STRATEGI SCAFFOLDING INSPIRING-MODELING-WRITING-REPORTING (IMWR) DALAM MENERAPKAN PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP.

(1)

STRATEGI SCAFFOLDING

INSPIRING-MODELING-WRITING-REPORTING (IMWR) DALAM MENERAPKAN PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN

PENGUASAAN KONSEP

DISERTASI

Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan pada

Program Studi Pendidikan Sains

Nur Wakhidah NIM 127966010

UNIVERITAS NEGERI SURABAYA

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS

2016


(2)

ABSTRAK

Wakhidah, Nur. 2016. Strategi Scaffolding Inspiring-Modeling-Writing-Reporting

(IMWR) dalam Menerapkan Pendekatan Saintifik untuk Meningkatkan Keterampilan

Proses Sains dan Penguasaan Konsep. Disertasi, Pembimbing (I) Prof. Dr. Muslimin

Ibrahim, M. Pd, dan (II) Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd

Kata-kata Kunci: Strategi Scaffolding IMWR, Pendekatan Saintifik, Keterampilan

Proses Sains, Penguasaan Konsep

Pendekatan saintifik belum terimplementasi dengan baik sehingga perlu dikembangkan strategi untuk mempermudah pelaksanaannya dalam pembelajaran terutama pada pembelajaran IPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan

strategi scaffolding yang valid, praktis,dan efektif untuk membantu implementasi

pendekatan saintifik pada pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan konsep.

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu mengembangkan strategi dan tahap ujicoba. Draft strategi dan perangkat pembelajaran selanjutnya divalidasi pakar

pada acara focus group discussion. Strategi dan perangkat yang telah memenuhi

kriteria validitas selanjutnya dimodelkan oleh peneliti kepada dosen pengajar. Hasil Pemodelan diseminarkan untuk menjaring masukan dari pakar. Hasil Revisinya digunakan untuk ujicoba. Pemodelan dan ujicoba dilaksanakan di Jurusan PGMI UIN Sunan Ampel Surabaya dengan jumlah mahasiswa saat pemodelan sebanyak 12 orang

dan 75 orang pada ujicoba. Mahasiswa diberi pretest sebelum pembelajaran dengan

strategi IMWR dan diberi posttest setelah pembelajaran dengan soal sama. Selama

pembelajaran dilakukan observasi keterlaksanaan strategi scaffolding, aktivitas

mahasiswa, dan kendala yang muncul. Pada akhir pembelajaran mahasiswa diminta mengisi angket untuk mengetahui responnya terhadap penggunaan strategi scaffolding IMWR pada pendekatan saintifik. Analisis data dilakukan untuk menentukan n-gain yang diperoleh berdasarkan nilai pretest dan posttest.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi scaffolding IMWR yang

mempunyai 4 langkah yaitu inspiring-modeling-writing-reporting bersifat valid.


(3)

saintifik dan terlaksana dalam proses pembelajaran sehingga bersifat praktis. Penerapan strategi ini dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan

konsep dengan n-gain kategori sedang sehingga efektif digunakan dalam


(4)

ABSTRACT

Wakhidah, Nur. Scaffolding Strategy 2016. Inspiring-Modeling-Writing-Reporting (IMWR) in Applying Scientific Approach for Improving Science Process Skills and Concepts Mastery. Dissertation, Supervisor (I) Prof. Dr. Muslim Ibrahim, M. Pd, and (II) Prof. Dr. Rudiana Agustini, M.Pd

Keywords: Scaffolding Strategies IMWR, Scientific Approach, Science Process Skills, Mastery Concept

The scientific approach has not implemented well so it is necessary develop strategy to facilitate the implementation of learning, especially in science teaching. This study aims develop a strategy scaffolding valid, practically, and effective way to help the implementation of the scientific approach to learning to improve science process skills and mastery of concepts.

The research was conducted in two stages, namely developing scaffolding strategies IMWR and testing phase. Draft strategy and lesson plan validated expert in focus group discussion. Strategies and lesson plan that have met the criteria of validity subsequently modeled by investigators to the lecturers. seminar do to revising before used for testing. Modeling and testing conducted at the Department of UIN Sunan Ampel Surabaya primary education by the number of students when modeling many as 12 people and 75 people. Students are given a pretest before learning with IMWR strategy and given the posttest after learning with same test. During a lesson doing observations implementation scaffolding strategies, student activities, and the obstacles that arise. At the end of the lesson students were asked to fill a questionnaire to determine its response to the use of scaffolding strategies IMWR the scientific approach. Data analysis was performed to determine the n-gain obtained based on the value pretest and posttest.

The results showed that the scaffolding strategy IMWR that has four steps, namely inspiring-modeling-reporting-writing is valid. This strategy is practically so all steps of strategy can be used to help implement a scientific approach and implemented in the learning process. The implementation of this strategy can


(5)

improve science process skills and mastery of concepts with n-gain medium category so effectively used in learning.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Definisi Istilah ... 10

E. Asumsi ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendekatan Saintifik (Scientific Approach) dalam Pembelajaran Sains 1. Pengertian Pendekatan Saintifik (ScientificApproach) ... 13

2. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran ... 15

B. Teori Belajar yang Malandasi Pembelajaran IPA dengan Pendekatan Saintifik ... 28

C. Scaffolding ... 40

D. Penguasaan Konsep dan Cara Mengajarkannya ... 52

E. Indikator Keterampilan Proses Sains (KPS) ... 59

F. StrategiScaffolding IMWR untuk Menerapkan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPA ... 61

G. Strategi Scaffolding Hipotetik IMWR terhadap Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains ... 72

H. Kerangka Konseptual Penelitian ... 84


(7)

Halaman

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 88

C. Subyek, Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 92

D. Tahap Penelitian ... 92

E. Instrumen Penelitian ... 103

F. Teknik Pengumpulan Data ... 108

G. Teknik Analisis Data ... 113

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Pengembangan Strategi Scaffolding IMWR ... 123

B. Hasil Validasi Strategi Scaffolding IMWR dan Perangkat Pembelajaran 1. Hasil Validasi Strategi Scaffolding IMWR ... 144

2. Validitas Perangkat sebagai Operasionalisasi Strategi Scaffolding IMWR... 149

C. Hasil Simulasi dan Ujicoba 1. Hasil Simulasi a. Kepraktisan Strategi Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran i. Keterlaksanaan Strategi Scaffolding IMWR ... 155

ii. Hasil Observasi Aktivitas Mahasiswa ... 155

iii. Kendala yang Dihadapi dan Alternatif Solusi Saat Pembelajaran ... 156

b. Keefektifan Strategi Scaffolding IMWR ... 156

i. Hasil Tes Penguasaan Konsep (Kompetensi Pengetahuan) ... 157

ii. Keterampilan Proses Sains Mahasiswa ... 158

iii. Respon Mahasiswa ... 164

2. Hasil Ujicoba a. Kepraktisan Strategi Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran i. Keterlaksanaan Strategi Scaffolding IMWR ... 170

ii. Hasil Observasi Aktivitas Mahasiswa ... 171

iii. Kendala yang Dihadapi dan Alternatif Solusi Saat Pembelajaran ... 173

b. Keefektifan Strategi Scaffolding IMWR ... 173

i. Hasil Tes Penguasaan Konsep (Kompetensi Pengetahuan) pada Saat Ujicoba ... 174

ii. Keterampilan Proses Sains Mahasiswa ... 174


(8)

Halaman

BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Kevalidan Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik

terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep

1. Validitas Strategi Scaffolding IMWR dalam Menerapkan

Pendekatan Saintifik ... .. 189

2. Validitas Perangkat yang Merupakan Operasionalisasi Strategi Scaffolding IMWR ... 194

B. Kepraktisan Strategi Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep 1. Keterlaksanaan Pembelajaran dengan Strategi Scaffolding IMWR untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains ... 198

2. Aktivitas Mahasiswa Selama Penerapan Strategi Scaffolding IMWR dalam Menerapkan Pendekatan Saintifik ... 205

3. Kendala yang Dihadapi Dosen dan Mahasiswa Saat Diterapkan Strategi Scaffolding IMWR dalam Pembelajaran ... 210

C. Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep Mahasiswa 1. Penguasaan Konsep Mahasiswa Setelah Diterapkan Strategi Scaffolding IMWR... 213

2. Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Setelah Diterapkan Strategi Scaffolding IMWR ... 221

3. Respon Mahasiswa terhadap Pelaksanaan Pembelajaran yang Menerapkan Strategi Scaffolding IMWR ... 232

4. Profil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa ... 235

D. Temuan dan Kelemahan Penelitian ... 240

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 242

B. Saran ... 243

DAFTAR PUSTAKA ... 244


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Dimensi Kognitif dan Kata Kerja Taksonomi Bloom dalam

Pembelajaran Indikator Keterampilan Proses Sains ... 54

2.2 Kesesuaian Kata Kerja dan Indikator dalam Penelitian ... 55

2.3 Indikator Keterampilan Proses Sains ... 59

2.4 Indikator Keterampilan Proses Sains Terpadu ... 60

2.5 Keterampilan Proses Sains yang Dilatihkan dalam Penelitian ... 61

2.6 Langkah Strategi Hipotetik terhadap Peningkatan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains ... 81

3.1 Materi IPA 1 yang Dikembangkan LAPIS (2008)... 94

3.2 Materi IPA 1 yang Dikembangkan LAPIS dan Disesuaikan dengan Jadwal Kuliah ... 95

3.3 Materi IPA dalam Kurikulum SD/MI ... 96

3.4 Materi IPA 1 Jurusan PGMI yang Telah Disesuaikan dengan Kurikulum SD/MI ... 97

3.5 Instrumen Penelitian ... 103

3.6 Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 111

3.7 Kriteria Penilaian Validasi Strategi IMWR ... 113

3.8 Kriteria Penilaian Validasi Perangkat Pembelajaran dengan Strategi IMWR ... 114

3.9 Rubrik Penilaian Kinerja Mahasiswa untuk Mengukur Keterampilan Proses Sains (Materi Praktikum) ... 114

3.10 Rubrik Penilaian Kinerja Mahasiswa untuk Mengukur Keterampilan Proses Sains (Materi Nonpraktikum) ... 116

3.11 Kriteria Keterlaksanaan Pembelajaran ... 118

3.12 Kriteria Aktivitas Mahasiswa ... 119

3.13 Kriteria Peningkatan Hasil Belajar ... 120

3.14 Kriteria Pengukuran Langkah Strategi Scaffolding IMWR ... 120

4.1 Saran Penelaah Saat Seminar Proposal ... 124

4.2 Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran dengan Model Inkuiri... 128

