EFEKTIVITAS PENDEKATAN METAKOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN SISWA KELAS VIII MTS NEGERI BABADAN BARU, SLEMAN.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi seperti ini perkembangan dari segi mana pun begitu pesat terutama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), yang menjadikan tantangan global semakin nyata. Salah satu cara untuk mengatasi tantangan global yaitu membekali diri dengan pendidikan. Terdapat pengertian pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 (Depdiknas, 2003).

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.

Hal ini menunjukan betapa pentingnya pendidikan dalam pengembangan berbagai potensi serta keterampilan seseorang. Potensi dan keterampilan ini kelak dibutuhkan dalam rangka menghadapi tantangan global agar mampu bersaing dengan bangsa lain.

Penerapan pendidikan didasarkan pada sebuah kurikulum. Salah satu kurikulum yang digunakan saat ini adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Terkait tantangan global saat ini, KTSP dikembangkan berdasar prinsip yang salah satunya adalah tanggap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (BSNP, 2006:6). Hal ini semakin menegaskan betapa eratnya hubungan antara pendidikan dan mempersiapkan siswa menghadapi tantangan global pada umumnya dan IPTEK pada khususnya.


(2)

Matematika memiliki peran penting dalam mendukung pendidikan. Hal ini terlihat dari mata pelajaran matematika merupakan muatan wajib pada setiap jenjang pendidikan seperti yang tercantum dalam kurikulum. Pada kurikulum KTSP yang tertuang dalam Standar Isi (SI) terdapat lima kelompok mata pelajaran salah satunya adalah kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dengan matematika sebagai muatan wajib (BSNP, 2006:9). Selain itu matematika juga dapat membantu siswa dalam perkembangan potensi dan keterampilannya.

Pembelajaran matematika di Indonesia sejauh ini dapat dikatakan berjalan baik. Secara umum dalam proses pembelajaran telah ditetapkan sebuah ketuntasan belajar. BSNP (2006:12) telah menetapkan kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator adalah 75%. Tetapi masing-masing satuan pendidikan sendirilah yang menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber data pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Beberapa sekolah yang masih menggunakan kurikulum KTSP menerapkan berbagai pendekatan ataupun metode dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa. Secara umum pendekatan yang diterapkan berupa pendekatan konvensional dengan metode ekspositori. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, metode ekspositori dipilih karena memang cukup efektif dan efesien dalam menanamkan belajar bermakna sehingga membantu siswa untuk mencapai ketuntasan minimal yang telah ditetapkan sekolah (Erman S, Turmudi, Didi S, Tatang H, Suhendra & Sufyani P, dkk, 2001: 171). Namun, hal ini menjadikan


(3)

siswa maupun guru hanya berpatokan pada nilai agar mencapai KKM. Pembelajaran matematika seperti ini kurang meningkatkan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi. Kemampuan siswa hanya diasah sebatas pada tingkatan proseduralnya saja. Siswa hanya memasukan berbagai bilangan ke dalam rumus, kemudian dihitung lalu menemukan hasil. Akan tetapi kemampuan matematis selain kemampuan berhitung yang dimiliki siswa kurang diasah dengan maksimal. Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kemampuan matematis yang penting dimiliki oleh siswa adalah penalaran. Kemampuan penalaran siswa Indonesia khususnya pada tingkat SMP kelas VIII dirasa masih kurang. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievment (IEA) pada program Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011 terkait kemampuan matematis siswa (Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A, 2012). Indonesia menempati urutan ke-38 dari 42 negara peserta TIMSS. Skor rata-rata matematika siswa SMP kelas VIII di Indonesia yang mengikuti survei adalah 386, sangat rendah jika dibandingkan dengan standar skor yaitu 500 dan rata-rata skor tertinggi yaitu 613 yang dimiliki Korea Selatan. Khusus untuk skor rata-rata kemampuan penalaran siswa-siswa Indonesia yang mengikuti tes tersebut tidak jauh berbeda yaitu 388 dengan peringkat ke-38 pula. Hasil skor TIMSS 2011 untuk kemampuan penalaran ini menurun dibandingkan dengan skor kemampuan penalaran pada survei tahun 2007 yaitu 394. Menurut Mullis, et al (2012:139) secara umum kebanyakan negara-negara di dunia relatif baik dalam memahami


(4)

konsep matematika dibandingkan menerapkannya (applying) dan menalar (reasoning).

Kurangnya kemampuan penalaran yang terjadi pada rata-rata siswa SMP kelas VIII di Indonesia juga dialami oleh siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman di Yogyakarta berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Februari 2015. Terdapat siswa yang mampu mengerjakan soal matematika secara prosedural namun tidak mampu menyimpulkan atau memberikan alasan atas jawaban yang ia berikan ketika ditanyakan. Hal ini menunjukan bahwa siswa sesungguhnya mampu mengerjakan soal matematika, tetapi belum cukup baik dalam segi penalaran dan berpikir tingkat tinggi.

Kemampuan penalaran sangat penting dimiliki seorang siswa dalam proses pembelajaran matematika. Hal ini senada dengan NCTM (2000) menetapkan lima standar proses keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam pembelajaran matematika, yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication) dan representasi (representation). Pentingnya kemampuan penalaran juga dijabarkan dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013 (Depdiknas, 2013) mengenai Standar Isi yang diatur bagi tingkat VII, VIII dan IX SMP atau sederajat, dikatakan salah satu keterampilan yang dikuasai yaitu menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan


(5)

sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori. Selain itu menurut Kurikulum KTSP dalam Depdiknas (2006) salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dan membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika. Lebih rinci NCTM (2000:3-4) menjelaskan beberapa standar isi matematika secara spesifik yang membutuhkan kemampuan penalaran yaitu aljabar, geometri dan analisis data & peluang. Pada aljabar diperlukan penalaran aljabar (algebraic reasoning), geometri membutuh kemampuan penalaran ruang (spatial reasoning) dan untuk analisis data & peluang memerlukan kemampuan penalaran secara statistik (reasoning statistically) yang diperlukan untuk menginformasikan pada masyarakat dan konsumen.

Kemampuan penalaran merupakan hal penting yang dimiliki terutama dalam pembelajaran matematika. Menurut NCTM (2000:4) penalaran matematis dan pembuktian (mathematics reasoning and proof) adalah salah satu cara yang kuat untuk membangun dan mengungkapkan pengetahuan/wawasan mengenai berbagai fenomena. Siswa yang bernalar dan berpikir secara analitik akan cenderung mencatat berbagai pola, struktur atau mengatur antara dunia nyata dan situasi matematika, akan timbul pertanyaan “apakah pola ini terjadi secara kebetulan?” atau “apakah pola ini terjadi karena alasan tertentu?” kemudian siswa menginvestigasi dugaan matematis, mengembangkan dan mengevaluasi pendapat matematis dan bukti-bukti dengan cara menyatakannya berdasarkan fakta-fakta penalaran dan kebenaran, memberikan alasan atas dugaannya dan pada akhirnya siswa akan melihat dan mengharapkan matematika adalah ilmu yang berguna.


(6)

Secara singkat diungkapkan Fadjar Shadiq (2007:3) penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang diketahui benar atapun dianggap benar. Berdasarkan keterangan-keterangan di atas menunjukkan betapa pentingnya kemampuan penalaran baik dalam penguasaan matematika maupun kehidupan ini untuk menjelaskan suatu masalah serta bersaing di era globalisasi dalam rangka menghadapi tantangan global yang semakin nyata.

Cara untuk dapat memaksimalkan kemampuan penalaran siswa yaitu dengan memilih suatu pendekatan, metode atau strategi yang tepat dalam proses pembelajaran terutama pembelajaran matematika. Salah satu pendekatan yang diyakini peneliti dapat mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika. Kata metakognitif pertama kali diungkapkan oleh Flavell pada tahun 1976. Metakognitif berasal dari kata metakognisi yang menurut Flavell (Tan,O.S, Richard D.P, Hinson.S.L, & Sardo-Brown D, 2004:47) merupakan kegiatan berpikir tentang apa yang sedang ia pikirkan untuk tujuan tertentu (thinking about thinking). Kegiatan seperti ini menjadikan seseorang dapat mengatur apa yang ada didalam dirinya (self-regulation). Tan, et al, (2004:6) menyebutkan yang termasuk dalam metacognitive self-regulation adalah perencanaan (planning), pemantauan (monitoring) dan mengatur (regulating) strategi untuk belajar. Kegiatan metakognitif pada masing-masing tahap ini akan dibantu dengan menjawab pertanyaan metakoginitif yang dibuat oleh dirinya sendiri. Tahapan kegiatan


(7)

metakognitif ini dirasa sangat membantu bagi seseorang dalam melakukan kegiatan bernalar seperti yang telah diuraikan (Tan, et al, 2004:50), metakognisi dapat menyadarkan tentang hubungan logika antara apa yang diketahui (representasi seseorang secara internal terhadap kenyataan) dan sesuatu yang baru (informasi yang baru diperoleh). Kegiatan bernalar sangat erat kaitannya dengan logika, sehingga melalui pendekatan metakognitif dapat mengasah kemampuan penalaran seseorang. Selain itu menurut Prabawa & Harsa Wara (2009:10) pendekatan metakognitif dalam pembelajaran, berpeluang untuk menstimulasi peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui efektivitas pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa. Selain itu jika pendekatan ini efektif terhadap kemampuan penalaran siswa, maka diharapkan dapat membantu siswa lebih memahami pelajaran matematika yang kelak akan menjadi bekal dalam mewujudkan tujuan pendidikan dan mengahadapi persaingan di era globalisasi dalam rangka menghadapi tantangan global. Ditambah lagi pendekatan metakognitif ini belum pernah diterapkan di MTs Negeri Babadan Baru, Sleman yang merupakan tempat dilaksanakan penelitian ini.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, sehingga masalah-masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut.


