Pengaruh Obesitas, Aktifitas Fisik, Merokok, Riwayat Keluarga Terhadap Kejadian Pradiabetes Pada Usia 45 Tahun di Kota Lhokseumawe

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pradiabetes

Istilah pradiabetes diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Depertement of Health and Human Services (DHHS) dan the American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan prediabetes adalah toleransi glukosa terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) yaitu kondisi seseorang dengan kadar glukosa darah lebih tinggi dari rentang normal tetapi belum mencapai kondisi diabetes, dalam kurun waktu 10 tahun akan berkembang menjadi DM tipe 2 (Hardiman, 2009). Menurut Garber et al. (2008) pradiabetes adalah orang yang mengalami IFG (Impaired Fasting Glucose) atau IGT (Impaired Glucose Tolerance) dan atau keduanya. Pradiabetes terjadi karena kondisi abnormalitas metabolisme glukosa yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah puasa (yang disebut dengan GDPT) dan atau peningkatan gula darah post prandial (yang disebut TGT) (Harbuwono, 2010).

Pradiabetes merupakan kondisi dimana kadar glukosa darah yang tinggi teta pi tidak cukup tinggi untuk dapat dikatakan diabetes (Twig et al., 2007). Pradiabetes ditandai oleh peningkatan kadar gula darah pada kisaran jika kadarGDP mencapai 100 - 125 mg/dl atau basil glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) 140 - 199 mg/dl dengan prevalensi yang Iebih tinggi dibanding dengan DM (PERKENI, 2011).


(2)

2.1.1. Riwayat Alamiah Pradiabetes

Pradiabetes merupakan salah satu manisfestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi awal kejadian diabetes mellitus (Soegondo & Purnamasari, 2010). Riwayat alamiah pradiabetes diawali dengan faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya pradiabetes, bertambahnya usia, obesitas, distribusi lemak tubuh, kurang aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia merupakan faktor risiko yang berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2. Pradiabetes berhubungan dengan sindrom metabolik. Orang yang mengalami diabetes tipe 2 sebelumnya selalu mengalami perkembangan progresif kondisi intoleransi glukosa dari waktu ke waktu, dimulai dengan glikemia normal, kemudian menjadi toleransi glukosa, dan akhirnya menjadi diabetes (Codario, 2005). Pradiabetes menyebabkan naiknya risiko bagi seseorang untuk menderita DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler lainnya.

Secara fisiologis insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase. Sekresi insulin akan terjadi setelah adanya rangsangan yaitu glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas normal.Sekresi fase 1 adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta. Sekresi fase 1 diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Fase I yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial.Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan


(3)

glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2.Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, sekresi insulin fase 2 akan banyak dipengaruhi oleh fase I (Manaf, 2010).

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resisitensi insulin), kejadian ini disertai oleh faktor lingkungan yang dinyatakan sebagai faktor pencetusnya. Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah.Kelainan berupa disfungsi sel (3 dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan.Secara klinis perjalanan penyakit ini bersifat progresif. Tidak adekuatnya fase 1, kemudian diikuti meningkatnya kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis barulah pada dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang disebut toleransi glukosa terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state (Manaf, 2010).

Patogenesis pradiabetes terkait dengan defisiensi insulin relatif dan resistensi insulin yang menyebabkan terjadinya tingkat glukosa darah abnormal (Ghani et al., 2006).Resistensi insulin merupakan timbulnya pradiabetes yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara faktor keturunan, pola makan yang tidak sehat seperti


(4)

tinggi lemak atau tinggi karbohidrat maupun kurang serat, pola hidup yang kurang aktivitas fisik atau olahraga, obesitas, bertambahnya umur, penggunaan obat tertentu. Resistensi insulin menyebabkan hiperinsulinemia, kondisi ini akan menyebabkan terjadinya hipertensi, yang dapat mempercepat timbulnya aterosklerosis atau penyakit kardiovaskuler (Hardiman, 2009).

2.1.2. Epidemiologi Pradiabetes

The US Department of Health and Human Services (DHHS) memperkirakan bahwa sekitar satu dari empat orang dewasa Amerika berusia 20 tahun atau lebih tua memiliki pradiabetes di tahun 2007. Kebanyakan orang dengan pradiabetes berkembang menjadi diabetes tipe 2 dalam waktu 10 tahun, kecuali jika mereka kehilangan 5% - 7% dari berat badan mereka dengan melakukan perubahan pola makan dan meningkatkan aktivitas fisik. Orang dengan pradiabetes juga berada pada peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (NIH, 2008). Fajrinayanti dan Ayubi (2008) menemukan prevalensi pradiabetes sebesar 57,5%, penelitian dilakukan di Kota Padang Panjang pada kelompok umur 40-59 tahun pada responden sebanyak 174 orang.

