EFEKTIVITAS STRATEGI METAKOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 3 SLEMAN.

(1)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kemampuan pemecahan masalah perlu dikuasai siswa sebagai bekal dalam menghadapi masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia kerja. Seperti yang diungkapkan oleh Made Wena (2010:52) bahwa pada dasarnya, tujuan akhir pembelajaran adalah menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah penting untuk dikembangkan dalam pembelajaran.

Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Menurut Bell (1981:311), dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah merupakan aktivitas yang cocok dan penting. Tujuan pembelajaran dapat dicapai melalui kegiatan pemecahan masalah. Belajar mengenai prosedur pemecahan masalah sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Strategi pemecahan masalah umum dan prinsip-prinsip yang dipelajari dan diterapkan pada pemecahan masalah matematika, dalam kasus tertentu dapat ditransfer dan diterapkan pada situasi pemecahan masalah yang lain.

Pemecahan masalah merupakan proses mendasar dalam matematika dan memiliki porsi besar pada aktivitas matematikawan. Kegiatan pemecahan masalah dapat membantu siswa dalam belajar fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip-prinsip matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematika dapat membantu siswa menganalisis dan menerapkan strategi pemecahan masalah pada situasi yang


(2)

beragam. Dengan demikian, siswa dapat belajar matematika dengan lebih baik jika mereka terlibat dalam kegiatan menyelesaikan masalah matematika (Bell, 1981:311).

Pengembangan kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus dalam pembelajaran matematika di semua jenjang. National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000:52) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu tujuan belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar. Siswa memerlukan kesempatan untuk merumuskan, menghadapi, dan menyelesaikan masalah yang kompleks yang melibatkan sejumlah usaha yang signifikan. Siswa didukung untuk merefleksikan apa yang mereka pikirkan selama memecahkan masalah. Dengan mempelajari pemecahan masalah matematika, siswa memperoleh cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan, serta kepercayaan diri di dalam berbagai situasi yang akan dihadapi di luar pembelajaran matematika. Seorang pemecah masalah yang baik dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja akan membawa manfaat besar baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Sayangnya, selama ini pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematika dalam pembelajaran matematika masih kurang. Strategi pembelajaran konvensional atau strategi pembelajaran yang digunakan secara umum dalam kegiatan pembelajaran matematika adalah metode ekspositori. Dalam pembelajaran ini, guru menjelaskan materi dilanjutkan pemberian contoh soal beserta cara penyelesaiannya. Kemudian siswa diminta untuk mengerjakan soal latihan. Meski demikian, soal-soal latihan yang diberikan lebih sering bersifat rutin daripada soal


(3)

nonrutin sehingga siswa tidak dapat menggunakan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal lain yang lebih bervariasi.

Hal yang sama juga terjadi pada pembelajaran matematika di SMP Negeri 3 Sleman, khususnya kelas VII. Dalam pembelajaran, guru menyampaikan materi pelajaran, memberikan contoh soal beserta penyelesaiannya, dan meminta siswa mengerjakan soal-soal latihan kemudian membahas secara bersama-sama. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan di kelas VII SMP Negeri 3 Sleman, terdapat fakta bahwa siswa memiliki kecenderungan untuk berpikir berdasarkan apa yang disampaikan oleh guru saja. Siswa kurang mampu dalam mengungkapkan ide-ide untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, ketika guru menyampaikan contoh soal, sebagian besar siswa lebih mengedepankan hasil dari penyelesaian soal tanpa memperhatikan pentingnya rangkaian proses penyelesaian soal. Hal tersebut akan menimbulkan efek negatif ketika siswa menjumpai bentuk soal yang merupakan pengembangan dari contoh soal sebelumnya, siswa akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Berdasarkan data hasil ulangan akhir semester gasal tahun pelajaran 2013/2014 yang diselenggarakan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Kabupaten Sleman, siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman menduduki peringkat 12 dari 126 SMP di Kabupaten Sleman dengan rata-rata nilai matematika 64,2. Jika memperhatikan data tersebut, dibanding sekolah lain, prestasi siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman sudah cukup baik, tetapi jika dilihat dari rata-rata nilai matematika yang hanya mencapai 64,2, prestasi mereka belum maksimal, apalagi jika dibandingkan dengan KKM, yaitu 75.


(4)

Dilihat dari hasil analisis jawaban ujian akhir semester gasal tahun pelajaran 2013/2014 yang dilakukan oleh MKKS SMP Kabupaten Sleman, butir-butir soal yang tergolong sukar bagi siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman merupakan soal-soal yang memerlukan kemampuan pemecahan masalah. Sebagai contoh, hasil analisis jawaban dari kelompok A yang terdiri atas 32 siswa, diketahui terdapat 19 dari 40 butir soal yang diujikan termasuk dalam kategori sukar. Dari 19 butir soal tersebut, pada umumnya diperlukan kemampuan pemecahan masalah untuk dapat menyelesaikannya.

Bukti-bukti tersebut mengidentifikasikan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Negeri 3 Sleman belum tercapai dengan baik. Mengingat pentingnya peranan kemampuan pemecahan masalah matematika dalam kehidupan, perlu dikembangkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika. Untuk mengembangkannya, diperlukan strategi pembelajaran yang sesuai, yaitu strategi metakognitif. Strategi metakognitif merupakan penerapan pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Strategi metakognitif dapat membantu seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran. Strategi tersebut membantu siswa memperoleh pemahaman dan hasil akademik yang lebih baik, dan yang paling penting adalah untuk membuat keputusan hidup yang bijak (Larkin, 2010:3). Strategi metakognitif dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan siswa terhadap proses dan aktivitas berpikirnya, termasuk pada fase pemecahan masalah


(5)

matematika. Menurut Erman Suherman, Turmudi, Didi Suryadi, Tatang Herman, Suhendra, Sufyani Prabawanto, dkk. (2003:104), kesuksesan seseorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka melakukannya.

Menurut Davidson, Deuser, & Sternberg (1994:207-208), strategi metakognitif memandu proses pemecahan masalah dan meningkatkan efisiensi untuk mencapai tujuan tersebut. Metakognitif dapat membantu pemecah masalah dalam menyadari bahwa terdapat masalah yang harus diselesaikan, mencari tahu masalahnya, dan mengetahui cara untuk mencapai solusi. Menurut Carr (2010:181), strategi metakognitif juga dapat membantu siswa untuk menentukan strategi yang lebih baik dan lebih akurat dalam pemecahan masalah.

Pernyataan-pernyataan tersebut menguatkan bahwa strategi metakognitif menempati posisi yang strategis dalam pembelajaran matematika. Melalui strategi ini siswa dapat menumbuhkan kesadaran pada proses berpikirnya sehingga kemampuan pemecahan masalah siswa akan meningkat. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa strategi metakognitif efektif digunakan dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Namun, selama ini strategi metakognitif belum pernah diterapkan di SMP Negeri 3 Sleman, khususnya kelas VII. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji apakah strategi metakognitif tersebut juga efektif digunakan dalam pembelajaran matematika di kelas VII SMP Negeri 3 Sleman ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.


(6)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah-masalah yang terkait dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut ini.

1. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas VII SMP Negeri 3 Sleman belum dapat memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika.

2. Siswa memiliki kecenderungan untuk berpikir berdasarkan apa yang disampaikan oleh guru saja, mereka kurang mampu dalam mengungkapkan ide-ide untuk menyelesaikan masalah.

3. Strategi metakognitif dapat membantu seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran. Namun, belum diketahui keefektifan strategi tersebut ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat berbagai keterbatasan penulis, penelitian ini dibatasi pada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman sebagai akibat dari penggunaan strategi metakognitif dalam pembelajaran matematika pada materi segitiga dan segi empat pada tahun pelajaran 2014/2015 semester genap.


(7)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut ini.

1. Apakah strategi metakognitif efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman?

2. Apakah pembelajaran konvensional efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman?

3. Apakah strategi metakognitif lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui apakah strategi metakognitif efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.

2. Mengetahui apakah pembelajaran konvensional efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.


(8)

3. Mengetahui apakah strategi metakognitif lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini. 1. Bagi siswa, dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah

matematika dan memberikan pengalaman belajar bagi siswa dengan menggunakan strategi metakognitif.

2. Bagi guru matematika, dapat menjadi acuan dalam penerapan strategi metakognitif pada pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

3. Bagi sekolah, dapat memberikan masukan pada sekolah dalam rangka melakukan peningkatan efektifitas pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran matematika.

4. Bagi peneliti, dapat menambah pengalaman dan wawasan peneliti tentang pelaksanaan pembelajaran dengan strategi metakognitif dan pembelajaran konvensional.


(9)

9

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritis

1. Pembelajaran Matematika a. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode. Hal tersebut dilakukan agar siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien dan mencapai hasil yang optimal (Sugihartono, Kartika Nur Fathiyah, Farida Agus Setiawati, Farida Harahap, & Siti Rohmah Nurhayati, 2007:81).

