MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT DESA (STUDI PADA DESA BATOR, KECAMATAN KLAMPIS, KABUPATEN BANGKALAN).

(1)

MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT DESA

(Studi Pada Desa Bator Kecamatan Klampis

Kabupaten Bangkalan)

Skripsi

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Filsafat Politik Islam

Oleh: Lu’lu’ Ilma’nun

NIM: E34212048

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016


(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama

: Lu'lu'ilma'nun

NIM

:83421204

Jurusan : Filsafat Politik Islam

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitianlkarya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk surnbernya.

Surabaya, 3 Agustus /016

NIM:834212048

L{J'LU'ILMA'NUN


(3)

(4)

(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Lu’lu’ Ilma’nun

NIM : E34212048

Fakultas/Jurusan : Ushuluddin/ Filsafat Politik Islam E-mail address : ilmaknunl94@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Skripsi Tesis Disertasi Lain-lain (………) yang berjudul :

Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi pada desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 30 Agustus 2016

Penulis

( Lu’lu’ Ilma’nun )

nama terang dan tanda tangan

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id


(6)

ABSTRAK

Judul : Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Pada DesaBator Kecamatan Bangkalan)

Penulis : Lu’lu’ il maknun

Pembimbing : Dr. Abd. Chalik, M.Ag

Kata Kunci : Model Pengambilan, Keputusan Tingkat Desa

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Mentri Desa Nomor 2, menguraikan bahwa pentingnya musyawarah, peran BPD yang sudah berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana UU No.6 dan PERMENDES di terapkan di Desa Bator, oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian langsung kelapangan, Adapun masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana Model Pengambilan keputusan tingkat Desa pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, (2) Bagaimana hubungan antar lembaga Pemerintahan Desa, dan (3) Bagaimana Implikasi model pengambilan keputusan yang telah dirumuskan oleh pemerintah, terhadap perkembangan partisipasi masyarakat dalam perkembangan Demokrasi Desa. daalam penelitian ini beertujuan, (1) untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan keputusan pada Desa Bator (2) untuk mendeskripsikan hubungan antar lembaga Pemerintahan yang ada di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, dan (3) untuk memahami implikasidari keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Desa terhadap perkembangan Partisipasi Masyarakat dalam perkembangan Demokrasi Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bnagkalan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data observasi, Interview, dan dokumentasi. Peneliti membagi informan dalam penelitiannya menjadi dua yakni, informan kunci dan informan. Adapun informan kunci yang dimaksud oleh penelitia adalah: Kepala Desa (Plt), Ketua BPD, mantan Kepala Desa, Tokoh masyarakat, dan Ketua Karang Taruna. Kemuadian informan: anggota Pemerintah Desa, anggota kecamatan, masyarakat pemuda, anggotan BPD, mahasiswa, pelajar, guru, ustad, dan masyarakat umum. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalh: (1.) belum ada musyawarah yang berjalan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Mentri Desa Nomor 2 Tahun 2015. (2.) Hubungan antar kepala Desa dan Sekertaris Desa tidak harmonis. (3.)Demokrasi Desa Bator tidak berkembang secara maksimal. Fakta yang ada dilapangan yang terjadi di Desa Bator masyarakat dilibatkan dalam persoalan Desa, ketika pada saat pemilihan umum saja.


(7)

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . . ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI …... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... . iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAKSI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... .. 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 18

C. Rumusan Masalah ... 19

D. Tujuan Penelitian ... 19

E. Manfaat Penelitian ... 20

1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis F. Penegasan Judul ... 21

G. Telaah Pustaka ... 21

H. Penelitian Terdahulu ... 23


(9)

BAB II KAJIAN MODEL

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ... 25

A. Teori-Teori Pembangunan Desa ... 25

1. Pendekatan dan Teori Pembuatan Keputusan ... 25

2. Teori Pembangunan Desa ... 31

3. Teori Demokrasi di Tingkat Lokal ... 38

B. Regulasi Pengambilan Keputusan Tingkat Desa... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... .. 53

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Lokasi Penelitian ... 54

C. Sumber Data ... 56

D. Informan Penelitian ... 56

1. Key Informan 2. Informan E. Metode Pengumpulan Data ... 58

1. Metode Observasi 2. Metode Interview 3. Metode Dokumentasi 4. FGD (Focus Group Discussion) \ F. Analisis Data ... 62

1. Reduksi Data ... 63

2. Penyajian Data ... 64

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi ... 64

4. Keabsahan Data ... 65


(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN

DAN PEMBAHASAN ... 68

A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 68

a. Kajian Geografi ... 68

1. Sejarah Desa Bator 2. Letak Geografis Desa Bator 3. Kondisi Fisik Desa Bator b. Kajian Demografi... 70

1. Letak Demografi Desa Bator 2. Pemerintahan Desa 3. Kondisi Pendidikan di Desa Bator 4. Kondisi Kesehatan Desa Bator 5. Kondisi Sosial Desa Bator 6. Kondisi Ekonomi Desa Bator 7. Kondisi Pemerintahan Desa Bator a. Pembagian Wilayah Desa Bator b. Struktur Organisasi Desa Bator c. Tugas Pokok dan Fungsi Perangkat Desa Bator B.Model Pengambilan Keputusan ... 85

1. Proses Pengambilan Keputusan ... 85

2. Aktor dan Lembaga yang Terlibat ... 97

3. Tujuan dan Hasil Keputusan ... 102

C.Hubungan Antar Lembaga Pemerintah Desa ... 108 a. Komunikasi

b. Sumber Daya Manusia dan Lingkungan c. Sikap Pelaksana


(11)

D. Implikasi Model Pengambilan Keputusan

Terhadap Demokrasi Desa ... 120 a. Implikasi Model Pengambilan Keputusan

b. Perkembangan Demokrasi Desa

E.Pembahasan ... 128 1. Model Pengambilan Keputusan

2. Hubungan Antar Lembaga Pemerintahan Desa 3. Implikasi Model Pengambilan Keputusan Tingkat

BAB V PENUTUP ... 137 A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR WAWANCARA... 141

DAFTAR PUSTAKA... 143


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Berlakang Masalah

Indonesia mengadopsi sebuah kebijakan desentralisasi atauotonomi daerah, yang sangat berbeda dengan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 30 tahun lebih, yang ditempuh pemerintah orde baru. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada dua unsur alasan yang mendukung otonomi daerah, pertama intervensi Pemerintah Pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas Pemerintah Daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan Demokrasi di Daerah (Mardiasmo, 1999).

Kedua, tuntutan otonomi itu muncul sebagai jawaban untuk memasuki Modernisasiyang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini dimana Globalization Cascadesudah semakin meluas pemerintah akan kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan Internasional, informasi dan ide serta transaksi keuangan.1Otonomi Daerah merupakan bagian sistem politik yang diharapkan memberi peluang bagi warga negara untuk lebih mampu

1


(13)

mengembangkan daya kreativitasnya, dengan demikian Otonomi Daerah merupakan kebutuhan dalam Era Globalisasi dan Reformasi.

Paradigma seperti ini maka jalannya roda pemerintahan harus sesuai dengan keinginan atau aspirasi rakyat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 2 juga secara tegas mengisyaratkan bahwa Indonesia mengakui kedaulatan rakyat. Isi dari Pasal 1

Ayat (2) tersebut adalah “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”2

Dengan kata lain, pemerintah yang berkuasa harus mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari rakyat. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, legitimasi rakyat tersebut diwakilkan kepada para wakil rakyat yang duduk di DPR RI pada tingkat pusat dan DPRD pada tingkat Daerah.

Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen hingga empat kali sejak 1999 sampai dengan 2002, Konsep negara kesatuan yang selama orde baru dipraktekkan secara sentralistis berubah menjadi desentralistis. Perubahan lain yang penting adalah pemberian hak kepada daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi Daerah serta reformasi sebenarnya merupakan harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa untuk pembangun Desa sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar Aparat Pemerintah Desa, otonomi adalah suatu peluang baru yang dapat

2

Sriwahyuntari, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, (Yogyakarta: Trans Media Pustaka 2014), 3.