4.3 Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran dengan Model PBL ... 129

4.4 Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran dengan Model Kooperatif ... 129 Halaman


(10)

4.5 Strategi dan Teknik Scaffolding IMWR yang Dikembangkan dalam

Penelitian ... 132

4.6 Hasil Revisi dalam Acara FGD ... 145

4.7 Hasil Validitas Strategi Scaffolding IMWR ... 146

4.8 Hasil Validasi RPP ... 150

4.9 Hasil Validasi Lembar Kegiatan Mahasiswa (LKM) ... 151

4.10 Hasil Validasi Penilaian Pengetahuan ... 153

4.11 Hasil Validasi Penilaian Keterampilan ... 154

4.12 Hasil Validasi Buku Mahasiswa ... 154

4.13 Proporsi Pretest, Posttest dan n-gain pada Saat Simulasi ... 157

4.14 N-gain Keterampilan Proses Sains Saat Simulasi ... 162

4.15 Masukan/saran dan Perbaikan Seminar Hasil ... 166

4.16 Kode Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik ... 167

4.17 Persentase Aktivitas Mahasiswa pada Proses Pembelajaran ... 172

4.18 Peningkatan n-gain Kompetensi Pengetahuan pada Saat Ujicoba... 174

4.19 Hasil Pengukuran Kinerja Mahasiswa Saat Proses Pembelajaran Saat Ujicoba ... 176

4.20. N-gain Keterampilan Proses Sains Berbasis Konten ... 178

4.21.Peningkatan n-gain Keterampilan Proses Sains Berbasis Konten ada Uji Coba ... 180


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Ilustrasi dari Bantuan (Scaffolding) Dosen kepada Mahasiswa ... 41 2.2 Perkembangan Belajar Siswa Ditinjau dari Zone of Proximal

Development ... 43 2.3 Hubungan Cara Mengajarkan Konsep dengan Tingkat

Pemahaman Pebelajar ... 57 2.4. Strategi Kognitif untuk Men-scaffolding Inkuiri ... 65 2.5 Strategi Scaffolding untuk Membantu Siswa dalam Scientific

Explanation ... 66 2.6 Teknik Scaffolding ... 67 2.7 Kedudukan Strategi IMWR yang Dikembangkan dalam

Penelitian dengan Strategi Scaffolding yang Telah Ada ... 71 2. 8 Kerangka Konseptual Penelitian ... 87 3.1 Skema Simulasi dan Ujicoba Strategi IMWR ... 101 3.2 Alur Penelitan Pengembangan Strategi IMWR untuk

Men-scaffolding Penerapan Pendekatan Saintifik ... 102 4.1 Penggunaan Strategi Scaffolding IMWR pada Pendekatan Saintifik ... 126 4.2 Grafik Peningkatan Hasil Tes Kompetensi Pengetahuan

untuk Semua Materi Saat Simulasi ... 158 4.3 Grafik N-gain Keterampilan Proses Sains Saat Simulasi ... 183 4.4 Grafik Peningkatan Kompetensi Pengetahuan untuk Semua Materi

pada Masing- masing Kelas Saat Ujicoba ... 175 4.5 Grafik Hasil Kinerja Mahasiswa Saat Proses Pembelajaran ... 178 4.6 N-gain Keterampilan Proses Sains pada Materi Hubungan

Makhluk Hidup, Pencemaran dan Pencernaan ... 186 4.7 N-gain Keterampilan Proses Sains pada Materi Hubungan

Makhluk Hidup, Pencemaran dan Pencernaan ... 188


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latarbelakang Penelitian

Ilmuwan menemukan sains dengan menggunakan metode ilmiah

(scientific method). Metode ini dimulai dari pengamatan terhadap suatu fenomena, merumuskan permasalahan, merumuskan hipotesis sampai pada pengambilan

kesimpulan (Hohenberg, 2010). Langkah-langkah metode ilmiah ini dapat

ditirukan oleh siapa saja termasuk oleh mahasiswa dalam proses pembelajaran di

dalam kelas, bahkan penggunaan metode ilmiah sebagai pendekatan dalam

pembelajaran sangat disarankan yang dikenal dengan pendekatan saintifik.

Pendekatan saintifik (scientific approach) adalah cara pandang yang

menempatkan mahasiswa sebagai “ilmuwan kecil” yang meniru ilmuwan

menemukan ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran (Wieman, 2007a).

Harlen (2013) juga mengungkapkan bahwa metode ilmiah yang digunakan oleh

ilmuwan dapat pula digunakan oleh mahasiswa dalam pembelajaran di kelas.

Pendekatan saintifik yang digunakan dalam proses pembelajaran dapat

mengajarkan kepada mahasiswa bagaimana ilmuwan mengamati suatu fenomena,

dan menggunakan berbagai macam keterampilan proses untuk memperoleh

informasi, menganalisis dan mengkomunikasikannya. Wieman (2007b)

menyatakan bahwa pendekatan ini dalam pembelajaran dapat melatih mahasiswa

menjadi ilmuwan kecil dalam menemukan konsep yang dipelajari di samping cara


(13)

2

Atas dasar itu, pendekatan saintifik adalah cara pembelajaran sains yang

paling baik karena dilakukan sebagaimana sains ditemukan (Lesli & Briggs,

1987) oleh karena itu setiap dosen dan calon guru seharusnya menguasai

pendekatan ini dengan baik. Perubahan kurikulum tidak akan mempengaruhi

keunggulan pembelajaran sains dengan pendekatan saintifik, apapun

kurikulumnya pendekatan ini cocok untuk pembelajaran sains. Langkah

pembelajaran dengan pendekatan ini dikembangkan dari metode ilmiah yang di

dalamnya merupakan keterampilan proses sains (science process skills).

Keterampilan untuk mengamati, mengukur, merumuskan hipotesis, dan

melaporkan hasil percobaan merupakan bagian dari keterampilan proses sains

(Padilla, 1990). Keterampilan proses sains adalah keterampilan yang membantu

mahasiswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan memberikan keterampilan

dasar untuk melaksanakan penelitian atau menggunakan metode ilmiah (Çepni et

al,1996). Keterampilan proses sangat penting dalam kehidupan terutama dalam mempelajari sains karena dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat

tinggi dan menyelesaikan masalah (Dogru, 2008), berpikir kreatif (Lee and

Kolodner, 2011), dan berpikir kritis (Lati et al., 2012; Kitot et al., 2010).

Implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran yang disarankan

dalam Kurikulum 2013 dikenal dengan 5 M (mengamati, menanya, mencoba,

menalar, dan mengkomunikasikan). Pendekatan ini seyogyanya dipakai dalam

pembelajaran dalam menemukan konsep. Pendekatan saintifik perlu

diimplementasikan dalam pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik


(14)

3

bagi mahasiswa. Implementasi pendekatan saintifik pada pembelajaran dengan

menggunakan model inkuiri masih belum dapat berjalan sebagaimana yang

diharapkan. Hal ini terlihat pada penelitian Dewi dkk. (2013) yang menunjukkan

bahwa dosen belum terbiasa memposisikan dirinya sebagai fasilitator dan

membimbing mahasiswa dalam kegiatan praktikum pada pembelajaran dengan

model inkuiri. Dewi dkk. (2013) juga menemukan bahwa guru belum

memberikan kesempatan kepada kelompok siswa untuk mendiskusikan masalah

yang disajikan. Guru terkadang langsung memberikan jawabannya, tanpa

menunggu siswa untuk menjawab pertanyaannya.

Dosen di Jurusan PGMI selama ini belum memberikan bantuan secara

optimal kepada mahasiswa untuk menemukan konsep yang dipelajari. Tugas

dosen adalah membantu atau membimbing mahasiswa dalam menyelesaikan

tugasnya dan menghilangkan bantuan tersebut manakala mahasiswa telah mampu

melakukannya. Bantuan orang yang lebih mampu kepada yang kurang mampu

dikenal dengan istilah scaffolding (Vygotski, 1978).

Lembaga riset Amerika menyarankan bahwa scaffolding hendaknya

disediakan kepada mahasiswa untuk membantunya melaksanakan kegiatan dan

tugas-tugasnya dengan jalan, (1) memotivasi minat mahasiswa berkaitan dengan

tugas, (2) menyederhanakan tugas sehingga mudah dipahami mahasiswa, (3)

memberikan arah untuk pencapaian tujuan, (4) mengurangi frustasi dan risiko,

(6) memodelkan atau mencontohkan cara melakukan tugas atau keterampilan


(15)

4

Keterampilan-keterampilan yang disarankan dalam pendekatan saintifik

dapat dilatihkan kepada mahasiswa dalam pembelajaran di perguruan tinggi

namun scaffolding yang disarankan oleh lembaga riset Amerika masih terlalu

umum dalam pembelajaran sains dengan pendekatan saintifik. Mahasiswa yang

belum mampu mengamati akan dimotivasi untuk melakukan pengamatan dengan

baik sehingga dapat mengajukan pertanyaan dan berujung pada merumuskan

suatu permasalahan pada pembelajaran dengan model inkuiri. Referensi yang

peneliti kaji selama ini belum menunjukkan adanya strategi atau cara-cara khusus

yang dapat membantu untuk memudahkan mahasiswa dalam pembelajaran

dengan pendekatan saintifik.

Keterampilan mengamati, menanya, menganalisis data dapat dilatihkan

kepada mahasiswa, jika mahasiswa belum mampu untuk melakukannya.

