Sifat Fisis dan Keawetan Alami Kayu Pengkih Terhadap Serangan Rayap Tanah (Macrotermes gilvus)

15

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat Fisis Kayu
Kadar Air
Kayu adalah bahan yang bersifat higroskopis yaitu mampu untuk
menyerap dan melepaskan air, baik dalam bentuk cairan atau uap air. Penyerapan
atau pelepasan air tergantung pada suhu dan kelembaban sekitarnnya, serta jumlah
air yang ada dalam kayu. Kadar air kayu akan berubah dengan berubahnya kondisi
udara sekitarnya. Perubahan kadar air kayu akan berpengaruh terhadap dimensi
dan sifat-sifat kayu (Haygreen dan Bowyer, 1996).
Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat dalam kayu yang
dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanurnya. Air dalam kayu terdapat
dalam dua bentuk yaitu air ebas yang terdapat pada rongga sel dan air terikat
(imbibisi) yang terdapat pada dinding sel. Kondisi dinding sel jenuh dengan air
sedangkan rongga sel kosong, dinamakan kondisi kadar air pada titik jenuh serat.
Kadar air titik jenuh serat besarnya tidak sama untuk setiap jenis kayu, hal ini
disebabkan oleh perbedaan struktur dan komponen kimia. Pada umumnya kadar
air


titik

jenuh

serat

berkisar

antara

25-30%

(Panshin et al, 1964 dalam Iswanto, 2008).
Berat basah target dapat ditentukan berdasarkan penelitian Wang et al.
(2003) dalam Karlinasari (2005), dikatakan bahwa penurunan kadar air selama
proses pengeringan diikuti dengan penurunan berat speSimen. Hal ini dapat terjadi
pada spesimen longitudinal dan spesimen radial. Penurunan berat spesimen
longitudinal saat penurunan kadar air dari kondisi basah ke kondisi titik jenuh

Universitas Sumatera Utara


16

serat berkisar 10-15 g. Sedangkan penurunan berat spesimen radial berkisar 5-8 g.
ketika kadar air spesimen menurun dari kadar air titik jenuh serat ke kadar air
kering udara, penurunan berat spesimen longitudinal berkisar 2-4 g, sedangkan
spesimen radial mengalami penurunan berat berkisar 1-2 g.

Kerapatan dan berat jenis kayu
Kayu merupakan bahan yang terdiri atas sel-sel. Struktur tersebut
memberikan kayu sifat-sifat dan ciri-ciri yang unik. Kerapatan kayu berhubungan
langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi volume rongga kosong. Kerapatan
didefenisikan sebagai massa atau berat per satuan volume. Ini biasanya dinyatakan
dalam kilogram per meter kubik (Haygreen & Bowyer, !996).
Lebih lanjut Haygreen & Bowyer (1996) mendefenisikan berat jenis
sebagai perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada 40 C. air
memiliki kerapatan 1 g/cm3 pada suhu standar tersebut. Perhitungan berat jenis
dapat disederhanakan dalam sistem metrik karena 1 cm3 beratnya tepat 1 gram.
Jadi berat jenis dapat dihitung secara langsung dengan membagi berat dalam gram
dengan volume dalam cm3 . Dengan angka, maka kerapatan dalam berat jenis

adalah sama. Namun berat jenis tidak mempunyai satuan karna berat jenis adalah
nilai relatif.
Tsoumis (1991) mendefinisikan berat jenis (BJ) sebagai perbandingan
antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada suhu 40C. Air memiliki
kerapatan 1gr/cm3 pada suhu standar tersebut. Perhitungan BJ banyak
disederhanakan dalam sistem metrik karena 1 cm3 air beratnya tepat 1 gram. Jadi
BJ dapat dihitung secara langsung dengan membagi berat dalam gram dengan
volume dalam cm3. Dengan angka, maka kerapatan dan BJ adalah sama. Namun

Universitas Sumatera Utara

17

BJ tidak mempunyai satuan karena BJ adalah nilai relatif. Aplikasi penggunaan
perhitungan BJ diantaranya adalah untuk menghitung biaya transportasi,
menentukan kekuatan kayu, sifat dan daya tahan kayu sebagai bahan konstruksi.
Semakin tinggi BJ kayu maka kekuatan kayu lebih baik dan harganya pun lebih
mahal.