(14)

membuka ruang kreativitas bagi aparatur Desa dalam mengelola Desa, misalnya semua hal yang akan dilakukan oleh Pemerintah Desa harus melalui jalan persetujuan Kecamatan, namun hal itu tidak berlaku lagi.3

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, makaPemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa. Penataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa, dan meningkatkan daya saing Desa (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 7 Ayat 3).

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1 mengartikan Desa sebagai berikut :

“Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas Wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

3

Dipo Lukmanul Akbar, “Peran Pemerintahan Desa Dalam Penyusunan Apbdes Perspektif Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal)” (Skripsi diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 2015), 2.


(15)

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

Hal tersebut menjelaskan bahwa Desa mempunyai wewenang untuk mengurus sendiri pemerintahannya. Dan, mementingkan masyarakat setempat yang berdasarkan prakasa masyarakat, hak asal usul dan hak tradisional yang diakui dan dihormati.

Rumusan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah untuk mengatur, mengurus urusan pemerintahan, dan kepentingan masyarakat setempat. Kemudian berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Dan Pemeritahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4

Tim Permata Pers, Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (t.p.:Cetak Terbaru, t.th.), 2.


(16)

Dalam suatu wilayah, katakanlah Desa, yang memiliki peran penting dalam berjalannya roda demokrasi di Indonesia ini, akan menjadi tombak dan tolok ukur suksesnya Sistem Demokrasi yang mengacu pada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mendapatkan keberhasilan dari Demokrasi ini, menjadi tangung jawab yang besar bagi perangkat-perangkat Desa yang mengemban amanat rakyat. Salah satu proses berjalannya Demokrasi Desa adalah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Desa apakah tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Tugas dan wewenang Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah sesungguhnya berbeda. Sebagaimana yang dideskripsikan di tulisan terdahulu bahwa tugas Pemerintah Pusat adalah urusan Politik Luar Negeri, pertahanan, moneterdan fiskal Nasional, dan agama. Sedangkan urusan Pemerintah Daerah adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintah pusat yang diselenggarakan menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan.

Namun, dalam pelaksanaan urusan-urusan tersebut harus dilaksanakan secara maksimal melalui pelayanan Publik yang diselenggarakan secara prima. Tugas pemerintah baik ditingkat pusat dan Daerah dalam bidang pelayanan publik sesungguhnya adalah sama. Dalam konteks kewenangannya, hubungan kewenangan pemerintah daerah dan pusat diatur


(17)

dan dilaksanakan secara terkait, tergantung, sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan, adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.5

Di dalam Desa yang terdiri dari beragam jenis dan kebutuhan rakyat akan mempersulit Pemerintah Desa dalam mengambil kebijakan yang bersifat publik, selain itu bagi perangkat Desa seperti Kepala Desa serta jajarannya memegang amanat Desa yang berat. Untuk mempermudah semua persoalan yang ada di Desa dan berjalan dengan seadil-adilnya, pemerintah pusat memberikan ketetapan yang bertujuan untuk kesejahteraan yang adil bagi masyarakat Desa. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertulis dalam Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 Tentang Desa.

Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, menjelaskan dengan rinci bagaimana hak masyarakat Desa untuk mewujudkan Demokrasi, dan mendapatkan dengan rinci tugas dan kewajiban Kepala Desa serta jajarannya, BPD (Badan Permusyawaratan Desa), dan masyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa sistem Demokrasi yang sudah dipilih oleh Indonesia sudah diatur untuk pelaksanaanya sampai pada bagian terkecil Negara,yakni Desa. Bagi semua rakyat Indonesia yang tidak menjalankan peraturan yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat akan mendapatkan sangsi.

Musyawarah Desa harus bersifat Transparan, guna untuk mencegah terjadinya penyelewengan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam proses pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Desa telah diatur secara terperinci

5


(18)

dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalan Pasal 54 berbunyi:

(1.)Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

(2.)Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penataan Desa;

b. Perencanaan Desa; c. Kerjasama Desa;

d. Rencana investasi yang masuk ke Desa; e. Pembentukan BUM Desa;

f. Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g. Kejadian luar biasa.

(3.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.

(4.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.6

Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014Tentang Desa, pasal 54 ayat 1 sampai 4 ini mejelaskan bahwa musyawarah Desa di hadiri oleh Badan

6

Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,


(19)

Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat Strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hal ini membuktikan bahwa ada sistem yang bersifat Transparan di dalamnya.

Mewujudkan Sistem Demokrasi secara merata dan sungguh-sungguh memerlukan tiga pembagian unsur didalamnya. Kepala Desa sebagai pengambil kebijakan, sebelum pengambilan dan kebijakan diputuskan dan dijalankan oleh masyarakat Desa, ada proses pengambilan keputusan di dalamnya yang dirumuskan dalam musyawarah Desa yang dihadiri oleh Kepala Desa, BPD, dan Masyarakat. Dalam musyawarah Desa, fungsi BPD sebagai pengawas dan memberi usulan dalam perumusan kebijakan yang dimusyawarahkan oleh Kepala Desa, serta masyarakat yang menghadiri musyawarah tersebut juga memiliki hak untuk mengontrol serta memberikan usulan dan tidak menyetujui apabila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pasal 55

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:

a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;

b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan c. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Pasal 61 Badan Permusyawaratan Desa berhak:


(20)

a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;

b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan

c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 62 Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:

a. Mengajukan usul rancangan Peraturan Desa; b. Mengajukan pertanyaan;

c. Menyampaikan usul dan/atau pendapat; d. Memilih dan dipilih; dan

e. Mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.7

Dalam Peraturan Mentri Desa Nomer 2 tahun 2015 pasal 3 yang berbunyi:

(1.)Musyawarah Desa diselenggarakan secara partisipatif, Demokratis, Transparan dan Akuntabel dengan berdasarkan kepada hak dan kewajiban masyarakat.

7

Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,


(21)

(2.)Hak masyarakat dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Mendapatkan informasi secara lengkap dan benar perihal hal-hal bersifat Strategis yang akan dibahas dalam Musyawarah Desa; b. Mengawasi kegiatan penyelenggaraan Musyawarah Desa maupun

tindaklanjut hasil keputusan Musyawarah Desa;

Dalam Peraturan Mentri Desa Nomer 2 tahun 2015 pasal 5 menjelaskan:

(1.)Musyawarah Desa diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desayang difasilitasi oleh Pemerintah Desa.

(2.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan unsur masyarakat. (3.)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :

a. Tokoh adat; b. Tokoh agama; c. Tokoh masyarakat; d. Tokoh pendidik;

e. Perwakilan kelompok tani; f. Perwakilan kelompok nelayan; g. Perwakilan kelompok perajin; h. Perwakilan kelompok perempuan;


(22)

j. Perwakilan kelompok masyarakat miskin.8

Peraturan yang sedemikian rupa yang telah dirumuskan oleh Pemerintah Pusat, yang tujuan untuk kesejahteraan dan keadilan yang merata serta menjalankan Sistem Demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia. Desa adalah tombak Demokrasi tersebut, sebab apabila Desa tidak bisa menjalankan sitem yang terkandung dalam Demokrasi maka bisa dikatakan bawa Indonesia kurang menjalankan sistem Demokrasi. Dari lapangan yang didapat di Desa Bator dilihat dari persoalan, pertama seperti kantor Desa tidak digunakan dan tidak ada pembenahan hingga tidak layak pakai, dan rumah Kepala Desa yang menjadi jalan keluar untuk melayani kebutuhan masyarakat. Kedua, dalam Struktur Organisasi Desa ada dengan jelas badan-badan dalam Organisasi, namun tidak berfungsi dengan baik, tidak berfungsinya RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga), bahkan dalam 7 Dusun tersebut salah satu dari ketua RT di Desa Bator berkerja keluar negeri tidak menghiraukan tanggung jawab yang diembannya. Fenomena ini yang membuktikan kurangnya ketepatan dalam proses pengambilan keputusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Desa.9

Desa Bator adalah Desa yang berada di Kecamatan Klampis Kabupeten Bangkalan Madura. Desa ini memiliki luas wilayah 2. 468. 453 Meter persegi dengan batas wilayah sebelah baratDesa Bloekagoeng, sebelah

8

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, h, 4.