Secara epidemiologis diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini (Purnamasari, 2010). Sekitar 3% sampai 10% pradiabetes setiap tahun akan berkembang ke arah diabetes. Insidensi pradiabetes dari tahun ke tahun meningkat dengan pesat dan risiko pradiabetes untuk mendapatkan penyakit kardiovaskuler


(5)

sama dengan diabetes mellitus, sehingga dapat dikatakan bahwa pradiabetes merupakan ancaman yang tersembunyi karena pradiabetes dapat menimbulkan gangguan kesehatan tanpa gejala, jika kondisi ini tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan timbulnya penyakit berbahaya dikemudian hari (Hardiman, 2009).

DM tipe 2 merupakan penyakit yang secara umum mewakili sekitar 85% kasus DM di negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi pada orang dewasa yaitu sekita 35% terutama pada masyarakat yang mengubah gaya hidup tradisional menjadi gaya hidup modern (Arisman, 2010). Mustafa et al. (2011) menyatakan bahwa perubahan gaya hidup pada masyarakat balk di pedesaan maupun di kota merupakan faktor risiko naiknya prevalensi penyakit kardiovaskuler seperti obesitas, hipertensi dan diabetes.

2.1.3. Diagnosis Pradiabetes dan Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik dan penilaian laboratoris. Ada dua macam pemeriksaan untuk menilai ada atau tidaknya masalah pada glukosa darah seseorang. Pertama, pemeriksaan darah secara langsung setelah berpuasa sepanjang malam yang disebut sebagai kadar glukosa darah puasa yang merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosisDM. Kedua penilaian kemampuan tubuh dalam menangani kelebihan glukosa darah seusai minum cairan berkadar glukosa tinggi /yang diperiksa dengan tes toleransi glukosa oral (Arisman, 2008). Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, dalam menentukan diagnosis DM dan pradiabetes harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai, untuk diagnosis DM dan pradiabetes


(6)

pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena (Soegondo, 2011). Berdasarkan konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia tahun 2011, ditetapkan kriteria diagnosis DM dan pradiabetes sebagai berikut.

Tabel 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Pemeriksaan Bukan DM Pra

DM

DM Kadar glukosa darah sewaktu:

- Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa:

- Plasma vena - Darah kapiler

< 100 < 90 < 100 < 90

100 – 125 90 –199 100 – 125 90 – 125

≥ 200 ≥ 200 ≥ 126 ≥ 100 Sumber : PERKENI (2011)

Gejala klinis DM bersifat progresif, akan menimbulkan penyulit serius jika tidak segera terkendali. Keluhan klasik DM yaitu peningkatan rasa haus (polidipsia) dan lapar (polifagia) serta pertambahan volume/frekuensi berkemih (poliuria). Pengeluaran urin secara berlebihan menyebabkan dehidrasi karena kadar glukosa yang tinggi memerlukan air sebagai pelarut, sehingga menimbulkan gejala rasa haus yang berlebihan. Sementara tidak adanya atau kurangnya insulin menyebabkan glukosa tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh, sehingga menyebabkan sel-sel tubuh kelaparan (Arisman, 2008).Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain DM dapatberupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan


(7)

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011). Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Keluhan klasikDM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yangtidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) Meskipun TTGO dengan beban 75 glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosaplasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan. TTGO sulituntuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan apabila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL.

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI, 2011).


(8)

2.1.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM Berdasarkan PERKENI (2011) terdapat beberapa tipe yang didasarkan atas penyebab dan proses patogenik penyakit, yaitu:

2.1.4.1. DM Tipe 1

DM tipe 1 sering disebut dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus(IDDM).Diabetes tipe I disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Penyakit DM tipe I berkembang cepat dan cenderung lebih berat dibandingkan tipe lainnya tergantung pada kecepatan kerusakan sel (β pankreas (lebih cepat pada anak-anak dan remaja dan lebih lambat pada orang dewasa), seluruh penderita akhirnya akan bergantung pada insulin untuk mengontrol glukosa, penderita biasanya cenderung mengalami ketoasidosis. Diabetes tipe ini disebabkan oleh pankreas sebagai pabrik insulin tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin, sehingga insulin tubuh menjadi kurang atau tidak ada sama sekali, yang mengakibatkan glukosa menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke dalam sel (Tandra, 2008). Menurut ADA (2010) Diabetes mellitus tipe ini disebabkan adanya kerusakan sel β pankreas yang disebabkan oleh proses autoimun yang dapat dideteksi dengan adanya autoantibody terhadap sel β pankreas dan autoantibody terhadap insulin.