Menurut Gagne, Briggs, & Warge (1992:3), pembelajaran adalah suatu rangkaian peristiwa yang memengaruhi siswa sehingga perubahan perilaku siswa yang disebut hasil belajar terfasilitasi. Pendapat lain menyatakan bahwa pembelajaran merupakan usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya, mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Trianto, 2013:19).

Memperhatikan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk mengorganisasi dan menciptakan lingkungan sebaik-baiknya sehingga dapat menyebabkan siswa melakukan kegiatan belajar dan mencapai hasil belajar yang optimal.


(10)

b. Matematika

Berbagai pendapat memunculkan pengertian matematika, seperti yang diungkapkan oleh Ali Hamzah & Muhlisrarini (2014:47) bahwa pengertian matematika tidak didefinisikan secara mudah dan tepat mengingat terdapat banyak fungsi dan peranan matematika terhadap bidang studi yang lain. Matematika memiliki aspek teori dan aspek terapan. Penggolongan matematika terdiri atas matematika murni, matematika terapan, dan matematika sekolah.

Chambers (2010:9) menyatakan bahwa matematika dalam pandangan murni adalah studi tentang pola, hubungan dan ide-ide yang saling berhubungan, sedangkan dalam pandangan utilitarian, matematika merupakan alat untuk memecahkan masalah dalam berbagai konteks. Ia menyebutkan karakteristik matematika adalah sebagai berikut ini.

1) Sebuah alat untuk memecahkan masalah. 2) Dasar penelitian ilmiah dan teknologi. 3) Memberikan cara untuk model situasi nyata.

Kline (Erman Suherman, dkk., 2003:17) menyatakan bahwa matematika bukanlah pengetahuan menyendiri, adanya matematika terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Sementara itu, Matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah (Erman Suherman, dkk., 2003:55-56).


(11)

Matematika sekolah memiliki perbedaan dengan matematika murni. Ebbut dan Strater (Marsigit, 2011: 334-335) menyebutkan bahwa matematika sekolah dapat diartikan sebagai berikut:

1) Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan.

Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada siswa dalam melakukan penemuan, penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan, percobaan, dan mendorong siswa untuk menentukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, menarik kesimpulan, serta memahami untuk menentukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya.

2) Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan.

Kegiatan ini mendorong siswa agar berinisiatif, berpikir beda, mendorong rasa ingin tahu, bertanya, menyanggah, memperkirakan, serta menghargai penemuan yang di luar perkiraannya.

3) Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah.

Kegiatan ini dapat mendorong siswa dalam memecahkan masalah dalam matematika menggunakan caranya sendiri, serta mendorong untuk berfikir logis, konsisten, dan sistematis.

4) Matematika sebagai alat komunikasi.

Kegiatan ini mendorong siswa untuk membicarakan permasalahan matematika, mengenal sifat matematika, menjelaskan sifat matematika, membaca dan menulis matematika.


(12)

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa matematika mempunyai berbagai macam definisi tergantung pada sudut pandang penglihatnya. Matematika dalam penelitian ini merupakan matematika sekolah. Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah yang meliputi kegiatan penelusuran pola dan hubungan, kreativitas, pemecahan masalah, serta alat komunikasi untuk menumbuhkembangkan berbagai pengetahuan dan kemampuan dalam matematika.

c. Pembelajaran Matematika

Gagne (Bell, 1981:108) menyebutkan bahwa objek pembelajaran matematika terdiri dari objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung pada pembelajaran matematika adalah fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip. Objek tidak langsung adalah kemampuan menyelidiki, kemampuan pemecahan masalah, belajar mandiri, dan bersikap positif terhadap matematika. Bell (1981:194) menjelaskan bahwa objek langsung matematika diajarkan pada semua tingkatan kelas. Namun, fakta-fakta dan keterampilan cenderung ditekankan di kelas yang lebih rendah. Konsep-konsep ditekankan di kelas menengah, dan prinsip-prinsip ditekankan pada kelas yang lebih tinggi

Fungsi pembelajaran matematika menurut Erman Suherman, dkk. (2003:57) adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika sekolah. Siswa diberikan penjelasan untuk melihat berbagai contoh penggunaan matematika sebagai alat untuk memecahkan masalah dalam mata pelajaran lain, dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini harus tetap disesuaikan dengan


(13)

tingkat perkembangan siswa, sehingga diharapkan dapat membantu proses pembelajaran matematika di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses membelajarkan siswa agar memiliki kemampuan dalam berfikir matematis dan mengembangkan keterampilan matematika agar siswa mampu menerapkan pola pikir matematika dalam pengetahuan lain maupun dalam memecahkan masalah.

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Untuk memahami tentang kemampuan pemecahan masalah matematika, perlu beberapa teori untuk membahas tentang masalah, pemecahan masalah, dan kemampuan pemecahan masalah.

a. Masalah

Menurut Bell (1981:310), “a situation is a problem for a person if he or she is aware of its existence, recognizes that it requires action, wants or needs to act and does so, and is not immediately able to resolve the situation.”Ini berarti bahwa situasi disebut masalah bagi seseorang jika ia menyadari keberadaannya, mengakui bahwa hal tersebut memerlukan tindakan, ingin atau perlu bertindak dan melakukannya, dan tidak langsung mampu mengatasi situasi tersebut. Senada dengan pendapat tersebut, Erman Suherman, dkk. (2003:92) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya. Akan tetapi, tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya.


(14)

Pendapat lain mengungkapkan bahwa masalah memiliki keadaan awal, tujuan (hasil yang diinginkan), dan jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Masalah berkisar mulai dari yang terstruktur dengan baik (well-structured) sampai yang terstruktur secara tidak baik (ill-structured), tergantung seberapa jelas tujuannya dan berapa banyak struktur yang disediakan untuk mengatasi masalah tersebut (Woolfolk, 2009:74).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masalah memiliki tujuan yang akan dicapai, memuat situasi menantang untuk diselesaikan, dan membutuhkan kesadaran serta keinginan untuk mengatasinya, tetapi prosedur untuk menyelesaikan tidak dapat diketahui secara langsung.

b. Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Menurut Gagne (Made Wena, 2010:52), pemecahan masalah tidak sekadar sebagai bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan lebih dari itu, merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi. Hampir sama dengan pendapat di atas, Mayer & Wittrock (Woolfolk, 2009:74) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah didefinisikan sebagai memformulasikan jawaban baru, yang lebih dari sekadar penerapan aturan-aturan yang sudah dipelajari sebelumnya untuk mencapai suatu tujuan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses untuk memformulasikan sejumlah aturan yang


(15)

dapat diterapkan untuk mengatasi situasi baru. Pemecahan masalah bukan sekadar penerapan aturan-aturan yang telah dipelajari sebelumnya, melainkan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan matematika pada tingkat yang lebih tinggi.

c. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kegiatan pemecahan masalah menjadi salah satu fokus dalam pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam peraturan tersebut dituliskan bahwa salah satu tujuan pendidikan matematika adalah memecahkan masalah. Kegiatan tersebut meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

Menurut Posamentier & Stepelman (1990:114-117), kemampuan pemecahan masalah penting dikembangkan karena siswa perlu tahu bagaimana memecahkan masalah untuk masa depan, baik dalam matematika atau dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pemecahan masalah penting untuk dikembangkan karena siswa akan belajar untuk membaca matematika, mengembangkan rasa bangga, menjadi lebih kritis dan analitis dengan masalah yang disajikan, dan memecahkan masalah meskipun lebih bersifat mendasar.

Kemampuan pemecahan masalah dapat dilihat melalui langkah-langkah pemecahan masalah yang dilakukan. Langkah-langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya (1973:5) terdiri dari empat tahapan, yaitu sebagai berikut ini.


(16)

1) Memahami permasalahan (understanding the problem).

Siswa harus mampu memahami masalah dan menyatakannya dengan jelas. Siswa perlu menunjukkan bagian-bagian pokok dari masalah, informasi yang diketahui dan yang tidak diketahui, serta kondisi masalahnya.

2) Merencanakan pemecahan (devise a plan).

Menyusun ide dalam merencanakan pemecahan merupakan hal penting dalam penyelesaian masalah. Siswa dapat menyusun rencana apabila telah mengetahui pokok permasalahan, perhitungan, dan konstruksi yang dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Hal ini membutuhkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya, kebiasaan mental yang baik, dan konsentrasi pada tujuan. 3) Melaksanakan rencana (carry out the plan).

Melaksanakan rencana lebih mudah daripada merencanakan masalah. Pada tahap ini, siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana yang telah disusun serta melakukan pemeriksaan pada setiap langkah.

4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back).

Pada tahap ini siswa mengecek, mempertimbangkan, dan memeriksa kembali hasil dan langkah pemecahannya. Hal ini dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dalam memecahkan masalah.

Strategi pemecahan masalah menurut Bransford dan Stein (Woolfolk, 2009:75) menggunakan akronim IDEAL, yaitu sebagai berikut ini.

1) Mengidentifikasi masalah dan peluang (identify).

2) Mendefinisikan tujuan dan merepresentasikan permasalahannya (define). 3) Mengeksplorasi berbagai kemungkinan strategi (explore).


(17)

4) Mengantisipasi hasil dan bertindak (anticipate & act).