9


(23)

timur Desa Tenggoendaja, sebelah utara lautan, Kelampis Barat dan Klampis Timur, dan sebelah selatan Desa Boeloeng. Jumlah penduduk 5.008.000 jiwa dengan jumlah laki-laki 2.499.000 jiwa dan jumlah perempuan 2.509.000 jiwa, serta jumlah KK (Kartu Keluarga) 1.365.000. Desa Bator memiliki tujuh dusun di dalamnya yakni, dusun Tengginah, dusun Laok Sabe, dusun

Poka, dusun Betan, dusun Dengloa, dusun Ma’adan, dusun Tana Los.

Mayoritas masyarakat Desa Bator memeluk agama Islam, dan hanya satu keluarga yang terdiri dari tiga orang yang beragama Kristen. Masyarakat Desa Bator rata-rata menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Rata-rata mata pencaharian masyarakat Desa Bator sebagai Petani (1.226.000), Pedagang (231.000),Angkutan (37.000), Jasa (71.000) dan selebihnya bekerja sebagai ibu rumah tangga.10

Dari pengamatan peneliti selama ini pembangunan secara Infrastruktur yang ada di Desa Bator ini bisa dikatakan sangat kurang, seperti jalan yang tidak layak atau rusak. Namun, masyarakat di sanaselama ini diam atau tidak melakukan protes terhadap persoalan tersebut. Selain itu,Kantor Desa yang seharusnya sebagai fungsi administrasi pemerintahan jugatidak layak digunakan.Jadi selama ini, masyarakat jika memiliki keperluan dengan Pemerintahan terutama dengan Kepala Desa, mereka yang bersangkutan terpaksa menemui di rumahnya,yang dijadikan sebagai fungsi administrasi pemerintahan.

10

Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Kecamatan Klampis Dalam Angka,


(24)

Dugaan sementara dari pengamatan peneliti mengenai fenomena yang ada di Desa Bator, bahwa penggunaan rumah pribadi sebagai fungsi administrasi pemerintahan (Kantor Desa) akan menyebabkan terjadinyamisscommunication. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap proses pengambilan keputusan yang mengakibatkan ketidakserasian antara kebutuhan masyarakat secara umum dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah Desa. Salah satunya keadaan kantor Desa yang tidak layak difungsikan, dan kondisi jalan utama Desa yang sangat buruk, dan pernyataan ini juga disetujui oleh Kepala Desa. Kepala Desa pun membenarkan bahwa Kantor Desa yang seharusnya menjadi media Komunikasi dan penyalur Aspirasi masyarakatsudah tidak digunakan lagi, dan pernyataan ini dibenarkan oleh peneliti, sebab fakta di lapangan mengatakan demikian. Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan yang dipaparkan oleh BPD (Badan Permusyawaratan Desa), beliau memaparkan bahwa kantor Kepala Desa masih difungsikan setiap harinya, dan BPD berjalan sesuai dengan kebutuhan mayarakat Bator. Pernyataan yang berbeda dari Aparat Pemerintahan ini membuktikan bahwa, adanya misscommunication antara Kepala Desa dan Ketua BPD. Dengan adanya misscommunication dalam pemerintahan ini, sangat kecil kemungkinan menyatukan visi dan misi bersama untuk kepentingan Publik.11

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang dirumuskan oleh pemerintah, yang terjadi di Desa Bator adanya

11


(25)

kebingungan yang dirasakan oleh BPD mengenai tugasnya. Namun, karena kewenangan dan kewajiban BPD telah dijelaskan dalamUndang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sehingga menjadi jelas kerja BPD. Tidak hanya itu, setelah lahirnya Undang-Undang tersebutkondisi fisik Desa seperti, Kantor Kepala Desa, jalan utama Desa, dan tidak berfungsinya RT dan RW,ada perhatian untuk melakukan langkah pembenahan yang sedang direncanakan oleh Pemerintah Desa. Seperti pembenahan Kantor Desa, walaupun belum ada perubahan tetapi wawancara dari Kepala Desa menyatakan bahwa masih dalam proses pembenahan.

Dalam Peraturan Mentri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomer 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Pembangunan Dana Desa Tahun 2015 Pasal 5 yang berbunyi:

Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa dialokasikan untuk mencapai tujuan Pembangunan Desa yaitu meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar;

b. Pembangunan sarana dan prasarana Desa; c. Pengembangan potensi ekonomi lokal; dan


(26)

Dalam Pasal 6 juga menjelaskan prioritas Pembangunan Dana Desa yang berbunyi:

Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, meliputi:

a. Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes; b. Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan

c. Pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini.

Lalu disambung dengan Pasal 7 yang masih menjelaskan prioritas Pembangunan Dana Desa yang berbunyi:

Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dan huruf c untuk mendukung target pembangunan sektor unggulan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya, yang diprioritaskan untuk:

a. Mendukung kedaulatan pangan; b. Mendukung kedaulatan energi;

c. Mendukung pembangunan kemaritiman dan kelautan; dan d. Mendukung pariwisata dan industri.12

12

Peraturan Mentri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 5 tahun 2015. Hal 3


(27)

Dilihat dari Peraturan Mentri Desa yang masih menguraikan Pembangunan Desa secara terperinci untuk mewujudkan kesejahteraan Desa sudah cukup jelas. Namun, dari fakta dilapangan yang peneliti dapatkan, tidak ditemukannya pembanguan sarana dan prasarana Desa seperti yang dijelaskan oleh Peraturan Mentri Desa pada pasal 5 angka a. Hal ini yang menjadi pintu masuk peneliti yang ingin mengetahui lebih dalam lagi persoalan yang ada di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.Desa Bator yang memiliki tujuh Dusun didalamnya dan wilayah yang cukup luas, akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Desa. Selain kesejahteraan yang merata yang akan menjadi tantangan bagi Pemerintah Desa Bator, ketepatan Pemerintah Desa terhadap kebijakan yang diberikan untuk Desa juga perlu diperhitungkan. Hal ini memerlukan keterlibatan masyarakat untuk memusyawarahkan persoalan yang ada di Desa. Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 54 berbunyi:

(1.)Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat Strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

(2.)Hal yang bersifat Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penataan Desa;

b. Perencanaan Desa; c. Kerja sama Desa;


(28)

e. Pembentukan BUM Desa;

f. Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g. Kejadian luar biasa.

(3.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.

(4.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.13

Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan mengenai keterlibatan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan Desa. Hal ini membuktikan bahwa Demokrasi masyarakat pedesaan juga di atur dalam Undang-Undang nomer 6 Tahun 2014Tentang Desa. Manun, kenyataan di lapangan masih kurang, kebiasaan yang terjadi di Desa, keterlibtan masyarakat Desa hanya pada saat pemilihan umum saja. Sama halnya dengan yang terjadi di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.

Hal tersebut yang menjadi latar belakang penulis dalam melakukan penelitian tentang “Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Desa

Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan)”.

B. Identifikasi Masalah

13


(29)

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah yang ditemukan yaitu:

1. Model pengambilan keputusan tingkat desa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan dengan kebutuhan masyarakat dirasa kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kurang sesuai dengan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

2. Kurang maksimalnya Perangkat Desa, BPD (Badan Permusyawaratan Desa), serta RT (Rukun Tetangga), dan RW (Rukun Warga) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.Kemudian, masyarakat yang kurang dilibatkandalam proses pengambilan keputusan dalam Musyawarah sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 54 (1) dan Peraturan Mentri Desa Nomer 2 Tahun 2015, Pasal 5 (2), yaitu tentang dilibatkannya unsur masyarakat di dalam musyawarah.

C. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat merumuskan masalah yang ditemukan sebagai berikut:

1.

Bagaimanamodelpengambilan keputusan tingkat Desapada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan?


(30)

2.

Bagaimana hubungan antar lembaga Pemerintahan Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan ?

3.

Bagaimana implikasi model pengambilan keputusan yang telah dirumuskan oleh pemerintah Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan terhadap perkembangan partisipasi masyarakat padaDemokrasi Desa?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan keputusan pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.

2. Untuk mengetahui hubungan antar lembaga pemerintahan yang ada di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.

3. Untuk memahami implikasi dari keputusan yang ditetapkan oleh pemerintahan desa terhadap perkembangan partisipasi masyarakat pada Demokrasi Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.


(31)

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian Desa dalam penulisan ini akan bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian yang telah dilakukannya diDesa Batorini antara lain :

1. Manfaat Teoritis :

a. Dapat menambah wawasan dan pengembangan ilmu politik khusunya di prodi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin UIN-Sunan Ampel Surabaya.

b. Dapat dijadikan acuan atau refrensi berkaitan dengan ilmu yang dipelajari di Fakultas Ushuluddin. Dan dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi yang bermanfaat bagi pembaca dan menjadi refrensi alternatif penelitian berikutnya. 2. Manfaat Praktis:

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai refrensi dan bahan informasi bagi konsultan politik maupun masyarakat terkait dengan Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten

Bangkalan).

F. Penegasan Judul

Untuk memfokuskan pemahaman dalam penulisan proposal ini, maka penulis perlu menegaskan kata-kata (abstrak) judul ini sebagai berikut:


(32)

1. Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa : Model adalah percontohan yang mengandung unsure yang bersifat penyederhanaan untuk dapat ditiru (jika perlu). Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan suatu proses beruntun yang memerlukan penggunaan model secara tepat.

2. Desa Bator :Desa yang berada di kecamatan Klampis Kabupeten Bangkalan Madura. Desa ini memiliki luas wilayah 2. 468. 453 Meter persegi dengan batas wilayah sebelah barat Desa Bloekagoeng, sebelah timur Desa Tenggoendaja, sebelah utara lautan, Kelampis Barat dan Klampis Timur, dan sebelah selatan Desa Boeloeng.

G. Telaah Pustaka

Berdasarkan dari asumsi di atas maka penelitian ini akan fokus pada telaah pustaka yang membahas tentangModel Pengambilan Keputusan Tingkat Desa Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan,

di antaranya:

1. Kitab Undang-Undang Desa , buku Undang-Undang ini menjelaskan dengan rinci bagaimana pemerintahan Desa yang baik, salah satunya isi


(33)

dari Undang- Undang ini adalah, Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014Tentang Desa.

2. Peraturan Pemerintah Desa, pembanguan daerah tertinggal, dan transmigrasi nomer 5 tahun 2015, buku ini menjelaskan penerapan prioritas penggunaan dana Desa tahun 2015.

3. Peraturan Mentri Desa, Penbangunan daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2015, buku ini menjelaskan pedoman tatatertib dan mekanisme pengambilan keputusan musyawarah Desa.

4. Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan prespektif pemikiran hans kelsen, jurnal ini salah satu pendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Jurnal ini di karang oleh HM. Thalhah, banyak mengupas tentang pemikiran Demokrasi Hans Kelsen.

5. Dasar-dasar ilmu politik, karangan dari Prof. Miriam Budiardjo banyak mengupas tentang politik secara mendalam, salah satunya Teori Demokrasi.

6. Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah, buku yang menjelsakan banyak tentang daerah dan pendekatan teori untuk menghadapi persoalan yang timbul di daerah.

7. Demokrasi Di Tingkat Lokal, Buku Panduan International Idea Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik Dan Kepemerintahan. Buku karangan dari Timothy D. Sisk yang


(34)

diterjemahkan oleh Arif Subiyanto, menjelaskan dengan rinci mengenai demokrasi di tingkat lokal.

8. Dasar-dasar Ilmu Politik karyaMiriam Budiardjo, dalam karyanya ini menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu politik, dan salah satunya adalah Demokrasi.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima BAB. BAB I terdiri dari enam sub. Pertama, latar belakang yang menguraikan tentang persoalan yang ada di lapangan dan data yang mendukung judul yang diangkat oleh peneliti. Kedua, identifikasi masalah, yang memaparkan pembatasan permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti. Ketiga, rumusan masalah, yang berisi tentang permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti. Keempat, tujuan penelitiuan, memaparkan tentang tujuan yang akan diutamakan dalam penelitian ini oleh peneliti. Kelima, manfaat penelitian, peneliti menghendaki dalam penelitian yang dilakukannya ini di samping untuk menyelesaikan studi Strata Satunya, juga ingin memberi manfaat bagi orang lain. Keenam, telaah pustaka, yang berisi rujukan atau buku yang menjadi pendukung dan membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitiannya.

BAB II berisi kajian teori, yakni teori Pembuatan Keputusan, teori Pembangunan Desa, Kebijakan Public dalam Pemerintahan.


(35)

BAB III Metode Pelitian, memaparkan jenis penelitian, sumber data, metode yang digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data, fokus penelitian, lokasi penelitian yang dipilih peneliti.

BAB IV, memaparkan hasil penelitian yang meliputi Penyajian data, Analisis data.

BAB V berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang merujuk pada rumusan masalah penelitian dan saranyang berisi pengembangan keilmuan dari hasil penelitian.


(36)

BAB II

KAJIAN TEORI -TEORI

PEMBANGUN DESA

A. Pendekatan dan Teori Pembuatan Keputusan

Pembuatan keputusan (decision-making) berada diantara perumusan kebijakan dan Implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Keputusan memengaruhi Implementasi dan Implementasi tahap awal akan memengaruhi tahap pembuatan keputusan selanjutnya yang pada gilirannya, akan memengaruhi Implementasi berikutnya. Karena, pembuatan keputusabukan proses pasif.Keputusan merupakan sebuah proses sertapetunjuk arah atau dorongan awal atau percobaan awal, yang nantinya akan mengalami revisi dan diberi spesifikasi.1Analisis kebijakan berkaitan dengan perkataan Lasswell diringkaskan sebagai “siapa yang mendapatkan sesuatu, kapan, (dan) bagaimana ia mendapatkannya.” Analisis pembuatan keputusan adalah semacam penjelasan yang bertujuan untuk menerangkan atau mendeskripsikan bagaimana satu keputusan atau serangkaian keputusan dibuat. Bentuk lain dari tujuan analisis keputusan adalah, mengetahuitentang cara keputusan itu diambil atau bagaimana keputusan itu seharusnya dibuat.

1

Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008), 247


(37)

1. Pendekatan Kekuasaan untuk Pembuatan Keputusan

Model adalah suatu konsepsi intelektual yang baik, yang dipergunakan untuk menggambarkan situasi sosial atau fisik.Situasi tadi mungkin nyata atau mungkin juga hipotesa. Dengan demikian, suatu model merupakan suatu sita-sita yang ingin dicapai atau suatu pola yang akan diikuti. Model tersebut, kita anggap sebagi konsepsi intelektual yang sederhana, atau kerangka yang bersifat kaku, yang dapat membantu kita di dalammengatur alur-alur utama pemikiran kita di dalam memberi arah penyelidikan.2

Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokratis, dan tatanan politik, kelompok penekan, dan kalangan profesional atau ahli pengetahuan teknis.