2.1.4.2. DM Tipe 2

DM tipe 2 merupakan bentuk paling umum dari DM, dengan karakteristik adanya gangguan pada kerja insulin dan sekresi insulin (ADA, 2010).DM tipe 2 juga disebut dengan Non Independent Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).Bentuk DM


(9)

tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin dengan akibat kegagalan tubuh dalam merespon aktivitas insulin yang diproduksi oleh pankreas.Penyakit DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada orang dewasa.Faktor yang paling berpangaruh terhadap terjadinya DM tipe 2 adalah faktor genetik, obesitas, pola makan dan aktivitas fisik individu.Prevalensi tipe ini naiksecara dramatis pada populasi obesitas.Banyak penderita diabetes tipe 2 adalah orang yang mengalami obesitas.

2.1.4.3. DM Tipe Spesifik

DM tipe spesifik merupakan tipe DM yang jarang terjadi, penyebab DM tipe spesifik adalah kerusakan dari fungsi sel (β pankreas, adanya penyakit pada pankreas, induksi obat atau bahan kimia dan terjadinya infeksi pada tubuh atau sindrom genetik lainnya (ADA, 2010). Penyakit DM tipe spesifik kemungkinan disebabkan oleh sejumlah kondisi diantaranya berbagai kelainan genetik spesifik (kerusakan genetik sel beta pankreas dan kerja insulin), penyakit pada pankreas, gangguan endokrin lain, infeksi, obat-obatan dan beberapa bentuk lain yang jarang terjadi (Tandra, 2008). Menurut Arisman (2010) etiologi diabetes jenis ini meliputi penyakit pada pankreas yang merusak sel (β, adanya sindrom hormonal yang mengganggu sekresi dan atau menghambat kerja insulin, penggunaan obat-obatan yang menghambat kerja insulin, serta kondisi tertentu yang jarang terjadi seperti kelainan pada reseptor insulin dan sindrom genetik.

2.1.4.4. DM Gestasional (DMG)

Diabetes tipe ini merupakan gangguan toleransi glukosa berbagai derajat yang ditemukan pertama kali saat hamil, Insiden DMG berada pada kisaran 2%-14% dari


(10)

ibu hamil di dunia. Setiap intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat intoleransi disefinisikan sebagai DM gestasional, diabetes jenis ini biasanya timbul pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosis ketika hamil (sebelumnya tidak diketahui).Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap DM, kemudian hamil tidak termasuk kedalam kategori ini (Arisman, 2010).

2.1.5. Faktor Risiko Pradiabetes

Menurut Canadian Diabetes Association (CDA) pradiabetes dan DM tipe 2 mempunyai faktor risiko yang sama, yaitu usia 40 tahun, riwayat keluarga DM, obesitas, hipertensi dan wanita yang memiliki riwayat diabetes gestasional.Sementara menurut NIH(2008) obesitas, usia 45 tahun atau lebih, kurang aktifitas fisik, memiliki orang tua atau saudara dengan diabetes, pernah mengalami kelahiran bayi dengan berat 9 pon atau lebih (≥ 4,1 kg) dan hipertensi mempengaruhi kejadian pradiabetes dan DM tipe 2. Suyono (2010) menyatakan bahwa individu-individu yang berisiko terhadap kejadian diabetes adalah usia> 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi >4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan dan dislipidemia.

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang dicetuskan oleh interaksi berbagai faktor genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup (Arisman, 2010). Menurut Soegondo (2011) faktor risiko pradiabetes yang tidak dapat dimodifikasi yaitu riwayat keluarga dengan diabetes, peningkatan usia, riwayat pernah menderita diabetes melitus pada saat hamil, riwayat lahir dengan berat badan


(11)

rendah, kurang dari 2,5 kg. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia serta diet yang tidak sehat, berat badan lebih.

Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat mengganggu kesehatan.Keadaan obesitas, terutama obesitas sentral meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena terkait dengan resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin, intoleransi glukosa, diabetes mellitus, dislipidemia dan hipertensi (Soegondo, 2010).Kelebihan berat badan meningkatkan risiko dua kali lipat menderita pradiabetes, prevalensi obesitas dan diabetes berkorelasi positif, terutama obesitas sentral. Keberhasilan mengurangi berat badan hingga 10 kg selain sukses memperbaiki, hal ini juga dapat menormalkan kadar glukosa darah, menurunkan trigliserida dan kolesterol total sekaligus meningkatkan konsentrasi HDL, kondisi ini tentu akan menurunkan dampak glikolisasi dan oksidasi terhadap partikel LDL serta terjadi perlambatan perkembangan dini dan perluasan pembentukan plak pada pembuluh darah (Arisman, 2010).

Kemungkinan untuk mengidap DM tipe 2 akan berlipat dua jika berat badan bertambah sebanyak 20% diatas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun (diatas 40 tahun), hal ini sesuai dengan Sasai et al. (2010) dalam penelitiannyamenyatakan terdapat hubungan yang kuat antara obesitas dengan tejadinya diabetes pada laki-laki usia 40-59 tahun dibanding usia 79 tahun (p-value=0,002).DM tipe 2 mempunyai onset pada usia > 40 tahun (Arisman, 2010). Kelebihan berat badan adalah faktor risiko utama untuk pradiabetes (NIH,


(12)

2008).Obesitas sentral mempunyai hubungan yang kuat dengan sindrom metabolik dibandingkan dengan komponen lainnya.Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus (Soegondo & Purnamasari, 2010).

Obesitas terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan.Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya, maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak. Keadaan obesitas terutama obesitas sentral meningkatkan risiko terjadinya resistensi insulin, hiperinsulinernia clan intoleransi glukosa/diabetes mellitus.Resistensi pada obesitas sentral diduga merupakan penyebab sindrom metabolik.Insulin mempunyai peranan penting karena berpengaruh baik pada penyimpanan lemak maupun sintesis lemak dalam jaringan adiposa. Pengurangan berat badan pada orang yang mengalami obesitas akan menurunkan perkembangan diabetes mellitus serta penyakit kardiovaskular (Soegondo, 2010).

Aktivitas fisik dan penurunan berat badan membantu tubuh merespon lebih baik terhadap insulin.Dengan kehilangan berat badan dan menjadi lebih aktif secara fisik, orang dengan resistensi insulin atau pradiabetes mungkin menghindari diabetes tipe 2 (Soegondo & Purnamasari, 2010).Penurunan berat badan cenderung dapat menghambat perkembangan diabetes, terjadi melalui perbaikan dalam sensitivitas insulin.Peningkatan aktivitas fisik dapat bekerja melalui mekanisme yang melibatkan perbaikan sensitivitas insulin dan pemeliharaan berat badan (Twig et al, 2007). Makin


(13)

kurang gerak badan seseorang, maka akan semakin mudah terkena diabetes. Kurang gerak badan menyebabkan pemakaian glukosa berkurang sehingga glukosa darah meningkat. Olahraga atau aktifitas fisik membantu untuk mengontrol berat badan karenaglukosa akan dibakar menjadi energi, sel-sel tubuh menjadi lebih sensitive terhadap insulin dan risiko terjadinya diabetes tipe 2 akan turun sampai 50% (Tandra, 2008). Modifikasi gaya hidup harus menjadi landasan pengobatan, Gaya hidup adalah pendekatan manajemen yang mendasar sehingga efektif mencegah atau menunda perkembangan pradiabetes menjadi diabetes, serta mengurangi baik mikrovaskuler dan macrovascular penyakit risiko (Codario, 2005).

Usia merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi prevalensi diabetes maupun gangguan toleransi glukosa (Rochmah, 2010). Risiko mengalami pradiabetes bertambah sejalan dengan usia, dimana jumlah sel (3 yang produktif berkurang seiring pertambahan usia, sehingga dianjurkan untuk memeriksakan glukosa darah puasa pada usia > 45 tahun (Arisman, 2010). Risiko pradiabetes meningkat seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 45 tahun karena orang cenderung kurang berolahraga dan menurunkan berat badan dengan bertambahnya usia mereka. Namun, orang tua bukan satu-satunya yang berisiko mengalami pradiabetes dan diabetes tipe 2. Insiden gangguan ini juga meningkat di kelompok usia yang lebih muda (NIH, 2008).

