PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN BRAIN BASED LEARNINGUNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PROSEDURAL DAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X MADRASAH ALIYAH.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN... i
PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Hipotesis Penelitian ... 10
1.6 Definisi Operasional ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Prosedural... 12
2.2 Pemahaman Konsep Matematis ... 14
2.3 Pendekatan Brain Based Learning ... 17
2.4 Pembelajaran Konvensional ... 24
(2)
2.6 Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Brain-Based
Learning ... 27
2.7 Penelitian yang Relevan ... 29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 31
3.2 Populasi dan Sampel penelitian ... 33
3.3 Variabel Penelitian ... 36
3.4 Instrumen Penelitian ... 36
3.4.1 Tes Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis ... 37
3.4.2 Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda ... 39
3.4.3 Instrumen Skala Sikap ... 47
3.4.4 Lembar Observasi ... 48
3.4.5 Bahan Ajar ... 49
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 49
3.6 Tehnik Analisis Data ... 49
3.7 Data Non-Tes ... 58
3.8 Lokasi Penelitian ... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Hasil Penelitian ... 60
4.1.1 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ... 61
4.1.2 Analisis Hasil Pretes ... 64
4.1.3 Analisis Hasil Postes ... 71
4.1.4 Analisis Sikap Siswa ... 78
4.1.5 Observasi Aktivitas Guru dan Siswa ... 86
(3)
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 94
4.2.1 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain Based Learning ... 94
4.2.2 Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis Siswa ... 97
4.2.3 Sikap Siswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain- Based Learning ... 100
4.2.4 Aktivitas Guru dan Siswa ... 101
4.2.5 Keterbatasan Penelitian ... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 5.1 Kesimpulan ... 103
5.2 Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
(4)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Uji Normalitas dan Homogenitas nilai UTS... 36
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Prosedural ... 38
Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis . 38 Tabel 3.4 Interpretasi Koefisien Korelasi validitas ... 39
Tabel 3.5 Uji validitas Tes kemampuan Prosedural ... 40
Tabel 3.6 Uji Validitas Tes Kemampuan pemahaman Konsep Matematis ... 40
Tabel 3.7 Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas ... 42
Tabel 3.8 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 43
Tabel 3.9 Tingkat Kesukaran Butir Soal Tes Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep matematis ... 44
Tabel 3.10 Klasifikasi Daya Pembeda ... 45
Tabel 3.11 Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis dan Kemampuan Prosedural ... 46
Tabel 3.12 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi ... 56
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Prosedural ... 62
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Skor Pemahaman Konsep Matematis ... 62
Tabel 4.3 Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Prosedural ... 65
Tabel 4.4 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes Kemampuan Prosedural ... 66
Tabel 4.5 Uji Kesamaan Rerata Skor Pretes Kemampuan Prosedural ... 67
Tabel 4.6 Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 68
(5)
Tabel 4.7 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes Kemampuan Pemahaman
Konsep Matematis ... 69
Tabel 4.8 Uji Kesamaan Rerata Skor Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 70
Tabel 4.9 Uji Normalitas Skor Postes Kemampuan Prosedural ... 71
Tabel 4.10 Uji Homogenitas Varians Skor Postes Kemampuan Prosedural ... 73
Tabel 4.11 Uji Perbedaan Rerata Skor Postes Kemampuan Prosedural... 74
Tabel 4.12 Uji Normalitas Skor Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 75
Tabel 4.13 Uji Homogenitas Varians Skor Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 76
Tabel 4.14 Uji Perbedaan Rerata Skor Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 77
Tabel 4.15 Distribusi Skala Sikap Pada Kelas BBL ... 78
Tabel 4.16 Distribusi Skala Siakap Siswa Terhadap Pelajaran Matematika. ... 80
Tabel 4.17 Distribusi Skala Sikap Siswa Terhadap pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning. ... 82
Tabel 4.18 Distribusi Skala Sikap Siswa TerhadapSoal Prosedural dan Pemahaman . ... 84
Tabel 4.19 UjiNormalitas N-gain Kemampuan Prosedural. ... 89
Tabel 4.20 Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Prosedural. ... 90
Tabel 4.21 Hasil Uji Beda Rerata N-gain Kemampuan Prosedural ... 90
Tabel 4.22 Uji Normalitas N-gain Kemampuan Pemahaman Konsep ... 92
Tabel 4.23 Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Pemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 92 Tabel 4.24 Hasil Uji Beda Rerata N-gain Kemampuan Pemahaman Konsep
(6)
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 3.1 Alur Prosedur Penelitian... 32
(7)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Prosedural Kelas
Konvensional ... 65 Gambar 4.2 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 66 Gambar 4.3 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis Kelas Konvensional ... 69 Gambar 4.4 Histogram Hasil Pretes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis Kelas BBL ... 69 Gambar 4.5 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Prosedural Kelas
Konvensional ... 72 Gambar 4.6 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Prosedural Kelas BBL .... 72 Gambar 4.7 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis Kelas Konvensional ... 76 Gambar 4.8 Histogram Hasil Postes Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
(8)
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A
A.1. Silabus Penelitian ... 109
A.2. Rencana Pembelajaran kelas BBL... 110
A.3. Rencana Pembelajaran kelas Konvensional ... 137
A.4. Lembar Kerja Siswa ... 153
A.5. Soal Tes Individu ... 195
Lampiran B. B.1. Kisi-Kisi Soal kemampuan Prosedural ...203
B.2. Kisi-Kisi Soal kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...205
B.3. Soal Tes Kemampuan Prosedural ... 207
B.4. Soal Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 208
B.5. Jawaban Tes Kemampuan Prosedural ... 210
B.6. Jawaban Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ... 212
B.7. Kisi-kiasi Angket skala Sikap ... 215
B.8. Angket Untuk Siswa ... 216
B.9. Lembar Observai Guru ... 218
B.10. Lembar Observai Siswa ... 220 Lampiran C
(9)
Siswa Kelas Konvensional ... 221
C.2. Data Nilai hasil Ujian Tengah Semester Siswa Kelas BBL ... 222
C.3. Hasil Perhitungan Anates Kemampuan Prosedural. ...223
C.3. Hasil Perhitungan Anates Kemampuan Pemahaman Konsep ...228
Lampiran D D.1. Nilai Pretes Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 234
D.2. Nilai Pretes Kemampuan Prosedural Kelas Konvensional ... 235
D.3. Nilai Pretes Kemampuan Pemahaman konsep Kelas BBL ... 236
D.4. Nilai Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas Konvensional ... 237
D.5. Nilai Postes Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 238
D.6. Nilai Postes Kemampuan Prosedural Kelas Konvensional ... 239
D.7. Nilai Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas BBL ... 240
D.8. Nilai Postes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas Konvensional ... 241
D.9. Uji Normalitas Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) ...242
D.10. Uji Homogenitas Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) ...243
D.11. Uji Beda Rerata Nilai Ujian Tengah Semester (UTS) ...244
D.12. Uji Normalitas Pretes Kemampuan Prosedural ...245
D.13. Uji Homogenitas Pretes Kemampuan Prosedural ...246
D.14. Uji Beda Rerata Pretes Kemampuan Prosedural ...247
D.15. Uji Normalitas Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...248
D.16. Uji Homogenitas Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...249
D.17. Uji Beda Rerata Pretes Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis ...250
(10)
D.18. Uji Normalitas Postes Kemampuan Prosedural ...251 D.19. Uji Homogenitas Postes Kemampuan Prosedural ...252 D.20. Uji Beda Rerata Postes Kemampuan Prosedural ...253
D.21. Uji Normalitas Postes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis ...254 D.22. Uji Homogenitas Postes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis ...255 D.23. Uji Beda Rerata Postes Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematis ...256 D.24. Gain Ternormalisasi Kemampuan Prosedural Kelas BBL ... 257 D.25. Gain Ternormalisasi Kemampuan Prosedural Kelas
Konvensional ... 258 D.26. Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman Konsep
kelas BBL ... 259 D.27. Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman Konsep
Kelas Konvensional ... 260 Lampiran E
E.1. Pemberian Skor Item skala Sikap ... 261 E.2. Skor Skala Sikap Tiap Butir Pernyataan ... 262 E.3. Rekapitulasi Skor Skala sikap Tiap Aspek ... 263 Lampiran F
F.1. Hasil Observasi Terhadap Siswa ... 264 F.2. Hasil Observasi Terhadap Guru ... 265
(11)
(12)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mengembangkan potensi manusia agar mempunyai dan memiliki kemampuan nyata dalam perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu proses pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang paling sentral. Hal ini mengandung arti bahwa keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya proses pembelajaran itu sendiri.