Keterampilan tersebut sangat perlu untuk dilatihkan sebagai “alat” belajar

sekaligus bekal mahasiswa saat mengajar kelak. Pembelajaran dengan pendekatan

saintifik model inkuiri di Jurusan PGMI UIN Sunan Ampel Surabaya belum

terlaksana dengan baik (Wakhidah, 2014). Hal senada terjadi pada sekolah

menengah, siswa masih bingung dalam menganalisis data hasil praktikum yang

dihubungkan dengan materi pada pembelajaran (Wardani dkk, 2009). Dosen

belum menyiapkan pola bantuan yang harus diberikan dalam rangka membantu

mahasiswa dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Kesulitan ini dapat

diatasi dengan penyediaan fasilitas bantuan yang diberikan oleh dosen pada

rencana perkuliahan sehingga pada kondisi apapun dosen dapat membantu


(16)

5

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik menghendaki adanya

kesesuaian antara apa yang diamati mahasiswa dengan pengalaman mahasiswa

sebelumnya sehingga mahasiswa mampu mengajukan pertanyaan. Teknik

scaffolding “tampilkan dan katakan” (Show and Tell) dan “menggunakan

bantuan visual” (use visual aids) yang ditawarkan oleh Alber (2014) terkadang

belum mampu untuk mendorong mahasiswa untuk bertanya. Tampilan visual

belum tentu dapat merangsang mahasiswa mengajukan pertanyaan. Mahasiswa

akan bertanya jika ada konflik kognitif.

Prinsip scaffolding adalah pemberian bantuan kepada mahasiswa pada

daerah zone of proximal development, yaitu daerah antara kemampuan potensial

dan kemampuan aktualnya. Penelitian ini terfokus pada upaya untuk

mengembangkan strategi yang membantu mahasiswa yang belum mampu

melakukan tugasnya dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik.

Pertama-tama dosen menginspirasi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Teknik scaffolding show and tell dan use visual aids adalah teknik yang dapat

digunakan dosen untuk membantu mahasiswa dalam menginspirasi dalam

menggali pengalaman mahasiswa sebelumnya. Berdasarkan alasan tersebut perlu

dikembangkan suatu strategi yang menginspirasi (inspiring) mahasiswa untuk

menghubungkan pengalaman awal dan konsep yang akan dipelajari.

Rosenshine and Meister (1992) menyatakan bahwa scaffolding dapat

diaplikasikan pada pembelajaran untuk semua keterampilan sangat diperlukan

apalagi pada level kognitif lebih tinggi. Keterampilan kognitif yang lebih tinggi


(17)

6

bukan merupakan algoritma, tetapi langkah-langkah yang dapat memfasilitasi

mahasiswa untuk mencapai performa pada level yang lebih tinggi.

Strategi scaffolding yang telah dikembangkan Rosenshine and Meister

untuk membantu mahasiswa dalam mengajarkan keterampilan kognitif antara

lain adanya modeling. Gaskins et al (1997) juga menyatakan bahwa scaffolding

dapat berbentuk pengarahan dan modeling untuk membantu mahasiswa dalam

mengembangkan keterampilan baru atau mempelajari konsep baru. Scaffolding

dapat diaplikasikan pada pembelajaran untuk semua keterampilan. Scaffolding

yang dikembangkan McNeill, et al. (2005) meliputi modeling, memberikan

umpan balik dan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mempraktikkan

tugas yang diberikan.

Strategi scaffolding dalam menerapkan pendekatan saintifik dalam

pembelajaran belum pernah ditemukan sehingga diharapkan mampu membantu

mahasiswa dalam menemukan konsep yang dipelajarinya. Menurut peneliti, ada

tahapan dari cara memberi scaffolding McNeill yang perlu ditambahkan, yaitu

mendorong rasa ingin tahu mahasiswa dan bantuan dalam mengerjakan tugasnya

secara mandiri dengan menginspirasi (inspiring) mahasiswa untuk

menyelesaikan tugasnya atau menemukan konsep sebelum dilakukan modeling

oleh dosen dan pelaporan hasil meniru model.

Kebaruan (state of the art) dalam penelitian ini adalah mengembangkan

suatu cara atau strategi scaffolding untuk menerapkan pendekatan saintifik dalam

pembelajaran dengan jalan menyempurnakan strategi scaffolding yang telah ada.


(18)

7

reporting (IMWR). Strategi scaffolding yang dikembangkan dalam penelitian ini

akan menambahkan langkah untuk menginspirasi (inspiring) mahasiswa

menyelesaikan tugasnya secara mandiri bila mahasiswa telah mampu. Aktivitas

dosen saat menginspirasi mahasiswa adalah memulai dengan hal-hal yang relevan

dengan kehidupannya (American Association for the Advancement of Science,

1989) dan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengemukakan

pengalamannya berdasarkan fenomena yang telah ditampilkan.

Tytler (1996) menyarankan bahwa dalam pembelajaran konstruktivis,

selayaknya memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengemukakan

gagasan dengan bahasa sendiri dan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk

berpikir tentang pengalamannya. Pengajar membantu mahasiswa untuk

mengeksplorasi pengalaman dalam berbagai cara dan membuat hubungan antara

informasi ilmiah baru dengan pengetahuan sebelumnya (Quintana & Barry, 2006).

Pembelajaran bermakna terjadi manakala mahasiswa dapat menghubungkan

pengetahuan awal yang telah dimiliki dan menggabungkan dengan konsep yang

dipelajarinya dalam rangka menemukan suatu konsep yang baru baginya (Slavin,

2006).

Dosen akan mencontohkan atau memodelkan (modeling) jika dengan

menginspirasi tidak cukup membantu mahasiswa dalam menyelesaikan tugasnya

atau yang menemukan konsep. Mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk

mempraktikkan keterampilan atau konsep yang telah dimodelkan dengan cara

menuliskan (writing). Mahasiswa selanjutnya melaporkan apa yang telah


(19)

8

Strategi scaffolding inspiring-modeling-writing-reporting (IMWR) untuk

menerapkan pendekatan saintifik sekaligus dapat digunakan untuk melatihkan

keterampilan proses sains. Keterampilan proses sains mahasiswa PGMI masih

tergolong rendah (Wakhidah, 2013). Kemampuan mahasiswa yang dites dengan

keterampilan proses sains terpadu yang di dalamnya terdapat keterampilan

berpikir tingkat tinggi menghasilkan nilai yang rendah yaitu rata-rata mahasiswa

hanya menguasai 62 % keterampilan proses sains terpadu sehingga keterampilan

proses sains terpadu perlu dilatihkan kepada mahasiswa. Melatihkan

keterampilan harus dilakukan tahap demi tahap sehingga mahasiswa mampu

untuk melakukannya secara mandiri (Slavin, 2006).

Pembelajaran sains dengan pendekatan saintifik selain mengajarkan

konten juga mengajarkan “tools” bagaimana konten tersebut ditemukan. Sains

yang diajarkan dengan pendekatan saintifik menggunakan strategi scaffolding

IMWR melatihkan keterampilan proses sains untuk memahami sains

sebagaimana sains ditemukan. Pembelajaran seperti itu mendorong mahasiswa

untuk membangun konsep melalui penelitian ilmiah (Karar & Yenice, 2012).

Berdasarkan hal-hal di atas maka pembelajaran sains di perguruan tinggi

dengan pendekatan saintifik selayaknya tidak hanya mengajarkan fakta, konsep,

teori, dan hukum akan tetapi juga proses bagaimana produk sains tersebut

ditemukan. Pembelajaran sains dengan pendekatan saintifik dapat meningkatkan

pemahaman karena mahasiswa terlibat aktif dalam mengkonstruk

pemahamannya. Maine (2013) menyatakan bahwa retensi pemahaman yang


(20)

9

dengan audiovisual (penampilan video) 20 %, diskusi 50 %, dan belajar melalui

latihan 75 %. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik dengan strategi

scaffolding IMWR yang dalam pelaksanaannya melalui diskusi, praktikum,

menulis rancangan percobaan dan penjelasan dari dosen melalui modeling

diharapkan dapat meningkatkan retensi pemahaman mahasiswa.

B. Rumusan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah secara umum adalah

“Bagaimana kelayakan strategi scaffolding IMWR pada pendekatan saintifik

untuk meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains

mahasiswa?” Rumusan tersebut selanjutnya dirinci menjadi rumusan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana validitas strategi scaffolding IMWR dan perangkat yang

merupakan operasionalisasi strategi dalam menerapkan pendekatan saintifik?

2. Bagaimana kepraktisan strategi scaffolding IMWR dalam menerapkan

pendekatan saintifik pada pembelajaran?

3. Bagaimana keefektifan strategi scaffolding IMWR jika ditinjau dari

peningkatan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains mahasiswa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan strategi scaffolding yang valid,

praktis, dan efektif dalam menerapkan pendekatan saintifik pada pembelajaran

untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan konsep


(21)

10

1. Mendeskripsikan validitas strategi scaffolding IMWR dan perangkatnya

pada pendekatan saintifik untuk meningkatkan penguasaan konsep dan

keterampilan proses sains.

2. Mendeskripsikan kepraktisan strategi scaffolding IMWR dalam

menerapkan pendekatan saintifik.

3. Mendeskripsikan keefektifan strategi scaffolding IMWR untuk

meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains

mahasiswa

D.Definisi Istilah

Istilah-istilah yang terkait dengan penelitian perlu didefinisikan agar

tercipta kesamaan persepsi dan mencegah adanya kesalahan dalam

memaknainya sehingga didefinisikan sebagai berikut.

1. Scaffolding berarti bantuan yang diberikan oleh orang yang lebih mampu

kepada seseorang yang kurang mampu yang pada awalnya sangat besar

semakin lama semakin berkurang dan dihilangkan bila seseorang telah

mandiri dalam melakukan tugasnya.

2. Strategi scaffolding IMWR berarti suatu cara untuk membantu dan

mempermudah mahasiswa menerapkan langkah-langkah pendekatan

saintifik dalam pembelajaran, dengan jalan menginspirasi (inspiring), bila

mahasiswa belum mampu dosen mencontohkan/memodelkan (modeling),

selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan untuk berlatih (writing) dan

melaporkan (reporting). Untuk mengukur keterlaksanaan strategi scaffolding


(22)

11

dapat terlaksana dan dari hasil/kinerja yang telah dicapai mahasiswa pada

saat mengamati sampai mengomunikasikan.

3. Keterampilan proses sains merupakan keterampilan yang digunakan para

ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah, terdiri dari 1) the basic

process skill dan 2) integrated (more complex) skills. The basic process skill, terdiri dari 1) Observing, 2) Inferring, 3) Measuring, 4)

Communicating, dan 5) Classifying, Predicting. Integrated Science Process

Skills, meliputi 1) Controlling variables, 2) Defining operationally, 3) Formulating hypothesis, 4) Interpreting data, 5) Experimenting dan, 6)

Formulating models Keterampilan ini diukur dengan menggunakan keterampilan proses sains berbasis konten materi.