2. Model Elitis

Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan terkonsentrasi ditangan segelintir orang atau kelompok. Menurut model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan demi keuntungan elite-elite tersebut. Sebagai sebuah model pembuatan keputusan, tujuan elitisme didasarkan pada analisis terhadap cara dunia rill berjalan. Dikatakan bahwa dalam dunia ril

2


(38)

ada pihak-pihak yang berada di atas yang memegang kekuasaan dan ada “massa” yang tak memegang kekuasaan. Model ini berasal dari ilmu sosial modern, yakni berakar pada dua karya ahli teori Italia: Mosca dan Pareto. Mereka berpendapat, bahwa sejarah menunjukkan bahwa elitisme adalah sesuatu yang takbisa dihindari: masyarakat tanpa kelas adalah mitos dan Demokrasi tak lebih dari sekedar pura-pura. Mosca kemudian memodivikasi pandangan ini dengan mengatakan bahwa Demokrasi dapat dilihat sebagai sebentuk poltik dimana elite-elite bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk guna mengamankan legitimasi kekuasaan elite. Ide Mosca dan Pareto menjadi basis untuk merumuskan pendekatan elitis selanjutnya. Robert Michels (1915) mengembangkan pendekatan dalam studi partai politik dimana dia mengemukakan bahwa ada “hukum besi oligarki” yang berlaku di dalam organisasi. Di sepanjang waktu, elite-elite organisasi menciptakan kepentingan dan tujuan sendiri yang berbeda dengan kepentingan dan tujuan anggota organisasi. Weber juga memfokuskan pada konteks organisasional atau birokratis dari kekuasaan dengan menunjukkan bagaimana “rasionalisasi” dalam masyarakat kapitalis menghasilkan formasi birokrasi yang pasti akan menggantikan bentuk-bentuk oraganisasi lainnya dan, karena tidak adanya akuntabilitas parlementer yang


(39)

kuat, akan memunculkan ancaman bagi pengambilan keputusan Demokratis oleh politisi terpilih.3

a) Elit lokal dalam kehidupan politik

Dalam konteks elite, ada beberapa pandangan dalam melihat elite, yakni pandangan psikologis, organisasi, dan kekuasaan.Pandangan psikologis terhadap elite dikemukakan oleh Vilfredo Pareto (1848-1923). Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan selalu merupakan aktor yang terbaik, dan merekalah yang disebut elite.4

Elite merupakan orang yang berhasil dan mampu menduduki jabatan tinggi dalam masyarakat.Mereka terdiri atas para pengacara, ilmuwan tokoh agama, mekanik atau bahkan mafia yang umumnya dikenal pandai dan kaya.Elite dilihat dari sudut pandang organisasi dikemukakan oleh Mosca dan Michels.Menurut Gaetano Mosca (1858- 1941), orang hanya dikelompokkan ke dalam dua

3

Ibid., 251. 4

Abdul Chalik, “Elite Lokal Yang Berbasis Pesantren Dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur”, Journal Etika Lokal yang Berbasis Pesantren, Vol. 23 No. 2 (Desember, 2015), 369


(40)

kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik “penting” dan mereka yang tidak memilikinya.

Gaetano Mosca menggambarkan masyarakat sebagai berikut: In all societies, two class of people, a class that rules and that class is ruled. The first class always the less numerous, performs and political functions, monopolizes po- wer and enjoy the advantages that power brings, whereas the second, the more numerous class, is directed and controlled by the first, in manner that is now more or less legal, now more or less arbitrary and violent, and supplies the first. Artinya, dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk, satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai.Kelas pertama, yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu.Sedangkan kelas kedua yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama.

Kaum elite menurut Putnam digambarkan sebagai berikut: pertama, secara eksternal, elite bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok. Elite bukan merupakan kumpulan individu saling terpisah-pisah, tetapi individu yang ada dalam kelompok elite saling mengenal dengan baik, memiliki latar belakang yang mirip, dan (kadang memiliki pandangan yang


(41)

berbeda), memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepen- tingan yang sama. Kedua, kaum elite mengatursendiri kelangsungan hidupnya (self perpetuating) dan keanggotaannya berasal dari suatu lapisan masyarakat yang sangat terbatas.Pemimpin selalu memilih sendiri dari kalangan istimewa yang hanya terdiri atas beberapa orang. Ketiga, kaum elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal gugatan dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai ke- putusan yang dibuatnya. Semua persoalan politik penting diselesaikan menurut kepentingan atau tindakan kelompoknya.5

Di antara beberapa kelompok elite ada yang disebut dengan elite politik. Mereka adalah sekelompok orang atau individu yang memiliki banyak kekuasaan politik dibandingkan dengan yang lain. Yang dimaksud kekuasaan adalah kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi perbuatan keputusan kolektif. Putnam mengartikan kekuasaan sebagai probabilitas untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan kegiatan negara, atau probabilitas untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai secara otoritatif.

Elite politik yang cukup dominan adalah mereka berlatar belakang tokoh agama, atau elite politik yang berbasis agama dan

5


(42)

pesantren. Di Jawa Timur, elite politik yang berbasis agama dan pesantren dikenal dengan sebutan ”santri”, ”kiai”, atau keluarga kiai yang dikenal dengan sebutan ”Gus” (istilah yang melekat pada kiai Jawa), atau ”Lora” (isti- lah yang melekat pada kiai Madura), atau juga ”Bhindhârâh” (istilah yang melekat pada kiai Pendalungan/Jawa Timur bagian Timur dan Selatan). Ketiganya adalah sama, yakni anak dan keturunan kiai, terutama, yang memiliki pesantren. Tetapi, sebutan tersebut sangat populer bagi anak dan keturunan kiai yang memiliki pesantren.6

3. Model organisasi: pasar, hierarki, dan jaringan

Salah satu model pengambilan Keputusan yang dikemukakan oleh Graham Allison adalah model pengambilan keputusan organisasi, di mana dalam model ogranisasi ini terdapat tiga rangkaian yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pertama actor pemegang keputusan, dalam hal ini actor yang menentukan suatu keputusan, memilih opsi, mengetahui kosekuensi, dan memahami pilihan yang dipilih. Kedua proses organisasional, organisasi yang menjadi bagian dari pemerintahan nasional, dan bagaimana organisasi itu memahami dan menghadapi persoalan. Ketiga politik birokrasi, pemerintahan nasional yang terdiri dari para actor politik yang memiliki tujuan, kepentingan, dan pandangan

6

Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008), 247


(43)

terhadap pengambilan keputusan yang dibingkai dalam kerangka relasi kekuasaan.

Kerangka yang kerap dipakai adalah memandang organisasi dari sudut pandang tiga model: pasar, hierarki atau birokrasi, dan jaringan (network) atau komunitas. Ketiganya mendefinisikan tiga pendekatan berbeda untuk studi “koodinasi sosial”. Model ini berpendapat bahwa prinsip utama dari masing-masing model adalah:

a. Intensif dan harga untuk model “pasar”

b. Aturan, otoritas, dan hierarki untuk model “birokrasi” c. Norma, nilai, afiliasi, dan jaringan untuk model “komunitas”


(44)

Komutas

 Keyakinan dan nilai bersama  Relasi langsung yang

mengandung banyak segi  Resiprositas (timbale balik)  Ancaman pembalasan

self-help

 Penggunaan gossip, sanksi supranatural, dan sanksi dengan mempermalukan Birokrasi

 Organisasi uniter

 Keseragaman norma dan nilai  Ketaatan sempurna

 Informasi lengkap

 Waktu untuk mempertimbangkan

Pasar

 Banyak pembeli dan penjual

 Mereka tahu apa yang mereka inginkan  Mereka mampu membayarnya

 Mereka bisa bertindak independen  Mereka bebas untuk keluar masuk  Informasi tersedia bebas

 Tak ada biaya untuk membuat kesepakatan dan menjaga perjanjian

Model organisasi ini menggambarkan suatu kerangka pemikiran seperti berikut:7

MODEL ORGANISASI

7

Wayne Parsons, Public Policy pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebiajkan,


(45)

4. Teori Pembangunan Desa

Rostow (1971) menyatakan, bahwa pengertian pembangunan tidak hanya pada lebih banyak output yang dihasilkan tetapi juga lebih banyak output daripada yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan : masyaralat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas, gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci diantara tahapan ini adalah tahap lepas landas yang didorong oleh satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini telah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang dinamis.