5) Menengok ke belakang dan mengambil pelajaran (look & learn)

Menurut Dewey (Posamentier & Stepelman, 1990:10), terdapat lima langkah pemecahan masalah, yaitu sebagai berikut ini.

1) Recognizing that a problem exist, an awareness of difficulty, a sense of frustration, wondering or doubt.

2) Identifying the problem, clarification and definition, including designation of the goal to be sought, as defined by the situation which process the problem.

3) Employing previous experiences, such as relevant information, former solution, or ideas to formulate hypotheses and problem-solving propositions.

4) Testing, successively, hypotheses or possible solutions. If necessary, the problem may be redormulated.

5) Evaluating the solutions and drawing a conclusion based on evidence. This involves incorporating the successful solution into one’s existing understanding and applying it to other instances of the same problem. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan suatu kemampuan untuk memformulasikan sejumlah aturan matematika yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah matematika yang diberikan. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan menginterpretasikan jawaban ke masalah semula.

3. Strategi Pembelajaran

Menurut Woolfolk (2009:100), strategi pembelajaran adalah ide-ide untuk mencapai tujuan belajar. Made Wena (2010:2-3) memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang strategi pembelajaran, yaitu cara dan seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa. Penggunaan strategi dalam


(18)

kegiatan pembelajaran sangat perlu, yaitu untuk mempermudah proses pembelajaran sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Tanpa strategi yang jelas, proses pembelajaran tidak akan terarah sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sulit tercapai secara optimal, dengan kata lain pembelajaran tidak dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

Hamzah B. Uno (2012:1) mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh seseorang pengajar untuk menyampaikan materi pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan peserta didik menerima dan memahami materi pembelajaran, yang pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasainya di akhir kegiatan belajar.

Menurut Made Wena (2010:3), bagi guru, strategi pembelajaran dapat dijadikan pedoman dan acuan bertindak yang sistematis dalam pelaksanaan pembelajaran. Bagi siswa, strategi pembelajaran dapat mempermudah proses belajar, yaitu mempermudah dan mempercepat memahami isi pembelajaran karena setiap strategi pembelajaran dirancang untuk mempermudah proses belajar siswa. Perlu adanya kaitan antara strategi pembelajaran dengan tujuan pembelajaran agar diperoleh langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien. Strategi pembelajaran matematika disusun dan dikembangkan oleh guru bertujuan untuk meningkatkan kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan serta meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika (Ali Hamzah, 2014:148).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh seorang pengajar untuk mengorganisasikan,


(19)

menyampaikan, dan mengelola pembelajaran agar dapat mempermudah proses belajar siswa dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang optimal.

4. Strategi Metakognitif a. Komponen Metakognitif

Metakognitif mengarah pada kemampuan tingkat tinggi yang melibatkan kontrol aktif selama melakukan proses kognitif dalam pembelajaran. Secara sederhana, metakognitif dapat didefinisikan sebagai “thinking about thinking”yang artinya berpikir tentang berpikir(Livingston, 1997:906). Menurut Hamzah B. Uno (2012:134), metakognitif merupakan keterampilan siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berfikirnya. Siswa yang belajar memiliki keterampilan tertentu untuk mengatur dan mengontrol apa yang dipelajarinya.

Menurut Flavell (1979:907), metakognitif terdiri dari dua ranah, yaitu pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif. Menurutnya, “metacognitive knowledge consist primarily of knowledge or beliefs about what factors or variables act and interact in what ways to affect the course and outcome of cognitive enterprises.” Hal ini berarti bahwa pengetahuan metakognitif terdiri atas pengetahuan atau keyakinan tentang faktor-faktor atau variabel-variabel tindakan dan interaksi yang mempengaruhi proses dan hasil kegiatan kognitif.

Menurut Flavell (1979:907), pengetahuan metakognitif mencakup tiga kategori, yaitu individu, tugas, dan strategi. Pengetahuan metakognitif terhadap individu merupakan pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri seseorang, baik diri sendiri maupun orang lain. Pengetahuan metakognitif terhadap tugas merupakan pengetahuan tentang kapan menggunakan strategi belajar, berpikir, dan


(20)

pemecahan masalah pada kondisi dan konteks yang tepat. Pengetahuan metakognitif terhadap strategi mencakup pengetahuan tentang bagaimana menggunakan strategi, bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana menyelesaikan masalah

Hampir sama dengan pendapat tersebut, Bruning, Schraw, Norby, & Ronning (2004:81) menyebutkan bahwa pengetahuan metakognitif melibatkan tiga komponen, yaitu pengetahuan deklaratif, kondisional, dan prosedural. Pengetahuan deklaratif merupakan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja. Pengetahuan kondisional merupakan pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan suatu strategi. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang strategi kognitif.

Menurut Flavell (1979:908), pengetahuan metakognitif ini dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada usaha kognitif. Pengetahuan tersebut dapat mengarahkan seseorang untuk memilih, mengevaluasi, memperbaiki, dan menggantikan tugas, tujuan, serta strategi kognitif. Pengetahuan tersebut juga dapat mengarahkan seseorang pada pengalaman kognitif serta membantu untuk menafsirkan makna dan pengaruh dari pengalaman-pengalaman metakognitif.

Flavell (1979:906-908) menyatakan bahwa “metacognitive experience are any conscious cognitive or affective experience that accompany and pertain to any intellectual enterprise.” Hal ini berarti bahwa pengalaman metakognitif merupakan pengalaman kognitif atau afektif sadar yang menyertai dan berhubungan dengan setiap kegiatan intelektual. Pengalaman tersebut mengarahkan seseorang untuk menetapkan tujuan kognitif, memperbaiki atau menggantikannya. Pengalaman


(21)

tersebut juga akan mempengaruhi pengetahuan metakognitif dalam mengarahkan seseorang untuk menambahkan, menghapus, atau memperbaiki strategi. Selain itu, pengalaman metakognitif dapat mengaktifkan strategi yang ditujukan untuk tujuan kognitif maupun metakognitif.

Langer (Flavell, 1979:908) menyebutkan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pengalaman metakognitif. Diantaranya ialah pada situasi yang merangsang ketelitian, pemikiran dengan penuh kesadaran, pekerjaan atau tugas sekolah yang secara jelas menuntut pemikiran sadar, situasi baru yang memerlukan perencanaan terlebih dahulu, dan dalam kegiatan evalusi yang melibatkan keputusan dan tindakan beresiko.

Livingston (1997:909) menjelaskan bahwa pengalaman metakognitif melibatkan penggunaan strategi metakognitif atau regulasi metakognitif. Menurutnya, strategi metakognitif merupakan proses berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan tercapainya tujuan kognitif. Proses tersebut meliputi perencanaan untuk menyelesaikan tugas (planning), pemantauan pemahaman (comprehension monitoring), dan mengevaluasi penyelesaian tugas (evaluating). Menurutnya, untuk memastikan ketercapaian tujuan dan pemahaman tersebut, dapat digunakan pertanyaan yang diajukan pada diri sendiri (self-questioning).

Senada dengan pendapat di atas, Woolfolk (2009:36) menyebutkan bahwa terdapat tiga macam keterampilan esensial yang memungkinkan untuk melakukan metakognitif, yaitu sebagai berikut ini.


(22)

1) Merencanakan (planning), keterampilan ini melibatkan keputusan tentang berapa banyak waktu yang diperlukan untuk sebuah tugas, strategi mana yang akan digunakan, bagaimana memulainya, sumber daya apa yang akan digunakan, urutan apa yang akan diikuti, apa yang akan diberi perhatian lebih, dan sebagainya.

2) Memantau (monitoring), keterampilan ini merupakan kesadaran penuhtentang bagaimana seseorang bekerja.

3) Mengevaluasi (evaluating), keterampilan ini melibatkan penilaian tentang proses dan hasil berpikir.

Pendapat lain menyebutkan bahwa selain pemantauan (monitoring), strategi metakognitif juga melibatkan aktivitas kontrol (control). Monitoring merupakan proses-proses yang memungkinkan seseorang untuk mengamati, merefleksi, atau merasakan proses kognitifnya. Keputusan sadar dan tidak sadar yang dibuat berdasarkan hasil kegiatan pemantauan disebut sebagai kontrol metakognitif (metacognitive control). Proses kontrol ini sangat penting bagi pengembangan penerapan metakognitif. Jika proses kontrol ada dan mempengaruhi perilaku serta kognisi seseorang, hal tersebut memungkinkan seseorang untuk memperbaiki atau mengubah proses kognisi yang akan meningkatkan proses pembelajaran (Perfect & Schwartz, 2002:4-5).

b. Penerapan Strategi Metakognitif

Menurut Livingston (1997:907), meskipun kebanyakan individu telah melibatkan strategi metakognitif dalam kegiatan kognitifnya, tetapi terdapat perbedaan kemampuan dalam menerapkannya. Seseorang yang melakukan strategi


(23)

metakognitif yang lebih baik cenderung lebih sukses dalam kegiatan kognitifnya. Strategi ini dapat dibiasakan dalam pembelajaran agar menghasilkan regulasi diri yang lebih baik.