4. Penguasaan konsep berarti kemampuan mahasiswa untuk memahami atau

menggunakan konsep yang diukur dengan menggunakan skor hasil belajar

kognitif

E.Asumsi

1. Mahasiswa jujur dalam merespon pelaksanaan strategi scaffolding IMWR

2. Observer mengobservasi pelaksanaan pembelajaran dengan baik

3. Dosen dapat memfasilitasi pembelajaran dengan baik sesuai dengan

pemodelan yang dilakukan oleh peneliti

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa


(23)

12

mengimplementasi pendekatan saintifik khususnya pembelajaran IPA untuk

meningkatkan keterampilan proses sains dan penguasaan konsep mahasiswa.

Penerapan strategi scaffolding IMWR secara praktis diharapkan akan

memperbaiki proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik sehingga

tahapan dalam pendekatan saintifik dapat berjalan dengan baik. Strategi

scaffolding IMWR untuk menerapkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran IPA yang dikembangkan diharapkan dapat membantu jurusan

dan pemerintah dalam menyukseskan pelaksanaan pendekatan saintifik pada


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Pendekatan Saintifik (Scientific Approach) dalam Pembelajaran Sains 1. Pengertian Pendekatan Saintifik (Scientific Approach)

Ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan universal berdasarkan fakta.

Fakta dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu sehingga ilmu

pengetahuan bersifat dinamis dan berubah jika ada fakta baru (Hohenberg,

2010). Hal ini diperjelas oleh Weinburgh (2003) menyatakan bahwa ilmu

pengetahuan diperoleh berdasarkan bukti. Metode ilmiah adalah cara yang

dipergunakan oleh ilmuwan dalam menjelaskan dan menjawab fenomena

alam, memahami hubungan sebab akibat dan memprediksi hasil melalui suatu

langkah berurutan, yaitu melakukan pengamatan, merumuskan masalah,

membuat hipotesis, melakukan percobaan dan menyimpulkan hasil percobaan

(Ryan, 2001).

Semua penelitian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah dapat

diulang oleh siapapun dan di manapun termasuk dalam proses pembelajaran

di dalam kelas yang dikenal dengan pendekatan saintifik (Ryan, 2001).

Komponen-komponen penting dalam mengajar menggunakan pendekatan

saintifik menurut (McCollum, 2009) adalah 1) menyajikan pembelajaran

yang dapat meningkatkan rasa keingintahuan (foster a sense of wonder), 2)

meningkatkan keterampilan mengamati (encourage observation), 3)

melakukan analisis (push for analysis) dan 4) berkomunikasi


(25)

14

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses

pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar pebelajar secara aktif

mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati

(untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah,

merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik,

menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengomunikasikan konsep,

hukum atau prinsip yang ditemukan (Karar & Yenice, 2012). Pembelajaran

sains dengan pendekatan saintifik berarti melatihkan keterampilan proses

sains yang memfasilitasi pebelajar untuk memahami sains sebagaimana sains

ditemukan dan mendorong pebelajar untuk menciptakan informasi ilmiah

melalui penelitian ilmiahnya (Karar & Yenice, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran sains dengan pendekatan

saintifik tidak hanya mengajarkan fakta, konsep, teori, dan hukum akan tetapi

juga proses bagaimana produk sains tersebut ditemukan.

2. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran

Pembelajaran sains selayaknya dilakukan melalui proses

pengamatan, selanjutnya dilakukan pengamatan atau percobaan untuk

menjelaskan atau menguji kebenaran suatu konsep sehingga pebelajar

mempunyai pengalaman belajar tentang konsep secara kontekstual (Orion,

2007). Orion (1993) sebelumnya juga mengemukakan bahwa lingkungan

belajar di luar ruangan dalam proses pembelajaran memberikan pengalaman

langsung sehingga kurikulum yang dikembangkan selayaknya


(26)

15

fenomena, proses, keterampilan, dan konsep yang dipelajari secara konkret.

Berdasarkan uraian di atas seyogyanya pembelajaran sains di kelas

dilakukan melalui kegiatan seperti ilmuwan menemukan ilmu

pengetahuan/konsep dengan menggunakan kondisi autentik dalam dunia riil

pebelajar untuk menemukan konsep yang dipelajari.

Pendekatan saintifik telah dipergunakan dalam pendidikan di

Amerika akhir abad ke-19 di mana pada saat itu pembelajaran sains

menekankan pada metode laboratorium formalistik yang kemudian

diarahkan pada fakta-fakta ilmiah (Rudolph, 2005). Pendekatan saintifik

sebenarnya sudah digunakan dalam kurikulum di Indonesia dengan istilah

learning by doing yang dikenal dengan cara belajar siswa aktif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang secara formal diadopsi dalam

Kurikulum 1975 (Varelas and Ford, 2009).

Belajar pada hakikatnya adalah suatu proses untuk mengkonstruksi

pengetahuan (Jena, 2012). Proses pembelajaran sebaiknya dimulai dari

masalah yang relevan dengan kehidupan pebelajar (American Association

for the Advancement of Science, 1989). Konten ilmu pengetahuan alam mengandung konsep yang sangat banyak (Hayat dan Yusuf, 2009). Dosen

selayaknya dapat memfasilitasi mahasiswa dalam menghubungkan konsep

lama dan konsep baru (Slavin, 2006) serta memberi kebebasan kepada

mahasiswa untuk menggunakan pengalamannya dalam merancang dan

melakukan eksperimen, membaca, berdiskusi, bertanya, mendengarkan, dan


(27)

16

Para konstruktivis berpendapat bahwa pengalaman pebelajar

sangat penting dalam pembelajaran (Slavin, 2006). Pembelajaran secara

tradisional menggunakan ceramah kurang memberikan kesempatan pada

pebelajar untuk mengkonstruksi pengetahuan (Akamca et al, 2009),

padahal pebelajar yang terlibat dalam proses pembelajaran sesungguhnya

melakukan suatu proses rekonstruksi dan konstruksi konsep.

Pengetahuan awal yang dimiliki oleh pebelajar biasanya terkait dengan

konteks kehidupan atau pengalaman sebelumnya. Pembelajaran

kontekstual memberi kesempatan kepada pebelajar untuk

menghubungkan konsep materi di sekolah dengan kehidupannya

sekarang atau di masa depan atau pada situasi lain (Smith, 2010).

Dosen perlu menghubungkan materi pelajaran dengan

kehidupan dunia nyata mahasiswa dan membantu mahasiswa

mentransfer pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan

masalah yang dipelajari dengan konteks kehidupan (Lynch et al., 2001).

Pembelajaran tradisional efisien ketika informasi yang disampaikan

sangat banyak, akan tetapi keefektifannya tidak demikian (Miller, 2003).

Penggunaan metode ceramah dapat membuat pebelajar bosan dan

kehilangan perhatiannya (Veselinovska et al, 2011). Metode

pembelajaran tradisional menjadikan pebelajar menjadi pendengar yang

pasif sedangkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik akan


(28)

17

Konstruksi pengetahuan dapat terjadi dengan bantuan dosen atau

teman (Li and Lim, 2008). Powell and Kalina (2009) melaporkan bahwa

teori konstruktivisme sosial sangat efektif dalam pembelajaran karena

memberi keuntungan untuk terjadinya kolaborasi saat dilakukan inkuiri,

diskusi, dan penyelesaian masalah. Kerja kelompok dapat mendorong

pebelajar untuk mengembangkan keterampilan interpersonal dan

presentasi memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk

meningkatkan keterampilan berkomunikasi (Veselinovska et al, 2011).

Mahasiswa seringkali mengikuti pembelajaran dengan

konsepnya sendiri yang terkadang bertentangan dengan pandangan

ilmiah sehingga muncul salah konsep (miskonsepsi). Peran dosen sangat

penting untuk mencegah terjadinya kesalahan konsep (Stephenson &

Warwick, 2002). Berdasarkan uraian di atas pembelajaran sains dengan

pendekatan saintifik, perlu memulai pelajaran dengan menampilkan

fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata.

Pengalaman yang dimiliki mahasiswa tentang materi yang akan

dipelajari diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk mengajukan

pertanyaan. Dosen dapat memfasilitasi mahasiswa untuk membuat

rumusan masalah dan hipotesis yang dilanjutkan dengan kegiatan

merancang percobaan guna menjawab pertanyaan dan masalah yang

diajukan mahasiswa dan diakhiri dengan presentasi dalam rangka


(29)

18

Langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan

saintifik dapat melatihkan keterampilan proses sains yang telah menjadi

komponen penting dari kurikulum sains di semua tingkatan di banyak

negara dan juga menjadi salah satu pendekatan dalam pembelajaran sains

yang lebih efisien untuk pebelajar (Shahali & Halim, 2010). Berikut

adalah langkah-langkah yang disarankan dalam pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan saintifik.

a. Mengamati

Proses mengamati menurut Moreno (2010) dapat terjadi pada

obyek nyata maupun simulasi yang dapat dipakai sebagai stimulus

untuk merangsang pebelajar untuk belajar dan mengajukan

pertanyaan. Xu et al (2012) mengatakan bahwa stimulus yang cocok

sangat diperlukan dalam pembelajaran. Menurut teori pemrosesan

informasi, stimulus yang diberikan dalam proses pembelajaran akan

ditanggapi oleh pebelajar apabila stimulus tersebut menarik dan cocok

dengan kebutuhannya (Slavin, 2006). Rasa ingin tahu yang diawali

oleh ketertarikan pebelajar pada stimuli yang ditampilkan. Stimuli

dapat berupa bahan bacaan, suatu kata yang diucapkan, bau-bauan

tertentu, suara atau bahkan temperatur (Slavin, 2006) yang diberikan

saat awal pelajaran yaitu pada fase pengamatan.

Stimuli yang diberikan dosen hendaknya bervariasi seperti

gambar, video, dan benda nyata. Informasi yang diterima seseorang


(30)

19

dan suara serta visual channel (nonverbal image) seperti diagram,

gambar dan animasi (Solso, 2008). Menurut dual coding theory,

seseorang akan belajar lebih baik ketika media pembelajaran yang

digunakan merupakan perpaduan dari verbal channel dan nonverbal

channel (Najjar, 2005) sehingga informasi yang disampaikan dapat terserap lebih baik oleh pebelajar. Efek dari simulasi komputer

dibantu konsep kartun berpengaruh positif terhadap penguasaan

konsep pada hasil siswa kelas 4 SD dalam materi klasifikasi makhluk

hidup (Akamca et al, H. 2009).