(8)

1. Pembelajaran matematika di sekolah masih dilaksanakan konvensional dengan metode ekspositori yang merupakan teacher centered.

2. Masih kurangnya rata-rata kemampuan penalaran siswa terutama dalam pembelajaran matematika.

3. Pembelajaran menggunakan pendekatan metakognitf terhadap kemampuan penalaran belum pernah diterapkan di MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada kemampuan penalaran siswa dalam proses pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif pada siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman dengan materi kubus dan balok.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas maka dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apakah pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman?

2. Apakah pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman?


(9)

3. Apakah pendekatan metakognitif lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui apakah pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.

2. Untuk mengetahui apakah pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.

3. Untuk mengetahui apakah pendekatan metakognitif lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.

F. Manfaat Penelitian a. Bagi Guru

Sebagai pertimbangan bagi guru MTs Negeri Babadan Baru, Sleman mengenai pendekatan alternatif yaitu metakognitif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran demi mengasah kemampuan penalaran siswa.


(10)

b. Bagi Siswa

Siswa mendapat pengalaman pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa.

c. Bagi Peneliti

Sarana bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam kegiatan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan metakognitif khususnya pada materi kubus dan balok.


(11)

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Matematika

Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sugihartono, Kartika N.F, Farida A.S, Farida H. & Siti R.N, 2007:74). Senada dengan Erman Suherman, dkk (2001:8) belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Tidak jauh berbeda dengan Hamzah B. Uno (2008: 15) juga menegaskan bahwa belajar adalah perolehan pengalaman baru oleh seseorang dalam bentuk perubahan perilaku sebagai akibat adanya proses interaksi terhadap objek (pengetahuan) yang ada dalam lingkungan belajar. Menurut NCTM (2000: 2) salah satu dari enam dasar matematika sekolah adalah belajar. Belajar (learning) yaitu students must learn mathematics with understanding, actively building new knowledge from experience and previous knowledge. Maksudnya belajar terutama belajar matematika, siswa harus memahaminya serta aktif membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang lalu.

Gagne (Hamzah B. Uno, 2007: 17) mengungkapkan bahwa hasil dari proses belajar adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh siswa dalam bentuk kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sehingga dapat


(12)

dikatakan jika belajar adalah perubahan tingkah laku dari pengalaman-pengalaman berupa kemampuan dari segi kogniitif, afektif dan psikomotorik.

Pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal (Erman Suherman, dkk, 2001:8). Pembelajaran dijabarkan lebih rinci oleh Sugihartono, dkk, (2007: 80) sebagai suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasikan dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efesien serta hasil optimal. Sehingga dapat dikatakan jika pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan bertujuan untuk melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efesien serta hasil optimal. Upaya penaataan lingkungan ini dapat diwujudkan dengan membuat silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Dengan RPP guru dapat merancang lingkungan sedemikian sehingga pembelajaran dapat berlangsung sesuai tujuan.

Untuk mengetahui apa itu pembelajaran matematika terlebih dahulu kita pahami pengertian matematika. Matematika menurut Erman Suherman, dkk (2001:18) berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan penalaran. Proses penalaran terdapat didalam pikiran manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar proses belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal, efektif dan efesien sesuai dengan perkembangan kognitif (ilmu pengetahuan) siswa yang diperoleh dengan penalaran dan logika, serta melibatkan segala yang ada disekitarnya.


(13)

2. Efektivitas Pembelajaran Matematika

Efektivitas berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang artinya berhasil, ditaati, mengesankan, berlaku, manjur, mustajab. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Depdiknas: 2008) kata effective diserap menjadi efektif yang artinya tidak jauh berbeda yaitu ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); dapat membawa hasil; berhasil guna (tt usaha, tindakan); mangkus. Efektif adalah adanya pengaruh yang dapat membawa hasil (efek). Efektivitas disimpulkan sebagai tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Sesuatu dikatakan efektif apabila berdampak menghasilkan sesuatu yang mengesankan atau berhasil.

Dalam pembelajaran matematika juga terdapat keefetivitasan dalam penerapannya di dalam kelas. Menurut NCTM (2000: 16) effective mathematics teaching requires understanding what student know and need to learn and then challenging and supporting them to learn well. Sehingga dapat dikatakan jika pembelajaran matematika yang efektif yaitu dengan mengetahui apa yang diketahui dan dibutuhkan siswa serta menantang dan mendukung siswa agar selalu belajar dengan baik. Terkait kefektivitasan pembelajaran dalam penerapan suatu teknik, model, pendekatan atau strategi pembelajaran (Syaiful Bahri Djamar, 2002: 87) menyatakan bahwa efektivitas penggunaan model adalah adanya sesuaian antara model dan semua komponen pengajaran yang telah diprogramkan dalam suatu pembelajaran sebagai persiapan yang tertulis. Oleh karena itu, dapat dikatakan efektivitas pembelajaran matematika dengan


(14)

pendekatan tertentu adalah kesesuaian antara pendekatan dan semua kompenan pengajaran yang telah dirancang yang mempertimbangkan apa yang diketahui dan dibutuhkan siswa berjalan dengan baik atau berhasil dalam mendukung siswa untuk belajar matematika dengan baik.

Pada matematika hasil pembelajaran dikatakan berhasil jika mencapai kriteria ideal ketuntasan. Dalam BSNP (2006:12) kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator adalah 75%. Tetapi masing-masing satuan pendidikan sendirilah yang menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber data pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Pada penelitian kali ini pembelajaran dikatakan efektif jika hasil tes pelajaran matematika mencapai nilai 75. Hal ini sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah sasaran penelitian yaitu MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.

3. Kemampuan Penalaran

Penalaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Depdiknas: 2008) adalah cara (perihal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berpikir logis; jangkuan pemikiran; hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan perasaan atau pengalaman; proses mental dl mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip. Fadjar Shadiq (2007:3) menyatakan penalaran merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang diketahui benar atapun dianggap benar. Tidak jauh


(15)

berbeda dengan pendapat NCTM (2000:3) “in the most general terms, reasoning can be thought of as the process of drawing conclusions on the basis of evidence or stated assumptions”. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan penalaran adalah proses berpikir berdasarkan fakta-fakta atau pernyataan suatu asumsi yang dianggap benar menuju pada suatu kesimpulan. Kemampuan penalaran penting digunakan dalam memecahakan atau menemukan berbagai solusi masalah kehidupan kita sehari-hari. Hal ini sejalan dengan Mullis, dkk, (2012: 140) mengatakan penalaran dapat menjadi solusi terbaik bagi masalah rutin yang mencakup situasi tidak biasa dalam konteks yang rumit dan masalah yang memerlukan penyelesaian beberapa tahap. Melalui penguasaan kemampuan penalaran dapat bermanfaat di kehidupan dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan.

Pada matematika kemampuan penalaran sangatlah penting. Menurut Standar Isi dalam Depdiknas (2013) salah satu keterampilan matematika yang dikuasai yaitu menalar baik dalam ranah konkret maupun abstrak. Penalaran merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika pada pola dan sifat melakukan manipulasi matematika dan membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika, tertulis dalam Kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006). Menurut NCTM (2000:4) mengenai standar proses dalam pembelajaran matematika yang harus dimiliki siswa yaitu kemampuan dalam pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connestions) dan representasi (representation). Penalaran dibutuhkan dalam matematika karena


(16)

menawarkan keunggulan dalam cara membangun dan mengungkapkan pengetahuan mengenai bermacam-macam fenomena yang terjadi. Seseorang yang mampu bernalar dan berpikir secara analitik mampu untuk mencatat suatu pola (pattern), stuktur atau suatu keteraturan (regularities) hubungan antara dunia nyata dengan matematika. Melalui kemampuan penalaran seseorang dapat mengekplor fenomena, memperkirakan hasil dan menggunakan matematika diberbagai keadaan, hal ini akan membuat siswa merasa kebermaknaan matematika (mathematics makes sense). Ditambahkan menurut Depdiknas (2002:6) materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui materi matematika.