Kelompok etnis tertentu yaitu orang Asia, Kepulauan Pasifik, Hispanik, Amerika Afrika, dan Amerika asli memiliki risiko yang lebih besar terkena diabetes (Codario, 2005). Kebanyakan orang dari ras tersebut dahulu adalah pemburu dan


(14)

petani biasanya kurus, kemudian mengalami perubahan gaya hidup sedikit beraktifitas dan meniadi gemuk sehingga banyak yang menderita diabetes dan hipertensi (Tandra, 2008).

Riwayat keluarga juga memiliki peranan penting sebagai pencetus timbulnya pradiabetes, sekitar 40% penderita diabetes terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap diabetes dan 60% sampai 90% kembar identik merupakan penyandang diabetes (Arisman, 2010). Menurut Codario (2005) jika seseorang memiliki saudara yang menderita diabetes maka akan mempunyai risiko sebesar 40% untuk mengalami pradiabetes dan diabetes. Dengan demikian, faktor warisan adalah faktor risiko penting yang berkontribusi terhadap patogenesis penyakit. Pradiabetes dan diabetes akan meningkat pada seseorang yang memiliki saudara yang menderita diabetes, disamping itu gaya hidup dan obesitasjuga merupakan faktor pendukung terjadinya pradiabetes. Lebih dari sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang mengidap diabetes (Tandra, 2008). Diabetes merupakan penyakit keturunan, artinya bila orang tuanya menderita diabetes, maka anaknya akan mengalami diabetes juga. Namun faktor keturunan saja tidak cukup, diperlukan faktor pencetus lainnya seperti kegemukan, pola makan salah, proses menua dan stres (Suyono, 2011).

Adanya riwayat DM dalam kehamilan atau pemah melahirkan bayi dengan BB lebih dari 4 kg, kehamilan, trauma fisik dan stres psikologis dapat menurunkan sekresi serta kepekaan insulin (Arisman, 2010). Diabetes pada kehamilan dapat terjadi 2-5% ibu hamil, Ibu hamil dengan diabetes akan melahirkan bayi besar dengan


(15)

berat badan 4 kg. Diabetes akan hilang setelah anak lahir, namun lebih dari setengahnya akan terkena diabetes dikemudian hari (Tandra, 2008).

Schienkiewitz (2011) dalam penelitiannya menyatakan ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian DM tipe 2 pada laki-laki dan perempuan. Menurut Gale Encyclopedia of public health (2005) merokok adalah menghirup asap pembakaran tembakau dalam rokok baik secara langsung ataupun menggunakan pipa, kebiasaan merokok diartikan sebagai kecanduan fisik meghisap tembakau. Puspita (2009) kebiasaan merokok, riwayat obesitas dan riwayat hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kejadian diabetes mellitus tipe 2. Nasution (2009) ada hubungan yang bermakna antara orang miskin yang merokok dengan kejadian DM tipe 2 (p-value = 0,001).

2.2. Landasan Teori

Pradiabetes merupakan kondisi dimana kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis diabetes. Kondisi ini disebut toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu, Orang dengan pradiabetes mengalami peningkatan risiko terkena diabetes tipe 2. Hampir semua penderita DM tipe 2, mengalami kondisi pradiabetes sebelum akhirnya terdiagnosis diabetes, dimana kadar glukosa darah sudah tinggi namun belum memenuhi syarat untuk masuk dalam kategori DM (Codario, 2005).

Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko pradiabetes yang dapat dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat


(16)

dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi terdiri dari ras dan etnik, riwayat keluarga dengan diabetes serta usia. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia, pada usia <45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi lebih dari 4 kg atau riwayat pernah menderita DM gestasional.

Menurut Soegondo (2011) beberapa faktor risiko yang berubah secara epidemiologis adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan Iebih lamanya obesitas kurangnya aktifitas jasmani dan kondisi hiperinsulinemia, dimana faktor-faktor tersebut akan berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya diabetes.

2.2.1. Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan beberapa faktor biologik spesifik dan secara fisiologis terjadi akumulasi jaringan lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat mengganggu kesehatan (Soegondo, 2007).