Menurut Veenman, Hout-Wolters, & Afflerbach (2006:9), terdapat tiga prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam menyukseskan pembelajaran metakognitif, yaitu: 1) melibatkan strategi metakognitif dalam konten materi untuk menemukan konektivitas; 2) menginformasikan kegunaan strategi metakognitif; dan 3) pelatihan yang lama dalam penerapan strategi metakognitif. Sementara itu, Shannon (2008:18) menyatakan bahwa guru dapat membantu mengembangkan keterampilan metakognitif dengan melibatkan refleksi selama proses pembelajaran.

Darling-Hammond, Austin, Cheung, dan Martin (2003:163-164) menyebutkan strategi metakognitif yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut ini.

1) Predicting outcomes, yaitu membantu siswa untuk memahami informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah.

2) Evaluating work, yaitu memeriksa pekerjaan untuk menentukan kelemahan dan kekuatannya.

3) Questioning by the teacher, yaitu guru bertanya pada siswa ketika bekerja, seperti apa yang kamu kerjakan sekarang?, mengapa kamu mengerjakan hal itu?, bagaimana hal tersebut dapat membantumu?, dan lain sebagainya.

4) Self-assessing, yaitu siswa merefleksikan pengetahuannya dan menentukan bagaimana mereka telah belajar sesuatu.


(24)

5) Self-questioning, yaitu siswa menggunakan pertanyaan untuk memeriksa pengetahuannya sendiri ketika belajar.

6) Selecting strategies, yaitu siswa memuskan strategi mana yang dapat membantunya menyelesaikan tugas yang diberikan.

7) Using directed or selective thinking, yaitu siswa memilih strategi secara sadar. 8) Using discourse, yaitu siswa mendiskusikan ide dengan siswa yang lain dan

juga dengan guru.

9) Critiquing, yaitu siswa memberikan umpan balik pada siswa lain tentang langkah konstruksi dalam pekerjaannya.

10)Revising, yaitu siswa mengulangi atau mengubah pekerjaannya setelah menerima umpan balik.

Hartman (2001:40) menyampaikan bahwa pengajaran metakognitif yang efektif memerlukan peran guru untuk mendiskusikan dan menjelaskan karakteristik berfikir berikut ini.

1) Mendiskusikan pentingnya pengetahuan dan regulasi metakognitif.

2) Menjelaskan keterampilan atau strategi yang dilibatkan dalam metakognitif. 3) Memberikan model dan contoh pada siswa dalam menerapkan strategi

metakognitif.

4) Menjelaskan kapan, mengapa, dan bagaimana menggunakan strategi, sekaligus menekankan keleluasaan dalam memilih strategi yang sesuai.

5) Membantu siswa mengenali proses implisit yang mereka gunakan

6) Melibatkan siswa dalam berbicara atau merefleksikan proses-proses implisit. 7) Memberikan umpan balik.


(25)

Di samping itu, Hartman (2001:40) juga menyebutkan empat hal yang dilakukan siswa dalam strategi metakognitif, yaitu 1) mengidentifikasi tugas yang diberikan; 2) menentukan pendekatan awal terhadap tugas; 3) memantau informasi yang tersedia menggunakan keterampilan manajemen informasi dan teknik pemahaman; dan 4) mengevaluasi pekerjaan, efisiensi, dan efektivitas cara yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas.

Israel, Block, Bauserman, & Welsch (2005:187) menambahkan penerapan strategi metakognitif dengan aktivitas menyuarakan pikiran (think aloud).Thinking aloud merupakan strategi yang digunakan untuk menyuarakan sebanyak mungkin tentang apa yang dipikirkan. Aktivitas ini digunakan sebagai alat untuk memantau pemahaman. Untuk memunculkannya, guru perlu memberikan model. Secara perlahan guru memfasilitasi siswa untuk berlatih secara individu maupun berkelompok. Menurutnya, aktivitas ini tidak harus terstruktur dengan baik.

Menurut Mevarech & Kramarski (2003:467-469), pembelajaran dengan strategi metakognitif yang dilakukan secara berkelompok mendukung konstruksi pengetahuan yang lebih baik. Menurutnya, melalui interaksi elaboratif dalam kelompok, siswa mampu menyadari proses pemecahan masalah dan menjawab serangkaian pertanyaan metakognitif (self question). Pertanyaan tersebut difokuskan pada: 1) pertanyaan pemahaman (comprehension questions); 2) pertanyaan strategis (strategic question); 3) pertanyaan yang membangun koneksi antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru (connection qustion); dan 3) pertanyaan refeksi (reflection question).


(26)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi metakognitif adalah penerapan pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi strategi yang digunakan dalam usaha untuk mencapai tujuan pembelajaran.

c. Strategi Metakognitif dalam Pemecahan Masalah

Bila dicermati, langkah-langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya mengarahkan pada kesadaran dan pengaturan diri terhadap proses yang dilakukan untuk memperoleh solusi yang tepat. Langkah-langkah pemecahan masalah tersebut dilaksanakan berdasarkan pada adanya pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional yang merupakan komponen dari metakognitif. Hal ini sesuai dengan pendapat Carr (2010:189) bahwa apa yang siswa ketahui tentang diri sebagai pembelajar dan tentang strategi yang digunakan dapat menjadi perantara proses pemantauan selama pemecahan masalah.

Menurut Davidson, Deuser, & Sternberg (1994:207-208), terdapat empat proses metakognitif yang berkontribusi penting dalam kegiatan pemecahan masalah, yaitu mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah, merepresentasikan masalah, merencanakan langkah selanjutnya, dan mengevaluasi langkah-langkah yang telah dilakukan. Menurutnya, kesuksesan penerapan metakognitif ini tergantung karakteristik masalah, pemecah masalah, dan konteks masalahnya. Hampir sama dengan pendapat tersebut, kerangka metakognitif yang dikembangkan oleh garofalo & Lester (Carr, 2010:188) ialah melibatkan siswa dalam menilai tugas dan tingkat kesulitannya, mengidentifikasi tujuan, memantau


(27)

kemajuan pemecahan masalah, serta mengevaluasi hasil dan proses penyelesaian masalah.

5. Pembelajaran Konvensional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:730), konvensional artinya berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum, seperti adat, kebiasaan, kelaziman. Oleh karena itu pembelajaran konvensional dapat diartikan sebagai pembelajaran yang berlaku secara umum. Pembelajaran yang dilakukan secara umum ialah menggunakan metode ekspositori.

Menurut Erman Suherman, dkk. (2003:203), sama seperti metode ceramah, kegiatan pembelajaran dalam metode ekspositori terpusat pada guru. Namun, pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang. Guru berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi, dan contoh soal. Guru berbicara pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Siswa belajar lebih aktif daripada dalam metode ceramah. Siswa mengerjakan latihan soal sendiri, siswa juga saling bertanya dan mengerjakan bersama dengan temannya, atau menyampaikannya di papan tulis.

Ali Hamzah & Muhlisrarini (2014:237) menyatakan bahwa pada mulanya metode ekspositori dikenal sebagai metode pembelajaran yang berpusat pada guru. Siswa kurang terlibat dalam interaksi pembelajaran. Kemudian metode ekspositori berkembang. Dominasi guru berkurang sehingga siswa menjadi lebih aktif. Metode ekspositori adalah metode terpadu yang terdiri atas metode informasi, metode demonstrasi, metode tanya jawab, metode latihan, dan pada akhir pelajaran diberikan tugas.


(28)

Menurut Rusmono (2012:69-70), prosedur dalam metode ekspositori terdiri atas tiga tahapan, yaitu sebagai berikut ini.

1) Kegiatan pendahuluan, tahap ini mencakup kegiatan memotivasi dan menarik perhatian siswa, menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi pelajaran yang akan dipelajari, memberikan apersepsi untuk mengetahui seberapa jauh materi yang telah dipelajari sebelumnya, serta mengecek kesiapan dalam mempelajari materi baru.

2) Kegiatan inti atau penyajian isi pelajaran, tahap ini meliputi menjelaskan isi pelajaran dengan alat bantu pembelajaran, pemberian contoh-contoh sehubungan dengan materi pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa untuk mengetahui pemahaman siswa, pemberian latihan kepada siswa agar mampu mengusai isi atau materi pelajaran lebih mendalam.

3) Kegiatan penutup, pada tahap ini guru bersama siswa membuat ringkasan materi yang disampaikan atau mengulang pelajaran yang belum jelas dan siswa juga diberikan tindak lanjut berupa pekerjaan rumah.

Ali Hamzah & Muhlisrarini (2014: 237-238) menyebutkan bahwa metode ekspositori ini memiliki keunggulan dalam membelajarkan konsep (operasional, prosedural, fakta, dan keterampilan). Menurutnya, kelemahan pembelajaran ekspositori ialah kecenderungan guru yang mendominasi dalam proses pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa segan mengemukakan pendapat atau bertanya. Siswa juga tidak percaya diri ketika diminta guru menyelesaikan soal di papan tulis.


(29)

Hamruni (2012:85) menyebutkan bahwa pembelajaran ekspositori memiliki keunggulan dalam memudahkan guru untuk mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran sehingga guru dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan. Selain itu, pembelajaran ekspositori juga dianggap efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas. Strategi pembelajaran ini juga cocok digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.