Menurut Hanafiah (1892), pengertian pembangunan mengalami perubahan karena pengalaman pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional tidak bisa memecahkan masalah pembangunan. Hal ini terlihat dari taraf hidup sebagian besar masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan pendapatan nasional pertahun meningkat. Dengan kata lain, ada tanda-tanda kesalahan besar dalam mengartikan istilah pembangunan secara sempit.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekadar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak bisa diartikan sebagai


(46)

kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.

Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah pembangunan pedesaan. Menurut haeruman ( 1997 ), ada dua sisi pandang untuk menelaah pedesaan, yaitu:8

a. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat Desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.

b. Sisi yang lain, memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt Desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pemabangunan pedesaan.

c. Pembangunan Desa adalah proses kegiatan pembangunan yang berlangsung diDesa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer : 72 tahun 2005 Tentang Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bahwa perencanaan pembangunan Desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan Desa sesuai dengan kewenangannya dan menurut

8Fauzi Kurniawan, “Beberapa Teori Tentang Pembangunan”,http://beberapa

-teori-tentang-pembangunan-dan.html post 29-03 -2016


(47)

ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan Desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan Desa. Tujuan perencanaan pembangunan sebagai berikut:

1) Mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.

2) Menjamin sinkronisasi dan sinergi dengan pelaksanaan pembangunan daerah.

3) Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.

4) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat

5) Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya Desa secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Kebijakan perencanaan pembangunan Desa merupakan suatu pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan di Desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.

a) Kebijakan Publik Dalam Pembangunan

Kebijakan (policy) umunya digunakan untuk memilih dan menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan, baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun privat. Kebijakan harus bebas dari konotasi atau nuansa yang


(48)

dicakup dalam kata politis (political), yang sering diyakini mengandung makna keberpihakan akibat adanya kepentingan. Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh perilaku yang konsisten serta berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan). Adapun kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang lebih kurang saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah.9

Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi

9


(49)

silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka, untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut:

1) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan,

2) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi,

3) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan,

4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan,

5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai,

6) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit,

7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu,

8) Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat intra organisasi,

9) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah,

10) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.


(50)

Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor.Hal penting yang turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah (Suharno: 2010: 52-53) :

a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar

Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar.

b. Adanya pengaruh kebiasaan lama

Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan terkadang amat birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang memuaskan.

c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat


(51)

pribadinya.Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan besar.

e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan. Misalnya,orang mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan.10

Melihat fungsi dari filsafat kebijakan, partisipasi masyarakat wajib dalam penyususnan kebijakan di sebuah negara demokrasi. Dalam konteks otonomi daerah pun, partisipasi masyarakat dijamin melalui Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 45 disebutkan bahwa anggota DPRD mempunyai kewenangan menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. pasal 139 menegaskan bahwa masyarakat berhak memeberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah.

10

Dipo Lukmanul Akbar, “peran pemerintahan desa dalam penyusunan apbdes perspektif undang- undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa (studi di desa kedungkelor

kecamatan warureja kabupaten tegal)” (Skripsi diterbitkan, fakultas hukum universitas negeri semarang 2015), 22-25


(52)

Dijaminyan kebebasan masyarakat menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam menyusun seperti kebijakan publik di Daerah, agar kebijakan publik memenuhi rasa keadilan dan tidak menimbulkan kontroversi masyarakat. oleh karena itu, perumusan kebijakan publik dimulai dari dan oleh rakyat, serta untuk rakyat, terutama di sebuah negara demokrasi.11

5. Teori Demokrasi di Tingkat Lokal

Inti terdalam dari demokrasi adalah kepercayaan mendasar dari segenap warga masyarakat kepada pihak lain (dalam hal ini pemerintah) untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Kepercayaan mendasar – yang populer disebut “social capital” ini hanya bisa ditumbuhkan dari bawah, yakni dari tingkat lokal. Sebuah kultur demokrasi lokal yang bersemangat, masyarakat madani yang semarak, dan pemerintah lokal yang inklusif merupakan modal dasar bagi terwujudnya demokrasi yang lestari.

Ada beberapa konsep kunci yang menentukan pemahaman kita perihal pemerintahan lokal, antara lain: warga dan masyarakat, pemerintahan otonom, musyawarah, dan kegiatan masyarakat.12

11

Endang Soetari, Kebijakan Publik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), 15 12

Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Local: Buku Panduan International IDEA Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan, terj. Arif Subiyanto (Jakarta: AMEEPRO, 2002), 14-15


(53)

Hal terpenting yang memaknai terselenggaranya pemerintahan lokal yang demokratis adalah konsep pemerintahan yang otonom (self-government) serta pemerintahan yang paling menyentuh masyarakat.Gagasan terpentingnya adalah penduduk suatu wilayah harus mendapatkan hak dan tanggung jawab untuk membuat keputusan menyangkut isu-isu yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka dan yang untuk itu mereka mampu mengambil keputusan.Urusan-urusan seperti pertahanan nasional, politik luar negeri, dan keamanan secara langsung memang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.Namun,soal-soal seperti itu jelas terlalu berat untuk ditangani pemerintah setingkat kotapraja, sehingga mau tidak mau hal itu menjadi beban tanggung jawab pemerintah pusat. Ada dua cara untuk memahami demokrasi lokal, yakni: di dalam lembaga-lembaga pemerintahan lokal seperti walikota, dewan kota atau DPRD, Komite-komite, dan pelayanan administratif; di dalam pengorganisasian dan aktivitas masyarakat (civil society).

Idealnya, para pejabat lokal dan gerakan-gerakan masyarakat madani bekerja sama dalam hubungan yang saling memperkuat dan mendukung untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, serta mencari solusi yang inovatif. Pemerintah hanya satu bagian saja dari gambaran utuhnya, meski berkedudukan penting.Gagasan mengenai kegiatan masyarakat-berupa organisasi kemasyarakatan, pelbagai


(54)

asosiasi, kegiatan usaha, panitia-panitia di kampung, dan semacamnya - juga menempati kedudukan penting di dalam konsep pemerintahan lokal.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerinthan yang demokratis di bawah rule of low ialah:

a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan ats hak-hak yang dijamin.

b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak c. Pemilihan umum yang bebas

d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat

e. Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi f. Pendidikan kewarganegaraan.13

a) Konsep-Konsep Demokrasi Lokal 1. Kewarganegaraan dan masyarakat.

Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan

13

Miriam budiardjo, dasar-dasar ilmu politik (jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2008), 116


(55)

terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah. 2. Musyawarah.

Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung bersama-sama.14

3. Pendidikan Politik.

Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para

14


(56)

profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi – yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat – semakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan anggota masyarakat.

4. Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial.

John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

b) Karakteristik Utama Sistem Pemerintahan Lokal yang Baik

Diperlukan tiga unsur untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang baik: sebuah sistem pemerintahan lokal harus memiliki kapasitas untuk memberikan keterbukaan, mengadakan musyawarah, dan mengambil tindakan yang


(57)

terpadu. Ketiga unsur itu bukanlah nilai yang paling relevan, namun pantas mendapat prioritas tertinggi; ketiganya merupakan faktor penentu agar pemerintah lokal memperoleh legitimasinya.15

Keterbukaan Di dalam sistem kemasyarakatan yang demokratis, partisipasi seluruh warga bukanlah prasyarat utama; yang lebih penting ialah adanya keterbukaan pada semua pihak.Banyak orang lebih suka menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal yang tidak bersifat politis.Tidak sedikit dari mereka mengalami hambatan sosial dan ekonomi yang membuat mereka tidak punya cukup waktu untuk melakukan aktivitas politik. Dalam kondisi seperti ini, kemudahan untuk berpartisipasi di arena lokal akan memberi nilai istimewa bagi demokrasi lokal.