(17)

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT Menurut WHO Asia Fasifik

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Resiko Ko-Morbiditas Lingkar pinggang < 90 cm (laki-laki) < 80 cm (perempuan)

> 90 cm (laki-laki) >80 cm (perempuan) Berat badan kurang

Kisaran normal Berat badan lebih

- Berisiko - Obes I - Obes II

<18,5 <18,5 – 22,9 > 23,0 23,0 – 24,9 25,0 – 29,9 > 30,0

Rendah (resiko

meningkat pada masalah klinis lain) Sedang Meningkat Moderat Berat Sedang Meningkat Moderat Berat Sangat berat Sumber WHO WRP/IASO/IOTF dalam Soegando, 2007

2.2.2. Aktifitas Fisik

Aktiftas fisik yang dilakukan secara teratur sangat penting selain untuk menghindari kegemukan, juga dapat menolong mencegah terjadinya penyakit akibat pola hidup seperti diabaetes, serangan jantung dan stroke (Johnson, 1998).

Pada waktu melakukan aktifitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada waktu tidak melakukan aktifitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa daran akan turun. Melalui aktifitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga dapat masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi tenaga (Soegondo, 2008).

WHO merekomendasikan untuk melakukan aktifitas fisik dengan intensitas selama 30 menit perhari dalam seminggu atau 20 menit perhari selama 5 hari dalam seminggu dengan intensitas berat untuk mendapatkan hasil yang optimal dari aktifitas fisik atau olah raga (Rumiyati, 2008). Hal ini terbukti dari studi yang dilakukan di Amerika terhadap 21.000 orang dokter menyatakan bahwa berolahraga 5 kali


(18)

seminggu akan menurunkan 42% kasus yang diperkirakan akan menderita diabetes tipe 2 (Johnson, 1998)

Penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 10.000 lulusan Universitas Harvard yang dilakukan dalam waktu panjang, menunjukkan bahwa olahraga yang kuat dapat menambah kira-kira 10 bulan kehidup seseorang dan lebih lama lagi jika berolah raga sejak muda, kurang jika dilakukan pada usia lanjut (Johnson, 1998). Penelitian lain yang dilakukan selama 8 tahun kepada 87, 353 perawat wanita yang melakukan olah raga ditemukan penurunan resiko penyakit diabetes tipe 2 sebesar 33% atau RR 0,87 (Goldstein, Muller, 2008: Ilyas, 2009).

Rikesdas 2007, melaporkan 48,2% penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (< 5 hari dan < 150 menit perhati). Kurang aktivitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas (76,0%) dan umur 10 – 14 tahun (66,9%), dilihat dari jenis kelamin, kurang aktivitas fisik lebih tinggi pada perempuan (54, 5%) dibanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008). Sebelumnya menurut SKRT tahun 2004 mendapatkan aktivitas tidak cukup gerak pada usia > 15 tahun 68,7% dengan aktivitas tidak cukup gerak tinggi disemua propinsi (Herminta, 2006). Menurut Rahajeng, aktivitas fisik yang dilakukan selam 120 menit/hari mampu mencengah terjadinya diabetes mellitus dengan hazard ratio (HR) 0,56 pada kelompok yang telah mengalami TGT (Rahajeng, 2004)

Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Purnawati terhadap 240 orang pasien rawat jalan di RSCM tahun 1998, menyatakan bahwa orang yang memiliki aktivitas fisik kurang berisiko untuk terkena diabetes mellitus 2 kali lebih mudah


(19)

dibandingkan dengan orang memiliki aktifitas fisik cukup. Hasil penelitian di RS M. Jamil Padang juga menemukan hal yang sama, bahwa orang yang memiliki aktifitas fisik kurang berisiko 3,2 kali lebih mudah untuk menderita diabetes mellitus tipe 2 dibanding dengan orang yang memiliki aktifitas fisik cukup (Yusmawati, 2008). 2.2.3. Merokok

Merokok berhubungan dengan sensitivitas insulin dalam menarik glukosa di dalam darah dan menghambat produksi insulin sehingga kadar gula didalam darah meningkat (Joshu , 1999). Menurut Smet . (1999) seseorang dikatakan sebagai perokok ringan apabila merokok ≥ I batang dalam satu minggu. Sementara menurut Shiffman (1994) menyatakan bahwa seorang dikatakan merokok apabila mengkonsumsi rokok 1-5 batang per hari, sedangkan yang dikatakan perokok berat apabila mengkonsumsi rokok 20-40 batang per hari. Aktif merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, risiko diabetes lebih besar bagi perokok berat (RR 1,61; 95% CI 1,43-1,80) dibandingkan perokok ringan (RR 1.29; 95% CI, 1,13-1,48) dan lebih rendah untuk mantan perokok (RR 1.23; 95% CI 1,14 -1,33) dibandingkan dengan perokok aktif (Carole et al. 2007).