Menurut Hamruni (2012:86), strategi pembelajaran ekspositori memiliki kelemahan dalam melayani perbedaan setiap individu, baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat, bakat, maupun gaya belajar. Strategi ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. Dalam pembelajaran ini, kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa juga sangat terbatas. Pola komunikasi satu arah yang lebih sering dilakukan dalam pembelajaran ini mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh guru. Keberhasilan pembelajaran ini sangat tergantung pada persiapan dan kemampuan guru.

Pembelajaran matematika di kelas VII SMP Negeri 3 Sleman ialah menggunakan metode ekspositori tersebut. Guru menyampaikan materi pelajaran, contoh soal dan penyelesaiannya, kemudian siswa mengerjakan latihan soal. Setelah itu, beberapa siswa menuliskan jawaban di papan tulis. Oleh karena itu, pembelajaran konvensional yang digunakan pada penelitian ini adalah pembelajaran ekspositori.


(30)

Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam pembelajaran konvensional pada penelitian ini.

1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. 2) Guru memberikan motivasi dan apersepsi.

3) Guru menyampaikan materi dengan metode ceramah.

4) Guru memberikan contoh soal di papan tulis secara interaktif. 5) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya.

6) Siswa mengerjakan soal yang diberikan guru. Sementara itu, guru berkeliling memeriksa pekerjaan siswa.

7) Beberapa siswa mengerjakan soal di papan tulis.

8) Guru bersama-sama siswa membuat kesimpulan/rangkuman.

6. Efektivitas Pembelajaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:352), efektivitas berasal dari kata efektif, yang berarti ada pengaruhnya atau dapat membawa hasil, sedangkan efektivitas atau keefektifan berarti keadaan berpengaruh atau keberhasilan. Menurut Abdul Majid (2013:217), baik tidaknya suatu strategi pembelajaran bisa dilihat dari efektif tidaknya strategi tersebut dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan demikian, pertimbangan pertama penggunaan strategi pembelajaran adalah apa tujuan yang harus dicapai.

Nana Sudjana (2010:35) menyatakan bahwa suatu pembelajaran yang efektif dapat ditinjau dari segi hasilnya. Pengajaran harus menekankan pada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pendapat lain


(31)

mendefinisikan bahwa pembelajaran yang efektif ialah pembelajaran yang dapat membawa belajar siswa yang efektif pula (Slameto, 2010:92).

Pembelajaran matematika yang efektif memerlukan pemahaman tentang apa yang diketahui dan diperlukan siswa, serta menantang dan mendorong siswa untuk mempelajarinya dengan baik. Untuk menciptakan pembelajaran yang efektif, guru harus mengetahui dan memahami secara mendalam materi yang akan diajarkan dan strategi pembelajaran yang akan diterapkan. Pembelajaran yang efektif memerlukan refleksi dan usaha terus-menerus untuk mencapai kemajuan. Guru harus memiliki banyak peluang dan sumber untuk meningkatkan dan membangkitkan pengetahuannya (NCTM, 2000:16-17).

Menurut Trianto (2013:22), efektivitas pembelajaran dapat diketahui dengan menggunakan tes, karena hasil tes dapat dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses pengajaran. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dapat dikatakan efektif jika pembelajaran dapat membatu siswa belajar dengan baik dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Untuk mengevaluasi tercapai tidaknya tujuan pembelajaran dapat digunakan tes.

Tujuan pembelajaran dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Oleh karena itu, digunakan tes kemampuan pemecahan masalah matematika untuk mengetahui efektivitas pembelajaran yang digunakan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan efektivitas pembelajaran matematika pada penelitian ini adalah sebagai berikut ini.


(32)

a. Apabila tidak terdapat perbedaan kemampuan awal antara siswa yang diberi perlakuan strategi metakognitif dengan pembelajaran konvensional, maka strategi metakognitif dikatakan efektif jika rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas yang mendapatkan perlakuan strategi metakognitif lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan nilai KKM, yaitu 75. Namun, apabila terdapat perbedaan kemampuan awal antara siswa yang diberi perlakuan strategi metakognitif dengan pembelajaran konvensional, maka strategi metakognitif dikatakan efektif jika rata-rata skor gain siswa yang mendapatkan perlakuan strategi metakognitif lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan skor gain yang ditentukan.

b. Apabila tidak terdapat perbedaan kemampuan awal antara siswa yang diberi perlakuan strategi metakognitif dengan pembelajaran konvensional, maka pembelajaran konvensional dikatakan efektif jika rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas yang mendapatkan perlakuan pembelajaran konvensional lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan nilai KKM, yaitu 75. Namun, apabila terdapat perbedaan kemampuan awal antara siswa yang diberi perlakuan strategi metakognitif dengan pembelajaran konvensional, maka pembelajaran konvensional dikatakan efektif jika rata-rata skor gain siswa yang mendapatkan perlakuan pembelajaran konvensional lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan skor gain yang ditentukan.

c. Apabila tidak terdapat perbedaan kemampuan awal antara siswa yang diberi perlakuan strategi metakognitif dengan pembelajaran konvensional, maka


(33)

strategi metakognitif dikatakan lebih efektif dibanding pembelajaran konvensional jika rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas yang mendapatkan perlakuan strategi metakognitif lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata nilai kelas yang mendapatkan perlakuan pembelajaran konvensional. Namun, apabila terdapat perbedaan kemampuan awal antara siswa yang diberi perlakuan strategi metakognitif dengan pembelajaran konvensional, maka strategi metakognitif dikatakan lebih efektif dibanding pembelajaran konvensional dikatakan efektif jika rata-rata skor gain kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan dari rata-rata skor gain kelas kontrol.

B. Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti. Penelitian yang telah dilakukan oleh Emi Sugiartini, Setuti, & Citra Wibawa (2013) bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika yang signifikan antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran metakognitif dan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Penelitian dilakukan pada siswa kelas V SD di Gugus III Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2012/2013. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa pembelajaran metakognitif berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas V di Gugus III Kecamatan Tejakula. Selain itu, diperoleh kesimpulan bahwa kelompok siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran metakognitif lebih baik dibandingkan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional.


(34)

Penelitian selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Özsoya dan

Ataman (2009) pada siswa kelas V. Berdasarkan penelitian, “the results indicated that students in the metacognitive treatment group significantly improved in both mathematical problem solving achievement and metacognitive skills.” Artinya hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan keterampilan metakognitif siswa pada kelompok yang diberi perlakuan metakognitif meningkat secara signifikan.

Penelitian selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Ibe (2009) di kelas IPA sekolah menengah atas. Penelitian ini menggunakan tiga kelompok, yaitu dua kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Kelompok eksperimen yang pertama menggunakan strategi Think-Pair-Share (TPS), sedangkan kelompok eksperimen yang kedua menggunakan Metacognitive Question (MQ). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa “metacognitive strategies were most effective in enhancing academic achievement followed by the TPS.” Hal ini berarti strategi metakognitif yang paling efektif diantara strategi yang lain dan diikuti TPS.

Penelitian yang selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh Indrawan (2013) terhadap siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Kota Solok. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperoleh tiga kesimpulan: 1) strategi metakognitif lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa; 2) peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan kelas kontrol; dan 3) kemampuan penalaran matematis siswa pada pembelajaran menggunakan strategi metakognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.


(35)

C. Kerangka Berpikir

Pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting dalam kehidupan. Kemampuan pemecahan masalah matematika dapat membantu siswa menganalisis dan menerapkan pemecahan masalah pada situasi yang beragam. Kemampuan tersebut juga dapat membantu siswa dalam belajar fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip-prinsip matematika. Dengan mempelajari pemecahan masalah matematika, siswa memperoleh cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan, serta kepercayaan diri di dalam berbagai situasi yang akan dihadapi di luar pembelajaran matematika.

Kemampuan pemecahan masalah matematika meliputi memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan menginterpretasikan jawaban ke masalah semula. Namun, dalam kegiatan pemecahan masalah, kebanyakan siswa cenderung mengedepankan hasil tanpa memperhatikan proses. Selain itu, siswa kurang memaknai aktivitas pemecahan masalahnya, mereka cenderung bekerja sesuai dengan contoh yang diberikan oleh guru. Ketika siswa diberikan latihan soal yang berbeda, mereka akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika dengan baik maka diperlukan pemilihan strategi pembelajaran yang tepat. Strategi pembelajaran yang dipilih harus mampu memfasilitasi kebutuhan siswa dan dapat mencapai tujuan pembelajaran matematika. Berdasarkan kajian teori dan hasil penelitian yang relevan, strategi metakognitif sesuai untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika.


(36)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa strategi metakognitif memain peranan yang sangat penting dalam kesuksesan belajar siswa. Siswa yang diberi kesempatan dan latihan untuk menerapkan strategi metakognitif dapat menjadi pemecah masalah yang baik. Strategi ini membiasakan siswa untuk mengontrol proses belajarnya, mulai dari aktivitas perencanaan (planning), pemantauan (monitoring), hingga evaluasi (evaluating) pada setiap kegiatan belajarnya. Dalam strategi ini, siswa juga dibiasakan untuk mengontrol proses kognitifnya dengan menggunakan self-question dan juga think aloud. Dengan strategi tersebut siswa memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi proses berpikirnya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, termasuk juga dalam proses pemecahan masalah. Melalui strategi pembelajaran yang seperti ini kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat meningkat dengan baik. Oleh karena itu, penggunaan strategi metakognitif dalam pembelajaran matematika efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut ini.