Berdasarkan uraian diatas peran kemampuan penalaran dan matematika tidak dapat dipisahkan, sehingga muncullah istilah kemampuan penalaran matematis. Kemampuan penalaran matematis adalah kemampuan penalaran yang digunakan dalam kegiatan belajar matematika. NCTM (2000:4) mengatakan bahwa penalaran matematis dan pembuktian (mathematics reasoning and proof) adalah salah satu cara yang kuat untuk membangun dan mengungkapkan pengetahuan/wawasan mengenai berbagai fenomena. Menurut C. Clapham dan J. Nicholson (2009: 669), penalaran matematis adalah thinking through math problems logically in order to arrive at solutions. It involves being able to identify what is important and unimportant in solving a problem and to explain or justify a solution. Seseorang dapat bernalar matematis ketika seseorang berusaha menemukan solusi pada masalah matematika yang diberikan secara logis. Dalam


(17)

kegiatan penalaran matematis ini seseorang harus mampu mengidentifikasi apa saja yang penting atau tidak penting ketika berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Namun, bukan hanya dengan menemukan solusi akhir dari masalah matematika tersebut seseorang telah melakukan penalaran matematis tetapi juga mampu menjelaskan atau membenarkan alasan terhadap solusi yang diberikan.

Departemen Pendidikan Nasional dalam Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004 (Depdiknas, 2004) memberikan cakupan aktivitas penalaran yang lebih luas sekaligus melengkapi penjelasan cakupan kemampuan penalaran matematis dalam Math Glossary sebagai berikut.

a. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram.

b. Mengajukan dugaan (conjectures). c. Melakukan manipulasi matematika.

d. Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi.

e. Menarik kesimpulan dari pernyataan. f. Memeriksa kesahihan suatu argumen.

g. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

NCTM (2004: 4) menjabarkan cakupan kegiatan penalaran matematis yaitu siswa yang bernalar dan berpikir secara analitik akan cenderung mencatat berbagai pola, struktur atau mengatur antara dunia nyata dan situasi matematika, akan timbul pertanyaan “apakah pola ini terjadi secara kebetulan?” atau “apakah


(18)

pola ini terjadi karena alasan tertentu?” kemudian siswa menginvestigasi dugaan matematis, mengembakan dan mengevaluasi pendapat matematis dan bukti-bukti dengan cara menyatakannya berdasarkan fakta-fakta penalaran dan kebenaran, memberikan alasan atas dugaannya dan pada akhirnya siswa akan melihat dan mengharapkan matematika adalah ilmu yang berguna.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai kemampuan penalaran matematis di atas maka peneliti menetapkan definisi kemampuan penalaran matematis pada penilitian ini sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan kesimpulan berdasarkan pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan, yang ditandai dengan enam indikator berikut.

a. Siswa mampu mengekplorasi fakta-fakta yang ada dengan menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan/atau diagram.

b. Siswa mampu mengajukan dugaan.

c. Siswa mampu melakukan manipulasi matematika

d. Siswa mampu menyusun bukti-bukti serta memberikan alasan terhadap solusi yang diajukan.

e. Siswa mampu memeriksa kesahihan suatu argumen.

f. Siswa mampu menentukan suatu pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generealisasi dan kesimpulan.


(19)

4. Pendekatan Konvensional

Saat proses pembelajaran, pengajar dapat menerapkan berbagai pendekatan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan atau materi yang disampaikan. Menurut Erman Suherman, (2001:7) pendekatan (approach) pembelajaran matematika adalah cara yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Sehingga setiap guru dalam kegiatan mengajar pasti menggunakan suatu pendekatan. Konvensional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas: 2008) adalah berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum (spt adat, kebiasaan, kelaziman); tradisional. Oleh karena itu, pendekatan yang pada umumnya digunakan guru di dalam kelas disebut sebagai pendekatan Konvensional.

Menurut Endang Mulyatiningsih (2012: 224) metode pada umumnya yang digunakan dalam pendekatan konvensional berupa ceramah, resitasi, praktik dan latihan. Perpaduan metode ceramah, resitasi, praktik dan latihan adalah metode ekspositori. Menurut Erman Suherman, dkk (2001: 171) metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan ada pada guru (teacher centered) sebagai pemberi informasi. Namun, disini siswa tidak hanya mendengarkan guru semata-mata kemudian mencatat. Selain menyampaikan materi guru juga menyampaikan contoh soal dan cara mengerjakannya. Kemudian siswa akan kembali mengerjakan soal serupa yang telah dicontohkan oleh guru. Pembelajaran seperti ini juga dapat efektif dan efesien dalam menanamkan pembelajaran bermakna bagi siswa (Erman Suherman, dkk 2001:171).


(20)

Pendekatan konvensional dengan metode ekspositori memiliki langkah-langkah sebagai berikut.

1. Pembukaan, dengan menyampaikan tujuan, motivasi dan apersepsi.

2. Isi, ceramah materi pelajaran, memberikan rumus, memberikan contoh soal dan latihan soal.

3. Penutup, ditutup dengan kesimpulan dan PR (Pekerjaan Rumah) atau kuis.

5. Pendekatan Metakognitif

Metakognitif pertama kali diungkapkan oleh John Flavell pada tahun 1976. Metakognitif berasal dari kata metakognisi (metacognition). Menurut Flavell (Tan, et al, 2004:7) metakognisi merupakan kegiatan berpikir tentang apa yang sedang ia pikirkan untuk tujuan tertentu (thinking about thinking). Dalam Atma Murni (2010:519), Flavell menyatakan metakognisi merupakan kesadaran seseorang tentang proses kognitifnya dan kemandiriannya untuk mencapai tujuan tertentu. Kata meta itu sendiri artinya bergaul akrab/bekerjasama dengan (along with) sesuatu, dan menurut ilmu psikologi metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang mengelolah informasi yang dimilikinya (Donovan M.S & Bransford J.D, 2005:10). Menurut Donovan & Bransford (2005:10) pengetahuan yang dimaksud yaitu tentang apa yang kita butuhkan ketika belajar, mengingat informasi dan kemampuan memonitor apa yang saat ini dipahami serta meyakinkan diri kita jika benar-benar paham. Selanjutnya Hamzah B. Uno (2007:134) mengungkapkan metakognisi dalam pembelajaran merupakan keterampilan siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Masih


(21)

menurut Hamzah B. Uno (2007:134) menurut teori metakognisi siswa yang belajar memiliki keterampilan tertentu untuk mengatur dan mengontrol apa yang dipelajari. Metakognisi dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir maupun kegiatan berpikir terkait kesadaran kognitifnya, dan dalam penelitian ini metakognitif difokuskan pada kegiatan dalam pembelajaran.

Menurut Flavell (Tan, et al, 2004:6) metakognisi melibatkan interaksi antara seorang individu, tugas dan strategi-strategi yang digunakan untuk menyelesaikan tugasnya. Penentuan strategi sangat penting dalam menyelesaikan sebuah masalah atau tugas. Strategi yang ditentukan merupakan integrasi antara berpikir efektif dan memutuskan suatu keputusan. Menurut Borkowski (Tan, et al, 2004:7) motivasi dan pengaturan diri yang kuat, perencanaan strategi yang tepat, pelaksanaan strategi dan monitoring dapat membantu siswa ketika menghadapi tantangan tugas untuk menyelesaikan masalah baru. Ketika melakukan kegiatan ini idealnya siswa dapat memperkirakan apa yang dipikirkan, memikirkan keputusan yang akan dibuat dengan memikirkan sebelum, sesaat dan sesudah keputusan tersebut diambil, berhati-hati pada perubahan yang mungkin muncul dan mengakui saat berbuat kesalahan dan membutuhkan bantuan.

Pada pelaksanaan metakognitif diperlukan kegiatan pengaturan diri (self regulation). Istilah pengaturan diri diungkapkan pertama kali oleh Bandura (Hamzah B. Uno, 2007:51) istilah tersebut digunakan untuk menyatakan peningkatan atau penurunan efek yang dipengaruhi oleh evaluasi diri. Ditambahkan oleh Tan, et al (2004:6) pengaturan diri adalah usaha seseorang dalam mengontrol dan menentukan strategi untuk mencapai tujuan. Sehingga


(22)

dapat dikatakan pengaturan diri dalam pendekatan metakognitif seseorang dapat menyadarkan kekurangan atau kelebihan dirinya melalui evaluasi yang kemudian diatasi dengan menentukan strategi tertentu diiringi pemantuan (monitoring). Pentingnya monitoring dalam kegiatan belajar juga diyakini oleh Donovan dan Bransford (2005:10), pendekatan metakognitif disebut juga self-monitoring yang dapat mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan mengontrol sendiri pembelajarannya dengan sadar dalam menetapkan pembelajarannya serta memantau kemajuan pencapaiannya (progress achievment).