Proses pembelajaran merupakan proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh guru dan murid untuk memperoleh sesuatu yang mengakibatkan terbentuknya pola-pola perilaku baru yang menyeluruh menuju ke arah yang lebih meningkat dan lebih baik pada pribadi yang belajar.
Proses pembelajaran saat ini kebanyakan masih belum menunjukan hasil yang memuaskan, upaya guru yang mengarah pada peningkatan proses belajar-mengajar belum optimal dan metode serta pendekatan yang digunakan guru belum beranjak dari pola-pola tradisional, sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tidak tercapai.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, tujuan mempelajari mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; 1). Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
(13)
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2). Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3). Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4). Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5). Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan kurikulum KTSP di atas, tujuan umum pendidikan matematika adalah menitikberatkan pada pemahaman konsep, penalaran, kemampuan pemecahan masalah, komunikasi matematis, dan memiliki menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran pada kurikulum KTSP tersebut, maka proses pembelajaran perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Untuk mengantisipasi hal ini, sejak dini perlu dilakukan suatu usaha atau upaya, sehingga siswa tertarik pada mata pelajaran matematika dan siswa termotivasi untuk belajar matematika sehingga akan berakibat pada optimalnya hasil siswa dalam belajar matematika.
Tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan berdasarkan KTSP, khususnya pada aspek kemampuan pemahaman konsep matematis, ternyata masih belum tercapai. Hal tersebut terungkap dari hasil pengamatan peneliti di lapangan, bahwa pada salahsatu Madrasah Aliyah yang berada di Kabupaten Garut, Provinsi
(14)
Jawa Barat, kemampuan siswa dalam pemahaman konsep matematisnya masih sangat rendah. Hal tersebut ditunjukan oleh rendahnya nilai ulangan yang masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan oleh guru matematika di sekolah tersebut yaitu 60. Hasil pengamatan peneliti tersebut sangat relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan Wahyudin (1999) bahwa kemampuan matematika siswa kita masih sangat rendah. Secara rinci Wahyudin menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa, salah satunya adalah siswa kurang memiliki kemampuan untuk memahami serta menggali konsep-konsep dasar matematika yang sedang dibicarakan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan.
Lebih luas lagi, apabila dibandingkan dengan hasil laporan oleh survei Programme for International Student Assesment (PISA), ternyata prestasi literasi matematika untuk anak-anak Indonesia yang berusia sekitar 15 tahun masih rendah. Pada PISA tahun 2003, Indonesia berada di peringkat 38 dari 40 negara, dengan rerata skor 360 dan rerata skor internasional adalah 500. Pada tahun 2006 rerata skor siswa kita naik menjadi 391, yaitu peringkat 50 dari 57 negara dan rerata skor internasional adalah 500, sedangkan pada tahun 2009 Indonesia hanya menempati peringkat 61 dari 65 negara, dengan rerata skor 371, sementara rata-rata skor internasional adalah 496. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Aspek literasi matematis yang diukur adalah mengidentifikasikan dan memahami serta menggunakan dasar-dasar matematika yang diperlukan seseorang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Hasil laporan PISA tersebut menunjukan
(15)
bahwa kemampuan pemahaman konsep matematis siswa kita masih sangat rendah.
Rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa kita diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya diungkapkan oleh Turmudi (2008: 11) yang memandang bahwa pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa
secara aktif, sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika
selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya
memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga
dapat dikatakan rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek
belajar kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan oleh gurunya.
Kemudian faktor selanjutnya adalah tidak adanya variasi model pembelajaran yang dilakukan. Dengan strategi seperti itu, siswa menerima pelajaran matematika secara pasif dan bahkan hanya menghafal rumus-rumus tanpa memahami makna dan manfaat dari apa yang dipelajari, sehingga siswa akan merasa jenuh dalam mempelajari matematika. Akibatnya kemampuan siswa dalam pemahaman konsep matematisnya rendah dan minat siswa untuk belajar matematika kurang sehingga berdampak pada kemampuan siswa yang diharapkan tidak tercapai.
(16)
Salah satu kemampuan siswa yang dapat dinilai adalah kemampuan kognitif. Menurut Bloom (dalam Ruseffendi, 1991: 35), kemampuan kognitif manusia di bagi ke dalam 6 tingkatan yaitu: (1) Tingkat Pengetahuan, (2) Tingkat Pemahaman, (3) Tingkat Aplikasi, (4) Tingkat Analisis, (5) Tingkat sintesis, (6) Tingkat Evaluasi.
Kompetensi matematis dalam ranah kognitif termasuk tingkat pemahaman matematika. Kompetensi matematika menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findel (2001), yaitu, conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence, dan adaptive reasoning.
Salah satu aspek pemahaman matematika yang terpenting dimiliki oleh siswa adalah conceptual understanding atau diistilahkan “pemahaman konsep”. Mempelajari matematika berarti belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta berusaha mencari hubungan-hubungannya.