Keogh & Naylor (1999) juga menemukan bahwa penggunaan

kartun meningkatkan motivasi, memberikan gambaran rancangan

kerja praktik, memungkinkan pebelajar untuk mencari ide-ide, dan

memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk merencanakan dan

melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ide-idenya. Idealnya dalam

proses pembelajaran dosen tidak hanya menghadirkan satu media

pembelajaran. Penampilan suatu media oleh dosen yang belum

direspon oleh mahasiswa, seyogyanya dosen menampilkan suatu

gambar atau simulasi lagi yang lebih sederhana atau bahkan lebih

detail sehingga dapat direspon lebih baik oleh mahasiswa. Bentuk

bantuan dosen dalam membantu mahasiswa dalam proses pengamatan

adalah menampilkan bagian demi bagian atau memberikan penjelasan

singkat mengenai simulasi yang ditampilkan sehingga pada proses


(31)

20

Pertanyaan dapat terjadi secara spontan atau merupakan respon dari

suatu stimulasi (Chin, 2002).

Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan melalui

kegiatan melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Kompetensi

yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari

informasi. Kegiatan pengamatan juga dapat difasilitasi dengan cara

bercerita tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan menunjukkan

perkembangan kegiatan yang dilakukan oleh ilmuwan (Sepel et al,

2009).

Tahap mengamati selain membangkitkan rasa ingin tahu

mahasiswa juga memberi kesempatan mahasiswa untuk berpikir.

Pengetahuan sebelumnya dan pengamatan yang dilakukan diharapkan

dapat membuat mahasiswa untuk berpikir tentang apa yang dilihat,

didengar, dan disentuh dengan panca inderanya. Tahap ini merupakan

periode kritis dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik.

Gagalnya mahasiswa dalam proses mengamati, sesungguhnya dapat

mempengaruhi proses selanjutnya, yaitu mahasiswa akan gagal untuk

memunculkan pertanyaan karena mahasiswa menjadi kurang tertarik

untuk mempertanyakan. Dosen harus mampu menghadirkan stimulus

yang cocok dengan materi yang akan dipelajari pada tahap ini serta


(32)

21

b. Menanya

Fase mengamati yang dilakukan sebelumnya dapat

memotivasi dan membuka kesempatan secara luas kepada

mahasiswa untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat,

disimak, dibaca, dan didengar. Dosen perlu membimbing

mahasiswa sehingga mampu mengajukan pertanyaan berdasarkan

hasil pengamatan, baik yang bersifat faktual sampai kepada

pertanyaan yang bersifat hipotetik. Kompetensi yang diharapkan

dalam kegiatan ini adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin

tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan, dan mempunyai

pemikiran kritis dalam rangka belajar sepanjang hayat (Depdiknas,

2013).

Brill and Anat (2003) menyatakan bahwa mengajukan

pertanyaan merupakan bagian penting dari proses penelitian ilmiah.

Menurut Gross, pemenang Nobel Fisika tahun 2004, salah satu

kualitas yang paling kreatif dari seorang ilmuwan adalah

kemampuan untuk mengajukan pertanyaan (Keeling et al, 2009).

Dosen yang memberikan kesempatan bertanya kepada mahasiswa

akan mengembangkan rasa ingin tahu sehingga akan mendorong

mahasiswa untuk mempelajari materi yang sedang dipelajarinya.

Rasa ingin tahu merupakan motivasi instrinsik dalam belajar sains

(Jirout & Klahr, 2011). Menurut Chin (2002) mengajukan


(33)

22

dalam menghasilkan ide-ide baru sehingga dapat meningkatkan

pemahaman pebelajar tentang suatu konsep dan fenomena ilmiah.

Mempertanyakan tentang sesuatu adalah keterampilan mendasar

para ilmuwan dan masyarakat yang melek sains (National Research

Council, 1996). Pertanyaan pebelajar memberi kontribusi yang bermakna dalam belajar untuk membangun pengetahuan (Chin et al,

2002). Proses pembelajaran seyogyanya berusaha untuk

menggabungkan pengetahuan sebelumnya dan informasi baru dalam

upaya memahami ide-ide baru (Chin, 2001).

Pebelajar mungkin akan mengajukan pertanyaan karena

pebelajar belum tahu sama sekali sehingga mempunyai rasa ingin

tahu (Chin, 2002). Pertanyaan dari mahasiswa bisa muncul bila

terjadi ketidakcocokan antara yang diamati dengan yang dipikirkan

oleh mahasiswa. Dosen seyogyanya tidak memulai pelajaran dengan

pernyataan tapi dengan pertanyaan yang memancing atau

memberikan tantangan yang mendorong mahasiswa untuk

mengajukan pertanyaan (Miao, 2012).

Keeling et al, (2009) menyatakan bahwa mengajukan

pertanyaan merupakan bagian penting dalam pembelajaran IPA

namun mengajukan pertanyaan seringkali tidak ditekankan dalam

kegiatan belajar mengajar. Menurut hasil penelitian Jirout & Klahr

(2011) terdapat korelasi positif antara rasa ingin tahu dan


(34)

23

Chin (2001) yang mengutip laporan White & Gunstone (1992)

menyatakan bahwa rendahnya tingkat pertanyaan mahasiswa

ditemukan berkorelasi dengan prestasi belajar. Mahasiswa dengan

prestasi tinggi biasanya aktif dalam bertanya karena rasa ingin

tahunya juga tinggi, sehingga cenderung untuk menanyakan materi

yang dipelajarinya secara lebih mendalam.

Pengalaman mengajar selama 12 tahun menemukan bahwa

hanya kurang dari 10 % mahasiswa mengajukan pertanyaan saat

perkuliahan (Wakhidah, 2013). Peneliti sendiri mempunyai

pengalaman yang sama, selama sekolah tidak bertanya kecuali

dosen memberi kesempatan secara bergiliran untuk mengajukan

pertanyaan. Kesempatan bertanya secara bergiliran ini menurut

peneliti adalah salah satu bentuk scaffolding yang diberikan oleh

dosen untuk meningkatkan motivasi mahasiswa dalam bertanya.

Mahasiswa kebanyakan masih bertanya tentang hal-hal yang

belum diketahui dan biasanya pertanyaannya belum terarah pada

penyelidikan. Pertanyaan yang diajukan pebelajar selama ini

terfokus pada pertanyaan sebagai indikator kesulitan dalam belajar

(Maskills & Pedrosa, 1997), alat alternatif dalam evaluasi (Dori &

Herscovits, 1999), dan pertanyaan sulit tentang konsep abstrak

(Olsher & Dreyfus, 1999). Pertanyaan yang diajukan terkait dengan

konsep sederhana sehingga belum mengarah pada hubungan antara


(35)

24

direncanakan sebelum proses pembelajaran sehingga

memungkinkan terjadi tanya jawab di tingkat kognitif yang lebih

tinggi (Chin, 2001). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Chin &

Brown (2000) yang menyatakan bahwa hendaknya pengajar

membantu dengan pertanyaan pendahuluan sehingga dapat

memfasilitasi pebelajar untuk mengonstruksi pengetahuan,

mengusulkan solusi terhadap masalah, membantu mahasiswa/siswa

membuat hipotesis, memprediksi, dan merancang eksperimen.

Berdasarkan informasi di atas dapat disimpulkan bahwa

dosen yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk

bertanya sangat penting dalam pembelajaran dengan pendekatan

saintifik di mana dosen hendaknya memberikan bantuan dan

memfasilitasi mahasiswa untuk memunculkan pertanyaan tingkat

tinggi seperti merumuskan hipotesis dan merancang percobaan

dengan memberikan pertanyaan pendahuluan sebagai suatu bentuk

dari scaffolding.

c. Mengumpulkan Informasi/Mencoba

Aktivitas mengumpulkan informasi yang disarankan dalam

Kurikulum 2013 melalui eksperimen, membaca sumber lain di

samping buku teks, dan wawancara dengan nara sumber. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar lebih tinggi jika

pembelajaran menggunakan metode demonstrasi dengan


(36)

25

menggunakan metode ceramah karena metode demonstrasi akan

menarik perhatian dan memberi motivasi kepada pebelajar

(Veselinovska et al, 2011). Retensi dalam pembelajaran meningkat

pada pembelajaran dengan eksperimen atau demonstrasi karena

ingatan pebelajar dengan membaca hanya 10 %. Retensi

pemahaman akan meningkat menjadi 90 % jika pebelajar diberi

kesempatan untuk melakukan (Beydogan, 2001).

Setting laboratorium akan membuat situasi pembelajaran

menjadi seperti dunia nyata pebelajar dan memberi kesempatan

untuk melatihkan keterampilan menyelesaikan masalah,

memberikan kesempatan untuk melakukan hands on experiences,

aktif berpikir dan merefleksi pengetahuan yang dimiliki pebelajar

(Veselinovska et al, 2011).

Inkuiri terbimbing dan open ended inquiry lebih baik jika

digunakan dalam pembelajaran IPA jika dibandingkan dengan

metode tradisional (Hussain A et al, 2011). Pengajar memberikan

scaffolding ketika pebelajar mengalami kesulitan, sehingga pengajar bukan satu-satunya sumber belajar dalam rangka merancang dan

melakukan percobaan (Atsnan dan Rahmita, 2013). Jadi tahap

mencoba adalah kelanjutan dari tahap menanya dalam rangka

mencari jawaban dari apa yang ditanyakan oleh mahasiswa. Peran

dosen hanya memfasilitasi mahasiswa dalam pengumpulan


(37)

26

d. Mengasosiasi/menalar

Kegiatan mengasosiasi dilakukan untuk menemukan

keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya untuk

menemukan pola dari keterkaitan tersebut. Aktivitas ini juga

diistilahkan sebagai kegiatan menalar, yaitu proses berpikir logis

dan sistematis atas fakta-fakta empiris untuk memperoleh simpulan

berupa pengetahuan.

Pembelajaran IPA mempunyai potensi yang besar untuk

dijadikan wahana guna mengembangkan berbagai kemampuan

berpikir (Hinduan, 2003). Proses berpikir akan terbangun manakala

siswa dilibatkan sepenuhnya mulai dari poses pengamatan terhadap

suatu fenomena atau konsep yang akan dipelajari. Ini sangat penting

dalam mengkonstruk pemahaman pebelajar (Riegler, 2001).