Pada kelas konvensional, guru yang mengambil kontrol dibandingkan siswa, tetapi di jaman sekarang yang diharapkan siswalah yang mengontrol sendiri lingkungan belajarnya. Meskipun siswa yang mengontrol dirinya sendiri ia tetap membutuhkan bantuan. Bantuan dapat diperoleh seperti dari guru, orangtua, kakak ataupun teman sebaya. Menurut Donovan dan Brasnford (2005:11) pada sebuah penelitian yang dilakukan di kelas dengan membentuk sebuah kelompok kecil, terjadi kegiatan monitoring yang dilakukan sesama teman sebaya dan hal ini terbukti memiliki efek yang kuat untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami pelajaran. Selain itu menurut Fuson K.C, Kalchman M, dan Bransford J.D (2005:241) kegiatan monitoring oleh teman sebaya dapat dilakukan ketika melakukan presentasi berupa menambahkan, membenarkan atau menyalahkan apa yang diutarakan oleh temannya. Ketika terdapat siswa lain yang sedang mengerjakan di papan tulis, siswa lainnya dapat mengajukan cara lain yang mungkin ditempuh, atau membantu jika mengalami kesulitan. Kegiatan monitoring ini penting dalam metakognitif karena menurut Fuson et al (2005:239)


(23)

fungsi metakognitif juga dapat sebagai pergeseran dari hanya sekedar fokus untuk menjawab benar menjadi menemukan kesalahan, tahu dimana letak kesalahannya, tahu mengapa hal tersebut salah dan memperbaikinya (evaluasi).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, salah satu kegiatan yang mendukung pembelajaran metakognitif yaitu dengan diskusi dalam kelompok. Kerja berkelompok dapat mendukung pengembangan kemampuan metakognitif seseorang (Donovan S.M & Bransford J.D, 2005: 583). Menurut Fuson, et al (2005:241) tujuan diskusi ini untuk mengembangkan pola pikir dan pemantauan seseorang tentang apa yang dipahami serta meningkatkan kepercayaan diri seseorang terutama dalam berdialog dan mengutarakan pendapat. Siswa dalam satu kelompok dapat saling membantu pada situasi informal, spontan atau situasi yang sudah dirancang misal oleh guru (Fuson, et al, 2005:241). Kegiatan kerja kelompok dan diskusi ini dapat dilakukan pada kelompok-kelompok kecil, berdiskusi dengan semua anggota kelas atau berdiskusi dengan guru. Jika hal ini sering dilakukan, maka siswa akan terampil dalam memantau dirinya dan bertanya tentang apa yang sedang ia pikirkan.

Selain kegiatan monitrong, diskusi dan belajar kelompok, hal lain yang dapat memancing agar siswa berpikir secara metakognitif, yaitu dengan menggunakan bantuan pertanyaan metakognitif. Salah satu kegiatan metakognitif yang dapat menyelesaikan masalah yaitu dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri (ask yourself questions) (Fuson et al, 2005:239). Menurut Fuson, et al (2005:239) pertanyaan yang diajukan oleh siswa sendiri dapat sebagai jendela bagi guru untuk memahami apa yang sedang dipikirkan oleh siswa dan ini dapat


(24)

menyediakan informasi tentang bagaimana cara terbaik yang dilakukan guru untuk membantu siswa mempelajari alur menyelsaikan masalah. Menurut Evi D.K, I Gusti P.S & Gede S, (2013:3) pertanyaan metakognitif memuat pertanyaan jenis pemahaman, koneksi dan strategi. Model pembelajaran dengan pertanyaan ini ternyata efektif bagi belajar mandiri. Menurut Donovan M.S dan Bransford J.D (2005:12) pertanyaan yang diajukan dapat menolong siswa menentukan tujuan utama pembelajaran serta mendukung pembelajaran metakognitif.

Tan, et al, (2004:107-108) menyebutkan pertanyaan metakognitif misalnya pertanyaan menantang (challenging questions), pertanyaan monitoring/memantau (monitoring questions), pertanyaan menyelidiki (probing questions), dan pertanyaan kognitif epistemik (epistemic cognitive questions). Pertanyaan menantang misal “apakah saya yakin?”, “sudahkah saya mempertimbangkan strategi yang telah saya tetapkan?”, “apakah strategi ini tepat?”, “apakah saya benar-benar paham tentang...?” dsb. Pertanyaan monitoring misal “bagaimana kemajuan yang saya peroleh?”, “apalagi yang saya butuhkan?”, “perlukah saya mengganti strategi?”, “bagaimana capaian tujuanku?”, “solusi apa yang akan muncul?”, “apakah terjadi sebuah kesalahan, ambigu atau ada yang tidak konsisten?” dsb. Pertanyaan menyelidiki seperti “mengapa saya mengatakan hal tersebut?”, “jika..., maka?”, dapatkah saya lebih baik lagi?”. Pertanyaan kognitif epistemik seperti “bagaimana saya tahu?”, “apa yang dapat saya lakukan?” “mengapa saya perlu mengetahui ini?”. Menurut Bransford J.D dan Donovan M.S (2005:410) bagi orang yang sudah terbiasa melaksanakan kegiatan metakognitif akan mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan tidak biasa.


(25)

Dalam kegiatan pembelajaran berbagai pendapat merumuskan tahapan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. Menurut Sudiarta (2010:4) model pembelajaran metakognitif terdapat tiga komponen yaitu.

1. Perencanaan (self-planning) dengan menetapkan tujuan yang ingin dicapai, perkirakan waktu yang dibutuhkan, pengetahuan awal yang diperlukan, dan strategi apa yang akan digunakan.

2. Pemantauan (self-monitoring) dengan memantau ketercapaian tujuan yang sudah ditetapkan, memastikan waktu yang digunakan sudah sesuai, memastikan pengetahuan awal yang diperlukan sudah cukup dan memantau jalannya strategi sesuai rencana.

3. Evaluasi (self-evaluation) dengan mengevaluasi tujuan, waktu, pengetahuan awal dan strategi jika dirasa tidak tepat.

Menurut OLRC News dalam Atma Murni (2010:520) metakognitif dapat membantu mengatur dan mengawasi belajar yang terdiri dari berbagai kegiatan sebagai berikut.

1. Perencanaan (planning), yaitu kemampuan merencanakan aktivitas belajar. 2. Strategi mengelola informasi (information strategies) yaitu kemampuan

strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan. 3. Memonitor secara komprehensif (comprehension monitoring) yaitu

kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses.


(26)

4. Strategi debugging (debugging strategies) yaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar, apakah akan mengubah strategi, menyerah pada keadaan atau mengakhiri kegiatan tersebut.

Ditambahkan oleh Tan, et al (2004:6) menyebutkan yang termasuk dalam metacognitive self-regulation adalah perencanaan (planning), pemantauan (monitoring) dan mengatur (regulating) strategi untuk belajar. Lebih rinci lagi Tan, et al (2004:5-6) menguraikan pembelajaran berdasarkan pendekatan metakognitif meliputi.

1. Mampu merencanakan suatu strategi berdasarkan informasi yang diperoleh. 2. Melaksanakan strategi yang telah direncanakan.

3. Memantau tiap apa yang ia lakukan dan mengevaluasinya jika ada kesalahan. 4. Pada akhirnya membuat suatu kesimpulan tentang apa yang telah ia lakukan

selama ini.

Pendekatan metakognitif adalah pelaksanaan pembelajaran yang ditempuh guru dengan melibatkan kemampuan berpikir tentang apa yang sedang dipikirkan siswa (metakognisi) terkait pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Berdasarkan berbagai pendapat diatas, penulis mendefinisikan kegiatan pembelajaran berdasarkan pendekatan metakognitif sebagai berikut.

1. Pengaturan diri. Pada tahap ini siswa diminta untuk mengenal terlebih dahulu mengenai dirinya sendiri terutama terkait pembelajaran matematika dengan menjawab pertanyaan metakognitif seperti “apakah saya menyukai matematika?”, “apa keunggulan/kelemahan saya dalam matematika?”,


(27)

“bagaimana mengatasi kelemahan saya?”, dll. Pada tahap ini siswa diharapkan dapat memahami apa yang ada didalam dirinya, apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan dan sebagainya.

2. Perencanaan. Pada tahap ini siswa akan merencanakan segala kegiatan yang akan dilakukan mulai dari tujuan, waktu dan strategi. Berbagai pertanyaan metakognitif dapat diajukan seperti “apa yang akan saya pelajari?”, “bagaimana saya mempelajarinya?”, “pengetahuan awal apa sajakah yang saya perlukan?”, dsb.

3. Strategi. Pada tahap ini siswa melaksanakan strategi apa yang sudah ia rencanakan untuk memahami konsep atau masalah tertentu.

4. Monitoring dan evaluasi. Kegiatan pemantauan/monitoring berjalan seiringan dan/atau sesudah dengan pelaksanaan strategi. Siswa dapat memantau dengan mengajukan pertanyaan “apakah strategi yang saya pilih sudah tepat?”, “apakah saya menjalankan sesuai strategi yang direncanakan?”, “apakah yang saya lakukan sudah sesuai tujuan”, “adakah yang saya tidak pahami?” dsb. Jika terdapat kesalahan, maka segera dilaksanakan evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi bukan hanya dapat dilaksanakan oleh siswa itu sendiri tapi juga dapat dibantu oranglain seperti guru atau teman sebaya. 5. Kesimpulan. Setelah merencanakan, melaksanakan strategi dan dievaluasi

pada akhirnya siswa akan menyimpulkan apa yang selama ini dilakukan. Hal ini menandakan siswa sadar akan apa yang ia lakukan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan metakognitif seperti “apa yang saya pelajari hari ini?”, “dapatkah saya menyimpulkan...?” dsb.