Pemahaman siswa akan konsep matematika haruslah disertai penguasaan prosedur yang baik dan benar agar mereka mengetahui apa yang mendasari konsep tersebut. Kesalahan yang seringkali muncul apabila pemahaman konsep terlepas dari prosedur ialah siswa kesulitan untuk mengaitkan suatu permasalahan matematika dengan konsep serta alasan yang mendasarinya, begitu pula sebaliknya jika prosedur pemecahan masalah dikuasai namun konsepnya tidak mereka pahami, siswa akan berhadapan dengan masalah yang sama.
Kemampuan procedural fluency berpengaruh terhadap kompetensi matematika yang menjadi tujuan pendidikan matematika di sekolah. Kelancaran
(17)
mencari jalan keluar dalam permasalahan dengan fleksibel, teliti, secara efisien dan sewajarnya. ketelitian dan efisien sangat penting dalam suatu prosedur, karena sudah tersusun secara prosedur sehingga melakukan sedikit kesalahan. Oleh karena itu, kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis sudah seharusnya dimiliki oleh siswa, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan menciptakan pembelajaran matematika yang menyenangkan.
Untuk menciptakan suasana pembelajaran matematika yang berkualitas dan menyenangkan, hendaklah guru memperhatikan salah satu hal penting dalam tubuh manusia yang selama ini masih kurang dioptimalkan, yaitu otak.
Berat otak manusia dewasa pada umumnya hanya sekitar satu setengah kilogram (Jensen, 2007: 40). Namun, organ kecil ini sangat memegang peranan penting dalam pelaksanaan pembelajaran, karena organ kecil inilah yang mengolah segala informasi yang didapatkan.
Secara keseluruhan, tingkah laku manusia dikendalikan oleh otak. Struktur komposisi otak sangat berpengaruh terhadap sifat setiap orang. Pandangan-pandangan negatif siswa terhadap matematika sering membuat mereka malas dan kesulitan dalam memahami konsep, hal tersebut muncul karena komposisi otak yang dibangun kurang optimal sehingga memunculkan karakter yang negatif (Jensen, 2007: 45).
Hal penting lainnya yaitu proses pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah guru dapat melaksanakan pembelajaran. Untuk itu, dalam melaksanakan pembelajaran, guru
(18)
harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu. Dimyati dan Mujiono (1994) mengemukakan ada tujuh prinsip pembelajaran, yaitu: perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, dan perbedaan individual. Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut, dituangkan dalam suatu pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran sehingga pelaksanaan pembelajaran di kelas menjadi lebih bermakna, dan kemampuan siswa yang diharapkan dapat tercapai.
Salah satu strategi pembelajaran yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan suatu model pembelajaran yang dapat memaksimalkan fungsi otak sehingga kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa bisa tercapai serta motivasi siswa untuk belajar matematika bisa muncul. Strategi pembelajaran yang dimaksud adalah dengan melakukan pembelajaran dengan pendekatan Brain-Based Learning .
Pendekatan Brain-Based Learning adalah pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak bekerja yang didesain secara alamiah untuk belajar (Jensen, 2007:12). Tahapan-tahapan perencanaan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning menurut Jensen (2007: 484) antara lain: tahap pra-pemaparan, tahap persiapan, tahap inisiasi dan akuisisi, tahap elaborasi, tahap inkubasi dan formasi memori, tahap verifikasi dan pengecekan keyakinan, dan tahap perayaan dan integrasi.
Terdapat tiga strategi utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi pendekatan Brain-Based Learning (Syafa’at, 2009) yaitu:
(1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa;
(19)
(2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa Berdasarkan strategi-strategi tersebut, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain-Based Learning dalam pembelajaran matematika memberikan kesempatan pada siswa dalam hal kemampuan berpikir siswa khususnya kemampuan dalam prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa, dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain-Based Learning diduga dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa. Selain itu, lingkungan pembelajaran yang menantang dan menyenangkan juga akan memotivasi siswa untuk aktif berpartisipasi dan beraktifitas secara optimal dalam pembelajaran sehingga motivasi siswa terhadap pelajaran matematika bisa bisa meningkat.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pendekatan Brain-Based Learning dengan judul
“Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Prosedural dan Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas X Madrasah Aliyah”
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah, maka dalam rencana penelitian ini permasalahan dibatasi hanya pada kajian aspek kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis yaitu apakah pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa Madrasah Aliyah.
(20)
Rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan prosedural siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
2. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?
3. Bagaimana aktivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan Brain- Based Learning?
4. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan Brain-Based Learning?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan prosedural siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
2. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 3. Mengetahui aktivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan
(21)
4. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning diharapkan dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan variasi strategi pembelajaran matematika agar dapat diaplikasikan dan dikembangkan menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa.
3. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan dalam rangka mengembangkan kemampuan lainnya yang erat kaitannya dengan pembelajaran matematika. 4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
dapat tidaknya pembelajaran matematika dengan Pendekatan Brain-Based Learning meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa.
1.5. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan prosedural siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
(22)
2. Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan Pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
1.6. Definisi Operasional
1. Pendekatan Brain-Based Learning adalah pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar yang dibangun di atas sebuah pertanyaan fundamental “ Apa yang terbaik bagi
otak?”
2. Kemampuan prosedural adalah pengetahuan mengenai prosedur secara umum, pengetahuan dalam menampilkan prosedur secara fleksibel, tepat dan efisien.
3. Pemahaman konsep matematis adalah kemampuan siswa dalam menyatakan ulang secara verbal konsep yang telah dipelajari, menerapkan konsep secara algoritma, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika serta kemampuan mengaitkan berbagai konsep. 4. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada guru
dan proses belajar sangat mengutamakan metode ceramah atau ekspositori, siswa tidak dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
(23)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Prosedural (Procedural Fluency)
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, di antara berbagai aspek kecakapan yang harus dikuasai siswa ialah kemampuan kemahiran prosedural (procedural fluency). Kemampuan procedural fluency sangatlah dibutuhkan untuk menunjang aspek kecakapan matematika lainnya yaitu conceptual understanding atau pemahaman konsep. Kedua jenis kecakapan ini, yakni conceptual understanding dan procedural fluency merupakan aspek utama yang menjadi perhatian dan prioritas (Kilpatrick, et al., 2001: 116).
Pemahaman siswa akan konsep matematika haruslah disertai penguasaan prosedur yang baik dan benar agar mereka mengetahui apa yang mendasari konsep tersebut. Kesalahan yang seringkali muncul apabila pemahaman konsep terlepas dari prosedur ialah dalam menghadapinya siswa akan merasa kesulitan untuk mengaitkan suatu permasalahan matematika dengan konsep serta alasan yang mendasarinya, begitu pula sebaliknya jika prosedur pemecahan masalah dikuasai namun konsepnya tidak mereka pahami, siswa akan berhadapan dengan masalah yang sama. Hal ini disebabkan ketika sebuah keahlian atau kemampuan dipelajari tanpa pemahaman akan menjadikannya sebagai bagian dari serpihan pengetahuan yang terisolasi (Bransford, Brown, dan Cooking, 1999; Hiebert dan Carpenter, 1992 dalam Kilpatrick, et al., 2001: 123).