Nilai terpenting bagi sebuah pemerintahan lokal adalah sistemnya yang terbuka, tidak banyak rintangan bagi mereka yang ingin mengekspresikan ketidaksetujuan, dan bisa mememperkecil kendala bagi pihak-pihak yang kurang terorganisasi dan minim sumber daya.Masyarakat mutlak memiliki hak untuk berperan serta.Demokrasi menuntut adanya sistem yang dapat menjadikan hak itu sebagai sebuah

15


(58)

opsi praktis. Masyarakat boleh saja, dengan alasan yang rasional, memilih untuk tidak berpartisipasi sama sekali, berkat adanya keyakinan bahwa kepentingan mereka terlindungi dan tidak terancam.

Nilai dari keterbukaan tidak menuntut atau mengasumsikan partisipasi langsung yang terus-menerus dan dalam skala besar.Keterbukaan tergantung tersedianya praktik-praktik demokratis serta adanya opsi untuk berpartisipasi sejauh diperlukan. Opsi-opsi itu harus tersedia tanpa banyak membebani waktu warga masyarakat, dan harus dijalankan dengan cara yang semaksimal mungkin menjamin keterwakilan dari mereka yang terlibat atau berkepentingan. Sekarang sudah banyak cara yang memungkinkan masyarakat berperan serta dalam politik lokal tanpa terikat oleh batas-batas tradisi dan prinsip demokrasi representatif yang formal.16

Partai dan lembaga politik formal memang memiliki peranan, namun semua itu tidak dapat diandalkan atau diberi hak eksklusif sebagai motor penggerak massa dan pelaksana peran serta mereka. Eksistensi kelompok-kelompok masyarakat, organisasi masyarakat madani, forum konsumen, atau kesempatan untuk berpartisipasi langsung melalui

16


(59)

forum permusyawarahan warga, pertemuan inisiatif warga, referendum, dan pertukaran pendapat melalui teknologi informasi dan komunikasi, semuanya itu ikut menentukan keterbukaan sebuah sistem pemerintahan lokal.

c) Musyawarah

Masyarakat memiliki hak dan kesempatan untuk berperan serta di dalam kehidupan publik lokal.Kebanyakan intervensi atau campur tangan mereka yang bersifat khusus hanya menyangkut pemakaian pelayanan tertentu.Intervensi mereka diharapkan bisa terlaksana dalam jangka waktu yang singkat, hemat biaya bagi yang bersangkutan, dan dapat segera direspons oleh penyedia jasa yang terkait. Dengan kata lain, keterlibatan warga itu cenderung secara langsung menyentuh materi yang berkaitan dengan kepentingan setiap individu.

Namun, hasil dari peran serta atau intervensi itu belum tentu memuaskan semua orang — keterbatasan sumber daya dan garis kebijakan pemerintah bisa menjadi faktor penghalang – namun proses yang dijalankan haruslah transparan dan tidak terlalu menyita waktu dan sumber daya. Tapi, untuk dapat menyaksikan pemerintahan lokal sebagai ajang aktivitas politik memang memerlukan intervensi warga dan debat publik yang cukup ajek atau berkesinambungan. Pemerintahan lokal yang


(60)

bagus harus diwarnai oleh musyawarah dengan warga, di samping keterbukaan yang mereka gulirkan.

Menurut pendapat para kritisi soal kemasyarakatan, liberalisme sarat dengan masalah, sebab hanya menciptakan demokrasi tipis yang didasari oleh tawar-menawar kepentingan pribadi.Menurut visi para pengamat kemasyarakatan, yang lebih diutamakan semestinya adalah “politik demi kebaikan semua pihak,” di mana semua pihak mencari pemecahan untuk permasalahan umum yang sama-sama mereka hadapi.Untuk menarik suatu keputusan, perlu berbagi pengalaman dan musyawarah kolektif atas dasar semangat untuk saling memberi dan menerima.17

Lembaga-lembaga politik harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan semua warga saling berhubungan sebagai peserta dialog.Institusi-institusi politik lokal yang mempunyai kemampuan mengakses para warga masyarakat secara prinsipil mampu melaksanakan tugas di atas.Para pemuka masyarakat perlu memiliki komitmen terhadap politik musyawarah untuk mengontrol kecenderungan terjerumusnya mereka ke dalam pembentukan rezim jahat berisi aktor dari pemerintah dan kalangan sipil yang hanya

17


(61)

memikirkan agenda pribadi masing-masing tanpa mau mendengar suara masyarakat luas.

Semangat bermusyawarah membutuhkan kesediaan untuk melibatkan sebanyak mungkin unsur masyarakat ke atas meja perundingan.Pertemuan-pertemuan publik, forum bagi kaum remaja dan manula, dan majelis-majelis desa dapat dijadikan instrumen yang tepat untuk tujuan di atas. Instrumen-instrumen itu memiliki kelemahan dalam hal sebaran dan kisaran respons yang akan diperoleh dari warga masyarakat. Referendum pilihan ganda jika disertai oleh acara debat publik yang terorganisasi rapi bisa dijadikan alternatifnya.

Opsi alternatif lain yang bisa dicoba adalah dengan mengadopsi sistem juri untuk membahas isu-isu politik. Di beberapa negara telah dilakukan macam-macam percobaan.Pada salah satu percobaan, sampel warga masyarakat dikumpulkan dan dibebaskan dari kegiatan rutin mereka sehari-hari.Mereka diminta memberikan rekomendasi bagi berbagai isu.Kepada mereka disediakan fasilitas berupa konsultasi dengan pakar, data, dan dukungan administrasi.Daya tarik utama dari dua opsi terakhir ini membuat warga masyarakat yang sesungguhnya bukan aktivis politik menjadi tertarik untuk bermusyawarah.


(62)

B. Penelitian Terdahulu

Karya skripsi Yurika Maharani mahasiswa Universitas Udayana yang berjudul: Sistem Pembentukan Peraturan Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa.18 Dalam karyanya ini memaparkan peraturan desa berdasarkan Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014. Yakni rancangan peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa, dan peneliti tidak menemukan hal tersebut pada tempat yang di teliti.

Karya skripsi yang disusun oleh Iis Qomariah mahasiswa UIN Kalijaga Yogyakarta yang berjudul: Masa Jabatan Kepala Desa Balungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul di Tinjau dari Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa.19

Karya skripsi berikutnya yang disusun oleh Dipo Lukmanul Akbar yang berjudul Peran pemerintahan desa dalam penyusunan APBDES prespektif UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (studi di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal), dalam karya yang

18

Yurika Maharani, “Sistem Pembentukan Peraturan Desa Berdasarkan Undang-undang

nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa” (Skripsi diterbitkan, Hukum Pemerintahan Fakultas

Hukum Universitas Udayana, 2015), 1

19Iis Qomariah, “Masa Jabatan Kepala Desa Balungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten

Bantul di Tinjau dari UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa” ( Skripsi diterbitkan,


(63)

ditulis oleh Lukman Akbar, menggunakan prespektif Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa sebagai penyusunan APBDes.20

Namun, penelitian ini berbeda dari persoalan yang diangkat oleh peneliti-peneliti lainnya, karena penelitian ini lebih konsen pada Model Pengambilan Keputusan Desa yang merujuk pada Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan dalam karya ini memaparkan fungsi pemerintah Desa dan lembaga Desa lain dalam mewujudkan Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Desa tertinggal, yang ditempati masyarakat. Penelitian ini berjudul: Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Desa pada Desa Bator

Kecamatan Kelampis Kabupaten Bangkalan).

20

Dipo Lukmanul Akbar, “Peran pemerintahan desa dalam penyusunan APBDES prespektif UU No. 6 tahun 2014 tentang desa (studi di desa kedungkelor kecamatan

warureja kabupaten tegal)” (Skripsi diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2015), 1.