(28)

Metakognisi dapat menyadarkan tentang hubungan logika antara apa yang ia ketahui (representasi seseorang secara internal terhadap kenyataan) dan sesuatu yang baru (informasi yang diperoleh) (Tan, et al, 2004:50). Sehingga dengan pendekatan metakognitif ini dapat membantu siswa berpikir tingkat tinggi termasuk menguasai kemampuan penalaran.

B. Penelitian yang Relevan

Terdapat penelitian lain yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk pengembangan terhadap penelitian yang dilaksanakan.

Penelitian Khozinatul Asror Putri Ajie (2012) tentang Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas VIII B Melalui Strategi Metakognitif di SMP Negeri 5 Purwokerto. Hasil penelitian tindakan kelas (PTK) ini adalah strategi metakognitif mampu meningkatkan kemampuan penalaran siswa kelas VIII B SMP Negeri 5 Purwokerto.

Penelitian lainnya yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Prabawa & Harsa Wara (2009) tentang Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Hasil penelitian eksperimen ini adalah 1) peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional; 2) peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran


(29)

dengan menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional; 3) Terdapat perbedaan kemampuan penalaran berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. 4) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) terhadap kemampuan penalaran matematis. 5) Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah berdasarkan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. 6) Tidak terdapat interaksi pendekatan pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan awal matematika (kelompok atas, tengah dan bawah) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis. 7) Terdapat keterkaitan antara kemampuan penalaran dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dan 8) secara umum, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran yang mneggunakan pendekatan metakognitif.

Dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu model pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa di kelas tertentu. Pada penelitian ini akan dilakukan pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif untuk mengetahui keefektifannya terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.


(30)

C. Kerangka Berpikir

Pembelajaran matematika yang biasa dilakukan menggunakan pendekatan konvensional dengan metode ekpositori. Melalui metode ekspositori ini sudah cukup baik dalam mencapai nilai KKM yang ditentukan. Namun, kemampuan matematis siswa seperti penalaran masih kurang. Kebanyakan siswa mampu mengerjakan soal matematika, tetapi sulit menyimpulkan atau memberikan alasan atas jawaban yang ia berikan. Penalaran merupakan sebuah keterampilan menurut Permendikbud No. 64 Tahun 2013 (Depdiknas, 2013) yang mengandalkan kognisi untuk menyimpulkan suatu masalah dan sebaiknya dimilki oleh siswa. Muatan pendekatan metakognitif terdapat pengetahuan, keterampilan dan kesadaran terhadap kognisi dengan fungsinya adalah mengatur kognisi untuk mengasah keterampilan berpikir untuk memecahkan masalah dan bernalar. Dengan demikian penerapan pendekatan metakognitif dapat memaksimalkan keterampilan siswa dalam menalar yang dibutuhkan untuk membantu memahami matematika dengan lebih baik.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara suatu masalah yang kemudian diuji kebenarannya berdasarkan data yang empirik. Berdasarkan anggapan dasar yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.


(31)

2. Pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman. 3. Pendekatan metakognitif lebih efektif dibandingkan pendekatan

konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.


(32)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III

METODELOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuasi eksperimen. Penelitian kuasi eksperimen adalah penelitian yang mendekati eksperimen atau eksperimen semu. Dikatakan kuasi eksperimen karena subjek penelitian tidak diacak sepenuhnya. Subjek penelitian berada dalam kelas-kelas tertentu, sehingga penentuan kelas penelitianlah yang diacak. Menurut Endang Mulyatiningsih (2012: 87) penelitian kuasi eksperimen biasanya mengambil subjek penelitian pada manusia karena kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. Subjek penelitian tidak boleh dibedakan satu dengan lainnya dan tidak dapat dikontrol dan/atau dimanipulasi seperti minat atau motivasi siswa dan jam belajar di luar sekolah.

Subjek penelitian akan diberikan perlakuan kepada minimal dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kemudian akan dianalisis pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Perlakuan yang diberikan yaitu pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif pada kelas eksperimen dan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Penelitian dilakukan untuk melihat efektivitas pendekatan metakognif dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman.


(33)

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Menurut Sugiyono (2012: 80) populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan selanjutnya ditarik kesimpulan. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman tahun ajaran 2014/2015.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2012: 81). Teknik pemilihan sampel kelas menggunakan teknik cluster random sampling. Dalam penelitian ini sampel akan diambil dua kelas secara acak dengan mengundi empat kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman yaitu kelas VIII A, VIII B, VIII C dan VIII D yang merupakan populasi penelitian. Setelah dilakukan undian diperoleh kelas VIII A dan VIII B, selanjutnya kedua kelas diundi kembali untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kemudian diperoleh kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dengan diberikan perlakuan pendekatan Metakognitif dalam pembelajaran matematika. Kelas VIII B sebagai kelas kontrol dengan melaksanakan pembelajaran matematika seperti biasa yaitu dengan pendekatan Konvensional.


(34)

C. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Pengertian variabel bebas menurut Sugiyono (2012: 39) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan pada variabel terikat. Variabel bebas merupakan variabel yang dimanipulasi secara sistematis. Variabel bebas pada penelitian kali ini adalah perlakuan berupa pendekatan yang diterapkan dalam pembelajaran yaitu pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika pada kelas eksperimen. Pada kelas kontrol diterapkan pembelajaran dengan pendekatan konvesional yaitu dengan metode ekspositori.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat (Sugiyono, 2012: 39) adalah variabel yang dipengaruhi atau akibat dari adanya variabel bebas. Variabel terikat merupakan variabel yang dapat diukur. Terdapat satu variabel terikat pada penelitian kali ini yaitu kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru dalam pembelajaran matematika. Kemampuan penalaran siswa diperoleh dari nilai hasil pretest dan posttest pada kelas eksperimen serta nilai pretest dan posttest pada kelas kontrol.

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah jumlah jam pelajaran, materi pelajaran dan guru. Jumlah jam pelajaran kelas eksperimen dan kontrol sama, yaitu 2 jam pelajaran untuk pretest, 8 jam pelajaran untuk materi dan 2 jam


(35)

pelajaran untuk posttest, sehingga jumlah pelajaran setiap kelas adalah 12 jam pelajaran.

Kedua kelas tersebut juga akan mendapat materi yang sama selama penelitian, yaitu kubus dan balok. Materi tersebut termasuk kedalam cabang ilmu geometri. Menurut NCTM (2000: 3) Geometry is a natural area of mathematics for the development of student’s reasoning and justification skilss. Oleh karena itu, materi tersebut dirasa sangat tepat untuk menunjukan adanya pengaruh terhadap kemampuan penalaran siswa. Selain itu menurut Hamzah B. Uno (2007:135-136) menyebutkan jika geometri merupakan salah satu materi matematika yang dapat mengembangkan pola pikir melalui metakognisi. Pemilihan materi tersebut dapat membantu guru menerapkan pendekatan metakognitif lebih baik karena melibatkan aktifitas berpikir dan kesadaran diri.

Variabel kontrol yang terakhir adalah guru pengampu untuk mata pelajaran matematika kedua kelas adalah sama, yaitu peneliti sendiri. Hal ini dilakukan karena guru pengampu matematika kelas belum terlalu paham mengenai pendekatan metakognitif ini.

D. Definisi Operasional Variabel 1. Pendekatan Metakognitif

Pendekatan metakognitif pelaksanaan pembelajaran yang ditempuh guru dengan melibatkan kemampuan berpikir tentang apa yang sedang dipikirkan siswa (metakognisi) terkait pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan siswa. Beberapa tahapan belajar yang dirancang untuk menerapkan


(36)

pendekatan metakognitif, meliputi (1) pengetahuan diri, (2) perencanaan, (3) strategi, (4) monitoring dan evaluasi, dan (5) kesimpulan.

2. Pendekatan Konvensional

Pendekatan konvensional adalah pendekatan yang dominan diterapkan guru dalam dalam proses pembelajaran. Metode yang digunakan dalam pendekatan konvensional yaitu metode ekspositori. Pendekatan konvensional yang digunakan merupakan teacher centered dengan langkah-langkah yaitu (1) pembukaan, dengan menyampaikan tujuan, motivasi dan apersepsi, (2) isi, ceramah materi pelajaran/rumus, memberikan contoh soal dan latihan soal serta (3) penutup, ditutup dengan kesimpulan dan PR (Pekerjaan Rumah) atau kuis. 3. Kemampuan Penalaran

Kemampuan penalaran pada penilitian ini sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan kesimpulan berdasarkan pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan. Seseorang dianggap telah memiliki kemampuan penalaran dalam pembelajaran matematika jika ditandai dengan enam indikator meliputi.

a. Mampu mengekplorasi fakta-fakta yang ada dengan menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan/atau diagram.

b. Mampu mengajukan dugaan.

c. Mampu melakukan manipulasi matematika.

d. Mampu menyusun bukti-bukti serta memberikan alasan terhadap solusi yang diajukan.