Pembelajaran tidak hanya mengajarkan keterampilan untuk

memahami konsep tetapi juga mengajarkan pebelajar yang mampu

mengakses informasi dan mengomunikasikanya dengan lebih baik

(Bati et al., 2009).

Berdasarkan hal-hal di atas, menalar pada hakikatnya

adalah suatu proses berpikir dalam rangka menghubungkan

informasi yang telah dimiliki oleh mahasiswa sebelum proses

pembelajaran dengan hasil pengamatan dari fenomena yang


(38)

27

diajukan sehingga menjadi suatu informasi baru dan merupakan

konstruksi dari pemahaman sebelumnya.

e. Mengomunikasikan

Teori Vygotski menekankan pada pembelajaran sosio

kultural, di mana kemampuan kognitif manusia berasal dari interaksi

sosial masing-masing individu dalam konteks budaya sehingga

pembelajaran terjadi saat pebelajar bekerja atau menangani tugas

yang sedang dipelajarinya dalam batas zone of proximal

development siswa (Slavin, 2006). Zone of proximal development didefinisikan sebagai suatu daerah antara di mana pebelajar

mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara

mandiri dan daerah di mana pebelajar tidak mampu menyelesaikan

tugasnya (Slavin, 2006).

Vygotski memandang bahwa konstruksi pengetahuan terjadi

secara kolaboratif sesuai konteks sosial budaya sehingga

menekankan pada penerapan tukar gagasan antara individu (Sheffer,

1996). Howe (2006) juga menyatakan bahwa suatu konsep tidak

bisa dibangun tanpa melakukan suatu interaksi sosial.

Materi IPA pada jenjang perguruan tinggi terkadang

membutuhkan suatu proses percobaan untuk menyelesaikan masalah

atau menjawab permasalahan yang telah dirumuskan oleh

mahasiswa. Materi pencemaran pada jenjang perguruan tinggi,


(39)

28

mampu menemukan simpul-simpul masalah dan mengidentifikasi

variabel yang mempengaruhi pencemaran. Tahap menanya,

mahasiswa diharapkan mampu menanyakan hubungan antara dua

variabel yang dapat diuji melalui suatu percobaan. Selanjutnya pada

tahap mencoba mahasiswa diharapkan dapat merancang prosedur,

menentukan alat dan bahan, dan mampu melakukan percobaan

Mahasiswa selanjutnya dapat menganalisis hasil percobaan dan

mengomunikasikannya. Untuk melakukan proses ini diperlukan

bantuan yang dikenal dengan istilah scaffolding.

B. Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran IPA dengan Pendekatan

Saintifik

Pembelajaran IPA paling baik adalah seperti IPA ditemukan, yaitu

dengan metode ilmiah yang diajarkan dengan pendekatan saintifik.

Pendekatan saintifik adalah pendekatan yang disarankan oleh Kurikulum

2013. Pembelajaran IPA perguruan tinggi sesuai dengan permenristekdikti

nomer44 tahun 2015 diarahkan untuk menyelesaikan masalah dalam

bidangnya dan menemukan pengetahuan. Proses menemukan pengetahuan

atau konsep yang dipelajari dengan pendekatan saintifik dalam pembelajaran

perlu dukungan teori belajar yang sesuai antara lain teori konstruktivis, teori

belajar bermakna, teori pemrosesan informasi, teori kode ganda (dual code

theory), dan teori sosiokognitif.

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik memungkinkan


(40)

29

oleh mahasiswa sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. Proses

pembelajaran dimulai dari pengamatan, saat mengamati mahasiswa

ditunjukkan suatu tampilan fenomena oleh dosen. Aktivitas mahasiswa saat

fase mengamati mengamati dan mencermati penjelasan dari dosen. Proses

yang terjadi pada saat itu adalah menghubungkan pengalaman sebelumnya

dengan apa yang diamati. Mahasiswa yang sudah mempunyai pengalaman

sebelumnya akan lebih mudah untuk bertanya.

Menurut Piaget (1988) pengetahuan diperoleh melalui suatu aktivitas

tertentu sehingga tercipta struktur kognitif baru setelah berinteraksi dengan

lingkungan. Tampilan fenomena atau penjelasan dosen menjadi sarana

mahasiswa untuk menghubungkan pengetahuan lama dengan konsep yang

akan dipelajarinya. Proses pembelajaran selayaknya memberi kesempatan

kepada mahasiswa untuk membangun pengalaman atau pengetahuan

berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya

Pendapat ini sesuai dengan teori konstruktivis (Slavin, 2006). Chin (2001)

mengatakan bahwa dosen dalam proses pembelajaran seyogyanya

memfasilitasi mahasiswa untuk menggabungkan pengetahuan sebelumnya

untuk memahami ide-ide baru. Menurut teori belajar konstruktivis,

seseorang belajar berdasarkan pengalamannya, dosen perlu memberikan

kemudahan untuk menemukan dan menerapkan ide-idenya (Slavin, 2006).

Pembelajaran IPA dengan pendekatan saintifik bersifat kontekstual

dan konstruktif sehingga pembelajaran lebih bermakna (Smith, 2010).


(41)

30

adalah memfasilitasi dengan memberikan bantuan sehingga proses

pembelajaran berlangsung dengan baik. Proses pembelajaran dengan

pendekatan saintifik juga didukung oleh teori belajar penemuan (discovery

learning) dari Bruner yang merupakan pembelajaran di mana mahasiswa didorong untuk terlibat aktif dalam pembelajaran melalui suatu kegiatan

yang memungkinkan mahasiswa untuk menemukan konsep sendiri.

Bruner adalah seorang pengikut teori kognitif dengan teorinya belajar

penemuan (discovery learning). Teori tersebut menekankan bahwa

mahasiswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang

dipelajari melalui belajar penemuan. Pendekatan saintifik yang digunakan

dalam pembelajaran sangat cocok dengan teori ini. Ada tiga tahap

perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Bruner, yaitu enaktif,

ikonik, dan simbolik (Budiasih, 2005). Proses pembelajaran menggunakan

pendekatan saintifik dimulai dengan pengamatan yang mengaktifkan semua

indera. Tahap enaktif diharapkan mahasiswa dapat merasakan atau

melakukan aktivitas untuk memahami lingkungannya sehingga dosen harus

menampilkan fenomena atau aktivitas yang secara motorik atau fisik dapat

dirasakan oleh inderanya. Menurut Bruner pada tahap ikonik, tampilan

visual akan sangat membantu mahasiswa dalam memahami obyek, dan pada

tahapan simbolik mampu memiliki ide atau gagasan yang merupakan

akumulasi dari proses menghubungkan beberapa konsep dalam rangka

membentuk suatu konsep baru. Konsep baru ini merupakan hasil dari proses


(42)

31

menyajikan fenomena yang dapat mendorong mahasiswa untuk belajar

dengan memberikan scaffolding sangat diperlukan sehingga mahasiswa

dapat menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya.

Mahasiswa yang belajar diawali dengan mengamati fenomena

kontekstual dan berhubungan dengan pengalaman sebelumnya akan

menghasilkan pembelajaran yang bermakna yang digagas oleh Ausubel

(meaningful learning). Teori pembelajaran bermakna dari Ausubel sangat

mendukung pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Langkah strategi

scaffolding IMWR inspiring akan mendorong mahasiswa untuk belajar bermakna karena dosen selalu berupaya untuk menginspirasi mahasiswa

menghubungkan pengalaman sebelumnya dan kegiatan atau materi yang

akan dipelajari. Slavin (2006) menyatakan bahwa belajar bermakna terjadi

manakala terjadi proses mental akibat adanya penggabungan informasi baru

dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya. Ausubel juga

mengenalkan advance organizers dalam pembelajaran yang dapat

mengorientasikan mahasiswa untuk membantu dalam mempelajari suatu

materi dan mengingat informasi terkait sehingga mahasiswa

menggabungkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki

sebelumnya (Slavin, 2006). Advance organizers dapat berupa pernyataan

awal tentang materi yang harus dipelajari sebagai jembatan untuk

memahami informasi baru dengan menghubungkannya informasi yang telah

memiliki mahasiswa (Joyce, Weil, & Calhoun, 2000). Advance organizers


(43)

32

atau bahkan memberikan suatu struktur tertentu sehingga bisa

membandingkan dengan konsep yang akan dipelajari yang tujuan untuk

memberikan banyak konsep sebelum mempelajari konsep yang akan

dipelajari. Graham and Weiner (1996) menyatakan bahwa penggunaan

advance organizers dapat meningkatkan pemahaman terutama dalam membelajarkan materi dengan banyak konsep.

Pemahaman yang diperoleh seseorang melalui suatu proses.

Informasi yang diterima oleh seseorang akan masuk ke otak selanjutnya

diolah atau diproses. Otak ibarat suatu mesin yang mampu menerima

informasi (input), informasi kemudian diproses dan adanya keluaran

(output). Atkinson & Shiffirin sebagaimana dikutip Slavin (2006)

menyatakan bahwa kognisi manusia diibaratkan suatu sistem yang terdiri

dari masukan (input), proses, dan keluaran (output). Informasi dari

lingkungan yang ditangkap oleh indera penglihatan, pembau, pendengaran,

dan indera peraba merupakan masukan (input) bagi mahasiswa yang

selanjutnya disebut dengan stimulus akan memasuki reseptor memori yang

ada di dalam otak. Fungsi otak adalah mengolah dan mentransformasikan

informasi ke dalam berbagai cara, meliputi pengkodean ke dalam

bentuk-bentuk simbolik, membandingkan dengan informasi yang telah diketahui

sebelumnya, menyimpan informasi di dalam memori, dan menggunakan

informasi tersebut bila diperlukan yang wujudnya berupa perilaku seperti


(44)

33

Woolfolk (2008) menyatakan bahwa informasi dari luar di-encode

dalam ingatan, bila seseorang mendapatkan informasi baru akan

dihubungkan dengan informasi lama dalam ingatan jangka panjang melalui

pengaktifkan kembali ke memori kerja (working memory), proses tersebut

berlangsung sebagai berikut. Pertama informasi (stimulus) dari lingkungan

diterima reseptor yang terdapat pada indera dan selanjutnya informasi

penting akan dimasukkan ke dalam memori jangka pendek sedangkan

informasi yang kurang penting akan diabaikan. Informasi dari ingatan jangka

pendek (short term memory) dapat ditransfer ke dalam ingatan jangka

panjang (long term memory) sehingga lebih permanen, meskipun

kadang-kadang sulit untuk dipanggil kembali akibat adanya interferensi dari

informasi baru (Solso, 2008).