2.2. 4. Riwayat Keluarga

Seseorang yang menderita diabetes mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Riwayat keluarga juga memiliki peranan penting sebagai pencetus timbulnya pradiabetes, sekitar 40% penderita diabetes terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap diabetes dan 60% sampai 90% kembar identik merupakan penyandang diabetes (Arisman, 2010). Menurut Codario (2005) jika seseorang memiliki saudara


(20)

yang menderita diabetes maka akan mempunyai risiko sebesar 40% untuk mengalami pradiabetes dan diabetes.

Prevalensi obesitas berkorelasi positif dengan kejadian diabetes, Timbunan lemak yang tergambar sebagai penambahan ukuran Iingkar pinggang akan mendorong perkembangan degenerativ seperti hipertensi, peningkatan kadar insulin plasma dan sindrom resistensi insulin. Keberhasilan mengurangi berat badan hingga 10 kg kemungkinan besar dapat menormalkan kadar glukosa darah, selain itu penurunan berat badan juga dapat memperlambat perkembangan dini dan perluasan pembentukan plak pada pembuluh darah (Arisman, 2008).

Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan system penunjang. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolism untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantar zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur merupakan intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai penyakit degenerative (tidak menular).Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat untuk mencegah terjadinya diabetes, hipertensi, stroke dan serangan jantung.

Aktifitas fisik mempunyai peranan penting dalam mengurangi cadangan energi yang tertimbun di dalam tubuh sebagai sumber tenaga. Semakin lama dan semakin berat seseorang melakukan aktifitas fisik maka jumlah kalori yang digunakan akan semakin bertambah banyak. Sebaliknya semakin ringan dan semakin


(21)

sedikit waktu yang digunakan untuk melakukan aktifitas fisik maka semakin kecil pengaruhnya terhadap penurunan berat badan..Dampak aktifitas fisik berhubungan dengan kejadian diabetes.

Menurut penelitian yang dilakukan Fajrinayanti dan Ayubi (2008) di Kota Padang Panjang faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kejadain pradiabetes adalah konsumsi lemak, konsumsi serat, dan aktivitas fisik. Menurut Tandra (2008) semakin sedikit aktifitas fisik seseorang maka risiko terkena diabetes akan semakin tinggi, hal ini terkait dengan pemakaian glukosa sebagai energi.


(22)

2.3 Landasan Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor Resiko Pradiabetes (berdasarkan PERKENI, 2011; Suyono, 2011 dan Arisman, 2008) Ras dan Etnik

Merokok

Umur

Pola Makan

Aktifitas Fisik

Riwayat DM Dalam Keluarga

Riwayat DM Gestasional

Obesitas


(23)

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Obesitas

Aktifitas Fisik Perilaku Merokok Riwayat Keluarga

Kejadian Pradiabetes pada usia≤45 tahun


(1)

seminggu akan menurunkan 42% kasus yang diperkirakan akan menderita diabetes tipe 2 (Johnson, 1998)

Penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 10.000 lulusan Universitas Harvard yang dilakukan dalam waktu panjang, menunjukkan bahwa olahraga yang kuat dapat menambah kira-kira 10 bulan kehidup seseorang dan lebih lama lagi jika berolah raga sejak muda, kurang jika dilakukan pada usia lanjut (Johnson, 1998). Penelitian lain yang dilakukan selama 8 tahun kepada 87, 353 perawat wanita yang melakukan olah raga ditemukan penurunan resiko penyakit diabetes tipe 2 sebesar 33% atau RR 0,87 (Goldstein, Muller, 2008: Ilyas, 2009).

Rikesdas 2007, melaporkan 48,2% penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (< 5 hari dan < 150 menit perhati). Kurang aktivitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas (76,0%) dan umur 10 – 14 tahun (66,9%), dilihat dari jenis kelamin, kurang aktivitas fisik lebih tinggi pada perempuan (54, 5%) dibanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008). Sebelumnya menurut SKRT tahun 2004 mendapatkan aktivitas tidak cukup gerak pada usia > 15 tahun 68,7% dengan aktivitas tidak cukup gerak tinggi disemua propinsi (Herminta, 2006). Menurut Rahajeng, aktivitas fisik yang dilakukan selam 120 menit/hari mampu mencengah terjadinya diabetes mellitus dengan hazard ratio (HR) 0,56 pada kelompok yang telah mengalami TGT (Rahajeng, 2004)

Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Purnawati terhadap 240 orang pasien rawat jalan di RSCM tahun 1998, menyatakan bahwa orang yang memiliki aktivitas fisik kurang berisiko untuk terkena diabetes mellitus 2 kali lebih mudah


(2)

dibandingkan dengan orang memiliki aktifitas fisik cukup. Hasil penelitian di RS M. Jamil Padang juga menemukan hal yang sama, bahwa orang yang memiliki aktifitas fisik kurang berisiko 3,2 kali lebih mudah untuk menderita diabetes mellitus tipe 2 dibanding dengan orang yang memiliki aktifitas fisik cukup (Yusmawati, 2008). 2.2.3. Merokok

Merokok berhubungan dengan sensitivitas insulin dalam menarik glukosa di dalam darah dan menghambat produksi insulin sehingga kadar gula didalam darah meningkat (Joshu , 1999). Menurut Smet . (1999) seseorang dikatakan sebagai perokok ringan apabila merokok ≥ I batang dalam satu minggu. Sementara menurut Shiffman (1994) menyatakan bahwa seorang dikatakan merokok apabila mengkonsumsi rokok 1-5 batang per hari, sedangkan yang dikatakan perokok berat apabila mengkonsumsi rokok 20-40 batang per hari. Aktif merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, risiko diabetes lebih besar bagi perokok berat (RR 1,61; 95% CI 1,43-1,80) dibandingkan perokok ringan (RR 1.29; 95% CI, 1,13-1,48) dan lebih rendah untuk mantan perokok (RR 1.23; 95% CI 1,14 -1,33) dibandingkan dengan perokok aktif (Carole et al. 2007).

2.2. 4. Riwayat Keluarga

Seseorang yang menderita diabetes mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Riwayat keluarga juga memiliki peranan penting sebagai pencetus timbulnya pradiabetes, sekitar 40% penderita diabetes terbukti terlahir dari keluarga yang juga mengidap diabetes dan 60% sampai 90% kembar identik merupakan penyandang diabetes (Arisman, 2010). Menurut Codario (2005) jika seseorang memiliki saudara


(3)

yang menderita diabetes maka akan mempunyai risiko sebesar 40% untuk mengalami pradiabetes dan diabetes.

Prevalensi obesitas berkorelasi positif dengan kejadian diabetes, Timbunan lemak yang tergambar sebagai penambahan ukuran Iingkar pinggang akan mendorong perkembangan degenerativ seperti hipertensi, peningkatan kadar insulin plasma dan sindrom resistensi insulin. Keberhasilan mengurangi berat badan hingga 10 kg kemungkinan besar dapat menormalkan kadar glukosa darah, selain itu penurunan berat badan juga dapat memperlambat perkembangan dini dan perluasan pembentukan plak pada pembuluh darah (Arisman, 2008).

Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan system penunjang. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolism untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantar zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur merupakan intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai penyakit degenerative (tidak menular).Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat untuk mencegah terjadinya diabetes, hipertensi, stroke dan serangan jantung.

Aktifitas fisik mempunyai peranan penting dalam mengurangi cadangan energi yang tertimbun di dalam tubuh sebagai sumber tenaga. Semakin lama dan semakin berat seseorang melakukan aktifitas fisik maka jumlah kalori yang digunakan akan semakin bertambah banyak. Sebaliknya semakin ringan dan semakin


(4)

sedikit waktu yang digunakan untuk melakukan aktifitas fisik maka semakin kecil pengaruhnya terhadap penurunan berat badan..Dampak aktifitas fisik berhubungan dengan kejadian diabetes.

Menurut penelitian yang dilakukan Fajrinayanti dan Ayubi (2008) di Kota Padang Panjang faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kejadain pradiabetes adalah konsumsi lemak, konsumsi serat, dan aktivitas fisik. Menurut Tandra (2008) semakin sedikit aktifitas fisik seseorang maka risiko terkena diabetes akan semakin tinggi, hal ini terkait dengan pemakaian glukosa sebagai energi.


(5)

2.3 Landasan Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor Resiko Pradiabetes (berdasarkan PERKENI, 2011; Suyono, 2011 dan Arisman, 2008) Ras dan Etnik

Merokok

Umur

Pola Makan

Aktifitas Fisik

Riwayat DM Dalam Keluarga

Riwayat DM Gestasional

Obesitas


(6)

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Obesitas

Aktifitas Fisik Perilaku Merokok Riwayat Keluarga

Kejadian Pradiabetes pada usia≤45 tahun