Tanpa penguasaan prosedur yang cukup baik, siswa akan kesulitan memperdalam pemahaman matematis mereka ataupun menyelesaikan
(24)
permasalahan matematika. Akibat lain jika siswa yang belajar mengenai prosedur tanpa memahami konsepnya adalah siswa akan merasa kesulitan ketika menemui permasalahan matematika yang relatif baru. Oleh karena itu penguasaan konsep dan penguasaan prosedur seharusnya sejalan agar siswa dapat memodifikasi prosedur yang mereka kuasai untuk memudahkan mereka dalam memahami suatu konsep.
Untuk membedakannya dengan jenis kecakapan matematis lainnya, (Kilpatrick, et al., 2001: 150), mengemukakan kemampuan Procedural fluency memiliki tiga indikator:
1) Pengetahuan mengenai prosedur secara umum.
2) Pengetahuan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan prosedur dengan benar.
3) Pengetahuan dalam menampilkan prosedur secara fleksibel, tepat dan efisien. Algoritma haruslah dikuasai oleh siswa, karena dengan algoritma, siswa memperoleh insight ke dalam fakta bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang terbentuk dengan baik dalam pengertian bahwa matematika merupakan pengetahuan yang terorganisasi dengan rapih dan tertata, berisi pola, serta dapat diprediksi ketepatannya (Kilpatrick, et al., 2001: 121).
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan procedural fluency, siswa memperolehnya terutama sekali melalui latihan dalam mengerjakan soal-soal, karena hanya dengan latihan, akurasi dan efisiensi prosedur penyelesaian masalah dapat dikuasai dan ditingkatkan. Lebih jauh lagi, latihan dapat menjaga konsistensi kemahiran penguasaan prosedur hingga mereka mampu
(25)
menggunakan prosedur secara fleksibel. Pada akhirnya, hal ini akan mengantarkan siswa pada pemahaman akan konsep matematika yang menjadikan mereka memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah, serta tidak rentan terhadap common errors. Selain itu juga, mereka tidak mudah lupa pada konsep yang telah dikuasai sebelumnya.
2.2. Pemahaman Konsep (Conceptual Understanding)
Salah satu kecakapan (proficiency) dalam matematika yang terpenting dimiliki oleh siswa adalah conceptual understanding atau diistilahkan pemahaman konsep. Mempelajari matematika berarti belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta berusaha mencari hubungan-hubungannya.
Penguasaan konsep sangat diperlukan, karena dengan menguasai konsep akan memberikan peluang kepada siswa untuk lebih fleksibel dan menarik dalam belajar. Artinya siswa akan lebih mampu melakukan modifikasi secara akurat setiap materi pelajaran sesuai dengan keaneka ragaman keadaan dan lingkungannya serta sekaligus meningkatkan keaktifan, kemandirian serta kreativitas siswa. Dengan demikian belajar yang menekankan pada penguasaan konsep, siswa secara bertahap akan memiliki kemampuan baru yang akan tetap tersimpan.
Pemahaman konsep merupakan tingkatan hasil belajar seseorang sehingga dapat mendefinisikan atau menjelaskan suatu bagian informasi dengan kata-kata sendiri. Berarti seorang siswa dituntut tidak hanya sebatas mengingat suatu pelajaran tetapi mampu menjelaskan atau mendefinisikan bahan pelajaran dengan
(26)
menggunakan kalimat sendiri. Dengan kemampuan siswa menjelaskan atau mendefinisikan, maka siswa tersebut telah memahami konsep atau prinsip dari suatu pelajaran meskipun penjelasan yang diberikan mempunyai susunan kalimat tidak sama dengan konsep yang diberikan tetapi maksudnya sama.
Siswa dengan conceptual understanding tahu lebih dari sekedar fakta yang ada dan rumus. Mereka mengerti mengapa ide matematika itu penting dan konteks mana yang berguna dalam menyelesaikan suatu permasalahan (Kilpatrik, et al.: 2001: 118). Selain itu pengetahuan yang dipelajari dengan pemahaman memberikan dasar untuk men-generalisasi pengetahuan baru dan menyelesaikan permasalahan yang baru dan tidak rutin (Bransford, Brown, dan Cooking, 1999 dalam Kilpatrick, et al., 2001: 119). Beberapa indikator pemahaman konsep (Kilpatrick, et al., 2001: 200) antara lain:
1) Kemampuan menyatakan ulang secara verbal konsep yang telah dipelajari. 2) Kemampuan mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau
tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut. 3) Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma.
4) Kemampuan memberikan contoh dan lawan contoh dari konsep yang telah dipelajari.
5) Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika.
6) Kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal matematika. 7) Kemampuan mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep.
(27)
Menurut Ariyani (dalam Sumarmo,1987) ada beberapa jenis Pemahaman menurut beberapa ahli yaitu:
1. Polya membedakan empat jenis pemahaman, yaitu:
a. pemahaman mekanis, yaitu dapat mengingat dan menerapkan sesuatu atau perhitungan sederhana
b. pemahaman induktif, yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku ubtuk kasus yang serupa
c. pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan sesuatu
d. pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik
2. Polattsek membedakan dua jenis pemahaman, yaitu:
a. pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin atau sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
b. pemahaman fungsional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.
3. Copeland membedakan dua jenis pemahaman:
a. knowing how to, yaitu dapat mengerjakan sesuatu dengan sadar akan
proses yang dikerjakannya,
b. knowing, yaitu dapat mengerjakan sesuatu dengan sadar akan proses
yang dikerjakannya.
(28)
a. pemahaman instrumental, yaitu hapal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin atau sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
b. pemahaman relasional, yaitu dapat mengakibatkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.
2.3. Pendekatan Brain-Based Learning
Pembelajaran berbasis kemampuan otak mempertimbangkan apa yang sifatnya alami bagi otak manusia dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan (Jensen, 2007: 5). Otak merupakan salah satu organ terpenting pada manusia, karena otak merupakan pusat dari seluruh aktivitas manusia, seperti berpikir, mengingat, berimajinasi, menyelidiki, belajar, dan sebagainya. Berdasarkan fungsi otak tersebut, menunjukkan bahwa otak sangat berperan dalam pembelajaran.
Otak yang optimal adalah otak yang semua potensi yang dimilikinya teroptimalkan dengan baik. Oleh karena itu, agar otak optimal, diperlukan suatu pembelajaran yang berdasarkan struktur dan cara kerja otak, yang biasa disebut dengan Brain-Based Learning. Pendekatan ini adalah pembelajaran yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar. Pendekatan Brain-Based Learning (berbasis kemampuan otak) ini adalah sebuah pendekatan yang multidisipliner yang dibangun di atas sebuah pertanyaan fundamental, “Apa yang baik bagi otak?” (Jensen, 2007: 11-12).