Kelas Kekuatan Kayu

Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI, 1961) menyatakan kelas
kuat kayu didasarkan pada berat jenis (BJ), modulus lentur (MOE), dan modulus
patah (MOR), dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelas Kekuatan Kayu
Kelas Kuat
I
II
III
IV
V

Berat Jenis
≥ 0,90
0,90 – 0,60
0,60 – 0,40
0,40 – 0,30
< 0,30

MOE (kg/cm2)
125.000

100.000
80.000
60.000
-

MOR (kg/cm2)
≥ 1100
1100 – 725
725 – 500
500 – 360
< 360

Penyusutan Dimensi Kayu
Kayu sebagai bahan mineral yang seringkali digunakan untuk
komponen bangunan maupun meubel secara umum memiliki berbagai keunggulan
bila dibandingkan material lain seperti baja dan beton. Kayu pada umumnya lebih
bernilai artistik karena coraknya, mudah dibentuk dan dikerjakan, dan dapat
dibuat menjadi berbagai macam produk termasuk furniture.
Tsoumis


(1991)

menyatakan

bahwa

penyusutan

merupakan

pengurangan dimensi kayu sejalan dengan berkurangnya kadar air di bawah titik
jenuh serat. Perubahan dimensi kayu ini berbeda-beda pada ketiga arah, yang
terkecil ada pada arah longitudinal, kemudian lebih besar pada arah radial dan

Universitas Sumatera Utara

18

terbesar ada pada arah tangensial. Secara umum penyusutan pada kayu
berkerapatan sedang adalah 0,1% -0,3% pada arah longitudinal, 2%-6% pada arah

radial, dan 5%-10% pada arah tangensial.
Menurut Tsoumis (1991) penyusutan kayu dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kadar air, kerapatan kayu, struktur anatomi, ekstraktif, komposisi
kimia kayu dan tekanan mekanis. Faktor-faktor yang mempengaruhi susut kayu
antara lain adalah :
1. Perbedaan antara kayu gubal dn kayu teras. Kayu teras lebih lambat dikeringkan
daripada kayu gubal. Hal ini disebabkan kayu gubal lebih permeabel daripada
kayu teras.
2. Kayu reaksi. Dengan adanya kayu reaksi akan menyebabkan susut yang cukup
besar pada arah longitudinal sehingga dapat menyebabkan cacat bungkuk atau
muntir.
3. Mata kayu. Mata kayu terikat yaitu dihasilkan oleh cabang yang masih hidup.
Dalam pengeringan akan menyebabkan cacat yang berbentuk pecah batang.
Adapun mata kayu lepas yaitu yang terjadi pada cabang yang sudah tidak tumbuh
lagi sehingga terpisah dari bagian lain yang masih tumbuh. Dan cacat yang
ditimbulkan adalah lepas atau longgar.
4. Berat jenis kayu. Pada umumnya semakin tinggi berat jenis makin sukar
dikeringkan. Demikian juga makin besar berat jenis susut yang terjadi makin
besar.
5. Serat kayu umumnya digunakan untuk menyatakan secara umum arah serabut

dalam kayu. Kayu dengan serat yang beragam akan lebih sedikit mengalami cacat
pada pengeringan.

Universitas Sumatera Utara

19

Berat jenis zat kayu
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kayu hampir sebagian besar
tersusun atas sel-sel mati, yang terdiri atas dinding sel dan rongga sel. Berat jenis
zat kayunya memiliki nilai konstan 1,5 sedangkan kerapatan dan berat jenis (BJ)
kayu besarnya berbeda berkisar 0,1 (kayu balsa) hingga 1,3 (Guaiacum
officinale). Pernyataan ini didukung oleh Green, et.al (1999) dan walker (1993)
yang berpendapat bahwa berat jenis zat kayu untuk semua tumbuhan berkayu
besarnya berkisar 1,5.
Brown, et.al (1952) mempertegas bahwa secara umum BJ dinding sel
(zat kayu) untuk semua jenis kayu adalah sama besar yaitu ± 1,46-1,53. Nilai 1,46
diperoleh jika menggunakan media zat cair yang tidak dapat masuk microvoid,
seperti benzene dan toluene. Sedangkan nilai 1,53 diperoleh jika media zat cair
polar yang digunakan untuk menghitung BJ, dalm hal ini air dapat masuk ke

dalam microvoid. Walker (1993) kemudian melengkapi bahwa berat jenis zat
kayu yang diukur dengan menggunakan silikon besarnya 1,465; dengan air 1.545;
dan dengan hexane 1,5333.

Keawetan Alami Kayu
Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah
terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi
organisme yang bersangkutan (Duljapar, 2001). Keawetan kayu berhubungan erat
dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama.
Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak
kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu
gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur

Universitas Sumatera Utara

20

pemakaiannya. Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu
dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak
akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan

kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila
kontruksi terebut akan berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut
diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut
dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan
kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu
memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas
awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997).
Suranto (2002), memaparkan bahwa tiap-tiap kelas keawetan itu
memberi Gambaran tentang umur kayu dalam pemakaian. Secara utuh klasifikasi
keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 1. dan pengaruh kondisi lingkungan
terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Keawetan Kayu
Kelas

Kualifikasi

Umur pemakaian Rata-rata(tahun

Keawetan


keawetan

1

Sangat awet

>8

2

Awet

5-8

3

Agak awet

3-5

4

Tidak awet

1.5 - 3

5

Sangat tidak Awet