Informasi yang diterima seseorang diproses melalui suatu saluran

yaitu verbal channel seperti teks dan suara serta menggunakan visual

channel (nonverbal image) seperti diagram, gambar, dan animasi (Solso, 2008). Rangsangan/stimulus yang diterima seseorang baik yang bersifat teks

atau gambar mendorong aktivitas otak untuk berpikir dan membuat suatu

hubungan. representatif (representational connection) untuk menemukan

saluran yang sesuai dengan rangsangan yang diterima, di mana verbal

channel bersifat urut dan logis sedangkan channel nonverbal bersifat paralel (Sadoski & Paivio, 2004). Berdasarkan informasi ini maka selayaknya dosen

menyajikan fenomena yang berbentuk gambar dan teks secara simultan


(45)

34

lebih baik dalam merespon tampilan fenomena terutama pada fase

mengamati. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ma (2003) bahwa kedua

channel pemrosesan informasi tersebut tidak ada yang lebih dominan namun dalam pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan diagram atau teks

membantu mahasiswa dalam proses pembelajaran, akan tetapi pembelajaran

dengan menggunakan diagram akan membuat mahasiswa memiliki prestasi

yang lebih tinggi daripada pembelajaran dengan menggunakan teks (Ma,

2003).

Pemanfaatan sistem visual pada manusia untuk memproses informasi

secara paralel dengan informasi verbal sehingga dapat mengurangi efek

pembebanan yang terjadi dalam memori kerja (Zhang et al, 2002). Dual

coding theory mengisyaratkan bahwa seseorang akan belajar lebih baik ketika media pembelajaran yang digunakan merupakan perpaduan dari

verbal channel dan nonverbal channel sehingga informasi yang disampaikan dapat terserap lebih baik oleh mahasiswa (Najjar, 2005).

Media pembelajaran yang bervariasi akan menumbuhkan rasa ingin

tahu mahasiswa pada saat fase pengamatan berlangsung. Hal ini sejalan

dengan teori kode ganda yang menyatakan bahwa informasi yang diperoleh

mahasiswa pada saat pengamatan akan diingat lebih lama jika disajikan

dalam bentuk visual dan verbal daripada dikode dengan satu cara saja

(Slavin, 2006). Penyajian video atau gambar saat mengamati akan

mendorong mahasiswa untuk berpikir apalagi dosen menginspirasi


(46)

35

rumusan masalah mahasiswa setelah mengamati gambar maka akan

meningkatkan pemahaman mahasiswa. Slavin (2006) selanjutnya

menyatakan bahwa penggunaan gambar atau video dilanjutkan dengan

metode praktikum akan meningkatkan pemahaman dan keterampilan

berpikir.

Informasi di atas memberikan petunjuk bahwa penampilan fenomena

saat awal pembelajaran dengan menggunakan slide power point seyogyanya

dipadu dengan gambar atau diselingi dengan teks serta penjelasan dosen

sehingga informasi dapat diterima oleh mahasiswa dengan verbal channel

dan nonverbal channel. Penjelasan merupakan bentuk scaffolding dari dosen

sehingga akan menambah informasi menjadi lebih lengkap, harapannya

semua konsep yang akan dipelajari lebih dipahami oleh mahasiswa.

Proses mengamati menurut Moreno (2010) dapat terjadi pada obyek

nyata maupun melalui simulasi. Benda tidak hidup dapat dipakai sebagai

stimulus untuk merangsang mahasiswa belajar dan mengajukan pertanyaan,

antara lain dalam bentuk gambar, video, dan slide. Menurut teori

pemrosesan informasi, stimulus yang diberikan oleh dosen kepada

mahasiswa dalam proses pembelajaran akan ditanggapi apabila stimulus

tersebut menarik dan cocok dengan kebutuhannya (Slavin, 2006).

Mahasiswa yang bertanya menjadi suatu indikator bahwa mahasiswa

tersebut telah mampu menghubungkan apa yang telah diketahui dan materi

yang akan diajarkan dan untuk selanjutnya ingin membangun konsep baru


(47)

36

Menurut hasil penelitian Jirout & Klahr (2011) ada korelasi positif antara

rasa ingin tahu dan kemampuan untuk bertanya yang teramati dalam proses

pembelajaran. Mengajukan pertanyaan memberi kontribusi yang bermakna

dalam belajar karena digunakan sebagai cara untuk membangun

pengetahuan (Chin et al, 2002). Mahasiswa yang bertanya sebenarnya

berusaha menghubungkan pengalaman sebelumnya dan stimulus yang

diberikan oleh dosen yang akan dipelajarinya lebih lanjut. Ketika mahasiswa

melihat video atau mendengarkan penjelasan dosen maka mahasiswa yang

berani bertanya akan menanyakan mengapa, apa, dan bagaimana suatu

fenomena dapat terjadi. Pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa akan

mendorong mahasiswa untuk mencari jawabannya seperti ilmuwan

memikirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang sebelumnya belum ada

jawabannya (Barrow, 2010).

Fenomena alam yang disajikan dosen misalnya gambar sawah

dengan hama tikus yang sedang menyerang tanaman padi, mahasiswa akan

mengingat-ingat informasi seperti simbol tikus itu sendiri, membandingkan

tikus yang dilihat di video atau gambar dengan tikus yang dijumpai di got

rumahnya, memikirkan mengapa petani membunuh tikus, apa yang terjadi

sehingga populasi tikus menjadi meningkat. Informasi, gambar, dan video

yang disajikan oleh dosen merupakan stimulus bagi mahasiswa untuk

memikirkan hal-hal tersebut setelah terjadinya transformasi informasi di


(48)

37

tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan peningkatan populasi tikus dan

bagaimana cara untuk mengatasinya.

Informasi dari luar tidak harus selalu berupa pengalaman fisik

seseorang seperti saat melihat benda, merasakan atau mendengarkan dengan

inderanya akan tetapi juga pengalaman mental ketika berinteraksi

menggunakan pikiran tentang suatu obyek (Suparno, 1997). Setiap individu

menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan

menerapkannya dalam pembelajaran, berinteraksi dengan lingkungan dan

mentransformasikan ke dalam pikirian dengan bantuan struktur kognitif

yang ada di dalam pikirannya (Cobb, 1994). Vygotski memandang bahwa

konstruksi pengetahuan terjadi secara kolaboratif sesuai konteks sosial

budaya sehingga perlu berinteraksi dengan orang lain (Sheffer, 1996).

Teori Vygotski ini menekankan pada pembelajaran sosiokultural, di

mana kemampuan kognitif manusia berasal dari interaksi sosial individu

dalam konteks budaya sehingga pembelajaran terjadi saat mahasiswa bekerja

atau menangani tugas yang sedang dipelajarinya dalam batas zone of

proximal developmentnya (Slavin, 2006). Zone of proximal development adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya (faktual) yang

didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk menyelesaikan masalah

secara mandiri dan daerah di mana pebelajar tidak mampu menyelesaikan

masalah tanpa bantuan yang lebih mampu (Slavin, 2006).

McCormick (1996) menyatakan bahwa kerja kelompok memberi


(49)

38

konseptual, pengetahuan prosedural, dan kemampuan untuk menyelesaikan

masalah. Kerja kelompok juga dapat mendorong pemikiran kritis untuk

mencari kekuatan dan kelemahan dari sebuah ide dalam kelompok sehingga

mampu memicu lebih banyak menghasilkan ide dan klarifikasi konsep yang

membingungkan. Penerapan pendekatan saintifik mulai dari proses

mengamati secara individu selanjutnya hasil pengamatan sampai proses

menalar didiskusikan dalam kelompok dan dipresentasikan masing-masing

kelompok memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bekerjasama.

Menurut pandangan teori sosiokognitif, kerjasama dalam praktikum atau

bentuk kerjasama yang lain merupakan sarana bagi mahasiswa dalam

memperoleh bantuan dari teman. Hal tersebut sesuai dengan teori Vygotsky

yang mengatakan bahwa perkembangan kognitif sebagai hasil pembangunan

sosial melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Slavin, 2006).

Dosen memfasilitasi mahasiswa dengan menggunakan strategi

scaffolding memungkinkan mahasiswa berinteraksi pada setiap langkah dari pendekatan saintifik mulai dari mengamati sampai mengomunikasikan yaitu

saat writing dan reporting. Kerjasama yang baik antara mahasiswa satu

dengan mahasiswa lain akan meningkatkan pemahaman seperti pendapat

Howe (2006) yang menyatakan bahwa suatu konsep tidak bisa dibangun

tanpa melakukan suatu interaksi sosial.

Langkah-langkah pendekatan saintifik merupakan bagian

keterampilan proses sains. Mahasiswa yang belum mampu dalam


(1)

248

Proceedings of CHI 99 Conference on human Factors in Computing Systems (pp. 473–480). Reading, MA: Addison-Wesley.

Rahayu, I.P., Yulianingsih, U., Septiani, D., Wijaya, A.A., Haryani, S. (2011). Inovasi Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Media Transvisi Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang.

Ramadas, J. (2009). Visual and spatial modes in science learning. The International Journal of Science Education vol (31) 3. Research in Science & Technological Education, Vol. 29, No.3 p. 241-255.

Ratumanan, T.G dan Laurens, T. (2011). Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Unesa University Press.

Riegler, A. 2001. The Impact Of Radical Constructivism On Science. Part 1: The Paradigm, biology and cognition. Special issue of Foundations of Science 6(1–3).

Rivet, A.E., and Krajcik, J.S. (2008). Contextualizing instruction: leveraging

students’ prior knowledge and experiences to foster understanding of

middle school science. Journal Of Research In Science Teaching Vol. 45, NO. 1 p. 79–100.

Rogoff, B. (1993). Children's guided participation and participatory appropriation in sociocultural activity. In R. H. Wozniak & K. W. Fischer (Eds.), Development in context (pp. 121 - 153). Hillsdale, NJ: LEA.

Rogoff, B. (2003). The cultural nature of human development. New York: Oxford University Press.