(29)
Pembelajaran berbasis pada otak adalah cara berpikir baru tentang proses pembelajaran. Ini bukan sebuah program, dogma atau resep bagi para guru, namun ini hanyalah merupakan serangkaian prinsip, serta dasar pengetahuan dan keterampilan yang dengannya guru diharapkan dapat membuat keputusan-keputusan yang lebih baik tentang proses pembelajaran yang memang dibutuhkan saat sekarang ini.
Setiap otak manusia berkembang secara unik, bahkan otak dari orang kembar identik pun berbeda. Hal yang paling menakjubkan adalah bahwa manusia secara virtual memiliki DNA yang sama kurang lebih 99,5 persen bagian tubuhnya. Akan tetapi, angka 0,5 persen yang unik membuat setiap manusia menjadi berbeda (Jensen, 2007: 212).
Gardner memunculkan teori kecerdasan majemuk berdasarkan otak manusia yang unik yang kemudian membagi kecerdasan menjadi delapan bagian yaitu, intrapersonal, interpersonal, linguistik, matematik, musik, visual (spatial), jasmani (kinestetik), dan natural (Gardner, H., 1983 dalam Given, 2007: 71). Hal inilah yang mendasari bahwa gaya pembelajaran untuk otak yang lebih dominan pada linguistik akan berbeda dengan gaya pembelajaran untuk otak yang lebih dominan pada musik. Akan sulit jadinya ketika seorang guru akan melakukan kegiatan belajar-mengajar pada sekelompok siswa yang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda jika guru tersebut berdasar pada teori Gardner. Sedangkan dalam Brain-Based Learning diharapkan semua siswa yang memiliki kecerdasan yang berbeda tersebut dapat terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama.
(30)
Dua hal yang paling penting untuk diingat dalam membangun sebuah pendekatan gaya pembelajaran berbasis kemampuan otak yang sukses: 1) Memberikan berbagai pendekatan berbeda; dan 2) Menawarkan pilihan (Jensen, 2007: 229). Seperti telah disebutkan di awal, bahwa otak adalah suatu sistem yang unik yang dimiliki oleh tiap manusia. Ketika kita mengelompokkan perbedaan-perbedaan gaya pembelajaran tiap otak, yang memang benar adanya, alangkah lebih baik kita menggunakan pembelajaran yang bisa merangkum semua perbedaan itu. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda saat proses belajar mengajar. Sebagai pembelajar kita tidak memiliki gaya pembelajaran yang ditentukan secara genetik atau menjadi satu-satunya gaya pembelajaran. Sebagian besar otak kita terlibat dalam hampir semua tindakan pembelajaran. (Jensen, 2007: 229)
Riset menunjukkan (Given, 2007: 58) bahwa otak mengembangkan lima sistem pembelajaran, yaitu:
1. Sistem Pembelajaran Emosional
Daniel Goleman (dalam Given, 2007:80) penulis Emotional Intelligence, menyatakan bahwa orang yang mengalami gangguan emosional tidak bisa mengingat, memperhatikan, belajar atau membuat keputusan secara jernih karena stress membuat orang menjadi bodoh. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi dan kognisi saling berhubungan. Emosi positif dapat meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan, sedangkan emosi negatif dapat menghambat prestasi akademis. Meskipun demikian, emosi negatif berkembang untuk mengaktifkan sistem perhatian/pemecahan masalah otak
(31)
sehingga sistem tersebut dapat merespon tantangan berbahaya atau tantangan berpeluang (Given, 2007:79).
Emosi adalah sumber informasi yang penting bagi pembelajaran dan harus digunakan untuk menginformasikan kita, dan bukannya ditaklukkan (Jensen, 2007: 323). Oleh karena itu seharusnya siswa dapat mengendalikan emosi yang dimilikinya agar siswa mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus dicapai dalam pembelajaran, dengan peran dari guru juga tentunya.
Para pembelajar tidak hanya perlu belajar, tetapi mereka perlu tahu bahwa mereka telah belajar tentang apa yang diajarkan (Jensen, 2007: 331). Disinilah diperlukan catatan mengenai tujuan yang jelas mengenai apa yang akan dipelajari. 2. Sistem Pembelajaran Sosial
Para pakar neurobiologi percaya bahwa sistem sosial manusia memiliki kecenderungan untuk berkelompok, menjalin hubungan, hidup berdampingan dan bekerjasama (Given, 2007: 131). Akibatnya, sekalipun manusia sangat menghargai kemandirian, saling bergantung merupakan ciri alamiah manusia, sehingga sistem pembelajaran sosial menginginkan untuk menjadi bagian dari kelompok, dihormati, dan untuk mendapat perhatian dari orang lain.
3. Sistem Pembelajaran Kognitif
Sistem pembelajaran kognitif adalah sistem pemrosesan informasi pada otak. Siswa menyerap informasi dari dunia luar dan semua sistem lain, kemudian menginterpretasikan input tersebut, serta memandu pemecahan masalah dengan terlebih dahului memberikan dugaan atas masalah tersebut, dan akhirnya memutuskan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sistem ini
(32)
terkait langsung dengan pembelajaran akademis, sehingga sangat diperhatikan oleh pendidik. Tugas paling berat sistem kognitif diantaranya menilai sensasi emosional dan situasi sosial, kemudian mengambil tindakan berdasarkan penilaian tersebut untuk tetap memegang kendali atas emosi primer sambil mempertimbangkan kebutuhan untuk menjadi bagian dari masyarakat.
4. Sistem Pembelajaran Fisik
Sistem pembelajaran fisik otak mengubah keinginan, visi dan niat menjadi sebuah tindakan, karena sistem operasi ini didorong oleh kebutuhan untuk melakukan sesuatu. Sistem ini menyukai gerakan, aktivitas, dan pembelajaran praktis dan melibatkan proses interaksi dengan lingkungan untuk mengembangkan pengetahun dan keterampilan baru atau mengungkapkan beragam emosi atau konsep. Riset mutakhir jelas (Given, 2007:251) menunjukkan bahwa tubuh memiliki pengaruh sangat spesifik terhadap mekanisme pikiran. Karenanya, dalam berbagai cara tubuh memiliki pikirannya sendiri. Paul E. Dennison (dalam Given 2007: 315) menemukan suatu cara agar siswa dapat lebih menikmati belajar yang disebut Brain Gym (senam otak). Gerakan pada Brain Gym membantu sistem badan menjadi relaks dan membantu menyiapkan murid untuk mengolah informasi tanpa pengaruh emosi negatif.
