah, Z.I. 2002. Developing Creative & Critical Thinking Skills: Cara

Berpikir Kreatif & Kritis. Terjemahan Bambang Suryadi. 2004. Bandung: Nuansa.

Hughes, Arthur. 1992. Testing for Language Teachers. Cambridge University Press.

Hurlock, Elizabeth B. 1980 Developmental Psycology. A Life-Span Approach, Fifth Edition. McGraw-Hill,Inc.

Hyman, Ronald T. 1980. Improving Discussion Leadership. New York: Columbia Univ., Teachers College Press.

Johnson, Keith dan Keith Morrow. 1981. Communication in the Classroom; Application and Methods for a Communicative Approach. London: Longman.

Joyce, B. dan Marsha W. 2000 Models of Teaching Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia. Leneburg. 1969. On Explaining Language and the Criitical Period: Some

New Evidence.

Logan, Lillian M dan Virgil G. Logan. 1972. Creative Communication, Teaching in Language Art. Toronto: McGraw Hill Ryrson Limited.

Long, M.H. 1983. Does Second Language Instruction Make a Difference? A Review of the Research. TESOL Quarterly 17, 359-82.

Lowman, Joseph. 1984. Mastering the Techniques of Teaching. San Francisco: Jossey-Bass.

McBurney, James H. and Ernest J. Wrage. 1975. Guide to Good Speech. 4 th edition. London: Prentice-Hall International, Inc.

McKeachie W. 1986. Teaching Tips: A Guidebook for the Beginning College Teacher, Boston, D.C. Health.

McKeachie, Wilbert J., Paul R. Pintrich, Yi-Guang Lin, and David A.F. Smith. 1986. Teaching and Learning in the College Classroom: A Review of the Research Literature. Ann Arbor: Regents of The Univ. of Michigan. ED


(4)

Mulyasa, E., 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Musthafa, Bachrudin. (tt). EFL for Young Learners.

Nangoy, Isadora Maria Marti. 2005. 45 Kegiatan untuk Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi (2). Jakarta: Gramedia.

Nasution, Noehi, dkk. 1992. Psikologi Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Jakarta. Ochs, Donovan J. dan Anthony G. Winkler. 1979. A Brief Introduction to

Speech. New York: Harcourt Brace Javanovich, Inc.

Penner, Jon G. 1984. Why Many College Teachers Cannot Lecture. Springfield, Ill.: Charles C. Thomas.

Piaw, Ch.Y. 2004. Creative and Critical Thinking Styles. Serdang: Universiti Putra Malaysia Press.

Pollio, H.R. 1984. “What Students Think About and Do in College Lecture

Classes” dalam Teaching-Learning Issues No. 53, Knoxville, Learning

Research Centre, University of Tennesse.

Powers, David Guy. 1951. Fundamentals of Speech. New York: Mc Graw-Hill Book Company, Inc.

Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Retorika Modern. Pendekatan Praktis. Bandung: Rosda.

Rivers, W. M. 1968. Teaching Foreign Language Skills. Chicago: The University of Chicago Press.

Romli, Asep Syamsul M. 2003. Lincah Menulis Pandai Bicara. Bandung: Nuansa Cendekia.

Ruhl, Kathy L., Charles A. Hughes, dan Patrick J. Schloss. Winter 1987. "Using the Pause Procedure to Enhance Lecture Recall." Teacher Education and Special Education 10: 14-18.

Sastromiharjo, A. 2006. “Kreativitas dan Penggunaan Bahasa”. Jurnal

Artikulasi Vo. 3 No. 5 April 2006.

Saussure, F. 1965. Cours in general Linguistics. Terjemahan Wade Baskin. New York: McGraw-Hill.

Semiawan, Conny R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini (Pendidikan Pra Sekolah dan Sekolah dasar). Jakarta: Prehallindo.


(5)

Silberman, Mel 1996. Active Learning. 101 Strategies Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon.

Silberman, Mel. 2004. Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (terjemahan Sarjuli et al.) Yogyakarta, YAPPENDIS.

Steinberg, R.J. dan Lubart, T.I. 1995. Defying the Crowd: Cultivating Creativity in a Culture of Conformity. New York: The Free Press.

Subiyakto, Nababan. 1984. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.

Sudjana, Nana. 1989. Dasar-Dasar Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Suhaenah, Ana. 1998. Student Active Learning. BEP

Suherdi, Didi. 2004. ”Efektivitas Model Pembelajaran Berorientasi kepada Produk Berbasis Interaksi Afeksionis dalam Meningkatkan Mutu Hasil

Belajar Bahasa Indonesia”. Disertasi. UPI Bandung.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda.

Sumardi, M. 1992. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah: Gramatika atau Komunikasi Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suparno, P. 2001. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, Paul. 2004. Guru Demokrasi di Era Reformasi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Supriyadi, D. 1994. Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta.

Tanner, Rosie dan Catherine Green. 1998. Tasks for Teacher Education. Course Book. Addison Wesley Longman Limited.

Tanner, Rosie dan Catherine Green. 1998. Tasks for Teacher Education. Trainer’s Book. Addison Wesley Longman Limited.

Tarigan, Djago dan H.G. Tarigan. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, H.G. 1981. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.


(6)

Twining, James E. 1991. Strategi for Active Learning. Boston: Allyn and Bacom.

Underhill, Nic. 1987. Testing Spoken Language. A Handbook of Oral Testing Technique. Cambridge University Press.

Walgito, Bimo, 1997. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset. Weir, Cyril J. Communicative Language Testing. 1990. University of Exeter. Wenger, Win. 2003. Beyond Teaching and Learning, Memadukan Quantum

Teaching & Learning, (terjemahan Ria Sirait dan Purwanto), Nuansa. Widharyanto, dkk. 2003. Student Active Learning sebagai Salah Satu

Pendekatan dalam KBK. Universtitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Wright, Andrew. 2000. Creating Stories With Children. Oxford: University Press.

Wright, Andrew. 2001. Storytelling With Children. Oxford: University Press. Xu, S. 1998. The Discourse of Mind: A Social Constructionist Linguistics

Outlook, (Online), (http://www.udc.es/dep/lx/cac/aaa1998/shi-xu.htm, diakses 28 September 2004).

Yamin, Martinis. 2003. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta, Gaung Persada Press.