(64)

(65)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud melukiskan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.1

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara-cara kuantitatif. Penelitian kualitatif dapat menunjukkan kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan sosial, dan hubungan kekerabatan. Beberapa data dapat diukur melalui data sensus, tetapi analisisnya tetap menggunakan analisis data kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal terpenting suatu barang atau jasa. Hal terpenting barang atau jasa yang berupa kejadian, fonomena, dan gejala sosial adalah makna di balik kejadian tersebut yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori. Penelitian kualitatif dapat didesain untuk

1

Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 5.


(66)

memberikan sumbangannya terhadap teori, praktis, kebijakan, masalah-masalah sosial, dan tindakan.2

Menurut Miles dan Huberman,bahwa data kualitatif adalah merupakan sumber dari deskriptif yang luas dan mempunyai landasan yang kokoh.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Proses Pengambilan Keputusan Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.

Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berwujud kata-kata tertulis dan perilaku yang dapat diamati (observasi). Penelitian ini menggunakan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa yang sesuai dengan konteks penelitian dengan menggunakan metode alamiah dan menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta serta sifat-sifat hubungan antara fenomena yang dikaji.3

B.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan, dalam pnelitian ini peneliti mengacu pada lokasi yaitu,Desa Bator. Desa Bator adalah Desa yang berada di Kecamatan Klampis Kabupeten Bangkalan Madura. Alasan utama yang membuat peneliti tertarik pada desa Bator ini adalah keadaan birokrasi desa yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terdapat konflik internal antara Kepala Desa Bator dengan Sekertarais Desa,

2

M.Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),25.

3

Suharsimi arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),20


(67)

yang memeberi dampak yang tidak maksimal terhadap berjalannya fungsi antara keduanya.

Selain itu, Badan Permusyawaratan Desa pun tidak menjalankan tugasnya, dimana telah dijelaskan dalam peraturan mentri desa nomor 2 tahun 2015 yang menjadi rujukan peneliti dalam penelitian ini, disana dijelaskan bahwa BPD mempunyai hak dan bertugas melaksanakan musyawarah yang di dampingi oleh Kepala Desa. Didasarkan pada kedua hal ini, peneliti memeilih desa Bator untuk menjadi tempat penelitian.

C. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.4Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu :

a. Sumber data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugasnya) dari sumber pertamanya.5 Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalahKepalaDesa, warga asli dan bermukim di Desa Bator, carek Desa Bator dan para tokoh yang berpengaruh di Desa Bator, kurang lebih jumlah semua yang menjadi sumber primer ada 18 orang.

4

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),129

5


(68)

b. Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.

D.Informan Penelitian

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.Menurut KBBI informan adalah orang yang menjadi sumber data dalam penelitian (narasumber).Dalam penelitian ini, peneliti membagi dua informan sebagai pendukung dalam penelitian yakni informan kunci, dan informen.

1. Key Informan

Dalam penelitian ini peneliti membutuhkan informen kunci untuk memperoleh data yang tepat sebagai pendukung dalam penelitian. Key informen yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini adalah:

1. Kepala Desa Bator (Plt) 2. Mantan Kepala Desa

3. Ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) 4. Tokoh Masyarakat


(1)

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah diterangkan bahwa masyarakat memiliki hak terhadap Desanya, salah satunya adalah mengetahui kinerja Pemerintah Desa, menjadi kontrol terhadap kerja pemerintah, dan memberikan saran dan berpartisipasi dalam melaksanakan perkembangan Desa. Inti terdalam dari Demokrasi adalah kepercayaan mendasar dari segenap warga masyarakat kepada pihak lain (dalam hal ini pemerintah) untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat, pemerintah harus menjalankan tugasnya dengan transparan, hingga masyarakat bisa mengontrol dengan baik untuk desanya.

Tidak terjalankannya Peraturan Mentri Desa Nomor 2 Tahun 2015 dan Undnag-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa di Desa Bator, mengakibatkan terhambatnya perkembangan Demokrasi Desa. masyarakat masih tidak mengetahui haknya terhadap desanya, masyarakat masih awam terhadap pembelajaran politik dan dampak atas ketidak terlibatannya dalam persoalan desanya. Selain itu desa akan terhambat perkembangan secara infrastruktur. Sebab tidak ada transparan dalam pelaksanaan perubahan di Desa Bator, tidak pernah terjadi battom up di dalamnya, dimana keterlibatan atau partisipasi dan suara masyarakat akan sangat memebantu untuk berjalannya tugas pemerintahan desa, hingga pemerintah melakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


(2)

145 B. Saran

Penelitian yang dilakukan oleh Penulis hanyalah sebuah upaya awal dalam menggambarkanModel Pengambilan Keputusan Tingkat Desa Pada Desa Bator, Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan, yang saat ini masih relevan untuk diteliti, sebab pada dasarnya Desa adalah pondasi dalam suatu Sistem Demokrasi di suatu Negara. Keterlibatan masyarakat Desa untuk mengurangi kesenjangan sosial dan terciptanya Kerakyatan yang dipimpin oleh hikamt kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia yang tertera dalam dasar negara Indonesia ini yaitu dalam sila ke 4 dan 5 harus tetap menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Negri ini sudah mempunyai undang-undang dalam mewujudkan Demokrasi dari akarnya yakni Desa, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan dalam Peraturan Pemerintah Desa Nomor 2 Tahun 2015, di situ negara telah mengaturnya dengan rinci guna mewujudkan cita-cita bersama, tergantung cara manusianya menjalankannya. Seharusnya peraturan itu dijalankan dengan baik, maka hasilnyapun tidak akan mengecewakan manapun.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta;2004).

Miriam budiardjo, dasar-dasar ilmu politik (jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2008).

Sriwahyuntari, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, (Yogyakarta: Trans Media Pustaka 2014).

Dipo Lukmanul Akbar, “Peran Pemerintahan Desa Dalam Penyusunan Apbdes Perspektif Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal)” (Skripsi diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 2015).

Tim Permata Pers, Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Abdul Chalik, Pelayanan Publik Tingkat Desa, (Yogyakarta: Interpena, 2015).

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.


(4)

2

Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Kecamatan Klampis Dalam Angka, (Bangkalan: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan, 2014).

Peraturan Mentri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 5 tahun.

Yurika Maharani, “Sistem Pembentukan Peraturan Desa Berdasarkan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa” (Skripsi diterbitkan, Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2015).

Iis Qomariah, “Masa Jabatan Kepala Desa Balungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul di Tinjau dari UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa” ( Skripsi diterbitkan, Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Sunan kalijaga, 2014).

Dipo Lukmanul Akbar, “Peran pemerintahan desa dalam penyusunan APBDES prespektif UU No. 6 tahun 2014 tentang desa (studi di desa kedungkelor kecamatan warureja kabupaten tegal)” (Skripsi diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2015).

Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008).

Fauzi Kurniawan, “Beberapa Teori Tentang

Pembangunan”,http://beberapa-teori-tentang-pembangunan-dan.html.

Endang Soetari, Kebijakan Publik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014).


(5)

Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Local: Buku Panduan International IDEA Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan, terj. Arif Subiyanto (Jakarta: AMEEPRO, 2002).

Haryanto, “Elit Politik Lokal dalam Perubahan Sistem Politik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.13 No. 2 (November, 2009).

Abdul Chalik, “Elite Lokal Yang Berbasis Pesantren Dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur”, Journal Etika Lokal yang Berbasis Pesantren, Vol. 23 No. 2 (Desember, 2015)

Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009).

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000).

Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian(Jakarta: Rajawali, 1987). UI

Jakarta,http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/201/pdf_66, 19 april 2012)

Matthew B. Miles A Michael Huberman. Analisi data buku tentang Metode-metode Baru, (Jakarta: UI Press 1992)

RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa), Desa Bator Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan Madura.


(6)

4

Sriwahyuntari, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, Yogyakarta: Trans Media Pustaka 2014

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.

Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Badan Permusyawaratan Desa.

Tesis, Misroji, 2010. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penyebaran informasi publik mengenai depok ciber city pada diskominfo kota depok, universitas esa unggul jakarta.