Rosenshine, B., & Meister, C. (1992). The use of scaffolds for teaching higher-level cognitive strategies. Educational Leadership, 49(7) p.26–33.

Rosenshine, B., Meister, C., and Chapman, S. (1996). Teaching students to generate questions: a review of intervention studies. Rev. Educ. Res. 66, 181–221

Rostika, N.D., (2012). Penerapan Model Inkuiri Terbimbing Terhadap Keterampilan Proses Sains Pada Konsep Ekosistem Di Smp Negeri 2 Ciledug Kabupaten Cirebon (Skripsi tidak diterbitkan). Jurusan Tadris Biologi-Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon


(2)

249

Rustaman, N. 2007. Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan Assesmennya. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Rustaman, N. (2007). “Basic Scientific Inquiry In Science Education And Its

Assesment”. Seminar Proceeding of The First International Seminar of Monograph of the Society for Research in Child Development, 60(4), Serial No. 245.

Rutherford, F. J., & Ahlgren, A. (1990). Science for all Americans. Washington, DC: AAAS.

Ryan, M. 2001. The Scientific Method. USA: University of Nevada

Sabahiyah, Marhaeni, A.A.I.N., Suastra. I.W. (2013). Pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses sains dan penguasaan konsep ipa siswa kelas v gugus 03 wanasaba lombok timur. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar. Volume 3 Tahun 2013.

Sadoski, M. & Paivio, A. (2004). A dual coding theoretical model of reading. In R. B. Ruddell & N. J. Unrau (Eds.), Theoretical models and processes of reading (5th ed.). Newark, DE: International Reading Association.

Saida, N., Indriwati, S.E., Balqis. (2012). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Group Investigation Untuk Meningkatkan Kompetensi Keterampilan Proses Sains Dan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Brawijaya Smart School Malang. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sandoval, W.A. and Reiser B.J. (2003). Explanation-Driven Inquiry: Integrating Conceptual and Epistemic Scaffolds for Scientific Inquiry. Los Angeles: Wiley InterScience

Schwarz B, Dreyfus T, Hershkowitz NHR. (2004). Teacher Guidance Of Knowledge Construction. Israel: Tel Aviv University

Seelman, K.D. (1997). Communication and Technology: Women's. Work. Proceedings of the International Leadership Forum for Women with Disabilities; Bethesda, MD., p.114-116.

Sepel, L. M. N., Loreto, E. L. S., Rocha, J. B. T. (2009). Using a replica of Leeuwenhoek’s microscope to teach the history of science and to motivate students to discover the vision and the contributions of the first microscopists. CBE-Life Sciences Education. 8, 338-343.


(3)

250

Shahali EHM and Halim L. 2010. Development and validation of a test of integrated science process skills. Procedia Social and Behavioral Sciences 9 (2010) 142–146.

Sheffer, D.R. (1996). Development Psychology Chilhood and Adolescend. Georgia: Brooks/Cole Publishing Company.

Shodell, M. (1995). The question-driven classroom: student questions as course curriculum in biology. American Biology Teacher, 57(5) p. 278-281. Silliman, E. R., Bahr, R., Beasman, J., & Wilkinson, L. C. (2000). Scaffolds for

learning to read in an inclusion classroom. Language, Speech, and Hearing Services in Schools, 31, 265–279.

Siswono, H., Wartono, Supriyono, K.H. (2012). Pengaruh Problem Based Learning Berbantuan Virtual Laboratory Terhadap Ketrampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep Siswa di SMA. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Slavin, R.E. (2006). Educational Psycology.Theory and Practice. New Jersey: Pearson Educations Inc.

Smith, B.P. (2010). Instructional strategies in family and consumer sciences: implementing the contextual teaching and learning pedagogical model. Journal of Family & Consumer Sciences Education, 28(1).

Solso, R.L., Otto, H.M., and Kimberly, M. (2008). Cognitive Psychology. USA: Pearson Education Inc.

Stephenson, P. and Warwick, P. 2002. Using Concept Cartoons to Support Progression in Pupils' Understanding of Light,Journal of Physics Education, 37 (2). pp 145-141

Subali, B. (2010). Bias item test of divergen pattern of science Process skill and

it’s modification as creativity Test. Jurnal Penelitian dan Evaluasi

Pendidikan Tahun 14, Nomor 2, 2010

Suparno. Paul. (1997). Filsafat Konstrukivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Susanti, W. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa pada Materi Laju Reaksi (Skripsi tidak diterbitkan). Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas


(4)

251

Tias, I.W.U. (2014). Penerapan Model Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Dan Keterampilan Proses Sains Siswa Sekolah Dasar (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Tuan, H., Chin, C., Tsai, C and Cheng, S. (2005). Investigating the effectiveness of inquiry instruction on the motivation of different learning styles students. International Journal of Science and Mathematics Education 3 p. 541–566

Tytler, R. (1996). Constructivism and conceptual change views of learning in science. Khazanah Pengajaran IPA. No. 1 (3) hal. 4-20

Utami, W.D., Dasna, I.W., Sulistina, O. (2011). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Hasil Belajar Dan Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Materi Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Vacca, S.J., & Levitt, R. (2009). Using scaffolding techniques to teach a lesson about the civil war. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 1 No. 18.

Van de Pol, J.E. (2012). Scaffolding in teacher-student interaction: exploring, measuring, promoting and evaluating scaffolding. Amsterdam: University of Amsterdam.

Pol, J., Volman, M., and Beishuizen, J. (2010). Scaffolding in Teacher–Student

Interaction: A Decade of Research. Educational Psychology Review. 10.1007/s10648-010-9127-6

Varelas, M and Ford M. 2009. The scientific method and scientific inquiry: Tensions in teaching and learning. USA: Wiley InterScience.

Veenman, M. V. J., Kok, R., & Blote, A. W. (2005). The relation between intellectual and metacognitive skills in early adolescence. Instructional Science, 33(3) p. 193–211.

Veselinovska SS, Liljana KG, and Milena D. 2011. The Effect Of Teaching Methods on Cognitive Achievement In Biology. Studying. Procedia Social and Behavioral Sciences 15 p. 2521–2527

Vygotsky, L. S. 1978. Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.


(5)

252

Wakhidah, N. (2014). Implementasi Model 5 M dalam Pendekatan Saintifik pada Mahasiswa Calon Guru. Surabaya: Laporan Preliminary Research

Wakhidah, N. 2014. Kemampuan Keterampilan Proses Sains Terpadu Mahasiswa Calon Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Ampel Surabaya. Surabaya: Proseeding Seminar Pendidikan Sains

Wakhidah, N. 2014. Pembelajaran Tematik Kompetensi IPA Dengan Pendekatan Saintifik (Scientific Approach) Di Sekolah Dasar. Surabaya: Proseesing Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Dasar

Wakhidah, N.(2015) Scaffolding Pendekatan Saintifik. Surabaya: Jaudar Press Wakhidah,N. (2013). Keterampilan Proses Sains Mahasiswa PGMI IAIN Sunan

Ampel Surabaya. Surabaya: Laporan Preliminary Research

Wardana. I.K., Marhaeni, A.A.I.N., Nyoman, T. (2013). Pengaruh Model Kontekstual Terhadap Keterampilan Proses Sains Dan Hasil Belajar Sains Pada Siswa Kelas IV SD. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar Volume 3 Tahun 2013

Weinburgh, M. H. 2003. Changing elementary and college science teaching through coteaching/co-generative dialogue. In D. Berlin & A. Whites (Eds). Improving Science and Mathematics Education: Insights for a Global Community. (pp. 73-74). Columbus, OH: ICRSME.

White, B. Y., & Frederiksen, J. R. (1998). Inquiry, modeling, and metacognition: Making science accessible to all students. Cognition & Instruction, 16(1), 3–118.

Wicaksono, S. 2013. Pemahaman Guru Rendah, Tantangan Kurikulum 2013. Jakarta:

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/12/27/24756 0/Pemahaman-Guru-Rendah-Tantangan-Kurikulum-2013

Wieman, C. (2007a). A Scientific Approach to Science Education? Colorado: University of British Columbia.

Wieman, C. (2007b). Why Not Try A Scientific Approach To Science Education? http://www.science20.com/carl_wieman/why_not_try_scientific_approac_ science_education.

Wiggins, Grant and Jay McTighe. (2005) Understanding by Design, 2nd ed. Alexandria VA. Association for Supervision and Curriculum Development


(6)

253

Wiratana, I.K., Sadia, I.W., Suma, K. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok (Group Investigation) Terhadap Keterampilan Proses dan Hasil Belajar Sains Siswa SMP. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. Volume 3 Tahun 2013.

Woolfolk, A. (2008). Psychology in Education. New York: Pearson Education Limitied.

Woolfolk, A. 2008. Educational Psychology. Active Learning Edition. Diterjemahkan oleh Helly prayitno Soecipto dan Sri Mulyantini Soecipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Xie, K., & Bradshaw, A. C. (2008). Using question prompts to support ill-structured problem solving in online peer collaborations. International Journal of Technology in Teaching and Learning, 4(2) p. 148–165.

Xu JP, He ZJ, Ooi TL. 2012. Perceptual Learning To Reduce Sensory Eye Dominance Beyond The Focus Of Top-Down Visual Attention. Vision Research 61 (2012) 39–47

Yelland, N., & Masters, J. (2007). Rethinking scaffolding in the information age. Computers & Education, 48, 362–382. yelland & master

Zellermayer, M., Salomon, G., Globerson, T., & Givon, H. (1991). Enhancing writingrelated metacognitions through a computerized writing partner. American Educational Research Journal, 28(2) p.373–391.

Zhang, J, Johnson K.A, Malin, J.T., & Smith, J.W. (2002). Human Centered Information Visualization. Proceedings of the International Workshop om Dynamic Visualization and Learning. Germany: Tubingen. Ed. R. Ploetzner.

Zimmerman, B. (2000). Attaining self-regulation: A social cognitive perspective. In M. Boekaerts, P. R. Pintrich & M. Zeidner (Eds.), Handbook of self-regulation (pp.13–29). San Diego, CA: Academic Press.

Zimmerman, B. (2002). Becoming a self-regulated learner: An Overview. Theory into Practice, 41(2), p. 64–70.

Zirbel, EL. (2005). Teaching To Promote Deep Understanding and Instigate Conceptual Change for Pre-service Elementary Teachers based on Inquiry