(37)

f. Mampu menentukan suatu pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi dan kesimpulan.

E. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di MTs Negeri Babadan Baru, Sleman yang dilaksanakan pada semester genap yaitu pada bulan April hingga Mei 2015 pada tahun ajaran 2014/2015. Penelitian dilaksanakan di kelas VIII A dan VIII B dengan jadwal pelaksanaan penelitian terlampir pada lampiran 1 halaman 93.

MTs Negeri Babadan Baru, Sleman beralamat di Jalan Kaliurang 8,5 KM, Dayu, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman – DI Yogyakarta. Pemilihan MTs Negeri Babadan Baru ini karena peneliti menganggap jika prestasi siswa sekolah tersebut adalah rata-rata sehingga cocok untuk diterapkan pendekatan metakognitif. Menurut analisa nilai ulangan semester genap tahun ajaran 2013/2014 yang dilakukan Dikpora (2014), MTs Negeri Babadan Baru menempati peringkat 48 dari 126 sekolah di Sleman dalam mata pelajaran matematika.

F. Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada eksperimen semu kali ini adalah pretest-posttest control group design. Rancangan ini merupakan merupakan rancangan penelitian eksperimen yang dilakukan dengan pretest (tes awal) selanjutnya diberi perlakuan dan diakhiri dengan posttest (tes akhir).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan memberikan perlakukan berupa pendekatan metakognitif pada kelas


(38)

eksperimen dan memberikan perlakukan yang sama seperti biasanya (tidak ada manipulasi) yaitu dengan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Variabel terikat yang diamati adalah kemampuan penalaran siswa. Rancangan penelitian ini digambarkan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Rancangan Penelitian

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest E

K Keterangan:

E = Kelas Eksperimen K = Kelas Kontrol

= Pretest kemampuan penalaran pada kelas eksperimen = Pretest kemampuan penalaran pada kelas kontrol = Posttest kemampuan penalaran pada kelas eksperimen = Posttest kemampuan penalaran pada kelas kontrol = Pembelajaran dengan pendekatan Metakognitif = Pembelajaran dengan pendekatan Konvensional

G. Perangkat Pembelajaran

Dalam penelitian ini menggunakan dua perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang digunakan yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS).

1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Penelitian ini menggunakan dua RPP, yaitu RPP untuk kelas eksperimen dan RPP untuk kelas kontrol. RPP yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran kelas eksperimen menggunakan pendekatan metakognitif, RPP yang digunakan untuk kelas kontrol menggunakan pendekatan konvensional. Penyusunan RPP dilakukan dengan mempelajari Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar


(39)

(KD) pada kurikulum KTSP 2006 yang digunakan oleh sekolah, mempelajari pokok bahasan yang telah ditetapkan yaitu kubus dan balok, merumuskan indikator, menentukan tujuan pembelajaran, menyusun RPP, mengonsultasikan dengan dosen pembimbing dan merevisi RPP yang telah dikonsultasikan, kemudian di validasi oleh dosen ahli, lalu merevisi RPP yang telah divalidasi. Selengkapnya RPP dapat dilihat pada lampiran 2.1 halaman 95 dan lampiran 2.2 halaman 125.

2. Lembar Kegiatan Siswa

LKS merupakan salah satu alat bantu pembelajaran berupa lembaran kertas yang berisi informasi maupun pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa. Penyusunan LKS ini sesuai dengan komponen pendekatan metakognitif. LKS yang digunakan dalam penelitian ini merupakan LKS yang didesain oleh peneliti dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan divalidasi oleh dosen ahli. Setelah dikonsultasikan, kemudian merevisi LKS. Selengkapnya LKS dapat dilihat pada lampiran 2.3 halaman 143.

H. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini akan digunakan dua jenis instrumen yaitu instrumen tes dan instrumen non tes.

1. Instrumen Tes Kemampuan Penalaran

Instrumen tes berupa soal tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa pada materi kubus dan balok. Tes tertulis kemampuan penalaran ini akan dilaksanakan dua tahap yaitu sebelum pemberian perlakuan (pretest) dan sesudah pemberian perlakuan (posttest). Pretest


(40)

dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penalaran awal siswa sebelum diberi perlakuan. Posttest dilakukan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa setelah diberikan perlakuan. Bentuk tes yang akan digunakan berupa butir soal uraian yang mencakup keseluruhan materi yang telah diajarkan. Penyusunan soal tes akan berdasarkan indikator kemampuan penalaran yang ingin dicapai dan termuat dalam kisi-kisi soal. Butir-butir soal dan rubrik penilaian tes yang selanjutnya dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan divalidasi oleh dosen ahli. Kisi-kisi pretest dan posttest, soal pretest, kunci jawaban soal pretest, soal posttest dan kunci jawaban posttest masing-masing terdapat dalam lampiran 2.5, 2.6 dan 2.7 pada halaman 186, 187 dan 194.

Bentuk tes uraian dipilih karena memiliki beberapa keunggulan yaitu (1)_peneliti dapat melihat sejauh mana siswa memahami soal yang disajikan, (2)_peneliti dapat mengetahui sejauh mana siswa memahami konsep dari materi yang telah dijelaskan, dan (3) peneliti dapat mengetahui sejauh mana kemampuan penalaran siswa dengan menganalisis jawaban siswa sesuai indikator kemampuan penalaran yang termuat dalam butir-butir soal.

2. Instrumen Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran

Instrumen berikutnya berupa non-tes yaitu lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran (OKP). Lembar observasi ini terdiri dari dua yaitu lembar observasi untuk keterlaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen dan lembar observasi untuk keterlaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol. Lembar observasi ini akan digunakan dengan cara observasi langsung. Aktifitas guru dan siswa selama proses pembelajaran akan diamati apakah telah sesuai dengan


(41)

aspek-aspek yang diharapkan. Observasi akan dilakukan oleh satu observer pada masing-masing kelas eksperipmen dan kontrol. Kriteria untuk mengisi lembar observasi adalah dengan memberi tanda centang ( ) pada kolom “Ya” jika aspek yang diamati terlaksana dan memberi tanda centang ( ) pada kolom “Tidak” jika aspek yang diamati tidak terlaksana. Lembar observasi kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada lampiran 2.9 halaman 207 dan lampiran 2.10 halaman 222.

I. Analisis Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa tes kemampuan penalaran dan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran (OKP) harus memenuhi kualifikasi minimal layak atau baik. Untuk mengukur kelayakan sebuah instrumen dilakukan validasi. Validasi dilakukan bertujuan untuk mengukur apakah instrumen yang digunakan adalah valid. Sugiyono (2012: 173) menjelaskan instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data adalah valid. Valid artinya instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Validasi yang digunakan pada penelitian kali ini adalah validitas konstruk.

Menurut Sugiyono (2012: 129) validitas isi dapat dilakukan degan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Untuk instrumen yang akan mengukur efektivitas pelaksanaan program, maka pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan isi rancangan yang telah ditetapkan. Validitas instrumen lebih lanjut dapat dikonsultasikan dengan ahli. Teknis pengujian validitas isi daat


(42)

instrumen. Setelah memeriksa dan mengevaluasi secara sistematis, ahli akan memberikan penilaian apakah telah layak digunakan atau tidak. Penilaian yang

diberikan dapat berupa instrumen “layak digunakan tanpa revisi”, “layak digunakan dengan revisi” atau “tidak layak digunakan (perlu diganti)”.

Setelah dilakukan validasi instrumen dapat diketahui kesesuaian instrumen tes tersebut dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Instrumen dikonsultasikan dan divalidasi oleh dua penilai ahli (expert judgement) yang merupakan Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY berupa instrumen tes kemampuan penalaran, lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran (OKP) dan LKS. Dari penilaian hasil validasi dapat

disimpulkan jika instrumen yang akan digunakan “layak digunakan dengan revisi”. Revisi meliputi: (1) penggunaan EYD yang benar, (2) kisi-kisi penilaian yang lebih rinci dalam skor penilaian untuk tes, (3) pemberian angka yang berbeda antara pretest dan posttest, dan (4) menggunakan media atau alat peraga. Kemudian peneliti melakukan revisi berdasarkan masukan validator. Hasil keterangan validasi dari dosen ahli selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 247.

J. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes dan non-tes.


(43)

1. Teknik Tes

Teknik tes dilakukan dengan melaksanakan ujian atau tes kemampuan penalaran. Tes akan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dilakukan perlakuan pembelajaran (pretest) dan sesudah perlakuan pembelajaran (posttest). Pretest dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penalaran awal siswa sebelum diberi perlakuan. Posttest dilakukan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa setelah diberikan perlakuan. Selain itu hasil tes ini akan digunakan untuk uji homogenitas ragam. Nilai diberikan dengan nilai dari 0 hingga 100 sebagai nilai maksimum. Siswa dianggap tuntas jika mencapai nilai ketuntasan KKM mata pelajaran matematika yang telah ditetapkan oleh sekolah yaitu 75.