1. Strategi metakognitif efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.

2. Pembelajaran konvensional efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.


(37)

3. Strategi metakognitif lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.


(38)

38

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu ( quasi-eksperimental). Jenis penelitian ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas strategi metakognitif yang diterapkan dalam pembelajaran matematika dan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Efektivitas tersebut ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Sleman yang beralamat di Jalan Magelang Km.10 Tridadi, Sleman, Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan di kelas VII B dan VII E pada tahun pelajaran 2014/2015 semester genap, yaitu 16 Maret - 25 April 2015. Jadwal pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada lampiran A halaman 107.

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman. Populasi terdiri dari enam kelas, yaitu kelas VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, dan VII F. Masing-masing kelas terdiri dari 32 siswa.


(39)

2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara acak. Hal ini dilakukan karena pembagian kelas di SMP Negeri 3 Sleman dilakukan secara merata, tidak berdasarkan peringkat. Selain itu, siswa mendapatkan materi berdasarkan kurikulum yang sama, diampu oleh guru yang sama, dan pada tingkatan yang sama. Dari enam kelas diambil dua kelas secara acak sebagai sampel penelitian. Dari pengambilan sampel tersebut, terpilih kelas VII B dan VII E. Kemudian dari dua kelas tersebut diacak lagi untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas VII B sebagai kelas eksperimen dan kelas VII E sebagai kelas kontrol.

D. Variabel Penelitian

Variabel merupakan obyek penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol.

1. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran yang digunakan terdiri dari dua macam, yaitu strategi metakognitif yang diterapkan pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional yang diterapkan pada kelas kontrol.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman.


(40)

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol merupakan variabel yang dibuat konstan agar tidak mempengaruhi variabel utama yang diteliti. Variabel kontrol dalam penelitian ini terdiri dari guru, materi pelajaran, dan banyaknya pertemuan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pengontrolan guru dilakukan dengan cara menugaskan guru yang sama untuk mengajar kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu peneliti. Materi pelajaran dikontrol dengan cara memberikan materi pelajaran yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu segitiga dan segi empat. Selain itu, latihan soal dan tes yang diberikan di kedua kelas juga dibuat sama. Pembelajaran dilaksanaan dengan alokasi waktu yang sama.

E. Definisi Operasional Variabel

Untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah pada penelitian, perlu diuraikan definisi operasional sebagai berikut.

1. Strategi Metakognitif

Pembelajaran dengan strategi metakognitif pada penelitian ini didefinisikan sebagai penerapan pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi strategi yang digunakan dalam usaha pemecahan masalah dan mencapai tujuan pembelajaran. Secara lebih rinci, pembelajaran dengan strategi metakognitif dilaksanakan melalui langkah-langkah berikut ini.

a. Kegiatan Pendahuluan

Pada kegiatan pendahuluan, guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan motivasi serta mempersiapkan siswa baik secara fisik maupun psikis. Kemudian dibentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan empat siswa.


(41)

Dalam kegiatan pendahuluan ini siswa dilibatkan dalam melakukan perencanaan (planning) pembelajaran, yaitu dengan memperkirakan waktu, alat dan bahan, dan juga pengetahuan awal apa saja yang diperlukan dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan.

b. Kegiatan Inti

Pada kegiatan inti, siswa berdiskusi kelompok untuk menyelesaikan kegiatan yang disajikan di Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Setelah siswa melakukan diskusi, beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. Siswa diarahkan untuk selalu melakukan pemantauan (monitoring) dan kontrol terhadap aktivitasnya. Siswa dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan (self question) pada diri sendiri dan juga menyuarakan pikirannya (think aloud) dalam diskusi kelompok maupun dalam presentasi untuk membantu proses monitoring

c. Kegiatan Penutup

Pada kegiatan penutup, guru bersama siswa menyimpulkan materi yang baru saja dipelajari. Kemudian siswa diberikan kuis yang dikerjakan secara individu untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran pada setiap pertemuan. Setelah itu guru dan siswa melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam kegiatan penutup ini siswa juga melakukan evaluasi (evaluation) terhadap diri sendiri secara tertulis. Siswa menuliskan apa saja materi yang baru saja ia pelajari, bagian mana yang belum ia pahami, apa saja hambatan yang dialami, upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, dan lain sebagainya. Selanjutnya, guru menyampaikan informasi tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya.


(42)

2. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah pembelajaran ekspositori. Materi pembelajaran dan contoh soal disampaikan secara runtut oleh guru, kemudian siswa mengerjakan latihan soal. Setelah itu, beberapa siswa menuliskan jawabannya di papan tulis. Secara lebih rinci, pembelajaran konvensional dilaksanakan melalui langkah-langkah berikut ini.

a. Kegiatan Pendahuluan

Pada kegiatan pendahuluan, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan motivasi serta mempersiapkan siswa baik secara fisik maupun psikis. Kemudian guru melakukan apersepsi dengan mengingatkan siswa pada materi prasyarat yang diperlukan dalam pembelajaran. Apersepsi ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan pada siswa.

b. Kegiatan Inti

Pada kegiatan inti, guru menjelaskan materi dan contoh soal lengkap dengan cara penyelesaiannya. Kemudian siswa mengerjakan latihan soal. Setelah siswa selesai mengerjakan latihan soal, beberapa siswa menuliskan jawabannya di papan tulis. Guru bersama siswa membahas jawaban latihan soal yang telah dikerjakan.

c. Kegiatan Penutup

Pada kegiatan penutup, guru bersama siswa membuat kesimpulan tentang materi yang baru saja dipelajari. Selanjutnya, untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran pada setiap pertemuan, siswa diberikan kuis. Guru bersama siswa juga melakukan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Pada akhir pembelajaran, guru menyampaikan informasi tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya.


(43)

3. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan suatu kemampuan untuk memformulasikan sejumlah aturan matematika yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah matematika yang diberikan. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan menginterpretasikan jawaban ke masalah semula. Indikator dari setiap aspek tersebut disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika No. Aspek yang diukur Indikator

1 Memahami masalah 1.1Siswa dapat menuliskan informasi yang diketahui pada soal.

1.2Siswa dapat menuliskan masalah yang perlu diselesaikan.

1.3Siswa dapat membuat sketsa atau gambar untuk menggambarkan situasi soal jika diperlukan.

2 Merencanakan penyelesaian masalah

2.1. Siswa dapat merepresentasikan informasi yang terdapat pada soal ke dalam notasi matematika.

2.2. Siswa dapat menyusun langkah-langkah atau strategi yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah.

3 Menyelesaikan masalah sesuai rencana.

3.1. Siswa dapat menyelesaikan masalah dengan rumus atau langkah-langkah yang sesuai dengan rencana penyelesaian.

3.2. Siswa dapat mensubstitusikan data yang diperoleh ke dalam langkah-langkah perhitungan yang diperoleh dari langkah sebelumnya.

3.3. Siswa dapat melakukan perhitungan sesuai rencana penyelesaian dengan benar.

4 Menginterpretasikan jawaban ke masalah semula.

4.1. Siswa dapat menjelaskan hasil yang diperoleh dari perhitungan ke permasalahan semula dengan kalimat dan besaran yang benar.


(44)

Untuk mengevaluasi hasil kemampuan pemecahan masalah matematika, disusun rubrik penskoran tes yang disesuaikan dengan indikator pencapaian kemampuan pemecahan masalah. Rubrik penskoran tes yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat selengkapnya pada lampiran C.6 halaman 309.

F. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest posttest control group design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara acak. Kedua kelompok diberi pretes untuk mengetahui keadaan awal, yaitu apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika antara kedua kelompok sebelum diberi perlakuan. Setelah diberi perlakuan, kedua kelompok diberi postes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika. Desain penelitian yang dilaksanakan diilustrasikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 2. Desain Penelitian

Group Pretes Treatment Postes

E A

K B

Keterangan:

E = kelas eksperimen K = kelas kontrol

� = preteskelas eksperimen � = preteskelas kontrol

A = pembelajaran dengan strategi metakognitif B = pembelajaran konvensional

� = postes kelas eksperimen � = postes kelas kontrol


(45)

G. Perangkat Pembelajaran

Untuk memperlancar proses pembelajaran, perlu disusun perangkat pembelajaran. Berikut ini diuraikan perangkat pembelajaran yang digunakan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

1. Perangkat Pembelajaran Kelas Eksperimen

Perangkat pembelajaran yang digunakan di kelas eksperimen terdiri atas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kegiatan siswa (LKS). Penyusunan perangkat pembelajaran tersebut disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada silabus matematika SMP kelas VII tentang materi segitiga dan segi empat. Sebelum digunakan untuk penelitian, perangkat pembelajaran dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan divalidasi oleh dosen ahli, kemudian direvisi sesuai dengan saran.