5. Sistem Pembelajaran Reflektif
Pembelajaran reflektif merupakan sistem yang memantau dan mengatur aktivitas semua sitem otak lainnya. Sistem ini berkaitan dengan pemikiran tingkat tinggi dan pemecahan masalah. Dalam pembalajaran guru membantu siswa
(33)
merenungkan kegiatan belajar yang telah dilakukan, serta memikirkan solusi yang tepat dalam kegiatan belajarnya agar optimal.
Sejalan dengan pendapat diatas, menurut Syapa’at (2009), terdapat tiga strategi utama dalam implementasi Brain-Based Learning, yaitu: menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan, menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa.
Menurut Jensen (2007: 484) terdapat tujuh tahap garis besar perencanaan kemampuan berbasis otak, antara lain:
Tahap 1: Pra-Pemaparan
Fase ini memberikan sebuah ulasan kepada otak tentang pembelajaran baru sebelum benar-benar menggali lebih jauh. Pra-pemaparan membantu otak membangun peta konseptual yang lebih baik.
Sebenarnya, tahap pra-pemaparan ini dilakukan sejak beberapa hari sebelum pembelajaran dimulai. Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini sebelum pembelajaran dimulai adalah guru memajang peta konsep mengenai materi yang akan dipelajari. Selain itu, guru juga melakukan pendekatan dan membangun hubungan yang positif dengan siswa. Hal ini dilakukan agar ketika pembelajaran berlangsung nanti siswa sudah merasa nyaman belajar dengan guru yang akan mengajar mereka. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan membimbing siswa untuk melakukan senam otak (brain gym). Kegiatan senam otak bisa dilakukan dengan cara menyuruh siswa menuliskan nama mereka pada sebuah kertas dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kirinya secara bersamaan.
(34)
Kemudian, guru memberikan beberapa pertanyaan apersepsi yang dapat menstimulus siswa.
Tahap 2: Persiapan
Pada tahap persiapan, guru memberikan penjelasan awal mengenai materi yang akan dipelajari dan mengaitkan materi tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Siswa menanggapi apa yang disampaikan oleh guru.
Tahap 3: Inisiasi dan Akuisisi
Tahap ini merupakan tahap penciptaan koneksi atau pada saat neuron-neuron itu saling “berkomunikasi” satu sama lain.
Pada tahap inisiasi dan akuisisi, guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok. Siswa bergabung dengan teman-teman kelompoknya. Kemudian, guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS) pada setiap kelompok dan Lembar Kerja Siswa (LKS) tersebut dipelajari oleh siswa terlebih dahulu sebelum diisi. Setelah itu, siswa berdiskusi dengan teman-teman kelompoknya untuk mengisi Lembar Kerja Siswa (LKS) tersebut.
Tahap 4: Elaborasi
Tahap elaborasi memberikan kesempatan kepada otak untuk menyortir, menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam pembelajaran.
Pada tahap elaborasi, siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas, sedangkan siswa yang lain memperhatikan, mengungkapkan pendapat, atau memberikan pertanyaan. Dari hasil presentasi yang dilakukan pada tahap ini, diharapkan siswa dapat menemukan jawaban yang yang tepat dari permasalahan yang ada pada Lembar Kerja Siswa (LKS). Oleh karena itu, guru
(35)
harus membimbing siswa dalam berdiskusi agar proses diskusi berjalan dengan lancar.
Tahap 5: Inkubasi dan Formasi Memori
Tahap ini menekankan bahwa waktu istirahat dan waktu untuk mengulang kembali merupakan suatu hal yang penting.
Pada tahap inkubasi dan memasukkan memori, siswa melakukan peregangan sambil menonton video yang dapat memotivasi mereka untuk belajar. Selain itu, guru juga memberikan soal-soal latihan sederhana berupa soal-soal pemahaman yang berkaitan dengan materi yang baru saja dipelajari. Siswa mengerjakan soal-soal latihan tersebut tanpa bimbingan guru.
Tahap 6: Verifikasi dan Pengecekan Keyakinan
Dalam tahap ini, guru mengecek apakah siswa sudah paham dengan materi yang telah dipelajari atau belum. Siswa juga perlu tahu apakah dirinya sudah memahami materi atau belum.
Pada tahap verifikasi dan pengecekan keyakinan, guru memberikan soal-soal latihan yang setingkat lebih rumit. Siswa mengerjakan soal-soal-soal-soal tersebut dengan bimbingan guru. Setelah itu, guru bersama dengan siswa mengecek pekerjaan siswa. Jika siswa belum selesai mengerjakan soal-soal tersebut, biasanya guru menugaskan siswa untuk menyelesaikannya di rumah.
Tahap 7: Perayaan dan Integrasi
Dalam fase perayaan sangat penting untuk melibatkan emosi. Buatlah fase ini ceria, dan menyenangkan. Tahap ini menanamkan semua arti penting dari kecintaan terhadap belajar.
(36)
Pada tahap perayaan dan integrasi, siswa, dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi yang baru saja dipelajari. Kemudian, guru memberikan PR (Pekerjaan Rumah) untuk siswa dan memberi tahu siswa tentang materi apa yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya. Sebagai penutup, guru bersama dengan siswa melakukan perayaan kecil, seperti bersorak dan bertepuk tangan bersama.
2.4. Pembelajaran Konvensional
Tidak sedikit para guru masih mengajar dengan model pembelajaran matematika klasikal. Guru mengajar kepada sekelompok siswa dalam suatu kelas dengan memandang siswa memiliki kemampuan yang tidak berbeda, sehingga setiap siswa diberi pelayanan yang sama. Guru menjelaskan konsep kemudian memberikan contoh bagaimana menyelesaikan soal. Siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan aktivitas matematika, kemudian guru mencoba memecahkan soal sendiri dengan satu cara penyelesaian dan memberi soal latihan.
Pembelajaran konvensional yang menekankan pada latihan mengerjakan soal (drill) dengan mengulang prosedur serta lebih banyak menggunakan rumus atau algoritma tertentu menyebabkan siswa kurang memahami konsep sehingga jika siswa diberi soal latihan maka siswa kebingungan karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja.
2.5. Sikap Siswa terhadap Matematika
Sikap merupakan kecenderungan tingkah laku untuk berbuat sesuatu dengan cara, metode, teknik, dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik
(37)
berupa orang-orang maupun berupa objek-objek tertentu (Rohendi, 2009: 159). Sikap bersumber dari orang tua, guru dan anggota kelompok rekan sekerja, artinya sikap yang dimiliki oleh seseorang mempunyai kecenderungan dengan sikap orang tuanya. Selain sumber sikap dari orang tua (keluarga), tentu saja guru akan menjadi sumber sikap yang dominan sehingga banyak siswa memodelkan sikap gurunya. Tampilan guru yang simpatik akan menjadi rujukan sikap bagi siswanya oleh sebab itu guru dituntut bersikap positif dan simpatik. Selanjutnya sikap akan terbentuk dari lingkungan, dalam hal ini seseorang selalu bersosialisasi dengan lingkungan (teman sekerja, teman kelompok, dan lain-lain).