2. Teknik Non-Tes

Teknik non-tes kali ini menggunakan Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran (OKP). Lembar observasi ini digunakan sebagai pedoman keterlakasanaan pembelajaran yang telah dirancang atau diinginkan. Lembar observasi ini terdiri dari tahapan pembelajaran yang diharapkan dilaksanakan selama proses pembelajaran, baik yang dirancang dengan pendekatan metakognitif maupun konvensional. Lembar ini berisikan aktivitas yang dilakukan

oleh guru dan siswa. Penskoran lembar observasi yaitu 1 untuk jawaban “Ya” dan 0 untuk jawaban “Tidak”.


(44)

K. Teknik Analisis Data

Setelah memperoleh data dari hasil tes dan non-tes yang telah dilaksanakan maka dilakukan analisis data. Untuk mengetahui efektivitas pendekatan metakognitif dan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII SMP maka perlu dilakukan analisis data dengan beberapa tahapan seperti analisis deskriptif, pengujian asumsi dan pengujian hipotesis.

1. Analisis Deskriptif

Untuk mendeskripsikan data hasil pretest dan posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan analisis data. Analisis data yang dilakukan seperti menghitung rata-rata, ragam, nilai maksimum dan nilai minimum. Rata-rata nilai pretest dan posttest juga dideskripsikan dalam tiap indikator capaian kemampuan penalaran. Selain data dari hasil tes akan dilakukan analisis data non-tes dari hasil lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran.


(45)

a. Kemampuan penalaran

1) Nilai rata-rata ( ̅). Rumus untuk menghitung rata-rata adalah sebagai berikut.

̅ ∑

(Walpole, 1992: 24) Keterangan:

̅ = rata-rata = Banyak siswa = Nilai siswa ke-i

2) Skor tertinggi. Skor tertinggi diperoleh dengan cara melihat langsung dan mengidentifikasi skor tertinggi yang diperoleh siswa.

3) Skor terendah. Skor terendah diperoleh dengan cara melihat langsung dan mengidentifikasi skor terendah yang diperoleh siswa.

4) Ragam. Rumus untuk menghitung ragam adalah sebagai berikut.

(Walpole, 1992: 36) Keterangan:

= Ragam ̅ = Rata-rata

= Banyak siswa = Nilai siswa ke-i

5) Simpangan baku. Rumus untuk menghitung simpangan baku adalah sebagai berikut.


(46)

(Walpole, 1992: 36) 1. Rata-rata kemampuan penalaran. Nilai hasil posttest dianalisis dengan tahap sebagai berikut.

1. Masing-masing butir soal dikelompokkan sesuai dengan indikator kemampuan penalaran.

2. Berdasarkan pedoman penskoran yang telah dibuat, kemudian dihitung jumlah skor tiap indikator. Selanjutnya dihitung persentase ketercapaian kemampuan penalaran tiap indikatornya (KPi) dengan rumus sebagai berikut.

3. Data hasil perhitungan di atas kemudian dikualifikasikan sendiri oleh peneliti dengan ketentuan sebagai berikut.

Tabel 2. Kualifikasi Kemampuan Penalaran

No. Persentase Kemampuan Penalaran Tiap Indikator Kualifikasi

1. Sangat baik

2. Baik

3. Lebih dari cukup

4. Cukup

5. Rendah

b. Observasi keterlaksanaan pembelajaran

Observasi keterlaksanaan pembelajaran (OKP) di kelas eksperimen dan kontrol diperoleh dari lembar observasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang observer. Data hasil observasi akan

dianalisis dengan ketentuan skor 1 untuk pilhan “Ya” dan skor 0 untuk pilihan “Tidak”. Data tentang keterlaksanaan pembelajaran ini dapat dianalisis dengan


(47)

menghitung jumlah persentase keterlaksanaan pembelajaran (P) menggungakan rumus sebagai berikut.

Persentasi keterlaksanaan pembelajaran (P) dikualifikasikan sendiri oleh peneliti sebagai berikut.

Tabel 3. Kualifikasi Keterlaksanaan Pembelajaran

No. Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran Kualifikasi

1. Sangat baik

2. Baik

3. Cukup

4. Rendah

5. Sangat Rendah

2. Uji Asumsi

Uji asumsi untuk normalitas, homogenitas ragam dan kesamaan rata-rata kemampuan awal perlu dilakukan sebelum uji hipotesis.

a. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data penelitian. Uji normalitas kali ini menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifikansi


(48)

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji normalitas data pretest dari kelas eksperimen sebagai berikut:

: Skor pretest kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

: Skor pretest kelas eksperimen berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji normalitas data pretest dari kelas kontrol sebagai berikut:

: Skor pretest kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

: Skor pretest kelas kontrol berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji normalitas data posttest dari kelas eksperimen sebagai berikut.

: Skor posttest kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

: Skor posttest kelas eksperimen berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji normalitas data posttest dari kelas kontrol sebagai berikut.

: Skor posttest kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

: Skor posttest kelas kontrol berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.


(49)

Kriteria keputusan diambil jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) kurang dari

, maka ditolak.

b. Uji homogenitas ragam

Uji homogenitas ragam digunakan untuk mengetahui sama atau seragam tidaknya data-data hasil kemampuan penalaran siswa yang diambil dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji homogenitas ragam kali ini menggunakan Uji One-Way ANOVA berbantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifikansi

.

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji homogenitas ragam untuk hasil pretest sebagai berikut.

: Tidak terdapat perbedaan ragam data hasil kemampuan penalaran pretest siswa antara kelas eksperimen dan control (homogen).

: Terdapat perbedaan ragam data hasil kemampuan penalaran pretest siswa antara kelas eksperimen dan control (tidak homogen).

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji homogenitas ragam untuk hasil posttest sebagai berikut.

: Tidak terdapat perbedaan ragam data hasil kemampuan penalaran posttest siswa antara kelas eksperimen dan control (homogen).

: Terdapat perbedaan ragam data hasil kemampuan penalaran posttest siswa antara kelas eksperimen dan control (tidak homogen).


(50)

Kriteria keputusan diambil jika pada nilai Sig. dari Levene Statistic pada tabel Test of Homogenity of Variances kurang dari , maka ditolak.

c. Uji kesamaan rata-rata kemampuan awal

Setelah uji normalitas dan homogenitas ragam terpenuhi, maka dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata kemampuan awal. Uji kesamaan rata-rata ini di lakukan untuk mengetahui kesamaan rata-rata kemampuan penalaran awal siswa di kedua kelas dari hasil pretest yang diperlukan untuk melakukan uji hipotesis. Uji kesamaan rata-rata kemampuan kali ini menggunakan independent samples t-test berbantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifikansi 0,05.

Perumusan hipotesis statistik yang digunakan pada uji kesamaan rata-rata kemampuan awal untuk hasil pretest sebagai berikut.

: Tidak terdapat perbedaan rata-rata kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

: Terdapat perbedaan rata-rata kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Kriteria keputusan diambil jika pada nilai Sig. (2 tailed) dari tabel Independent Samples kurang dari , maka ditolak.

3. Uji Hipotesis

Setelah dilakukan berbagai uji diatas, untuk menjawab rumusan masalah maka dilakukan pengujian hipotesis.


(51)

a. Uji keefektifan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran

Hipotesis akan diuji menggunakan one sample t-test dengan bantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifkansi .

Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut.

: Pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika

tidak efektif terhadap kemampuan penalaran siswa.

: Pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika

efektif terhadap kemampuan penalaran siswa.

Kriteria keputusan diambil jika pada tabel Sig. kurang dari , maka ditolak.

b. Uji keefektifan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran

Hipotesis akan diuji menggunakan one sample t-test dengan bantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifkansi .

Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut.

: Pendekatan metakognitif dalam pembelajaran

matematika tidak efektif terhadap kemampuan penalaran siswa.

: Pendekatan metakognitif dalam pembelajaran

matematika efektif terhadap kemampuan penalaran siswa.


(52)

Kriteria keputusan diambil jika pada tabel Sig. kurang dari , maka ditolak.

c. Uji perbedaan keefektifan pendekatan pembelajaran terhadap kemampuan penalaran

Hipotesis akan diuji menggunakan independent samples t-test dengan bantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifkansi .

Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut.

: Pendekatan metakognitif tidak lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa.

: Pendekatan metakognitif lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa.

Kriteria keputusan diambil jika pada tabel Sig. kurang dari , maka ditolak.

Pengujian hipotesis menggunakan rumus uji-t (t-test) dengan rumus sebagai berikut.

Untuk data dengan sebaran homogen.

̅ ̅ dengan Untuk data dengan sebaran tidak homogen.

̅ ̅


(53)

Keterangan:

: Distribusi student

̅ : Rata-rata tes kemampuan penalaran kelas eksperimen

̅ : Rata-rata tes kemampuan penalaran kelas kontrol : Banyaknya siswa kelas eksperimen

: Banyaknya siswa kelas kontrol : Ragam kelas eksperimen : Ragam kelas kontrol : Ragam gabungan

L. Indikator Keberhasilan

Penelitian ini dikatakan berhasil jika memenuhi indikator berikut.