Langkah-langkah dalam RPP kelas eksperimen memuat strategi metakognitif, yaitu kegiatan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut dilengkapi dengan Kegiatan-kegiatan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri (self-questioning) dan menyuarakan pikiran (think aloud) yang dimodelkan oleh guru. RPP yang disusun untuk pertemuan-pertemuan awal memberikan pedoman bagi guru untuk lebih banyak memberikan model kepada siswa, sedangkan pada pertemuan-pertemuan selanjutnya model yang dilakukan oleh guru dapat dikurangi. Pada setiap RPP juga terdapat petunjuk bagi guru untuk selalu menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi, dan menekankan pentingnya penggunaan strategi metakognitif kepada siswa. RPP kelas eksprimen dapat dilihat pada lampiran B.1 halaman 108.


(46)

Pada setiap pertemuan, pembelajaran dilaksanakan dengan media LKS. LKS disusun untuk membantu siswa kelas eksperimen dalam menerapkan strategi metakognitif. LKS yang disusun memuat strategi metakognitif. Pada bagian awal, LKS menyajikan petunjuk penggunaan LKS dan indikator pencapaian tujuan pembelajaran. Pada bagian selanjutnya, LKS memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan perencanaan. Siswa diminta untuk melakukan prediksi terhadap waktu, alat dan bahan yang diperlukan dalam pembelajaran, keterkaitan materi yang akan dipelajari dengan materi yang telah dimiliki, dan pengetahuan awal apa saja yang diperlukan dalam pembelajaran. Pada bagian selanjutnya, LKS menyajikan kegiatan-kegiatan yang harus diselesaikan siswa. Pada setiap kegiatan tersebut terdapat perintah untuk memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilakukan dan melakukan perbaikan jika terdapat kesalahan. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan siswa dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pada setiap aktivitasnya. Pada bagian terakhir, LKS memfasilitasi siswa untuk melakukan evaluasi secara tertulis terhadap proses dan hasil belajarnya. Pada bagian ini disajikan beberapa pertanyaan yang dapat membantu siswa dalam melakukan penilaian. Siswa juga dapat menambahkan catatan lain yang berkaitan dengan evaluasi pada bagian ini. LKS dapat dilihat pada lambiran B.3 halaman 229.

2. Perangkat Pembelajaran Kelas Kontrol

Perangkat pembelajaran yang digunakan di kelas kontrol berupa RPP. Penyusunan RPP disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar pada silabus matematika SMP kelas VII tentang materi segitiga dan segi empat. Sebelum digunakan untuk penelitian, RPP dikonsultasikan pada dosen pembimbing


(47)

dan guru mata pelajaran, RPP juga divalidasi dan direvisi sesuai saran. RPP untuk kelas kontrol terdiri atas langkah-langkah kegiatan pembelajaran konvensional. RPP memberikan pedoman bagi guru dalam menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan apersepsi, menyampaikan materi, memberikan contoh soal dan penyelesaiannya, memberikan kesempatan pada siswa untuk mengajukan pertanyaan, mengerjakan soal latihan dan menuliskannya di papan tulis, serta membuat kesimpulan. RPP untuk kelas kontrol dapat dilihat pada lampiran B.2 halaman 169. Sementara itu, LKS tidak disusun untuk kegiatan pembelajaran di kelas kontrol. Hal ini dikarenakan pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan oleh guru juga tidak menggunakan LKS.

H. Instrumen Penelitian

Sebagai bahan untuk mengumpulkan data, diperlukan instrumen penelitian. Penelitian ini menggunakan dua macam instrumen, yaitu lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran dan tes kemampuan pemecahan masalah matematika.

1. Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran

Lembar observasi digunakan untuk mengamati keterlaksanaan pembelajaran. Pada penelitian ini disusun dua macam lembar observasi, yaitu lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran untuk kelas eksperimen yang menggunakan strategi metakognitif dan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran untuk kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Lembar observasi disusun sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Lembar observasi disajikan dalam kalimat-kalimat deskriptif berupa checklist dengan pilihan jawaban "ya" dan "tidak".


(48)

Selain lembar observasi, peneliti juga menyiapkan lembar catatan lapangan untuk mencatat hal-hal tambahan yang tidak termuat dalam lembar observasi, seperti suasana kelas, pola interaksi antara guru dengan siswa, interaksi antar siswa, dan sebagainya. Lembar catatan lapangan ini berupa catatan biasa yang dibuat seperlunya oleh peneliti. Catatan lapangan dapat digunakan sebagai data tambahan untuk memperkuat data pada lembar observasi. Selain itu, hasil catatan lapangan juga digunakan sebagai bahan evaluasi untuk melakukan perbaikan bagi peneliti dalam melaksanakan pembelajaran pada pertemuan selanjutnya

2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Tes kemampuan pemecahan masalah matematika digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Terdapat dua jenis tes yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pretesdan postes. Pretesdilakukan sebelum pelaksanaan pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Postes dilakukan di akhir pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika siswa setelah mengikuti pembelajaran.

Instrumen pretes dan postes pada penelitian ini berupa soal uraian. Soal terdiri atas 5 butir dengan masing-masing butir memiliki rentang skor 0-12. Soal yang digunakan dalam pretes dan postes dibuat setipe dengan tingkat kesulitan yang sama. Dalam penyusunan tes ini terlebih dahulu dilakukan pengkajian terhadap teori tentang kemampuan pemecahan masalah matematika, penyusunan indikator kemampuan pemecahan masalah matematika, dan penyusunan kisi-kisi soal tes. Setelah itu dilakukan penyusunan butir-butir soal dan pedoman penskoran tes.


(49)

Intrumen yang telah disusun dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan divalidasi oleh dosen ahli. Kisi-kisi dan instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematika dapat dilihat pada lampiran C halaman 292.

I.

Validitas

Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen penelitian diuji validitasnya. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Jika instrumen dikatakan tidak valid, maka instrumen akan diperbaiki hingga instrumen tersebut dapat dikatakan valid.

Dalam penelitian ini, untuk menguji validitas instrumen lembar observasi dan tes kemampuan pemecahan masalah digunakan validitas isi. Validitas isi merupakan pengujian validitas yang dilakukan atas dasar isi untuk memastikan bahwa butir tes dapat mengukur secara tepat keadaan yang ingin diukur. Dalam penelitian ini, untuk melakukan validitas isi, instrumen dikonsultasikan kepada ahli yang terdiri dari dosen pembimbing dan dua dosen ahli.

J.

Reliabilitas

Reliabilitas digunakan untuk memastikan bahwa instrumen yang digunakan reliabel. Reliabilitas merujuk pada pengertian bahwa instrumen dapat dipercaya karena instrumen akan memberikan data yang sama meski dilakukan berulang kali. Untuk mencari reliabilitas instrumen tes bentuk soal uraian digunakan rumus Chronbach Alpha. Menurut Suharsimi Arikunto (2013:239), rumus Chronbach Alpha ialah sebagai berikut ini.

=� −� −∑ ��


(50)

Keterangan:

r = koefisien reliabilitas instrumen

n = banyaknya butir soal

∑ σi = jumlah varians skor tiap butir soal

σt = varians total

Manurut Suharsimi Arikunto (2010:90), kriteria reliabilitas instrumen ditentukan sebagai berikut ini.

Tabel 3. Kriteria Reliabilitas Instrumen

Instrumen akan digunakan pada penelitian ini jika instrumen memiliki kriteria tinggi atau sangat tinggi.

K. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui efektifitas pembelajaran dengan strategi metakognitif dan pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika perlu dilakukan analisis data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif, pengujian asumsi analisis, dan pengujian hipotesis.

Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Untuk membuat kesimpulan yang berlaku secara umum, dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji hipotesis. Namun, sebelumnya dilakukan uji asumsi analisis terhadap pretes dan postes kelas eksperimen dan kelas kontrol serta uji perbedaan

Koefisien Reliabilitas Kriteria

> , Sangat tinggi

, < , Tinggi

, < , Cukup

, < , Rendah


(51)

kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji perbedaan kemampuan awal tersebut dilakukan dengan menggunakan rata-rata nilai pretes kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hasil uji perbedaan rata-rata tersebut akan menentukan uji hipotesis yang digunakan, yaitu sebagai berikut ini.

1. Jika dari hasil uji perbedaan rata-rata nilai pretes tersebut diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan nilai postes dari kedua kelas. Uji efektivitas masing-masing pembelajaran dilakukan dengan cara membandingkan nilai postes dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sedangkan untuk mengetahui pembelajaran yang lebih efektif digunakan uji perbedaan rata-rata nilai postes.

2. Jika dari hasil uji perbedaan rata-rata nilai pretes diperoleh bahwa terdapat perbedaan kemampuan awal kelas ekperimen dan kelas kontrol, maka uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan nilai pretes dan postes kedua kelas. Untuk menguji efektivitas masing-masing pembelajaran dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata skor gain dengan skor gain yang ditentukan, sedangkan untuk mengetahui pembelajaran yang lebih efektif digunakan uji perbedaan rata-rata skor gain kedua kelas.