Sikap berkaitan dengan segala sesuatu yang pernah dialami atau pengalaman seseorang tersebut baik itu berasal dari keluarga, lingkungan organisasi maupun lingkungan masyarakat luas. Sikap juga erat kaitannya dengan kepribadian seseorang, artinya ada penyesuaian antara harapan dengan kenyataan yang diperoleh. Sikap positif dan negatif dapat keluar dari seseorang tergantung kepada bagaimana seseorang menyikapi harapan dan kenyataan, sikap positif dan negatif juga dipengaruhi sejauhmana pengalaman-pengalaman dari seseorang itu dapat manjadi sebuah pelajaran.
Dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1991).
Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain Ruseffendi (1991), mengatakan bahwa anak-anak
(38)
menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan usaha-usaha agar sikap positif siswa terhadap matematika tetap ada. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menarik perhatian siswa dengan suatu pembelajaran matematika yang menyenangkan dan nyaman bagi siswa, sehingga dengan sendirinya keyakinan diri pada matematika muncul kembali. Hal ini selanjutnya diharapkan berakibat pada pemahaman konsep dan hasil belajar dari pembelajaran matematika yang telah berlangsung.
2.6 Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Brain Based Learning (BBL)
Teori atau landasan filosofis yang mendukung model BBL, diantaranya yaitu aliran psikologi tingkah laku (behaviorisme) dan pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan paham konstruktivisme.
a. Aliran Psikologi Tingkah Laku (Behaviorisme)
Tokoh-tokoh aliran psikologi tingkah laku diantaranya adalah David Ausubel, Edward L. Thorndike dan Jean Piaget. Teori Ausubel (Ruseffendi, 1988: 172) terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Teori Thorndike (Hudoyo, 1988: 12) diantaranya mengungkapkan the law of exercise (hukum latihan) yang dasarnya menunjukkan bahwa hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat manakala terus-menerus dilatih dan
(39)
diulang, sebaliknya hubungan stimulus respon akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Jadi semakin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasai pelajaran itu. Sedangkan teori Piaget (Ruseffendi, 1988: 132-133) mengungkapkan:
a. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
b. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis, penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
c. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkakan oleh keseimbangan yang menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul.
b. Aliran Konstruktivisme
Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Menurut Sanjaya (2008), pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan. Senada dengan hal tersebut, Suherman, dkk (2003) mengungkapkan bahwa dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan
(40)
mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Cobb (Suherman, dkk., 2003), para ahli konstruksivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif, dan mereka setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan inteligennya dalam setting matematika.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan konstruksivisme diantaranya dikemukakan oleh Steffe dan Kieren (Suherman.dkk, 2003) yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktiivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi kelas. Disebutkan pula bahwa dalam konstruktivisme proses pembelajaran senantiasa “problem centered
approach”, di mana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki
(41)
Pendekatan paham konstruktivisme mengungkapkan bahwa belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. Ruseffendi (1989: 241) menyatakan bahwa pemecahan masalah itu lebih mengutamakan kepada proses daripada kepada hasilnya (output). Guru bukan hanya sebagai pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.
2.7 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain hasil penelitian yang dilakukan oleh Aziz-Ur-Rehman1 dan Dr. Maqsood Alam Bokharidari (2011). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui efektifitas dari pengetahuan bawaan otak yaitu pengolahan paralel, pencarian makna bawaan, pola, persepsi melalui penciptaan bagian dan keutuhan, serta keunikan otak terhadap peningkatan prestasi belajar. Dalam penelitian tersebut, diambil sampel sebanyak 60 orang dari 211 siswa kelas IX (sembilan) secara acak untuk selanjutnya dibagi menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran yang berpusat pada otak (Brain-Based Learning) lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional .
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Muhammet ozden dan Mehmet Gultekin (2008). Penelitian tersebut dilakukan pada mata pelajaran IPA kelas 5 Sekolah Dasar di Turki pada tahun akademik 2004-2005. Dalam penelitian tersebut, diambil 2 kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Penelitian
(42)
tersebut berlangsung selama 11 hari dengan total 18 jam pelajaran. Hasil dari penelitian tersebut adalah: 1) Prestasi belajar siswa pada kelas yang menggunakan pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional, 2) Retensi (daya ingat) siswa pada kelas yang menggunakan pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional.
Jika pada penelitian diatas, pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan strategis, prestasi belajar, dan retensi (daya ingat), maka dengan langkah dan prinsif yang sama dengan penelitian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis dengan menggunakan pendekatan Brain-Based Learning pada jenjang Madrasah Aliyah (MA).
(43)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Penelitian ini menganalisis pembelajaran matematika dengan pendekatan brain based learning dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa kelas X (sepuluh) Madrasah Aliyah. Berdasarkan analisis data dan temuan yang diperoleh selama menerapkan pembelajaran matematika di Madrasah Aliyah (MA) Persis 99 Rancabango , maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Peningkatan kemampuan prosedural siswa setelah memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa setelah
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
3. Berdasarkan hasil analisis angket skala sikap siswa, siswa bersikap positif terhadap pelajaran matematika, pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain -Based Learning, dan terhadap soal-soal kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis.
4. Berdasarkan hasil observasi, kualitas akivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning pada
(44)
aspek kegiatan yang relevan dengan kegiatan pembelajaran cenderung mengalami peningkatan.
5.2Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan beberapa saran, yaitu:
1. Kepada guru
Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis, aktivitas, dan juga sikap siswa. Untuk itu disarankan kepada guru supaya pembelajaran matematika dengan pendekatan brain based learning dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran di dalam kelas.
2. Kepada instansi terkait
Karena pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis, dan tanggapan siswa juga positif, maka diharapkan dukungan dari instansi terkait untuk mensosialisasikan penggunaan pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning di sekolah melalui MGMP matematika, pelatihan-pelatihan guru matematika atau melalui seminar.
3. Kepada peneliti
a. Kemampuan matematika yang diteliti dalam penelitian ini adalah kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa kelas
(45)
X (sepuluh) pada materi trigonometri. untuk itu bagi para peneliti selanjutnya kiranya dapat menerapkan pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning pada kelas dan materi yang berbeda serta aspek kemampuan yang lain.
b. Populasi pada penelitian ini hanya siswa kelas X Madrasah Aliyah Persis 99 Rancabango, dan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive sampling. Mungkin di kesempatan yang lain para peneliti dapat menggunakan populasi yang lebih besar dan teknik pengambilan sampel secara acak, agar hasilnya dapat digeneralisasikan untuk populasi yang besar tersebut.
c. Ujicoba instrumen pada penelitian ini diberikan kepada siswa yang belum pernah memperoleh pembelajaran matematika kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis. Disarankan kepada peneliti yang akan membahas tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning, ujicoba instrumen hendaknya kepada siswa yang sudah memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain- Based Learning.