1. Pendekatan metakognitf dan konvensional dalam pembelajaran matematika dikatakan efektif jika rata-rata nilai tes kemampuan penalaran pada masing-masing kelas lebih tinggi dari KKM berdasarkan uji one sample t-test yang telah dilakukan.

2. Pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika dikatakan lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan penalaran siswa jika berdasarkan uji independent samples t-test, rata-rata nilai tes kemampuan penalaran akhir (posstest) pada kelas eksperimen lebih besar daripada rata-rata nilai tes (posttest) pada kelas kontrol.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Atma Murni. (2010). Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakogitif Berbasi Masalah Kontekstual. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA-UNY. Vol 11 Tanggal 27 November 2010. Hlm. 518-527.

BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Clapham, C & Nicholson, J. (2009). The Concise Oxford Dictionary of Mathematics Fourth Edition. New York, NY: Oxford University Press Inc.

Depdiknas – Pusat Kurikulum – Balitbang. (2002). Kurikulum berbasis Kompetensi Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004. Jakarta:

Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi Matematika SMP. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Depdiknas. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.

Dikpora. (2014). Sumber Data Nilai Ulangan Akhir Semester SMP Tahun Pelajaran 2013/2014 di Kab. Sleman. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Sleman, Yogyakarta.


(55)

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Washington, DC: The National Academies Press.

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Dalam Bransford J.D & Donovan, S.M. Scientific Inquiry and How People Learn (pp. 397-416). Washington, DC: The National Academies Press.

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Dalam Donovan, S.M & Bransford J.D. Pulling Threads (pp. 569-590). Washington, DC: The National Academies Press.

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Dalam Fuson, K.C, Kalchman, M & Bransford J.D. Mathematical Understanding: An Intruction (pp. 217-256). Washington, DC: The National Academies Press.

Endang Mulyatiningsih. (2012). Riset Terapan Bidang Pendidik dan Teknik. Yogyakarta: UNY Press.

Erman Suherman, Turmudi, Didi Suryadi, Tatang Herman, Suhendra & Sufyani Prabawanto dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Evi Dwi Krisna, I Gusti Putu Sudiarta & Gede Suweken. (2013). Pengaruh Model

Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan Pertanyaan Metakognitif Terhadap Prestasi Belajar matematika Siswa Ditinjau dari Motivasi Berprestasi. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 2 Tahun 2013. Hlm 1-11.


(1)

Kriteria keputusan diambil jika pada tabel Sig. kurang dari , maka ditolak.

c. Uji perbedaan keefektifan pendekatan pembelajaran terhadap kemampuan penalaran

Hipotesis akan diuji menggunakan independent samples t-test dengan

bantuan SPSS 16 for windows dengan taraf signifkansi . Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut.

: Pendekatan metakognitif tidak lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika

terhadap kemampuan penalaran siswa.

: Pendekatan metakognitif lebih efektif dibandingkan pendekatan konvensional dalam pembelajaran matematika

terhadap kemampuan penalaran siswa.

Kriteria keputusan diambil jika pada tabel Sig. kurang dari , maka ditolak.

Pengujian hipotesis menggunakan rumus uji-t (t-test) dengan rumus

sebagai berikut.

Untuk data dengan sebaran homogen.

̅ ̅ dengan

Untuk data dengan sebaran tidak homogen.

̅ ̅

⁄ ⁄


(2)

Keterangan:

: Distribusi student

̅ : Rata-rata tes kemampuan penalaran kelas eksperimen ̅ : Rata-rata tes kemampuan penalaran kelas kontrol : Banyaknya siswa kelas eksperimen

: Banyaknya siswa kelas kontrol : Ragam kelas eksperimen : Ragam kelas kontrol

: Ragam gabungan

L. Indikator Keberhasilan

Penelitian ini dikatakan berhasil jika memenuhi indikator berikut.

1. Pendekatan metakognitf dan konvensional dalam pembelajaran matematika

dikatakan efektif jika rata-rata nilai tes kemampuan penalaran pada

masing-masing kelas lebih tinggi dari KKM berdasarkan uji one sample t-test yang

telah dilakukan.

2. Pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika dikatakan lebih

efektif dibandingkan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan

penalaran siswa jika berdasarkan uji independent samples t-test, rata-rata nilai

tes kemampuan penalaran akhir (posstest) pada kelas eksperimen lebih besar


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Atma Murni. (2010). Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakogitif Berbasi Masalah Kontekstual. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA-UNY. Vol 11 Tanggal 27 November 2010. Hlm. 518-527.

BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Clapham, C & Nicholson, J. (2009). The Concise Oxford Dictionary of Mathematics Fourth Edition. New York, NY: Oxford University Press Inc.

Depdiknas – Pusat Kurikulum – Balitbang. (2002). Kurikulum berbasis Kompetensi Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No.506/C/PP/2004. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi Matematika SMP. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Depdiknas. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.

Dikpora. (2014). Sumber Data Nilai Ulangan Akhir Semester SMP Tahun Pelajaran 2013/2014 di Kab. Sleman. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Sleman, Yogyakarta.


(4)

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Washington, DC: The National Academies Press.

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Dalam Bransford J.D & Donovan, S.M. Scientific Inquiry and How People Learn (pp. 397-416). Washington, DC: The National Academies Press.

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Dalam Donovan, S.M & Bransford J.D. Pulling Threads (pp. 569-590). Washington, DC: The National Academies Press.

Donovan, S.M & Bransford J.D. (2005). How Student Learn History, Mathemathics and Science in the Classroom. Dalam Fuson, K.C, Kalchman, M & Bransford J.D. Mathematical Understanding: An Intruction (pp. 217-256). Washington, DC: The National Academies Press.

Endang Mulyatiningsih. (2012). Riset Terapan Bidang Pendidik dan Teknik. Yogyakarta: UNY Press.

Erman Suherman, Turmudi, Didi Suryadi, Tatang Herman, Suhendra & Sufyani Prabawanto dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Evi Dwi Krisna, I Gusti Putu Sudiarta & Gede Suweken. (2013). Pengaruh Model

Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan Pertanyaan Metakognitif Terhadap Prestasi Belajar matematika Siswa Ditinjau dari Motivasi Berprestasi. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan


(5)

Fadjar Shadiq. (2007). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. PPPPTK Matematika Yogyakarta. Diakses dari http://p4tkmatematika.org/downloads/sma/pemecahanmasalah.pdf pada tanggal 27 Januari 2015.

Hamzah B. Uno. (2007). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar dan Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Khozinatul Asror Putri Ajie. (2012). Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Kelas VIII B melalui Strategi metakognitif di SMP Negeri 5 Purwokerto. Skripsi. FMIPA-UMP.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 International Results in Mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS Internasional Study Center.

NCTM. (2000). Executive Summary Principles and Standards For School Mathematics. Reston VA: NCTM.

NCTM. (2000). Principles and Standards For School Mathematics. Reston VA: NCTM.

Prabawa & Harsa Wara. (2009). Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis. PPs-UPI.

Sudiarta. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif. Indiksha. Disampaikan dalam pendidikan dan pelatihan MGMP Matematika SMK. Kabupaten Karangasem, Jawa Tengah, Agustus 2010.

Sugihartono, Kartika Nur Fathiyah, Farida Agus Setiawati, Farida Harahap & Siti Rohmah Nurhayati. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.


(6)

Tan,O.S, Richard,D.P, Hinson,S.L, & Sardo-Brown,D. (2004). Enchancing Thinking Through Problem-Based Learning Approach: International Perspectives. Singapore: Change Learning.

Walpole,R.E. (1992). Pengantar Statistika Edisi Ke-3. (Alih Bahasa: Ir. Bambang Sumantri). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA (Studi Pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Kedondong Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012)

0 3 53

Pengaruh Pendekatan Metaphorical Thinking Terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa

6 55 184

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIK DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP.

0 9 9

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIKA SISWA SMK KELAS X MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMK Kelas X Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)(PTK Siswa Kelas

0 2 14

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN Efektivitas Strategi Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika (PTK Siswa Kelas VIII A MTs Sultan Agung Ngawen Blora 2

0 1 18

PENDAHULUAN Efektivitas Strategi Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika (PTK Siswa Kelas VIII A MTs Sultan Agung Ngawen Blora 2012/ 2013).

0 2 7

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN Efektivitas Strategi Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika (PTK Siswa Kelas VIII A MTs Sultan Agung Ngawen Blora 2

0 1 12

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENDEKATAN METAKOGNITIF BERBASIS MASALAH KONTEKSTUAL DAN PENDEKATAN SAINTIFIK DITINJAU DARI KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMA.

0 0 113

EFEKTIVITAS STRATEGI METAKOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 3 SLEMAN.

0 0 66

PERBANDINGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DENGAN PENDEKATAN KONVENSIONAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN PENALARAN SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 6 SINJAI SELATAN KABUPATEN SINJAI

0 3 165