Berikut ini dijelaskan langkah-langkah analisis deskriptif, pengujian asumsi analisis, dan pengujian hipotesis yang dilakukan.

1. Analisis Deskriptif

Data yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah data hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran dan kemampuan pemecahan masalah matematika


(1)

Keterangan:

�̅�� = rata-rata skor gain kelas kontrol �� = banyaknya siswa kelas kontrol

�� = variansi skor gain kelas kontrol � = skor yang dihipotesiskan, yaitu 0,69 dengan derajat bebas � = � − dan � = , . Kriteria keputusan, ditolak jika > � .

3) Pengujian Hipotesis untuk Menjawab Rumusan Masalah 3

Apabila dari pengujian hipotesis untuk menjawab rumusan masalah 1 dan 2 diperoleh bahwa salah satu dari strategi metakognitif atau pembelajaran konvensional tidak efektif digunakan dalam pembelajaran matematika apabila ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP N 3 Sleman, maka pengujian hipotesis yang ketiga tidak dilakukan. Namun, jika dari pengujian hipotesis untuk menjawab rumusan masalah 1 dan 2 diperoleh bahwa strategi metakognitif maupun pembelajaran konvensional sama-sama efektif atau sama-sama tidak efektif digunakan dalam pembelajaran matematika apabila ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP N 3 Sleman.

Hipotesis yang ketiga ialah pembelajaran dengan strategi metakognitif lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika apabila ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP N 3 Sleman. Kriteria efektif pada pengujian hipotesis rumusan masalah 3 yaitu jika rata-rata skor gain siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari rata-rata skor gain kelas kontrol.


(2)

62 Rumusan hipotesis yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah 3 adalah sebagai berikut ini.

H : ��� ��� (pembelajaran dengan strategi metakognitif tidak lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional)

� : ��� > ��� (pembelajaran dengan strategi metakognitif lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional)

Uraiannya adalah sebagai berikut.

a) Apabila hasil uji homogenitas menyatakan bahwa data skor gain siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai variansi yang sama, menurut Walpole (1992:305) digunakan statistik uji berikut.

= �̅��−�̅��

��+

��

dengan � = �+ � dan = √ �− �� + �− ��

�+ �− (3. 13)Rumus Uji t untu k Uji Hipotesis 3 J ika Data Homogen

b) Apabila hasil uji homogenitas menyatakan bahwa data skor gain siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai variansi yang berbeda, menurut Walpole (1992:305) digunakan statistik uji berikut.

= �̅��−�̅��

√���

�� +�����

dengan � = ���

�� +����� ���

�� ��− +

��� �� ��−

(3. 14)Rumus Uji t untu k Uji Hipotesis 3 J ika Data Tida k Homogen

Keterangan:

�̅��= rata-rata skor gain kelas eksperimen �̅��= rata-rata skor gain kelas kontrol �� = banyaknya siswa kelas eksperimen

�� = banyaknya siswa kelas kontrol �� = variansi skor gain kelas eksperimen

�� = variansi skor gain kelas kontrol = simpangan baku gabungan


(3)

103

Abdul Majid. (2013). Strategi pembelajaran. Bandung: PT Rosdakarya.

Ali Hamzah & Muhlisrarini. (2014). Perencanaan dan strategi pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali Pers.

Bell, F. H. (1981). Teaching and learning mathematics (in secondary schools). Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers.

Bruning, R. H., Schraw, G. J., Norby, M. M., & Ronning, R. R. (2004). Cognitive psycology and instruction (4th ed). Upper Saddle River, NJ: Pearson Merrill Prentice Hall.

Carr, M. (2010). The importance of metacognition for conceptual change and strategy use in mathematics. Dalam Waters, H. S. & Schneider, W. (Eds.), Metacognitive, strategy use, & instruction (pp. 176-197). New York, NY: Guilford Press.

Chambers, P. (2010). Teaching mathematics: Developing as a reflective secondary teacher. London: SAGE Publications, Inc.

Darling-Hammond, L., Austin, K., Cheung, M., & Martin, D. (2008). Thinking about thinking: Metacognition (session 9). Stanford University School of Education. Diakses dari http://www.learner.org/resources/series172.html pada tanggal 26 Juni 2015.

Davidson, J. E., Deuser, R., & Sternberg, R. J. (1994). The role of metacognition in problem solving. Dalam Metcalfe, J. & Shimamura, A. P. (Eds.), Metacognition: Knowing about knowing (pp. 207-226). London: MIT Press. Depdikbud. (1995). Kamus besar Bahasa Indonesia (edisi kedua). Jakarta: Balai

Pustaka.

Depdiknas. (2006). Standar nasional pendidikan dan panduan KTSP. Jakarta: BSNP.

Emi Sugiartini, Setuti, & Citra Wibawa. (2013). Pengaruh model pembelajaran metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas V SD di Gugus III Kecamatan Tejakula. E-journal MIMBAR PGSD Undiksha, vol. 1, pp. 1-10. Diakses dari http://ejournal.undiksha.ac.id/ index.php/JJPGSD/article/view/ 729 pada tanggal 7 April 2014.

Erman Suherman, Turmudi, Didi Suryadi, Tatang Herman, Suhendra, & Sufyani Prabawanto, dkk. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA.


(4)

104 Flavell, J. H., (1979). Metacognition and cognitive monitoring: A new area of cognitive-developmental inquiry. American Psychologist, vol. 34, pp. 906-911.

Gagne, R. M., Briggs, L. J., & Warge, W. W. (1992). Principle of instructional design (4th ed). Fort Worth, TX: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Hake, R. R. (1999). Analyzing change/gain scores. Indiana University Woodland Hills. Diakses dari http://www.physics.indiana.edu/~sdi/Analyzing Change-Gain.pdf pada tanggal 5 Juni 2015.

Hamruni. (2012). Strategi pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani.

Hamzah B. Uno. (2012). Model pembelajaran: Menciptakan proses belajar mengajar yang kreatif dan efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hartman, H. J. (2001). Metacognition in learning and instruction: Theory, research and practice. Boston, NY: Kluwer Academic Publishers.

Ibe, H. N. (2009). Metacognitive strategies on classroom participation and student achievement in senior secondary school science classrooms. Science Educational International, vol. 20 (½), pp. 25-31.

Indrawan. (2013). Efektifitas penerapan strategi metakognitif terhadap kemampuan penalaran matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Kota Solok. Artikel Jurnal Skripsi Universitas Bung Hatta, vol. 2 (1), pp. 1-7.

Israel, S. E., Block, C. C., Bauserman, K. L., & Welsch, K. K. (2005). Metacognition in literacy learning: theory, assessment, instruction, and professional development. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Larkin, S. (2010). Metacognition in young children. New York, NY: Routledge. Livingston, J. A. (1997). Metacognition: An overview. American Psycologist, vol.

34, pp. 906-911.

Made Wena. (2010). Strategi pembelajaran inovatif kontemporer: Suatu tinjauan konseptual operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Marsigit. (2011). Pengembangan karakter dalam pendidikan matematika. Dalam Darmiyati Yuhdi (Ed.). Pendidikan karakter: dalam perspektif teori dan praktik (pp. 324-355). Yogyakarta: UNY Press.


(5)

Mevarech, Z. R., & Kramarski, B. (2003). The effects of worked-out examples

versus metacognitive training on students’ mathematical reasoning. British Journal of Educational Psychology, vol. 73, pp. 449–471.

Nana Sudjana. (2010). Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

NCTM. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Özsoya, G. & Ataman, A. (2009). The effect of metacognitive strategy training on

mathematical problem solving achievement. International Electronic Journal of Elementary Education, vol. 1(2), pp. 68-83.

Perfect, T. J. & Schwartz, B. L. (2002). Applied metacognition. Cambridge: Cambridge University Press.

Polya, G. (1973). How to solve it: A new aspect of mathematical method second edition. New Jersey, NJ: Princeton University Press.

Posamentier, A. S., & Stepelman, J. (1990). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (3rd ed). Columbus, OH: Merrill Publishing Company.

Rusmono. (2012). Strategi pembelajaran dengan problem based learning itu perlu. Bogor: Ghalia Pustaka.

Shannon, S. V. (2008). Using metacognitive strategies and learning styles to create self-directed learners. Institute for Learning Styles Journal, vol. 1, pp. 14-28. Slameto. (2010). Belajar & faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka

Cipta.

Sugihartono, Kartika Nur Fathiyah, Farida Agus Setiawati, Farida Harahap, & Siti Rohmah Nurhayati. (2007). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Sugiyono. (2012). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2010). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Suharsimi Arikunto. (2013). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Trianto. (2013). Mendesain model pembelajaran: Inovatif, progresif, dan kontekstual.


(6)

106 Veenman, M. V. J., Hout-Wolters, B. H. A. M. V., & Afflerbach, P. (2006). Metacognition and learning: Conceptual and methodological considerations. Theoretical Article, Metacognition Learning, vol. 1, pp. 3-14.

Walpole, R. E. (1992). Introduction to statistics (Pengantar statistika). Penerjemah: Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Woolfolfk, A. (2009). Educational psychology: Active learning edition. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.