(46)
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z.(2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. (2002). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Aryani, K.(2010). Peningkatan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Konsep
Matematika Melalui Pembelajaran Dengan Strategi WritingFrom A Prompt dan Writing In Ferformance Tasks Pada siswa SMP. Tesis Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Aziz-Ur-Rehman1, Dr. Maqsood Alam Bokhari. oeffectiveness of brain-based learning theory at secondary level. Vol. 3. No. 4. July, 2011, I Part A.Sousa, D. (2009). How the Brain Learns Mathematics . International Electronic
Journal of Elementary Education Vol.1, Issue 2, March, 2009.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Pengembangan Silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : CV. Laksana Mandiri.
Dimyati dan Mudjiono. (1994).Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:P3MTK-Ditjen Dikti-Depdikbud.
Given, B.K .(2007). Brain-based teching. Bandung : Kaifa.
Hudoyo, H. (1985). Teori Belajar Dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Jensen, Eric. (2007). Brain-based Learning.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kilpatrick et al. (2001). Adding it up: Helping Children Learn Mathematics. National Research Council: Washington DC.
(47)
Muhammet Ozden& Mehmet Gultekin. The Effects of Brain-Based Learning on Academic Achievement and Retention of Knowledge in Science Course. Electronic Journal of Science Education Vol. 12, No. 1 (2008).
Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics. American Journal of Physics. Tersedia: http://www.physics,iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf.(21 April 2007)
Puspitasari, N. (2011). Pembelajaran Berbasis Maslaah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Riduwan. (2004). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-karyawan dan peneliti pemula. Bandung: Alfabeta.
Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Rose,C&Nichlm, J.M (2002). Accelerated Learning.Bandung: Nuansa
Ruseffendi,E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Ekasakta Lainnya. Bandung : Tarsito.
___________. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tarsito
(48)
___________. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syapa’at, A.(2009). Brain-Based Learning.[Online].
Tersedia:http: //matematika.upi.edu/index.php/ brain-based-learning. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Suherman, E, et al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi : Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
___________. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Penelitian ini menganalisis pembelajaran matematika dengan pendekatan brain based learning dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa kelas X (sepuluh) Madrasah Aliyah. Berdasarkan analisis data dan temuan yang diperoleh selama menerapkan pembelajaran matematika di Madrasah Aliyah (MA) Persis 99 Rancabango , maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Peningkatan kemampuan prosedural siswa setelah memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa setelah
memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
3. Berdasarkan hasil analisis angket skala sikap siswa, siswa bersikap positif terhadap pelajaran matematika, pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain -Based Learning, dan terhadap soal-soal kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis.
4. Berdasarkan hasil observasi, kualitas akivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning pada
(2)
aspek kegiatan yang relevan dengan kegiatan pembelajaran cenderung mengalami peningkatan.
5.2Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan beberapa saran, yaitu:
1. Kepada guru
Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis, aktivitas, dan juga sikap siswa. Untuk itu disarankan kepada guru supaya pembelajaran matematika dengan pendekatan brain based learning dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran di dalam kelas.
2. Kepada instansi terkait
Karena pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis, dan tanggapan siswa juga positif, maka diharapkan dukungan dari instansi terkait untuk mensosialisasikan penggunaan pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning di sekolah melalui MGMP matematika, pelatihan-pelatihan guru matematika atau melalui seminar.
3. Kepada peneliti
a. Kemampuan matematika yang diteliti dalam penelitian ini adalah kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis siswa kelas
(3)
X (sepuluh) pada materi trigonometri. untuk itu bagi para peneliti selanjutnya kiranya dapat menerapkan pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning pada kelas dan materi yang berbeda serta aspek kemampuan yang lain.
b. Populasi pada penelitian ini hanya siswa kelas X Madrasah Aliyah Persis 99 Rancabango, dan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive sampling. Mungkin di kesempatan yang lain para peneliti dapat menggunakan populasi yang lebih besar dan teknik pengambilan sampel secara acak, agar hasilnya dapat digeneralisasikan untuk populasi yang besar tersebut.
c. Ujicoba instrumen pada penelitian ini diberikan kepada siswa yang belum pernah memperoleh pembelajaran matematika kemampuan prosedural dan pemahaman konsep matematis. Disarankan kepada peneliti yang akan membahas tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain-Based Learning, ujicoba instrumen hendaknya kepada siswa yang sudah memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan Brain- Based Learning.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z.(2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. (2002). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Aryani, K.(2010). Peningkatan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Konsep
Matematika Melalui Pembelajaran Dengan Strategi WritingFrom A Prompt dan Writing In Ferformance Tasks Pada siswa SMP. Tesis Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Aziz-Ur-Rehman1, Dr. Maqsood Alam Bokhari. oeffectiveness of brain-based learning theory at secondary level. Vol. 3. No. 4. July, 2011, I Part A.Sousa, D. (2009). How the Brain Learns Mathematics . International Electronic
Journal of Elementary Education Vol.1, Issue 2, March, 2009.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Pengembangan Silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : CV. Laksana Mandiri.
Dimyati dan Mudjiono. (1994).Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:P3MTK-Ditjen Dikti-Depdikbud.
Given, B.K .(2007). Brain-based teching. Bandung : Kaifa.
Hudoyo, H. (1985). Teori Belajar Dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Jensen, Eric. (2007). Brain-based Learning.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kilpatrick et al. (2001). Adding it up: Helping Children Learn Mathematics. National Research Council: Washington DC.
(5)
Muhammet Ozden& Mehmet Gultekin. The Effects of Brain-Based Learning on Academic Achievement and Retention of Knowledge in Science Course. Electronic Journal of Science Education Vol. 12, No. 1 (2008).
Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics. American Journal of Physics. Tersedia: http://www.physics,iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf.(21 April 2007)
Puspitasari, N. (2011). Pembelajaran Berbasis Maslaah dengan Strategi Kooperatif Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Riduwan. (2004). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-karyawan dan peneliti pemula. Bandung: Alfabeta.
Rohendi, D. (2009). Kemampuan Pemahaman, Koneksi, dan Pemecahan Masalah Matematik: Eksperimen terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Pembelajaran Elektronik (E-Learning). Disertasi Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Rose,C&Nichlm, J.M (2002). Accelerated Learning.Bandung: Nuansa
Ruseffendi,E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Ekasakta Lainnya. Bandung : Tarsito.
___________. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tarsito
(6)
___________. (1989). Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syapa’at, A.(2009). Brain-Based Learning.[Online].
Tersedia:http: //matematika.upi.edu/index.php/ brain-based-learning. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Suherman, E, et al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi : Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
___________. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.